Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN

FOCUS GROUP DISCUSSION


SKENARIO 3
Anjing Gila

Disusun oleh:
Nama : Atsmarina Widyadhari
NIM : 14/366094/KH/8147

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

I. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mengenali agen penyebab penyakit rabies, morfologi, biologi molekuler, dan
karakter virus, serta mekanisme infeksi dan patogenesisnya, gejala klinis, lesi
makroskopis, dan mikroskopis yang ditimbulkan oleh virus rabies.
2. Memahami konsep sampling dari berbagai uji diagnostik, melakukan diagnosis
patologi, virologi, serologi, dan molekular serta analisis hasil pemeriksaan
laboratorium tersebut untuk kepentingan diagnostik.
3. Mengerti tata kelola penanganan kasus rabies, mampu menyusun program
vaksinasi rabies pada hewan dan program pencegahan lainnya.

II. SKEMA PEMBELAJARAN

Rabies

Agen Mekanisme Tekhnik sampling Diferensial Pencegahan &


penyebab dan infeksi dan dan uji dalam diagnosis penanganan penyakit
karakter virus gejala klinis pemeriksaan penyakit rabies pada hewan
rabies laboratorium rabies dan manusia

III. PEMBAHASAN
Penyakit rabies merupakan salah satu jenis penyakit zoonosis yang menyerang
susunan syaraf pusat. Rabies masih dianggap penyakit penting di Indonesia karena
bersifat fatal dan dapat menimbulkan kematian serta berdampak psikologis bagi
orang yang terpapar. Rabies adalah infeksi virus akut yang menyerang sistem saraf
pusat manusia dan mamalia. Penyakit ini sangat ditakuti karena prognosisnya
sangat buruk. Pada pasien yang tidak divaksinasi, kematian mencapai 100%. Di
Indonesia, sampai tahun 2007, rabies masih tersebar di 24 propinsi, hanya 9
propinsi yang bebas dari rabies, yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI
Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTB, Bali, Papua Barat dan
Papua.

A. Karakter Virus
Rabies adalah virus yang tergolong dalam Lyssa virus dan famili
Rhabdoviridae. Morfologi partikel virus berbentuk seperti peluru dengan
diameter 75 m dan panjangnya antara 100-300 m, Variasi ukuran ini bisa
dibedakan diantara strain virus rabies. Struktur virus tersusun dari envelop
yang terdiri dari matrix/membran dan glycoprotein. Genome virus rabies
berupa Ribonucleic acid (RNA) single-stranded, anti-sense, tidak bersegmen,
dengan berat molekul 12 kb yang terdiri dari 50 nucleotides beserta gen
nucleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrix protein (M), glycoprotein (G)
dan the large protein (L).
Sampai saat ini sudah dikenal 7 genotip Lyssavirus dimana genotip 1
merupakan penyebab rabies yang paling banyak di dunia. Virus ini bersifat
labil dan tidak viable bila berada diluar inang. Virus menjadi tidak aktif bila
terpapar sinar matahari, sinar ultraviolet, pemanasan 1 jam selama 50 menit,
pengeringan, dan sangat peka terhadap pelarut alkalis seperti sabun,
desinfektan, serta alkohol 70%. Reservoir utama rabies adalah anjing
domestik.
Siklus infeksi dan replikasi virus rabies ke membran sel induk semang
terjadi melalui beberapa tahapan yaitu adsorpsi (perlekatan virus), penetrasi
(virus entry), pelepasan mantel (uncoating/envelope removal), transkripsi
(sintesis mRNA), translasi (sintesis protein), (G-protein gikoslasi), replikasi
(produksi genomic RNA dari intermediate strand), perakitan (assembly) dan
budding.
B. Patogenesis
Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui
jilatan atau gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera,
musang, serigala, raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka
atau melalui mukosa utuh seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia
eksterna, atau transplantasi kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang
ditemukan. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2
minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian
bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan
perubahanperubahan fungsinya. .
Tingkat infeksi dari kematian paling tinggi pada gigitan daerah wajah,
menengah pada gigitan daerah lengan dan tangan, paling rendah bila gigitan
ditungkai dan kaki. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri
dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama predileksi terhadap
sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak
diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam
serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan
demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan
berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan
sebagainya.
Masa inkubasi pada anjing dan kucing rata rata sekitar 2 minggu tetapi
dilaporkan dapat terjadi antara 10 hari-8 minggu dan pada manusia 2-3
minggu, dengan masa yang paling lama 1 (satu) tahun, tergantung pada:
a. Jumlah virus yang masuk melalui luka
b. Dalam atau tidaknya luka
c. Luka tunggal atau banyak
d. Dekat atau tidaknya luka dengan susunan syaraf pusat
e. Perlakuan luka pasca gigitan

