OLEH:
KELOMPOK I
A. Latar Belakang
Faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, dan kelembaban yang
merupakan akibat dari perubahan iklim secara global memberikan dampak
yang signifikan terhadap banyak patogen menular dan polanya. Perubahan
iklim dapat mempengaruhi patogen, baik secara langsung melalui
pengaruhnya terhadap siklus hidup patogen ataupun secara tidak langsung
dengan mempengaruhi habitat dan lingkungan dimana mereka berada juga
dapat mempengaruhi distribusi patogen secara geografis (Uwishema, 2023).
Dari penelitian yang dikutip dalam Laporan Kementerian Kesehatan
bersama dengan Unicef dan BMKG pada tahun 2021 menyebutkan,
peningkatan suhu yang terjadi akibat perubahan iklim dapat meningkatkan
laju perkembangbiakan agen penyakit, memperpendek durasi inkubasi
ekstrinsik, serta mempercepat laju perkembangan nyamuk. Fenomena ini
berdampak pada peningkatan penyebaran atau kejadian penyakit seperti tular
udara (Tuberkulosis, Pneumonia, Campak, dan Kusta), tular vektor (DBD dan
Malaria), tular air (Diare), serta penyakit sensitif iklim lainnya pada penduduk
(Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Tuberkulosis (TBC) saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat baik di Indonesia maupun internasional. Tuberculosis adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri tersebut menyebar dari penderita TBC melalui udara. Bakteri TBC ini
biasanya menyerang organ paru, namun dapat juga menyerang selain paru
(ekstra paru). Hampir seperempat penduduk dunia terinfeksi dengan bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Sekitar 89% TBC diderita oleh orang dewasa
dan 11 % diderita oleh anak-anak. Sampai saat ini TBC masih merupakan
penyebab kematian tertinggi setelah HIV/AIDS, dan merupakan salah satu
dari 20 penyebab utama kematian di seluruh dunia. Sebagian besar estimasi
kematian yang disebabkan TBC tercatat di empat negara, yaitu India,
Indonesia, Myanmar, dan Filipina. Jumlah kematian akibat TBC (di antara
pasien HIV negatif) secara global pada tahun 2021 sebesar 1,4 juta, hal ini
mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2020 yaitu sebesar 1,3 juta.
Indonesia merupaka negara peringkat ke-2 penderita TBC tertinggi di dunia
setelah India dengan proporsi kasus baru sebesar 13% seluruh kasus di dunia.
Secara global, diperkirakan 10,6 juta orang menderita TBC pada tahun 2021
(WHO, Global Tuberculosis Report, 2022). Pada tahun 2022 jumlah kasus
Tuberkulosis yang ditemukan di Indonesia sebanyak 677.464 kasus,
meningkat cukup tinggi bila dibandingkan kasus Tuberkulosis pada tahun
2021 sebesar 397.377 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Penyakit lainnya yang ditularkan melalui udara adalah Pneumonia.
Pneumonia merupakan infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus,
jamur dan bakteri. Sampai saat ini pneumonia masih merupakan salah satu
penyebab angka kesakitan dan kematian tertinggi pada balita di dunia maupun
di Indonesia. Berdasarkan data WHO tahun 2019, pneumonia menyebabkan
14% seluruh kematian pada anak di bawah 5 tahun. Data RISKESDAS
Indonesia Tahun 2018, prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis oleh
tenaga kesehatan adalah 2% dan 4% berdasarkan diagnosis oleh tenaga
kesehatan dan gejala. Survei Sample Registration System Balitbangkes 2016
pneumonia menempati urutan ke 3 sebagai penyebab kematian pada balita
(9.4%) (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Pada tahun 2022, prevalensi
pneumonia pada balita di Indonesia sebesar 38,8%, sementara angka kematian
kasus pneumonia pada balita mencapai 0.12% (Kementerian Kesehatan RI,
2023).
Fenomena lingkungan lainnya saat ini adalah adanya pandemi Covid-19
yang terjadi pada tahun 2020 sampai 2022. Pandemi Covid-19 ini
menyebabkan terjadinya pembatasan kegiatan masyarakat termasuk pada
kegiatan pelayanan kesehatan. Salah satu akibatnya adalah tren cakupan
pemberian imunisasi (termasuk campak) cenderung menurun pada kurun
waktu tersebut. Penyakit campak yang biasanya juga dikenal sebagai morbili
atau measles merupakan penyakit yang sangat menular disebabkan oleh virus
dari genus Morbillivirus dan termasuk golongan Paramyxovirus. Campak
menjadi penyebab penting kematian anak-anak di seluruh dunia. Kelompok
anak usia pra sekolah dan usia SD merupakan kelompok rentan tertular
penyakit campak. Campak akan menyerang hampir 100% anak yang tidak
kebal terhadap virus tersebut (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Berdasarkan data, secara global sekitar 1 dari 5 orang anak tidak
memiliki perlindungan terhadap campak (UNICEF, 2023). WHO
memperkirakan 128.000 orang meninggal karena campak pada tahun 2021
dan sebagian besar di antaranya merupakan anak di bawah 5 tahun (WHO,
2023). Pada tahun 2021, Indonesia masuk diantara 20 negara dengan angka
tertinggi berdasarkan kategori anak yang belum pernah mendapatkan
imunisasi sama sekali (zero-dose) (UNICEF, 2023). Pada tahun 2022 terdapat
kasus suspek campak sebanyak 21.175 kasus dan tersebar di seluruh provinsi
di Indonesia. Jumlah kasus tersebut meningkat tajam apabila dibandingkan
dengan jumlah kasus suspek campak pada tahun 2021 sebanyak 2.931, dan
tahun 2020 yaitu sebesar 3.434 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Efek lain yang ditimbulkan dari pemanasan global adalah semakin luasnya
penyebaran hama dan penyakit. Salah satu dari penyebaran penyakit yang
dipicu oleh dampak dari perubahan iklim global itu adalah penyebaran
penyakit yang ditularkan oleh serangga (arthropod borne diseases) seperti
DBD. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
menular yang disebabkan oleh virus dan disebarkan oleh vektor. Virus yang
menyebabkan penyakit ini adalah Dengue. Vektor penular penyakit ini berasal
dari jenis nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Habitat nyamuk Aedes
pada umumnya berada di wilayah dengan iklim tropis, curah hujan tinggi,
serta suhu panas dan lembab. Karakteristik dan perilaku vektor tersebut dapat
menjelaskan adanya kecenderungan peningkatan kasus DBD pada musim
penghujan seiring dengan bermunculannya tempat perindukan (Khambali,
2019).
