Anda di halaman 1dari 69

TUGAS KELOMPOK

Mata Kuliah : Epidemiologi Lanjut (A)


Dosen Pengampu : Prof. Dr. drg. A. Arsunan Arsin, M.Kes., CWM

FENOMENA LINGKUNGAN DALAM ASPEK EPIDEMIOLOGI

OLEH:
KELOMPOK I

Alifka Rahmayanti Jamaluddin K012222023


Fivit Febriani Malik K012222027
Mei Sri Unjar Zakiyah K012231014
Komariah Abdullah K012231033
Ummul Qura K012231042

MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, dan kelembaban yang
merupakan akibat dari perubahan iklim secara global memberikan dampak
yang signifikan terhadap banyak patogen menular dan polanya. Perubahan
iklim dapat mempengaruhi patogen, baik secara langsung melalui
pengaruhnya terhadap siklus hidup patogen ataupun secara tidak langsung
dengan mempengaruhi habitat dan lingkungan dimana mereka berada juga
dapat mempengaruhi distribusi patogen secara geografis (Uwishema, 2023).
Dari penelitian yang dikutip dalam Laporan Kementerian Kesehatan
bersama dengan Unicef dan BMKG pada tahun 2021 menyebutkan,
peningkatan suhu yang terjadi akibat perubahan iklim dapat meningkatkan
laju perkembangbiakan agen penyakit, memperpendek durasi inkubasi
ekstrinsik, serta mempercepat laju perkembangan nyamuk. Fenomena ini
berdampak pada peningkatan penyebaran atau kejadian penyakit seperti tular
udara (Tuberkulosis, Pneumonia, Campak, dan Kusta), tular vektor (DBD dan
Malaria), tular air (Diare), serta penyakit sensitif iklim lainnya pada penduduk
(Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Tuberkulosis (TBC) saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat baik di Indonesia maupun internasional. Tuberculosis adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri tersebut menyebar dari penderita TBC melalui udara. Bakteri TBC ini
biasanya menyerang organ paru, namun dapat juga menyerang selain paru
(ekstra paru). Hampir seperempat penduduk dunia terinfeksi dengan bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Sekitar 89% TBC diderita oleh orang dewasa
dan 11 % diderita oleh anak-anak. Sampai saat ini TBC masih merupakan
penyebab kematian tertinggi setelah HIV/AIDS, dan merupakan salah satu
dari 20 penyebab utama kematian di seluruh dunia. Sebagian besar estimasi
kematian yang disebabkan TBC tercatat di empat negara, yaitu India,
Indonesia, Myanmar, dan Filipina. Jumlah kematian akibat TBC (di antara
pasien HIV negatif) secara global pada tahun 2021 sebesar 1,4 juta, hal ini
mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2020 yaitu sebesar 1,3 juta.
Indonesia merupaka negara peringkat ke-2 penderita TBC tertinggi di dunia
setelah India dengan proporsi kasus baru sebesar 13% seluruh kasus di dunia.
Secara global, diperkirakan 10,6 juta orang menderita TBC pada tahun 2021
(WHO, Global Tuberculosis Report, 2022). Pada tahun 2022 jumlah kasus
Tuberkulosis yang ditemukan di Indonesia sebanyak 677.464 kasus,
meningkat cukup tinggi bila dibandingkan kasus Tuberkulosis pada tahun
2021 sebesar 397.377 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Penyakit lainnya yang ditularkan melalui udara adalah Pneumonia.
Pneumonia merupakan infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus,
jamur dan bakteri. Sampai saat ini pneumonia masih merupakan salah satu
penyebab angka kesakitan dan kematian tertinggi pada balita di dunia maupun
di Indonesia. Berdasarkan data WHO tahun 2019, pneumonia menyebabkan
14% seluruh kematian pada anak di bawah 5 tahun. Data RISKESDAS
Indonesia Tahun 2018, prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis oleh
tenaga kesehatan adalah 2% dan 4% berdasarkan diagnosis oleh tenaga
kesehatan dan gejala. Survei Sample Registration System Balitbangkes 2016
pneumonia menempati urutan ke 3 sebagai penyebab kematian pada balita
(9.4%) (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Pada tahun 2022, prevalensi
pneumonia pada balita di Indonesia sebesar 38,8%, sementara angka kematian
kasus pneumonia pada balita mencapai 0.12% (Kementerian Kesehatan RI,
2023).
Fenomena lingkungan lainnya saat ini adalah adanya pandemi Covid-19
yang terjadi pada tahun 2020 sampai 2022. Pandemi Covid-19 ini
menyebabkan terjadinya pembatasan kegiatan masyarakat termasuk pada
kegiatan pelayanan kesehatan. Salah satu akibatnya adalah tren cakupan
pemberian imunisasi (termasuk campak) cenderung menurun pada kurun
waktu tersebut. Penyakit campak yang biasanya juga dikenal sebagai morbili
atau measles merupakan penyakit yang sangat menular disebabkan oleh virus
dari genus Morbillivirus dan termasuk golongan Paramyxovirus. Campak
menjadi penyebab penting kematian anak-anak di seluruh dunia. Kelompok
anak usia pra sekolah dan usia SD merupakan kelompok rentan tertular
penyakit campak. Campak akan menyerang hampir 100% anak yang tidak
kebal terhadap virus tersebut (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Berdasarkan data, secara global sekitar 1 dari 5 orang anak tidak
memiliki perlindungan terhadap campak (UNICEF, 2023). WHO
memperkirakan 128.000 orang meninggal karena campak pada tahun 2021
dan sebagian besar di antaranya merupakan anak di bawah 5 tahun (WHO,
2023). Pada tahun 2021, Indonesia masuk diantara 20 negara dengan angka
tertinggi berdasarkan kategori anak yang belum pernah mendapatkan
imunisasi sama sekali (zero-dose) (UNICEF, 2023). Pada tahun 2022 terdapat
kasus suspek campak sebanyak 21.175 kasus dan tersebar di seluruh provinsi
di Indonesia. Jumlah kasus tersebut meningkat tajam apabila dibandingkan
dengan jumlah kasus suspek campak pada tahun 2021 sebanyak 2.931, dan
tahun 2020 yaitu sebesar 3.434 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Efek lain yang ditimbulkan dari pemanasan global adalah semakin luasnya
penyebaran hama dan penyakit. Salah satu dari penyebaran penyakit yang
dipicu oleh dampak dari perubahan iklim global itu adalah penyebaran
penyakit yang ditularkan oleh serangga (arthropod borne diseases) seperti
DBD. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
menular yang disebabkan oleh virus dan disebarkan oleh vektor. Virus yang
menyebabkan penyakit ini adalah Dengue. Vektor penular penyakit ini berasal
dari jenis nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Habitat nyamuk Aedes
pada umumnya berada di wilayah dengan iklim tropis, curah hujan tinggi,
serta suhu panas dan lembab. Karakteristik dan perilaku vektor tersebut dapat
menjelaskan adanya kecenderungan peningkatan kasus DBD pada musim
penghujan seiring dengan bermunculannya tempat perindukan (Khambali,
2019).
Bhatt et al. dalam Ditjen P2P memperkirakan terdapat 390 juta infeksi
dengue terjadi setiap tahunnya (Ditjen P2P, 2023). Insiden DBD meningkat
secara dramatis di seluruh dunia beberapa dekade terakhir, dengan jumlah
kasus yang dilaporkan ke WHO meningkat dari 505.430 pada tahun 2000
menjadi 5,2 juta pada tahun 2019. Banyak kasus tidak bergejala sehingga
tidak dilaporkan ke WHO. Hingga pada awal tahun 2020, WHO memasukkan
DBD sebagai salah satu ancaman kesehatan global di antara 10 penyakit
lainnya (WHO, 2023). Pada tahun 2022 di Indonesia terdapat 143.266 kasus
DBD dengan jumlah kematian sebanyak 1.237 kasus. Kasus maupun kematian
akibat DBD mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2021 yaitu sebesar
73.518 kasus dan 705 kematian (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Fenomena perubahan lingkungan yang terjadi saat ini juga
mempengaruhi pola persebaran penyakit, termasuk penyakit tropis yang
terabaikan atau Neglected Tropical Diseases (NDTs) (Booth, 2018). Banyak
NDTs dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan seperti variasi suhu,
curah hujan, kelembaban, ataupun cuaca ekstrim. Salah satu NDTs yang
menjadi prioritas Indonesia saat ini adalah Kusta (Kementerian Kesehatan RI,
2023).
Kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan bakteri
Mycobacterium leprae. Penyakit kusta bersifat kronis, menyerang kulit, saraf
tepi, dan organ tubuh lain kecuali saraf pusat. Kusta merupakan penyakit
tropis terabaikan yang masih menjadi masalah kesehatan di lebih dari 120
negara, dengan lebih dari 200.000 kasus baru dilaporkan setiap tahunnya
(www.who.int). Indonesia menempati urutan ke 3 di dunia dengan jumlah
kasus baru terbanyak di tahun 2020 (Ditjen P2PM, 2023). Angka prevalensi
kusta di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 0,54 kasus per 10.000 penduduk
dan angka penemuan kasus baru sebesar 0,45 kasus per 100.000 penduduk
(Kementerian Kesehatan RI, 2023).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit tuberkulosis?
2. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit pneumonia pada balita?
3. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit campak?
4. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakti DBD?
5. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit Kusta?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit tuberkulosis?
2. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit pneumonia pada
balita?
3. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit campak?
4. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakti DBD?
5. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit Kusta?

D. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapakan dapat meningkatkan pengetahuan
bagi penulis maupun pembaca mengenai gambaran epidemiologi penyakit
tuberkulosis, pneumonia pada balita, campak, DBD, dan Kusta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Tuberkulosis
1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri yang
berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga sering juga dikenal
dengan Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri ini sebagian besar menyerang
parenkim paru (TB Paru), tetapi bakteri ini juga memiliki kemampuan
menginfeksi organ lain (TB Ekstra Paru) seperti pleura, kelenjar limfe,
tulang dan organ ekstra paru lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2020).

2. Etiologi Tuberkulosis
Penyebab tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium Tuberculosis
yang berbahaya bagi manusia dan termasuk dalam famili Mycobacteria.
Bakteri ini merupakan bakteri gram positif yang bersifat aerob obligat
(bakteri yang mutlak membutuhkan oksigen yang bebas untuk hidupnya),
tidak mempunyai endospora dan kapsul, serta berbentuk sel batang dengan
dinding sel lipoid yang tahan asam. Ukuran 0,2-0,4 μm, tumbuh secara
perlahan selama 2-60 hari pada suhu 37℃. Bakteri ini akan mati jika
berada di bawah sinar matahari karena rentan terhadap sinar matahari atau
sinar ultraviolet, bila berada di luar lingkungan air dengan suhu 1000 akan
mati dalam waktu 2 menit, serta terkena alkohol 70% atau 50% lisol
(Hutama, Riyanti dan Kusumawati, 2019).
Tuberkulosis penularannya dari manusia ke manusia lain melalui
udara berupa percik renik atau droplet nucleus (< 5 microns) yang keluar
ketika seorang yang terinfeksi TB paru, bersin, atau bicara. Percik renik
merupakan partikel kecil berdiameter 1-5 μm dapat menampung 1-5 basili,
dan bersifat sangat infeksius, dan dapat bertahan selama 4 jam di udara.
Ketika batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis
yang diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil
(Kementerian Kesehatan RI, 2020).
3. Patofisiologi Tuberkulosis
Agen penyebab Mycobacterium Tuberculosis masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, melalui luka
terbuka pada kulit, dan sebagian besar infeksi tuberkulosis paru terjadi
melalui tetesan udara (airborne), yaitu dengan menghirup tetesan yang
mengandung patogen Mycobacterium Tuberculosis yang berasal dari
orang yang terinfeksi (Gannika, 2016). Seseorang yang menghirup bakteri
Mycobacterium Tuberculosis akan menyebabkan bakteri tersebut masuk
ke dalam alveoli melalui saluran pernapasan, alveoli menjadi tempat
bakteri, berkumpul dan berkembang biak. Mycobacterium Tuberculosis
juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang, korteks
serebral, dan area lain di paru-paru (lobus atas) melalui sistem limfatik dan
cairan tubuh. Sistem imun dan sistem imun akan merespon dengan respon
inflamasi. Fagosit menekan bakteri, dan limfosit tuberkulosis
menghancurkan (melisiskan) bakteri dan jaringan normal. Reaksi ini
menyebabkan eksudat menumpuk di alveoli dan dapat menyebabkan
bronko pneumonia. Infeksi awal sering terjadi pada kurung waktu 2-10
minggu setelah terpapar bakteri (Mar’iyah dan Zulkarnain, 2021).

4. Gejala Tuberkulosis
Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Tuberkulosis oleh (Kementerian Kesehatan RI, 2020), gejala
penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat menunjukkan
manifestasi klinis sebagai berikut: 1. Batuk ≥ 2 minggu; 2. Batuk
berdahak; 3. Batuk berdahak dapat bercampur darah; 4. Dapat disertai
nyeri dada; 5. Sesak napas, diikuti dengan gejala lain meliputi : 1. Malaise;
2. Penurunan berat badan; 3. Menurunnya nafsu makan; 4. Menggigil; 5.
Demam; 6. Berkeringat di malam hari.
5. Diagnosis Tuberkulosis
Jika pasien diduga mengalami TB, dokter akan meminta pasien
menjalani pemeriksaan dahak yang disebut pemeriksaan BTA. Pada kasus
TB pada organ selain paru, pemeriksaan BTA juga dapat dilakukan
dengan menggunakan sampel selain dahak. Jika dokter membutuhkan
hasil yang lebih spesifik, pasien akan dianjurkan untuk menjalani tes
kultur BTA. Tes ini juga menggunakan sampel dahak pasien, tetapi
memerlukan waktu yang lebih lama.
Selain pemeriksaan BTA, dokter dapat melakukan serangkaian
pemeriksaan TBC lainnya untuk mendukung diagnosis, yaitu: 1. Tes
kulit mantoux atau tuberculin skin test; 2. Tes darah IGRA (Interferon
Gamma Release Assay); 3. Bronkoskopi; 4. Foto Rontgen; 5. CT scan
(Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, 2022).

