Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH BIOMEDIK

“Zoonosis”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Biomedik
Dosen Pengampu: Dr. Laila Fitria S.K.M., M.K.M.

DISUSUN OLEH:

Kelompok 9

Annisa Ristya Haridiani (2106701330)


Devina Nafis Alodia (2106637271)
Fadilah Martiza Rafa (2106631015)
Latin Vania Nisrina (2106703771)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS INDONESIA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam seabad belakangan ini, dunia menyaksikan adanya “emerging and re-emerging
diseases”. ‘Emerging zoonosis’ adalah penyakit zoonosis yang baru muncul dan dapat terjadi
dimana saja dengan dampaknya yang berpotensi menjadi begitu parah. Sedangkan ‘re-
emerging zoonosis’ adalah penyakit zoonosis yang sudah pernah muncul di masa-masa
sebelumnya, akan tetapi menunjukkan tanda mulai meningkat kembali saat ini. Penyakit
zoonosis ini didefinisikan sebagai penyakit menular yang ditularkan secara alamiah dari hewan
domestik atau hewan liar ke manusia dengan waktu yang cepat. Karena itulah dalam makalah
ini, kami akan membahas lebih dalam mengenai virus dan bakteri yang disebabkan oleh
penyakit zoonosis.

B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini akan membahas mengenai Zoonosis (Rabies, Leptospira sp., Bacillus
anthracis, Yersinia pestis) berdasarkan pertanyaan pemicu sebagai berikut:
1. Apakah virus dan bakteri tersebut merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia? Mengapa? Penyakit apa yang disebabkan oleh virus dan bakteri tersebut?
2. Jelaskan bagaimana mekanisme penularan virus dan bakteri tersebut dari binatang
kepada manusia. Binatang apa saja yang terlibat dalam mekanisme tersebut?
3. Sajikan gambar dari virus dan bakteri tersebut
4. Jelaskan bagaimana mekanisme virus dan bakteri tersebut dapat menyebabkan
kerusakan pada tubuh manusia, dan sebutkan gejala dan tanda penyakit yang
disebabkan oleh bakteri tersebut
5. Bagaimana cara memutuskan rantai penularan penyakit yang disebabkan oleh virus dan
bakteri tersebut?
6. Bagaimana cara mengetahui apakah seseorang atau binatang telah terinfeksi oleh virus
dan bakteri tersebut? Apakah dapat diketahui keberadaan virus dan bakteri tersebut di
lingkungan? Bila ya, bagaimana caranya?
BAB II
ISI

1. Masalah Kesehatan Masyarakat di Indonesia


a. Rabies
Rabies adalah penyakit virus yang sebenarnya dapat dicegah dan paling
sering ditularkan melalui gigitan hewan rabies. Virus rabies menginfeksi sistem
saraf pusat mamalia, akhirnya menyebabkan penyakit di otak dan kematian. Virus
ini dapat menyebar ke orang-orang dan hewan peliharaan jika mereka digigit atau
dicakar oleh hewan rabies. Sebagian besar kasus rabies yang dilaporkan ke Centers
of Disease Control for Prevention (CDC) setiap tahun terjadi pada hewan liar
seperti kelelawar, rakun, sigung, dan rubah, meskipun mamalia mana pun bisa
terkena rabies.
Rabies dilaporkan pertama kali oleh Esser pada tahun 1884, yaitu pada
seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies pada kerbau dilaporkan
pada tahun 1889, kemudian rabies pada anjing dilaporkan oleh Penning tahun 1890
di Tangerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh E.V. de Haan pada
seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon tahun 1894. Selanjutnya rabies
dilaporkan semakin menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia.
Angka kematian akibat Rabies di Indonesia masih cukup tinggi yakni 100-
156 kematian per tahun, dengan Case Fatality Rate (Tingkat Kematian) hampir 100
persen. Hal ini menggambarkan bahwa rabies masih jadi ancaman bagi kesehatan
masyarakat. Secara statistik 98% penyakit rabies ditularkan melalui gigitan anjing,
dan 2% penyakit tersebut ditularkan melalui kucing dan kera. Dari 34 provinsi di
Indonesia, hanya 8 provinsi yang bebas rabies sementara pada 26 provinsi lainnya,
rabies masih endemi. Secara hitoris, 8 provinsi tersebut adalah Kepulauan Riau,
Bangka Belitung, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan
Jawa Timur.
Pada rentang waktu 2015-2019, kasus gigitan hewan penular rabies
dilaporkan berjumlah 404.306 kasus dengan 544 kematian. Saat itu ada 5 provinsi
dengan jumlah kematian tertinggi antara lain Sulawesi Utara, Kalimantan Barat,
Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan kejadian
luar biasa (KLB) rabies tahun 2019 terakhir dilaporkan terjadi di Nusa Tenggara
Barat.
b. Leptospira sp.
Leptospira sp. menyebabkan penyakit Leptospirosis yang menyerang
manusia dan hewan. Pada manusia, penyakit ini dapat menimbulkan berbagai gejala
ataupun tidak sama sekali. Tanpa pengobatan, Leptospirosis dapat menyebabkan
kerusakan ginjal, meningitis (radang selaput di sekitar otak dan sumsum tulang
belakang), gagal hati, gangguan pernapasan, dan bahkan kematian.
Indonesia sebagai salah satu negara tropis di Asia Pasifik memiliki angka
kasus leptospirosis yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan salah satu karakteristik
luasnya penyebaran penyakit ini adalah iklim yang tropis. Bakteri Leptospira sp.
hidup pada suhu yang hangat, pH air yang netral, dan kelembaban serta curah hujan
yang tinggi (Ningsih R, 2009).
Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan RI, sejak tahun 2004 hingga 2012 terjadi peningkatan kasus
leptospirosis di Indonesia dengan case fatality rate (CFR) antara 5-15% (Depkes,
2014). Dalam skala nasional, meskipun jumlah kasus meningkat, jumlah kematian
dan CFR menunjukkan penurunan yaitu dari 148 dan 16,5% pada tahun 2018
menjadi 122 kematian dan 13,26% pada tahun 2019 (Pusdatin, 2020). Walaupun
secara nasional CFR dari tahun 2018 ke tahun 2019 menurun, jumlah kasus
penyakit kembali meningkat pada tahun 2020. Penyumbang kasus dengan angka
yang cukup tinggi adalah DKI Jakarta.

