PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit rabies merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf yang
disebabkan oleh virus rabies. Penyakit anjing gila ini mempunyai sifat zoonotik
yaitu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan pada manusia. Penyakit anjing
gila atau rabies ini bisa menular kepada manusi melalui gigitan. Rabies berasal
dari kata latin “rabere” yang berarti “gila”, di Indonesia dikenal sebagai
penyakit anjing gila. Rabies merupakn suatu penyakit hewan menular akut
yang bersifat zoonosis (dapat menular ke manusia). Penyakit ini tidak saja
dampak kematian manusia yang ditimbulkannya tetapi juga dampak psikologis
(kepanikan, kegelisaan, kekhawatiran, kesakitan dan ketidaknyamanan) pada
orang-orang yang terpapar serta kerugian ekonomi pada daerah yang tertular
seperti biaya pendidikan, pengendalian yang harus dibelanjakan pemerintah
serta pendapatan negara dan masyarakat hilang akibat pembatalan kunjungan
wisatawaan.
1
diprioritaskan untuk dikendalikan di Indonesia. Kabupaten Sukabumi masih
merupakan daerah yang tertular rabies dengan status kejadian luar biasa (KLB)
(Bappeda Prov Jabar, 2016 Menurut data dari Dinas Peternakan Kabupaten
Sukabumi, dari tahun 2008 hingga tahun 2016 telah terjadi 77 kasus gigitan,
dengan rincian 38 kasus positif rabies, 37 kasus suspek rabies dan 2 kasus tidak
diketahui. Bulan Januari 2017 sampai September 2017 masih ada 19 kasus
gigitan, yang terdiri atas 5 kasus positif rabies, 8 kasus suspek rabies dan 6
kasus belum diketahui.
Kesehatan dan Dinas Peternakan Propinsi Bali, serta Balai Besar Veteriner
Denpasar (Tabel 1). Data dimasukkan dan dikelola dalam spreadsheet,
kemudian dilakukan penilaian terhadap kualitas dan validitas data. Data
dianalisa secara deskriptif dan analitik menggunakan Epi Info 3.5.38. Asosiasi
antara jenis kelamin dan status vaksinasi pada hewan dihitung menggunakan
odd rasio dengan 95% confidenceintervals . Ditetapkan sebagai kasus apabila
sampel hewan diuji positif dengan Fluorescent Antibody Test (FAT).
Geographic Information System (GIS) digunakan untuk menggambarkan pola
spatial dan penyebaran rabies di Propinsi Bali.
2
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui diagnosis rabies seawal
mungkin dengan memahami sifat-sifat virus penyebab, patogenesis, gejala
klinik dan diagnosis agar angka mortalitas dapat dikurangi. Tulisan ini
menggunakan kajian kepustakaan dan data penelitian lainnya dengan
pendekatan deskriptif, eksploratif. Penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai hukum kesehatan khususnya hukum
penanganan wabah dan penyakit menular. Penting sekali bagi masyarakat
untuk mengetahui bahwa dalam penanganan penyakit menular khususnya yang
berasal dari hewan terdapat aspek-aspek ilmu hukum dan koridor-koridor etika
dan peraturan yang harus dicermati dengan baik.
B. Rumusan Masalah
3
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
D. Manfaat
Mahasiswa lebih mengetahui tentang penyakit rabies itu sendiri. Baik dari
segi defines, etiologi, patologi, epidemologi, integritas keislaman, penularan,
penanggulangan, penyakit rabies dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
penyakit rabies
4
BAB 2
PEMBAHASAN
Rabies pertama kali ditemukan pada 2000 tahun SM, yaitu ketika
Aristoteles menemukan bahwa anjing dapat menularkan infeksi kepada
anjing yang lain melalui gigitan anjing yang terinfeksi virus rabies, Louis
Pasteur mengobatinya dengan vaksin dari medulla spinalis anjing tersebut.
