Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGUE HAEMORHAGIC FEVER (DHF)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Keperawatan Anak 2

Dosen Pengampu : Elmie Muftiana, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh :

Kelompok 6 / 5B

Nama NIM
Zidane Akbarghi 18631732
Mufaliha Sabila Iswari 18631725
Tutut Setiowati 18631673
Hestri Triana Saulistyari 18631654

PRODI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2020
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan
Makalah ini dengan cukup baik dan tepat pada waktunya.
Adapun makalah ini kami susun atas dasar kelengkapan tugas mata kuliah
Keperawatan Anak 2. Kami sampaikan terima kasih kepada Ibu Elmie Muftiana,
S.Kep.,Ns.,M.Kep Kep. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Keperawatan Anak
2 di Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Kami mengucapkan terima kasih
kepada pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini, semua
yang telah memberi informasi yang kami tidak sebut satu per satu.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak
terdapat kekurangan di dalamnya, maka untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca dalam kesempurnaan laporan
ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Sekali lagi kami
sampaikan terima kasih.

Ponorogo, Desember 2020

Kelompok 6

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengue Haemorhagic Fever adalah penyakit yang menyerang anak dan
orang dewasa yang disebabkan oleh virus dengan manifestasi berupa demam
akut, perdarahan, nyeri otot dan sendi. Dengue adalah suatu infeksi Arbovirus
(Artropod Born Virus) yang akut ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegepty atau
oleh Aedes Albopictus (Titik Lestari, 2016). DHF adalah infeksi arbovirus(
arthropoda-borne virus) akut, ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes (IKA-
FKUI, 2005). Dengue Hemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh gigitan nyamuk aedes
aegypti dan aedes albopictus.

Di beberapa Negara di dunia khususnya di Indonesia Kejadian Luar

Biasa (KLB) terutama khususnya yang disebabkan oleh penyakit menular

sepereti demam berdarah (DHF), Malaria, Diare dan lain-lain masih terjadi.
Penyakit ini cenderung meluas ke seluruh nusantara. Angka motilitas dan
morbilitas yang disebabkan oleh penyakit menular ini masih tinggi, terutama
yang disebabkan oleh penyakit DHF. Penyakit DHF merupakan masalah
kesehatan yang masih memerlukan pencegahan dan penanggulangan yang
sungguh-sungguh, karena tidak sedikit angka kesakitan dan kematian yang
terjadi akibat penyakit DHF ini Penyakit ini tidak hanya menyerang orang
dewasa dan remaja tetapi juga menyerang anak-anak.

Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita


DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya
meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511
orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita, (Kemenkes
RI).Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DHF merupakan
tanggung jawab bersama baik lintas sector program maupun masyarakat.
Peran utama perawat melakukan pencegahan terhadap penderita penyakit.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Konsep Penyakit Dengue Haemorhagic Fever (DHF)?

2. Bagaiamana Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengue Haemorhagic


Fever (DHF)?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui Konsep Penyakit Dengue Haemorhagic Fever (DHF)

2. Mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengue Haemorhagic


Fever (DHF)
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD
(dengue haemorhagic fever//DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot atau nyeri sendi yang disetai leucopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan ditesis hemoragik. Pada DBD
terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hemotokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan atau syok (Sudoyo Aru,
dkk 2009)

Dengue Haemorhagic Fever adalah penyakit yang


menyerang anak dan orang dewasa yang disebabkan oleh virus
dengan manifestasi berupa demam akut, perdarahan, nyeri otot dan
sendi. Dengue adalah suatu infeksi Arbovirus (Artropod Born Virus)
yang akut ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegepty atau oleh Aedes
Albopictus (Titik Lestari, 2016)

DHF adalah infeksi arbovirus( arthropoda-borne virus)


akut, ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes (IKA- FKUI, 2005).
Dengue Hemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue yang ditularkan oleh gigitan nyamuk aedes
aegypti dan aedes albopictus. Virus ini akan mengganggu kinerja
darah kapiler dan sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan
perdarahan-perdarahan. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah
tropis, seperti Asia Tenggara, India, Brazil, Amerika, termasuk
diseluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan
ketinggian lebih dari 1000 m diatas permukaan air laut. Demam
berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan
manusia. Virus dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya
dapat ditularkan melalui nyamuk (Prasetyono 2012).

2.1.2 Etiologi

Menurut Soedarto (2012) demam haemorrhagic fever


(DHF) disebabkan oleh :

a. Virus Dengue.
Virus dengue yg menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke
dalam Arbvirus (Arthropodborn virus) group B, tetapi dari
empat tipe yaitu virs dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe
virus dengue tersebut terdpat di Indonesia dn dapat
dibedakan satu dari yg lainnya secara serologis virus dengue
yang termasuk dalam gens flavirus ini berdiameter 40
nonometer dapat berkembang biak dengan baaik pada
berbagai macam kultur jaringan baik 27 yang bersal dari sel –
sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kiney)
maupun sel – sel Arthrpoda misalnya sel aedes Albopictuus.
b. Vektor.
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui
vektor yaitu nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus,
aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan
vektor yang kurang berperan. Infeksi dengan salah satu
serotipe akan menimbulkn antibodi seumur hidup terhadap
serootipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan
terhadap serotipe jeniis yang lainnya.
2.1.3 Manifestasi Klinis

Demam berdarah menurut (WHO, 2015) adalah, penyakit


seperti flu berat yang mempengaruhi bayi, anak-anak dan orang
dewasa, tapi jarang menyebabkan kematian. DHF merupakan
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
golongan Arbovirus melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina.
Dengue harus dicurigai bila demam tinggi 39oC - 40OC disertai
dengan gejala berikut: sakit kepala parah, nyeri di belakang
mata,sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi, mual, muntah,
pembengkakan kelenjar atau ruam. Gejala biasanya berlangsung
selama 2-7 hari, setelah masa inkubasi 4-10 hari setelah gigitan
dari nyamuk yang terinfeksi.

