Anda di halaman 1dari 34

TUGAS KELOMPOK

Mata Kuliah : Epidemiologi Lanjut (A)


Dosen Pengampu : Prof. Dr. drg. A. Arsunan Arsin, M.Kes., CWM

FENOMENA LINGKUNGAN DALAM ASPEK EPIDEMIOLOGI

OLEH:
KELOMPOK I

Ferni Rompon K0122310


Restidar Soedarto K012231052

MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2024
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, dan kelembaban yang
merupakan akibat dari perubahan iklim secara global memberikan dampak
yang signifikan terhadap banyak patogen menular dan polanya. Perubahan
iklim dapat mempengaruhi patogen, baik secara langsung melalui
pengaruhnya terhadap siklus hidup patogen ataupun secara tidak langsung
dengan mempengaruhi habitat dan lingkungan dimana mereka berada juga
dapat mempengaruhi distribusi patogen secara geografis (Uwishema, 2023).
Dari penelitian yang dikutip dalam Laporan Kementerian Kesehatan
bersama dengan Unicef dan BMKG pada tahun 2021 menyebutkan,
peningkatan suhu yang terjadi akibat perubahan iklim dapat meningkatkan
laju perkembangbiakan agen penyakit, memperpendek durasi inkubasi
ekstrinsik, serta mempercepat laju perkembangan nyamuk. Fenomena ini
berdampak pada peningkatan penyebaran atau kejadian penyakit seperti yang
ditular lewat udara (Tuberkulosis, PES, Campak, dan Kusta), tular vektor
(DBD dan Malaria), tular air (Diare), serta penyakit sensitif iklim lainnya pada
penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Tuberkulosis (TBC) saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat baik di Indonesia maupun internasional. Tuberculosis adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri tersebut menyebar dari penderita TBC melalui udara. Bakteri TBC ini
biasanya menyerang organ paru, namun dapat juga menyerang selain paru
(ekstra paru). Hampir seperempat penduduk dunia terinfeksi dengan bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Sekitar 89% TBC diderita oleh orang dewasa
dan 11 % diderita oleh anak-anak. Sampai saat ini TBC masih merupakan
penyebab kematian tertinggi setelah HIV/AIDS, dan merupakan salah satu
dari 20 penyebab utama kematian di seluruh dunia. Sebagian besar estimasi
kematian yang disebabkan TBC tercatat di empat negara, yaitu India,
Indonesia, Myanmar, dan Filipina. Jumlah kematian akibat TBC (di antara
pasien HIV negatif) secara global pada tahun 2021 sebesar 1,4 juta, hal ini
mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2020 yaitu sebesar 1,3 juta.
Indonesia merupaka negara peringkat ke-2 penderita TBC tertinggi di dunia
setelah India dengan proporsi kasus baru sebesar 13% seluruh kasus di dunia.
Secara global, diperkirakan 10,6 juta orang menderita TBC pada tahun 2021
(WHO, Global Tuberculosis Report, 2022). Pada tahun 2022 jumlah kasus
Tuberkulosis yang ditemukan di Indonesia sebanyak 677.464 kasus,
meningkat cukup tinggi bila dibandingkan kasus Tuberkulosis pada tahun
2021 sebesar 397.377 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Penyakit lainnya yang ditularkan melalui udara adalah PES. PES atau
sampar merupakan salah satu penyakit tertua yang dapat diintroduksi oleh
umat manusia dan terus mewabah di masyarakat dunia karena
menyebabkan pandemi yang sangat mematikan. PES merupakan penyakit
menular yang disebabkan oleh bibit penyakit Yersinia pestis, melalui gigitan
pinjal yang hidup pada tikus. Penularan dari manusia ke manusia terjadi
melalui yang mengandung pes (Rima, 2023).
Wabah pes dikenal dengan black death karena menyebabkan tiga jenis
wabah, yaitu bubonik, pneumonik dan septikemik. Ketiganya menyerang
system limfe tubuh, menyebabkan pembesaran kelenjar, panas tinggi, sakit
kepala, muntah dan nyeri pada persendian. Wabah pneumonik juga
menyebabkan batuk lendir berdarah, wabah septikemik menyebabkan warna
kulit berubah menjadi merah lembayung. Dalam semua kasus, kematian
datang dengan cepat dan tingkat kematian bervariasi dari 30-75% bagi
bubonik, 90-95% bagi pneumonik dan 100% bagi septikemik. Akan tetapi,
dengan pengobatan yang tepat, penyakit pes dapat disembuhkan, karena
berhasil diobati dengan sukses menggunakan antibiotika.Penyakit pes pertama
kali masuk Indonesia pada tahun 1910 melalui Tanjung Perak, Surabaya,
kemudian tahun 1916 melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, tahun 1923
melalui pelabuhan Cirebon dan pada tahun 1927 melalui pelabuhan Tegal.
Korban manusia meninggal karena pes dari 1910-1960 tercatat 245.375 orang,
kematian tertinggi terjadi pada tahun 1934, yaitu 23.275 orang. Wabah
penyakit pes pernah terjadi di sebagian besar daratan Eropa pada tahun1400
yang menelan korban sebanyak 25 juta jiwa. Pada tahun 1984, pandemik pes
sudah menyebar hamper ke seluruh benua, yang diduga berasal dari Canton
daratan Cina. Di Indonesia, ada 4 (empat) wilayah yang pernah terjadi
kasus pes, yaitu Kabupaten Boyolali Jawa Tengah, Kabupaten Pasuruan
Jawa Timur, Kabupaten Sleman DI Yogyakarta, dan Kabupaten Bandung
Jawa Barat. Sebagai hasil penilaian eksternal yang dilakukan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit di Fort Collins, Indonesia dikatakan sebagai tempat
rawan pes dan terlokalisir (Kementerian Kesehatan RI, 2022).
Penyakit pes merupakan salah satu penyakit menular yang termasuk
dalam UU nomor 4 tahun 1984 tentang penyakit menular/ wabah, Peraturan
Menteri Kesehatan RI nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang jenis
penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah, tata cara penyampaian
laporannya dan tata cara seperlunya tentang pedoman penyelidikan
epidemiologi dan penanggulangan Kejadian Luar Biasa serta International
Classification of Disease ( ICD ).Di Indonesia telah diupayakan
penanggulangan penyakit per melalui beberapa kegiatan yang mendukung,
seperti surveilans trapping, surveilans human, pengamnilan dan pengiriman
spesies, pengadaan obat-obatan dan Disponsible syringe, dan pengadaan metal
life trap (Kartika dkk, 2023).

