OLEH:
KELOMPOK I
A. Latar Belakang
Faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, dan kelembaban yang
merupakan akibat dari perubahan iklim secara global memberikan dampak
yang signifikan terhadap banyak patogen menular dan polanya. Perubahan
iklim dapat mempengaruhi patogen, baik secara langsung melalui
pengaruhnya terhadap siklus hidup patogen ataupun secara tidak langsung
dengan mempengaruhi habitat dan lingkungan dimana mereka berada juga
dapat mempengaruhi distribusi patogen secara geografis (Uwishema, 2023).
Dari penelitian yang dikutip dalam Laporan Kementerian Kesehatan
bersama dengan Unicef dan BMKG pada tahun 2021 menyebutkan,
peningkatan suhu yang terjadi akibat perubahan iklim dapat meningkatkan
laju perkembangbiakan agen penyakit, memperpendek durasi inkubasi
ekstrinsik, serta mempercepat laju perkembangan nyamuk. Fenomena ini
berdampak pada peningkatan penyebaran atau kejadian penyakit seperti yang
ditular lewat udara (Tuberkulosis, PES, Campak, dan Kusta), tular vektor
(DBD dan Malaria), tular air (Diare), serta penyakit sensitif iklim lainnya pada
penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Tuberkulosis (TBC) saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat baik di Indonesia maupun internasional. Tuberculosis adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri tersebut menyebar dari penderita TBC melalui udara. Bakteri TBC ini
biasanya menyerang organ paru, namun dapat juga menyerang selain paru
(ekstra paru). Hampir seperempat penduduk dunia terinfeksi dengan bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Sekitar 89% TBC diderita oleh orang dewasa
dan 11 % diderita oleh anak-anak. Sampai saat ini TBC masih merupakan
penyebab kematian tertinggi setelah HIV/AIDS, dan merupakan salah satu
dari 20 penyebab utama kematian di seluruh dunia. Sebagian besar estimasi
kematian yang disebabkan TBC tercatat di empat negara, yaitu India,
Indonesia, Myanmar, dan Filipina. Jumlah kematian akibat TBC (di antara
pasien HIV negatif) secara global pada tahun 2021 sebesar 1,4 juta, hal ini
mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2020 yaitu sebesar 1,3 juta.
Indonesia merupaka negara peringkat ke-2 penderita TBC tertinggi di dunia
setelah India dengan proporsi kasus baru sebesar 13% seluruh kasus di dunia.
Secara global, diperkirakan 10,6 juta orang menderita TBC pada tahun 2021
(WHO, Global Tuberculosis Report, 2022). Pada tahun 2022 jumlah kasus
Tuberkulosis yang ditemukan di Indonesia sebanyak 677.464 kasus,
meningkat cukup tinggi bila dibandingkan kasus Tuberkulosis pada tahun
2021 sebesar 397.377 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Penyakit lainnya yang ditularkan melalui udara adalah PES. PES atau
sampar merupakan salah satu penyakit tertua yang dapat diintroduksi oleh
umat manusia dan terus mewabah di masyarakat dunia karena
menyebabkan pandemi yang sangat mematikan. PES merupakan penyakit
menular yang disebabkan oleh bibit penyakit Yersinia pestis, melalui gigitan
pinjal yang hidup pada tikus. Penularan dari manusia ke manusia terjadi
melalui yang mengandung pes (Rima, 2023).
Wabah pes dikenal dengan black death karena menyebabkan tiga jenis
wabah, yaitu bubonik, pneumonik dan septikemik. Ketiganya menyerang
system limfe tubuh, menyebabkan pembesaran kelenjar, panas tinggi, sakit
kepala, muntah dan nyeri pada persendian. Wabah pneumonik juga
menyebabkan batuk lendir berdarah, wabah septikemik menyebabkan warna
kulit berubah menjadi merah lembayung. Dalam semua kasus, kematian
datang dengan cepat dan tingkat kematian bervariasi dari 30-75% bagi
bubonik, 90-95% bagi pneumonik dan 100% bagi septikemik. Akan tetapi,
dengan pengobatan yang tepat, penyakit pes dapat disembuhkan, karena
berhasil diobati dengan sukses menggunakan antibiotika.Penyakit pes pertama
kali masuk Indonesia pada tahun 1910 melalui Tanjung Perak, Surabaya,
kemudian tahun 1916 melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, tahun 1923
melalui pelabuhan Cirebon dan pada tahun 1927 melalui pelabuhan Tegal.