Bhatt et al. dalam Ditjen P2P memperkirakan terdapat 390 juta infeksi
dengue terjadi setiap tahunnya (Ditjen P2P, 2023). Insiden DBD meningkat
secara dramatis di seluruh dunia beberapa dekade terakhir, dengan jumlah
kasus yang dilaporkan ke WHO meningkat dari 505.430 pada tahun 2000
menjadi 5,2 juta pada tahun 2019. Banyak kasus tidak bergejala sehingga
tidak dilaporkan ke WHO. Hingga pada awal tahun 2020, WHO memasukkan
DBD sebagai salah satu ancaman kesehatan global di antara 10 penyakit
lainnya (WHO, 2023). Pada tahun 2022 di Indonesia terdapat 143.266 kasus
DBD dengan jumlah kematian sebanyak 1.237 kasus. Kasus maupun kematian
akibat DBD mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2021 yaitu sebesar
73.518 kasus dan 705 kematian (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Fenomena perubahan lingkungan yang terjadi saat ini juga
mempengaruhi pola persebaran penyakit, termasuk penyakit tropis yang
terabaikan atau Neglected Tropical Diseases (NDTs) (Booth, 2018). Banyak
NDTs dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan seperti variasi suhu,
curah hujan, kelembaban, ataupun cuaca ekstrim. Salah satu NDTs yang
menjadi prioritas Indonesia saat ini adalah Kusta (Kementerian Kesehatan RI,
2023).
Kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan bakteri
Mycobacterium leprae. Penyakit kusta bersifat kronis, menyerang kulit, saraf
tepi, dan organ tubuh lain kecuali saraf pusat. Kusta merupakan penyakit
tropis terabaikan yang masih menjadi masalah kesehatan di lebih dari 120
negara, dengan lebih dari 200.000 kasus baru dilaporkan setiap tahunnya
(www.who.int). Indonesia menempati urutan ke 3 di dunia dengan jumlah
kasus baru terbanyak di tahun 2020 (Ditjen P2PM, 2023). Angka prevalensi
kusta di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 0,54 kasus per 10.000 penduduk
dan angka penemuan kasus baru sebesar 0,45 kasus per 100.000 penduduk
(Kementerian Kesehatan RI, 2023).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit tuberkulosis?
2. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit pneumonia pada balita?
3. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit campak?
4. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakti DBD?
5. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit Kusta?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit tuberkulosis?
2. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit pneumonia pada
balita?
3. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit campak?
4. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakti DBD?
5. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit Kusta?
D. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapakan dapat meningkatkan pengetahuan
bagi penulis maupun pembaca mengenai gambaran epidemiologi penyakit
tuberkulosis, pneumonia pada balita, campak, DBD, dan Kusta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Tuberkulosis
1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri yang
berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga sering juga dikenal
dengan Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri ini sebagian besar menyerang
parenkim paru (TB Paru), tetapi bakteri ini juga memiliki kemampuan
menginfeksi organ lain (TB Ekstra Paru) seperti pleura, kelenjar limfe,
tulang dan organ ekstra paru lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2020).
2. Etiologi Tuberkulosis
Penyebab tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium Tuberculosis
yang berbahaya bagi manusia dan termasuk dalam famili Mycobacteria.
Bakteri ini merupakan bakteri gram positif yang bersifat aerob obligat
(bakteri yang mutlak membutuhkan oksigen yang bebas untuk hidupnya),
tidak mempunyai endospora dan kapsul, serta berbentuk sel batang dengan
dinding sel lipoid yang tahan asam. Ukuran 0,2-0,4 μm, tumbuh secara
perlahan selama 2-60 hari pada suhu 37℃. Bakteri ini akan mati jika
berada di bawah sinar matahari karena rentan terhadap sinar matahari atau
sinar ultraviolet, bila berada di luar lingkungan air dengan suhu 1000 akan
mati dalam waktu 2 menit, serta terkena alkohol 70% atau 50% lisol
(Hutama, Riyanti dan Kusumawati, 2019).
Tuberkulosis penularannya dari manusia ke manusia lain melalui
udara berupa percik renik atau droplet nucleus (< 5 microns) yang keluar
ketika seorang yang terinfeksi TB paru, bersin, atau bicara. Percik renik
merupakan partikel kecil berdiameter 1-5 μm dapat menampung 1-5 basili,
dan bersifat sangat infeksius, dan dapat bertahan selama 4 jam di udara.
Ketika batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis
yang diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil
(Kementerian Kesehatan RI, 2020).
3. Patofisiologi Tuberkulosis
Agen penyebab Mycobacterium Tuberculosis masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, melalui luka
terbuka pada kulit, dan sebagian besar infeksi tuberkulosis paru terjadi
melalui tetesan udara (airborne), yaitu dengan menghirup tetesan yang
mengandung patogen Mycobacterium Tuberculosis yang berasal dari
orang yang terinfeksi (Gannika, 2016). Seseorang yang menghirup bakteri
Mycobacterium Tuberculosis akan menyebabkan bakteri tersebut masuk
ke dalam alveoli melalui saluran pernapasan, alveoli menjadi tempat
bakteri, berkumpul dan berkembang biak. Mycobacterium Tuberculosis
juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang, korteks
serebral, dan area lain di paru-paru (lobus atas) melalui sistem limfatik dan
cairan tubuh. Sistem imun dan sistem imun akan merespon dengan respon
inflamasi. Fagosit menekan bakteri, dan limfosit tuberkulosis
menghancurkan (melisiskan) bakteri dan jaringan normal. Reaksi ini
menyebabkan eksudat menumpuk di alveoli dan dapat menyebabkan
bronko pneumonia. Infeksi awal sering terjadi pada kurung waktu 2-10
minggu setelah terpapar bakteri (Mar’iyah dan Zulkarnain, 2021).
4. Gejala Tuberkulosis
Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Tuberkulosis oleh (Kementerian Kesehatan RI, 2020), gejala
penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat menunjukkan
manifestasi klinis sebagai berikut: 1. Batuk ≥ 2 minggu; 2. Batuk
berdahak; 3. Batuk berdahak dapat bercampur darah; 4. Dapat disertai
nyeri dada; 5. Sesak napas, diikuti dengan gejala lain meliputi : 1. Malaise;
2. Penurunan berat badan; 3. Menurunnya nafsu makan; 4. Menggigil; 5.
Demam; 6. Berkeringat di malam hari.
5. Diagnosis Tuberkulosis
Jika pasien diduga mengalami TB, dokter akan meminta pasien
menjalani pemeriksaan dahak yang disebut pemeriksaan BTA. Pada kasus
TB pada organ selain paru, pemeriksaan BTA juga dapat dilakukan
dengan menggunakan sampel selain dahak. Jika dokter membutuhkan
hasil yang lebih spesifik, pasien akan dianjurkan untuk menjalani tes
kultur BTA. Tes ini juga menggunakan sampel dahak pasien, tetapi
memerlukan waktu yang lebih lama.
Selain pemeriksaan BTA, dokter dapat melakukan serangkaian
pemeriksaan TBC lainnya untuk mendukung diagnosis, yaitu: 1. Tes
kulit mantoux atau tuberculin skin test; 2. Tes darah IGRA (Interferon
Gamma Release Assay); 3. Bronkoskopi; 4. Foto Rontgen; 5. CT scan
(Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, 2022).
6. Pencegahan Tuberkulosis
Salah satu langkah pencegahan tuberkulosis paru yaitu dengan
pemberian vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Kategori vaksin ini
juga termasuk imunisasi yang juga wajib diberikan saat sebelum bayi
berumur 2 bulan serta orang yang belum pernah mendapatkan vaksin BCG
harus mendapatkan vaksin jika ada anggota keluarga yang menderita TBC
paru. Tuberkulosis paru ini dapat dilakukan pencegahan yaitu dengan cara
yang sederhana, seperti dengan memakai masker di tempat umum dan
kontak langsung dengan pasien TB paru serta sering mencuci tangan.