Fenomena perubahan lingkungan yang terjadi saat ini juga


mempengaruhi pola persebaran penyakit, termasuk penyakit tropis yang
terabaikan atau Neglected Tropical Diseases (NDTs) (Booth, 2018). Banyak
NDTs dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan seperti variasi suhu,
curah hujan, kelembaban, ataupun cuaca ekstrim. Salah satu NDTs yang
menjadi prioritas Indonesia saat ini adalah Kusta (Kementerian Kesehatan RI,
2023).
Kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan bakteri
Mycobacterium leprae. Penyakit kusta bersifat kronis, menyerang kulit, saraf
tepi, dan organ tubuh lain kecuali saraf pusat. Kusta merupakan penyakit
tropis terabaikan yang masih menjadi masalah kesehatan di lebih dari 120
negara, dengan lebih dari 200.000 kasus baru dilaporkan setiap tahunnya
(www.who.int). Indonesia menempati urutan ke 3 di dunia dengan jumlah
kasus baru terbanyak di tahun 2020 (Ditjen P2PM, 2023). Angka prevalensi
kusta di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 0,54 kasus per 10.000 penduduk
dan angka penemuan kasus baru sebesar 0,45 kasus per 100.000 penduduk
(Kementerian Kesehatan RI, 2023).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit Tuberkulosis?
2. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit PES?
3. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit Kusta?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit Tuberkulosis?
2. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit Pes?
3. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit Kusta?

D. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapakan dapat meningkatkan pengetahuan
bagi penulis maupun pembaca mengenai gambaran epidemiologi penyakit
Tuberkulosis, Kusta dan Pes.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Tuberkulosis
1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri yang
berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga sering juga dikenal
dengan Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri ini sebagian besar menyerang
parenkim paru (TB Paru), tetapi bakteri ini juga memiliki kemampuan
menginfeksi organ lain (TB Ekstra Paru) seperti pleura, kelenjar limfe,
tulang dan organ ekstra paru lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2020).

2. Etiologi Tuberkulosis
Penyebab tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium Tuberculosis
yang berbahaya bagi manusia dan termasuk dalam famili Mycobacteria.
Bakteri ini merupakan bakteri gram positif yang bersifat aerob obligat
(bakteri yang mutlak membutuhkan oksigen yang bebas untuk hidupnya),
tidak mempunyai endospora dan kapsul, serta berbentuk sel batang dengan
dinding sel lipoid yang tahan asam. Ukuran 0,2-0,4 μm, tumbuh secara
perlahan selama 2-60 hari pada suhu 37℃. Bakteri ini akan mati jika
berada di bawah sinar matahari karena rentan terhadap sinar matahari atau
sinar ultraviolet, bila berada di luar lingkungan air dengan suhu 1000 akan
mati dalam waktu 2 menit, serta terkena alkohol 70% atau 50% lisol
(Hutama, Riyanti dan Kusumawati, 2019).
Tuberkulosis penularannya dari manusia ke manusia lain melalui
udara berupa percik renik atau droplet nucleus (< 5 microns) yang keluar
ketika seorang yang terinfeksi TB paru, bersin, atau bicara. Percik renik
merupakan partikel kecil berdiameter 1-5 μm dapat menampung 1-5 basili,
dan bersifat sangat infeksius, dan dapat bertahan selama 4 jam di udara.
Ketika batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis
yang diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil
(Kementerian Kesehatan RI, 2020).
3. Patofisiologi Tuberkulosis
Agen penyebab Mycobacterium Tuberculosis masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, melalui luka
terbuka pada kulit, dan sebagian besar infeksi tuberkulosis paru terjadi
melalui tetesan udara (airborne), yaitu dengan menghirup tetesan yang
mengandung patogen Mycobacterium Tuberculosis yang berasal dari
orang yang terinfeksi (Gannika, 2016). Seseorang yang menghirup bakteri
Mycobacterium Tuberculosis akan menyebabkan bakteri tersebut masuk
ke dalam alveoli melalui saluran pernapasan, alveoli menjadi tempat
bakteri, berkumpul dan berkembang biak. Mycobacterium Tuberculosis
juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang, korteks
serebral, dan area lain di paru-paru (lobus atas) melalui sistem limfatik dan
cairan tubuh. Sistem imun dan sistem imun akan merespon dengan respon
inflamasi. Fagosit menekan bakteri, dan limfosit tuberkulosis
menghancurkan (melisiskan) bakteri dan jaringan normal. Reaksi ini
menyebabkan eksudat menumpuk di alveoli dan dapat menyebabkan
bronko pneumonia. Infeksi awal sering terjadi pada kurung waktu 2-10
minggu setelah terpapar bakteri (Mar’iyah dan Zulkarnain, 2021).

4. Gejala Tuberkulosis
Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Tuberkulosis oleh (Kementerian Kesehatan RI, 2020), gejala
penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat menunjukkan
manifestasi klinis sebagai berikut: 1. Batuk ≥ 2 minggu; 2. Batuk
berdahak; 3. Batuk berdahak dapat bercampur darah; 4. Dapat disertai
nyeri dada; 5. Sesak napas, diikuti dengan gejala lain meliputi : 1. Malaise;
2. Penurunan berat badan; 3. Menurunnya nafsu makan; 4. Menggigil; 5.
Demam; 6. Berkeringat di malam hari.
5. Diagnosis Tuberkulosis
Jika pasien diduga mengalami TB, dokter akan meminta pasien
menjalani pemeriksaan dahak yang disebut pemeriksaan BTA. Pada kasus
TB pada organ selain paru, pemeriksaan BTA juga dapat dilakukan
dengan menggunakan sampel selain dahak. Jika dokter membutuhkan
hasil yang lebih spesifik, pasien akan dianjurkan untuk menjalani tes
kultur BTA. Tes ini juga menggunakan sampel dahak pasien, tetapi
memerlukan waktu yang lebih lama.
Selain pemeriksaan BTA, dokter dapat melakukan serangkaian
pemeriksaan TBC lainnya untuk mendukung diagnosis, yaitu: 1. Tes
kulit mantoux atau tuberculin skin test; 2. Tes darah IGRA (Interferon
Gamma Release Assay); 3. Bronkoskopi; 4. Foto Rontgen; 5. CT scan
(Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, 2022).

