Anda di halaman 1dari 179

TESIS

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS


KEARIFAN LOKAL PADA K OMUNITAS SUKU
BAJO DI WAKATOBI

Oleh
Dinis Cahyaningrum
NIM 091524253004

PROGRAM STUDI MAGISTER


PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
TESIS

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS


KEARIFAN LOKAL PADA K OMUNITAS SUKU
BAJO DI WAKATOBI

Oleh
Dinis Cahyaningrum
NIM 091524253004

PROGRAM STUDI MAGISTER


PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

i
TESIS

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS


KEARIFAN LOKAL PADA KOMUNITAS SUKU BAJO
DI WAKATOBI

Oleh

Dinis Cahyaningrum
NIM 091524253004

PROGRAM STUDI MAGISTER


PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

ii
TESIS

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS


KEARIFAN LOKAL PADA KOMUNITAS SUKU BAJO
DI WAKATOBI

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Magister


Dalam Program Studi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Oleh:

Dinis Cahyaningrum
NIM 091524253004

PROGRAM STUDI MAGISTER


PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

iii
LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI


PADA TANGGAL : 30 JANUARI 2018

Oleh :
Pembimbing Ketua

Prof. Dr. Musta'in Mashud,Drs.,M.Si


NIP. 19600120 1986 041001

Pembimbing

Dr. Sutinah,Dra.,M.S
NIP. 19580816 1982 032001

Mengetahui :
Koordinator Program Studi Magister Pengembangan Sumber Daya Manusia
Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Dr. Windijarto,SE.,MBA.
NIP. 19630414 1988 101001

iv
Tesis ini telah diuji dan dinilai
Oleh Panitia Penguji pada Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Pada tanggal : 26 Januari 2018

PANITIA PENGUJI PENELITIAN TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bagong Suyanto,M.Si

Anggota : Prof. Dr. Musta'in Mashud,Drs.,M.Si

Dr. Sutinah,Dra.,M.Si

Dr. Dian Yulie Reindrawati,S.Sos.,MM

Dr. Sri Endah Nurhidayati,M.Si

v
LEMBAR ORISINILITAS

Yang beratanda tangan dibawah ini:


Nama : Dinis Cahyaningrum
NIM : 091524253004
Program Studi : Magister Pengembangan Sumber Daya Manusia
Judul Thesis : Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal Pada
Komunitas Suku Bajo di Wakatobi

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis saya ini adalah asli (hasil karya
sendiri) bukan merupakan hasil peniruan atau penjiplakan (Plagiarism) dari karya
orang lain.Tesis ini belum pemah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik.

Dalam tesis ini tidak terdapar pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan
orang lain,kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dengan
disebutkannama pengarang dan dicantumkan didalam daftar pustaka. Demikian,
pernyataan inidibuat tanpa adanya paksaan dari pihak manapun, apabila
pernyataan ini tidak benar,maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan
norma dan peraturan yang berlakudi Universitas Airlangga.

Surabaya, 26 Januari 2018

Dinis Cahyaningrum
091524253004

vi
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis dengan
judul: Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal Pada Komunitas Suku
Bajo di Wakatobi dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Keberhasilan
dalam penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari dukungan dari berbagai pihak, oleh
sebab itu saya ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1.Dodi K. Wibowo dan Giandra Una Yagami, yang telah mendukung dan
memotivasi.
2.Bapak dan Ibu, terimakasih atas dukungan moral dan materil yang selalu
diberikan kepada saya.
3.Kakak dan Adik yang selalu menjadi motivator dan penghibur bagi saya.
4.Prof. Dr. Musta'in Mashud,Drs.,M.Si dan Dr. Sutinah,Dra.,M.S atas Sutinah
dorongan, bimbingan, dan saran yang membangun untuk terselesaikanya
penulisan tesis.
5.Purwati Ayu Rahmi dan Kholifatul Wanda yang menemani saya dalam suka
dan duka selama menempuh jenjang magister PSDM.
6.Teman-teman seperjuangan dalam menempuh studi magister PSDM.
7.Teman-teman di Wanci, khususnya Mbak Esti dan Mama Nurul yang telah
membantu saya dalam pengumpulan data.
8.Suluruh responden yang terkait dalam penulisian tesis ini.
9.Pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terkait dalam
penulisian tesis ini
Surabaya, 26 Januari 2018

Dinis Cahyaningrum
091524253004

vii
RINGKASAN

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal Pada Komunitas Suku Bajo di


Wakatobi

Dinis Cahyaningrum

Sektor pariwisata akan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang penting
dalam suatu negara. Pariwisata merupakan salah satu bidang yang memiliki peran
penting dalam pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, termasuk di negara
Indonesia. Pariwisata memiliki potensi untuk menciptakan lapangan pekerjaan
dan meningkatkan pendapatan bagi masyarakat lokal, dengan syarat masyarakat
lokal ikut terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata.
Pemberdayaan Masyarakat berbasis kearifan lokal dilakukan dengan melibatkan
masyarakat sehingga dapat memberi keberdayaan bagi masyarakat lokal dalam
kegiatan pariwisata. Studi ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang
pemberdayaan Masyarakat berbasis kearifan lokal di Perkampungan Suku Bajo,
Wakatobi untuk meningkatkan keberdayaan komunitas suku bajo dalam bidang
pariwisata. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Pemberdayaan,
Teori Modal Sosial, Teori Komodifikasi. Pendekatan konsep yang digunakan
adalah pendekatan kearifan lokal, partisipasi masyarakat dan jaringan sosial.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menggunakan data primer serta
data sekunder melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.