C. Gejala Klinis
Gejala yang terlihat pada umumnya adalah berupa manifestasi
peradangan otak (ensefalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia.
Pada rnanusia keinginan untuk menyerang pada orang lain umumnya tidak
ada. Gejala penyakit pada anjing dan kucing hampir sama. Gejala penyakit
dikenal dalam 3 bentuk :
1. Bentuk ganas (furious rabies), masa eksitasi panjang. kebanyakan akan mati
dalam 2-5 hari setelah tanda-tanda gila terlihat.
2. Bentuk diam atau dungu (dumb rabies), paralisis cepat terjadi, masa
eksitasi pendek
3. Bentuk asimptomatis, hewan tiba-tiba mati tanpa menunjukan gejala- gejala
sakit.
Tanda-tanda yang sering terlihat sebagai berikut :
a. Pada fase prodromal hewan mencari tempat yang dingin dan menyendiri,
tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervous. Refl ex komea berkurang/
hilang, pupil meluas dan kornea kering, tonus urat daging bertambah (sikap
siaga/kaku).
b. Pada fase eksitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya
dan memakan benda asing. Dengan berlanjut nya penyakit, mata menjadi
keruh dan selalu terbuka diikuti inkoordinasi dan konvulsi.
c. Pada fase paralisis maka kornea mata kering dan mata terbuka dan kotor,
semua reflex hilang, konvulsi dan mati.

D. Patologi
Biasanya tidak ada gambaran asca mati yang jelas, jikapun ditemukan
biasanya berupa efek sekunder dari gejala syaraf yang ada. Karkas biasanya
mengalami dehidrasi dan dalam keadaan buru. Kadang kadang ditemukan
bekas trauma, misalnya gigi patah. Pada karnivora sering ditemukan benda-
benda asing (corpora aliena) dalam lambung berupa rambut. kayu dan lain-
lain.
Secara mikroskopis perubahan yang paling signifikan adalah lesi pada
susunan syaraf pusat dan spinal cord. Pada otak biasanya ditemukan
perivascular cuffing, gliosis focal atau difus, degenerasi neuron dan inclusion
bodies (Negri bodies) intrasitoplasmik pada neuron. Negri bodies ditemukan
dalam berbagai ukuran dan biasanya cukup besar pada anjing dan sapi dan
relatif lebih kecil pada kucing. Negri bodies paling mudah ditemukan pada
barisan neuron pada hipocampus atau pada sel Purkinje pada cerebellum.
Negri bodies dapat juga ditemukan pada sel glia, sel ganglion pada kelenjar
saliva dan kelenjar adrenal serta pada retina mata.

E. Sampling Virus
Virus dalam jaringan yang tertulari bila disimpan pada glyserin yang
tidak diencerkan virus akan tahan beberapa minggu dan bisa tahan berbulan-
bulan pada suhu 4 C. Di dalam suspensi kurang dan 10 % virus akan cepat
mati kecuali ditambahkan protein (2% serum Cavia/Kelinci atau 0,75% serum
Albumin sapi) Untuk menjaga kelangsungan hidup dalam suspensi sebaiknya
disimpan suhu pada -70C. Pada pH 5-10 virus relatif stabil tetapi virus mudah
mati oleh sinar matahari, pemanasan pasteur (56C selama 30 menit), terkena
cahaya ultra violet dan HgCI. Keadaan asam (pH 10) dan oleh zat pelarut
lemak seperti ether, khloroform, aceton, larutan sabun, etanol 45 - 70%,
preparat Iodine dan komponen ammonium kuartener. Virus mudah diaktivasi
oleh -propiolaktone dan dalam fenol 0,25 - 0.5-% virus masih resisten dan
memerlukan beberapa hari sampai menjadi inaktif sempurna.
Virus yang baru diisolasi dari alam dari kasus gigitan hewan disebut
dengan street virus. Strain demikian rnemperlihatkan masa inkubasi yang
panjang dari variabel yang secara teratur menghasilkan inclusion bodies intra-
sitoplasmik. Street virus yang mengalami pasase berulang-ulang kali akan
menghasilkan virus yang tetap (fixed virus). Fixed virus berkembang biak
cepat sekali dan masa inkubasinya menjadi lebih pendek. Pada tahap ini
inclusion bodies sering sulit ditemukan. Contoh fixed virus atau strain yang
telah mengalami modifikasi antara lain: Street Alabama Dufferia (SAD),
Evelyn Roliteriki Abilseth (ERA), Challence Virus Standard (CVS), Low Egg
Passage (LEP) dan HEP (High Egg Passage). Fixed virus dapat tumbuh secara
invitro pada berbagai sel antara lain pada Baby Hamster Kidney (BHK-21),
Chick embryo Related (CER), neuroblastoma dan Human Diploid Cell.

F. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen


a. Spesimen segar
1. Seluruh kepala dimasukkan dalam suatu kontainer lalu dimasukan lagi
kedalam kontainer kedua yang lebih besar dari yang pertama, isikan
potongan es ke dalam kontainer pertama sampai penuh lalu tutup rapat
dan ruang antara kontainer pertama dan kedua juga diisi es sampai
penuh. Kontainer kedua ditutup rapat dan pada kontainer diberi label
yang bertuliskan Paket ini berisi kepala anjing yang diduga mati kena
rabies.
2. Otak
Cara mengeluarkan otak
- Siapkan peralatan nekropsi berupa: scalpel, pisau agak besar, gunting
tulang, gergaji tulang, glycerin 50%. kontainer dan larutan formalin
10% yang sudah dibuffer
- Buka kulit kepala persis di tengah kepala dan dikuakkan ke kiri dan
kanan sehingga terlihat tempurung kepala.
- Gergaji tempurung kepala di sekitar otak, lalu dikuakkan sehingga
terlihat otak (gunakan gunting tulang dan pinset) lalu keluarkan otak
dengan hati-hati dengan memotong medulla, syaraf kranialis dan
bagian depan thalamus
- Apabila pengiriman seluruh otak tak mungkin dilakukan maka cukup
dikirimkan hypocampusnya saja
3. Kelenjar Ludah
Pada kelenjar ludah tidak selalu dapat kita temukan virus rabies
walaupun otak telah terserang. Kelenjar ludah (salivary gland)
dikoleksi untuk pemeriksaan Fluorescent Antibody Technique (FAT)
dan imunohistokimia.
b. Spesimen untuk pemeriksaan cepat
1. Pembuatan preparat sentuh (touch preparat)
Preparat sentuh harus dibuat dari hipocampus pada otak besar, kortex
otak besar dan otak kecil. Jumlah preparat paling sedikit 6 buah dari
setiap bagian otak yang disebutkan di atas
Cara pembuatan preparat sentuh:

- Buat potongan sedalam 2-3 mm pada jaringan otak yang dimaksud


dengan gunting
- Jaringan tersebut dipotong dan ditempatkan pada kertas atau
potongan kayu steril