6. Pencegahan Tuberkulosis
Salah satu langkah pencegahan tuberkulosis paru yaitu dengan
pemberian vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Kategori vaksin ini
juga termasuk imunisasi yang juga wajib diberikan saat sebelum bayi
berumur 2 bulan serta orang yang belum pernah mendapatkan vaksin BCG
harus mendapatkan vaksin jika ada anggota keluarga yang menderita TBC
paru. Tuberkulosis paru ini dapat dilakukan pencegahan yaitu dengan cara
yang sederhana, seperti dengan memakai masker di tempat umum dan
kontak langsung dengan pasien TB paru serta sering mencuci tangan.
Bahkan setalah di rawat di awal pengobatan (biasanya 2 bulan), pasien TB
paru masih dapat menularkan penyakitnya. Selain itu juga ada acara
pencegahan penularan infeksi pada TB paru yaitu: 1. Menutup mulut
dengan tisu saat bersin dan batuk dan segera buang; 2. Jangan membuang
droplet atau meludah sembarangan; 3. Pastikan terdapat pertukaran udara
baik di dalam rumah dan sinar matahari dapat masuk; 4. Jangan berada
atau tinggal sekamar dengan orang yang sehat, sampai dokter mengatakan
TB paru anda tidak lagi menular (CDC, 2020).
7. Hubungan Lingkungan dengan Penyakit Tuberkulosis
Lingkungan merupakan salah satu faktor risiko terhadap kejadian
tuberkulosis. Terutama lingkungan rumah merupakan salah satu faktor
yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya.
Salah satu faktor risiko yang erat hubungannya dengan penularan kejadian
TB adalah kondisi lingkungan perumahan meliputi suhu dalam rumah,
ventilasi, pencahayaan dalam rumah, kelembaban rumah, kepadatan
penghuni, dan lingkungan sekitar rumah (Hidayatullah, Navianti dan
Damanik, 2021).
Ventilasi rumah yang memenuhi syarat berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/MENKES/KES/
SK/VII/1999 yaitu luas ventilasi permanen >10% luas lantai (Yosua,
Ningsih dan Ovany, 2022). Pengaruh buruk pada suatu rumah dengan
kurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya
kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan
kelembaban udara ruangan bertambah. Hal tersebut bisa menjadi faktor
risiko memperbesar terjadinya tuberkulosis paru karena bakteri
tuberkulosis dapat bertahan hidup dalam waktu lama di tempat yang
lembab dan gelap. Persyaratan pencahayaan yang memenuhi syarat dalam
ruang rumah menurut Permenkes RI No. 1077/MENKES/PER/V/2011
adalah minimal 60 Lux.
Cahaya alami sangat penting masuk kedalam rumah karena dapat
membunuh bakteri-bakteri pathogen dalam rumah misalnya basil
Tuberkulosis. Bakteri Tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari pagi
karena banyak mengandung sinar ultraviolet, tetapi bakteri ini dapat hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab (Adinda Mega Putri, Imam
Thohari dan Ernita Sari, 2022).
Rumah dengan kelembaban udara yang tidak memenuhi
persyaratan dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayan yang tidak
lancar atau kurang akan menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek
dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Penelitian yang
dilakukan Febrilia menjelaskan bahwa lingkungan dengan kelembaban
yang tidak memenuhi syarat merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan Mycobacterium Tuberculosis, bakteri ini dapat hidup di
lingkungan dengan kelembaban yang tinggi untuk menjamin kelangsungan
hidupnya. Hal tersebut merupakan faktor risiko terjadinya penularan
penyakit tuberkulosis paru akan sangat mudah terjadi dengan dukungan
faktor lingkungan yang kurang sehat tersebut sehingga dapat menginfeksi
penghuni rumah yang ada didalamnya (Febrilia et al., 2022). Suhu
ruangan dalam rumah yang ideal adalah berkisar antara 18-20°C.
Berdasarkan Kepmenkes No. 829/75/Menkes/SK/VII/1999, suhu ruangan
dalam rumah yang ideal yaitu berkisar antara 18-30oC (Kemenkes RI,
2018).

B. Tinjauan Umum tentang Penyakit PES


1. Definisi PES
2. Etiologi PES
3. Patofisiologis PES
4. Gejala PES
5. Diagnosis PES
6. Hubungan Lingkungan dengan Penyakit PES