Hasil penelitian ini adalah Suku Bajo di Wakatobi memiliki beberapa
kearifan lokal yang menjadi daya tarik pariwisata di antaranya adalah (1)
Pengobatan Tradisional (Maduai Kakka, Maduai Tuli, Maduai Kutta, Kadilaok
Kadara, Duata), (2) Makanan Khas Suku Bajo (Kasuami, Parede, Titta, Lowar),
(3) Menyuluh, (4) Meti (Mencari Tetehe/Bulu Babi), (5) Bedak Pupur, (6) Perahu
Suku Bajo (body batang, lepa kaloko, lepa dibura, soppe, dan lambo), (7)
Carumeng, (8) Pemukiman Suku Bajo, (9) Kain tenun Khas Bajo (Kain Ledja dan
Kasopa).
Upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kearifan lokal yang dimiliki
oleh masyarakat suku Bajo antara lain, (1) Mengumpulkan dan menyusun kembali
budaya-budaya suku Bajo. (2) Pengenalan budaya kepada generasi suku Bajo
sedini mungkin. (3) Mengusung kearifan lokal Suku Bajo di desa Mola sebagai
paket wisata unggulan di perkampungan Bajo.
Dalam Pemberdayaan Masyarakat menuju kemandirian yang dilakukan di
perkampungan Bajo antara lain, (1) Kepresidenan Suku Bajo, (2) Pemberian
Akses kepada Komunitas Bajo dalam Bidang Pariwisata, (3) Pembentukan UKM
dan Pelatihan – Pelatihan bagi Komunitas Bajo, (4) Pembentukan Lembaga yang
memfasilitasi pariwisata suku Bajo, (5) Kerjasama dan perluasan jaringan dalam
bidang paeiwisata.

viii
Terdapat beberapa hambatan yang dihadapi dalam pemberdayaan
masyarakat dalam bidang pariwisata antara lain, (1) Kebiasaan membuang
sampah sembarangan. (2) Anggapan suku Bajo bahwa uang masih menjadi hal
utama yang dapat memberikan hasil yang memuaskan. (3) Pelatihan yang tidak
tepat sasaran. (4) Ketergantungan masyarakat Bajo terhadap pihak lain dalam
pengembangan pariwisata. (5) Kurang sadarnya masyarakat Bajo akan potensi
pariwisata yang mereka miliki. (6) Adanya operator tour dari luar yang tidak
menganggap keberadaan pengelola pariwisata di perkampungan Bajo.

ix
SUMMARY

Community Empowerment Based Local Wisdom of Bajo Community in


Wakatobi

Dinis Cahyaningrum

The tourism sector will be one of the important economic activities within
a country. Tourism is one area that has an important role in economic growth in
developing countries, including in Indonesia. Tourism has the potential to create
jobs and increase income for local communities, provided that local communities
are involved in tourism development and management. Community empowerment
based on local wisdom is done by involving the community so as to provide
empowerment for local people in tourism activities. This study was conducted to
find out more about the community empowerment based on local wisdom in Bajo
village, Wakatobi to improve the empowerment of Bajo community in the field of
tourism. The theory used in this research is Empowerment Theory, Social Capital
Theory, Commodification Theory. The concept approach used is the approach of
local wisdom, community participation and social networking. This research uses
qualitative approach, using primary data and secondary data through observation,
interview and documentation. Data analysis technique used in this research is
qualitative.
The result of this research is Bajo in Wakatobi has some local wisdom
which become tourism attraction among them, they are (1) Traditional Medication
(Maduai Kakka, Maduai Tuli, Maduai Kutta, Kadilaok Kadara, Duata), (2) Bajo
Traditional Food (Kasuami, Parede, Titta, Lowar), (3) Menyuluh, (4) Meti (look
for Tetehe/sea urchin), (5) Bedak Pupur (Pupur Powder), (6) Bajo Traditional
Boats (body batang, lepa kaloko, lepa dibura, soppe, and lambo), (7) Carumeng
(Bajo’s Gogles), (8) Bajo Settlements, (9) Bajo Traditional Woven Fabrics (Ledja
and Kasopa).
Efforts are made to maintain local wisdom possessed by Bajo community,
they are (1) Recollect and rearrange Bajo cultures. (2) The introduction of culture
to the generation of the Bajo tribe as early as possible. (3) Carrying the local
wisdom of Bajo Tribe in the village of Mola as a leading tourist package in the
village of Bajo.
In Community Empowerment towards independence conducted in Bajo
village, they are (1) Bajo Presidency, (2) Provision of Access to Bajo Community
in Tourism, (3) SME Establishment and Training for Bajo Community, (4)
Establishment of Institution which facilitate the tourism of the Bajo tribe, (5)
Cooperation and network expansion in the field of tourism.