Korban manusia meninggal karena pes dari 1910-1960 tercatat 245.375 orang,
kematian tertinggi terjadi pada tahun 1934, yaitu 23.275 orang. Wabah
penyakit pes pernah terjadi di sebagian besar daratan Eropa pada tahun1400
yang menelan korban sebanyak 25 juta jiwa. Pada tahun 1984, pandemik pes
sudah menyebar hamper ke seluruh benua, yang diduga berasal dari Canton
daratan Cina. Di Indonesia, ada 4 (empat) wilayah yang pernah terjadi
kasus pes, yaitu Kabupaten Boyolali Jawa Tengah, Kabupaten Pasuruan
Jawa Timur, Kabupaten Sleman DI Yogyakarta, dan Kabupaten Bandung
Jawa Barat. Sebagai hasil penilaian eksternal yang dilakukan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit di Fort Collins, Indonesia dikatakan sebagai tempat
rawan pes dan terlokalisir (Kementerian Kesehatan RI, 2022).
Penyakit pes merupakan salah satu penyakit menular yang termasuk
dalam UU nomor 4 tahun 1984 tentang penyakit menular/ wabah, Peraturan
Menteri Kesehatan RI nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang jenis
penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah, tata cara penyampaian
laporannya dan tata cara seperlunya tentang pedoman penyelidikan
epidemiologi dan penanggulangan Kejadian Luar Biasa serta International
Classification of Disease ( ICD ).Di Indonesia telah diupayakan
penanggulangan penyakit per melalui beberapa kegiatan yang mendukung,
seperti surveilans trapping, surveilans human, pengamnilan dan pengiriman
spesies, pengadaan obat-obatan dan Disponsible syringe, dan pengadaan metal
life trap (Kartika dkk, 2023).
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit Tuberkulosis?
2. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit Pes?
3. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit Kusta?
D. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapakan dapat meningkatkan pengetahuan
bagi penulis maupun pembaca mengenai gambaran epidemiologi penyakit
Tuberkulosis, Kusta dan Pes.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Tuberkulosis
1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri yang
berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga sering juga dikenal
dengan Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri ini sebagian besar menyerang
parenkim paru (TB Paru), tetapi bakteri ini juga memiliki kemampuan
menginfeksi organ lain (TB Ekstra Paru) seperti pleura, kelenjar limfe,
tulang dan organ ekstra paru lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2020).
2. Etiologi Tuberkulosis
Penyebab tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium Tuberculosis
yang berbahaya bagi manusia dan termasuk dalam famili Mycobacteria.
Bakteri ini merupakan bakteri gram positif yang bersifat aerob obligat
(bakteri yang mutlak membutuhkan oksigen yang bebas untuk hidupnya),
tidak mempunyai endospora dan kapsul, serta berbentuk sel batang dengan
dinding sel lipoid yang tahan asam. Ukuran 0,2-0,4 μm, tumbuh secara
perlahan selama 2-60 hari pada suhu 37℃. Bakteri ini akan mati jika
berada di bawah sinar matahari karena rentan terhadap sinar matahari atau
sinar ultraviolet, bila berada di luar lingkungan air dengan suhu 1000 akan
mati dalam waktu 2 menit, serta terkena alkohol 70% atau 50% lisol
(Hutama, Riyanti dan Kusumawati, 2019).
Tuberkulosis penularannya dari manusia ke manusia lain melalui
udara berupa percik renik atau droplet nucleus (< 5 microns) yang keluar
ketika seorang yang terinfeksi TB paru, bersin, atau bicara. Percik renik
merupakan partikel kecil berdiameter 1-5 μm dapat menampung 1-5 basili,
dan bersifat sangat infeksius, dan dapat bertahan selama 4 jam di udara.
Ketika batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis
yang diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil
(Kementerian Kesehatan RI, 2020).