C. Tinjauan Umum tentang Kusta


1. Definisi Demam Kusta
Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit menular kronis dengan
keterlibatan yang menonjol pada kulit dan saraf yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium leprae. Kusta dibagi menjadi dua bentuk utama yang
bergantung pada derajat dan jenis kekebalan Kusta dengan respons Th2
yang dominan dan tuberkuloid dengan respons Th1 yang dominan. Kusta
merupakan masalah kesehatan yang serius di sejumlah Negara
berpenghasilan rendah. Meskipun jarang membunuh, Kusta merupakan
penyakit yang merusak, melumpuhkan, dan menstigmatisasi
Mycobacterium leprae berkembang biak dengan lambat dan masa inkubasi
penyakit rata-rata adalah 3-5 tahun. Gejala dapat terjadi dalam 1 tahun
tetapi juga dapat berlangsung selama 20 tahun atau bahkan lebih. Penyakit
ini dapat disembuhkan dengan terapi multiobat. Kusta kemungkinan
ditularkan melalui droplets, dari hidung dan mulut, selama kontak dekat
dan sering dengan kasus yang tidak diobati (Sibero, 2021).
2. Etiologi Kusta
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae dimana
untuk pertama kali ditemukan oleh G.H Armauer Hansen pada tahun 1873.
M.Leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel
saraf (Schwan Cell) dan sel dari sistem retikulo endotelial. Waktu
pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam
kondisi tropis) kuman kusta dari secret nasal dapat bertahan sampai 9 hari.
Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus adalah pada suhu
27-30 derajat celcius. Kuman kusta ditemukan oleh G.A. Hansen pada
tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belun juga dapat
dibiakkan dalam media artifisial.M.Leprae berbentuk basil tahan asam,
dan alkohol serta gram-positif (Indriani, 2019).
3. Patofisiologis Kusta
Kusta dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, tergantung
pada respons tubuh terhadap organisme tersebut. Individu yang
mempunyai respon imun seluler yang kuat terhadap M leprae menderita
penyakit tuberkuloid yang biasanya menyerang kulit dan saraf tepi. Jenis
reaksinya meliputi reaksi tipe 1. Jumlah lesi kulit terbatas, cenderung
kering dan hipoestetik. Keterlibatan saraf biasanya asimetris. Bentuk
penyakit ini juga disebut sebagai kusta paucibacillary karena rendahnya
jumlah bakteri pada lesi kulit (yaitu <5 lesi kulit, tanpa adanya organisme
pada apusan). Hasil tes kulit dengan antigen dari organisme yang dibunuh
positif pada individu tersebut. Individu dengan respon imun seluler
minimal mempunyai bentuk penyakit lepromatosa, yang ditandai dengan
keterlibatan kulit yang luas. Lesi kulit sering digambarkan sebagai nodul
dan plak yang menyusup, dan keterlibatan saraf cenderung simetris dalam
distribusinya. Organisme ini tumbuh paling baik pada suhu 27-30°C; oleh
karena itu, lesi kulit cenderung berkembang di area tubuh yang lebih
dingin, kecuali di selangkangan, aksila, dan kulit kepala. Bentuk penyakit
ini juga disebut sebagai kusta multibasiler karena banyaknya bakteri yang
ditemukan pada lesi (yaitu >6 lesi, dengan kemungkinan visualisasi basil
pada apusan). Hasil tes kulit dengan antigen dari organisme yang dibunuh
tidak reaktif.
Pasien mungkin juga datang dengan ciri-ciri dari kedua kategori
tersebut (kusta indeterminate atau borderline); namun, seiring berjalannya
waktu, mereka biasanya berkembang menjadi salah satu atau yang
lainnya. Menariknya, sebagian besar orang yang terkena penyakit kusta
tidak pernah terserang penyakit tersebut, kemungkinan besar karena lebih
dari 95% orang memiliki kekebalan alami terhadap penyakit tersebut.
Kusta memiliki 2 skema klasifikasi: sistem Ridley-Jopling 5
kategori dan standar WHO yang lebih sederhana dan umum digunakan.
1. Ridley-Jopling: Tergantung pada respons tubuh terhadap organisme
tersebut, penyakit kusta dapat bermanifestasi secara klinis sepanjang
spektrum yang dibatasi oleh bentuk penyakit tuberkuloid dan
lepromatosa. Sebagian besar pasien termasuk dalam klasifikasi
menengah, yang meliputi kusta borderline tuberculoid (BT), kusta
midborderline (BB), dan kusta borderline lepromatous
(BL). Klasifikasi penyakit biasanya berubah seiring perkembangan dan
penanganannya. Sistem Ridley-Jopling digunakan secara global dan
menjadi dasar studi klinis kusta. Hal ini juga mungkin lebih berguna
dalam memandu rejimen pengobatan dan menilai risiko komplikasi
akut.
2. Menurut WHO, di suatu daerah endemis, seseorang dianggap
mengidap kusta jika menunjukkan salah satu dari 2 tanda berikut: 1)
Lesi kulit yang berhubungan dengan penyakit kusta dan kehilangan
sensorik tertentu, dengan atau tanpa penebalan saraf dan 2) Noda kulit
positif.
4. Diagnosis Kusta
Diagnosis kusta ditegakkan secara klinis. Layanan berbasis
laboratorium mungkin diperlukan dalam kasus yang sulit
didiagnosis. Penyakit ini umumnya bermanifestasi melalui lesi kulit dan
keterlibatan saraf tepi. Kusta didiagnosis dengan menemukan setidaknya
satu dari tanda-tanda utama berikut :
1. Hilangnya sensasi pada bercak kulit pucat (hipopigmentasi) atau
kemerahan
2. Saraf tepi menebal atau membesar, disertai hilangnya sensasi dan/atau
kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf tersebut;
3. Deteksi mikroskopis basil pada apusan celah kulit.
5. Hubungan Lingkungan dengan Penyakit Kusta
Keadaan lingkungan sekitar merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya penularan penyakit kusta. Kelembapan dan pencahayaan yang
cukup mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Santoso,
keberadaan ventilasi memiliki fungsi sebagai pengaturan cahaya sinar
ultraviolet berpengaruh untuk membunuh bakteri Mycobacteruim leprae.
Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup yakni cahaya matahari
minimal masuk sebanyak 60 lux dengan syarat tidak membuat silau mata.
Sedangkan pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat rumah sehat
memiliki risiko 2,5 kali terkena penyakit tuberculosis dan kusta.
menjelaskan bahwa lingkungan tempat tinggal penderita kusta memiliki
kelembapan lebih buruk dibandingkan tempat tinggal yang bukan
penderita. Kelembapan ini disebabkan pencahayaan yang kurang dan tidak
memiliki jendela sehingga kondisi ruangan menjadi lembab. Amiruddin
dalam bukunya menjelaskan bahwa kelembapan tinggi menyebabkan
membran mukosa hidung menjadi kering, sehingga kurang efektif dalam
menghalangi mikroorganisme yang masuk ke dalam sekret hidung.
Mycobacterium leprae dapat hidup dalam angka kelembapan yang kering
yaitu pada temperatur kamar 32˚C dengan kelembapan 77,6% (Hidayati
dkk, 2020).
BAB III
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT

A. Tuberkulosis (TBC)
1. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Waktu
Gambar 1.
Angka Notifikasi Semua Kasus Tuberkulosis
Per 100.000 Penduduk Tahun 2012-2023
300 263.5
250 214 210
200 169
Per 100.000 Penduduk

138 139 146


135 129 130 130
150

100

50

0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Angka notifikasi semua kasus atau case notification rate (CNR)


adalah jumlah semua kasus tuberculosis yang diobati dan dilaporkan di
antara 100.000 penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu. Gambar di
atas menunjukkan bahwa CNR tuberkulosis di Indonesia dari tahun 2012
sampai dengan tahun 2023 cenderung meningkat. Kenaikan yang cukup
signifikan terjadi pada tahun 2023, sementara rendahnya CNR pada tahun
2020 dan 2021 dikarenakan adanya pandemi covid-19 yang membatasi
kegiatan masyarkat sehingga berdampak pada kegiatan untuk menemukan
kasus tuberkulosis.
2. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Tempat
Gambar 2.
Angka Notifikasi Semua Kasus Tuberkulosis
Per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi Tahun 2023

DKI Jakarta 501


Papua 454
Gorontalo 387
Jawa Barat 364
Sulawesi Utara 343
Papua Barat 341
Banten 318
Sumatera Utara 275
Sulawesi Selatan 267
Sumatera Barat 266
Maluku 258
Kepulauan Riau 256
Sumatera Selatan 249
Kalimantan Barat 248
Maluku Utara 247
Kalimantan Timur 239
Kalimantan Utara 223
Sulawesi Tenggara 222
Aceh 222
Sulawesi Tengah 222
Jawa Tengah 219
Lampung 214
Sulawesi Barat 206
Kalimantan Selatan 196
Jawa Timur 194
Riau 189
Nusa Tenggara… 186
Kep. Bangka… 184
Bengkulu 172
Kalimantan Tengah 172
Jambi 162
DI Yogyakarta 158
Nusa Tenggara… 157
Bali
102