c. Bacillus anthracis
Bacillus anthracis merupakan bakteri penyebab penyakit antraks. Ini terjadi
secara alami di tanah dan umumnya mempengaruhi hewan peliharaan dan liar di
seluruh dunia. Orang dapat terkena penyakit antraks jika mereka bersentuhan
dengan hewan yang terinfeksi atau produk hewan yang terkontaminasi. Antraks
dapat menyebabkan penyakit parah baik pada manusia maupun hewan.
Berdasarkan Peta Kasus dan Situasi Penyakit Hewan Kementerian
Kesehatan 2017, hampir seluruh provinsi, kecuali Papua yang dinyatakan bebas
historis dari penyakit antraks. Sepanjang tahun 2017, provinsi yang terkonfirmasi
positif antraks pada ternak adalah Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, dan Gorontalo.
Sedangkan daerah yang dilaporkan ada kematian mendadak pada ternak terduga
antraks melalui ISIKHNAS, selain dari 3 provinsi tersebut sebelumnya, adalah
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi
Utara.
Pada tahun 2018 tercatat provinsi yang dilaporkan kasus antraks pada ternak
adalah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Selain itu, pada 28 Desember
2019 terdapat laporan adanya 21 orang dengan tanda klinis baik gejala atau tanda
yang positif antraks yang 1 warga di antaranya meninggal dunia.

d. Yersinia pestis
Bakteri Yersinia pestis menyebabkan penyakit Plague. Manusia biasanya
terkena penyakit ini setelah digigit oleh kutu tikus yang membawa bakteri atau
dengan menangani hewan yang terpapar. Plague terkenal karena membunuh jutaan
orang di Eropa selama Abad Pertengahan. Tanpa pengobatan segera, penyakit ini
dapat menyebabkan penyakit serius atau kematian. Saat ini, Plague pada manusia
terus terjadi di daerah pedesaan di Amerika Serikat bagian barat, tetapi secara
signifikan lebih banyak kasus terjadi di beberapa bagian Afrika dan Asia.
Indonesia dinyatakan sebagai daerah berisiko sangat rendah dan terlokalisir
terhadap penyakit pes. Di Indonesia, ada 4 wilayah yang pernah terjadi kasus pes,
yaitu Kabupaten Boyolali Jawa Tengah, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten
Bandung, Kasus Pes (bubonik) pada manusia terakhir dilaporkan tahun 2007 di
Kabupaten Pasuruan. Di Tahun 2019, tidak ada laporan tetapi surveilans tetap
berjalan.

2. Mekanisme Penularan
a. Rabies
Virus rabies dapat ditularkan melalui kontak langsung (seperti melalui kulit
yang rusak atau selaput lendir di mata, hidung, atau mulut) dengan air liur atau
jaringan otak/sistem saraf dari hewan yang terinfeksi. Biasanya, orang tertular
karena mendapatkan gigitan dari hewan yang sudah terinfeksi rabies. Ketika virus
rabies sudah masuk ke dalam otot melalui gigitan hewan, virus tersebut berpindah
dari tempat gigitan ke otak dengan bergerak di dalam saraf. Waktu antara gigitan
dan munculnya gejala disebut masa inkubasi dan dapat berlangsung selama
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Gigitan hewan selama masa inkubasi
tidak membawa risiko rabies karena virus belum sampai ke air liur. Sesampainya di
otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian
neuron, terutama predileksi terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang
otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke
arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf
otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam
tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan
sebagainya
Selain melalui gigitan, terdapat kemungkinan bagi orang untuk
mendapatkan rabies dari paparan non-gigitan, yang dapat mencakup goresan, lecet,
atau luka terbuka yang terkena air liur atau bahan yang berpotensi menular lainnya
dari hewan rabies. Jenis kontak lainnya, seperti membelai hewan rabies atau kontak
dengan darah, urin, atau feses hewan rabies.
Semua mamalia bisa terkena rabies, tetapi hanya beberapa spesies yang
penting sebagai reservoir penyakit ini. Di Amerika Serikat, jenis virus rabies yang
berbeda telah diidentifikasi pada kelelawar, rakun, sigung, rubah, dan luwak. Di
banyak bagian dunia lainnya, rabies pada anjing masih umum terjadi.

b. Leptospira sp
Mekanisme penularan penyakit Leptospira sp dapat terjadi secara langsung
melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung bakteri Leptospira sp.
Selain itu dapat juga tertular dari hewan ke manusia, misalnya pada pekerja potong
hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan. Masa inkubasi
Leptospira sp adalah dua hingga 26 hari. Saat bakteri tersebut telah berada di aliran
darah, bakteri ini dapat menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan
khususnya pada hati dan ginjal.
Penularan penyakit ini juga dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu
melalui kontak dengan genangan air, sungai, danau, ataupun air selokan yang
sebelumnya telah tercemar oleh urin dari hewan perantara khususnya tikus.
Kemudian, urin dari hewan yang telah terinfeksi bakteri Leptospira sp dapat
mencemari air maupun tanah sehingga manusia yang melakukan kontak dengan air
atau tanah yang telah tercemar oleh urin tersebut dapat terinfeksi pula oleh bakteri
Leptospira sp Bakteri Leptospira sp masuk ke tubuh manusia melalui selaput lendir
(mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet (penularan tidak langsung). Selain dapat
mencemari air atau tanah di lingkungan, urin yang telah tercemar bakteri Leptospira
sp ini juga dapat menginfeksi makanan atau minuman yang nantinya dikonsumsi
oleh manusia.

Gambar siklus penularan Leptospira sp.