3. Patofisiologi Tuberkulosis
Agen penyebab Mycobacterium Tuberculosis masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, melalui luka
terbuka pada kulit, dan sebagian besar infeksi tuberkulosis paru terjadi
melalui tetesan udara (airborne), yaitu dengan menghirup tetesan yang
mengandung patogen Mycobacterium Tuberculosis yang berasal dari
orang yang terinfeksi (Gannika, 2016). Seseorang yang menghirup bakteri
Mycobacterium Tuberculosis akan menyebabkan bakteri tersebut masuk
ke dalam alveoli melalui saluran pernapasan, alveoli menjadi tempat
bakteri, berkumpul dan berkembang biak. Mycobacterium Tuberculosis
juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang, korteks
serebral, dan area lain di paru-paru (lobus atas) melalui sistem limfatik dan
cairan tubuh. Sistem imun dan sistem imun akan merespon dengan respon
inflamasi. Fagosit menekan bakteri, dan limfosit tuberkulosis
menghancurkan (melisiskan) bakteri dan jaringan normal. Reaksi ini
menyebabkan eksudat menumpuk di alveoli dan dapat menyebabkan
bronko pneumonia. Infeksi awal sering terjadi pada kurung waktu 2-10
minggu setelah terpapar bakteri (Mar’iyah dan Zulkarnain, 2021).
4. Gejala Tuberkulosis
Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Tuberkulosis oleh (Kementerian Kesehatan RI, 2020), gejala
penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat menunjukkan
manifestasi klinis sebagai berikut: 1. Batuk ≥ 2 minggu; 2. Batuk
berdahak; 3. Batuk berdahak dapat bercampur darah; 4. Dapat disertai
nyeri dada; 5. Sesak napas, diikuti dengan gejala lain meliputi : 1. Malaise;
2. Penurunan berat badan; 3. Menurunnya nafsu makan; 4. Menggigil; 5.
Demam; 6. Berkeringat di malam hari.
5. Diagnosis Tuberkulosis
Jika pasien diduga mengalami TB, dokter akan meminta pasien
menjalani pemeriksaan dahak yang disebut pemeriksaan BTA. Pada kasus
TB pada organ selain paru, pemeriksaan BTA juga dapat dilakukan
dengan menggunakan sampel selain dahak. Jika dokter membutuhkan
hasil yang lebih spesifik, pasien akan dianjurkan untuk menjalani tes
kultur BTA. Tes ini juga menggunakan sampel dahak pasien, tetapi
memerlukan waktu yang lebih lama.
Selain pemeriksaan BTA, dokter dapat melakukan serangkaian
pemeriksaan TBC lainnya untuk mendukung diagnosis, yaitu: 1. Tes
kulit mantoux atau tuberculin skin test; 2. Tes darah IGRA (Interferon
Gamma Release Assay); 3. Bronkoskopi; 4. Foto Rontgen; 5. CT scan
(Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, 2022).
6. Pencegahan Tuberkulosis
Salah satu langkah pencegahan tuberkulosis paru yaitu dengan
pemberian vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Kategori vaksin ini
juga termasuk imunisasi yang juga wajib diberikan saat sebelum bayi
berumur 2 bulan serta orang yang belum pernah mendapatkan vaksin BCG
harus mendapatkan vaksin jika ada anggota keluarga yang menderita TBC
paru. Tuberkulosis paru ini dapat dilakukan pencegahan yaitu dengan cara
yang sederhana, seperti dengan memakai masker di tempat umum dan
kontak langsung dengan pasien TB paru serta sering mencuci tangan.
Bahkan setalah di rawat di awal pengobatan (biasanya 2 bulan), pasien TB
paru masih dapat menularkan penyakitnya. Selain itu juga ada acara
pencegahan penularan infeksi pada TB paru yaitu: 1. Menutup mulut
dengan tisu saat bersin dan batuk dan segera buang; 2. Jangan membuang
droplet atau meludah sembarangan; 3. Pastikan terdapat pertukaran udara
baik di dalam rumah dan sinar matahari dapat masuk; 4. Jangan berada
atau tinggal sekamar dengan orang yang sehat, sampai dokter mengatakan
TB paru anda tidak lagi menular (CDC, 2020).
7. Hubungan Lingkungan dengan Penyakit Tuberkulosis
Lingkungan merupakan salah satu faktor risiko terhadap kejadian
tuberkulosis. Terutama lingkungan rumah merupakan salah satu faktor
yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya.