6. Pencegahan Tuberkulosis
Salah satu langkah pencegahan tuberkulosis paru yaitu dengan
pemberian vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Kategori vaksin ini
juga termasuk imunisasi yang juga wajib diberikan saat sebelum bayi
berumur 2 bulan serta orang yang belum pernah mendapatkan vaksin BCG
harus mendapatkan vaksin jika ada anggota keluarga yang menderita TBC
paru. Tuberkulosis paru ini dapat dilakukan pencegahan yaitu dengan cara
yang sederhana, seperti dengan memakai masker di tempat umum dan
kontak langsung dengan pasien TB paru serta sering mencuci tangan.
Bahkan setalah di rawat di awal pengobatan (biasanya 2 bulan), pasien TB
paru masih dapat menularkan penyakitnya. Selain itu juga ada acara
pencegahan penularan infeksi pada TB paru yaitu: 1. Menutup mulut
dengan tisu saat bersin dan batuk dan segera buang; 2. Jangan membuang
droplet atau meludah sembarangan; 3. Pastikan terdapat pertukaran udara
baik di dalam rumah dan sinar matahari dapat masuk; 4. Jangan berada
atau tinggal sekamar dengan orang yang sehat, sampai dokter mengatakan
TB paru anda tidak lagi menular (CDC, 2020).
7. Hubungan Lingkungan dengan Penyakit Tuberkulosis
Lingkungan merupakan salah satu faktor risiko terhadap kejadian
tuberkulosis. Terutama lingkungan rumah merupakan salah satu faktor
yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya.
Salah satu faktor risiko yang erat hubungannya dengan penularan kejadian
TB adalah kondisi lingkungan perumahan meliputi suhu dalam rumah,
ventilasi, pencahayaan dalam rumah, kelembaban rumah, kepadatan
penghuni, dan lingkungan sekitar rumah (Hidayatullah, Navianti dan
Damanik, 2021).
Ventilasi rumah yang memenuhi syarat berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/MENKES/KES/
SK/VII/1999 yaitu luas ventilasi permanen >10% luas lantai (Yosua,
Ningsih dan Ovany, 2022). Pengaruh buruk pada suatu rumah dengan
kurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya
kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan
kelembaban udara ruangan bertambah. Hal tersebut bisa menjadi faktor
risiko memperbesar terjadinya tuberkulosis paru karena bakteri
tuberkulosis dapat bertahan hidup dalam waktu lama di tempat yang
lembab dan gelap. Persyaratan pencahayaan yang memenuhi syarat dalam
ruang rumah menurut Permenkes RI No. 1077/MENKES/PER/V/2011
adalah minimal 60 Lux.
Cahaya alami sangat penting masuk kedalam rumah karena dapat
membunuh bakteri-bakteri pathogen dalam rumah misalnya basil
Tuberkulosis. Bakteri Tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari pagi
karena banyak mengandung sinar ultraviolet, tetapi bakteri ini dapat hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab (Adinda Mega Putri, Imam
Thohari dan Ernita Sari, 2022).
Rumah dengan kelembaban udara yang tidak memenuhi
persyaratan dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayan yang tidak
lancar atau kurang akan menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek
dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Penelitian yang
dilakukan Febrilia menjelaskan bahwa lingkungan dengan kelembaban
yang tidak memenuhi syarat merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan Mycobacterium Tuberculosis, bakteri ini dapat hidup di
lingkungan dengan kelembaban yang tinggi untuk menjamin kelangsungan
hidupnya. Hal tersebut merupakan faktor risiko terjadinya penularan
penyakit tuberkulosis paru akan sangat mudah terjadi dengan dukungan
faktor lingkungan yang kurang sehat tersebut sehingga dapat menginfeksi
penghuni rumah yang ada didalamnya (Febrilia et al., 2022). Suhu
ruangan dalam rumah yang ideal adalah berkisar antara 18-20°C.
Berdasarkan Kepmenkes No. 829/75/Menkes/SK/VII/1999, suhu ruangan
dalam rumah yang ideal yaitu berkisar antara 18-30oC (Kemenkes RI,
2018).

B. Tinjauan Umum tentang Pneumonia pada Balita


1. Definisi Pneumonia
Pneumonia merupakan sebuah penyakit infeksi saluran pernapasan
akut yang terjadi di dalam jaringan paru-paru, lebih tepatnya penyakit ini
menyerang kantung-kantung kecil yang berada di dalam paru-paru atau
disebut juga dengan alveoli. Penyakit ini biasa disebabkan oleh beberapa
mikroorganisme seperti virus, bakteri serta jamur dan menyerang berbagai
jenis kalangan usia, termasuk anak-anak (WHO, 2021).
2. Etiologi Pneumonia
Pneumonia merupakan bentuk infeksi pernapasan akut yang
menyerang paru-paru, menyebabkan terbatasnya asupan oksigen untuk
bernafas seseorang akibat alveoli yang berisikan nanah dan cairan.
Penyebab pneumonia pada bayi atau balita biasanya disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae Tipe B. Keduanya
merupakan flora bakteri normal di dalam tubuh, yang dapat terjadi ketika
sistem kekebalan sedang lemah. Mikroorganisme lain penyebab
pneumonia bakterial, seperti Staphylococcus aureus, pada golongan virus
yaitu influenza, influenza, adenovirus, respirasi syncytial virus, virus
Hantala, rhinovirus, virus herpes simpleks, cytomegalovirus, mycoplasma,
pneumococcus, streptococcus, serta pada golongan jamur yaitu
candidiasis, histoplasmosis, dan aspergifosis.
3. Patofisiologis Pneumonia
Penyebab pneumonia oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, atau
riketsia, pneumonitis hipersensitivitas dapat menyebabkan penyakit
primer. Pneumonia terjadi akibat aspirasi. Pada klien yang diintubasi,
kolonisasi trakhea dan terjadi mikroaspirasi sekresi saluran pernapasan
atas yang terinfeksi. Tidak semua kolonisasi akan mengakibatkan
pneumonia. Mikroorganisme dapat mencapai paru melalui beberapa jalur:
1. Ketika individu yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara,
mikroorganisme dilepaskan ke dalam udara dan terhirup oleh orang lain;
2. Mikroorganisme dapat juga terinpirasi dengan aerosol (gas nebulasi)
dari peralatan terapi pernapasan yang terkontaminasi; 3. Pada individu
yang sakit atau hygiene giginya buruk, flora normal orofaring dapat
menjadi patogenik; 4. Staphylococcus dan bakteri gram-negatif dapat
menyebar melalui sirkulasi dari infeksi sistemik, sepsis, atau jarum obat
IV yang terkontaminasi.
4. Gejala Pneumonia
Gejala pneumonia bervariasi tergantung sistem kekebalan tubuh,
usia dan mikroorganisme penyebab. Pneumonia yang disebabkan adanya
infeksi bakteri biasanya mengalami gejala yang lebih berat, sedangkan
infeksi virus lebih ringan, tetapi bisa memburuk jika tidak segera
ditangani. Pada umumnya berupa napas cepat, batuk, demam, menggigil,
sakit kepala, kehilangan nafsu makan, dan mengik. Dapat pula terjadi
kejang, penurunan kesadaran, penurunan suhu tubuh (hipotermia),
kesulitan bernapas sehingga terjadi tarikan dinding dada bagian bawah ke
dengan cepat (Kemeterian Kesehatan RI). Gejala pneumonia berulang atau
kekambuhan pneumonia bisa sama pada setiap episodenya namun dapat
pula berbeda, hal tersebut tergantung pada tingkat keparahan. Pada
umumnya gejala yang timbul akan lebih parah, terus menerus dan dapat
terjadi kegagalan pemulihan (Montella S, Corcione A, Santamaria F,
2017).
5. Diagnosis Pneumonia
Diagnosis pneumonia pada anak ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksan penunjang. Pada anamnesis
dapat ditemukan keluhan yang dialami penderita, meliputi: demam, batuk,
gelisah, rewel dan sesak nafas. Pada bayi, gejala tidak khas, seringkali
tanpa gejala demam dan batuk. Anak besar, kadang mengeluh nyeri
kepala, nyeri abdomen, muntah. Manifestasi klinis yang terjadi akan
berbeda-beda, tergantung pada beratnya penyakit dan usia penderita. Pada
bayi jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat pada bayi
adalah: batuk, panas, iritabel. Pada anak balita, dapat ditemukan batuk
produktif/ non produktif dan dipsnea. Sebaliknya, pada anak sekolah dan
remaja: gejala lain yang sering dijumpai adalah: nyeri kepala, nyeri dada,
dan lethargi (Mani dan Murray, 2018), (Opovsky dan Florin, 2020).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sejumlah tanda fisik
patologis, terutama adanya nafas cepat (takipnea) dan kesulitan bernafas
(dyspnea). Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam satu menit ketika
anak sadar dan tidak sedang menangis. Demam dapat mencapai suhu
38,50 C sampai menggigil (Mani dan Murray, 2018), (WHO, 2019).
Gejala paru muncul beberapa hari setelah proses infeksi tidak
terkompensasi dengan baik. Gejala distress pernapasan seperti takipneu,
dispneu, adanya retraksi (suprasternal, interkosta, subkosta), grunting,
napas cuping hidung, apneu dan saturasi oksigen < 90% dapat ditemukan
pada pasien jika oksigenasi paru sudah berkurang. Takipneu menunjukkan
beratnya penyakit pada pasien dengan kategori usia sebagai berikut: >
60x/ menit pada 0-2 bulan, >50x/menit pada 2-12 bulan, >40x/menit pada
1-5 tahun, >20x/menit pada anak diatas 5 tahun. (Jannah, Abdullah,
Melania, 2019), (Opovsky dan Florin, 2020). Pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan pada anak dengan pneumonia meliputi pemeriksaan darah
rutin, Analisa Gas Darah (AGD), C-Reaktif Protein (CRP), uji serologis
dan pemeriksaan mikrobiologik. Pada pemeriksaan darah rutin, dapat
dijumpai leukositosis, umumnya berkisar 15.000 – 30.000/ mm3 dengan
predominan polimorphonuklear (PMN). Jumlah leukosit dan hitung jenis
leukosit dapat membantu menentukan pilihan pemberian antibiotik.
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk melihat luasnya kelainan
patologis pada jaringan paru. Gambaran infiltrat di bagian lobar,
interstisial, unilateral atau bilateral memberikan petunjuk organ paru yang
terlibat. Pada umumnya, infiltrat alveolar menunjukkan gambaran kuat
adanya pneumonia pada anak (Jannah, Abdullah, Melania, 2019).
Manifestasi klinis dan laboratorium yang mengarah disertai hasil foto
torak positif merupakan standar emas penegakan diagnosis pneumonia.
Pengukuran saturasi oksigen (SpO2) harus selalu dilakukan pada anak
yang mengalami distress pernapasan terutama anak dengan retraksi
dinding dada atau penurunan aktivitas. Pengukuran tersebut dapat
mendeteksi dini terjadinya hipoksemia pada jaringan dan juga dapat
menunjukkan beratnya pneumonia pada anak. Pembacaan saturasi anak
diperoleh minimal 30 detik setelah bacaan yang direkam sudah stabil.
6. Hubungan Lingkungan dengan Penyakit Pneumonia
Salah satu penyebab pneumonia adalah kualitas udara dalam
ruangan yang buruk baik secara fisik, kimia, maupun biologis. Faktor fisik
di lingkungan dalam ruangan dapat mempengaruhi terjadinya pneumonia,
terutama dimana anak-anak menghabiskan banyak waktu. Faktor yang
dapat mempengaruhi kualitas fisik udara yaitu; suhu, kelembaban,
pencahayaan, luas ventilasi, jenis lantai, dan jenis dinding.
Suhu dalam ruangan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011, syarat suhu ruangan yang ideal
adalah 18°C - 30°C. Suhu merupakan faktor pendukung berkembang
biaknya faktor biologis penyebab pneumonia. Suhu optimal untuk
pertumbuhan dan perkembangan bakteri patogen adalah 37,5°C. Selain itu,
kelembaban dalam ruangan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011, syarat untuk kelembaban udara
dalam ruangan adalah kelembaban dengan persentase 40% sampai 60%
(Kementerian Kesehatan RI, 2011). Kelembaban dalam ruangan yang
tinggi akan berpengaruh terhadap menurunnya sistem kekebalan tubuh dan
meningkatkan tubuh menjadi rentan terhadap penyakit (terutama infeksi
saluran pernapasan) (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Pencahayaan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/MENKES/PER/V/2011, syarat pencahayaan dalam ruangan
dikatakan baik jika besarnya minimal 60 lux. Ruangan yang sehat
membutuhkan cahaya yang cukup, terutama sinar matahari yang
mengandung sinar ultraviolet yang akan membunuh virus, bakteri dan
jamur yang ada di dalam ruangan. Pada panjang gelombang tertentu, sinar
ultraviolet dapat merusak DNA mikroorganisme dan membuatnya steril.
DNA yang sudah steril tidak dapat bereproduksi dan pada akhirnya akan
mati (Solihati, 2017).
Kepadatan Hunian Menurut standar World Health Organization
(WHO) tentang rumah layak huni disebutkan bahwa rumah yang sehat
adalah rumah dengan luas per kapitanya minimal sebesar 10 m2/orang.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/MENKES/SK/VII/
1999, kepadatan hunian yang memenuhi syarat apabila luas lantai seluruh
rumah dibagi dengan jumlah penghuni yaitu ≥ 8 m2. Luas lantai sering
dianggap sebagai gambaran tingkat kesejahteraan/status sosial
penghuninya. Semakin luas lantai yang dimiliki oleh suatu rumah tangga
maka asumsinya semakin sehat dan sejahtera penghuninya. Memiliki
vetilasi, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/MENKES/SK/VII/1999, luas ventilasi minimal sebesar 10% dari luas
lantai. Luas ventilasi yang memenuhi persyaratan rumah sehat ialah ≥10%
dari luas lantai. Dengan adanya ventilasi yang baik, akan memudahkan
udara segar masuk ke dalam rumah. Tidak terdapatnya ventilasi yang baik
di dalam ruangan, dapat membahayakan kesehatan penghuni. Jika ruangan
tercemar udara oleh bakteri atau bahan kimia maka akan meningkatkan
jumlah bakteri di udara, sehingga akan semakin banyak orang yang
terjangkit pneumonia karena bakteri tersebut (Fitriyah, 2016).
Jenis dinding rumah masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai
jenis, ada yang terbuat dari anyaman bambu, papan kayu, maupun yang
permanen (plester). Udara dapat mudah menembus dinding rumah apabila
terbuat dari anyaman bambu atau papan kayu, bila melihat sirkulasi udara
yang masuk memang baik tetapi kelembapan ruang menjadi meningkatkan
dan dari segi kebersihan juga tidak terjamin. Struktur dinding yang baik
mengacu pada dinding rumah yang tahan air, yang harus mudah
dibersihkan, kuat, dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Jenis
lantai yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi sarana bakteri penyebab
pneumonia berkembang biak. Lantai yang baik adalah lantai yang kering
dan tidak lembab. Selain itu, lantai harus diplester, diberi ubin atau
keramik, mudah dibersihkan, dan dapat cepat kering setelah dibersihkan.
Dari segi kesehatan, lantai bukan tanah dianggap jauh lebih baik daripada
lantai tanah. Rumah yang berlantaikan tanah menjadi salah satu indikator
rumah tidak layak huni.
C. Tinjauan Umum tentang Campak
1. Definisi Campak
Penyakit campak atau biasa dikenal dengan morbili atau measles,
merupakan penyakit menular disebabkan oleh Morbilivirus dan dapat
dicegah melalui imunisasi. Campak akan menyerang hampir 100% anak
yang tidak kebal terhadap virus tersebut (Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, 2019).