Tanda-tanda peringatan terjadi 3-7 hari setelah gejala


pertama dalam hubungannya dengan penurunan suhu (di bawah 38
° C / 100 ° F) dan meliputi: sakit parah perut, muntah terus
menerus, napas cepat, gusi berdarah, kelelahan, kegelisahan dan
darah di muntah. 24-48 jam berikutnya dari tahap kritis dapat
mematikan; perawatan medis yang tepat diperlukan untuk
menghindari komplikasi dan risiko kematian.

Menurut (Vyas et. Al 2014), gejala awal demam berdarah


dengue yang mirip dengan demam berdarah. Tapi setelah beberapa
hari orang yang terinfeksi menjadi mudah marah, gelisah, dan
berkeringat. Terjadi perdarahan: muncul bintik-bintik kecil seperti
darah pada kulit dan patch lebih besar dari darah di bawah kulit.
Luka ringan dapat menyebabkan perdarahan.

2.1.4 Patofisiologi

Virus dengue masuk kedalam tubuh melaluhi gigitan


nyamuk Aedes dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala
sebagai Dengue Fever. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang bisa
terlihat sebagai akibat dari proses viremia seperti demam, nyeri
otot dan atau sendi, sakit kepala dengan / tanpa rash dan limfa
denopati.

Sedangkan DBD biasanya timbul apabila seseorang telah


terinfeksi dengan virus dengue pertama kali, mendapat infeksi
berulang virus dengue lainnya. Reinfeksi ini akan menyebabkan
suatu reaksi anamnesik antibody, sehingga menimbulkan
konsentrasi komplek antigen antibody (komplek virus anti bodi)
yang tinggi. Terdapatnya komplek antigen antibody dalam sirkulasi
darah mengakibatkan :

a) Aktivitas system komplemen yang berakibat dilepaskannya


mediator anafilatoksin C 3a dam C 5a, dua peptide yang
berdaya melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat
yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh
darah (plasma-lekage), dan menghilangnya plasma melaluhi
endotel dinding itu, renjatan yang tidak diatasi secara
adekuat akan menimbulkan anoksia jaringan, asidosis
metabolic dan berakhir kematian.
b) Depresi sumsum tulang mengakibatkan trombosit
kehilangan fungsi agregasi dan mengalami metamorphosis,
sehingga dimusnahkan oleh system RE dengan akibat
terjadinya trombositopenia hebat dan pendarahan.
c) Terjadinya aktivitas faktor Hagemon dengan akibat akhir
terjadinya pembekuan intra vaskuler yang meluas. Dalam
proses aktivitas ini maka plasminogen akan berubah
menjadi plasmin yang berperan pada pembentukan
anafilatoksin dan penghancuran fibrin menjadi Fibrin
Degradation Product (FDP).
2.1.5 Klasifikasi

Menurut Sodikin (2012) DHF dapat diklasifikasikan


menjadi 4 derajat yaitu:
a) Derajat 1
Ditandai dengan demam disertai gejala tidak khas dan
satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji bendung
(Uji Torniquet).
b) Derajat II
Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit
dan atau perdarahan lain.
c) Derajat III
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang)
atau hipotensi, sianosis diseitar mulut, kulit dingin dan
lembab, dan anak tampak gelisah.
d) Derajat IV
Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba,
dan tekanan darah tidak teratur.
2.1.6 Patways

2.1.7 Penatalaksanaan
a. Tatalaksana DHF/DHF tanpa syok
Perbedaan pato fisilogik utama antara DHF dan penyakit
lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang
menyebabkan perembesan plasma dan gangguan hemostasis.
Maka keberhasilan tatalaksana DHF terletak pada bagian
mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the
time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis
disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis.
Prognosis DHF terletak pada pengenalan awal terjadinya
perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan
kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada
hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit sampai
≤100.000/μl atau kurang dari 1-2 trombosit/Ipb (rata-rata
dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit
dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit
≥20% mencerminkan perembesan plasma dan merupakan
indikasi untuk pemberian cairan.
Larutan garam isotonik atau kristaloid sebagai cairan awal
pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat
ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan
peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan
jumlah trombosit <50.000/ μl. Secara umum pasien DHF
derajat I dan II dapat dirawat di puskesmas, rumah sakit kelas
D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan
A.
Secara umum perjalanan penyakit DHF dibagi menjadi 3
fase yaitu fase demam, fase kritis dan fase penyembuhan
(konvalesens):
 Fase Demam
Tatalaksana DHF fase demam tidak berbeda dengan
tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena
tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu
diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi
perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat
mengurangi lama demam pada DHF.
 Fase Kritis
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu
turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pasien
harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang
mungkin terjadi. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala
merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik
untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan
pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi
pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus
diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga
sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin
dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak
terlalu sensitif. Untuk puskesmas yang tidak ada alat
pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan
menggunakan Hb Sahli dengan estimasi nilai Ht=3x
kadar Hb.