- Ambil object glass steril, sentuh dan tekankan sedikit pada


permukaan jaringan otak (bagian yang dipotong). Sentuhan dibuat
pada 3 tempat pada setiap object glass
- Dalam keadaan masih lembab, object glass diproses untuk
pewarnaan Sellers.
2. Pembuatan preparat ulas otak (smear method).
Jaringan yang dipergunakan sama dengan pada pembuatan preparat
sentuh, dengan cara sebagai berikut:
- Ambil sedikit jaringan yang dimaksud letakkan pada object glass
yang steril.
- Ambil object glass steril lainnya dan tekan serta ulaskan pada kaca
pertama jaringan yang telah menempel sebelumnya, sampai
jaringan menyebar secara homogen dalam areal kirakira 3/4 object
glass.
3. Pembuatan rolling method
Jaringan yang digunakan sama dengan pada pembuatan preparat
sentuh, yaitu dengan cara sebagai berikut:
- Gunting sedikit jaringan otak yang dimaksud sebesar biji kacang
kedelai.
- Gulingkan di atas object glass yang steril dengan sepotong tusuk
gigi yang steril (bagian permukaan yang dipotong terletak di
bawah)
- Warnai dengan pewarnaan Sellers.
c. Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi
Untuk tujuan ini, spesimen diambil dari hipokampus, kortex dari otak
besar, otak kecil dengan ukuran 2 x 2 x 0.5 cm dan difi ksasi dengan
formalin 10% yang sudah dibuffer dengan perbandingan 1 : 10 (1 bagian
specimen : 10 bagian larutan formalin 10% yang sudah dibuffer).
Usahakan kontainer tertutup rapat, selanjutnya dimasukkan ke dalam
kontainer yang lebih besar. Setelah itu kontainer diberi label dengan jelas.
d. Spesimen untuk pemeriksaan biologik dan Fluorescent Antibody
Technique (FAT)
Jaringan hipokampus, otak besar, otak kecil dan kelenjar ludah dimasukan
ke dalam kontainer yang berisi 5% glycerin saline (perbandingan spesimen
dan bahan pengawet 1: 10). Apabila laboratorium penguji dekat jaraknya
maka spesimen dibawa ke laboratorium tersebut dalam keadaan segar dan
dimasukkan ke dalam ice box atau termos es dalam keadaan dingin.

G. Tes untuk Pengujian Rabies


1. Tekhnik FAT Rabies
Pengujian dengan teknik FAT dilakukan dengan membuat preparat apus
otak yang difiksasi dengan aseton pada suhu -20C selama 30 menit.
Setelah dikeringkan pada suhu ruang, preparat apus digenangi dengan
conjugate rabiesanti nucleocapsid. Inkubasi dilakukan dalam inkubator
suhu 37C dengan memberi kelembaban secukupnya. Setelah 30 menit,
preparat dicuci dengan larutan PBS pH 7,2 sebanyak 3 kali dilanjutkan
dengan menambahkan aquos mounting media dan ditutup dengan cover
slip. Selanjutnya pemeriksaan dilakukan dibawah mikroskop flourescen,
dan sel-sel neuron yang terinfeksi virus rabies akan ditandai dengan
adanya warna hijau (apple green) yang berpendar.
2. Teknik HIC Rabies
Pengujian dengan teknik IHC rabies dilakukan terhadap sampel yang
dinyatakan positif dan negatif rabies. Teknik IHC mempergunakan sampel
otak yang terdiri dari bagian cerebrum, cerebellum dan bagian
hippocampus. Sampel otak kemudian difiksasi dengan formalin buffer
netral 10% dan selanjutnya diproses dalam tissue processor untuk
selanjutnya dilakukan proses embedding sampai dalam bentuk blok
paraffin. Jaringan dalam blok paraffin selanjutnya dipotong dengan
microtome dengan ketebalan 3-4 m, kemudian jaringan ditempelkan pada
gelas obyek yang sudah dilapisi dengan poly L- Lysin. Selanjutnya
preparat (obyek gelas yang sudah tertempel jaringan) diperlakukan sesuai
dengan tahapan prosedur teknik IHC. Teknik IHK menggunakan
streptavidin yang sudah dilabel, yang sudah tersedia dalam satu kemasan
kit komersial (LSAB-2 System peroxidase universal kit, DAKO, No.
K0672, Denmark). Enzim trypsin sebagai proteolitik dipergunakan sebagai
antigen retrieval dengan cara mendigesti jaringan, antibodi monoklonal
rabies sebagai antibodi primer, goat-anti mouse biotinylated sebagai
antibodi sekunder dan streptavidin peroksidase sebagai label.
Diaminobenzidine (DAB) dipergunakan untuk memberikan efek
presipitasi berwarna pada ikatan antigen-antibodi.
3. Uji Sellers
Pewarnaan Sellers untuk melihat badan negri menjadi uji standar untuk
mendiagnosa rabies pada kebanyakan laboratorium. Hal ini disebabkan
karena uji ini terholong sederhana dan ekonomis. Pemeriksaan berupa
pengambilan spesimen dan dibuat preparat sentuh kemudian diwarnai
dengan pewarna Sellers. Data hasil uji berupa pengamatan ada tidaknya
badan negri yang ditemukan pada uji. Namun karena memiliki sensitivitas
yang relatif rendh maka uji ini dikonfirmasi dengn uji MIT (Mouse
Inoculation Test).