Sumber : Digilib.unimus.ac.id

c. Bacillus anthracis
● Penularan Pada Hewan
1. Bacillus anthracis memproduksi spora tidak aktif yang dapat hidup
di lingkungan, seperti tanah dalam waktu yang lama.
2. Spora yang ada di tanah termakan oleh hewan, kemudian spora
tersebut dapat diaktifkan dan berubah menjadi sel yang aktif tumbuh
3. Ketika mereka menjadi aktif, bakteri dapat berkembang biak,
menyebar di dalam tubuh dan menghasilkan racun.
4. Menyebabkan kematian.
● Penularan Pada Manusia
1. Ketika spora antraks masuk ke kulit, biasanya melalui luka atau
goresan, seseorang dapat mengembangkan antraks kulit. Ini bisa
terjadi ketika seseorang menangani hewan yang terinfeksi atau
produk hewan yang terkontaminasi seperti wol, kulit, atau rambut.
Infeksi biasanya terjadi dari 1 hingga 7 hari setelah terpapar.
2. Ketika seseorang bernafas dengan spora antraks, mereka dapat
mengembangkan inhalation anthrax. Tipe ini merupakan antraks
yang paling mematikan. Infeksi berkembang dalam seminggu
setelah paparan dan bisa memakan waktu hingga 2 bulan.
3. Ketika seseorang makan daging mentah atau setengah matang dari
hewan yang terinfeksi antraks, mereka dapat mengembangkan
gastrointestinal anthrax. Setelah dicerna, spora anthrax dapat
mempengaruhi saluran pencernaan bagian atas (tenggorokan dan
esofagus), lambung, dan usus. Infeksi berkembang dari 1 hingga 7
hari terpapar.

Gambar siklus penularan Bacillus anthracis.


Sumber: www.cdc.gov

d. Yersinia pestis
Bakteri Yersinia pestis biasa ditemukan pada hewan pengerat dan pinjal
(Xenopsylla cheopis) yang hidup di tubuhnya. Tikus merupakan reservoir dan pinjal
merupakan vektor penularnya. Kuman pes akan berkembang biak di dalam tubuh
pinjal sehingga akan menyumbat tenggorokan pinjal. Saat pinjal akan menghisap
darah, maka pinjal harus muntah terlebih untuk mengeluarkan Y. Pestis yang
menyumbat tenggorokan pinjal. Muntahan pinjal akan masuk kedalam luka bekas
gigitan dan terjadi infeksi. Manusia dapat terinfeksi bakteri ini melalui beberapa
cara diantaranya, yaitu:
a. Melalui gigitan pinjal yang membawa bakteri
Bakteri Y. pestis paling sering ditularkan oleh gigitan kutu yang terinfeksi.
Selama wabah epizootik, banyak tikus mati, menyebabkan kutu lapar
mencari sumber darah lain. Orang dan hewan yang mengunjungi tempat-
tempat di mana hewan pengerat ini mati karena wabah, maka akan berisiko
terinfeksi oleh gigitan kutu. Anjing dan kucing juga dapat membawa kutu
yang terinfeksi pes ke rumah.
b. Kontak langsung dengan jaringan hewan terinfeksi
Manusia dapat terinfeksi ketika memegang cairan jaringan atau tubuh dari
hewan yang terinfeksi pes. Misalnya, seorang pemburu menguliti kelinci
atau hewan lain yang terinfeksi tanpa menggunakan tindakan pencegahan
yang tepat dapat terinfeksi dengan bakteri pes.
c. Melalui pernafasan dengan menghirup udara dengan droplet yang
mengandung bakteri.
Ketika seseorang menderita pneumonia, mereka batuk-batuk dan dapat
menyebarkan bakteri pes ke udara. Jika tetesan yang mengandung bakteri
ini dihirup oleh orang lain dapat menyebabkan pes pneumonik. Biasanya ini
memerlukan kontak langsung dan dekat dengan orang dengan pes
pneumonik. Penularan tetesan ini adalah satu-satunya cara penyebaran pes
di antara orang-orang.
Bila di suatu daerah akan terjadi wabah pes, biasanya didahului oleh wabah
pada binatang (epizootie) yaitu pada tikus. Yersinia pestis menggunakan tubuh
pinjal sebagai hospes. Tikus terinfeksi oleh Y. pestis melalui gigitan pinjal
(Xenopsylla cheopis). Tikus masih dapat berinteraksi dengan tikus-tikus lain
sebelum kondisi tubuh tikus menjadi parah, sehingga dapat terjadi penularan antar
tikus. Akibat kejadian penularan antar tikus, maka pada waktu yang bersamaan akan
muncul banyak sekali tikus yang menderita pes (epizootie). Saat kondisi tikus yang
terinfeksi Y. pestis menjadi lebih parah maka mereka akan mencari tempat sunyi
dan biasanya mendekati lingkungan manusia dengan masuk ke rumah-rumah. Bila
tikus mati, pinjal akan kelaparan dan keluar dari tubuh tikus. Pinjal yang lapar akan
menjadi sangat agresif untuk mendapatkan pakan berupa darah sehingga akan
menyerang apa saja yang ditemui salah satunya adalah darah manusia. Kucing
sangat rentan terhadap pes, dan dapat terinfeksi dengan memakan tikus yang
terinfeksi.

3. Morfologi
a. Rabies
Rabies virus memiliki bentuk seperti peluru dan tubuhnya dilingkupi oleh
membran envelope. Panjang tubuhnya sekitar 180 nm dan lebar 75 nm. Virus ini
tersusun dari RNA rantai tunggal, lipid, karbohidrat, dan protein.
Gambar Rabies virus secara mikroskopis
Sumber: www.cdc.gov
b. Leptospira sp
Bakteri Leptospira sp merupakan salah satu bakteri yang bersifat patogen dan
saprofit. Bentuk bakteri ini adalah spiral, dengan panjang 6-20 μm, diameter 0,1 μm,
serta panjang gelombang sekitar 0,5 μm. Leptospira hidup, paling baik diamati dengan
mikroskop dark field karena ukuran mereka yang sangat tipis. Mikroskop dark field
sendiri merupakan mikroskop dengan latar belakang hitam, dimana tepi sel tampak
bersinar keemasan sehingga bentuk objek terlihat dengan jelas.