Salah satu faktor risiko yang erat hubungannya dengan penularan kejadian
TB adalah kondisi lingkungan perumahan meliputi suhu dalam rumah,
ventilasi, pencahayaan dalam rumah, kelembaban rumah, kepadatan
penghuni, dan lingkungan sekitar rumah (Hidayatullah, Navianti dan
Damanik, 2021).
Ventilasi rumah yang memenuhi syarat berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/MENKES/KES/
SK/VII/1999 yaitu luas ventilasi permanen >10% luas lantai (Yosua,
Ningsih dan Ovany, 2022). Pengaruh buruk pada suatu rumah dengan
kurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya
kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan
kelembaban udara ruangan bertambah. Hal tersebut bisa menjadi faktor
risiko memperbesar terjadinya tuberkulosis paru karena bakteri
tuberkulosis dapat bertahan hidup dalam waktu lama di tempat yang
lembab dan gelap. Persyaratan pencahayaan yang memenuhi syarat dalam
ruang rumah menurut Permenkes RI No. 1077/MENKES/PER/V/2011
adalah minimal 60 Lux.
Cahaya alami sangat penting masuk kedalam rumah karena dapat
membunuh bakteri-bakteri pathogen dalam rumah misalnya basil
Tuberkulosis. Bakteri Tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari pagi
karena banyak mengandung sinar ultraviolet, tetapi bakteri ini dapat hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab (Adinda Mega Putri, Imam
Thohari dan Ernita Sari, 2022).
Rumah dengan kelembaban udara yang tidak memenuhi
persyaratan dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayan yang tidak
lancar atau kurang akan menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek
dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Penelitian yang
dilakukan Febrilia menjelaskan bahwa lingkungan dengan kelembaban
yang tidak memenuhi syarat merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan Mycobacterium Tuberculosis, bakteri ini dapat hidup di
lingkungan dengan kelembaban yang tinggi untuk menjamin kelangsungan
hidupnya. Hal tersebut merupakan faktor risiko terjadinya penularan
penyakit tuberkulosis paru akan sangat mudah terjadi dengan dukungan
faktor lingkungan yang kurang sehat tersebut sehingga dapat menginfeksi
penghuni rumah yang ada didalamnya (Febrilia et al., 2022). Suhu
ruangan dalam rumah yang ideal adalah berkisar antara 18-20°C.
Berdasarkan Kepmenkes No. 829/75/Menkes/SK/VII/1999, suhu ruangan
dalam rumah yang ideal yaitu berkisar antara 18-30oC (Kemenkes RI,
2018).
A. Tuberkulosis (TBC)
1. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Waktu
Gambar 1.
Angka Notifikasi Semua Kasus Tuberkulosis
Per 100.000 Penduduk Tahun 2012-2023
300 263.5
250 214 210
200 169
Per 100.000 Penduduk
100
50
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
≥65
tahun 0-14 tahun
9.7% 15.3%
55-64 tahun
14.9% 15-24 tahun
14.2%
45-54 tahun
16.5% 25-34 tahun
35-44 14.7%
tahun
14.7%
Perempuan
42.2%
Laki-laki
57.8%
B. Kusta
1. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Waktu
Gambar 21.
Distribusi Kasus Kusta Menurut Angka Prevalensi, Insidensi dan Tingka
Kecacatan Di Indonesia Tahun 2012-2023
10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Angka prevalensi kusta per
0.91 0.79 0.79 0.79 0.71 0.70 0.70 0.74 0.49 0.45 0.54
10.000 penduduk
Angka insidensi kusta per
7.8 6.8 6.8 6.7 6.5 6.1 6.4 6.5 4.1 4.0 4.5
100.000 penduduk
Angka Cacat Tk. 2 per
8.7 6.8 6.3 6.6 5.3 4.3 4.2 4.2 2.3 2.5 2.9
1.000.000 penduduk
Multi Basiler /
Kusta Basah
89.8%
Pada tahun 2023 dilaporkan terdapat 12.612 kasus baru kusta yang
hampir 90% di antaranya merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB).
Gambar 24.