2. Etiologi Campak
Organisme penyebabnya adalah virus campak, anggota
famili Paramyxoviridae dan genus Morbillivirus. Ini adalah virus RNA
sense negatif yang berselubung, beruntai tunggal, tidak
tersegmentasi. Genom mengkodekan enam protein struktural dan dua
protein non-struktural, V dan C. Protein struktural tersebut adalah
nukleoprotein, fosfoprotein, matriks, fusi, haemagglutinin (HA), dan
protein besar. Protein HA bertanggung jawab atas perlekatan virus pada
sel inang (Kondamudi, Waymack, 2023).
3. Patofisiologis Campak
Virus yang terhirup dari droplet yang terpapar awalnya
menginfeksi limfosit saluran pernapasan, sel dendritik, dan makrofag
alveolar. Kemudian menyebar ke jaringan limfoid yang berdekatan dan
menyebar ke seluruh aliran darah sehingga menyebabkan viremia dan
menyebar ke organ lain. Virus yang berada dalam sel dendritik dan
limfosit berpindah ke sel epitel saluran pernapasan, yang dilepaskan dan
dikeluarkan sebagai tetesan pernapasan saat batuk dan bersin, menginfeksi
orang lain dan melanggengkan siklusnya. Peradangan awal menimbulkan
gejala coryza, konjungtivitis, dan batuk. Munculnya demam bersamaan
dengan berkembangnya viremia. Ruam kulit terjadi setelah penyebaran
dan disebabkan oleh infiltrat perivaskular dan limfositik (Kondamudi,
Waymack, 2023).
Masa penularan empat hari sebelum timbul ruam sampai dengan
empat hari setelah timbul rash. Puncak penularan pada saat gejala awal
(fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama sakit (Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, 2019).
Selama fase prodromal, virus campak menekan kekebalan tubuh
dengan menekan produksi interferon melalui protein nonstrukturalnya, V
dan C. Meningkatnya replikasi virus kemudian memicu respons imunologi
humoral dan seluler. Respon humoral awal terdiri dari produksi antibodi
IgM, yang terdeteksi 3 sampai 4 hari setelah ruam muncul dan dapat
bertahan selama 6 sampai 8 minggu. Selanjutnya, antibodi IgG diproduksi,
terutama terhadap nukleoprotein virus (Kondamudi, Waymack, 2023).
Virus campak diketahui menyebabkan imunosupresi yang dapat
berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-
tahun. Hal ini menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap bakteri
sekunder dan infeksi lainnya. Meskipun mekanisme penyebab fenomena
ini masih belum jelas, terdapat hipotesis bahwa infeksi campak
menginduksi proliferasi limfosit spesifik campak yang menggantikan sel
memori yang telah terbentuk sebelumnya sehingga menyebabkan
"amnesia imun". Hal ini mengakibatkan peningkatan kerentanan tubuh
terhadap infeksi sekunder, yang menyebabkan sebagian besar morbiditas
dan mortalitas terkait dengan campak. Antibodi IgG yang menetralisir
hemaglutinin bertanggung jawab atas kekebalan seumur hidup karena
antibodi tersebut memblokir reseptor sel inang agar tidak berikatan dengan
virus.
4. Gejala Campak
Gejala campak biasanya dimulai 10-14 hari setelah terpapar
virus. Ruam yang menonjol adalah gejala yang paling terlihat. Gejala awal
biasanya berlangsung 4–7 hari, disertai pilek, batuk, mata merah dan
berair, bintik putih kecil di dalam pipi. Ruam muncul sekitar 7–18 hari
setelah terpapar, biasanya pada wajah dan leher bagian atas. Ruam tersebut
menyebar sekitar 3 hari, ke tangan dan kaki. Serta berlangsung 5–6 hari
sebelum memudar (WHO, 2023).

5. Diagnosis Campak
Diagnosis campak bergantung pada kecurigaan klinis yang tinggi,
terutama ketika mengevaluasi anak-anak dengan penyakit demam dan
ruam makulopapular. Pengecekan darah lengkap memungkinkan
menunjukkan leukopenia, terutama limfopenia, dan
trombositopenia. Kelainan elektrolit dapat dideteksi pada anak dengan
asupan yang buruk atau diare. Identifikasi antibodi IgM spesifik virus
campak dalam serum atau plasma dapat memastikan diagnosis, meskipun
hasil ini mungkin merupakan hasil negatif palsu pada 25% kasus jika
dilakukan pada tahap awal (kurang dari 3 hari setelah timbulnya ruam)
(Kondamudi, Waymack, 2023).
Antibodi ini biasanya mencapai puncaknya dalam waktu 1 hingga
3 minggu setelah timbulnya ruam dan menjadi tidak terdeteksi dalam 4
hingga 8 minggu. Tes netralisasi reduksi plak yang memiliki sensitivitas
tertinggi. Dalam praktik klinis saat ini, deteksi reaksi berantai polimerase
asam ribonukleat virus dari sampel tenggorokan, hidung, nasofaring, dan
urin paling sering dilakukan, dengan sensitivitas mendekati 100%.

6. Hubungan Lingkungan dengan Penyakit Campak


Pola kejadian penyakit Faktor lingkungan yang dapat
memengaruhi kejadian campak seperti kepadatan penduduk, keadaan
rumah, iklim daerah, serta kontak lingkungan sosial (Arianto, 2018). Virus
penyebab campak mengalami keadaan yang paling stabil pada kelembaban
dibawah 40%, di daerah tropis campak timbul biasanya pada musim panas
atau kemarau saat udara kering sekitaran bulan april sampai september
(Riastini and Sutarga, 2021).
Virus penyebab campak mengalami keadaan yang paling stabil
pada kelembaban dibawah 40%. Maka virus campak sendiri akan
berkembang dengan baik pada dataran rendah dengan kelembaban udara
yang kering, sebaliknya akan sulit stabil pada dataran tinggi. Kecamatan
petang sendiri berada pada dataran tinggi dengan ketinggian 500-1000
meter diatas permukaan laut yang merupakan daerah perbukitan dengan
rata-rata suhu ≤20◦C. Pada daerah tersebut virus tidak dapat berkembang
dengan optimal karena kelembaban udara yang tinggi (Riastini and
Sutarga, 2021).
Transmisi penyakit campak menular melalui udara terutama
melalui droplet pada sistem pernapasan dan biasanya meningkat selama
periode musim dingin dan awal musim panas atau setelah musim hujan
pada daerah yang beriklim tropis (Martias dan Daswito, 2019) Tetapi iklim
tidaklah berdampak langsung pada kejadian campak melainkan kepadatan
penduduk dan interaksi antar manusia yang memungkinkan terjadi
peningkatan penularan penyakit campak.
D. Tinjauan Umum tentang Demam Berdarah Dangue
1. Definisi Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksius yyang
disebabkan oleh virus dengue yang mengakibatkan demam akut. DBD
adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.
2. Etiologi Demam Berdarah Dengue
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes terutama Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue.
Semua serotipe virus dengue dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk
tersebut. Selain Aedes aegypti wabah demam berdarah juga dikaitkan
dengan nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan Aedes
scutellaris. Masing-masing spesies nyamuk memiliki ekologi, perilaku,
dan distribusi geografis tertentu. Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat hidup
pada udara dingin, sehingga nyamuk itu relatif tidak ditemukan pada
ketinggian di atas 1000 meter.
Dalam beberapa dekade terakhir Aedes albopictus telah menyebar
dari Asia ke Afrika, Amerika, dan Eropa. Penyebaran tersebut dikaitkan
dengan perdagangan internasional yang menggunakan bab-ban atau
benda-benda yang dapat menampung air hujan sehingga dapat menjadi
wadah bagi telur-telur nyamuk. Telur-telur nyamuk tersebut juga dapat
tetap hidup selama berbulan-bulan tanpa air. Masa inkubasi infeksi virus
dengue adalah 4-10 hari. Infeksi virus dengue dapat menimbulkan
spektrum penyakit mulai dari yang asimptomatik, flu like syndrome,
demam dengue, demam berdarah dengue, sindroma syok dengue hingga
kematian. Infeksi virus dengue dapat memberikan kekebalan seumur hidup
terhadap serotipe virus yang sama namun hanya dapat memberikan
kekebalan selama 2-3 bulan terhadap serotipe yang berbeda (proteksi
silang).
Faktor risiko individu turut menentukan tingkat keparahan
penyakit. Faktor-faktor tersebut antara lain infeksi sekunder, usia, etnis,
bayi, obesitas, lansia, ibu hamil, menstruasi, dan kemungkinan penyakit
kronis seperti asma bronkial, anemia sel sabit, hipertensi, diabetes
mellitus, ulkus peptikum, penyakit hemolitik, penyakit jantung bawaan,
gagal ginjal kronik, sirosis, pengobatan yang menggunakan steroid atau
NSAID, dan lain sebagainya.
Hingga saat ini belum ada satu teori pun yang dapat menjelaskan
patogenesis infeksi dengue dengan lengkap. Hal itu terjadi karena belum
adanya animal model yang sepenuhnya dapat menunjukkan reaksi dan
gejala seperti pada manusia bila terinfeksi virus dengue. Berbagai teori
seperti teori virulensi, beban virus, antibody dependent enhancement
(ADE), innate immunity, T-cell mediated, apoptosis, cytokine tsunami,
autoimun, dan genetik telah dikemukakan para ahli untuk menerangkan
proses yang terjadi pada penderita infeksi dengue (DBD). Semua teori
tersebut menyatakan bahwa “medan pertempuran” utama infeksi dengue
adalah di endotel kapiler pembuluh darah.
Endotel memiliki fungsi penting yaitu memelihara tonus vaskular,
mencegah penggumpalan darah dan migrasi sel-sel darah, memproduksi
kemoatraktan, serta memelihara permeabilitas pembuluh darah. Fungsi
tersebut diperlukan agar suplai darah ke organ tubuh terpelihara dengan
baik. Agar berfungsi dengan baik maka sel-sel endotel harus tetap stabil.
Stabilitas sel-sel endotel pembuluh darah dipelihara oleh tautan
antar sel yang tersusun atas molekul-molekul protein. Tautan antar sel
endotel yang paling berperan adalah tight junction dan adherens junction.
Tautan antar sel endotel membentuk celah antar endotel yang sangat
sempit (jalur paraselulular) dan hanya dapat dilalui oleh molekul kecil
berdiameter < 2 nm seperti air, urea, glukosa, elektrolit dsb. Namun bila
celah tersebut melebar maka celah antar endotel dapat dilewati molekul
yang lebih besar dan sel-sel darah (kebocoran plasma).
Pada DBD, terjadi kebocoran plasma. Pelepasan interleukin (IL)-1,
IL6, tumor necrosis factor alpha (TNF-α), histamin, bradikinin,
anafilatoksin C3a dan C5a, vascular endothelial growth factor (VEGF),
aktivasi komplemen, trombin, dan antibodi selama perjalanan infeksi dapat
menimbulkan aktivasi dan kontraksi aktin filamen sel endotel kapiler.
Kontraksi yang terjadi membuat protein tautan antar sel endotel (tight
junction dan adherens junction) masuk ke dalam sel, membuat celah antar
sel melebar, dan selanjutnya menimbulkan kebocoran plasma.
Sel-sel leukosit ditengarai juga terlibat dalam proses kebocoran
plasma. Sel endotel yang teraktivasi akan mengekspresikan
molekulmolekul adesi sel seperti intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), E-selectin, P-
selectin dan PECAM-1, yang mengakibatkan leukosit menempel dan
bermigrasi di endotel. Bila molekul adesi meningkat, makin banyak
leukosit yang menempel di endotel sehingga memicu inflamasi lokal,
merusak sel endotel, dan memperburuk kebocoran plasma. Migrasi
leukosit akan menyebabkan leukopenia dan juga berpotensi menimbulkan
kebocoran plasma.
Trombosit adalah salah satu parameter penting pada DBD.
Trombosit yang rendah dapat terjadi karena supresi virus pada sumsum
tulang, penghancuran trombosit di perifer, dan konsumsi trombosit di
pembuluh darah. Trombosit yang rusak melepas VEGF dan mengaktivasi
endotel dan selanjutnya memperburuk kebocoran plasma.
Kombinasi berbagai mekanisme yang terjadi pada DBD dapat
bermanifestasi sebagai perdarahan petekie. Petekie timbul karena
terganggunya intregritas vaskular akibat rangsangan sitokin
proinflamatorik, trombositopenia, gangguan koagulasi, dan infeksi virus di
sel endotel. Petekie pada awal perjalanan sakit adalah akibat infeksi virus
dengue di sel endotel kapiler (vaskulopati) sedangkan petekie pada
perjalanan sakit berikutnya adalah akibat jumlah trombosit yang sangat
rendah dan gangguan koagulasi. Petekie pada awal perjalanan sakit infeksi
dengue menyebabkan pembuluh darah lebih mudah mengalami kebocoran.
Mekanisme terjadinya infeksi dengue berat hingga saat ini belum
sepenuhnya dapat dipahami. Respon imun, latar belakang genetik individu
dan karakteristik virus berkontribusi terhadap kejadian infeksi dengue
berat. Faktor-faktor risiko individu seperti infeksi sekunder, usia, etnis,
dan kemungkinan penyakit kronis seperti asma bronkial, anemia sel sabit,
hipertensi, diabetes mellitus, dan yang lainnya turut menentukan tingkat
keparahan penyakit. Kebocoran plasma merupakan faktor utama terhadap
berat ringannya perjalanan sakit DBD. Kebocoran plasma yang terjadi
dapat menimbulkan hemokonsentrasi, penurunan kadar albumin dan
natrium, penumpukan cairan di pleura, perikard, peritoneum, dan dinding
kandung empedu dan bila tidak dikenali dan ditangani dengan baik, dapat
mengakibatkan renjatan dan kematian.
3. Patofisiologis Demam Berdarah Dengue
Alasan terjadinya berbagai tingkat keparahan dengue masih belum
diketahui, diduga berkaitan dengan mekanisme yang disebut antibody
dependent enhancement (ADE). Teori ini pertama kali dikemukakan tahun
1964, ketika suatu kasus dengue berat terjadi pada infeksi dengue
sekunder.17 Setelah terjadi infeksi primer oleh suatu serotipe virus
dengue, sistem imun memproduksi antibodi yang mampu mengikat dan
menetralisir infeksi sekunder dengan serotipe virus yang sama (infeksi
sekunder monolog). Namun, jika terjadi infeksi sekunder dengan serotipe
berbeda (infeksi sekunder heterolog), penyakit akan lebih parah. Antibodi
yang terbentuk ketika infeksi primer dapat mengikat virus, namun tidak
mampu menetralisirnya. Antibodi reaktif silang ini membentuk kompleks
virus-antibodi yang dapat mengikat sel yang memiliki reseptor Fcγ seperti
monosit, makrofag, sel dendritik, sehingga terjadi opsonisasi virus dan
mengakibatkan peningkatan replikasi virus. Fenomena ini dikenal sebagai
antibody dependent enhancement (ADE). Sel imun yang terinfeksi akan
menghasilkan sitokin berlebihan, sehingga dapat mengakibatkan badai
sitokin. Sama seperti sel imun yang terinfeksi, sel mast juga mengalami
degranulasi melalui proses aktivasi yang diperantarai reseptor Fcγ pada
kompleks virus-antibodi, menghasilkan sitokin dan protease. Sitokin dan
protease ini juga berperan dalam peningkatan permeabilitas vaskular dan
kebocoran plasma pada infeksi DENV.20 Antibodi yang sudah dibentuk
sebelumnya juga berperan dalam patologi infeksi virus dengue sekunder
melalui mekanisme sitotoksisitas seluler yang diperantarai antibodi, di
mana antibodi berikatan dengan sel terinfeksi DENV, mengakibatkan
lisisnya sel terinfeksi oleh natural killer cells (sel NK) (Marvianto dkk,
2023).
4. Diagnosis Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan kriteria WHO 2011 diagnosis DBD ditegakkan bila
semua hal dibawah ini terpenuhi:
a. Demam mendadak tinggi dengan selama 2-7 hari
b. Manifestasi perdarahan dapat berupa salah satu dari gejala berikut:
tes torniket positif, petekie, ekimosis atau purpura, atau perdarahan
dari mukosa, saluran pencernaan, tempat injeksi, atau perdarahan
dari tempat lain
c. Trombosit ≤100.000 sel/mm3
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran
plasma) sebagai berikut:
1) Peningkatan hematokrit / hemokonsentrasi ≥20% dibandingkan
standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin
2) Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibadningkan dengan nilai hematokrit sebelumya
3) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia/hypoalbuminemia
5. Hubungan Lingkungan dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Penyakit DBD dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, mobilitas penduduk,
kepadatan penduduk, adanya kontainer buatan ataupun alami di tempat
pembuangan akhir sampah (TPA) ataupun di tempat sampah lainnya, penyuluhan
dan perilaku masyarakat, antara lain: pengetahuan, sikap, kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), fogging, abatisasi, dan pelaksanaan 3M
(menguras, menutup, dan mengubur). Tempat potensial untuk perindukan
nyamuk Aedes aegypti adalah tempat Penampungan Air (TPA) yang digunakan
sehari-hari, yaitu drum, bak mandi, bak WC, gentong, ember dan lain-lain.
Tempat perindukan lainnya yang non TPA adalah vas bunga, ban bekas, botol
bekas, tempat minum burung, tempat sampah dan lain-lain, serta TPA alamiah,
yaitu lubang pohon, daun pisang, pelepah daun keladi, lubang batu, dan lain-lain.
Adanya kontainer di tempat ibadah, pasar dan saluran air hujan yang tidak lancar
di sekitar rumah juga merupakan tempat perkembangbiakan yang baik
(Musdalifah, 2018).