Gambar morfologi bakteri Leptospira sp secara mikroskopis


Sumber: Digilib.unimus.ac.id

c. Bacillus anthracis
Bakteri Bacillus anthracis adalah bakteri aerob gram positif yang berbentuk
batang lurus dengan kecenderungan membentuk rantai. Ukuran bakteri ini sekitar 1-1,2
um x 3-5 um. Bakteri ini bersifat non motil dan membentuk spora. Bakteri Bacillus
anthracis memiliki 2 fase yaitu fase vegetatif dan fase spora. Fase vegetatif ini bakteri
hidup dalam tubuh inang dan memperbanyak diri juga mengeluarkan toksin yang
menimbulkan gejala penyakit. Jika fase vegetatif ini bereaksi dengan oksigen akan
membentuk spora antraks.
Gambar Bacillus anthracis secara mikroskopis
Sumber: www.cdc.gov

d. Yersinia pestis
Bakteri Yersinia pestis merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang.
Bakteri ini bersifat aerob fakultatif yaitu bakteri yang dapat hidup baik dengan oksigen
atau tanpa oksigen. Bakteri ini bersifat non-motil dan berukuran 0.5-0.8 x 1.0-2.0 .
Bakteri ini dapat tumbuh optimal pada 28o μm C.

Gambar Yersinia pestis secara mikroskopis


Sumber: www.cdc.gov

4. Mekanisme yang Menimbulkan Kerusakan pada Tubuh Manusia, serta Gejala


a. Rabies
● Mekanisme timbulnya kerusakan pada tubuh manusia

Penyakit rabies menginfeksi tubuh manusia karena adanya virus rabies yang
masuk ke dalam tubuh melalui gigitan hewan yang terjangkit virus tersebut.
Kemudian setelah virus masuk, virus akan menetap selama 2 minggu di sekitar luka
gigitan dan melakukan replikasi di jaringan otot sekitar lokasi gigitan lalu virus
akan berjalan menuju susunan saraf pusat melalui saraf perifer. Setelah virus
mencapai otak, virus akan mereplikasi dirinya secara cepat dan menyebar luas ke
seluruh sel-sel saraf otak atau neuron terutama pada sel-sel sistem limbik,
hipotalamus, dan batang otak.
Setelah virus mereplikasi dirinya di neuron-neuron otak, virus berjalan ke
arah perifer melalui serabut saraf eferen baik sistem saraf volunter atau otonom.
Dari sini virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh,
kemudian virus akan berkembang biak dalam jaringan-jaringan lainnya, seperti
ginjal, kornea, kelenjar ludah, dan lain sebagainya.

● Tanda dan gejala penyakit


Menurut Pusdatin (2016), gejala klinis dari seseorang yang terinfeksi virus
rabies terbagi menjadi 4 stadium, yaitu sebagai berikut:
1) Stadium Prodromal
Gejala pada stadium ini dapat berupa demam, mual, malaise dan rasa nyeri
di tenggorokan selama beberapa hari.
2) Stadium Sensoris
Pada stadium ini, penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan
pada tempat bekas luka, disusul dengan gejala cemas dan reaksi berlebihan
terhadap rangsangan sensorik.
3) Stadium Eksitasi
Pada stadium ini, tonus otot-otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi
dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi.
Penyakit mencapai puncaknya pada stadium ini. Yang sangat khas pada
stadium ini adalah adanya bermacam-macam fobia seperti hidrofobia,
fotofobia dan aerofobia. Pada stadium ini dapat terjadi apnea, sianosis,
konvulsi dan takikardia. Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung
sampai penderita meninggal.
4) Stadium Paralisis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-
kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis
otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang
belakang, yang memperlihatkan gejala paralisis otot-otot pernafasan.
Gejala rabies pada manusia yang mencolok berupa rasa takut air
(hydrophobia) dan tanda klinis rabies pada otak (Encephalomyelitis) berakhir
dengan kematian (Hiswani, 2003).
b. Leptospira sp.
● Mekanisme timbulnya kerusakan pada tubuh manusia
Penyakit ini muncul diawali dari bakteri Leptospira sp. yang menyebar
melalui urin hewan yang terinfeksi, dimana bakteri ini dapat masuk ke dalam air
atau tanah dan bertahan selama beberapa minggu hingga bulan. Kemudian manusia
terinfeksi melalui kontak langsung dengan urin atau cairan tubuh (kecuali air liur)
dari hewan yang terinfeksi atau melakukan kontak dengan air, tanah, atau makanan
yang terkontaminasi oleh urin hewan tersebut. Selanjutnya bakteri masuk ke dalam
tubuh melalui kulit atau membran mukosa (mata, hidung, atau mulut), terutama
pada kulit yang terluka. Setelah bakteri berhasil masuk dan melakukan penetrasi ke
dalam tubuh manusia, organisme ini akan menyebar melalui pembuluh darah atau
aliran limfe ke seluruh organ tubuh yang ditandai dengan adanya demam dan
berkembang pada target organ serta akan menunjukkan gejala infeksi pada organ
tersebut. Masa inkubasi dari leptospirosis 4-19 hari, rata-rata 10 hari.

● Gejala dan tanda penyakit


Leptospirosis pada manusia biasanya menunjukkan gejala yang beragam,
mulai dari gejala yang ringan hingga berat tergantung dari jenis serovar yang masuk
ke dalam tubuh manusia. gejala klinis yang dialami setelah masa inkubasi, seperti
demam, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, batuk, rasa tidak nyaman di badan,
muntah, nyeri pada perut, diare, sufusi konjungtiva, jaundice, urin berwarna seperti
teh, oliguria, anuria, batuk berdarah, perdarahan pada kulit, pusing, dan lesu.
Pada stadium kedua, penyakit ini dapat menimbulkan kerusakan beberapa
organ, seperti kegagalan hati akut, kegagalan ginjal akut, perdarahan pada paru-
paru, miokarditis, meningitis dan meningoencephalitis.

c. Bacillus anthracis
● Mekanisme timbulnya kerusakan pada tubuh manusia
Manusia dapat terinfeksi antraks melalui 4 rute utama yaitu inhalasi,
gastrointestinal, kutaneus, dan intravena/ injeksi. Pada rute inhalasi, spora antraks
yang ada di udara masuk melalui saluran pernafasan, pada rute gastrointestinal
spora masuk melalui saluran pencernaan akibat mengonsumsi daging atau produk
hewan terinfeksi antraks, sedangkan pada rute kutaneus, spora antraks masuk akibat
adanya kontak langsung antara luka atau lesi pada kulit dengan ternak atau produk
ternak terinfeksi antraks. Beberapa literatur juga menyebutkan gigitan serangga
juga dapat menjadi media penularan antraks ke manusia. Setelah itu, spora antraks
yang masuk ke dalam tubuh akan bergerminasi dengan cepat dan menghasilkan
toksin dalam jumlah banyak. Toksin kemudian menyebar melalui aliran darah dan
menyebabkan gejala klinis mulai dari edema dan nekrosis, sepsis, serta rusaknya
pembuluh.