Bahkan setalah di rawat di awal pengobatan (biasanya 2 bulan), pasien TB
paru masih dapat menularkan penyakitnya. Selain itu juga ada acara
pencegahan penularan infeksi pada TB paru yaitu: 1. Menutup mulut
dengan tisu saat bersin dan batuk dan segera buang; 2. Jangan membuang
droplet atau meludah sembarangan; 3. Pastikan terdapat pertukaran udara
baik di dalam rumah dan sinar matahari dapat masuk; 4. Jangan berada
atau tinggal sekamar dengan orang yang sehat, sampai dokter mengatakan
TB paru anda tidak lagi menular (CDC, 2020).
7. Hubungan Lingkungan dengan Penyakit Tuberkulosis
Lingkungan merupakan salah satu faktor risiko terhadap kejadian
tuberkulosis. Terutama lingkungan rumah merupakan salah satu faktor
yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya.
Salah satu faktor risiko yang erat hubungannya dengan penularan kejadian
TB adalah kondisi lingkungan perumahan meliputi suhu dalam rumah,
ventilasi, pencahayaan dalam rumah, kelembaban rumah, kepadatan
penghuni, dan lingkungan sekitar rumah (Hidayatullah, Navianti dan
Damanik, 2021).
Ventilasi rumah yang memenuhi syarat berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/MENKES/KES/
SK/VII/1999 yaitu luas ventilasi permanen >10% luas lantai (Yosua,
Ningsih dan Ovany, 2022). Pengaruh buruk pada suatu rumah dengan
kurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya
kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan
kelembaban udara ruangan bertambah. Hal tersebut bisa menjadi faktor
risiko memperbesar terjadinya tuberkulosis paru karena bakteri
tuberkulosis dapat bertahan hidup dalam waktu lama di tempat yang
lembab dan gelap. Persyaratan pencahayaan yang memenuhi syarat dalam
ruang rumah menurut Permenkes RI No. 1077/MENKES/PER/V/2011
adalah minimal 60 Lux.
Cahaya alami sangat penting masuk kedalam rumah karena dapat
membunuh bakteri-bakteri pathogen dalam rumah misalnya basil
Tuberkulosis. Bakteri Tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari pagi
karena banyak mengandung sinar ultraviolet, tetapi bakteri ini dapat hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab (Adinda Mega Putri, Imam
Thohari dan Ernita Sari, 2022).
Rumah dengan kelembaban udara yang tidak memenuhi
persyaratan dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayan yang tidak
lancar atau kurang akan menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek
dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Penelitian yang
dilakukan Febrilia menjelaskan bahwa lingkungan dengan kelembaban
yang tidak memenuhi syarat merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan Mycobacterium Tuberculosis, bakteri ini dapat hidup di
lingkungan dengan kelembaban yang tinggi untuk menjamin kelangsungan
hidupnya. Hal tersebut merupakan faktor risiko terjadinya penularan
penyakit tuberkulosis paru akan sangat mudah terjadi dengan dukungan
faktor lingkungan yang kurang sehat tersebut sehingga dapat menginfeksi
penghuni rumah yang ada didalamnya (Febrilia et al., 2022). Suhu
ruangan dalam rumah yang ideal adalah berkisar antara 18-20°C.
Berdasarkan Kepmenkes No. 829/75/Menkes/SK/VII/1999, suhu ruangan
dalam rumah yang ideal yaitu berkisar antara 18-30oC (Kemenkes RI,
2018).
2. Etiologi Campak
Organisme penyebabnya adalah virus campak, anggota
famili Paramyxoviridae dan genus Morbillivirus. Ini adalah virus RNA
sense negatif yang berselubung, beruntai tunggal, tidak
tersegmentasi. Genom mengkodekan enam protein struktural dan dua
protein non-struktural, V dan C. Protein struktural tersebut adalah
nukleoprotein, fosfoprotein, matriks, fusi, haemagglutinin (HA), dan
protein besar. Protein HA bertanggung jawab atas perlekatan virus pada
sel inang (Kondamudi, Waymack, 2023).
3. Patofisiologis Campak
Virus yang terhirup dari droplet yang terpapar awalnya
menginfeksi limfosit saluran pernapasan, sel dendritik, dan makrofag
alveolar. Kemudian menyebar ke jaringan limfoid yang berdekatan dan
menyebar ke seluruh aliran darah sehingga menyebabkan viremia dan
menyebar ke organ lain. Virus yang berada dalam sel dendritik dan
limfosit berpindah ke sel epitel saluran pernapasan, yang dilepaskan dan
dikeluarkan sebagai tetesan pernapasan saat batuk dan bersin, menginfeksi
orang lain dan melanggengkan siklusnya. Peradangan awal menimbulkan
gejala coryza, konjungtivitis, dan batuk. Munculnya demam bersamaan
dengan berkembangnya viremia. Ruam kulit terjadi setelah penyebaran
dan disebabkan oleh infiltrat perivaskular dan limfositik (Kondamudi,
Waymack, 2023).
Masa penularan empat hari sebelum timbul ruam sampai dengan
empat hari setelah timbul rash. Puncak penularan pada saat gejala awal
(fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama sakit (Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, 2019).
Selama fase prodromal, virus campak menekan kekebalan tubuh
dengan menekan produksi interferon melalui protein nonstrukturalnya, V
dan C. Meningkatnya replikasi virus kemudian memicu respons imunologi
humoral dan seluler. Respon humoral awal terdiri dari produksi antibodi
IgM, yang terdeteksi 3 sampai 4 hari setelah ruam muncul dan dapat
bertahan selama 6 sampai 8 minggu. Selanjutnya, antibodi IgG diproduksi,
terutama terhadap nukleoprotein virus (Kondamudi, Waymack, 2023).
Virus campak diketahui menyebabkan imunosupresi yang dapat
berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-
tahun. Hal ini menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap bakteri
sekunder dan infeksi lainnya. Meskipun mekanisme penyebab fenomena
ini masih belum jelas, terdapat hipotesis bahwa infeksi campak
menginduksi proliferasi limfosit spesifik campak yang menggantikan sel
memori yang telah terbentuk sebelumnya sehingga menyebabkan
"amnesia imun". Hal ini mengakibatkan peningkatan kerentanan tubuh
terhadap infeksi sekunder, yang menyebabkan sebagian besar morbiditas
dan mortalitas terkait dengan campak. Antibodi IgG yang menetralisir
hemaglutinin bertanggung jawab atas kekebalan seumur hidup karena
antibodi tersebut memblokir reseptor sel inang agar tidak berikatan dengan
virus.
4. Gejala Campak
Gejala campak biasanya dimulai 10-14 hari setelah terpapar
virus. Ruam yang menonjol adalah gejala yang paling terlihat. Gejala awal
biasanya berlangsung 4–7 hari, disertai pilek, batuk, mata merah dan
berair, bintik putih kecil di dalam pipi. Ruam muncul sekitar 7–18 hari
setelah terpapar, biasanya pada wajah dan leher bagian atas. Ruam tersebut
menyebar sekitar 3 hari, ke tangan dan kaki. Serta berlangsung 5–6 hari
sebelum memudar (WHO, 2023).