H. Diagnosa
Untuk mendiagnosa penyakit rabies selain memperhatikan riwayat
penyakit, gejala klinis dan gambaran patologi, pemeriksaan spesimen secara
laboratoris perlu dilakukan. Spesimen segar dapat berupa kepala utuh atau
otak. Kepala dimasukkan dalam suatu kontainer dalam kondisi dingin (berisi
es). Otak (hippocampus) diambil secara aseptis, dimasukkan ke dalam larutan
gliserin 50% dan disimpan di dalam termos es. Sebagian otak disimpan dalam
buffer formalin.
a. Mikroskopis untuk melihat dan menentukan adanya Negri bodies dapat
dilakukan dengan cara :
1. Pewarna Sellers.
2. FAT (Flourescence Antibody Technique)
3. Histopatologis
b. Isolasi virus. Dilakukan dengan menyuntikan suspensi otak pada mencit
atau inokulasi pada biakan sel neuroblastoma. Identitas virus ditentukan
dengan FAT, uji virus netralisasi atau dengan cara pewarnaan.
c. Serologis : AGPT, FAT, serum netralisasi (SN), CFTdan ELISA.
d. Molekuler : RT-PCR, real time PCR dan sekuensing.
Selama periode awal infeksi rabies, temuan laboratorium tidak spesifik.
Seperti temuan ensefalitis oleh virus lainnya, pemeriksaan cairan serebrospinal
menunjukkan pleositosis dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat,
glukosa umumnya normal. Untuk mendiagnosis rabies antemortem diperlukan
beberapa tes, tidak bisa dengan hanya satu tes. Tes yang dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi kasus rabies antara lain deteksi antibodi spesifik virus
rabies, isolasi virus, dan deteksi protein virus atau RNA. Spesimen yang
digunakan berupa cairan serebrospinal, serum, saliva, dan biopsi kulit. Pada
pasien yang telah meninggal, digunakan sampel jaringan otak yang masih
segar. Diagnosis pasti postmortem ditegakkan dengan adanya badan Negri
pada jaringan otak pasien, meskipun hasil positif kurang dari 80% kasus.
Tidak adanya badan Negri tidak menyingkirkan kemungkinan rabies. Badan
Negri adalah badan inklusi sitoplasma berbentuk oval atau bulat, yang
merupakan gumpalan nukleokapsid virus. Ukuran badan Negri bervariasi, dari
0,25 sampai 27 m, paling sering ditemukan di sel piramidal Ammons horn
dan sel Purkinje serebelum.
Rabies perlu dipertimbangkan jika terdapat indikator positif seperti
adanya gejala prodromal nonspesifik sebelum onset gejala neurologik,terdapat
gejala dan tanda neurologik ensefalitis atau mielitis seperti disfagia,
hidrofobia, paresis dan gejala neurologi yang progresif disertai hasil tes
laboratorium negatif terhadap etiologi ensefalitis yang lain. Bentuk paralitik
rabies didiagnosis banding dengan sindrom Guillain-Barre. Pada sindrom
Guillain-Barre, sistem saraf perifer yang terkena adalah sensorik dan motorik,
dengan kesadaran yang masih baik. Spasme tetanus dapat menyerupai gejala
rabies, namun tetanus dapat dibedakan dengan rabies dengan adanya trismus
dan tidak adanya hidrofobia.

I. Diagnosa Banding
Penyakit yang dapat dikelirukan dengan rabies yaitu penyakit dengan
gangguan pada susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh:
a. Infeksi viral
- Distemper
- Infectious canine hepatitis
- Aujeszkys disease (pseudo rabies)
- Infeksi oleh Arbovirus
- Australian bat lyssavirus
b. Infeksi bakterial (listeriosis ) dan infeksi mikotik (cryptococcosis)
c. Keracunan oleh sodium fluoro-acetat, logam berat (misal : Pb),
chlorinated hydrocarbon, dan pestisida (organofosfat, urea dan nitrogen
trikhlorid)
d. Infeksi protozoa (babesiosis dan toxoplasmosis)
e. Benda asing pada oropharynx atau oesophagus, dan luka akibat trauma
f. Psikosis akut pada anjing dan kucing
g. Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) pada sapi.