● Gejala dan tanda penyakit


1) Anthrax kutaneus: demam, lemas, mual, lalu muncul papula atau benjolan
kecil mirip jerawat terasa gatal tetapi tidak menyebabkan nyeri dan mungkin
akan dikelilingi oleh vesikel-vesikel kecil.
2) Anthrax gastrointestinal: demam, muntah, tidak nafsu makan, diare, dan
diikuti rasa sakit pada perut yang hebat
3) Anthrax inhalasi: demam dan kedinginan/menggigil, ketidaknyamanan di
dada, nafas pendek, pusing, batuk, mual, muntah, perut sakit, berkeringat,
dan kelelahan ekstrim, serta tubuh terasa pegal
4) Anthrax injeksi: untuk gejala klinisnya mirip dengan antraks kutaneus tetapi
dapat lebih ke dalam lapisan kulit atau otot tergantung tempat injeksi dan
tidak menyebabkan bekas luka yang khas seperti pada antraks kutaneus.
Anthrax ini memiliki gejala umum, yakni pembengkakan jaringan lunak
yang luas atau edema di daerah suntikan tanpa disertai rasa sakit dan
pembentukan abses, gejala sistemik yang dapat terjadi yaitu sepsis,
disfungsi organ, dan syok

d. Yersinia pestis
● Mekanisme timbulnya kerusakan pada tubuh manusia
Yersinia pestis dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan kutu
tikus yang terinfeksi, melakukan kontak langsung dengan cairan yang
terkontaminasi bakteri, serta menghirup udara yang terkontaminasi bakteri. Ketiga
jenis wabah dari pes, yakni bubonik, septisemik, dan pneumonik menyerang sistem
limfatik pada tubuh manusia dan berkembang biak di kelenjar getah bening di dekat
tempat bakteri masuk ke tubuh manusia. Sistem limfatik yang diserang ini berfungsi
sebagai pertahanan tubuh dan apabila infeksi tidak ditangani, bakteri Yersinia pestis
akan menyebar melalui pembuluh darah atau masuk ke paru-paru manusia.
Kemudian gejala akan timbul setelah 2 - 8 hari terkontaminasi oleh bakteri tersebut.

● Gejala dan tanda penyakit


Pes dapat dibagi menjadi tiga jenis utama, yakni bubonik, septisemik,
dan pneumonik, bergantung dari bagian tubuh yang terlibat. Gejala dan tanda
dari penyakit tersebut yakni:
1) Bubonic plague: timbul demam dan menggigil yang tiba-tiba, nyeri kepala,
adanya rasa lelah, nyeri otot, kelenjar getah bening yang bengkak, biasanya
terletak di pangkal paha, ketiak, atau leher dan berukuran sebesar telur
ayam, serta terasa nyeri dan hangat.
2) Pneumonic plague: batuk dengan dahak yang disertai darah, kesulitan
bernapas, mual dan muntah, demam tinggi, nyeri kepala, dan terasa lemas.
3) Septicemic plague: demam, menggigil, diare, muntah, sakit perut, kadang
disertai dengan pendarahan melalui hidung, mulut, dan anus, serta adanya
bercak hitam pada kulit akibat tidak berfungsinya jaringan.

5. Cara Memutus Rantai Penularan Penyakit


a. Rabies
Terdapat cara untuk memutus rantai penyebaran atau penularan penyakit rabies,
seperti memberikan vaksin rabies kepada hewan peliharaan setiap satu tahun sekali dan
memberikan vaksinasi kepada hewan, seperti anjing dan kucing yang sudah berusia
lebih dari empat bulan, hindari hewan liar yang berkeliaran, hindari melakukan kontak
dengan hewan liar, gunakan sarung tangan tebal jika ingin melakukan kontak dengan
hewan liar dan pastikan untuk selalu menjaga kebersihan dengan mencuci tangan
dengan sabun dan air secara menyeluruh.

b. Leptospira sp.
Leptospirosis dapat dikendalikan dengan cara:
1) Mengontrol sumber infeksi, dengan cara memberikan vaksin kepada
binatang peliharaan yang dapat terkena leptospirosis, memberantas binatang
liar seperti tikus di lingkungan sekitar kita, dan jangan membiarkan binatang
peliharaan memakan tikus liar
2) Mengontrol rute penularan, dengan tidak berenang pada sumber air yang
tergenang yang memiliki kemungkinan untuk tercemar urin binatang yang
terinfeksi leptospirosis, mengenakan alas kaki apabila hendak keluar rumah,
dan memastikan sumber air untuk minum dan mandi bersih
3) Mencegah infeksi pada manusia, dengan memperoleh vaksinasi dan
mendapatkan antibiotik untuk pencegahan bagi mereka yang berisiko tinggi
untuk tertular penyakit ini.

c. Bacillus anthracis
Memutus rantai untuk penularan penyakit Bacillus anthracis dapat dilakukan
dengan cara melakukan vaksinasi antraks dan wajib bagi orang yang rentan terinfeksi
penyakit ini, serta mengonsumsi antibiotik. Selain itu, terdapat juga pencegahan
penyakit antraks dapat dilakukan dengan tidak mengonsumsi daging yang kurang
matang, dan melakukan edukasi dan penggunaan APD pada pekerja beresiko tinggi
(dokter hewan, petani dan peternak) serta melakukan vaksin terhadap hewan ternak.

d. Yersinia pestis
Agar terhindar dari terpaparnya penyakit pes, terdapat hal yang perlu dilakukan,
seperti melakukan surveilans terhadap tikus dan pinjal, menjaga kebersihan lingkungan
dengan menyingkirkan benda-benda yang dapat menjadi area pemukiman bagi hewan
pengerat, khususnya tikus, memastikan lantai dan barang-barang di rumah tidak
terkontaminasi oleh tikus, menjaga kebersihan hewan peliharaan bebas dari kutu, dan
mencuci tangan secara teratur ketika sebelum dan sesudah memasak atau menyajikan
makanan, setelah ke toilet, dan setelah bersentuhan dengan hewan, menggunakan
sarung tangan jika sedang berhadapan dengan hewan yang telah terinfeksi wabah,
mencegah hewan agar tidak tidur di kasur atau sofa, dan melakukan konsultasi ke dokter
jika wabah pes sedang merebak agar mendapat penanganan lebih awal.