5. Diagnosis Campak
Diagnosis campak bergantung pada kecurigaan klinis yang tinggi,
terutama ketika mengevaluasi anak-anak dengan penyakit demam dan
ruam makulopapular. Pengecekan darah lengkap memungkinkan
menunjukkan leukopenia, terutama limfopenia, dan
trombositopenia. Kelainan elektrolit dapat dideteksi pada anak dengan
asupan yang buruk atau diare. Identifikasi antibodi IgM spesifik virus
campak dalam serum atau plasma dapat memastikan diagnosis, meskipun
hasil ini mungkin merupakan hasil negatif palsu pada 25% kasus jika
dilakukan pada tahap awal (kurang dari 3 hari setelah timbulnya ruam)
(Kondamudi, Waymack, 2023).
Antibodi ini biasanya mencapai puncaknya dalam waktu 1 hingga
3 minggu setelah timbulnya ruam dan menjadi tidak terdeteksi dalam 4
hingga 8 minggu. Tes netralisasi reduksi plak yang memiliki sensitivitas
tertinggi. Dalam praktik klinis saat ini, deteksi reaksi berantai polimerase
asam ribonukleat virus dari sampel tenggorokan, hidung, nasofaring, dan
urin paling sering dilakukan, dengan sensitivitas mendekati 100%.
A. Tuberkulosis (TBC)
1. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Waktu
Gambar 1.
Angka Notifikasi Semua Kasus Tuberkulosis
Per 100.000 Penduduk Tahun 2012-2022
300 263.5
250 214 210
Per 100.000 Penduduk
200 169
138 139 146
135 129 130 130
150
100
50
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
≥65
tahun 0-14 tahun
9.7% 15.3%
55-64 tahun
14.9% 15-24 tahun
14.2%
45-54 tahun
16.5% 25-34 tahun
35-44 14.7%
tahun
14.7%
Perempuan
42.2%
Laki-laki
57.8%
B. Pneumonia
1. Distribusi Kejadian Penyakit Pneumonia Berdasarkan Waktu
Gambar 5.
Cakupan Penemuan Pneumonia Pada Balita
Di Indonesia Tahun 2012-2022
70 63.5 65.3
56.5
60 51.2 52.9
50
Persentase
38.78
40 34.8
29.5 31.4
30 23.4 24.5
20
10
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
0 20 40 60 80
Bengkulu 17.20
Sulawesi Utara 4.31
Kalimantan Barat 1.97
DI Yogyakarta 1.70
Nusa Tenggara Timur 1.60
Sumatera Utara 1.00
Sulawesi Tengah 0.97
Kalimantan Utara 0.96
Sulawesi Barat 0.89
Kalimantan Tengah 0.84
Sulawesi Selatan 0.63
Nusa Tenggara Barat 0.59
Maluku Utara 0.53
Maluku 0.49
Gorontalo 0.48
Bali 0.48
Jawa Tengah 0.48
Papua Barat 0.39
Aceh 0.34
Kalimantan Timur 0.26
Sulawesi Tenggara 0.23
Jawa Barat 0.21
Kalimantan Selatan 0.20
Lampung 0.16
Kep. Bangka Belitung 0.13
Kepulauan Riau 0.09
Sumatera Barat 0.09
Jawa Timur 0.07
Riau 0.05
Banten 0.04
Papua 0.00
DKI Jakarta 0.00
Sumatera Selatan 0.00
Jambi 0.00
< 1 tahun
30.8%
1 - <5 tahun
69.2%
Gambar 9.
Angka Kematian Kasus Pneumonia Balita
Menurut Kelompok Umur Di Indonesia Tahun 2022
1 - <5 tahun
31.4%
< 1 tahun
68.6%
Perempuan
46.8%
Laki-laki
53.2%
12000
10000 8185 8429 8819
8000 6880 6799
6000 4844
2931
4000 1634
2000
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Aceh 976
Sumatera Barat 867
Jawa Timur 500
Riau 500
Jawa Barat 384
Jawa Tengah 313
DKI Jakarta 287
Banten 274
Kepulauan Riau 126
Sumatera Utara 125
Jambi 106
Kalimantan Selatan 86
Sumatera Selatan 75
DI Yogyakarta 50
Papua 33
Kalimantan Barat 30
Bali 19
Lampung 14
Bengkulu 13
Nusa Tenggara… 9
Kalimantan Utara 8
Sulawesi Selatan 7
Sulawesi Barat 7
Sulawesi Tengah 6
Kalimantan Timur 6
Sulawesi Tenggara 6
Maluku Utara 4
Sulawesi Utara 4
Kep. Bangka… 3
Nusa Tenggara… 3
Papua Barat 2
Gorontalo 1
Kalimantan Tengah 0
Maluku 0
5-9 tahun
32.8% 1-4 tahun
38.5%
Tidak
Divaksinasi
93.3%
0.60
0.40
0.20
0.00
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023
Perem Laki-
Laki- laki
puan Perem
laki 45%
49% puan
51%
55%
E. Kusta
1. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Waktu
Gambar 21.
Distribusi Kasus Kusta Menurut Angka Prevalensi, Insidensi dan Tingka
Kecacatan Di Indonesia Tahun 2012-2022
10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Angka prevalensi kusta per
0.91 0.79 0.79 0.79 0.71 0.70 0.70 0.74 0.49 0.45 0.54
10.000 penduduk
Angka insidensi kusta per
7.8 6.8 6.8 6.7 6.5 6.1 6.4 6.5 4.1 4.0 4.5
100.000 penduduk
Angka Cacat Tk. 2 per
8.7 6.8 6.3 6.6 5.3 4.3 4.2 4.2 2.3 2.5 2.9
1.000.000 penduduk
Multi Basiler /
Kusta Basah
89.8%
Pada tahun 2022 dilaporkan terdapat 12.612 kasus baru kusta yang
hampir 90% di antaranya merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB).
Gambar 24.
Penemuan Kasus Baru Kusta Menurut Jenis Kelamin
Di Indonesia Tahun 2022
Perempuan
36.2%
Laki-laki
63.8%
B. Pneumonia
1. Distribusi Kejadian Penyakit Pneumonia Berdasarkan Waktu
Cakupan penemuan pneumonia pada balita selama 11 tahun
terakhir cukup fluktuatif. Cakupan tertinggi pada tahun 2016 yaitu sebesar
63,5%. Penurunan yang cukup signifikan terlihat pada tahun 2020-2021
jika dibandingkan dengan cakupan 5 tahun terakhir. Penurunan ini
disebabkan capaian imunisasi dasar lengkap pada tahun 2020-2021 tidak
dapat mencapai target karena pandemi COVID-19. Terjadi penurunan
capaian yang cukup signifikan pada tahun 2020 – 2021 dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya, dimana capaian pada tahun 2020 sebesar 84,2%
dan capaian tahun hanya mencapai 79,6% (Kementerian Kesehatan RI,
2022). Selain itu, pandemi COVID-19 juga berdampak pada stigma pada
penderita COVID-19 yang berpengaruh pada penurunan jumlah kunjungan
balita batuk atau kesulitan bernapas di puskesmas.