Hal ini menjadikannya orang pertama yang mendapatkan imunitas, karena
anak tersebut tidak menderita rabies. Kemudian pada tahun 1903 ditemukan
badan Negri yang bersifat diagnostic. Pada tahun 1940-an sudah dimulai
penggunaan vaksin rabies pada anjing penambahan globulin imun rabies
untuk manusia setelah pemaparan pengobatan vaksinasi dilakukan pada tahun
1954. Lalu pada tahun 1958 dilakukan penumbuhan virus rabies dalam
biakan sel pada tahun 1959 dilakukan pengembangan tes antibody fluoresen
diagnostic.
5
sama halnya dengan akibat gigitan atau cakaran yang juga dapat menularkan
infeksi.
Faktor yang mendapat perhatian dalam studi ini adalah faktor perilaku
yang mencakup pengetahuan, sikap, dan praktik dalam pemeliharaan anjing.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dan faktor risiko
pengetahuan, sikap, dan praktik pemeliharaan anjing dengan kejadian rabies
pada anjing. 26 Jeany Ch. Wattimena dan Suharyo / KEMAS 6 (1) (2011) 24-
29 Metode Jenis penelitian ini adalah kendali kasus. Populasi sasaran dalam
penelitian ini adalah semua pemilik anjing di kota Ambon yang
memeriksakan sampel kepala anjingnya ke Laboratorium Kesehatan Hewan
Tipe B Ambon dan anjing tersebut terbukti positif rabies, sehingga secara
umum simpulan akan diterapkan pada populasi tersebut. Populasi sasaran
sejumlah 84 orang dengan besar sampel minimal yang harus diambil yaitu 63
sampel. Tetangga dari kelompok kasus digunakan sebagai kendali. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah acak sederhana.
Anjing yang positif rabies diketahui melalui pemeriksaan sampel otak
dengan metode seller. Sedangkan kelompok kontrol akan dibatasi pada yang
bertempat tinggal berada dalam radius 10 km dari kasus, berumur 20 - 60
tahun, pendidikan terakhir adalah SMU/K atau lebih, dan memiliki satu ekor
anjing peliharaan atau lebih yang masih hidup pada saat penelitian dilakukan
dan berdasarkan hasil observasi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit
rabies antara lain air liur berlebihan, berlari tanpa tujuan, sensitif terhadap
suara dan cahaya, dan suka menggigit. Instrumen untuk pengambilan data
adalah kuesioner (sebagai pedoman wawancara) untuk mengukur
pengetahuan, sikap, dan praktik. Data diperoleh secara langsung melalui
9
wawancara. Untuk mengetahui adanya hubungan antara pengetahuan, sikap
dan praktik pemeliharaan anjing dengan kejadian rabies pada anjing maka
dilakukan uji chi square (x2 ) terhadap data yang diperoleh pada tingkat
kepercayaan 95%. Sedangkan untuk melihat kecenderungan besarnya risiko
pengetahuan, sikap, dan praktik pemeliharaan anjing terhadap kejadian rabies
pada anjing digunakan penghitungan odds ratio.
Hasil Diantara para pemilik anjing yang menjadi responden penelitian
sebagian besar berusia 51– 60 tahun yaitu sebanyak 29,2%, berjenis kelamin
laki-laki sebanyak 74,6%, pendidikan akhir tamat SLTA yaitu sebanyak
74,6%, dan mempunyai pekerjaan sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 28,5%.
Tabel 1. Karakteristik Responden Karakteristik N = 130 % Umur (tahun)
20 – 30 25 19,2 31 – 40 32 24,6 41 – 50 35 26,9 51 – 60 38 29,2 Jenis
Kelamin Laki-laki 97 74,6 Perempuan 33 25,4 Pendidikan Akhir Tamat
SLTA 97 74,6 Tamat Perguruan Tinggi 33 25,4 Pekerjaan Pegawai Negeri
Sipil 36 27.7 TNI / POLRI 1 0.8 Wiraswasta 37 28.5 Buruh 1 0.8 Pensiunan
12 9.2 Ibu Rumah Tangga 13 10.0 Lain-lain 30 23.1 Pengetahuan responden
yang termasuk kategori baik yaitu sebanyak 52,3%.