6. Cara Mengetahui Adanya Virus/Bakteri pada Tubuh


a. Rabies
Pada manusia, diperlukan beberapa uji untuk mengetahui keberadaan virus
rabies. Uji ini dilakukan menggunakan sampel air liur, serum, cairan tulang belakang,
dan biopsi kulit folikel rambut di leher. Air liur dapat diuji dengan Reverse
Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Serum dan cairan tulang
belakang diuji dengan Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test (RFFIT) untuk
mendeteksi antibodi seseorang terhadap virus rabies. Spesimen biopsi kulit diperiksa
untuk antigen rabies di saraf kulit di dasar folikel rambut melalui Direct Fluorescent
Antibody Testing (Direct FAT).
Pada hewan, cara mengetahui keberadaan rabies tidak dapat dilakukan sebelum
terjadi gejala. Uji diagnosis rabies dapat dilakukan setelah terdeteksi virus rabies pada
otak hewan. Untuk mendukung pemutusan rantai rabies, uji harus mencakup jaringan
dari setidaknya dua lokasi di otak dengan anjuran pada brainstem dan cerebellum.
Sayangnya, uji ini mengharuskan hewan diberikan perlakuan berupa Euthanasia, yaitu
tindakan membunuh hewan atau membiarkannya mati dengan menahan tindakan medis
yang ekstrem.
Di lingkungan, rabies belum bisa dideteksi melalui suatu uji tertentu. Cara
terbaik untuk mengetahui keberadaan virus rabies di lingkungan adalah dengan
memperhatikan perilaku hewan-hewan di sekitar lingkungan khususnya hewan
pembawa virus rabies seperti anjing, kelelawar, monyet, dan kucing.

b. Leptospira sp.
Untuk mengetahui keberadaan bakteri Leptospira sp., banyak metode yang
dapat digunakan, seperti metode diagnosis langsung secara mikroskopis menggunakan
mikroskop medan gelap, kultur primer menggunakan media EMJH (Elinghausen,
McCullough, Johnson, Harris), dan isolasi primer pada sampel yang terkontaminasi.
Metode lain yang juga digunakan untuk diagnosis leptospirosis adalah metode
molekuler dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) langsung pada sampel yang
terkontaminasi, metode serologis dengan uji MAT (Microscopic Agglutination Test)
dan uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) untuk diagnosis antibodi.
Metode pemeriksaan yang digunakan sebagai uji acuan (gold standard) pada
manusia adalah Uji MAT. Uji ini dilakukan untuk diagnosis antibodi dengan prinsip
kerja menginkubasi sampel berupa serum darah dari pasien dengan berbagai serovar
dari Leptospira. Akan tetapi, pemeriksaan ini memiliki kelemahan yaitu hanya
mendeteksi antibodi, sedangkan riwayat alamiah penyakit leptospirosis menunjukkan
bahwa antibodi yang dihasilkan tubuh sebagai sistem kekebalan alami melawan bakteri
Leptospira sp. dihasilkan pada pertengahan minggu pertama.
Uji MAT juga dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan bakteri
Leptospira sp. pada hewan dengan prinsip kerja yang sama dengan manusia. Selain itu,
pada hewan dapat dilakukan uji dengan metode biakan, PCR, dan immunofluorescence.
Ketiga metode ini sensitif untuk mendeteksi Leptospira serovar hardjo pada urin sapi,
tetapi kurang sensitif apabila hanya menggunakan salah satu metode tersebut. Cara
deteksi yang paling baik adalah dengan metode ELISA. Dengan ELISA, anti-leptospira
IgM dapat terdeteksi pada satu minggu setelah infeksi.
Untuk mengetahui keberadaan Leptospira sp. di lingkungan, biasanya tempat
bersarangnya tikus yang merupakan reservoir dari penyakit leptospirosis. Sarana air
bersih yang tidak memenuhi syarat juga berhubungan dengan timbulnya kejadian
leptospirosis. Selain itu, pada umumnya vegetasi yang ada di lingkungan rumah kasus
leptospirosis adalah tanaman hias atau bunga dalam pot, rerumputan, pisang, nanas atau
semak belukar di belakang rumah yang tertata rapi sehingga tidak disukai tikus untuk
bersarang maupun bersembunyi. Lingkungan kotor dan tertutup rerumputan atau semak
belukar merupakan tempat yang disukai tikus.