2. Distribusi Kejadian Penyakit Pneumonia Berdasarkan Tempat
Pada tahun 2022 secara nasional cakupan pneumonia pada balita
sebesar 38,8%. Provinsi dengan cakupan penemuan pneumonia pada balita
tertinggi terjadi di Kalimantan Utara (67,3%), Jawa Timur (63,9%), dan
Banten (58,0%). Hal ini disebabkan meningkatnya akses terhadap fasilitas
kesehatan dan layanan perawatan medis di daerah Kalimantan Utara
sehingga dapat membantu dalam penemuan dan penanganan pneumonia
pada balita.
Sedangkan Provinsi dengan cakupan penemuan pneumonia pada
balita terendah terjadi di Provinsi Sulawesi Utara yaitu sebesar 1,4%.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kota Bitung, Sulawesi Utara
yang menyimpulkan bahwa jumlah temuan dan cakupan penemuan kasus
pneumonia balita di Kota Bitung tahun 2015-2017 terjadi penurunan, dan
hal ini masih sangat rendah, bahkan masih jauh dari target yang telah
ditetapkan (Waani et al., 2018).
Pada tahun 2022 angka kematian kasus pneumonia pada balita di
Indonesia sebesar 0.12%. Provinsi dengan angka kematian pneumonia
pada balita tertinggi terjadi di Provinsi Bengkulu sebesar 17,20%. Hal ini
sebabkan karena indeks kualitas udara Provinsi Bengkulu sebesar 106 AQI
US dan Konsentrasi PM2.5 7.5 kali nilai panduan kualitas udara tahunan
WHO dengan tingkat polusi udara yaitu tidak sehat bagi kelompok
sensitif (IQAir, 2023). Sehingga risiko kematian akibat pneumonia jauh
lebih besar dialami anak-anak yang hidup di lingkungan dengan kadar
pencemaran udara tinggi.
3. Distribusi Kejadian Penyakit Pneumonia Berdasarkan Orang
Pada tahun 2022, angka kesakitan akibat pneumonia pada balita
lebih banyak dialami pada kelompok umur 1- < 5 tahun yaitu sebesar
69,2%. Sedangkan angka kematian lebih besar pada kelompok umur di
bawah 1 tahun, yaitu sebesar 68,6% dari 0,12% angka kematian nasional
akibat pneumonia pada balita. Data Profil Kesehatan Indonesia 2018 juga
menyebutkan angka kematian akibat Pneumonia pada kelompok bayi lebih
tinggi hampir dua kali lipat dibandingkan pada kelompok anak umur 1-4
tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2019a). Hal ini sebabkan bayi yang
berusia di bawah 1 tahun memiliki sistem kekebalan yang belum
sepenuhnya berkembang. Olehnya mereka memiliki pertahanan yang
kurang kuat terhadap infeksi, termasuk infeksi pneumonia.
Jika dibandingkan dengan jenis kelamin, jumlah kasus pneumonia
balita pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Secara
nasional jumlah kasus pada laki-laki sebesar 53,2% dan 46,8% pada
Perempuan. Penelitian yang dilakukan di Klungkung, Bali juga
menyebutkan balita laki-laki memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk
terkena pneumonia dibandingkan dengan balita perempuan (Ramandey et
al., 2018). Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan laki-laki adalah
salah satu resiko kejadian pneumonia pada balita. Beberapa penelitian
menemukan sejumlah penyakit saluran pernapasan yang dipengaruhi oleh
adanya perbedaan fisik anatomi saluran pernapasan pada anak laki-laki
dan perempuan. Secara umum dalam ukuran tertentu saluran pernapasan
anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini
dapat meningkatkan frekuensi penyakit saluran pernapas (Depkes RI, 2004
dalam (Sangadji et al., 2022)).
C. Campak
1. Distribusi Kejadian Campak Berdasarkan Waktu
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2012-2022 pada Gambar 10 terlihat bahwa tren kasus campak konfirmasi
di Indonesia pada tahun 2020 naik hingga tahun 2022 mencapai 4.844
kasus. Hal ini dilandasi karena terjadi pandemi pada tahun-tahun tersebut
yang dimana pencegahan campak hanya bisa diperoleh dari imunisasi
sehingga imunisasi sesuai jadwalnya harus dilakukan supaya anak-anak
terhindar dari campak. Keadaan di Indonesia 2 tahun terakhir atau hampir
3 tahun sejak terdampak dari pandemi Covid-19 membuat implikasi yang
tidak baik terhadap cakupan imunisasi. Cakupan imunisasi terlihat turun
secara signifikan karena pandemi Covid-19 yang menyebabkan banyak
anak tidak diimunisasi. Penyebabnya karena sudah 2 tahun berturut-turut
Indonesia tidak bisa mencapai target untuk pelayanan imunisasi rutin.
Sehingga banyak anak-anak yang tidak diimunisasi rutin akibat Covid-19
(Kemenkes RI, 2023).
2. Distribusi Kejadian Campak Berdasarkan Tempat
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 11 menunjukkan bahwa kasus campak di Indonesia
pada tahun 2022 dikonfirmasi sebanyak 4.884 kasus, 5 Provinsi dengan
jumlah kasus tertinggi terjadi pada Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Jawa
Timur, Riau dan Jawa Barat. Kasus campak di Provinsi Aceh sangat tinggi
dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk menekan kasus dan kematian akibat campak
adalah imunisasi campak
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Rima et al., 2017)
menunjukkan bahwa di Provinsi Aceh memiliki kasus campak tertinggi
dibandingkan tempat lain karena rendahnya cakupan imunisasi campak di
Provinsi Aceh dapat disebabkan oleh banyak hal. Pada penelitian ini
menunjukkan bahwa hampir empat persepuluh anak usia 12-59 bulan di
Provinsi Aceh tidak pernah mendapatkan imunisasi campak.
3. Distribusi Kejadian Campak Berdasarkan Orang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 12 menunjukkan bahwa proporsi kasus campak paling
banyak terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun yaitu sebesar 38,5% terjadi
pada tahun 2022. Seperti yang diketahui bahwa ditahun 2022 masih terjadi
pandemi Covid-19 yang dimana cakupan imunisasi terlihat turun secara
signifikan karena pandemi Covid-19 yang menyebabkan banyak anak
tidak diimunisasi.
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Fazlaini, 2020) menunjukkan
bahwa ada hubungan antara pemberian imunisasi campak dengan kejadian
campak pada balita usia 2-5 tahun. Data epidemiologi di Indonesia
diperoleh akumulasi anak balita yang tidak di imunisasi dan anak-anak
yang tidak mendapatkan kekebalan setelah mendapatkan satu dosis vaksin
campak karena efikasi vaksin campak sehingga dapat terjadi Kejadian
Luar Biasa (KLB). Umumnya distribusi kelompok umur pada KLB
dengan cakupan imunisasi yang rendah terjadi pada kelompok umur 1-4
tahun dan 5-9 tahun.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 13 menunjukkan bahwa di Indonesia pada tahun 2022,
proporsi kasus campak yang sudah mendapatkan imunisasi hanya sebesar
6,7%. Maka dapat diartikan bahwa sebanyak 93,3% kasus campak yang
terjadi belum mendapatkan vaksin campak.