Penggantian Volume Plasma


Dasar patogenesis DHF adalah perembesan plasma,
yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase krisis,
fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian
cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati.
Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60
menit). Tetesan berikutnya harus selalu disesuaikan dengan
tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara
umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan
ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila:
 Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam
tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat
terjadinya syok,
 Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan
berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat
dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa
5% di dalam larutan NaCI 0,45%. Bila terdapat asidosis,
diberikan natrium bikarbonat 7,46%, 1-2 ml/kgBB intravena
bolus perlahan-lahan. Pada saat pasien datang, berikan cairan
kristaloid/ NaCI 0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer
laktat/NaCI 0,9%, 6-7 ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital,
diuresis setiap jam dan hematokrit serta trombosit setiap 6 jam.
Selanjutnya evaluasi 12-24 jam. Apabila selama observasi
keadaan umum membaik yaitu anak nampak tenang, tekanan
nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht
cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-
turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila
dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan
dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan
dihentikan setelah 24-48 jam.
Jenis Cairan
 Kristaloid: Larutan ringer laktat (RL), Larutan ringer
asetat (RA), Larutan garam faali (GF), Dekstrosa 5%
dalam larutan ringer laktat (D5/RL), Dekstrosa 5%
dalam larutan ringer asetat (D5/ RA), Dekstrosa 5%
dalam 1/2 larutan garam faali (D5/ 1/2LGF) (Catatan:
Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau
RA, tidak boleh larutan yang mengandung dekstosa).
 Koloid: Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil
starch 6%, gelafundin Fase Penyembuhan/konvalesen
Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen/ sekunder
akan muncul pada daerah esktremitas. Perembesan
plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan,
saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke
dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak
dikurangi, akan menyebabkan edema palpebra, edema
paru dan distres pernafasan.
Gambar 1. Ruam di kulit yang menyeluruh dengan bercak-
bercak putih (halo)