E. Tinjauan Umum tentang Kusta


1. Definisi Demam Kusta
Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit menular kronis dengan
keterlibatan yang menonjol pada kulit dan saraf yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium leprae. Kusta dibagi menjadi dua bentuk utama yang
bergantung pada derajat dan jenis kekebalan Kusta dengan respons Th2
yang dominan dan tuberkuloid dengan respons Th1 yang dominan. Kusta
merupakan masalah kesehatan yang serius di sejumlah Negara
berpenghasilan rendah. Meskipun jarang membunuh, Kusta merupakan
penyakit yang merusak, melumpuhkan, dan menstigmatisasi
Mycobacterium leprae berkembang biak dengan lambat dan masa inkubasi
penyakit rata-rata adalah 3-5 tahun. Gejala dapat terjadi dalam 1 tahun
tetapi juga dapat berlangsung selama 20 tahun atau bahkan lebih. Penyakit
ini dapat disembuhkan dengan terapi multiobat. Kusta kemungkinan
ditularkan melalui droplets, dari hidung dan mulut, selama kontak dekat
dan sering dengan kasus yang tidak diobati (Sibero, 2021).
2. Etiologi Kusta
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae dimana
untuk pertama kali ditemukan oleh G.H Armauer Hansen pada tahun 1873.
M.Leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel
saraf (Schwan Cell) dan sel dari sistem retikulo endotelial. Waktu
pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam
kondisi tropis) kuman kusta dari secret nasal dapat bertahan sampai 9 hari.
Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus adalah pada suhu
27-30 derajat celcius. Kuman kusta ditemukan oleh G.A. Hansen pada
tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belun juga dapat
dibiakkan dalam media artifisial.M.Leprae berbentuk basil tahan asam,
dan alkohol serta gram-positif (Indriani, 2019).
3. Patofisiologis Kusta
Kusta dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, tergantung
pada respons tubuh terhadap organisme tersebut. Individu yang
mempunyai respon imun seluler yang kuat terhadap M leprae menderita
penyakit tuberkuloid yang biasanya menyerang kulit dan saraf tepi. Jenis
reaksinya meliputi reaksi tipe 1. Jumlah lesi kulit terbatas, cenderung
kering dan hipoestetik. Keterlibatan saraf biasanya asimetris. Bentuk
penyakit ini juga disebut sebagai kusta paucibacillary karena rendahnya
jumlah bakteri pada lesi kulit (yaitu <5 lesi kulit, tanpa adanya organisme
pada apusan). Hasil tes kulit dengan antigen dari organisme yang dibunuh
positif pada individu tersebut. Individu dengan respon imun seluler
minimal mempunyai bentuk penyakit lepromatosa, yang ditandai dengan
keterlibatan kulit yang luas. Lesi kulit sering digambarkan sebagai nodul
dan plak yang menyusup, dan keterlibatan saraf cenderung simetris dalam
distribusinya. Organisme ini tumbuh paling baik pada suhu 27-30°C; oleh
karena itu, lesi kulit cenderung berkembang di area tubuh yang lebih
dingin, kecuali di selangkangan, aksila, dan kulit kepala. Bentuk penyakit
ini juga disebut sebagai kusta multibasiler karena banyaknya bakteri yang
ditemukan pada lesi (yaitu >6 lesi, dengan kemungkinan visualisasi basil
pada apusan). Hasil tes kulit dengan antigen dari organisme yang dibunuh
tidak reaktif.
Pasien mungkin juga datang dengan ciri-ciri dari kedua kategori
tersebut (kusta indeterminate atau borderline); namun, seiring berjalannya
waktu, mereka biasanya berkembang menjadi salah satu atau yang
lainnya. Menariknya, sebagian besar orang yang terkena penyakit kusta
tidak pernah terserang penyakit tersebut, kemungkinan besar karena lebih
dari 95% orang memiliki kekebalan alami terhadap penyakit tersebut.
Kusta memiliki 2 skema klasifikasi: sistem Ridley-Jopling 5
kategori dan standar WHO yang lebih sederhana dan umum digunakan.
1. Ridley-Jopling: Tergantung pada respons tubuh terhadap organisme
tersebut, penyakit kusta dapat bermanifestasi secara klinis sepanjang
spektrum yang dibatasi oleh bentuk penyakit tuberkuloid dan
lepromatosa. Sebagian besar pasien termasuk dalam klasifikasi
menengah, yang meliputi kusta borderline tuberculoid (BT), kusta
midborderline (BB), dan kusta borderline lepromatous
(BL). Klasifikasi penyakit biasanya berubah seiring perkembangan dan
penanganannya. Sistem Ridley-Jopling digunakan secara global dan
menjadi dasar studi klinis kusta. Hal ini juga mungkin lebih berguna
dalam memandu rejimen pengobatan dan menilai risiko komplikasi
akut.
2. Menurut WHO, di suatu daerah endemis, seseorang dianggap
mengidap kusta jika menunjukkan salah satu dari 2 tanda berikut: 1)
Lesi kulit yang berhubungan dengan penyakit kusta dan kehilangan
sensorik tertentu, dengan atau tanpa penebalan saraf dan 2) Noda kulit
positif.
4. Diagnosis Kusta
Diagnosis kusta ditegakkan secara klinis. Layanan berbasis
laboratorium mungkin diperlukan dalam kasus yang sulit
didiagnosis. Penyakit ini umumnya bermanifestasi melalui lesi kulit dan
keterlibatan saraf tepi. Kusta didiagnosis dengan menemukan setidaknya
satu dari tanda-tanda utama berikut :
1. Hilangnya sensasi pada bercak kulit pucat (hipopigmentasi) atau
kemerahan
2. Saraf tepi menebal atau membesar, disertai hilangnya sensasi dan/atau
kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf tersebut;
3. Deteksi mikroskopis basil pada apusan celah kulit.
5. Hubungan Lingkungan dengan Penyakit Kusta
Keadaan lingkungan sekitar merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya penularan penyakit kusta. Kelembapan dan pencahayaan yang
cukup mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Santoso,
keberadaan ventilasi memiliki fungsi sebagai pengaturan cahaya sinar
ultraviolet berpengaruh untuk membunuh bakteri Mycobacteruim leprae.
Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup yakni cahaya matahari
minimal masuk sebanyak 60 lux dengan syarat tidak membuat silau mata.
Sedangkan pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat rumah sehat
memiliki risiko 2,5 kali terkena penyakit tuberculosis dan kusta.
menjelaskan bahwa lingkungan tempat tinggal penderita kusta memiliki
kelembapan lebih buruk dibandingkan tempat tinggal yang bukan
penderita. Kelembapan ini disebabkan pencahayaan yang kurang dan tidak
memiliki jendela sehingga kondisi ruangan menjadi lembab. Amiruddin
dalam bukunya menjelaskan bahwa kelembapan tinggi menyebabkan
membran mukosa hidung menjadi kering, sehingga kurang efektif dalam
menghalangi mikroorganisme yang masuk ke dalam sekret hidung.
Mycobacterium leprae dapat hidup dalam angka kelembapan yang kering
yaitu pada temperatur kamar 32˚C dengan kelembapan 77,6% (Hidayati
dkk, 2020).
BAB III
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT

A. Tuberkulosis (TBC)
1. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Waktu
Gambar 1.
Angka Notifikasi Semua Kasus Tuberkulosis
Per 100.000 Penduduk Tahun 2012-2022
300 263.5
250 214 210
Per 100.000 Penduduk

200 169
138 139 146
135 129 130 130
150

100

50

0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Angka notifikasi semua kasus atau case notification rate (CNR)


adalah jumlah semua kasus tuberculosis yang diobati dan dilaporkan di
antara 100.000 penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu. Gambar di
atas menunjukkan bahwa CNR tuberkulosis di Indonesia dari tahun 2012
sampai dengan tahun 2022 cenderung meningkat. Kenaikan yang cukup
signifikan terjadi pada tahun 2022, sementara rendahnya CNR pada tahun
2020 dan 2021 dikarenakan adanya pandemi covid-19 yang membatasi
kegiatan masyarkat sehingga berdampak pada kegiatan untuk menemukan
kasus tuberkulosis.
2. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Tempat
Gambar 2.
Angka Notifikasi Semua Kasus Tuberkulosis
Per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi Tahun 2022

DKI Jakarta 501


Papua 454
Gorontalo 387
Jawa Barat 364
Sulawesi Utara 343
Papua Barat 341
Banten 318
Sumatera Utara 275
Sulawesi Selatan 267
Sumatera Barat 266
Maluku 258
Kepulauan Riau 256
Sumatera Selatan 249
Kalimantan Barat 248
Maluku Utara 247
Kalimantan Timur 239
Kalimantan Utara 223
Sulawesi Tenggara 222
Aceh 222
Sulawesi Tengah 222
Jawa Tengah 219
Lampung 214
Sulawesi Barat 206
Kalimantan Selatan 196
Jawa Timur 194
Riau 189
Nusa Tenggara… 186
Kep. Bangka… 184
Bengkulu 172
Kalimantan Tengah 172
Jambi 162
DI Yogyakarta 158
Nusa Tenggara… 157
Bali 102

0 100 200 300 400 500 600

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Angka notifikasi semua tuberkulosis menurut provinsi tahun 2022


bervariasi antara 102 – 501 kasus per 100.000 penduduk, dengan CNR
tertinggi pada Provinsi DKI Jakarta dan Terendah pada Provinsi Bali.
3. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Orang
Gambar 3.
Kasus Tuberkulosis Menurut Kelompok Umur
Di Indonesia Tahun 2022

≥65
tahun 0-14 tahun
9.7% 15.3%
55-64 tahun
14.9% 15-24 tahun
14.2%
45-54 tahun
16.5% 25-34 tahun
35-44 14.7%
tahun
14.7%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Gambar di atas menunjukan bahwa pada tahun 2022 kasus TBC


terbanyak ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar
16,5%, diikuti kelompok umur 25-34 tahun dan 55-64 tahun yang masing-
masing sebesar 14,7%. Sedangkan kasus TBC paling rendah ditemukan
pada kelompok umum ≥65 tahun sebesar 9,7%.
Gambar 4.
Kasus Tuberkulosis Menurut Jenis Kelamin
Di Indonesia Tahun 2022

Perempuan
42.2%
Laki-laki
57.8%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023


Jika dibandingkan dengan jenis kelamin, kasus TBC di Indonesia
paling tinggi dialami oleh laki-laki (57,8%) dibandingkan dengan
perempuan.