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Fatahya dkk, 2023)
menunjukkan bahwa pada masa pandemi cakupan imunisasi khususnya
campak mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena
akses infromasi terhadap pelayanan imunisasi di masa pandemi COVID-
19, jarak rumah ke penyedia layanan imunisasi, ketersediaan
imunisasi/vaksin campak, dan tingkat kecemasan terjangkit Covid-19,
tidak terdapat hubungan antara pekerjaan ibu dan persepsi terhadap kinerja
layanan imunisasi di masa pandemi Covid-19 dengan status imunisasi
campak (MR1).
E. Kusta
1. Distribusi Kusta Berdasarkan Waktu
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2012-2022 pada Gambar 20 menunjukkan bahwa Tren angka kejadian
kusta selama sebelas tahun terakhir relatif menurun. Angka prevalensi
kusta di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 0,54 kasus per 10.000
penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 4,5 kasus per 100.000
penduduk. Selain itu, angka cacat tingkat 2 sebesar 2,9 kasus per
1.000.000 penduduk. Angka cacat tingkat 2 merupakan indikator yang
digunakan untuk menunjukkan keberhasilan penemuan kasus baru kusta
secara dini.
Hal yang mendasari kasus kusta semakin menurun dikarenakan
sebagai wujud komitmen Indonesia dalam mencapai target-target di
tingkat global, Indonesia menetapkan target pencapaian eliminasi pada
tingkat kabupaten/kota pada tahun 2024 yang tertuang dalam Permenkes
No.11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta. Dalam Peraturan
tersebut juga tercakup empat strategi utama pengendalian kusta meliputi
penguatan advokasi dan koordinasi lintas program dan lintas sektor;
penguatan peran serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan;
penyediaan sumber daya yang mencukupi dalam penanggulangan kusta;
serta penguatan sistem surveilans serta pemantauan dan evaluasi kegiatan
penanggulangan kusta (Kemenkes RI, 2021).
2. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Tempat
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 21 menunjukkan bahwa angka penemuan kasus kusta
baru pada tahun 2022 sebesar 4,6 kasus per 100.000 penduduk. Provinsi
dengan angka penemuan tertinggi terjadi Provinsi Papua Barat dengan
angka penemuan kasus kusta baru mencapai 67,7 kasus per 100.000
penduduk.
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Tambaip dkk, 2023)
menunjukkan bahwa Papua adalah salah satu provinsi terluar dan terisolasi
di Indonesia yang memiliki masalah kesehatan yang signifikan, seperti
tingkat kematian bayi dan ibu yang tinggi, penyakit menular, serta masalah
kesehatan masyarakat adat yang berbeda dari budaya di wilayah lain di
Indonesia. Masalah kesehatan di Papua terkait dengan faktor sosial,
ekonomi, dan budaya yang unik. Sejumlah faktor seperti infrastruktur
yang terbatas, akses terbatas ke sumber daya kesehatan, budaya tradisional
yang kuat, dan masalah konflik di wilayah tersebut memperburuk situasi
kesehatan di Papua. Kebiasaan orang Papua yang memiliki tradisi bertukar
barang, bisa menjadikan penyebab angka kejadian kusta meningkat di
Provinsi ini.
3. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Orang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 22 menunjukkan bahwa pada tahun 2022 dilaporkan
terdapat 12.612 kasus baru kusta yang hampir 90% di antaranya
merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB). Penelitian yang telah dilakukan
oleh (Amalia, 2021) menunjukkan bahwa distribusi frekuensi faktor-faktor
penyebab kejadian kusta tipe multibasiler sebanyak 89 pasien (81,7%) dan
kusta tipe pausibasiler sebanyak 20 pasien (18,3%). Hal ini dikarenakan
penyakit kusta dapat ditularkan dari kusta tipe multibasiler dengan cara
penularan langsung.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 23 menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin,
penemuan kasus baru kusta di Indonesia pada tahun 2022 lebih banyak
terjadi pada laki-laki yaitu sebesar 63,8%. Penelitian yang telah dilakukan
oleh (Wulandari dkk, 2021) menunjukkan bahwa penelitian di RSUP
Dr.Sitanala Kota Tangerang mayoritas penderita berjenis kelamin laki-
laki. Begitu pula dengan penelitian di RS. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar
dimana laki-laki lebih banyak menderita kusta dari pada perempuan.
Factor social budaya memungkinkan sebagai factor penting dalam
rendahnya kasus kusta pada perempuan. Rendahnya status social
perempuan di beberapa daerah di Indonesia mengakibatkan keterbatasan
perempuan dalam mengakses pelayanan kesehatan sehinggah
memungkinkan kasus tersembunyi pada kalangan perempuan. Selain itu
laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah sehingga risiko
untuk terpapar jauh lebih besar.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Lonjakan kasus Tubercluosis pada tahun 2022 disebabkan karena
mobilitas penduduk yang meningkat setelah kasus COVID-19 pada
provinsi DKI Jakarta pada kelompok umur 45-54 tahun dan paling tinggi
dialami oleh laki-laki.
2. Cakupan penemuan pneumonia pada balita mengalami peningkatan,
disebabkan capaian imunisasi dasar lengkap yang tidak mencapai target
pada tahun 2021-2022 karena COVID-19, Kalimantan Utara menjadi
provinsi dengan kasus pneumonia tertinggi sedangkan CFR tertinggi
adalah provinsi Bengkulu dengan tingkat polusi udara yang buruk bagi
kelompok rentan pada kelompok umur di bawah 1 tahun dan pada balita
laki-laki.
3. Tren kasus campak naik pada tahun 2020-2022 dilandasi karena cakupan
imunisasi campak menurun karena COVID-19, provinsi aceh dengan
kasus campak tertinggi, kasus campak paling banyak terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun.
4. Incidence Rate DBD menunjukkan peningkatan pada tahun 2021-2022
perubahan iklim dengan suhu yang memanas serta fenomena El Nino
menjadi pencetusnya. Kalimantan Utara menjadi provinsi kejadian infeksi
penyakit DBD tertinggi. Kasus DBD terjadi pada kelompok umur 15-44
tahun sedangkan angka kematian akibat DBD lebih banyak terjadi pada
kelompok umur 5-14 tahun. Angka kematian akibat DBD lebih dominan
pada perempuan.
5. Tren angka kejadian kusta mengalami penurunan, Provinsi dengan angka
penemuan tertinggi terjadi Provinsi Papua Barat disebabkan karena
masalah kesehatan yang signifikan, seperti tingkat kematian bayi dan ibu
yang tinggi, penyakit menular, serta masalah kesehatan masyarakat adat
yang berbeda dari budaya di wilayah lain di Indonesia. Penemuan kasus
baru kusta di antaranya merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB), lebih
banyak terjadi pada laki-laki.
B. Saran
1. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
menjaga lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
2. Mengembangkan strategi pencegahan dan pengendalian penyakit yang
mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan seperti perubahan iklim dan
interaksi manusia dengan lingkungannya.
3. Melakukan pemantauan dan penelitian lebih lanjut terkaiit dampak
perubahan iklim terhadap penyebaran penyakit, terutama penyakit yang
rentan terhadap perubahan iklim seperti tuberkluosis, pneumonia, campak,
demam berdarah dengue, dan kusta.