b. Tatalaksana DHF dengan Syok (Sindrom Syok Dengue/


SSD)
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti
(volume replacement) adalah pengobatan yang utama, berguna
untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak
cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera
dalam 48 jam. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila
dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah,
ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah,
tekanan nadi menyempit ( ≤ 20mmHg) atau hipotensi, dan
peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar
hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi
cairan intravena.Pada penderita SRD dengan tensi tak terukur
dan tekanan nadi ≤20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid
sebanyak 20 ml/kg BB selama 30 menit, bila syok teratasi
turunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam.
Tatalaksana DHF dengan Syok meliputi:
 Penggantian Volume Plasma Segera
Cairan resusitasi awal adalah larutan kristaloid 20
ml/kgBB secara intravena dalam 30 menit. Pada anak
dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB
ideal dan umur, bila tidak ada perbaikan pemberian
cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok
belum dapat teratasi setelah 60 menit, berikan cairan
koloid 10-20 ml/kg BB secepatnya dalam 30 menit.
Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi
30ml/kgBB/hari atau maksimal pemberian koloid
1500ml/hari, dan sebaiknya tidak diberikan pada saat
perdarahan.
Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan
koloid, syok masih menetap sedangkan kadar
hematokrit turun, maka pikirkan adanya perdarahan
internal. Maka dianjurkan pemberian transfusi darah
segar/ komponen sel darah merah. Apabila nilai
hematokrit tetap tinggi, maka berikan darah dalam
volume kecil (10ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai
30ml/kgBB/24jam, Setelah keadaan klinis membaik,
tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis
dan kadar hematokrit.
 Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian
Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun
tanda vital telah membaik dan kadar hematokrit turun.
Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10
ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung
dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit
telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah
urin 1ml/kgBB/ jam atau lebih merupakan indikasi
bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya,
cairan dapat dihentikan setelah 48 jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang
berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari
ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka
akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema
paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat
reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi
yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda
vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
 Koreksi Ganggungan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai
pasien DHF/SSD, maka analisis gas darah dan kadar
elektrolit harus selalu diperiksa pada DHF berat.
Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu
terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi
lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian
cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka
perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi
sehingga heparin tidak diperlukan.
 Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu
diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan
pemberian oksigen dengan mempergunakan masker,
tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi
makin gelisah apabila dipasang masker oksigen. e)
Transfusi Darah Pemeriksaan golongan darah cross-
matching harus dilakukan pada setiap pasien syok,
terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged
shock).
Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan
manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit
untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi
40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan
cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya
perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk
mengatasi pendarahan karena cukup mengandung
plasma, sel darah merah dan faktor pembeku trombosit.
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna
untuk pasien dengan KID(Koagulasi Intravascular
Disseminata) dan perdarahan masif. KID biasanya
terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan
masif sehingga dapat menimbulkan kematian.
 Monitoring
1. Tanda vital dan kadar hematokrit harus
dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus
diperhatikan pada monitoring adalah : Nadi,
tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus
dicatat setiap 15-30menit atau lebih sering,
sampai syok dapat teratasi.
2. Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam
sekali sampai keadaan klinispasien stabil.
3. Setiap pasien harus mempunyai formulir
pemantauan, mengenai jenis cairan,jumlah, dan
tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang
diberikan sudah mencukupi.
4. Jumlah dan frekuensi diuresis Pada pengobatan
renjatan/ syok, kita harus yakin benar bahwa
penggantian volume intravaskuler telah benar-
benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis
belum cukup 1ml/kgBB/jam, sedang jumlah
cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat
dengan tanda overload antara lain edema,
pernapasan meningkat, maka selanjutnya
furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Jika
pasien sudah stabil, maka bisa dirujuk ke RS
rujukan.
 Ruang Rawat Khusus Untuk DHF/SSD
Untuk mendapatkan tatalaksana DHF lebih efektif,
maka pasien DHF seharusnya dirawat di ruang rawat
khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk
kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut
dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk
memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan
trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan
merupakan hal yang penting dilakukan di ruang
perawatan DHF. Paramedis dapat dibantu oleh orang
tua/ keluarga pasien untuk mencatat jumlah cairan baik
yang diminum maupun yang diberikan secara
intravena, serta menampung urin serta mencatat
jumlahnya.
 Kriteria Memulangkan Pasien Pasien dapat
dipulangkan, apabila memenuhi semua keadaan
dibawah ini:
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan
oleh efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit >50.000/μl dan menunjukan
kecenderungan meningkat
6. Tiga hari setelah syok teratasi (hemodinamik
stabil)
7. Nafsu makan membaik. (Kemenkes RI, 2017)
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Centers for Disease Control and Prevention,
2009), Pada setiap penderita dilakukan pemeriksaan darah lengkap.
Pada penderita yang disangka menderita DHF dilakukan
pemeriksaan hemoglobin, hematocrit, dan trombosit setiap 2-4 jam
pada hari pertama perawatan. Selanjutnya setiap 6-12 jam sesuai
dengan pengawasan selama perjalanan penyakit. Misalnya dengan
dilakukan uji tourniquet.
1. Uji tourniquet
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler
darah dengan cara mengenakan pembendungan kepada
vena sehingga darah menekan kepada dinding kapiler.
Dinding kapiler yang oleh suatu penyebab kurang kuat akan
rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu
keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan
sekitarnya sehingga Nampak sebagai bercak kecil pada
permukaan kulit.
Pandangan mengenai apa yang boleh dianggap
normal sering berbeda-beda. Jika ada lebih dari 10 petechia
dalam lingkungan itu maka test biasanya baru dianggap
abnormal, dikatakan juga tes itu positif. Seandainya dalam
lingkungan itu tidak ada petechial, tetapi lebih jauh distal
ada, percobaan ini (yang sering dinamakan Rumpel-Leede)
positif juga.
2. Hemoglobin
Kadar hemoglobin darah dapat ditentukan dengan
bermacam-macam cara yaitu dengan cara sahli dan
sianmethemoglobin. Dalam laboratorium cara
sianmethemoglobin (foto elektrik) banyak dipakai karena
dilihat dari hasilnya lebih akurat disbanding sahli, dan lebih
cepat. Nilai normal untuk pria 13-15 gr/dl dan wanita 12-14
gr.dl.
Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya
normal atau sedikit menurun. Tetapi kemudian kadarnya
akan naik mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan
merupakan kelainan hematologi paling awal yang dapat
ditemukan pada penderita demam berdarah atau yang biasa
disebut dengan Demam Berdarah Dengue (DBD) atau DHF.

3. Hematokrit
Nilai hematokrit ialah volume semua eritrosit dalam
100 ml darah dan disebut dengan persen dan dari volume
darah itu. Biasanya nilai itu ditentukan dengan darah vena
atau darah kapiler. Nilai normal untuk pria 40-48 vol% dan
wanita 37-43 vol%. penetapan hematocrit dapat dilakukan
sangat teliti, kesalahan metodik rata-rata kurang lebih 2%.
Hasil itu kadang-kadang sangat penting untuk menentukan
keadaan klinis yang menjurus kepada tindakan darurat.
Nilai hematokrit biasanya mulai meningkat pada
hari ketiga dari perjalanan penyakit dan makin meningkat
sesuai dengan proses perjalanan penyakit demam berdarah.
Seperti telah disebutkan bahwa peningkatan nilai
hematocrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang
terjadi akibat kebocoran plasma. Akibat kebocoran ini
volume plasma menjadi berkurang yang dapat
mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik dan kegagalan
sirkulasi. Pada kasus-kasus berat yang telah disertai
perdarahan, umumnya nilai hematocrit tidak meningkat
bahkan menurun.
Telah ditentukan bahwa pemeriksaan Ht secara
berkala pada penderita DHF mempunyai beberapa tujuan,
yaitu:
a. Pada saat pertama kali seorang anak dicurigai menderita
DHF, pemeriksaan ini turut menentukan perlu atau
tidaknya anak itu dirawat.
b. Pada penderita DHF tanpa rejatan pemeriksaan
hematocrit berkala ikut menentukan perlu atau tidaknya
anak itu diberikan cairan intravena.
c. Pada penderita DHF pemeriksaan Ht berkala
menentukan perlu atau tidaknya kecepatan tetesan
dikurangi, menentukan saat yang tepat untuk
menghentikan cairan intravena dan menentukan saat
yang tepat untuk memberikan darah.

