Disusun oleh:
Nama : Atsmarina Widyadhari
NIM : 14/366094/KH/8147
I. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mengenali agen penyebab penyakit rabies, morfologi, biologi molekuler, dan
karakter virus, serta mekanisme infeksi dan patogenesisnya, gejala klinis, lesi
makroskopis, dan mikroskopis yang ditimbulkan oleh virus rabies.
2. Memahami konsep sampling dari berbagai uji diagnostik, melakukan diagnosis
patologi, virologi, serologi, dan molekular serta analisis hasil pemeriksaan
laboratorium tersebut untuk kepentingan diagnostik.
3. Mengerti tata kelola penanganan kasus rabies, mampu menyusun program
vaksinasi rabies pada hewan dan program pencegahan lainnya.
Rabies
III. PEMBAHASAN
Penyakit rabies merupakan salah satu jenis penyakit zoonosis yang menyerang
susunan syaraf pusat. Rabies masih dianggap penyakit penting di Indonesia karena
bersifat fatal dan dapat menimbulkan kematian serta berdampak psikologis bagi
orang yang terpapar. Rabies adalah infeksi virus akut yang menyerang sistem saraf
pusat manusia dan mamalia. Penyakit ini sangat ditakuti karena prognosisnya
sangat buruk. Pada pasien yang tidak divaksinasi, kematian mencapai 100%. Di
Indonesia, sampai tahun 2007, rabies masih tersebar di 24 propinsi, hanya 9
propinsi yang bebas dari rabies, yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI
Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTB, Bali, Papua Barat dan
Papua.
A. Karakter Virus
Rabies adalah virus yang tergolong dalam Lyssa virus dan famili
Rhabdoviridae. Morfologi partikel virus berbentuk seperti peluru dengan
diameter 75 m dan panjangnya antara 100-300 m, Variasi ukuran ini bisa
dibedakan diantara strain virus rabies. Struktur virus tersusun dari envelop
yang terdiri dari matrix/membran dan glycoprotein. Genome virus rabies
berupa Ribonucleic acid (RNA) single-stranded, anti-sense, tidak bersegmen,
dengan berat molekul 12 kb yang terdiri dari 50 nucleotides beserta gen
nucleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrix protein (M), glycoprotein (G)
dan the large protein (L).
Sampai saat ini sudah dikenal 7 genotip Lyssavirus dimana genotip 1
merupakan penyebab rabies yang paling banyak di dunia. Virus ini bersifat
labil dan tidak viable bila berada diluar inang. Virus menjadi tidak aktif bila
terpapar sinar matahari, sinar ultraviolet, pemanasan 1 jam selama 50 menit,
pengeringan, dan sangat peka terhadap pelarut alkalis seperti sabun,
desinfektan, serta alkohol 70%. Reservoir utama rabies adalah anjing
domestik.
Siklus infeksi dan replikasi virus rabies ke membran sel induk semang
terjadi melalui beberapa tahapan yaitu adsorpsi (perlekatan virus), penetrasi
(virus entry), pelepasan mantel (uncoating/envelope removal), transkripsi
(sintesis mRNA), translasi (sintesis protein), (G-protein gikoslasi), replikasi
(produksi genomic RNA dari intermediate strand), perakitan (assembly) dan
budding.
B. Patogenesis
Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui
jilatan atau gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera,
musang, serigala, raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka
atau melalui mukosa utuh seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia
eksterna, atau transplantasi kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang
ditemukan. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2
minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian
bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan
perubahanperubahan fungsinya. .
Tingkat infeksi dari kematian paling tinggi pada gigitan daerah wajah,
menengah pada gigitan daerah lengan dan tangan, paling rendah bila gigitan
ditungkai dan kaki. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri
dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama predileksi terhadap
sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak
diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam
serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan
demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan
berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan
sebagainya.