B. Pneumonia
1. Distribusi Kejadian Penyakit Pneumonia Berdasarkan Waktu
Gambar 5.
Cakupan Penemuan Pneumonia Pada Balita
Di Indonesia Tahun 2012-2022
70 63.5 65.3
56.5
60 51.2 52.9
50
Persentase

38.78
40 34.8
29.5 31.4
30 23.4 24.5

20
10
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Cakupan penemuan pneumonia pada balita selama 11 tahun


terakhir cukup fluktuatif. Cakupan tertinggi pada tahun 2016 yaitu sebesar
63,5%. Penurunan yang cukup signifikan terlihat pada tahun 2020-2021
jika dibandingkan dengan cakupan 5 tahun terakhir. Penurunan ini
disebabkan dampak dari pandemi Covid-19, dimana adanya stigma pada
penderita Covid-19 yang berpengaruh pada penurunan jumlah kunjungan
balita batuk atau kesulitan bernapas di puskesmas.
2. Distribusi Kejadian Penyakit Pneumonia Berdasarkan Tempat
Gambar 6.
Cakupan Penemuan Pneumonia Pada Balita
Menurut Provinsi Tahun 2022

Kalimantan Utara 67.3


Jawa Timur 63.9
Banten 58.0
Kalimantan Selatan 54.0
DKI Jakarta 53.2
Bali 53.2
Nusa Tenggara… 45.7
Jawa Barat 44.9
Jawa Tengah 43.5
Sulawesi Tengah 39.8
Papua Barat 36.2
Lampung 34.1
Kalimantan Timur 33.5
Gorontalo 32.6
Kep. Bangka… 30.7
Kepulauan Riau 29.1
Maluku Utara 26.1
Papua 24.6
Sumatera Selatan 21.9
Sumatera Barat 21.5
Kalimantan Barat 18.5
Sulawesi Selatan 14.4
Kalimantan Tengah 13.6
DI Yogyakarta 13.3
Sulawesi Tenggara 13.1
Nusa Tenggara… 13.0
Sumatera Utara 11.9
Maluku 11.9
Riau 11.6
Sulawesi Barat 10.9
Bengkulu 10.7
Jambi 10.4
Aceh 8.9
Sulawesi Utara 1.4

0 20 40 60 80

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Pada tahun 2022 secara nasional cakupan pneumonia pada balita


sebesar 38,8%. Provinsi dengan cakupan penemuan pneumonia pada balita
tertinggi terjadi di Kalimantan Utara (67,3%), Jawa Timur (63,9%), dan
Banten (58,0%). Sedangkan Provinsi dengan cakupan penemuan
pneumonia pada balita terendah terjadi di Provinsi Sulawesi Utara yaitu
sebesar 1,4%.
Gambar 7.
Case Fatality Rate Kasus Pneumonia Pada Balita
Menurut Provinsi Tahun 2022

Bengkulu 17.20
Sulawesi Utara 4.31
Kalimantan Barat 1.97
DI Yogyakarta 1.70
Nusa Tenggara Timur 1.60
Sumatera Utara 1.00
Sulawesi Tengah 0.97
Kalimantan Utara 0.96
Sulawesi Barat 0.89
Kalimantan Tengah 0.84
Sulawesi Selatan 0.63
Nusa Tenggara Barat 0.59
Maluku Utara 0.53
Maluku 0.49
Gorontalo 0.48
Bali 0.48
Jawa Tengah 0.48
Papua Barat 0.39
Aceh 0.34
Kalimantan Timur 0.26
Sulawesi Tenggara 0.23
Jawa Barat 0.21
Kalimantan Selatan 0.20
Lampung 0.16
Kep. Bangka Belitung 0.13
Kepulauan Riau 0.09
Sumatera Barat 0.09
Jawa Timur 0.07
Riau 0.05
Banten 0.04
Papua 0.00
DKI Jakarta 0.00
Sumatera Selatan 0.00
Jambi 0.00

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Pada tahun 2022 angka kematian kasus pneumonia pada balita di


Indonesia sebesar 0.12%. Provinsi dengan angka kematian pneumonia
pada balita tertinggi terjadi di Provinsi Bengkulu sebesar 17,20%.
3. Distribusi Kejadian Penyakit Pneumonia Berdasarkan Orang
Gambar 8.
Penemuan Kasus Pneumonia Balita Menurut Kelompok Umur
Di Indonesia Tahun 2022

< 1 tahun
30.8%

1 - <5 tahun
69.2%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Gambar 9.
Angka Kematian Kasus Pneumonia Balita
Menurut Kelompok Umur Di Indonesia Tahun 2022

1 - <5 tahun
31.4%

< 1 tahun
68.6%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Pada tahun 2022, angka kesakitan akibat pneumonia pada balita


lebih banyak dialami pada kelompok umur 1- < 5 tahun yaitu sebesar
69,2%. Sedangkan angka kematian lebih besar pada kelompok umur di
bawah 1 tahun, yaitu sebesar 68,6% dari 0,12% angka kematian nasional
akibat pneumonia pada balita.
Gambar 10.
Penemuan Kasus Pneumonia Balita Menurut Jenis Kelamin
Di Indonesia Tahun 2022

Perempuan
46.8%
Laki-laki
53.2%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Jika dibandingkan dengan jenis kelamin, jumlah kasus pneumonia


balita pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Secara
nasional jumlah kasus pada laki-laki sebesar 53,2% dan 46,8% pada
perempuan.
C. Campak
1. Distribusi Kejadian Penyakit Campak Berdasarkan Waktu
Gambar 11.
Jumlah Kasus Campak Konfirmasi
Di Indonesia Tahun 2012-2022
18000 15987
16000
12943
14000
11521
Persentase

12000
10000 8185 8429 8819
8000 6880 6799
6000 4844
2931
4000 1634
2000
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Dari gambar di atas terlihat bahwa tren kasus campak konfirmasi di


Indonesia selama 11 tahun terakhir cenderung menurun. Penurunan
signifikan terjadi pada tahun 2020 dan relatif naik hingga tahun 2022
mencapai 4.844 kasus.
2. Distribusi Kejadian Penyakit Campak Berdasarkan Tempat
Gambar 12.
Jumlah Kasus Campak Konfirmasi
Menurut Provinsi Tahun 2022

Aceh 976
Sumatera Barat 867
Jawa Timur 500
Riau 500
Jawa Barat 384
Jawa Tengah 313
DKI Jakarta 287
Banten 274
Kepulauan Riau 126
Sumatera Utara 125
Jambi 106
Kalimantan Selatan 86
Sumatera Selatan 75
DI Yogyakarta 50
Papua 33
Kalimantan Barat 30
Bali 19
Lampung 14
Bengkulu 13
Nusa Tenggara… 9
Kalimantan Utara 8
Sulawesi Selatan 7
Sulawesi Barat 7
Sulawesi Tengah 6
Kalimantan Timur 6
Sulawesi Tenggara 6
Maluku Utara 4
Sulawesi Utara 4
Kep. Bangka… 3
Nusa Tenggara… 3
Papua Barat 2
Gorontalo 1
Kalimantan Tengah 0
Maluku 0

0 200 400 600 800 1000 1200

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Gambar di atas menunjukkan bahwa dari 4.844 kasus campak


konfirmasi di Indonesia pada tahun 2022, 5 Provinsi dengan jumlah kasus
tertinggi terjadi pada Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Jawa Timur, Riau
dan Jawa Barat.
3. Distribusi Kejadian Penyakit Campak Berdasarkan Orang
Gambar 13.
Perserntase Kasus Suspek Campak
Menurut Kelompok Umur Di Indonesia Tahun 2022
>14 tahun <1 tahun
10-14 tahun 7.1% 13.7%
7.9%

5-9 tahun
32.8% 1-4 tahun
38.5%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Pada tahun 2022, proporsi kasus campak paling banyak terjadi


pada kelompok umur 1 – 4 tahun yaitu sebesar 38,5%, diikuti oleh
kelompok umur 5 – 9 tahun sebesar 32,8%. Sedangkan proporsi kasus
campak paling sedikit pada kelompok umur > 14 tahun yaitu sebesar
7,1%.
Gambar 14.
Proporsi Kasus Suspek Campak
Menurut Status Vaksinasi Di Indonesia Tahun 2022
Divaksinasi
6.7%

Tidak
Divaksinasi
93.3%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa di Indonesia pada tahun


2022, proporsi kasus campak yang sudah mendapatkan imunisasi hanya
sebesar 6,7%. Maka dapat diartikan bahwa sebanyak 93,3% kasus campak
yang terjadi belum mendapatkan vaksin campak.

D. Demam Berdarah (DBD)


1. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Waktu
Gambar 15.
Incidence Rate DBD Per 100.000 Penduduk
Di Indonesia Tahun 2013-2022
90 78.9
80
70
Per 100.000 Penduduk

60 50.8 51.5 52.1


50 42.9 39.8 40.0
40
26.1 24.8 27.0
30
20
10
0
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023
Incidence Rate DBD per 100.000 penduduk menunjukkan
peningkatan dari 27 pada tahun 2021 menjadi 52,1 pada tahun 2022.
Gambar 16.
Case Fatality Rate DBD
Di Indonesia Tahun 2013-2022
1.20
0.96
1.00 0.90 0.86
0.83
0.77 0.78
Persentase

0.80 0.72 0.71 0.69


0.67

0.60

0.40

0.20

0.00
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Dalam kurun waktu tahun 2013-2020 CFR DBD di Indonesia


menunjukkan kecenderungan penurunan. Peningkatan tertinggi pada tahun
2021 sebesar 0,96% dan mengalami penurunan pada tahun 2022 yaitu
sebesar 0,86%.
2. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Tempat
Gambar 17.
Incidence Rate DBD Per 100.000 Penduduk
Menurut Provinsi Tahun 2022

Kalimantan Utara 181.31


Kalimantan Timur 156.88
Bali 127.49
Kep. Bangka Belitung 125.26
Kepulauan Riau 91.25
Sulawesi Utara 86.57
DKI Jakarta 75.97
Jawa Barat 72.29
Sumatera Barat 70.90
Bengkulu 65.70
Nusa Tenggara Barat 60.70
Sulawesi Tengah 59.59
Sumatera Utara 56.54
Nusa Tenggara Timur 54.67
DI Yogyakarta 53.81
Lampung 53.69
Maluku Utara 48.47
Gorontalo 48.12
Sulawesi Barat 47.77
Banten 39.87
Sulawesi Selatan 39.48
Aceh 37.60
Jambi 37.47
Jawa Tengah 35.55
Riau 33.00
Sulawesi Tenggara 32.99
Jawa Timur 32.80
Sumatera Selatan 32.42
Kalimantan Tengah 32.27
Papua Barat 28.40
Kalimantan Barat 26.51
Kalimantan Selatan 23.20
Papua 15.30
Maluku 5.26

0.00 50.00 100.00 150.00 200.00

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Secara nasional, incidence rate DBD pada tahun 2022 sebesar


52,12 per 100.000 penduduk. 4 provinsi dengan IR melebihi 100 per
100.000 penduduk yaitu Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Bali, dan
Kepulauan Bangka Belitung. Sementara IR terendah sebesar 5,26 per
100.000 penduduk pada Provinsi Maluku.
Gambar 18.
Case Fatalitiy Rate DBD Menurut Provinsi Tahun 2022

Jawa Tengah 2.08


Gorontalo 1.90
Sulawesi Tenggara 1.85
Kep. Bangka… 1.59
Maluku Utara 1.28
Jawa Timur 1.16
Sulawesi Utara 1.13
Kalimantan Utara 1.13
Sumatera Selatan 1.09
Kalimantan Barat 1.08
Bengkulu 1.05
Papua 0.94
Kalimantan Tengah 0.90
Jawa Barat 0.83
DI Yogyakarta 0.83
Nusa Tenggara… 0.81
Sulawesi Tengah 0.80
Kalimantan Selatan 0.79
Aceh 0.77
Riau 0.76
Sumatera Utara 0.70
Sulawesi Selatan 0.70
Papua Barat 0.68
Kalimantan Timur 0.66
Jambi 0.65
Banten 0.62
Sulawesi Barat 0.59
Kepulauan Riau 0.58
Sumatera Barat 0.37
Lampung 0.32
Bali 0.28
Nusa Tenggara… 0.25
DKI Jakarta 0.00
Maluku 0.00

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Secara nasional CFR DBD tahun 2022 mencapai 0,86%. Terdapat


11 provinsi atau 32,4% provinsi memiliki CFR di atas 1%. CFR tertinggi
terdapat pada Provinsi Jawa Tengah yaitu sebesar 2.08%.
3. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Orang
Gambar 19.
Persentase Kejadian dan Kematian Akibat DBD
Menurut Kelompok Umur Di Indonesia Tahun 2022

Angka Kejadian Angka Kematian


<1 >44 <1
>44 1-4
tahun tahun tahun
tahun tahun 1-4
2% 12% 4%
12% 12% tahun
21%
15-44
tahun
15-44 5-14 18%
tahun tahun
39% 35%
5-14
tahun
Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023 45%

Sebagian besar kasus DBD terjadi pada kelompok umur 15 – 44


tahun yaitu sebesar 39%, sedangkan angka kematian akibat DBD lebih
banyak terjadi pada kelompok umur 5 – 14 tahun yaitu sebesar 45%.
Gambar 20.
Persentase Kejadian dan Kematian Akibat DBD
Menurut Kelompok Jenis Kelamin Di Indonesia Tahun 2022

Angka Kejadian Angka Kematian

Perem Laki-
Laki- laki
puan Perem
laki 45%
49% puan
51%
55%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Berdasarkan jenis kelamin, kejadian kasus DBD di Indonesia tahun


2022 terjadi hampir berimbang antara perempuan (49%) dan laki-laki
(51%), sedangkan pada angka kematian akibat DBD lebih dominan pada
perempuan (55%).