4. Trombosit
Trombosit sukar dihitung karena mudah sekali
pecah dan sukar dibedakan deari kotoran kecil. Lagi pula
sel-sel itu cenderung melekat pada permukaan asing (bukan
endotel utuh) dan menggumpal-gumpal. Jumlah trombosit
dalam keadaan normal sangat dipengaruhi oleh cara
menghitungnya, sering dipastikan nilai normal itu antara
150.000 – 400.000/μl darah. Karena sukarnya dihitung,
penelitian semukuantitatif tentang jumlah trombosit dalam
sediaan apus darah sangat besar artinya sebagai
pemeriksaan penyaring. Cara langsung menghitung
trombosit dengan menggunakan electronic particle counter
mempunyai keuntungan tidak melelahkan petugas
laboratorium (Sofiyatun, 2008).
Diagnosis tegas dari infeksi dengue membutuhkan
konfirmasi laboratorium, baik dengan mengisolasi virus
atau mendeteksi antibodi-dengue spesifik. untuk virus
isolasi atau deteksi DENV RNA dalam serum spesimen
oleh serotipe tertentu, real-time terbalik transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR), an-fase akut
spesimen serum harus dikumpulkan dalam waktu 5 hari
dari onset gejala. Jika virus tidak dapat diisolasi atau
dideteksi dari sampel ini, spesimen serum fase sembuh
diperlukan setidaknya 6 hari setelah timbulnya gejala untuk
membuat diagnosis serologi dengan tes antibodi IgM untuk
dengue dengan IgM antibodi-capture enzyme-linked
immunosorbent assay (MAC-ELISA) (Centers for Disease
Control and Prevention, 2009).
Pemeriksaan diagnosis dari infeksi dengue dapat
dibuat hanya dengan pemeriksaan laboratorium
berdasarkan pada isolasi virus, terdeteksinya antigen virus
atau RNA di dalam serum atau jaringan, atau terdeteksinya
antibody yang spesifik pada serum pasien.
Pada fase akut sample darah diambil sesegera
mungkin setelah serangan atau dugaan penyakit demam
berdarah dan pada fase sembuh idealnya sample diambil 2-
3 minggu kemudian. Karena terkadang sulit untuk
mendapatkan sampel pada fase sembuh, bagaimanapun,
sampel darah kedua harus selalu diambil dari pasien yang
dirawat pada saat akan keluar dari rumah sakit.

 Diagnosis serologis
Lima tes serologi dasar telah secara rutin digunakan
untuk diagnosis infeksi dengue; hemaglutinasi-inhibisi
(HI), complement fixation (CF), uji netralisasi (NT),
imunoglobulin M (IgM) enzyme-linked immunosorbent
assay capture (MAC-ELISA), dan imunoglobulin G
langsung ELISA. Terlepas dari uji yang digunakan,
diagnosis serologi tegas tergantung signifikan (empat kali
lipat atau lebih) kenaikan titer antibodi spesifik antara
sampel serum fase akut dan fase sembuh.
Antigen baterai untuk sebagian besar tes serologi
harus mencakup semua serotipe dengue empat virus,
flavivirus lain (seperti virus demam kuning, virus
ensefalitis Jepang, atau St Louis ensefalitis virus),
nonflavivirus (seperti virus Chikungunya atau timur kuda
virus ensefalitis ), dan idealnya, kontrol jaringan antigen
yang tidak terinfeksi.
Dari tes di atas, HI paling sering digunakan; karena
sensitif, mudah untuk dilakukan, hanya membutuhkan
peralatan minim, dan sangat tepat jika dilakukan dengan
benar. Karena antibodi HI bertahan untuk waktu yang lama
(hingga 48 tahun dan mungkin lebih lama), tes ini ideal
untuk studi seroepidemiologic.
Tes CF tidak sering digunakan untuk pemeriksaan
diagnostic serologis secara rutin. Karena lebih sulit untuk
dilakukan, dibutuhkan tenaga yang sangat terlatih, dan
karena itu tidak digunakan di sebagian besar laboratorium
dengue.

 PCR
Reverse transcriptase PCR (RT-PCR) telah
dikembangkan untuk sejumlah virus RNA dalam beberapa
tahun terakhir dan memiliki potensi untuk merevolusi
diagnosis laboratorium; untuk demam berdarah, RT-PCR
menyediakan diagnosis-serotipe spesifik yang cepat.
Metode ini cepat, sensitif, sederhana, dan direproduksi jika
dikontrol dengan baik dan dapat digunakan untuk
mendeteksi RNA virus dalam sampel manusia klinis,
jaringan otopsi, atau nyamuk. Meskipun RT-PCR memiliki
sensitivitas yang mirip dengan sistem isolasi virus yang
menggunakan C6 / 36 kultur sel, penanganan yang buruk,
penyimpanan yang buruk, dan adanya antibodi biasanya
tidak mempengaruhi hasil PCR seperti yang mereka
lakukan isolasi virus. Sejumlah metode yang melibatkan
primer dari lokasi yang berbeda dalam genom dan
pendekatan yang berbeda untuk mendeteksi produk RT-
PCR telah dikembangkan selama beberapa tahun terakhir.
Harus ditekankan, bagaimanapun RT-PCR tidak boleh
digunakan sebagai pengganti isolasi virus.
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang
tua, pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk
datang kerumah sakit adalah panas tinggi dan anak lemah.
b. Riwayat penyakit sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai
menggigil dan saat demam kesadaran composmetis.Turunnya
panas terjadi antara hari ke-3 dan ke-7 dan anak semakin
lemah. Kadang-kadang disertai keluhan batuk pilek, nyeri
telan, mual, muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, sakit
kepala, nyeri otot, dan persendian, nyeri ulu hati, dan
pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya manifestasi
perdarahan pada kult , gusi (grade III. IV), melena atau
hematemesis.