Rabies adalah penyakit zoonosis dan telah dikenal sejak dulu dapat
menular ke manusia melalui gigitan hewan terutama anjing. Penyakit rabies
dikategorikan sebagai salah satu penyakit zoonosis yang paling menakutkan
bagi masyarakat dunia (Cliquet dan Picard, 2004). Tahun 1998, menurut
WHO (2001), 55.000 orang meninggal karena penyakit rabies dan pada tahun
2011, sebanyak 11.000 orang meninggal di dunia karena rabies. Korban
terbanyak dialami oleh warga Asia (Knobel et al., 2005). Mattos dan
Rupprecht (2001), menyatakan bahwa penyakit rabies menduduki urutan
ke12 daftar penyakit yang mematikan.
10
Di Indonesia, penyakit rabies bersifat endemis dan telah menyerang 26
dari 34 provinsi (Batan et al., 2014). Kasus rabies pertama kali dilaporkan di
Jawa Barat pada kerbau tahun 1884, pada anjing tahun 1889 dan pada
manusia tahun 1894 (WHO, 2001). Secara rataan setiap tahun di Indonesia
terjadi 150- 300 kematian manusia akibat rabies, sehingga rabies menjadi
salah satu penyakit prioritas secara nasional (Nugroho et al., 2013). Bali
merupakan suatu wilayah yang bebas rabies sebelum tahun 2008. Namun,
sejak 18 Desember 2008 Bali dinyatakan positif rabies dan berstatus kejadian
luar biasa (KLB). Rabies pertama kali berjangkit pada manusia di Desa
Ungasan dan pada anjing di Desa Kedonganan, Kuta Selatan, Badung
(Supartika et al., 2009; Windiyaningsih et al., 2009). Berdasarkan kajian
kasus rabies pada manusia dan hewan, diperkirakan penyakit rabies masuk ke
Semenanjung Bukit Badung pada April 2008 (Putra et al., 2009a ). Penyakit
rabies dalam tempo tiga tahun telah menyebar ke seluruh daerah Bali (Batan
et al., 2014). Penyebaran rabies di Kabupaten Bangli pertama kali terjadi
pada anjing di Desa Bebalang, Kecamatan Bangli pada bulan Oktober tahun
2009 sedangkan, pada manusia dimulai dengan terdapatnya tiga korban
rabies yang menulari tiga wilayah di Bangli yaitu di Banjar Tambahan
Tengah, Desa Jehem, Kecamatan Tembuku pada tanggal 20 April 2010,
kemudian menyebar ke Banjar Pelesetan, Desa Suter, Kecamatan Kintamani
(16 Mei 2010), sampai ke Banjar Tabu, Desa Songan-A, Kecamatan
Kintamani (20 Februari 2011) (Andriani et al., 2016). Setelah itu, kasus
rabies paling banyak ditemukan di Desa Kawan, Kecamatan Bangli,
Kabupaten Bangli yakni delapan kasus (Batan et al., 2014). Anjing
bertanggung jawab terhadap 94% kasus rabies pada manusia oleh karena itu,
pencegahan kasus rabies pada manusia sangat tergantung pada pengendalian
rabies pada anjing (Suzuki et al., 2008; Yousaf et al., 2012). Dengan adanya
program penyuluhan, vaksinasi, serta eliminasi hewan pembawa rabies
(anjing), jumlah kasus gigitan anjing rabies atau anjing diduga rabies pada
11
tahun 2011 mengalami penurunan dibanding tahun 2010 (Batan et al., 2014).
Walaupun terjadi penurunan kasus rabies, dampak rabies sangat luas, ditinjau
dari aspek kesehatan, sosial dan budaya sampai pada keamanan dan
ketertiban masyarakat mengingat Bali sebagai daerah tujuan wisata Nasional
dan Internasional. Penyakit rabies merupakan penyakit yang tidak boleh
diabaikan.
Penyakit rabies ini sangat berdampak besar pada masyarakat kurang
mampu yang hidup di daerah pedesaan khususnya pada anak-anak (Knobel et
al., 2005). Anakanak sangat berpeluang tertular rabies, karena 60% orang
yang cidera karena gigitan anjing adalah anak-anak (Eng et al., 1993). Hal ini
dikarenakan anak-anak sangat mencintai hewan khususnya anjing. Ukuran
tubuh mereka relatif kecil, mereka tidak berpengalaman dan gegabah dalam
kontak dengan hewan, dan mereka tidak mampu menghindar atau
menghadapi serangan hewan penular rabies (HPR), sehingga mereka menjadi
korban rabies.