0 100 200 300 400 500 600


Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Angka notifikasi semua tuberkulosis menurut provinsi tahun 2023


bervariasi antara 102 – 501 kasus per 100.000 penduduk, dengan CNR
tertinggi pada Provinsi DKI Jakarta dan Terendah pada Provinsi Bali.
3. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Orang
Gambar 3.
Kasus Tuberkulosis Menurut Kelompok Umur
Di Indonesia Tahun 2023

≥65
tahun 0-14 tahun
9.7% 15.3%
55-64 tahun
14.9% 15-24 tahun
14.2%
45-54 tahun
16.5% 25-34 tahun
35-44 14.7%
tahun
14.7%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Gambar di atas menunjukan bahwa pada tahun 2022 kasus TBC


terbanyak ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar
16,5%, diikuti kelompok umur 25-34 tahun dan 55-64 tahun yang masing-
masing sebesar 14,7%. Sedangkan kasus TBC paling rendah ditemukan
pada kelompok umum ≥65 tahun sebesar 9,7%.
Gambar 4.
Kasus Tuberkulosis Menurut Jenis Kelamin
Di Indonesia Tahun 2023

Perempuan
42.2%
Laki-laki
57.8%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023


Jika dibandingkan dengan jenis kelamin, kasus TBC di Indonesia
paling tinggi dialami oleh laki-laki (57,8%) dibandingkan dengan
perempuan.

B. Kusta
1. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Waktu
Gambar 21.
Distribusi Kasus Kusta Menurut Angka Prevalensi, Insidensi dan Tingka
Kecacatan Di Indonesia Tahun 2012-2023
10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Angka prevalensi kusta per
0.91 0.79 0.79 0.79 0.71 0.70 0.70 0.74 0.49 0.45 0.54
10.000 penduduk
Angka insidensi kusta per
7.8 6.8 6.8 6.7 6.5 6.1 6.4 6.5 4.1 4.0 4.5
100.000 penduduk
Angka Cacat Tk. 2 per
8.7 6.8 6.3 6.6 5.3 4.3 4.2 4.2 2.3 2.5 2.9
1.000.000 penduduk

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Tren angka kejadian kusta selama sebelas tahun terakhir relatif


menurun. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2023 sebesar
0,54 kasus per 10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar
4,5 kasus per 100.000 penduduk. Selain itu, angka cacat tingkat 2 sebesar
2,9 kasus per 1.000.000 penduduk. Angka cacat tingkat 2 merupakan
indikator yang digunakan untuk menunjukkan keberhasilan penemuan
kasus baru kusta secara dini.
2. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Tempat
Gambar 22.
Angka Penemuan Kasus Baru Kusta
Per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi Tahun 2023

Papua Barat 67.7


Maluku Utara 47.4
Papua 27.7
Sulawesi Utara 18.8
Maluku 16.9
Gorontalo 12.4
Sulawesi Barat 11.0
Sulawesi Tengah 9.7
Sulawesi Selatan 8.2
Nusa Tenggara… 7.9
Sulawesi Tenggara 7.8
Jawa Timur 5.5
Kalimantan Utara 5.4
Banten 4.5
Aceh 3.8
Jawa Barat 3.4
Kalimantan Timur 3.3
Nusa Tenggara… 3.1
DKI Jakarta 3.1
Kalimantan Tengah 3.0
Jawa Tengah 2.8
Sumatera Selatan 2.6
Kalimantan Selatan 2.3
Bali 2.2
Kep. Bangka… 2.1
Kepulauan Riau 1.5
Lampung 1.5
Bengkulu 1.3
Kalimantan Barat 1.1
Jambi 1.1
Riau 1.1
Sumatera Barat 1.0
Sumatera Utara 1.0
DI Yogyakarta 0.9

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0


Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Secara nasional, angka penemuan kasus kusta baru pada tahun


2023 sebesar 4,6 kasus per 100.000 penduduk. Provinsi dengan angka
penemuan tertinggi terjadi Provinsi Papua Barat dengan angka penemuan
kasus kusta baru mencapai 67,7 kasus per 100.000 penduduk sedangkan
angka penemuan terendah terjadi pada Provinsi DI Yogyakarta dengan
angka penemuan sebesar 0,9 kasus per 100.000 penduduk.
3. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Orang
Gambar 23.
Penemuan Kasus Baru Menurut Tipe Kusta
Di Indonesia Tahun 2023
Pausi Basiler /
Kusta Kering
10.2%

Multi Basiler /
Kusta Basah
89.8%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Pada tahun 2023 dilaporkan terdapat 12.612 kasus baru kusta yang
hampir 90% di antaranya merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB).
Gambar 24.
Penemuan Kasus Baru Kusta Menurut Jenis Kelamin
Di Indonesia Tahun 2023

Perempuan
36.2%

Laki-laki
63.8%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023


Jika dibandingkan menurut jenis kelamin, penemuan kasus baru
kusta di Indonesia pada tahun 2023 lebih banyak terjadi pada laki-laki
yaitu sebesar 63,8%.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Tuberkulosis (TBC)

1. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Waktu


Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2023 pada Gambar 1 menunjukkan jumlah semua kasus tuberkulosis yang
diobati dan dilaporkan mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada
tahun 2023. Hal tersebut disebabkan pada tahun 2023, Kementerian
Kesehatan bersama dengan seluruh tenaga kesehatan berhasil mendeteksi
penderita Tuberkulosis (TBC) lebih dari 700 ribu kasus. Angka tersebut
merupakan capaian tertinggi sejak TBC dinyatakan sebagai program
prioritas nasional (Kementerian Kesehatan RI, 2023). Hal tersebut
disebabkan mobilitas penduduk yang meningkat setelah kasus COVID-19
menurun dan pencabutan pembatasan bepergian.
Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa angka notifikasi semua
kasus atau case notification rate (CNR) tuberkulosis di Indonesia dari
tahun 2012 sampai dengan tahun 2023 mengalami fluktuatif yaitu pada
tahun 2012 hingga 2018 cenderung meningkat, kemudian menurun hingga
tahun 2021. Kenaikan yang cukup signifikan Kembali terjadi pada tahun
2023, sementara rendahnya CNR pada tahun 2020 dan 2021 dikarenakan
masih banyaknya kasus yang belum terjangkau dan terdeteksi kemudian
diperparah ketika terjadi pandemi COVID-19 yang membatasi kegiatan
masyarakat sehingga berdampak pada kegiatan untuk penemukan kasus
tuberkulosis. Selain itu, kesibukan tenaga medis di fasilitas kesehatan
dalam melayani pasien Covid-19, yang mengakibatkan kelalaian pada
sistem layanan penyakit TBC, termasuk pengobatan dan diagnosis dan
keterbatasan fasilitas dan ruang perawatan untuk pasien TBC karena
penyedia layanan kesehatan terpaksa menggunakan fasilitas yang
seharusnya digunakan untuk penderita TBC, menjadi ruang isolasi untuk
merawat pasien COVID-19.
Hasil data dari Sistem informasi Tuberkulosis (SITB) Kementerian
Kesehatan RI per 16 Juli 2020 menunjukkan adanya penurunan angka
persentase pelaporan kasus TBC pada masa pandemi Covid-19 periode
Januari-Juni 2020 di fasilitas pelayanan kesehatan yakni puskesmas. Pada
bulan Januari ada 54% puskesmas yang melaporkan kasus TBC,
sedangkan pada bulan Juni hanya 27%. Begitu juga dengan rumah sakit,
laporan TBC pada bulan Januari hanya ada 35%, sedangkan di bulan Juni
semakin menurun menjadi 21%. Rendahnya pelaporan TBC di masa
pandemi Covid-19 ini akan berdampak besar pada ledakan jumlah
penderita TBC dunia termasuk di Indonesia. Diperkirakan akan ada
penambahan 6,3 juta kasus TBC baru dan 1,4 juta kematian pasien TBC di
dunia sepanjang tahun 2020-2025, ditambah lagi dengan adanya kasus
TBC yang tidak terlaporkan (Kementerian Kesehatan RI, 2020).
2. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Tempat
Angka notifikasi semua tuberkulosis menurut provinsi tahun 2022
bervariasi antara 102–501 kasus per 100.000 penduduk, dengan CNR
tertinggi pada Provinsi DKI Jakarta dan terendah pada Provinsi Bali.
Dimana Provinsi DKI Jakarta yang merupakan ibu kota Indonesia yang
memiliki 10 609,68 penduduk dan 15.978 jiwa/km2. Hal tersebut didukung
oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Srisantyorini pada tahun 2022
yang mengatakan kepadatan penduduk memiliki korelasi yang signifikan
dengan kasus baru TB pada tahun 2017-2019 (Srisantyorini et al., 2022).
Kepadatan penduduk dapat mempercepat penularan dan pemindahan
penyakit dari satu orang ke orang lain, terutama pada penyakit yang dapat
menular melalui udara/ droplet dalam keadaan jumlah penduduk yang
padat kuman yang berada di udara dapat terhirup dengan mudah oleh
banyak orang, salah satunya TB paru (Turner et al., 2017). Selain itu
kepadatan penduduk akan berpengaruh terhadap sirkulasi udara dalam
ruangan, kondisi ini berpotensi meningkatkan risiko dan intensitas infeksi
yang mempermudah transmisi penyakit (Raj et al., 2020). Tak hanya
kepadatan penduduk, factor lingkungan juga dapat menyebabkan Provinsi
DKI Jakarta dengan CNR TBC tertinggi. Lingkungan yang padat dan
kebersihan yang buruk dapat meningkatkan risiko penyebaran TB.
Sedangkan Jakarta memiliki masalah lingkungan tertentu yang dapat
mempengaruhi penyebaran penyakit ini seperti kualitas udara yang buruk.
Selain itu, CNR terendah pada Provinsi Bali disebabkan karena
dari hasil prevalensi rutin minum obat Provinsi Bali menduduki urutan ke-
7 dari 34 provinsi (Kementerian Kesehatan RI, 2019b). Hal tersebut
menunjukkan bahwa pasien tuberculosis di Provinsi Bali rutin melakukan
pengobatan sehingga menurunkan kasus tuberculosis. Kepadatan
Penduduk yang lebih rendah juga menjadi alasan Bali sebagai CNR
terendah. Kepadatan penduduk yang lebih rendah bisa mengurangi risiko
penyebaran TB karena kontak antarindividu yang potensial terinfeksi
menjadi lebih sedikit.
3. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Orang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2023 pada Gambar 3 menunjukkan kasus TBC terbanyak pada tahun 2022
ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar 16,5%, diikuti
kelompok umur 25-34 tahun dan 55-64 tahun yang masing-masing sebesar
14,7%. Hal tersebut sesuai dengan data Global TB Report tahun 2022
yang diketahui bahwa jumlah kasus TBC terbanyak di dunia menyerang
kelompok usia produktif terutama pada usia 45 sampai 54 tahun (World
Health Organization, 2023). Hal ini disebabkan karena tingginya mobilitas
kelompok produktif, yang kemudian membuat kuman mudah hinggap dan
masuk ke jaringan tubuh paling dalam. Stres dan lingkungan kerja yang
dialami kemlompok umur tersebur juga dapat berkontribusi pada
penurunan kekebalan dan meningkatkan risiko TBC.
Sedangkan kasus TBC paling rendah ditemukan pada kelompok
umum ≥65 tahun sebesar 9,7%. Penelitian yang dilakukan di Bangkok,
Thailand juga mengatakan bahwa jumlah kasus TBC terendah menyerang
kelompok ≥65 tahun (Mphande-Nyasulu et al., 2022). Hal tersebut
disebabkan kelompok berumur ≥65 tahun mobilitasnya yang ≥65 tahun
berkurang, hanya berdiam diri di rumah dan tidak dapat terpapar bakteri
penyebab TBC dari luar rumah.
Jika dibandingkan dengan jenis kelamin, kasus TBC di Indonesia
paling tinggi dialami oleh laki-laki (57,8%) dibandingkan dengan
Perempuan (42,2%). Hal ini sejalan dengan laporan tuberkulosis global
tahun 2020 dan survei yang dilakukan di lebih dari 15 negara di Asia
melaporkan bahwa laki-laki dewasa (usia ≥15 tahun) mencakup >50%
penderita TB pada tahun 2019, dengan 66–75% kasus umum terjadi pada
laki-laki (World Health Organization, 2020). Penyakit TB Paru cenderung
lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, karena
perilaku merokok, minum alkohol dan ketidakpatuhan pengobatan yang
dilakukan oleh laki-laki sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan
tubuh, sehingga lebih mudah dipaparkan dengan agent penyebab TB Paru.