c. Riwayat penyakit dahulu


Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DHF anak
biasanya mengalami serangan ulangan DHF dengan tipe
virus lain.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat adanya penyakit DHF pada anggota keluarga yang
lain sangat menentukan, karena penyakit DHF adalah
penyakit yang bisa ditularkan melalui gigitan nyamuk aides
aigepty.
3. Riwayat Imunisasi
Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka
kemungkinan akan timbulnya koplikasi dapat dihindarkan.
4. Riwayat Gizi
Status gizi anak DHF dapat bervariasi.Semua anak dengan
status gizi baik maupun buruk dapat beresiko, apabila terdapat
factor predisposisinya.Anak yang menderita DHF sering
mengalami keluhan mual, muntah dan tidak nafsu
makan.Apabila kondisi berlanjut dan tidak disertai dengan
pemenuhan nutrisi yang mencukupi, maka anak dapat
mengalami penurunan berat badan sehingga status gizinya
berkurang.
5. Kondisi Lingkungan
Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan
lingkungan yang kurang bersih, banyak genangan air bersih
seperti kaleng bekas, ban bekas, tempat air minum burung
yang jarang diganti airnya, bak mandi jarang dibersihkan.
6. Pengkajian Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan.
DHF disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk aedes aegypti. DHF sering terjadi di daerah
yang padat penduduknya dan lingkungan yang kurang
bersih, banyak genangan air bersih seperti kaleng bekas,
ban bekas, tempat air minum burung yang jarang diganti
airnya, bak mandi jarang dibersihkan.Biasanya pada pasien
DHF mengalami perubahan penatalaksanaan kesehatan
yang dapat menimbulkan masalah dalam kesehatannya.
b. Pola nutrisi dan metabolik
Biasanya pada pasien DHF mengalami mual, muntah,
penurunan nafsu makan selama sakit, nyeri saat menelan
sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi.
c. Pola aktifitas dan latihan
Biasanya pada pasien DHF akan terganggu aktifitasnya
akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan mengalami
keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
d. Pola tidur dan istirahat
Biasanya pada pasien DHF kebiasaan tidur akan terganggu
dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien
merasa gelisah pada waktu tidur. Anak dengan DHF sering
mengalami kurang tidur karena mengalami sakit atau nyeri
otot dan persendian sehingga kuantitas dan kualitas tidur
maupun istirahatnya berkurang.
e. Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi retensi bila
dehidrasi karena panas yang meninggi, konsumsi cairan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan. kadang-kadang anak
dengan DHF mengalami diare atau konstipasi, sementara
DHF pada grade IV sering terjadi hematuria.
f. Pola reproduksi dan sexual
Pola ini menjelaskan tentang bagaimana keadaan system
reproduksi dan seksual klien, mengkaji adanya perdarahan
pervagina pada anak perempuan.
g. Pola kognitif dan perseptual
Biasanya pada penderita DHF mengalami perubahan
kondisi kesehatan dan gaya hidup yang akan mempengaruhi
pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri.
Sistem penglihatan, pendengaran, pengecap, peraba dan
penghidu tidak mengalami gangguan.Nyeri dapat menjadi
keluhan pada pola sensori.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Pada pasien dengan DHF biasanya timbul  rasa cemas,
gelisah dan rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal.
i. Pola koping dan toleransi
Biasanya pada pasien DHF stres timbul apabila seorang
pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.Anak dengan DHF biasanya merasakan cemas
dan takut terhadap penyakitnya, anak cenderung ingin
ditemani orang tua dan orang terdekat
j. Pola Hubungan dan Peran
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap
hubungan interpersonal dan peran serta mengalami
tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit,karena 
klien  harus  menjalani  perawatan  di  rumah  sakit  maka 
dapat  mempengaruhi  hubungan  dan  peran  klien  baik 
dalam  keluarga, lingkungan bermain  dan  sekolah.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien
akan menjadi cemas dan takut akan kematian, serta
kebiasaan ibadahnya akan terganggu.
7. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada pasien DHF biasanya didapatkan terjadinya
peningkatan suhu tubuh. Berdasarkan tingkatan DHF,
keadaan anak adalah sebagai berikut :