Semua vaksin rabies untuk manusia mengandung virus rabies yang telah
diinaktifkan.
12
1. Vaksin sel diploid manusia (HDCV) Untuk mendapkatkan suatu suspensi
virus rabies yang bebas dari protein asing dan protein sistem saraf, virus
rabies diadaptasi untuk tumbuh dalam lini sel fibroblast normal manusia
WI-38. Preparasi virus rabies dipekatkan oleh ultrafiltrasi dan diinaktivasi
dengan β-propiolakton. Tidak ada reaksi ensefalitik ataupun anafilaktik
serius yang pernah dilaporkan.
2. Vaksin rabies, terabsorbsi (RVA) Suatu vaksin yang dibuat dalam lini sel
diploid yang berasal dari sel-sel paru janin kera rhesus diijinkan di AS
tahun 1988. Virus vaksin ini diinaktivasi oleh βpropiolakton dan
dipekatkan oleh adsorbsi dengan aluminium fosfat.
3. Vaksin sel embrio ayam yang dimurnikan (PCEC) Vaksin ini dipreparasi
dari strain virus rabies fixed flury LEP yang tumbuh dalam fibroblast
ayam. Diinaktivasi oleh β-propiolakton dan dimurnikan lebih lanjut oleh
sentrifugasi zonal. Universitas Sumatera Utara
4. Vaksin jaringan saraf Dibuat dari otak domba, kambing atau tikus yang
terinfeksi dan digunakan di banyak bagian dunia termasuk Asia, Afrika
dan Amerika Selatan. Menimbulkan sensitisasi pada jaringan saraf dan
menghasilkan ensefalitis pasca vaksinasi (suatu penyakit alergi) dengan
frekuensi subscansial (0,05%). Perkiraan efektivitasnya pada orang yang
digigit oleh hewan buas/gila bervariasi dari 5 sampai 50%.
13
6. Virus hidup yang dilemahkan Virus hidup yang dilemahkan yang
diadaptasi untuk tumbuh pada embrio ayam (misalnya, strai flury)
digunakan untuk hewan tetapi tidak untuk manusia. Kadang-kadang
vaksin demikian bisa menyebabkan kematian oleh rabies pada kucing
atau anjing yang disuntik. Virus rabies yang tumbuh pada biakan sel
hewan yang berlainan telah dipakai sebagai vaksin untuk hewan piaraan.
1. Pencegahan Primer
a. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing,
kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
Universitas Sumatera Utara
b. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang
masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies.
c. Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies
kedaerahdaerah bebas rabies.
d. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70%
populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.
e. Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing
yang telah divaksinasi.
f. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan dengan
jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.
g. Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus
didaftarkan ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas
Peternakan setempat.
h. Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih
dari 2 meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat
14
dengan rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus
menggunakan berangus (beronsong).
i. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita
rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama
observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk
dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa.
j. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan
sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
k. Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies
sekurang-kurangnya 1 meter.26,7
semua orang mengetahui hewan yang namanya anjing. Hewan ini biasa
ditemukan disekitar masyarakat. Dewasa ini anjing sengaja dimiliki dan
dibiarkan keluar masuk rumah, bahkan ada yang memberlakukannya lebih
istimewa dari kucing. Interaksi hewan anjing ini dengan pemiliknya atau
bejana-bejana yang ada di rumah sang pemilik pasti terjadi, lalu bagaimana
syariat Islam menyikapi hal ini terkhusus permasalahan kenajisan anjing dan
hukum-hukum seputar bejana-bejana yang dijilat hewan tersebut.