E. Kusta
1. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Waktu
Gambar 21.
Distribusi Kasus Kusta Menurut Angka Prevalensi, Insidensi dan Tingka
Kecacatan Di Indonesia Tahun 2012-2022
10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Angka prevalensi kusta per
0.91 0.79 0.79 0.79 0.71 0.70 0.70 0.74 0.49 0.45 0.54
10.000 penduduk
Angka insidensi kusta per
7.8 6.8 6.8 6.7 6.5 6.1 6.4 6.5 4.1 4.0 4.5
100.000 penduduk
Angka Cacat Tk. 2 per
8.7 6.8 6.3 6.6 5.3 4.3 4.2 4.2 2.3 2.5 2.9
1.000.000 penduduk

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Tren angka kejadian kusta selama sebelas tahun terakhir relatif


menurun. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2022 sebesar
0,54 kasus per 10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar
4,5 kasus per 100.000 penduduk. Selain itu, angka cacat tingkat 2 sebesar
2,9 kasus per 1.000.000 penduduk. Angka cacat tingkat 2 merupakan
indikator yang digunakan untuk menunjukkan keberhasilan penemuan
kasus baru kusta secara dini.
2. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Tempat
Gambar 22.
Angka Penemuan Kasus Baru Kusta
Per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi Tahun 2022

Papua Barat 67.7


Maluku Utara 47.4
Papua 27.7
Sulawesi Utara 18.8
Maluku 16.9
Gorontalo 12.4
Sulawesi Barat 11.0
Sulawesi Tengah 9.7
Sulawesi Selatan 8.2
Nusa Tenggara… 7.9
Sulawesi Tenggara 7.8
Jawa Timur 5.5
Kalimantan Utara 5.4
Banten 4.5
Aceh 3.8
Jawa Barat 3.4
Kalimantan Timur 3.3
Nusa Tenggara… 3.1
DKI Jakarta 3.1
Kalimantan Tengah 3.0
Jawa Tengah 2.8
Sumatera Selatan 2.6
Kalimantan Selatan 2.3
Bali 2.2
Kep. Bangka… 2.1
Kepulauan Riau 1.5
Lampung 1.5
Bengkulu 1.3
Kalimantan Barat 1.1
Jambi 1.1
Riau 1.1
Sumatera Barat 1.0
Sumatera Utara 1.0
DI Yogyakarta 0.9

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Secara nasional, angka penemuan kasus kusta baru pada tahun


2022 sebesar 4,6 kasus per 100.000 penduduk. Provinsi dengan angka
penemuan tertinggi terjadi Provinsi Papua Barat dengan angka penemuan
kasus kusta baru mencapai 67,7 kasus per 100.000 penduduk sedangkan
angka penemuan terendah terjadi pada Provinsi DI Yogyakarta dengan
angka penemuan sebesar 0,9 kasus per 100.000 penduduk.
3. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Orang
Gambar 23.
Penemuan Kasus Baru Menurut Tipe Kusta
Di Indonesia Tahun 2022
Pausi Basiler /
Kusta Kering
10.2%

Multi Basiler /
Kusta Basah
89.8%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023

Pada tahun 2022 dilaporkan terdapat 12.612 kasus baru kusta yang
hampir 90% di antaranya merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB).
Gambar 24.
Penemuan Kasus Baru Kusta Menurut Jenis Kelamin
Di Indonesia Tahun 2022

Perempuan
36.2%

Laki-laki
63.8%

Sumber : Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2023


Jika dibandingkan menurut jenis kelamin, penemuan kasus baru
kusta di Indonesia pada tahun 2022 lebih banyak terjadi pada laki-laki
yaitu sebesar 63,8%.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Tuberkulosis (TBC)
1. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Waktu
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2023 pada Gambar 1 menunjukkan jumlah semua kasus tuberkulosis yang
diobati dan dilaporkan mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada
tahun 2022. Hal tersebut disebabkan pada tahun 2022, Kementerian
Kesehatan bersama dengan seluruh tenaga kesehatan berhasil mendeteksi
penderita Tuberkulosis (TBC) lebih dari 700 ribu kasus. Angka tersebut
merupakan capaian tertinggi sejak TBC dinyatakan sebagai program
prioritas nasional (Kementerian Kesehatan RI, 2023). Hal tersebut
disebabkan mobilitas penduduk yang meningkat setelah kasus COVID-19
menurun dan pencabutan pembatasan bepergian.
Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa angka notifikasi semua
kasus atau case notification rate (CNR) tuberkulosis di Indonesia dari
tahun 2012 sampai dengan tahun 2022 mengalami fluktuatif yaitu pada
tahun 2012 hingga 2018 cenderung meningkat, kemudian menurun hingga
tahun 2021. Kenaikan yang cukup signifikan Kembali terjadi pada tahun
2022, sementara rendahnya CNR pada tahun 2020 dan 2021 dikarenakan
masih banyaknya kasus yang belum terjangkau dan terdeteksi kemudian
diperparah ketika terjadi pandemi COVID-19 yang membatasi kegiatan
masyarakat sehingga berdampak pada kegiatan untuk penemukan kasus
tuberkulosis. Selain itu, kesibukan tenaga medis di fasilitas kesehatan
dalam melayani pasien Covid-19, yang mengakibatkan kelalaian pada
sistem layanan penyakit TBC, termasuk pengobatan dan diagnosis dan
keterbatasan fasilitas dan ruang perawatan untuk pasien TBC karena
penyedia layanan kesehatan terpaksa menggunakan fasilitas yang
seharusnya digunakan untuk penderita TBC, menjadi ruang isolasi untuk
merawat pasien COVID-19.
Hasil data dari Sistem informasi Tuberkulosis (SITB) Kementerian
Kesehatan RI per 16 Juli 2020 menunjukkan adanya penurunan angka
persentase pelaporan kasus TBC pada masa pandemi Covid-19 periode
Januari-Juni 2020 di fasilitas pelayanan kesehatan yakni puskesmas. Pada
bulan Januari ada 54% puskesmas yang melaporkan kasus TBC,
sedangkan pada bulan Juni hanya 27%. Begitu juga dengan rumah sakit,
laporan TBC pada bulan Januari hanya ada 35%, sedangkan di bulan Juni
semakin menurun menjadi 21%. Rendahnya pelaporan TBC di masa
pandemi Covid-19 ini akan berdampak besar pada ledakan jumlah
penderita TBC dunia termasuk di Indonesia. Diperkirakan akan ada
penambahan 6,3 juta kasus TBC baru dan 1,4 juta kematian pasien TBC di
dunia sepanjang tahun 2020-2025, ditambah lagi dengan adanya kasus
TBC yang tidak terlaporkan (Kementerian Kesehatan RI, 2020).
2. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Tempat
Angka notifikasi semua tuberkulosis menurut provinsi tahun 2022
bervariasi antara 102–501 kasus per 100.000 penduduk, dengan CNR
tertinggi pada Provinsi DKI Jakarta dan terendah pada Provinsi Bali.
Dimana Provinsi DKI Jakarta yang merupakan ibu kota Indonesia yang
memiliki 10 609,68 penduduk dan 15.978 jiwa/km2. Hal tersebut didukung
oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Srisantyorini pada tahun 2022
yang mengatakan kepadatan penduduk memiliki korelasi yang signifikan
dengan kasus baru TB pada tahun 2017-2019 (Srisantyorini et al., 2022).
Kepadatan penduduk dapat mempercepat penularan dan pemindahan
penyakit dari satu orang ke orang lain, terutama pada penyakit yang dapat
menular melalui udara/ droplet dalam keadaan jumlah penduduk yang
padat kuman yang berada di udara dapat terhirup dengan mudah oleh
banyak orang, salah satunya TB paru (Turner et al., 2017). Selain itu
kepadatan penduduk akan berpengaruh terhadap sirkulasi udara dalam
ruangan, kondisi ini berpotensi meningkatkan risiko dan intensitas infeksi
yang mempermudah transmisi penyakit (Raj et al., 2020). Tak hanya
kepadatan penduduk, factor lingkungan juga dapat menyebabkan Provinsi
DKI Jakarta dengan CNR TBC tertinggi. Lingkungan yang padat dan
kebersihan yang buruk dapat meningkatkan risiko penyebaran TB.
Sedangkan Jakarta memiliki masalah lingkungan tertentu yang dapat
mempengaruhi penyebaran penyakit ini seperti kualitas udara yang buruk.
Selain itu, CNR terendah pada Provinsi Bali disebabkan karena
dari hasil prevalensi rutin minum obat Provinsi Bali menduduki urutan ke-
7 dari 34 provinsi (Kementerian Kesehatan RI, 2019b). Hal tersebut
menunjukkan bahwa pasien tuberculosis di Provinsi Bali rutin melakukan
pengobatan sehingga menurunkan kasus tuberculosis. Kepadatan
Penduduk yang lebih rendah juga menjadi alasan Bali sebagai CNR
terendah. Kepadatan penduduk yang lebih rendah bisa mengurangi risiko
penyebaran TB karena kontak antarindividu yang potensial terinfeksi
menjadi lebih sedikit.
3. Distribusi Kejadian Penyakit TBC Berdasarkan Orang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2023 pada Gambar 3 menunjukkan kasus TBC terbanyak pada tahun 2022
ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar 16,5%, diikuti
kelompok umur 25-34 tahun dan 55-64 tahun yang masing-masing sebesar
14,7%. Hal tersebut sesuai dengan data Global TB Report tahun 2022
yang diketahui bahwa jumlah kasus TBC terbanyak di dunia menyerang
kelompok usia produktif terutama pada usia 45 sampai 54 tahun (World
Health Organization, 2023). Hal ini disebabkan karena tingginya mobilitas
kelompok produktif, yang kemudian membuat kuman mudah hinggap dan
masuk ke jaringan tubuh paling dalam. Stres dan lingkungan kerja yang
dialami kemlompok umur tersebur juga dapat berkontribusi pada
penurunan kekebalan dan meningkatkan risiko TBC.
Sedangkan kasus TBC paling rendah ditemukan pada kelompok
umum ≥65 tahun sebesar 9,7%. Penelitian yang dilakukan di Bangkok,
Thailand juga mengatakan bahwa jumlah kasus TBC terendah menyerang
kelompok ≥65 tahun (Mphande-Nyasulu et al., 2022). Hal tersebut
disebabkan kelompok berumur ≥65 tahun mobilitasnya yang ≥65 tahun
berkurang, hanya berdiam diri di rumah dan tidak dapat terpapar bakteri
penyebab TBC dari luar rumah.
Jika dibandingkan dengan jenis kelamin, kasus TBC di Indonesia
paling tinggi dialami oleh laki-laki (57,8%) dibandingkan dengan
Perempuan (42,2%). Hal ini sejalan dengan laporan tuberkulosis global
tahun 2020 dan survei yang dilakukan di lebih dari 15 negara di Asia
melaporkan bahwa laki-laki dewasa (usia ≥15 tahun) mencakup >50%
penderita TB pada tahun 2019, dengan 66–75% kasus umum terjadi pada
laki-laki (World Health Organization, 2020). Penyakit TB Paru cenderung
lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, karena
perilaku merokok, minum alkohol dan ketidakpatuhan pengobatan yang
dilakukan oleh laki-laki sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan
tubuh, sehingga lebih mudah dipaparkan dengan agent penyebab TB Paru.

B. Pneumonia
1. Distribusi Kejadian Penyakit Pneumonia Berdasarkan Waktu
Cakupan penemuan pneumonia pada balita selama 11 tahun
terakhir cukup fluktuatif. Cakupan tertinggi pada tahun 2016 yaitu sebesar
63,5%. Penurunan yang cukup signifikan terlihat pada tahun 2020-2021
jika dibandingkan dengan cakupan 5 tahun terakhir. Penurunan ini
disebabkan capaian imunisasi dasar lengkap pada tahun 2020-2021 tidak
dapat mencapai target karena pandemi COVID-19. Terjadi penurunan
capaian yang cukup signifikan pada tahun 2020 – 2021 dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya, dimana capaian pada tahun 2020 sebesar 84,2%
dan capaian tahun hanya mencapai 79,6% (Kementerian Kesehatan RI,
2022). Selain itu, pandemi COVID-19 juga berdampak pada stigma pada
penderita COVID-19 yang berpengaruh pada penurunan jumlah kunjungan
balita batuk atau kesulitan bernapas di puskesmas.
2. Distribusi Kejadian Penyakit Pneumonia Berdasarkan Tempat
Pada tahun 2022 secara nasional cakupan pneumonia pada balita
sebesar 38,8%. Provinsi dengan cakupan penemuan pneumonia pada balita
tertinggi terjadi di Kalimantan Utara (67,3%), Jawa Timur (63,9%), dan
Banten (58,0%). Hal ini disebabkan meningkatnya akses terhadap fasilitas
kesehatan dan layanan perawatan medis di daerah Kalimantan Utara
sehingga dapat membantu dalam penemuan dan penanganan pneumonia
pada balita.
Sedangkan Provinsi dengan cakupan penemuan pneumonia pada
balita terendah terjadi di Provinsi Sulawesi Utara yaitu sebesar 1,4%.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kota Bitung, Sulawesi Utara
yang menyimpulkan bahwa jumlah temuan dan cakupan penemuan kasus
pneumonia balita di Kota Bitung tahun 2015-2017 terjadi penurunan, dan
hal ini masih sangat rendah, bahkan masih jauh dari target yang telah
ditetapkan (Waani et al., 2018).
Pada tahun 2022 angka kematian kasus pneumonia pada balita di
Indonesia sebesar 0.12%. Provinsi dengan angka kematian pneumonia
pada balita tertinggi terjadi di Provinsi Bengkulu sebesar 17,20%. Hal ini
sebabkan karena indeks kualitas udara Provinsi Bengkulu sebesar 106 AQI
US dan Konsentrasi PM2.5 7.5 kali nilai panduan kualitas udara tahunan
WHO dengan tingkat polusi udara yaitu tidak sehat bagi kelompok
sensitif (IQAir, 2023). Sehingga risiko kematian akibat pneumonia jauh
lebih besar dialami anak-anak yang hidup di lingkungan dengan kadar
pencemaran udara tinggi.
3. Distribusi Kejadian Penyakit Pneumonia Berdasarkan Orang
Pada tahun 2022, angka kesakitan akibat pneumonia pada balita
lebih banyak dialami pada kelompok umur 1- < 5 tahun yaitu sebesar
69,2%. Sedangkan angka kematian lebih besar pada kelompok umur di
bawah 1 tahun, yaitu sebesar 68,6% dari 0,12% angka kematian nasional
akibat pneumonia pada balita. Data Profil Kesehatan Indonesia 2018 juga
menyebutkan angka kematian akibat Pneumonia pada kelompok bayi lebih
tinggi hampir dua kali lipat dibandingkan pada kelompok anak umur 1-4
tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2019a). Hal ini sebabkan bayi yang
berusia di bawah 1 tahun memiliki sistem kekebalan yang belum
sepenuhnya berkembang. Olehnya mereka memiliki pertahanan yang
kurang kuat terhadap infeksi, termasuk infeksi pneumonia.
Jika dibandingkan dengan jenis kelamin, jumlah kasus pneumonia
balita pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Secara
nasional jumlah kasus pada laki-laki sebesar 53,2% dan 46,8% pada
Perempuan. Penelitian yang dilakukan di Klungkung, Bali juga
menyebutkan balita laki-laki memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk
terkena pneumonia dibandingkan dengan balita perempuan (Ramandey et
al., 2018). Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan laki-laki adalah
salah satu resiko kejadian pneumonia pada balita. Beberapa penelitian
menemukan sejumlah penyakit saluran pernapasan yang dipengaruhi oleh
adanya perbedaan fisik anatomi saluran pernapasan pada anak laki-laki
dan perempuan. Secara umum dalam ukuran tertentu saluran pernapasan
anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini
dapat meningkatkan frekuensi penyakit saluran pernapas (Depkes RI, 2004
dalam (Sangadji et al., 2022)).