B. Kusta
1. Distribusi Kusta Berdasarkan Waktu
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2012-2022 pada Gambar 20 menunjukkan bahwa Tren angka kejadian
kusta selama sebelas tahun terakhir relatif menurun. Angka prevalensi
kusta di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 0,54 kasus per 10.000
penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 4,5 kasus per 100.000
penduduk. Selain itu, angka cacat tingkat 2 sebesar 2,9 kasus per
1.000.000 penduduk. Angka cacat tingkat 2 merupakan indikator yang
digunakan untuk menunjukkan keberhasilan penemuan kasus baru kusta
secara dini.
Hal yang mendasari kasus kusta semakin menurun dikarenakan
sebagai wujud komitmen Indonesia dalam mencapai target-target di
tingkat global, Indonesia menetapkan target pencapaian eliminasi pada
tingkat kabupaten/kota pada tahun 2024 yang tertuang dalam Permenkes
No.11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta. Dalam Peraturan
tersebut juga tercakup empat strategi utama pengendalian kusta meliputi
penguatan advokasi dan koordinasi lintas program dan lintas sektor;
penguatan peran serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan;
penyediaan sumber daya yang mencukupi dalam penanggulangan kusta;
serta penguatan sistem surveilans serta pemantauan dan evaluasi kegiatan
penanggulangan kusta (Kemenkes RI, 2021).
2. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Tempat
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2023 pada Gambar 21 menunjukkan bahwa angka penemuan kasus kusta
baru pada tahun 2022 sebesar 4,6 kasus per 100.000 penduduk. Provinsi
dengan angka penemuan tertinggi terjadi Provinsi Papua Barat dengan
angka penemuan kasus kusta baru mencapai 67,7 kasus per 100.000
penduduk.
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Tambaip dkk, 2023)
menunjukkan bahwa Papua adalah salah satu provinsi terluar dan terisolasi
di Indonesia yang memiliki masalah kesehatan yang signifikan, seperti
tingkat kematian bayi dan ibu yang tinggi, penyakit menular, serta masalah
kesehatan masyarakat adat yang berbeda dari budaya di wilayah lain di
Indonesia. Masalah kesehatan di Papua terkait dengan faktor sosial,
ekonomi, dan budaya yang unik. Sejumlah faktor seperti infrastruktur
yang terbatas, akses terbatas ke sumber daya kesehatan, budaya tradisional
yang kuat, dan masalah konflik di wilayah tersebut memperburuk situasi
kesehatan di Papua. Kebiasaan orang Papua yang memiliki tradisi bertukar
barang, bisa menjadikan penyebab angka kejadian kusta meningkat di
Provinsi ini.
3. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Orang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2023 pada Gambar 22 menunjukkan bahwa pada tahun 2022 dilaporkan
terdapat 12.612 kasus baru kusta yang hampir 90% di antaranya
merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB). Penelitian yang telah dilakukan
oleh (Amalia, 2021) menunjukkan bahwa distribusi frekuensi faktor-faktor
penyebab kejadian kusta tipe multibasiler sebanyak 89 pasien (81,7%) dan
kusta tipe pausibasiler sebanyak 20 pasien (18,3%). Hal ini dikarenakan
penyakit kusta dapat ditularkan dari kusta tipe multibasiler dengan cara
penularan langsung.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2023 pada Gambar 23 menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin,
penemuan kasus baru kusta di Indonesia pada tahun 2023 lebih banyak
terjadi pada laki-laki yaitu sebesar 63,8%. Penelitian yang telah dilakukan
oleh (Wulandari dkk, 2021) menunjukkan bahwa penelitian di RSUP
Dr.Sitanala Kota Tangerang mayoritas penderita berjenis kelamin laki-
laki. Begitu pula dengan penelitian di RS. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar
dimana laki-laki lebih banyak menderita kusta dari pada perempuan.
Factor social budaya memungkinkan sebagai factor penting dalam
rendahnya kasus kusta pada perempuan. Rendahnya status social
perempuan di beberapa daerah di Indonesia mengakibatkan keterbatasan
perempuan dalam mengakses pelayanan kesehatan sehinggah
memungkinkan kasus tersembunyi pada kalangan perempuan. Selain itu
laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah sehingga risiko
untuk terpapar jauh lebih besar.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Lonjakan kasus Tubercluosis pada tahun 2023 disebabkan karena terdapat
perbaikan sistem pelaporan TBC yang dilakukan pihak Kemenkes dan
mobilitas penduduk yang meningkat setelah kasus COVID-19 pada
provinsi DKI Jakarta pada kelompok umur 45-54 tahun dan paling tinggi
dialami oleh laki-laki.
2. Tren angka kejadian kusta mengalami penurunan, Provinsi dengan angka
penemuan tertinggi terjadi Provinsi Papua Barat disebabkan karena
masalah kesehatan yang signifikan, seperti tingkat kematian bayi dan ibu
yang tinggi, penyakit menular, serta masalah kesehatan masyarakat adat
yang berbeda dari budaya di wilayah lain di Indonesia. Penemuan kasus
baru kusta di antaranya merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB), lebih
banyak terjadi pada laki-laki.