J. Pengendalian dan Pencegahan


1. Pencegahan
Anjing mulai divaksinasi pada umur 8 minggu. Daerah yang ingin
bebas dari rabies, vaksinasi harus dilakukan terhadap 70% dari populasi
anjing.
2. Pengendalian dan Pemberantasan
a. Eliminasi
Pembunuhan anjing tak bertuan dilakukan dengan penembakan.
Penembakan harus dilakukan oleh penembak yang mahir. Cara yang
terbaik adalah dengan penangkapan dengan jaring dan kemudian
hewan diamankan.
b. Pemberantasan daerah rabies
1) Metode pembebasan
- Vaksinasi dan eliminasi hanya dilakukan pada anjing
- Vaksinasi dilakukan hanya pada anjing yang berpemilik
- Eliminasi dilakukan terhadap anjing tidak berpemilik dan anjing
berpemilik tapi tidak divaksinasi
2) Strategi pembebasan, lokasi sasaran dibagi dalam 3 kategori, yaitu:
- Lokasi tertular: Yaitu desa/kelurahan tertular yang dalam 2 tahun
terakhir pernah ada kasus, klinis. epidemiologis, laboratoris dan
desa-desa disekitarnya.
- Lokasi terancam: Yaitu desa kelurahan di luar lokasi tertular dalam
satu wilayah kecamatan.
- Lokasi bebas kasus: Yaitu kecamatan yang berada di luar lokasi
tertular yang terancam.
3) Tindakan pada masing-masing lokasi
Lokasi tertular dan terancam.
- Dilakukan vaksinasi dan eliminasi 100% dari populasi anjing
minimal pada lokasi tertular
- Vaksinasi dan eliminasi massal dilakukan serentak. Secara umum,
perbandingan vaksinasi dan eliminasi adalah 70% : 30%, namun
secara spesifi k di tiap daerah tergantung pada kebijakan daerah
masing-masing yang disesuaikan dengan situasi sosial budaya
setempat.
- Setelah kegiatan massal vaksinasi dan eliminasi dilanjutkan
kegiatan konsolidasi pada anjing yang baru lahir, mutasi dan belum
divaksinasi pada kegiatan massal.
- Kalau ada kasus gigitan positif rabies, maka di wilayah lokasi
tertular tersebut segera diadakan vaksinasi dan eliminasi.
- Vaksinasi dan eliminasi massal di lokasi tertular dimulai dari lokasi
kasus mengarah keluar (sentripetal).
- Pada saat yang bersamaan dari batas luar lokasi terancam
dilakukan vaksinasi dan eliminasi mengarah ke dalam lokasi
tertular (sentrifugal).
- Menangkap dan melaksanakan observasi hewan menderita rabies
selama 10-14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi
atau dibunuh maka harus diambil spesimen untuk dikirim ke
laboratorium (BPPH/Lab.type) untuk diagnosa.
Di luar lokasi tertular dan terancam
Tindakan vaksinasi dan eliminasi hanya dilakukan pada lokasi
rawan yaitu lokasi yang merupakan jalur lalu lintas anjing yang
sulit dikontrol

c. Bila terjadi kasus gigitan

Seseorang yang digigit hewan penderita rabies penanganan yang


dilakukan harus ditangani dengan secepat dan sesegera mungin, hal
tersebut bertujuan untuk mengurangi efek maupun mematikan virus
rabies yang masuk ke tubuh melalui luka gigitan

1. Usaha yang paling efektif untuk dilakukan adalah dengan segera


mencuci luka gigitan dengan air bersih dan sabun atau deterjen
selama 5-10 menit dibawah air mengalir/diguyur. Lalu keringkan
dengan kain yang bersih..
2. Luka diberi antiseptik (obat luka yang tersedia misalnya betadine,
obat merah, alkohol 70%, Yodium tincture atau lainnya) lalu
dibalut dengan pembalut yang bersih.

3. Penderita luka gigitan harus segera dibawa ke dokter, Puskesmas


atau rumah sakit yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan
sementara maupun perawatan lebih lanjut, sambil menunggu hasil
observasi hewan tersangka rabies.

4. Walaupun sudah dilakukan pencucian luka gigitan, penderita harus


dicuci kembali lukanya di Puskesmas atau rumah sakit.