C. Campak
1. Distribusi Kejadian Campak Berdasarkan Waktu
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2012-2022 pada Gambar 10 terlihat bahwa tren kasus campak konfirmasi
di Indonesia pada tahun 2020 naik hingga tahun 2022 mencapai 4.844
kasus. Hal ini dilandasi karena terjadi pandemi pada tahun-tahun tersebut
yang dimana pencegahan campak hanya bisa diperoleh dari imunisasi
sehingga imunisasi sesuai jadwalnya harus dilakukan supaya anak-anak
terhindar dari campak. Keadaan di Indonesia 2 tahun terakhir atau hampir
3 tahun sejak terdampak dari pandemi Covid-19 membuat implikasi yang
tidak baik terhadap cakupan imunisasi. Cakupan imunisasi terlihat turun
secara signifikan karena pandemi Covid-19 yang menyebabkan banyak
anak tidak diimunisasi. Penyebabnya karena sudah 2 tahun berturut-turut
Indonesia tidak bisa mencapai target untuk pelayanan imunisasi rutin.
Sehingga banyak anak-anak yang tidak diimunisasi rutin akibat Covid-19
(Kemenkes RI, 2023).
2. Distribusi Kejadian Campak Berdasarkan Tempat
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 11 menunjukkan bahwa kasus campak di Indonesia
pada tahun 2022 dikonfirmasi sebanyak 4.884 kasus, 5 Provinsi dengan
jumlah kasus tertinggi terjadi pada Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Jawa
Timur, Riau dan Jawa Barat. Kasus campak di Provinsi Aceh sangat tinggi
dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk menekan kasus dan kematian akibat campak
adalah imunisasi campak
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Rima et al., 2017)
menunjukkan bahwa di Provinsi Aceh memiliki kasus campak tertinggi
dibandingkan tempat lain karena rendahnya cakupan imunisasi campak di
Provinsi Aceh dapat disebabkan oleh banyak hal. Pada penelitian ini
menunjukkan bahwa hampir empat persepuluh anak usia 12-59 bulan di
Provinsi Aceh tidak pernah mendapatkan imunisasi campak.
3. Distribusi Kejadian Campak Berdasarkan Orang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 12 menunjukkan bahwa proporsi kasus campak paling
banyak terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun yaitu sebesar 38,5% terjadi
pada tahun 2022. Seperti yang diketahui bahwa ditahun 2022 masih terjadi
pandemi Covid-19 yang dimana cakupan imunisasi terlihat turun secara
signifikan karena pandemi Covid-19 yang menyebabkan banyak anak
tidak diimunisasi.
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Fazlaini, 2020) menunjukkan
bahwa ada hubungan antara pemberian imunisasi campak dengan kejadian
campak pada balita usia 2-5 tahun. Data epidemiologi di Indonesia
diperoleh akumulasi anak balita yang tidak di imunisasi dan anak-anak
yang tidak mendapatkan kekebalan setelah mendapatkan satu dosis vaksin
campak karena efikasi vaksin campak sehingga dapat terjadi Kejadian
Luar Biasa (KLB). Umumnya distribusi kelompok umur pada KLB
dengan cakupan imunisasi yang rendah terjadi pada kelompok umur 1-4
tahun dan 5-9 tahun.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 13 menunjukkan bahwa di Indonesia pada tahun 2022,
proporsi kasus campak yang sudah mendapatkan imunisasi hanya sebesar
6,7%. Maka dapat diartikan bahwa sebanyak 93,3% kasus campak yang
terjadi belum mendapatkan vaksin campak.
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Fatahya dkk, 2023)
menunjukkan bahwa pada masa pandemi cakupan imunisasi khususnya
campak mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena
akses infromasi terhadap pelayanan imunisasi di masa pandemi COVID-
19, jarak rumah ke penyedia layanan imunisasi, ketersediaan
imunisasi/vaksin campak, dan tingkat kecemasan terjangkit Covid-19,
tidak terdapat hubungan antara pekerjaan ibu dan persepsi terhadap kinerja
layanan imunisasi di masa pandemi Covid-19 dengan status imunisasi
campak (MR1).

D. Demam Berdarah Dangue (DBD)


1. Distribusi Kejadian DBD Berdasarkan Waktu
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2013-2022 pada Gambar 14 menunjukkan bahwa Incidence Rate DBD per
100.000 penduduk menunjukkan peningkatan dari 27,0 pada tahun 2021
menjadi 52,1 pada tahun 2022. Hal ini dikarenakan di Indonesia
mengalami perubahan iklim dengan suhu yang memanas serta fenomena
El Nino membuat kasus DBD meningkat signifikan. Penelitian yang telah
dilakukan oleh (Pramanik dkk., 2020) menunjukkan bahwa selama
fenomena El Nino yang lebih hangat akan mengakibatkan penyimpanan
air yang menyebabkan perkembangbiakan vektor Aedes serta
mempercepat masa inkubasi nyamuk yang mengakibatkan wabah, laju
replikasi virus demam berdarah dan memperpanjang umur nyamuk.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2013-2022 pada Gambar 15 menunjukkan bahwa peningkatan tertinggi
pada tahun 2021 sebesar 0,96% dan mengalami penurunan pada tahun
2022 yaitu sebesar 0,86%. Penelitian yang telah dilakukan oleh
(Susilowati dkk, 2021) menunjukkan bahwa penanggulangan DBD dengan
cepat dapat mengurangi risiko kematian pada penderita DBD.
2. Distribusi Kejadian DBD Berdasarkan Tempat
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 16 menunjukkan bahwa incidence rate DBD pada
tahun 2022 sebesar 52,12 per 100.000 penduduk. 4 provinsi dengan IR
melebihi 100 per 100.000 penduduk yaitu Kalimantan Utara.
Meningkatnya jumlah kejadian infeksi penyakit DBD ini akibat perilaku
masyarakat yang masih abai dalam melakukan pemberantasan sarang
nyamuk. Hal ini jelas terlihat bahwa angka bebas jentik di Indonesia hanya
sebesar 52,54%, dimana jauh dari target pemerintah yang lebih dari 95%.
Ditambah lagi dengan kondisi wilayah Kalimantan Utara yang terdiri atas
gugusan pulau sehingga menyulitkan para tenaga kesehatan dalam
mengatasi wabah ini. Penelitian yang telah dilakukan oleh (Ratna dkk,
2022) menunjukkan bahwa kondisi wilayah Kalimantan Utara yang berupa
gugusan pulau, sulit bagi para tenaga kesehatan untuk mengakses daerah-
daerah yang rawan epidemi DBD tersebut. Hal itu ditambah lagi dengan
belum adanya peta prediksi penyebaran DBD di wilayah Kalimantan
Utara.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 17 menunjukkan bahwa CFR DBD tahun 2022
mencapai 0,86%. Terdapat 11 provinsi atau 32,4% provinsi memiliki CFR
di atas 1%. CFR tertinggi terdapat pada Provinsi Jawa Tengah yaitu
sebesar 2.08%. Kasus (DBD) tinggi akan terjadi pada saat adanya El-Nino,
(iklim) kering dan suhu (udara) meningkat. Ada penelitian bahwa nyamuk
semakin ganas kalau dia berada di suhu yang panas. Frekuensi dia
menggigit akan meningkat 3-5 kali lipat pada saat suhu meningkat.
3. Distribusi Kejadian DBD Berdasarkan Orang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 18 menunjukkan bahwa sebagian besar kasus DBD
terjadi pada kelompok umur 15-44 tahun yaitu sebesar 39%, sedangkan
angka kematian akibat DBD lebih banyak terjadi pada kelompok umur 5-
14 tahun yaitu sebesar 45%. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan RI Tahun 2022 pada Gambar 19 menunjukkan bahwa
berdasarkan jenis kelamin, kejadian kasus DBD di Indonesia tahun 2022
terjadi hampir berimbang antara perempuan (49%) dan laki-laki (51%),
sedangkan pada angka kematian akibat DBD lebih dominan pada
perempuan (55%).
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Mallang dkk, 2022)
menunjukkan umur remaja akhir menuju dewasa akhir golongan usia
tersebut merupakan golongan usia yang cenderung lebih produktif dan
aktif, serta memiliki banyak kegiatan tambahan di luar rumah sehingga
lebih berisiko untuk tergigit nyamuk aedes aegypti.
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Supangat dkk, 2023)
menunjukkan bahwa respon imunitas terhadap infeksi virus dengue pada
anak-anak tidak sempurna, sehingga terjadi peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah secara mendadak akibat perembesan plasma
darah dan elektrolit melalui dinding endotel pembuluh darah dan kedalam
ruang interstitial, menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi,
hipoproteinemia dan cairan efusi ke dalam rongga serosa. Hal ini yang
diyakini mengakibatkan kondisi syok dan dapat menyebabkan kematian
pada anak.
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Yelvita, 2022) menunjukkan
bahwa angka kejadian DBD lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Tinggi pasien laki-laki disebabkan adanya
perbedaan mobilitas antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih
banyak menghabiskan waktu diluar rumah sehingga risiko tergigit nyamuk
lebih besar.
Penelitian yang dilakukan oleh (Mallang dkk, 2022) menunjukkan
bahwa perempuan, baik usia anak-anak maupun dewasa, lebih banyak
menghabiskan waktu di rumah, sehingga rentan untuk terinfeksi DBD.
Vektor Aedes sp. lebih banyak tinggal dan berkembang biak pada
kontainer-kontainer yang tersedia di rumah, seperti penampungan air
dispenser, kulkas, pot dan vas bunga.

E. Kusta
1. Distribusi Kusta Berdasarkan Waktu
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2012-2022 pada Gambar 20 menunjukkan bahwa Tren angka kejadian
kusta selama sebelas tahun terakhir relatif menurun. Angka prevalensi
kusta di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 0,54 kasus per 10.000
penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 4,5 kasus per 100.000
penduduk. Selain itu, angka cacat tingkat 2 sebesar 2,9 kasus per
1.000.000 penduduk. Angka cacat tingkat 2 merupakan indikator yang
digunakan untuk menunjukkan keberhasilan penemuan kasus baru kusta
secara dini.
Hal yang mendasari kasus kusta semakin menurun dikarenakan
sebagai wujud komitmen Indonesia dalam mencapai target-target di
tingkat global, Indonesia menetapkan target pencapaian eliminasi pada
tingkat kabupaten/kota pada tahun 2024 yang tertuang dalam Permenkes
No.11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta. Dalam Peraturan
tersebut juga tercakup empat strategi utama pengendalian kusta meliputi
penguatan advokasi dan koordinasi lintas program dan lintas sektor;
penguatan peran serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan;
penyediaan sumber daya yang mencukupi dalam penanggulangan kusta;
serta penguatan sistem surveilans serta pemantauan dan evaluasi kegiatan
penanggulangan kusta (Kemenkes RI, 2021).
2. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Tempat
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 21 menunjukkan bahwa angka penemuan kasus kusta
baru pada tahun 2022 sebesar 4,6 kasus per 100.000 penduduk. Provinsi
dengan angka penemuan tertinggi terjadi Provinsi Papua Barat dengan
angka penemuan kasus kusta baru mencapai 67,7 kasus per 100.000
penduduk.
Penelitian yang telah dilakukan oleh (Tambaip dkk, 2023)
menunjukkan bahwa Papua adalah salah satu provinsi terluar dan terisolasi
di Indonesia yang memiliki masalah kesehatan yang signifikan, seperti
tingkat kematian bayi dan ibu yang tinggi, penyakit menular, serta masalah
kesehatan masyarakat adat yang berbeda dari budaya di wilayah lain di
Indonesia. Masalah kesehatan di Papua terkait dengan faktor sosial,
ekonomi, dan budaya yang unik. Sejumlah faktor seperti infrastruktur
yang terbatas, akses terbatas ke sumber daya kesehatan, budaya tradisional
yang kuat, dan masalah konflik di wilayah tersebut memperburuk situasi
kesehatan di Papua. Kebiasaan orang Papua yang memiliki tradisi bertukar
barang, bisa menjadikan penyebab angka kejadian kusta meningkat di
Provinsi ini.
3. Distribusi Kejadian Penyakit Kusta Berdasarkan Orang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 22 menunjukkan bahwa pada tahun 2022 dilaporkan
terdapat 12.612 kasus baru kusta yang hampir 90% di antaranya
merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB). Penelitian yang telah dilakukan
oleh (Amalia, 2021) menunjukkan bahwa distribusi frekuensi faktor-faktor
penyebab kejadian kusta tipe multibasiler sebanyak 89 pasien (81,7%) dan
kusta tipe pausibasiler sebanyak 20 pasien (18,3%). Hal ini dikarenakan
penyakit kusta dapat ditularkan dari kusta tipe multibasiler dengan cara
penularan langsung.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Tahun
2022 pada Gambar 23 menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin,
penemuan kasus baru kusta di Indonesia pada tahun 2022 lebih banyak
terjadi pada laki-laki yaitu sebesar 63,8%. Penelitian yang telah dilakukan
oleh (Wulandari dkk, 2021) menunjukkan bahwa penelitian di RSUP
Dr.Sitanala Kota Tangerang mayoritas penderita berjenis kelamin laki-
laki. Begitu pula dengan penelitian di RS. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar
dimana laki-laki lebih banyak menderita kusta dari pada perempuan.
Factor social budaya memungkinkan sebagai factor penting dalam
rendahnya kasus kusta pada perempuan. Rendahnya status social
perempuan di beberapa daerah di Indonesia mengakibatkan keterbatasan
perempuan dalam mengakses pelayanan kesehatan sehinggah
memungkinkan kasus tersembunyi pada kalangan perempuan. Selain itu
laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah sehingga risiko
untuk terpapar jauh lebih besar.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Lonjakan kasus Tubercluosis pada tahun 2022 disebabkan karena
mobilitas penduduk yang meningkat setelah kasus COVID-19 pada
provinsi DKI Jakarta pada kelompok umur 45-54 tahun dan paling tinggi
dialami oleh laki-laki.
2. Cakupan penemuan pneumonia pada balita mengalami peningkatan,
disebabkan capaian imunisasi dasar lengkap yang tidak mencapai target
pada tahun 2021-2022 karena COVID-19, Kalimantan Utara menjadi
provinsi dengan kasus pneumonia tertinggi sedangkan CFR tertinggi
adalah provinsi Bengkulu dengan tingkat polusi udara yang buruk bagi
kelompok rentan pada kelompok umur di bawah 1 tahun dan pada balita
laki-laki.
3. Tren kasus campak naik pada tahun 2020-2022 dilandasi karena cakupan
imunisasi campak menurun karena COVID-19, provinsi aceh dengan
kasus campak tertinggi, kasus campak paling banyak terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun.
4. Incidence Rate DBD menunjukkan peningkatan pada tahun 2021-2022
perubahan iklim dengan suhu yang memanas serta fenomena El Nino
menjadi pencetusnya. Kalimantan Utara menjadi provinsi kejadian infeksi
penyakit DBD tertinggi. Kasus DBD terjadi pada kelompok umur 15-44
tahun sedangkan angka kematian akibat DBD lebih banyak terjadi pada
kelompok umur 5-14 tahun. Angka kematian akibat DBD lebih dominan
pada perempuan.
5. Tren angka kejadian kusta mengalami penurunan, Provinsi dengan angka
penemuan tertinggi terjadi Provinsi Papua Barat disebabkan karena
masalah kesehatan yang signifikan, seperti tingkat kematian bayi dan ibu
yang tinggi, penyakit menular, serta masalah kesehatan masyarakat adat
yang berbeda dari budaya di wilayah lain di Indonesia. Penemuan kasus
baru kusta di antaranya merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB), lebih
banyak terjadi pada laki-laki.