B. Saran
1. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
menjaga lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
2. Mengembangkan strategi pencegahan dan pengendalian penyakit yang
mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan seperti perubahan iklim dan
interaksi manusia dengan lingkungannya.
3. Melakukan pemantauan dan penelitian lebih lanjut terkaiit dampak
perubahan iklim terhadap penyebaran penyakit, terutama penyakit yang
rentan terhadap perubahan iklim seperti tuberkluosis, PES , dan kusta.
4. Meningkatkan akses dan layanan kesehatan terutama bagi kelompok rentan.
5. Mengintensifkan upaya pengendalian vektor ppenyakit seperti aedes
aegypti, melalui program pengendalian vektor yang efektif dan edukasi
masyarakat tentang tindakan pencegahan.
6. Mendorong kerjasama lintas sektor dalam menghadapi tantangan
epidemiologi yang terkait dengan faaktor lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adinda Mega Putri, Imam Thohari and Ernita Sari (2022) ‘Kondisi Fisik Rumah
(Jenis Dinding, Jenis Lantai, Pencahayaan, Kelembaban, Ventilasi, Suhu,
dan Kepadatan Hunian) Mempengaruhi Kejadian Penyakit Tuberkulosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Krian Sidoarjo Tahun 2021’, Gema Lingkungan
Kesehatan, 20(1), pp. 22–28. doi: 10.36568/gelinkes.v20i1.5.
Amalia Yunia Rahmawati. (2021). Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Kusta Di
Rsup Dr. Rivai Abdullah Tahun 2021. July, 1–23.
Booth Mark. (2018). Climate Change and The Negleted Tropical Diseases.
Newcastle: Elseviar
CDC (2020) TBC Prevention. Available at:
https://www.cdc.gov/tb/topic/basics/tbprevention.htm.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular. (2023).
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2PM - Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Kinerja 2022. Jakarta: Ditjen P2P Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Tahunan Program TBC Nasional Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2P Kemenkes
RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Tahunan Program Penanggulangan Kusta Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2P
Kemenkes RI.
Febrilia, S. F. et al. (2022) ‘Hubungan Faktor Manusia dan Lingkungan Rumah
Terhadap Kejadian Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Rejosari Kota
Pekanbaru’, Jurnal Kesehatan Komunitas, 8(3), pp. 436–442. doi:
10.25311/keskom.vol8.iss3.618.
Gannika, L. (2016) ‘Tingkat Pengetahuan Keteraturan Berobat dan Sikap Klien
Terhadap Terjadinya Penyakit TBC Paru di Ruang Perawatan I dan II RS
Islam Faisal Makassar’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 4(1), pp.
55–62. doi: 10.35816/jiskh.v4i1.86.
Hidayatullah, A., Navianti, D. and Damanik, H. D. L. (2021) ‘Kondisi Fisik
Rumah Terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Pari di Wilayah Kerja
Puskesmas’, Jurnal Sanitasi Lingkungan, 1(2), pp. 72–79.
Hidayati, I., Andiarna, F., & Suprayogi, D. (2020). Correlation between Humidity
and Illumination with Leprosy Occurrence Hubungan Kelembapan dan
Pencahayaan dengan Kejadian Kusta. Jurnal Teknologi Kesehatan, 16(1), 1–
7.
Hutama, H. I., Riyanti, E. and Kusumawati, A. (2019). ‘Gambaran Perilaku
Penderita Tuberculosis Paru Dalam Pencegahan Penularan Tuberculosis Paru
Dikabupaten Klaten’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1), pp. 491–500.
Kemenkes RI. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang
Rumah.
Kementerian Kesehatan RI. (2019a). Profil Kesehatan Indonesia 2018. In Health
Statistics. Kementerian Kesehatan RI.
https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2018.pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2019b). Riset Kesehatan Dasar 2018.
Kementerian Kesehatan RI. (2020). Jangan Abaikan TBC di Masa Pandemi
Covid-19 Menuju Eliminasi TBC Tahun 2030. Balitbangkes.
https://www.balaibaturaja.litbang.kemkes.go.id/read-jangan-abaikan-tbc-di-
masa-pandemi-covid19-menuju-eliminasi-tbc-tahun-2030
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran: Tata Laksana Tuberkulosis.
Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2021). Pravalensi Kusta Pada Anak Tinggi,
Temukan Kasusnya, Periksa Kontak dan Obati Sampai Tuntas.
Kementerian Kesehatan RI. (2022). Rencana Aksi Program Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. In Rencana AKSI Program P2P.
http://www.jikm.unsri.ac.id/index.php/jikm
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Profil Kesehatan Indonesia 2022. Jakarta:
Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Indonesia Raih Rekor Capaian Deteksi TBC
Tertinggi di Tahun 2022. Kementerian Kesehatan RI.
https://ayosehat.kemkes.go.id/indonesia-raih-rekor-capaian-deteksi-tbc-
tertinggi-di-tahun-2022
Mar’iyah, K. and Zulkarnain (2021) ‘Patofisiologi Penyakit Infeksi Tuberkulosis’,
Prosiding Biologi Achieving the Sustainable Development Goals with
Biodiversity in Confronting Climate Change, 7(1), pp. 88–92. Available at:
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/psb.
Mphande-Nyasulu, F. A., Puengpipattrakul, P., Praipruksaphan, M., Keeree, A., &
Ruanngean, K. (2022). Prevalence of Tuberculosis (TB), Including Multi-
Drug-Resistant and Extensively-Drug-Resistant TB, and Association with
Occupation in Adults at Sirindhorn Hospital, Bangkok. IJID Regions, 2(11),
141–148. https://doi.org/10.1016/j.ijregi.2022.01.004

Srisantyorini, T., Nabilla, P., Herdiansyah, D., Dihartawan, Fajrini, F., &
Suherman. (2022). Analisis Spasial Kejadian Tuberkulosis di Wilayah DKI
Jakarta. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 18, 131–138.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/JKK
Tambaip, B., & Tjilen, A. P. (2023). Analisis Kebijakan Publik Dalam Derajat
Kesehatan Di Papua. Jurnal Kebijakan Publik, 14(1), 101.
https://doi.org/10.31258/jkp.v14i1.8232
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. (2022). TBC.
Artikel Kementerian Kesehatan RI. Available at:
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1375/tbc
Turner, R. D., Chiu, C., Churchyard, G. J., Esmail, H., Lewinsohn, D. M.,
Gandhi, N. R., & Fennelly, K. P. (2017). Tuberculosis Infectiousness and
Host Susceptibility. Journal of Infectious Diseases, 216(Suppl 6), S636–
S643. https://doi.org/10.1093/infdis/jix361
World Health Organization. (2020). Global Tuberculosis Report 2020.
https://doi.org/10.1787/f494a701-en
World Health Organization. (2022). Global Tuberculosis Report 2022. Geneva:
WHO
World Health Organization. (2023). Global Tuberculosis Report 2022.
World Health Organization. 2023. Leprosy. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/leprosy
Wulandari, A., & Rivita, M. (2021). Hubungan Pengetahuan dan Dukungan
Keluarga terhadap Perawatan Diri Penderita Kusta di RSUP Dr. Sitanala
Kota Tangerang Relationship between Knowledge and Family Support for
Self-Care of Leprosy Patients in RSUP Dr. Sitanala Kota Tangerang. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Masyarakat, 13, 113.
Yosua, M. I., Ningsih, F. and Ovany, R. (2022) ‘Hubungan Kondisi Lingkungan
Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru’, Jurnal Surya Medika
(JSM), 8(1), pp. 136–141. Available at:
https://journal.umpr.ac.id/index.php/jsm/article/view/3455.

Anda mungkin juga menyukai