Masa inkubasi pada anjing dan kucing rata rata sekitar 2 minggu tetapi
dilaporkan dapat terjadi antara 10 hari-8 minggu dan pada manusia 2-3
minggu, dengan masa yang paling lama 1 (satu) tahun, tergantung pada:
a. Jumlah virus yang masuk melalui luka
b. Dalam atau tidaknya luka
c. Luka tunggal atau banyak
d. Dekat atau tidaknya luka dengan susunan syaraf pusat
e. Perlakuan luka pasca gigitan
C. Gejala Klinis
Gejala yang terlihat pada umumnya adalah berupa manifestasi
peradangan otak (ensefalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia.
Pada rnanusia keinginan untuk menyerang pada orang lain umumnya tidak
ada. Gejala penyakit pada anjing dan kucing hampir sama. Gejala penyakit
dikenal dalam 3 bentuk :
1. Bentuk ganas (furious rabies), masa eksitasi panjang. kebanyakan akan mati
dalam 2-5 hari setelah tanda-tanda gila terlihat.
2. Bentuk diam atau dungu (dumb rabies), paralisis cepat terjadi, masa
eksitasi pendek
3. Bentuk asimptomatis, hewan tiba-tiba mati tanpa menunjukan gejala- gejala
sakit.
Tanda-tanda yang sering terlihat sebagai berikut :
a. Pada fase prodromal hewan mencari tempat yang dingin dan menyendiri,
tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervous. Refl ex komea berkurang/
hilang, pupil meluas dan kornea kering, tonus urat daging bertambah (sikap
siaga/kaku).
b. Pada fase eksitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya
dan memakan benda asing. Dengan berlanjut nya penyakit, mata menjadi
keruh dan selalu terbuka diikuti inkoordinasi dan konvulsi.
c. Pada fase paralisis maka kornea mata kering dan mata terbuka dan kotor,
semua reflex hilang, konvulsi dan mati.
D. Patologi
Biasanya tidak ada gambaran asca mati yang jelas, jikapun ditemukan
biasanya berupa efek sekunder dari gejala syaraf yang ada. Karkas biasanya
mengalami dehidrasi dan dalam keadaan buru. Kadang kadang ditemukan
bekas trauma, misalnya gigi patah. Pada karnivora sering ditemukan benda-
benda asing (corpora aliena) dalam lambung berupa rambut. kayu dan lain-
lain.
Secara mikroskopis perubahan yang paling signifikan adalah lesi pada
susunan syaraf pusat dan spinal cord. Pada otak biasanya ditemukan
perivascular cuffing, gliosis focal atau difus, degenerasi neuron dan inclusion
bodies (Negri bodies) intrasitoplasmik pada neuron. Negri bodies ditemukan
dalam berbagai ukuran dan biasanya cukup besar pada anjing dan sapi dan
relatif lebih kecil pada kucing. Negri bodies paling mudah ditemukan pada
barisan neuron pada hipocampus atau pada sel Purkinje pada cerebellum.
Negri bodies dapat juga ditemukan pada sel glia, sel ganglion pada kelenjar
saliva dan kelenjar adrenal serta pada retina mata.
E. Sampling Virus
Virus dalam jaringan yang tertulari bila disimpan pada glyserin yang
tidak diencerkan virus akan tahan beberapa minggu dan bisa tahan berbulan-
bulan pada suhu 4 C. Di dalam suspensi kurang dan 10 % virus akan cepat
mati kecuali ditambahkan protein (2% serum Cavia/Kelinci atau 0,75% serum
Albumin sapi) Untuk menjaga kelangsungan hidup dalam suspensi sebaiknya
disimpan suhu pada -70C. Pada pH 5-10 virus relatif stabil tetapi virus mudah
mati oleh sinar matahari, pemanasan pasteur (56C selama 30 menit), terkena
cahaya ultra violet dan HgCI. Keadaan asam (pH 10) dan oleh zat pelarut
lemak seperti ether, khloroform, aceton, larutan sabun, etanol 45 - 70%,
preparat Iodine dan komponen ammonium kuartener. Virus mudah diaktivasi
oleh -propiolaktone dan dalam fenol 0,25 - 0.5-% virus masih resisten dan
memerlukan beberapa hari sampai menjadi inaktif sempurna.