B. Saran
1. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
menjaga lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
2. Mengembangkan strategi pencegahan dan pengendalian penyakit yang
mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan seperti perubahan iklim dan
interaksi manusia dengan lingkungannya.
3. Melakukan pemantauan dan penelitian lebih lanjut terkaiit dampak
perubahan iklim terhadap penyebaran penyakit, terutama penyakit yang
rentan terhadap perubahan iklim seperti tuberkluosis, pneumonia, campak,
demam berdarah dengue, dan kusta.
4. Meningkatkan akses dan layanan kesehatan terutama bagi kelompok rentan.
5. Mengintensifkan upaya pengendalian vektor ppenyakit seperti aedes
aegypti, melalui program pengendalian vektor yang efektif dan edukasi
masyarakat tentang tindakan pencegahan.
6. Mendorong kerjasama lintas sektor dalam menghadapi tantangan
epidemiologi yang terkait dengan faaktor lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adinda Mega Putri, Imam Thohari and Ernita Sari (2022) ‘Kondisi Fisik Rumah
(Jenis Dinding, Jenis Lantai, Pencahayaan, Kelembaban, Ventilasi, Suhu,
dan Kepadatan Hunian) Mempengaruhi Kejadian Penyakit Tuberkulosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Krian Sidoarjo Tahun 2021’, Gema Lingkungan
Kesehatan, 20(1), pp. 22–28. doi: 10.36568/gelinkes.v20i1.5.
Amalia Yunia Rahmawati. (2021). Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Kusta Di
Rsup Dr. Rivai Abdullah Tahun 2021. July, 1–23.
Booth Mark. (2018). Climate Change and The Negleted Tropical Diseases.
Newcastle: Elseviar
CDC (2020) TBC Prevention. Available at:
https://www.cdc.gov/tb/topic/basics/tbprevention.htm.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI. (2019)
Pedoman Surveilans Campak - Rubela. Jakarta: Subdit Surveilans: Direktorat
Surveilans dan Karantina Kesehatan Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular. (2023).
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2PM - Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Tahunan Demam Berdarah Dengue Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2P
Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Kinerja 2022. Jakarta: Ditjen P2P Kemenkes RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Tahunan Program TBC Nasional Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2P Kemenkes
RI.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2023). Laporan
Tahunan Program Penanggulangan Kusta Tahun 2022. Jakarta: Ditjen P2P
Kemenkes RI.
Fatahya, & Abidin, F. A. (2023). Status Imunisasi Campak Pada Masa Pandemi
Covid-19. Higeia Journal of Public Health Research and Development, 1(3),
625–634.
Fazlaini, R. (2020). Hubungan Pemberian Imunisasi Campak dengan Kejadian
Campak pada Balita Umur 2-5 Tahun di Desa Asan Kumbang Kecamatan
Bandar Dua Kabupaten Pidie. Khatulistiwa Nursing Journal, 2(2), 39–44.
https://doi.org/10.53399/knj.v2i2.66
Febrilia, S. F. et al. (2022) ‘Hubungan Faktor Manusia dan Lingkungan Rumah
Terhadap Kejadian Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Rejosari Kota
Pekanbaru’, Jurnal Kesehatan Komunitas, 8(3), pp. 436–442. doi:
10.25311/keskom.vol8.iss3.618.
Gannika, L. (2016) ‘Tingkat Pengetahuan Keteraturan Berobat dan Sikap Klien
Terhadap Terjadinya Penyakit TBC Paru di Ruang Perawatan I dan II RS
Islam Faisal Makassar’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 4(1), pp.
55–62. doi: 10.35816/jiskh.v4i1.86.
Hidayatullah, A., Navianti, D. and Damanik, H. D. L. (2021) ‘Kondisi Fisik
Rumah Terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Pari di Wilayah Kerja
Puskesmas’, Jurnal Sanitasi Lingkungan, 1(2), pp. 72–79.
Hidayati, I., Andiarna, F., & Suprayogi, D. (2020). Correlation between Humidity
and Illumination with Leprosy Occurrence Hubungan Kelembapan dan
Pencahayaan dengan Kejadian Kusta. Jurnal Teknologi Kesehatan, 16(1), 1–
7.
Hutama, H. I., Riyanti, E. and Kusumawati, A. (2019). ‘Gambaran Perilaku
Penderita Tuberculosis Paru Dalam Pencegahan Penularan Tuberculosis Paru
Dikabupaten Klaten’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1), pp. 491–500.
IQAir. (2023). Kualitas Udara di Bengkulu.
https://www.iqair.com/id/indonesia/bengkulu/bengkulu-city
Jannah, M., Abdullah, A., & Melania, H. (2019). Analisis Faktor Risiko Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Balita Di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Banda Raya Kota Banda Aceh Tahun 2019. JUKEMA. 6(1). 20-
28.
Kementerian Kesehatan RI. (n.d.). Waspada, Campak jadi Komplikasi Sebabkan
Penyakit Berat. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang
Rumah.
Kementerian Kesehatan RI. (2019a). Profil Kesehatan Indonesia 2018. In Health
Statistics. Kementerian Kesehatan RI.
https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2018.pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2019b). Riset Kesehatan Dasar 2018.
Kementerian Kesehatan RI. (2020). Jangan Abaikan TBC di Masa Pandemi
Covid-19 Menuju Eliminasi TBC Tahun 2030. Balitbangkes.
https://www.balaibaturaja.litbang.kemkes.go.id/read-jangan-abaikan-tbc-di-
masa-pandemi-covid19-menuju-eliminasi-tbc-tahun-2030
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran: Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2021). Pravalensi Kusta Pada Anak Tinggi,
Temukan Kasusnya, Periksa Kontak dan Obati Sampai Tuntas.
Kementerian Kesehatan RI. (2022). Rencana Aksi Program Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. In Rencana AKSI Program P2P.
http://www.jikm.unsri.ac.id/index.php/jikm
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Profil Kesehatan Indonesia 2022. Jakarta:
Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Indonesia Raih Rekor Capaian Deteksi TBC
Tertinggi di Tahun 2022. Kementerian Kesehatan RI.
https://ayosehat.kemkes.go.id/indonesia-raih-rekor-capaian-deteksi-tbc-
tertinggi-di-tahun-2022
Khambali. (2019). Pemanasan Global dan Gangguan Kesehatan serta
Mitigasinya. Surabaya : HAKLI Jawa Timur.
Kondamudi NP, Waymack JR. Campak. (2023). StatPearls [Internet]. Penerbitan
StatPearls. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448068/
Mallang, Y., Regaletha, T. A. L., & Landi, S. (2022). Mapping The Spread Of
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Cases With Geographical Information
System (GIS) Methods In Waingapu City Sub-District. Media Kesehatan
Masyarakat, 4(3), 387–396.
Mani, C. S., & Murray, D. L. (2018). Acute Pneumonia and Its Complications. In:
Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. New York: 2018;
238-249
Mar’iyah, K. and Zulkarnain (2021) ‘Patofisiologi Penyakit Infeksi Tuberkulosis’,
Prosiding Biologi Achieving the Sustainable Development Goals with
Biodiversity in Confronting Climate Change, 7(1), pp. 88–92. Available at:
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/psb.
Martias, I. and Daswito, R. (2019) ‘Studi Ekologi Variabel Cuaca Terhadap
Kejadian Campak di Kota Tanjungpinang Tahun 2010-2017’, Jurnal
Kesehatan, 12(1), pp. 109–118.
Marvianto, D., Ratih, O. D., Frenka, K., & Wijaya, N. (2023). Infeksi Dengue
Sekunder : 50(2), 70–74.
Montella S, Corcione A, Santamaria F. (2017). Recurrent Pneumonia in Children:
A Reasoned Diagnostic Approach and a Single Centre Experience. Int J Mol
Sci. 18(2):296. doi: 10.3390/ijms18020296. PMID: 28146079; PMCID:
PMC5343832.
Mphande-Nyasulu, F. A., Puengpipattrakul, P., Praipruksaphan, M., Keeree, A., &
Ruanngean, K. (2022). Prevalence of Tuberculosis (TB), Including Multi-
Drug-Resistant and Extensively-Drug-Resistant TB, and Association with
Occupation in Adults at Sirindhorn Hospital, Bangkok. IJID Regions, 2(11),
141–148. https://doi.org/10.1016/j.ijregi.2022.01.004
Opovsky, E. Y., & Florin, T. A. Community-Acquired Pneumonia in Childhood.
Reference Module in Biomedical Sciences. 2020.
Pramanik, M., Singh, P., Kumar, G., Ojha, V. P., & Dhiman, R. C. (2020). El
Niño Southern Oscillation as an early warning tool for dengue outbreak in
India. BMC Public Health, 20(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s12889-020-
09609-1
Raj, A. A. V, Velraj, R., & Haghighat, F. (2020). The Contribution of Dry Indoor
Built Environment on The Spread of Coronavirus : Data From Various
Indian States. Sustain Cities Soc, 62(January), 1–11.
Ramandey, D. E. M., Kurniasari, N. M. D., & Widyanthini, D. N. (2018). Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Rumah
Sakit Ibu Anak Permata Hati Kabupaten Klungkung Tahun 2015-2017.
Archive of Community Health, 5(2), 11.
https://doi.org/10.24843/ach.2018.v05.i02.p02
Riastini, N. M. R. and Sutarga, I. M. (2021) ‘Gambaran Epidemiologi Kejadian
Campak di Kabupaten Badung Provinsi Bali Tahun 2014-2019’, Arc. Com.
Health, 8(1), pp. 174–188.
Ratna Dwi Christyanti, Abdul Arif, A. P. U. M. A. (2022). Implementasi Metode
Fuzzy C-Means dalam Clustering Wilayah Rawan Penyakit Demam
Berdarah. Journal of Mathematics Education and Science, 6(1), 11–17.
https://doi.org/10.32665/james.v6i1.933
Rima, P., Padini, A., & Sirait, T. (2017). Pemodelan Cakupan Imunisasi Campak
Pada Anak Usia 12-59 Bulan Di Provinsi Aceh Tahun. 2017, 439–448.
Sangadji, N. W., Okta Vernanda, L., Muda, A. K., & Veronika, E. (2022).
Hubungan Jenis Kelamin, Status Imunisasi Dan Status Gizi Dengan Kejadian
Pneumonia Pada Balita (0-59 Bulan) Di Puskesmas Cibodasari Tahun 2021.
JCA Health Science, 2(2), 66–74.
Smith, Darvin Scott. 2013. Leprosy. Diakses tanggal : 13 Oktober 2023
https://emedicine.medscape.com/article/220455-overview?form=fpf#a5
Solihati, E N., Suhartono., et al. (2017). Studi Epidemiologi Deskriptif Kejadian
Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Langensari II Kota
Banjar Jawa Barat Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(5): 618- 629
Srisantyorini, T., Nabilla, P., Herdiansyah, D., Dihartawan, Fajrini, F., &
Suherman. (2022). Analisis Spasial Kejadian Tuberkulosis di Wilayah DKI
Jakarta. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 18, 131–138.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/JKK
Supangat, U., Badriah, D. L., Mamlukah, M., & Suparman, R. (2023). Faktor-
Faktor Yang Berhubungan Dengan Kematian Kasus Demam Berdarah Di
Kota Tasikmalaya 2022. Journal of Health Research Science, 3(1), 63–71.
https://doi.org/10.34305/jhrs.v3i01.764
Susilowati, I., & Cahyati, W. H. (2021). Kondisi lingkungan dan perilaku dengan
kejadian dbd. Indonesian Journal of Public Health and Nutrition, 1(2), 244–
254.
Tambaip, B., & Tjilen, A. P. (2023). Analisis Kebijakan Publik Dalam Derajat
Kesehatan Di Papua. Jurnal Kebijakan Publik, 14(1), 101.
https://doi.org/10.31258/jkp.v14i1.8232
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. (2022). TBC.
Artikel Kementerian Kesehatan RI. Available at:
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1375/tbc
Turner, R. D., Chiu, C., Churchyard, G. J., Esmail, H., Lewinsohn, D. M.,
Gandhi, N. R., & Fennelly, K. P. (2017). Tuberculosis Infectiousness and
Host Susceptibility. Journal of Infectious Diseases, 216(Suppl 6), S636–
S643. https://doi.org/10.1093/infdis/jix361
UNICEF. (2023). Executive Summary, The State of The World’s Children 2023,
For Every Child Vaccination. Intalia: UNICEF Innocenti – Global Office of
Research and Foresight.
Uwishema, Olivier at. Al. (2023). Impacts of Enviromental and Climatic Changes
on Future Infectious Diseases. United Kingdom: Interntional Journal of
Surgery.
Waani, J., Ottay, R. I., & Mf Palandeng, H. (2018). Kajian Kecenderungan
Pneumonia pada Balita di Kota Bitung Tahun 2015-2017. Jurnal Kedokteran
Komunitas Dan Tropik, 6(2), 284–288.
Word Health Organization. Pneumonia. (2019). Available at
https://www.who.int/news-room/fact-sheet/ detail/pneumonia.
World Health Organization. (2020). Global Tuberculosis Report 2020.
https://doi.org/10.1787/f494a701-en
WHO. (2021). Pneumonia. World Health Organization.
https://www.who.int/newsroom/fact-sheets/detail/pneumonia
WHO. (2023). Campak. Geneva: World Health Organization. Available at:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/measles
World Health Organization. (2022). Global Tuberculosis Report 2022. Geneva:
WHO
World Health Organization. (2023). Global Tuberculosis Report 2022.
World Health Organization. 2023. Dengue and Severe Dengue.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dengue-and-severe-
dengue
World Health Organization. 2023. Leprosy. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/leprosy
World Health Organization. 2023. Measles. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/measles
Wulandari, A., & Rivita, M. (2021). Hubungan Pengetahuan dan Dukungan
Keluarga terhadap Perawatan Diri Penderita Kusta di RSUP Dr. Sitanala
Kota Tangerang Relationship between Knowledge and Family Support for
Self-Care of Leprosy Patients in RSUP Dr. Sitanala Kota Tangerang. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Masyarakat, 13, 113.
Yelvita, F. S. (2022). Hubungan Kadar Hematokrit Dan Trombosit Dengan
Tingkat Keparahan Inflamasi Pada Kasus Demam Berdarah Dengue Di
Prodia Kebayoran Periode Tahun 2020 – 2021. Hubungan Kadar
Hematokrit Dan Trombosit Dengan Tingkat Keparahan Inflamasi Pada
Kasus Demam Berdarah Dengue Di Prodia Kebayoran Periode Tahun 2020
– 2021, 8.5.2017, 2003–2005.
Yosua, M. I., Ningsih, F. and Ovany, R. (2022) ‘Hubungan Kondisi Lingkungan
Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru’, Jurnal Surya Medika
(JSM), 8(1), pp. 136–141. Available at:
https://journal.umpr.ac.id/index.php/jsm/article/view/3455.

Anda mungkin juga menyukai