4. Meningkatkan akses dan layanan kesehatan terutama bagi kelompok rentan.
5. Mengintensifkan upaya pengendalian vektor ppenyakit seperti aedes
aegypti, melalui program pengendalian vektor yang efektif dan edukasi
masyarakat tentang tindakan pencegahan.
6. Mendorong kerjasama lintas sektor dalam menghadapi tantangan
epidemiologi yang terkait dengan faaktor lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adinda Mega Putri, Imam Thohari and Ernita Sari (2022) ‘Kondisi Fisik Rumah
(Jenis Dinding, Jenis Lantai, Pencahayaan, Kelembaban, Ventilasi, Suhu,
dan Kepadatan Hunian) Mempengaruhi Kejadian Penyakit Tuberkulosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Krian Sidoarjo Tahun 2021’, Gema Lingkungan
Kesehatan, 20(1), pp. 22–28. doi: 10.36568/gelinkes.v20i1.5.
Amalia Yunia Rahmawati. (2021). Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Kusta Di
Rsup Dr. Rivai Abdullah Tahun 2021. July, 1–23.
Booth Mark. (2018). Climate Change and The Negleted Tropical Diseases.
Newcastle: Elseviar
CDC (2020) TBC Prevention. Available at:
https://www.cdc.gov/tb/topic/basics/tbprevention.htm.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI. (2019)
Pedoman Surveilans Campak - Rubela. Jakarta: Subdit Surveilans: Direktorat
Surveilans dan Karantina Kesehatan Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular. (2023).
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2PM - Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Tahunan Demam Berdarah Dengue Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2P
Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Kinerja 2022. Jakarta: Ditjen P2P Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Tahunan Program TBC Nasional Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2P Kemenkes
RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Tahunan Program Penanggulangan Kusta Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2P
Kemenkes RI.
Fatahya, & Abidin, F. A. (2023). Status Imunisasi Campak Pada Masa Pandemi
Covid-19. Higeia Journal of Public Health Research and Development, 1(3),
625–634.
Fazlaini, R. (2020). Hubungan Pemberian Imunisasi Campak dengan Kejadian
Campak pada Balita Umur 2-5 Tahun di Desa Asan Kumbang Kecamatan
Bandar Dua Kabupaten Pidie. Khatulistiwa Nursing Journal, 2(2), 39–44.
https://doi.org/10.53399/knj.v2i2.66
Febrilia, S. F. et al. (2022) ‘Hubungan Faktor Manusia dan Lingkungan Rumah
Terhadap Kejadian Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Rejosari Kota
Pekanbaru’, Jurnal Kesehatan Komunitas, 8(3), pp. 436–442. doi:
10.25311/keskom.vol8.iss3.618.
Gannika, L. (2016) ‘Tingkat Pengetahuan Keteraturan Berobat dan Sikap Klien
Terhadap Terjadinya Penyakit TBC Paru di Ruang Perawatan I dan II RS
Islam Faisal Makassar’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 4(1), pp.
55–62. doi: 10.35816/jiskh.v4i1.86.
Hidayatullah, A., Navianti, D. and Damanik, H. D. L. (2021) ‘Kondisi Fisik
Rumah Terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Pari di Wilayah Kerja
Puskesmas’, Jurnal Sanitasi Lingkungan, 1(2), pp. 72–79.
Hidayati, I., Andiarna, F., & Suprayogi, D. (2020). Correlation between Humidity
and Illumination with Leprosy Occurrence Hubungan Kelembapan dan
Pencahayaan dengan Kejadian Kusta. Jurnal Teknologi Kesehatan, 16(1), 1–
7.
Hutama, H. I., Riyanti, E. and Kusumawati, A. (2019). ‘Gambaran Perilaku
Penderita Tuberculosis Paru Dalam Pencegahan Penularan Tuberculosis Paru
Dikabupaten Klaten’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1), pp. 491–500.
IQAir. (2023). Kualitas Udara di Bengkulu.
https://www.iqair.com/id/indonesia/bengkulu/bengkulu-city
Jannah, M., Abdullah, A., & Melania, H. (2019). Analisis Faktor Risiko Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Balita Di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Banda Raya Kota Banda Aceh Tahun 2019. JUKEMA. 6(1). 20-
28.
Kementerian Kesehatan RI. (n.d.). Waspada, Campak jadi Komplikasi Sebabkan
Penyakit Berat. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang
Rumah.
Kementerian Kesehatan RI. (2019a). Profil Kesehatan Indonesia 2018. In Health
Statistics. Kementerian Kesehatan RI.
https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2018.pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2019b). Riset Kesehatan Dasar 2018.
Kementerian Kesehatan RI. (2020). Jangan Abaikan TBC di Masa Pandemi
Covid-19 Menuju Eliminasi TBC Tahun 2030. Balitbangkes.
https://www.balaibaturaja.litbang.kemkes.go.id/read-jangan-abaikan-tbc-di-
masa-pandemi-covid19-menuju-eliminasi-tbc-tahun-2030
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran: Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2021). Pravalensi Kusta Pada Anak Tinggi,
Temukan Kasusnya, Periksa Kontak dan Obati Sampai Tuntas.
Kementerian Kesehatan RI. (2022). Rencana Aksi Program Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. In Rencana AKSI Program P2P.
http://www.jikm.unsri.ac.id/index.php/jikm
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Profil Kesehatan Indonesia 2022. Jakarta:
Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Indonesia Raih Rekor Capaian Deteksi TBC
Tertinggi di Tahun 2022. Kementerian Kesehatan RI.
https://ayosehat.kemkes.go.id/indonesia-raih-rekor-capaian-deteksi-tbc-
tertinggi-di-tahun-2022
Khambali. (2019). Pemanasan Global dan Gangguan Kesehatan serta
Mitigasinya. Surabaya : HAKLI Jawa Timur.
Kondamudi NP, Waymack JR. Campak. (2023). StatPearls [Internet]. Penerbitan
StatPearls. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448068/
Mallang, Y., Regaletha, T. A. L., & Landi, S. (2022). Mapping The Spread Of
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Cases With Geographical Information
System (GIS) Methods In Waingapu City Sub-District. Media Kesehatan
Masyarakat, 4(3), 387–396.
Mani, C. S., & Murray, D. L. (2018). Acute Pneumonia and Its Complications. In:
Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. New York: 2018;
238-249
Mar’iyah, K. and Zulkarnain (2021) ‘Patofisiologi Penyakit Infeksi Tuberkulosis’,
Prosiding Biologi Achieving the Sustainable Development Goals with
Biodiversity in Confronting Climate Change, 7(1), pp. 88–92. Available at:
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/psb.
Martias, I. and Daswito, R. (2019) ‘Studi Ekologi Variabel Cuaca Terhadap
Kejadian Campak di Kota Tanjungpinang Tahun 2010-2017’, Jurnal
Kesehatan, 12(1), pp. 109–118.
Marvianto, D., Ratih, O. D., Frenka, K., & Wijaya, N. (2023). Infeksi Dengue
Sekunder : 50(2), 70–74.
Montella S, Corcione A, Santamaria F. (2017). Recurrent Pneumonia in Children:
A Reasoned Diagnostic Approach and a Single Centre Experience. Int J Mol
Sci. 18(2):296. doi: 10.3390/ijms18020296. PMID: 28146079; PMCID:
PMC5343832.