A. Grade I : Kesadaran composmetis, keadaan


umum lemah, tanda-tanda vital dan nadi lemah.
B. Grade II : Kesadaran composmetis, keadaan
umum lemah, ada perdarahan spontan ptechiae,
perdarahan gusi dan telinga, serta nadi lemah, kecil,
dan tidak teratur.
C. Grade III : Kesadaran apatis, somnolen,
keadaan umum lemah, nadi lemah, kecil dan tidak
teratur, serta takanan darah menurun.
D. Grade IV : Kesadaran coma, tanda-tanda vital:
nadi tidak teraba,tekanan darah tidak teratur,
pernafasan tidak teratur, ekstremitas dingin.
berkeringat dan kulit tampak biru. meliputi
inspeksi,palpasi, perkusi dan auskultasi dari ujung
rambut sampai ujung kaki.
b. Pemeriksaan fisik head to toe
A. Integument : Adanya ptechiae pada kulit, turgor
kulit menurun, dan muncul keringat dingin, dan
lembab, kuku sianosis atau tidak.
B. Kepala : Bentuk mesochepal, rambut hitam,
kulit kepala bersih
C. Mata : Bentuk mata simetris, konjungtiva
anemis, sclera tidak ikterik, reflek pupil isokor.
D. Telinga : Simetris, bersih tidak ada serumen,
tidak ada gangguan pendengaran
E. Hidung : Simetris, ada perdarahan hidung /
epsitaksis.
F. Mulut : Mukosa mulut kering, bibir kering,
dehidrasi, ada perdarahan pada rongga mulut, terjadi
perdarahan gusi.
G. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar
tyroid, tidak ada kekakuan leher, nyeri telan.
H. Dada
Inspeksi : Bentuk dada simetris, ada penggunaan otot
bantu pernafasan.
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Palpasi : Taktil fremitus normal
Auskultasi: Vesikuler
I. Abdomen
Inspeksi : Bentuk cembung, pembesaran hati
(hepatomegali).
Auskultasi: Bising usus 8x/menit
Perkusi : Tympani
Palpasi : Turgor kulit elastis, nyeri tekan bagian atas
J. Ekstrimitas : Sianosis, ptekie, echimosis, akral
dingin, nyeri otot, sendi dan tulang.
K. Genetalia : Bersih tidak ada kelainan di buktikan tidak
terpasang kateter
2.2.2 Diagonosa Keperawatan
1. D.0130 Hipertemia
2. D.0077 Nyeri Akut
3. D.0034 Resiko Hipovolemia
4. D.0012 Risiko Perdarahan
5. D.0039 Risiko Syok
2.2.3 Intervensi
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. D.0130 L.14134 I .12457
Hipertemia Termogulasi Edukasi Termogulasi
Definisi : Luaran Tambahan Observasi
Suhu tubuh meningkat di atas rentang a. Perfusi perifer a. Identifikasi kesiapan dan
normal. b. Status cairan kemampuan menerima informasi
c. Status kenyamanan Terapeutik
d. Status neurologis a. Sediakan materi dan media
e. Status nutrisi pendidikan kesehatan
f. Termogulasi neunatus b. Jadwalkan pendidikan kesehatan
Kriteria Hasil sesuai kesepakatan
a. Suhu tubuh membaik c. Berikan kesempatan untuk
b. Suhu kulit membaik bertanya
Edukasi
a. Ajarkan kompres hangat jika
demam
b. Ajarkan cara pengukuran suhu
c. Anjurkan penggunaan pakaian
yang dapat menyerap keringat
d. Anjurkan tetap memandikan
pasien, jika memungkinkan
e. Anjurkan membanyak minum
f. Anjurkan minum analgesic jika
merasa pusing, sesuai indikasi
2. D.0077 L.08066 I.08238
Nyeri Akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
Definisi : Luaran tambahan Observasi
Pengalaman sensorik atau emosional a. Fungsi gastrointestinal a. Identifikasi lokasi, karakteristik,
yang berkaitan dengan kerusakan b. Kontrol nyeri kualitas, frekuensidan intensitas
jaringan actual atau fungsional, dengan c. Mobilitas fisik nyeri
onset mendadak atau lambat dan d. Perfusi miokard b. Identifikasi skala nyeri
berintensitas ringan hingga berat yang e. Pola tidur c. Identifikasi nyeri non verbal
berlangsung kurang dari 3 bulan. kriteria hasil d. Identifikasi fartor yang
a. Keluhan nyeri berkurang atau menurun memperberat nyeri
b. TTV dalam batas normal Terapeutik
c. Skala nyeri menurun atau berkurang a. Berikan teknik non farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
b. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
c. Fasiliatasi istirahat dan tidur
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode dan
pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. D.0034 L.03028 L.12398
Resiko Hipovolemia Status Cairan Edukasi Nutrisi Parenteral
Definisi : Luaran Tambahan Observasi
Berisiko mengalami penurunan volume a. Keseimbangan cairan a. Identifikasi kesiapan dan
cairan intravascular, interstisial, dan/atau b. Keseimbangan elektrolit kemampuan menerima informasi
intraselular. c. Status nutrisi Terapeutik
Kriteria Hasil a. Sediakan materi dan media
a. Frekuensi nadi membaik pendidikan kesehatan
b. Tekanan darah membaik b. Jadwalkan pendidikan kesehatan
c. Tekanan nadi membaik sesuai kesepakatan
d. Kadar Hb membaik c. Berikan kesempatan untuk
e. Kadar Ht membaik bertanya
Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemberian nutrisi parenteral
b. Jelaskan potensi efek samping
dan komlikasi nutrisi parenteral
c. Jelaskan hal-hal yang harus
diperhatikan selama menjalani
terapi parenteral (mis. Kondisi
lokasi akses vena dan keadaan
selang)