Penemuan Kasus Baru Kusta Menurut Jenis Kelamin
Di Indonesia Tahun 2023
Perempuan
36.2%
Laki-laki
63.8%
B. Kusta
1. Distribusi Kusta Berdasarkan Waktu
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2012-2022 pada Gambar 20 menunjukkan bahwa Tren angka kejadian
kusta selama sebelas tahun terakhir relatif menurun. Angka prevalensi
kusta di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 0,54 kasus per 10.000
penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 4,5 kasus per 100.000
penduduk. Selain itu, angka cacat tingkat 2 sebesar 2,9 kasus per
1.000.000 penduduk. Angka cacat tingkat 2 merupakan indikator yang
digunakan untuk menunjukkan keberhasilan penemuan kasus baru kusta
secara dini.
Hal yang mendasari kasus kusta semakin menurun dikarenakan
sebagai wujud komitmen Indonesia dalam mencapai target-target di
tingkat global, Indonesia menetapkan target pencapaian eliminasi pada
tingkat kabupaten/kota pada tahun 2024 yang tertuang dalam Permenkes
No.11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta. Dalam Peraturan
tersebut juga tercakup empat strategi utama pengendalian kusta meliputi
penguatan advokasi dan koordinasi lintas program dan lintas sektor;
penguatan peran serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan;
penyediaan sumber daya yang mencukupi dalam penanggulangan kusta;
serta penguatan sistem surveilans serta pemantauan dan evaluasi kegiatan
penanggulangan kusta (Kemenkes RI, 2021).
2. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Tempat
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2023 pada Gambar 21 menunjukkan bahwa angka penemuan kasus kusta
baru pada tahun 2022 sebesar 4,6 kasus per 100.000 penduduk. Provinsi
dengan angka penemuan tertinggi terjadi Provinsi Papua Barat dengan
angka penemuan kasus kusta baru mencapai 67,7 kasus per 100.000
penduduk.
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Tambaip dkk, 2023)
menunjukkan bahwa Papua adalah salah satu provinsi terluar dan terisolasi
di Indonesia yang memiliki masalah kesehatan yang signifikan, seperti
tingkat kematian bayi dan ibu yang tinggi, penyakit menular, serta masalah
kesehatan masyarakat adat yang berbeda dari budaya di wilayah lain di
Indonesia. Masalah kesehatan di Papua terkait dengan faktor sosial,
ekonomi, dan budaya yang unik. Sejumlah faktor seperti infrastruktur
yang terbatas, akses terbatas ke sumber daya kesehatan, budaya tradisional
yang kuat, dan masalah konflik di wilayah tersebut memperburuk situasi
kesehatan di Papua. Kebiasaan orang Papua yang memiliki tradisi bertukar
barang, bisa menjadikan penyebab angka kejadian kusta meningkat di
Provinsi ini.
3. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Orang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2023 pada Gambar 22 menunjukkan bahwa pada tahun 2022 dilaporkan
terdapat 12.612 kasus baru kusta yang hampir 90% di antaranya
merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB). Penelitian yang telah dilakukan
oleh (Amalia, 2021) menunjukkan bahwa distribusi frekuensi faktor-faktor
penyebab kejadian kusta tipe multibasiler sebanyak 89 pasien (81,7%) dan
kusta tipe pausibasiler sebanyak 20 pasien (18,3%). Hal ini dikarenakan
penyakit kusta dapat ditularkan dari kusta tipe multibasiler dengan cara
penularan langsung.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2023 pada Gambar 23 menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin,
penemuan kasus baru kusta di Indonesia pada tahun 2023 lebih banyak
terjadi pada laki-laki yaitu sebesar 63,8%. Penelitian yang telah dilakukan
oleh (Wulandari dkk, 2021) menunjukkan bahwa penelitian di RSUP
Dr.Sitanala Kota Tangerang mayoritas penderita berjenis kelamin laki-
laki. Begitu pula dengan penelitian di RS. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar
dimana laki-laki lebih banyak menderita kusta dari pada perempuan.
Factor social budaya memungkinkan sebagai factor penting dalam
rendahnya kasus kusta pada perempuan. Rendahnya status social
perempuan di beberapa daerah di Indonesia mengakibatkan keterbatasan
perempuan dalam mengakses pelayanan kesehatan sehinggah
memungkinkan kasus tersembunyi pada kalangan perempuan. Selain itu
laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah sehingga risiko
untuk terpapar jauh lebih besar.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Lonjakan kasus Tubercluosis pada tahun 2023 disebabkan karena terdapat
perbaikan sistem pelaporan TBC yang dilakukan pihak Kemenkes dan
mobilitas penduduk yang meningkat setelah kasus COVID-19 pada
provinsi DKI Jakarta pada kelompok umur 45-54 tahun dan paling tinggi
dialami oleh laki-laki.