Virus yang baru diisolasi dari alam dari kasus gigitan hewan disebut
dengan street virus. Strain demikian rnemperlihatkan masa inkubasi yang
panjang dari variabel yang secara teratur menghasilkan inclusion bodies intra-
sitoplasmik. Street virus yang mengalami pasase berulang-ulang kali akan
menghasilkan virus yang tetap (fixed virus). Fixed virus berkembang biak
cepat sekali dan masa inkubasinya menjadi lebih pendek. Pada tahap ini
inclusion bodies sering sulit ditemukan. Contoh fixed virus atau strain yang
telah mengalami modifikasi antara lain: Street Alabama Dufferia (SAD),
Evelyn Roliteriki Abilseth (ERA), Challence Virus Standard (CVS), Low Egg
Passage (LEP) dan HEP (High Egg Passage). Fixed virus dapat tumbuh secara
invitro pada berbagai sel antara lain pada Baby Hamster Kidney (BHK-21),
Chick embryo Related (CER), neuroblastoma dan Human Diploid Cell.
H. Diagnosa
Untuk mendiagnosa penyakit rabies selain memperhatikan riwayat
penyakit, gejala klinis dan gambaran patologi, pemeriksaan spesimen secara
laboratoris perlu dilakukan. Spesimen segar dapat berupa kepala utuh atau
otak. Kepala dimasukkan dalam suatu kontainer dalam kondisi dingin (berisi
es). Otak (hippocampus) diambil secara aseptis, dimasukkan ke dalam larutan
gliserin 50% dan disimpan di dalam termos es. Sebagian otak disimpan dalam
buffer formalin.
a. Mikroskopis untuk melihat dan menentukan adanya Negri bodies dapat
dilakukan dengan cara :
1. Pewarna Sellers.
2. FAT (Flourescence Antibody Technique)
3. Histopatologis
b. Isolasi virus. Dilakukan dengan menyuntikan suspensi otak pada mencit
atau inokulasi pada biakan sel neuroblastoma. Identitas virus ditentukan
dengan FAT, uji virus netralisasi atau dengan cara pewarnaan.
c. Serologis : AGPT, FAT, serum netralisasi (SN), CFTdan ELISA.
d. Molekuler : RT-PCR, real time PCR dan sekuensing.
Selama periode awal infeksi rabies, temuan laboratorium tidak spesifik.
Seperti temuan ensefalitis oleh virus lainnya, pemeriksaan cairan serebrospinal
menunjukkan pleositosis dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat,
glukosa umumnya normal. Untuk mendiagnosis rabies antemortem diperlukan
beberapa tes, tidak bisa dengan hanya satu tes. Tes yang dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi kasus rabies antara lain deteksi antibodi spesifik virus
rabies, isolasi virus, dan deteksi protein virus atau RNA. Spesimen yang
digunakan berupa cairan serebrospinal, serum, saliva, dan biopsi kulit. Pada
pasien yang telah meninggal, digunakan sampel jaringan otak yang masih
segar. Diagnosis pasti postmortem ditegakkan dengan adanya badan Negri
pada jaringan otak pasien, meskipun hasil positif kurang dari 80% kasus.
Tidak adanya badan Negri tidak menyingkirkan kemungkinan rabies. Badan
Negri adalah badan inklusi sitoplasma berbentuk oval atau bulat, yang
merupakan gumpalan nukleokapsid virus. Ukuran badan Negri bervariasi, dari
0,25 sampai 27 m, paling sering ditemukan di sel piramidal Ammons horn
dan sel Purkinje serebelum.
Rabies perlu dipertimbangkan jika terdapat indikator positif seperti
adanya gejala prodromal nonspesifik sebelum onset gejala neurologik,terdapat
gejala dan tanda neurologik ensefalitis atau mielitis seperti disfagia,
hidrofobia, paresis dan gejala neurologi yang progresif disertai hasil tes
laboratorium negatif terhadap etiologi ensefalitis yang lain. Bentuk paralitik
rabies didiagnosis banding dengan sindrom Guillain-Barre. Pada sindrom
Guillain-Barre, sistem saraf perifer yang terkena adalah sensorik dan motorik,
dengan kesadaran yang masih baik. Spasme tetanus dapat menyerupai gejala
rabies, namun tetanus dapat dibedakan dengan rabies dengan adanya trismus
dan tidak adanya hidrofobia.