5. Luka gigitan dibalut longgar dan tidak dibenarkan dijahit, kecuali


pada luka yang sangat parah. Jika keadaan terpaksa dilakukan
penjahitan, maka harus diberikan serum anti rabies (SAR) sesuai
dosis, selain itu dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian vaksin
anti tetanus, maupun antibiotik dan analgetik.

d. Hewan hewan yang menggigit manusia dan dicurigai menderita


rabies, maka harus diambil tindakan sebagai berikut :
1. Hewan yang menggigit harus ditangkap dan dilaporkan ke instansi
terkait (Dinas Peternakan dan Pertanian) untuk dilakukan observasi
dan diperiksa kesehatannya selama 10 14 hari.

2. Jika mati dalam observasi maka kepala anjing tersebut dikirim ke


laboratorium untuk kepastian diagnosa penyebab kematian. Tetapi
bila hasil observasi negatif rabies yaitu hewan tetap hidup, maka
hewan divaksinasi anti rabies

3. Hewan pasca observasi dan sudah disuntik rabies, dapat


dikembalikan kepada pemiliknya. Apabila tidak diketahui
pemiliknya (hewan liar) maka hewan dapat dimusnahkan atau
diberikan pada orang yang berminat memelihara.

4. Bila hewan yang menggigit sulit ditangkap, maka harus dibunuh


dan diambil kepalanya untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium.
5. Bila hewan yang menggigit tidak dapat ditemukan, maka orang
yang mengalami gigitan harus dibawa ke rumah sakit khusus.

IV. KESIMPULAN
Rabies merupakan penyakit viral yang bersifat zoonosis pada anjing dan
mamalia karnivora lainnya serta manusia, yang disebabkan oleh virus dari
famili Rhabdoviridae genus Lyssavirus
Target infeksi utama virus Rabies adalah sistem saraf pusat
Penularan antar hewan ataupun hewan ke manusia, utamanya melalui
gigitan yang terkontaminasi air liur yang mengandung virus
Pencegahan paling baik dilakukan dengan vaksinasi pada hewan-hewan
yang peka serta pada manusia yang tinggal atau bekerja di daerah yang
rawan kejadian Rabies

V. LUARAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat mengenali agen penyebab penyakit rabies, morfologi,
biologi molekuler, dan karakter virus, serta mekanisme infeksi dan
patogenesisnya, gejala klinis, lesi makroskopis, dan mikroskopis yang
ditimbulkan oleh virus rabies.
2. Mahasiswa memahami konsep sampling dari berbagai uji diagnostik,
melakukan diagnosis patologi, virologi, serologi, dan molekular serta
analisis hasil pemeriksaan laboratorium tersebut untuk kepentingan
diagnostik.
3. Mahasiswa mengerti tata kelola penanganan kasus rabies, mampu
menyusun program vaksinasi rabies pada hewan dan program pencegahan
lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bogia, S., Y. Kardena, I., M. Sukada, I., M.Supartika, K., E. 2012. Perbandingan Sensitifitas
dan Spesifitas Uji Pewarnaan Seller dan Flourescent Antibody Technique (FAT)
dalam Mendiagnosa Penyakit Rabies pada Anjing di Bali. Indonesia Medicus
Veterinus 2012 1 (1) : 12-21
Kementrian Pertanian DirjenPeterakan dan Kesehatan Hewan Direktorat Kesehatan Hewan.
2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta : Subdit Pengamatan Penyakit
Hewan Direktorat Kesehatan Hewan
Natih, K., K., N. Yupiana, Y. Hermawan, D. Djusa, E., R. 2013. Analisis Nukleoprotein Virus
Rabies Bali (CVB751). Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan,
Gunungsindur-Bogor 16340
Pemerintah Kabupaten Langkat. 2012. Penanganan dan Pencegahan Kasus Rabies. Diakses
jam 10.55 tanggal 16 November 2016 : http://disnak.langkatkab.go.id/berita/berita-
daerah/26-penanganan-dan-pencegahan-kasus-penyakit-rabies.html
Rupprecht, C., E. 1996. Medical Microbiology 4th Ed. Texas : NCBI
Tanzil, K. 2014. Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan
Lingkungan Volume 1 Nomor 1 Mei 2014
Wirata, I., K. Berata, I., K. Puja, I., K. 2014. Sensitifitas dan Spesifisitas Teknik
Imunohistokimia Rabies. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2
No 1: 49-59

Anda mungkin juga menyukai