2. Tren angka kejadian kusta mengalami penurunan, Provinsi dengan angka
penemuan tertinggi terjadi Provinsi Papua Barat disebabkan karena
masalah kesehatan yang signifikan, seperti tingkat kematian bayi dan ibu
yang tinggi, penyakit menular, serta masalah kesehatan masyarakat adat
yang berbeda dari budaya di wilayah lain di Indonesia. Penemuan kasus
baru kusta di antaranya merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB), lebih
banyak terjadi pada laki-laki.
B. Saran
1. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
menjaga lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
2. Mengembangkan strategi pencegahan dan pengendalian penyakit yang
mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan seperti perubahan iklim dan
interaksi manusia dengan lingkungannya.
3. Melakukan pemantauan dan penelitian lebih lanjut terkaiit dampak
perubahan iklim terhadap penyebaran penyakit, terutama penyakit yang
rentan terhadap perubahan iklim seperti tuberkluosis, PES , dan kusta.
4. Meningkatkan akses dan layanan kesehatan terutama bagi kelompok rentan.
5. Mengintensifkan upaya pengendalian vektor ppenyakit seperti aedes
aegypti, melalui program pengendalian vektor yang efektif dan edukasi
masyarakat tentang tindakan pencegahan.
6. Mendorong kerjasama lintas sektor dalam menghadapi tantangan
epidemiologi yang terkait dengan faaktor lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adinda Mega Putri, Imam Thohari and Ernita Sari (2022) ‘Kondisi Fisik Rumah
(Jenis Dinding, Jenis Lantai, Pencahayaan, Kelembaban, Ventilasi, Suhu,
dan Kepadatan Hunian) Mempengaruhi Kejadian Penyakit Tuberkulosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Krian Sidoarjo Tahun 2021’, Gema Lingkungan
Kesehatan, 20(1), pp. 22–28. doi: 10.36568/gelinkes.v20i1.5.
Amalia Yunia Rahmawati. (2021). Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Kusta Di
Rsup Dr. Rivai Abdullah Tahun 2021. July, 1–23.
Booth Mark. (2018). Climate Change and The Negleted Tropical Diseases.
Newcastle: Elseviar
CDC (2020) TBC Prevention. Available at:
https://www.cdc.gov/tb/topic/basics/tbprevention.htm.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular. (2023).
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2PM - Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Kinerja 2022. Jakarta: Ditjen P2P Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Tahunan Program TBC Nasional Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2P Kemenkes
RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Tahunan Program Penanggulangan Kusta Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2P
Kemenkes RI.
Febrilia, S. F. et al. (2022) ‘Hubungan Faktor Manusia dan Lingkungan Rumah
Terhadap Kejadian Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Rejosari Kota
Pekanbaru’, Jurnal Kesehatan Komunitas, 8(3), pp. 436–442. doi:
10.25311/keskom.vol8.iss3.618.
Gannika, L. (2016) ‘Tingkat Pengetahuan Keteraturan Berobat dan Sikap Klien
Terhadap Terjadinya Penyakit TBC Paru di Ruang Perawatan I dan II RS
Islam Faisal Makassar’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 4(1), pp.
55–62. doi: 10.35816/jiskh.v4i1.86.
Hidayatullah, A., Navianti, D. and Damanik, H. D. L. (2021) ‘Kondisi Fisik
Rumah Terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Pari di Wilayah Kerja
Puskesmas’, Jurnal Sanitasi Lingkungan, 1(2), pp. 72–79.
Hidayati, I., Andiarna, F., & Suprayogi, D. (2020). Correlation between Humidity
and Illumination with Leprosy Occurrence Hubungan Kelembapan dan
Pencahayaan dengan Kejadian Kusta. Jurnal Teknologi Kesehatan, 16(1), 1–
7.
Hutama, H. I., Riyanti, E. and Kusumawati, A. (2019). ‘Gambaran Perilaku
Penderita Tuberculosis Paru Dalam Pencegahan Penularan Tuberculosis Paru
Dikabupaten Klaten’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1), pp. 491–500.