طيِبَاتُ ۙ َو َما َعلَّ ْمت ُ ْم ِمنَ ْال َج َو ِارحِ ُمك َِلبِينَ تُعَ ِل ُمونَ ُه َّن ِم َّما َّ يَ ْسأَلُونَكَ َماذَا أ ُ ِح َّل لَ ُه ْم ۖ قُ ْل أ ُ ِح َّل لَ ُك ُم ال
ب
ِ سا َ س ِري ُع ْال ِح َ ََّللا َّ س ْكنَ َعلَ ْي ُك ْم َواذْ ُك ُروا اس َْم
َّ َّللاِ َعلَ ْي ِه ۖ َواتَّقُوا
َّ َّللاَ ۚ إِ َّن َ َّللاُ ۖ فَ ُكلُوا ِم َّما أ َ ْم
َّ َعلَّ َم ُك ُم
16
diajarkan Allâh kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya
untukmu, dan sebutlah nama Allâh atas binatang buas itu (waktu
melepaskannya) dan bertakwalah kepada Allâh, Sesungguhnya Allâh
amat cepat hisab-Nya.” [Al-Mâidah/5:4].
Hal ini karena hewan buruan itu mesti terkena liur anjing, sehingga adanya
penegasan tentang kehalalan (binatang buruan yang berhasil ditangkap oleh
anjing itu-red) menunjukkan sucinya air liur anjing (yang menangkapnya-
red). Apalagi tidak ada perintah untuk mencuci bagian yang tersentuh mulut
anjing pada hewan buruan tersebut. [Lihat ‘Aridhatul Ahwadzi, Ibnul Arabi
1/35]
Pendapat ini pula yang dipegang oleh sebagian besar Ulama kalangan
Hanabilah. [Lihat al-Fiqh al-Islâmi wa ‘Adilatuhu,1/305, Mughni al-Muhtâj,
1/78, Kasy-syâf al-Qanna` 1/ 208, Al-Mughni 1/52]
17
Sucinya bejana salah seorang diantara kalian yang dijilat anjing adalah
dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan
tanah.”[Mutafaqqun‘alaih].
Sisi pendalilannya:
a. Lafazh “thuhûru” (suci atau kesucian) itu tidak ada kecuali bersuci dari
hadats atau najis. Dalam konteks bejana yang dijilat anjing, tidak
mungkin ada hadats dalam bejana, jika tidak ada hadats berarti hanya
ada bersuci dari najis.
b. Perintah mencuci bejana padahal yang terkena oleh air liur anjing
adalah air; sebab seandainya yang terkena adalah bejana, tentu
dikatakan:
َاء أَ َح ِد ُك ْم
ِ إِذَا َولَ َغ فِ ْي إِن
18
Ketiga: Air Liur Anjing Yang Najis Dan Tubuhnya Tidak Najis.
Pendapat yang menghukumi bahwa yang najis dari anjing hanya air liurnya
saja, sedangkan anggota tubuh lainnya suci. Ini adalah pendapat jumhûr
(mayoritas) Ulama. [Lihat Fiqh ‘Ala Madzâhibil ‘Arba’ah, 1/18, Majmû’ al
Fatâwâ, 5/51 dan lainnya]
Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya
sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah.” [Mutafaqqun ‘alaih].
Hadits ini menunjukkan bejana menjadi najis dengan sebab air liur.
Hal ini sama dengan pendapat yang kedua dalam masalah najisnya air liur
anjing.
2. Perintah mencucinya tujuh kali dalam riwayat Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu dan delapan kali dalam riwayat Ibnu al-Mughaffal
Radhiyallahu anhu salah satunya dengan tanah merupakan dalil najisnya
air liur anjing.
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang menyerang sistem saraf
pusat sehingga dapat berakibat fatal.1 Penyakit ini disebabkan oleh virus
dari genus Lyssavirus famili Rhabdovirus dan dapat menyerang ke semua
spesies mamalia termasuk manusia.
20
B. Saran
Saran penulis terhadap pembaca khusunya yang memiliki hewan
peliharaan yakni kucing, anjing, kera dan hewan laiinya yang rentan
terkena virus rabies agar dapat menjadi seorang pemelihara yang baik
dengan selalu melakukan pemeriksaan hewan pemeliharaan dan
memberikan vaksin secara teratur. Selain itu apabila terdapat kasus gigitan
dari hewan yang diduga terjangkit rabies, secepatnya dilaporkan ke dinas
kesehatan atau pihak terkait agar dapat meminimalisir terjadinya wabah
dari penyakit tersebut.
21