c. Bacillus anthracis
Cara mengetahui adanya Bacillus anthracis umumnya dapat dilakukan
berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan di laboratorium untuk mengisolasi agen
penyebab, uji serologis dan molekuler.
Apabila terjadi gejala klinis tipe pulmonal pada manusia, dapat dilakukan
rontgen dada atau CT scan dengan memastikan apakah pasien mengalami pelebaran
mediastinum atau efusi pleura. Pada gejala lainnya, cara diagnosis antraks bisa
dilakukan dengan mengukur kadar antibodi atau racun dalam darah dan uji langsung
Bacillus anthracis dalam sampel darah, swab lesi kulit, cairan tulang belakang, atau
sekret pernapasan. Pengambilan sampel diambil sebelum pasien mulai meminum
antibiotik untuk pengobatan.
Untuk mendeteksi adanya Bacillus anthracis pada hewan melalui pemeriksaan
laboratorium adalah dengan metode isolasi dan identifikasi untuk menentukan agen
penyebab sesuai yang direkomendasikan WHO dan CDC. Metode ini dilakukan dengan
berbagai teknik tergantung jenis spesimen, yaitu spesimen yang masih baru dari hewan
tanpa pengawet, dengan pengawet, dan spesimen yang sudah lama, karkas yang sudah
membusuk, material yang sudah diproses, atau dari lingkungan. Untuk sampel yang
masih baru, hal yang biasa dilakukan adalah dengan melihat adanya kapsul maupun
bentuk kuman dengan pewarnaan polychrome methylene blue. Untuk sampel yang
sudah lama, sudah busuk, sudah diproses, atau sampel tanah, terlebih dahulu
dipanaskan pada 65°C selama 15 menit untuk kemudian ditanam pada media agar darah
atau agar yang mengandung polymyxin, lysozyme, EDTA, thallous acetate (PLET), dan
diinkubasikan 37°C selama 16 - 48 jam.
Pada lingkungan, keberadaan Bacillus anthracis hanya dapat dilihat jika terjadi
gejala klinis pada manusia atau hewan yang tinggal di tempat tersebut. Dengan kata
lain, tidak ada metode secara langsung yang dapat dilakukan untuk mengetahui
keberadaan Bacillus anthracis pada lingkungan.

d. Yersinia pestis
Orang yang mengalami gangguan kesehatan setelah pergi ke daerah endemik
pes wajib melakukan pemeriksaan untuk mengetahui keberadaan Yersinia pestis di
dalam tubuhnya. Tanda paling umum dari penyakit pes adalah perkembangan pesat dari
kelenjar getah bening yang bengkak dan menyakitkan yang disebut bubo. Adanya
gigitan kutu dapat membantu dokter untuk mempertimbangkan keberadaan Yersinia
pestis. Diagnosis dibuat dengan mengambil sampel dari pasien, terutama darah atau
bagian dari kelenjar getah bening yang membengkak, dan menyerahkannya untuk
pengujian laboratorium.
Apabila gejala Yersinia pestis sudah ada, baik pada manusia maupun hewan,
spesimen pra-perawatan harus diambil. Spesimen harus diperoleh dari tempat yang
tepat untuk mengisolasi bakteri, dengan beberapa metode seperti biopsi kelenjar getah
bening, kultur darah, sputum, sampel cucian bronkus/trakea. Dalam kasus di mana
organisme hidup tidak dapat dibiakkan, sampel jaringan limfoid, limpa, paru-paru, dan
hati atau sumsum tulang dapat dilakukan dengan metode deteksi langsung seperti
Direct Fluorescent Antibody (DFA) atau PCR.
Keberadaan Yersinia pestis di lingkungan biasanya terdapat pada tempat-tempat
bersarangnya hewan-hewan pengerat. Selain itu, biasanya terjadi wabah pada binatang
khususnya tikus sebagai tanda-tanda akan terjadi wabah pes di lingkungan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Zoonosis adalah jenis penyakit yang ditularkan melalui perantara hewan dan
disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Empat penyebab Zoonosis yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat terbesar di Indonesia adalah Rabies, Leptospira sp., Bacillus
anthracis, dan Yersinia pestis. Sebagian besar bakteri dan virus ini masuk ke dalam tubuh
melalui kulit kemudian barulah menyerang ke dalam organ-organ tertentu. Agar rantai
penularan penyakit zoonosis dapat berhenti, dibutuhkan kesadaran wawasan masyarakat
serta kebijakan pemerintah sehingga Indonesia dapat terbebas dari penyakit zoonosis.

B. Saran
Alangkah baiknya setiap individu selalu memperhatikan perilaku hewan yang
berkeliaran terutama di lingkungan rumah. Jika terlihat gejala yang mencurigakan,
laporkan langsung ke pusat layanan kesehatan terdekat. Selain itu, biasakanlah untuk
menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta perlu digalakkan vaksinasi
pada hewan yang memiliki kemungkinan besar terinfeksi bakteri atau virus.
DAFTAR PUSTAKA

"How is rabies transmitted? | Transmission | CDC." 11 Jun. 2019,


https://www.cdc.gov/rabies/transmission/index.html.

"Types of Anthrax | CDC." https://www.cdc.gov/anthrax/basics/types/index.html.

"Yersinia Pestis | CDC." https://www.cdc.gov/labtraining/training-courses/biothreat-


preparedness-sentinel/yersinia-pestis.html

[Internet]. CDC. 2021 [cited 17 April 2022]. Available from:


https://www.cdc.gov/rabies/about.html

[Internet]. CDC. 2021 [cited 17 April 2022]. Available from:


https://www.cdc.gov/rabies/index.html

[Internet]. CDC. 2021 [cited 17 April 2022]. Available from:


https://www.cdc.gov/leptospirosis/index.html

[Internet]. Infeksiemerging.kemkes.go.id. 2019 [cited 17 April 2022]. Available from:


https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/SE_Dirjen_P2P_Tentang_Peningkatan
_Kewaspadaan_Terhadap_Penyakit_PES_Black_Death.pdf

[Internet]. Pusdatin.kemkes.go.id. 2017 [cited 17 April 2022]. Available from:


https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-rabies-
2017.pdf

[Internet]. Pusdatin.kemkes.go.id. 2018 [cited 17 April 2022]. Available from:


https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/PROFIL_KESEHATAN_2018_1.pdf

8 Dari 34 Provinsi di Indonesia Bebas Rabies [Internet]. Sehat Negeriku. 2021 [cited 17 April
2022]. Available from:
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20200928/4735079/8-34-provinsi-
indonesia-bebas-rabies/

Adji R, Natalia L. The Control of Anthrax Disease: Diagnosis, Vaccination and Investigation.
Wartazoa [Internet]. 2006 [cited 17 April 2022];16(4). Available from:
https://medpub.litbang.pertanian.go.id/index.php/wartazoa/article/view/841