Mphande-Nyasulu, F. A., Puengpipattrakul, P., Praipruksaphan, M., Keeree, A., &
Ruanngean, K. (2022). Prevalence of Tuberculosis (TB), Including Multi-
Drug-Resistant and Extensively-Drug-Resistant TB, and Association with
Occupation in Adults at Sirindhorn Hospital, Bangkok. IJID Regions, 2(11),
141–148. https://doi.org/10.1016/j.ijregi.2022.01.004
Opovsky, E. Y., & Florin, T. A. Community-Acquired Pneumonia in Childhood.
Reference Module in Biomedical Sciences. 2020.
Pramanik, M., Singh, P., Kumar, G., Ojha, V. P., & Dhiman, R. C. (2020). El
Niño Southern Oscillation as an early warning tool for dengue outbreak in
India. BMC Public Health, 20(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s12889-020-
09609-1
Raj, A. A. V, Velraj, R., & Haghighat, F. (2020). The Contribution of Dry Indoor
Built Environment on The Spread of Coronavirus : Data From Various
Indian States. Sustain Cities Soc, 62(January), 1–11.
Ramandey, D. E. M., Kurniasari, N. M. D., & Widyanthini, D. N. (2018). Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Rumah
Sakit Ibu Anak Permata Hati Kabupaten Klungkung Tahun 2015-2017.
Archive of Community Health, 5(2), 11.
https://doi.org/10.24843/ach.2018.v05.i02.p02
Riastini, N. M. R. and Sutarga, I. M. (2021) ‘Gambaran Epidemiologi Kejadian
Campak di Kabupaten Badung Provinsi Bali Tahun 2014-2019’, Arc. Com.
Health, 8(1), pp. 174–188.
Ratna Dwi Christyanti, Abdul Arif, A. P. U. M. A. (2022). Implementasi Metode
Fuzzy C-Means dalam Clustering Wilayah Rawan Penyakit Demam
Berdarah. Journal of Mathematics Education and Science, 6(1), 11–17.
https://doi.org/10.32665/james.v6i1.933
Rima, P., Padini, A., & Sirait, T. (2017). Pemodelan Cakupan Imunisasi Campak
Pada Anak Usia 12-59 Bulan Di Provinsi Aceh Tahun. 2017, 439–448.
Sangadji, N. W., Okta Vernanda, L., Muda, A. K., & Veronika, E. (2022).
Hubungan Jenis Kelamin, Status Imunisasi Dan Status Gizi Dengan Kejadian
Pneumonia Pada Balita (0-59 Bulan) Di Puskesmas Cibodasari Tahun 2021.
JCA Health Science, 2(2), 66–74.
Smith, Darvin Scott. 2013. Leprosy. Diakses tanggal : 13 Oktober 2023
https://emedicine.medscape.com/article/220455-overview?form=fpf#a5
Solihati, E N., Suhartono., et al. (2017). Studi Epidemiologi Deskriptif Kejadian
Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Langensari II Kota
Banjar Jawa Barat Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(5): 618- 629
Srisantyorini, T., Nabilla, P., Herdiansyah, D., Dihartawan, Fajrini, F., &
Suherman. (2022). Analisis Spasial Kejadian Tuberkulosis di Wilayah DKI
Jakarta. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 18, 131–138.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/JKK
Supangat, U., Badriah, D. L., Mamlukah, M., & Suparman, R. (2023). Faktor-
Faktor Yang Berhubungan Dengan Kematian Kasus Demam Berdarah Di
Kota Tasikmalaya 2022. Journal of Health Research Science, 3(1), 63–71.
https://doi.org/10.34305/jhrs.v3i01.764
Susilowati, I., & Cahyati, W. H. (2021). Kondisi lingkungan dan perilaku dengan
kejadian dbd. Indonesian Journal of Public Health and Nutrition, 1(2), 244–
254.
Tambaip, B., & Tjilen, A. P. (2023). Analisis Kebijakan Publik Dalam Derajat
Kesehatan Di Papua. Jurnal Kebijakan Publik, 14(1), 101.
https://doi.org/10.31258/jkp.v14i1.8232
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. (2022). TBC.
Artikel Kementerian Kesehatan RI. Available at:
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1375/tbc
Turner, R. D., Chiu, C., Churchyard, G. J., Esmail, H., Lewinsohn, D. M.,
Gandhi, N. R., & Fennelly, K. P. (2017). Tuberculosis Infectiousness and
Host Susceptibility. Journal of Infectious Diseases, 216(Suppl 6), S636–
S643. https://doi.org/10.1093/infdis/jix361
UNICEF. (2023). Executive Summary, The State of The World’s Children 2023,
For Every Child Vaccination. Intalia: UNICEF Innocenti – Global Office of
Research and Foresight.
Uwishema, Olivier at. Al. (2023). Impacts of Enviromental and Climatic Changes
on Future Infectious Diseases. United Kingdom: Interntional Journal of
Surgery.
Waani, J., Ottay, R. I., & Mf Palandeng, H. (2018). Kajian Kecenderungan
Pneumonia pada Balita di Kota Bitung Tahun 2015-2017. Jurnal Kedokteran
Komunitas Dan Tropik, 6(2), 284–288.
Word Health Organization. Pneumonia. (2019). Available at
https://www.who.int/news-room/fact-sheet/ detail/pneumonia.
World Health Organization. (2020). Global Tuberculosis Report 2020.
https://doi.org/10.1787/f494a701-en
WHO. (2021). Pneumonia. World Health Organization.
https://www.who.int/newsroom/fact-sheets/detail/pneumonia
WHO. (2023). Campak. Geneva: World Health Organization. Available at:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/measles
World Health Organization. (2022). Global Tuberculosis Report 2022. Geneva:
WHO
World Health Organization. (2023). Global Tuberculosis Report 2022.
World Health Organization. 2023. Dengue and Severe Dengue.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dengue-and-severe-
dengue
World Health Organization. 2023. Leprosy. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/leprosy
World Health Organization. 2023. Measles. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/measles
Wulandari, A., & Rivita, M. (2021). Hubungan Pengetahuan dan Dukungan
Keluarga terhadap Perawatan Diri Penderita Kusta di RSUP Dr. Sitanala
Kota Tangerang Relationship between Knowledge and Family Support for
Self-Care of Leprosy Patients in RSUP Dr. Sitanala Kota Tangerang. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Masyarakat, 13, 113.
Yelvita, F. S. (2022). Hubungan Kadar Hematokrit Dan Trombosit Dengan
Tingkat Keparahan Inflamasi Pada Kasus Demam Berdarah Dengue Di
Prodia Kebayoran Periode Tahun 2020 – 2021. Hubungan Kadar
Hematokrit Dan Trombosit Dengan Tingkat Keparahan Inflamasi Pada
Kasus Demam Berdarah Dengue Di Prodia Kebayoran Periode Tahun 2020
– 2021, 8.5.2017, 2003–2005.
Yosua, M. I., Ningsih, F. and Ovany, R. (2022) ‘Hubungan Kondisi Lingkungan
Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru’, Jurnal Surya Medika
(JSM), 8(1), pp. 136–141. Available at:
https://journal.umpr.ac.id/index.php/jsm/article/view/3455.