4. D.0012 L.02017 L.12444


Risiko Perdarahan Tingkat Perdarahan Edukasi Proses Penyakit
Berisiko mengalami kehilangan darah Luaran Tambahan Observasi
baik internal (terjadi di dalam tubuh) a. Kontrol resiko a. Identifikasi kesiapan dan
maupun ekternal (Terjadi hingga keluar b. Penyembuhan luka kemampuan menerima informasi
tubuh). c. Status cairan Terapeutik
d. Status antepartum a. Sediakan materi dan media
e. Status intrapartum pendidikan kesehatan
f. Status pascapartum b. Jadwalkan pendidikan kesehatan
g. Tingkat cidera sesuai kesepakatan
h. Tingkat jatuh c. Berikan kesempatan untuk
Kriteria Hasil bertanya
a. Hemoptisis menurun Edukasi
b. Hematuria menurun a. Jelaskan penyebab dan faktor
c. Hematemesis menurun resiko penyakit
b. Jelaskan proses ptofisiologi
munculnya penyakit
c. Jelaskan tanda dan gejala yang
ditimbulkan oleh penyakit
d. Ajarkan cara meredakan atau
mengatasi gejala yang dirasakan
5. D.0039 L.03032 I.03098
Risiko Syok Tingkat Syok Manajemen Cairan
Definisi : Luaran Tambahan Observasi
Berisiko mengalami ketidakcukupan a. Keseimbangan asam-basa a. Monitor status hidrasi (mis.
aliran darah ke tubuh yang dapat b. Perfusi perifer Frekuensi nadi, kekuatan nadi,
mengakibatkan disfungsi seluler yang c. Respons alergi sistemik akral, pengisian kapiler,
mengancam jiwa. d. Status cairan kelembapan mukosa, turgor kulit,
e. Status sirkulasi tekanan darah)
f. Tingkat infeksi b. Monitor berat badan harian
Kriteria Hasil c. Monitor berat badan sebelum dan
a. Akral dingin sesudah dianalisis
b. pucat d. Monitor hasil laboratorium (mis.
Hematokrit, Na, K, CL, berat
jenis urine, BUN)
Terapeutik
a. Catat intake-output dan hitung
balans cairan 24 jam
b. Berikan asupan cairan, sesuai
kebutuhan
c. Berikan cairan intravena, jika
perlu
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian diuretik,
jika perlu
2.2.4 Implementasi
Implementasi yang merupakan komponen dari proses
keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana
tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan.
Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan keperawatan.
Namun demikian, dibanyak lingkungan perawatan kesehatan,
implementasi mungkin dimulai secara langsung setelah pengkajian.
(Potter &Perry, 2005)
2.2.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari keperawatan


dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari
rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam evaluasi perawat
seharusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan
menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang ingin dicapai
serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan
pada kriteria hasil.(Christiana, 2012).
Menurut Nursalam, 2011 , evaluasi keperawatan terdiri dari
dua jenis yaitu :
a. Evaluasi formatif. Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan
dimana evaluasi dilakukan sampai dengan tujuan tercapai
b. Evaluasi somatif , merupakan evaluasi akhir dimana dalam
metode evaluasi ini menggunakan SOAP
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengue Haemorhagic Fever adalah penyakit yang menyerang anak dan
orang dewasa yang disebabkan oleh virus dengan manifestasi berupa demam akut,
perdarahan, nyeri otot dan sendi. Dengue adalah suatu infeksi Arbovirus
(Artropod Born Virus) yang akut ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegepty atau oleh
Aedes Albopictus (Titik Lestari, 2016).

Tanda-tanda peringatan terjadi 3-7 hari setelah gejala pertama dalam


hubungannya dengan penurunan suhu (di bawah 38 ° C / 100 ° F) dan meliputi:
sakit parah perut, muntah terus menerus, napas cepat, gusi berdarah, kelelahan,
kegelisahan dan darah di muntah. 24-48 jam berikutnya dari tahap kritis dapat
mematikan; perawatan medis yang tepat diperlukan untuk menghindari
komplikasi dan risiko kematian.

3.2 Saran

1.1.1 Bagi petugas kesehatan atau instansi kesehatan agar lebih


meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya pada DHF untuk
pencapaian kualitas keperawatan secara optimal dan sebaiknya proses
keperawatan selalu dilaksanakan secara berkesinambungan.
1.1.2 Bagi klien dan keluarga, Perawatan tidak kalah pentingnya dengan
pengobatan karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa
perawatan yang sempurna maka penyembuhan yang diharapkan tidak
tercapai, oleh sebab itu perlu adanya penjelasan pada klien dan
keluarga mengenai manfaat serta pentingnya kesehatan.
1.1.3 Bagi mahasiswa keperawatan, diharapkan mampu memahami dan
menerapkan asuhan keperawatan yang benar pada klien dengan DHF.
DAFTAR PUSTAKA

Sodikin. 2012. Prinsip Perawatan Demam Pada Anak. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Demam Berdarah Dangue di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI

Anda mungkin juga menyukai