Admin RSUD. Penyakit Pes, Penyebab, Gejala dan Pencegahannya yang Sering Dianggap Flu
Biasa | Rumah Sakit Umum Daerah [Internet]. Rsud.bulelengkab.go.id. 2019 [cited 17
April 2022]. Available from:
https://rsud.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/penyakit-pes-penyebab-gejala-
dan-pencegahannya-yang-sering-dianggap-flu-biasa-34
Alfikri A, Sutiyah, Isawati. Wabah Penyakit Pes dan Upaya Penanggulangannya Di Kabupaten
Boyolali Tahun 1968-1979 [Internet]. Jurnal.uns.ac.id. 2020 [cited 17 April 2022].
Available from: https://jurnal.uns.ac.id/candi/article/view/44792/28318

Anthrax Infection Diagnosis and Testing [Internet]. cdc. 2021 [cited 17 April 2022]. Available
from: https://www.cdc.gov/anthrax/lab-testing/index.html

Bahaya Penyakit Rabies - Dinas Kesehatan Provinsi Bali [Internet]. Dinas Kesehatan Provinsi
Bali. 2019 [cited 17 April 2022]. Available from: https://diskes.baliprov.go.id/bahaya-
penyakit-rabies/

Cahyati W, Lestari F. HUBUNGAN KEBERSIHAN PRIBADI DAN RIWAYAT LUKA


DENGAN KEJADIAN LEPTOSPIROSIS. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2009;1:70-
79.

Diagnosis and Treatment [Internet]. cdc. 2019 [cited 17 April 2022]. Available from:
https://www.cdc.gov/plague/diagnosis/index.html

Diagnosis in animals and humans [Internet]. CDC. 2011 [cited 16 April 2022]. Available from:
https://www.cdc.gov/rabies/diagnosis/animals-humans.html

Irwan I, Lalu NS. Penanggulangan Penyakit Zoonosis Melalui Metode Oh –Smart. JPKM J
Pengabdi Kesehat Masy. 2020;1(1):14–23.

Kejadian Leptospirosis Akibat Banjir Tahun 2020 di DKI Jakarta dan Kaitannya dengan
Lingkungan – Envihsa FKM UI 2022 [Internet]. Envihsa.fkm.ui.ac.id. 2021 [cited 17
April 2022]. Available from: https://envihsa.fkm.ui.ac.id/2021/04/19/kejadian-
leptospirosis-akibat-banjir-tahun-2020-di-dki-jakarta-dan-kaitannya-dengan-
lingkungan/

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. Kemkes.go.id. 2020 [cited 17 April


2022]. Available from: https://www.kemkes.go.id/article/view/20012100001/antraks-
di-gunung-kidul-begini-cara-penanganannya.html

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. BUKU SAKU PETUNJUK TEKNIS


PENATALAKSANAAN KASUS GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES DI
INDONESIA [Internet]. Pspk.fkunissula.ac.id. 2016 [cited 17 April 2022]. Available
from:
https://pspk.fkunissula.ac.id/sites/default/files/BUKU%20SAKU%20RABIES%20MO
DUL%20TROPIS.pdf

Kusmiyati, et al. Animal and Human Leptospirosis in Indonesia. Wartazoa [Internet]. 2005
[cited 17 April 2022];15(4). Available from:
https://medpub.litbang.pertanian.go.id/index.php/wartazoa/article/view/820
Pasaribu R. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PARTISIPASI PEMILIK
ANJING DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI KECAMATAN
MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2018. [Internet]. 2018 [cited 17 April 2022];.
Available from:
https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/11975/167032120.pdf?sequenc
e=1&isAllowed=y

Prevention [Internet]. 2020 [cited 17 April 2022]. Available from:


https://www.cdc.gov/anthrax/prevention/index.html

Rabies Prevention | doh [Internet]. Dchealth.dc.gov. [cited 17 April 2022]. Available from:
https://dchealth.dc.gov/service/rabies-
prevention#:~:text=Tips%20to%20Prevent%20Rabies&text=Keep%20vaccinations%2
0current%20at%20all,those%20supervised%20by%20their%20owners.

Ramadhani T, Astuti N. Karakteristik Individu dan Kondisi Lingkungan Pemukiman di Daerah


Endemis Leptospirosis di Kota Semarang. Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan [Internet]. 2015 [cited 17 April 2022]. Available from:
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/MPK/article/view/4392

Resources for Clinicians [Internet]. cdc. 2022 [cited 17 April 2022]. Available from:
https://www.cdc.gov/plague/healthcare/clinicians.html

Riyadi A, Sunarno S. METODE DIAGNOSIS PENYAKIT LEPTOSPIROSIS DENGAN UJI


MICROSCOPIC AGGLUTINATION TEST. MEDIA BINA ILMIAH [Internet]. 2019
[cited 17 April 2022];14(2):2077. Available from:
https://ejurnal.binawakya.or.id/index.php/MBI/article/view/335

Sari I, Apriliana S. Gambaran Umum, Prevalensi, dan Pencegahan Antraks pada Manusia di
Indonesia. BALABA: JURNAL LITBANG PENGENDALIAN PENYAKIT
BERSUMBER BINATANG BANJARNEGARA. 2020;:135-148.

Satria, B. Apa Yang Dimaksud Dengan Leptospirosis?. Dictio Community. 2017. Available at:
<https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-leptospirosis/13483/2> [Accessed
17 April 2022].

Sudjatmiko T. Antibiotik Ampuh Usir Leptospirosis [Internet]. KRJogja. 2016 [cited 17 April
2022]. Available from: https://www.krjogja.com/angkringan/gaya-hidup/kesehatan-
dan-seksualitas/antibiotik-ampuh-usir-leptospirosis/

Symptoms [Internet]. 2021 [cited 17 April 2022]. Available from:


https://www.cdc.gov/plague/symptoms/index.html

Tanzil K. Penyakit rabies dan penatalaksanaannya Bagian Mikrobiologi Universitas Katolik


Indonesia Atma Jaya. E-journal WIDYA Kesehat dan Lingkung. 2017;1(1):61–7.
Widiastuti D, Djati A. Deteksi Leptospira Patogen Pada Tersangka Penderita Leptospirosis Di
Kabupaten Ponorogo. SPIRAKEL [Internet]. 2017 [cited 17 April 2022];7(1). Available
from: http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/spirakel/article/view/6126

Widjajanti W. Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan Leptospirosis. Journal of Health


Epidemiology and Communicable Diseases. 2020;5(2):62-68.

Anda mungkin juga menyukai