Kemenkes RI. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang
Rumah.
Kementerian Kesehatan RI. (2019a). Profil Kesehatan Indonesia 2018. In Health
Statistics. Kementerian Kesehatan RI.
https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2018.pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2019b). Riset Kesehatan Dasar 2018.
Kementerian Kesehatan RI. (2020). Jangan Abaikan TBC di Masa Pandemi
Covid-19 Menuju Eliminasi TBC Tahun 2030. Balitbangkes.
https://www.balaibaturaja.litbang.kemkes.go.id/read-jangan-abaikan-tbc-di-
masa-pandemi-covid19-menuju-eliminasi-tbc-tahun-2030
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran: Tata Laksana Tuberkulosis.
Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2021). Pravalensi Kusta Pada Anak Tinggi,
Temukan Kasusnya, Periksa Kontak dan Obati Sampai Tuntas.
Kementerian Kesehatan RI. (2022). Rencana Aksi Program Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. In Rencana AKSI Program P2P.
http://www.jikm.unsri.ac.id/index.php/jikm
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Profil Kesehatan Indonesia 2022. Jakarta:
Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Indonesia Raih Rekor Capaian Deteksi TBC
Tertinggi di Tahun 2022. Kementerian Kesehatan RI.
https://ayosehat.kemkes.go.id/indonesia-raih-rekor-capaian-deteksi-tbc-
tertinggi-di-tahun-2022
Mar’iyah, K. and Zulkarnain (2021) ‘Patofisiologi Penyakit Infeksi Tuberkulosis’,
Prosiding Biologi Achieving the Sustainable Development Goals with
Biodiversity in Confronting Climate Change, 7(1), pp. 88–92. Available at:
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/psb.
Mphande-Nyasulu, F. A., Puengpipattrakul, P., Praipruksaphan, M., Keeree, A., &
Ruanngean, K. (2022). Prevalence of Tuberculosis (TB), Including Multi-
Drug-Resistant and Extensively-Drug-Resistant TB, and Association with
Occupation in Adults at Sirindhorn Hospital, Bangkok. IJID Regions, 2(11),
141–148. https://doi.org/10.1016/j.ijregi.2022.01.004
Srisantyorini, T., Nabilla, P., Herdiansyah, D., Dihartawan, Fajrini, F., &
Suherman. (2022). Analisis Spasial Kejadian Tuberkulosis di Wilayah DKI
Jakarta. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 18, 131–138.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/JKK
Tambaip, B., & Tjilen, A. P. (2023). Analisis Kebijakan Publik Dalam Derajat
Kesehatan Di Papua. Jurnal Kebijakan Publik, 14(1), 101.
https://doi.org/10.31258/jkp.v14i1.8232
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. (2022). TBC.
Artikel Kementerian Kesehatan RI. Available at:
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1375/tbc
Turner, R. D., Chiu, C., Churchyard, G. J., Esmail, H., Lewinsohn, D. M.,
Gandhi, N. R., & Fennelly, K. P. (2017). Tuberculosis Infectiousness and
Host Susceptibility. Journal of Infectious Diseases, 216(Suppl 6), S636–
S643. https://doi.org/10.1093/infdis/jix361
World Health Organization. (2020). Global Tuberculosis Report 2020.
https://doi.org/10.1787/f494a701-en
World Health Organization. (2022). Global Tuberculosis Report 2022. Geneva:
WHO
World Health Organization. (2023). Global Tuberculosis Report 2022.
World Health Organization. 2023. Leprosy. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/leprosy
Wulandari, A., & Rivita, M. (2021). Hubungan Pengetahuan dan Dukungan
Keluarga terhadap Perawatan Diri Penderita Kusta di RSUP Dr. Sitanala
Kota Tangerang Relationship between Knowledge and Family Support for
Self-Care of Leprosy Patients in RSUP Dr. Sitanala Kota Tangerang. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Masyarakat, 13, 113.
Yosua, M. I., Ningsih, F. and Ovany, R. (2022) ‘Hubungan Kondisi Lingkungan
Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru’, Jurnal Surya Medika
(JSM), 8(1), pp. 136–141. Available at:
https://journal.umpr.ac.id/index.php/jsm/article/view/3455.