I. Diagnosa Banding
Penyakit yang dapat dikelirukan dengan rabies yaitu penyakit dengan
gangguan pada susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh:
a. Infeksi viral
- Distemper
- Infectious canine hepatitis
- Aujeszkys disease (pseudo rabies)
- Infeksi oleh Arbovirus
- Australian bat lyssavirus
b. Infeksi bakterial (listeriosis ) dan infeksi mikotik (cryptococcosis)
c. Keracunan oleh sodium fluoro-acetat, logam berat (misal : Pb),
chlorinated hydrocarbon, dan pestisida (organofosfat, urea dan nitrogen
trikhlorid)
d. Infeksi protozoa (babesiosis dan toxoplasmosis)
e. Benda asing pada oropharynx atau oesophagus, dan luka akibat trauma
f. Psikosis akut pada anjing dan kucing
g. Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) pada sapi.
IV. KESIMPULAN
Rabies merupakan penyakit viral yang bersifat zoonosis pada anjing dan
mamalia karnivora lainnya serta manusia, yang disebabkan oleh virus dari
famili Rhabdoviridae genus Lyssavirus
Target infeksi utama virus Rabies adalah sistem saraf pusat
Penularan antar hewan ataupun hewan ke manusia, utamanya melalui
gigitan yang terkontaminasi air liur yang mengandung virus
Pencegahan paling baik dilakukan dengan vaksinasi pada hewan-hewan
yang peka serta pada manusia yang tinggal atau bekerja di daerah yang
rawan kejadian Rabies
V. LUARAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat mengenali agen penyebab penyakit rabies, morfologi,
biologi molekuler, dan karakter virus, serta mekanisme infeksi dan
patogenesisnya, gejala klinis, lesi makroskopis, dan mikroskopis yang
ditimbulkan oleh virus rabies.
2. Mahasiswa memahami konsep sampling dari berbagai uji diagnostik,
melakukan diagnosis patologi, virologi, serologi, dan molekular serta
analisis hasil pemeriksaan laboratorium tersebut untuk kepentingan
diagnostik.
3. Mahasiswa mengerti tata kelola penanganan kasus rabies, mampu
menyusun program vaksinasi rabies pada hewan dan program pencegahan
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bogia, S., Y. Kardena, I., M. Sukada, I., M.Supartika, K., E. 2012. Perbandingan Sensitifitas
dan Spesifitas Uji Pewarnaan Seller dan Flourescent Antibody Technique (FAT)
dalam Mendiagnosa Penyakit Rabies pada Anjing di Bali. Indonesia Medicus
Veterinus 2012 1 (1) : 12-21
Kementrian Pertanian DirjenPeterakan dan Kesehatan Hewan Direktorat Kesehatan Hewan.
2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta : Subdit Pengamatan Penyakit
Hewan Direktorat Kesehatan Hewan
Natih, K., K., N. Yupiana, Y. Hermawan, D. Djusa, E., R. 2013. Analisis Nukleoprotein Virus
Rabies Bali (CVB751). Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan,
Gunungsindur-Bogor 16340
Pemerintah Kabupaten Langkat. 2012. Penanganan dan Pencegahan Kasus Rabies. Diakses
jam 10.55 tanggal 16 November 2016 : http://disnak.langkatkab.go.id/berita/berita-
daerah/26-penanganan-dan-pencegahan-kasus-penyakit-rabies.html
Rupprecht, C., E. 1996. Medical Microbiology 4th Ed. Texas : NCBI
Tanzil, K. 2014. Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan
Lingkungan Volume 1 Nomor 1 Mei 2014
Wirata, I., K. Berata, I., K. Puja, I., K. 2014. Sensitifitas dan Spesifisitas Teknik
Imunohistokimia Rabies. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2
No 1: 49-59