x
There are several obstacles faced in community empowerment in the field
of tourism, they are (1) The habit of littering, (2) Bajo tribe assumption that
money is still the main thing that can give satisfying results. (3) Training that is
not on target. (4) Bajo community dependency on other party in tourism
development. (5) Bajo’s lack of awareness of the tourism potential they have. (6)
The presence of tour operators from outside who do not consider the existence of
tourism managers in the village of Bajo.

xi
ABSTRAK

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal Pada Komunitas Suku Bajo di


Wakatobi

Dinis Cahyaningrum

Sektor pariwisata akan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang penting
dalam suatu negara. Pariwisata merupakan salah satu bidang yang memiliki peran
penting dalam pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, termasuk di negara
Indonesia. Pariwisata memiliki potensi untuk menciptakan lapangan pekerjaan
dan meningkatkan pendapatan bagi masyarakat lokal, dengan syarat masyarakat
lokal ikut terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata.
Pemberdayaan Masyarakat berbasis kearifan lokal dilakukan dengan melibatkan
masyarakat sehingga dapat memberi keberdayaan bagi masyarakat lokal dalam
kegiatan pariwisata. Studi ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang
pemberdayaan Masyarakat berbasis kearifan lokal di Perkampungan Suku Bajo,
Wakatobi untuk meningkatkan keberdayaan komunitas suku bajo dalam bidang
pariwisata. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Pemberdayaan,
Teori Modal Sosial, Teori Komodifikasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, menggunakan data primer serta data sekunder melalui observasi,
wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kualitatif.


Hasil penelitian ini adalah bahwa tradisi lokal Suku Bajo yang ada sejak
turun temurun diperkuat sehingga dapat dijadikan sebagai objek wisata bernilai
ekonomis tinggi guna meningkatkan ekonomi masyarakat Suku Bajo yang
mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan tradisional. Terdapat beberapa
upaya dalam pemberdayaan masyarakat Bajo dalam bidang pariwisata. Kearifan
lokal yang dimiliki oleh Suku Bajo dapat menjadi modal sosial untuk
memberdayakan masyarakatnya berbaur dengan kegiatan pariwisata. Dengan
begitu sumber daya alam, budaya, industri, kearifan lokal, dan sumber daya lokal
yang dimiliki oleh masyarakat lokal yang dapat dijadikan sebagai objek dan daya
tarik wisata pariwisata tetap terjaga kelestariannya. Masyarakat Suku Bajo juga
mendapatkan keuntungan ekonomi yang digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat sekitar kawasan wisata

Kata Kunci : Kearifan Lokal, Modal Sosial, Pemberdayaan Masyarakat, Suku


Bajo

xii
ABSTRACT

Community Empowerment Based Local Wisdom of Bajo Community in


Wakatobi

Dinis Cahyaningrum

The tourism sector will be one of the important economic activities within
a country. Tourism is one area that has an important role in economic growth in
developing countries, including in Indonesia. Tourism has the potential to create
jobs and increase income for local communities, provided that local people are
involved in tourism development and management. Community empowerment
based on local wisdom is done by involving the community so as to give
empowerment for the community in tourism activities. This study was conducted
to find out more about the Community empowerment based on local wisdom in
Bajo Village, Wakatobi to improve the empowerment of Bajo community in the
field of tourism. The theories used in this research are Empowerment Theory,
Social Capital Theory, Commodification Theory. This research uses qualitative
approach, using primary data and secondary data through observation, interview
and documentation. Data analysis technique used in this research is qualitative.
The result of this research is Bajo tradition that has been strengthened
from generation to generation can be used as an economical tourism object to
improve the economy of Bajo whose livelihood is mostly as traditional fisherman.
There are several efforts in the empowerment of Bajo society in the field of
tourism. Local wisdom possessed by the Bajo can be a social capital to empower
its people to blend in tourism activities. With such natural resources, culture,
industry, local wisdom, and local resources owned by local communities that can
be used as objects and tourism attractions are maintained its sustainability. Bajo
Community also gets the economic benefits used to improve the welfare of people
living around the tourism area.

Keywords: Local Wisdom, Social Capital, Community Empowerment, Bajo


Community

xiii
DAFTAR ISI

Sampul Depan...........................................................................................................i
Sampul Dalam...........................................................................................................ii
Prasyarat Gelar.........................................................................................................iii
Lembar Pengesahan..................................................................................................iv
Panitia Penguji Thesis...............................................................................................v
Lembar Orisinalitas..................................................................................................vi
Ucapan Terima Kasih..............................................................................................vii
Ringkasan ...............................................................................................................viii
Summary ..................................................................................................................x
Abstrak.....................................................................................................................xii
Abstract...................................................................................................................xiii
Daftar isi..................................................................................................................xiv
Daftar Tabel.............................................................................................................xvi
Daftar Gambar........................................................................................................xvii
Daftar Lampiran.....................................................................................................xviii

BAB I PENDAHULUAN
1.1...................................................................................................... Latar Belakang Masalah
........................................................................................................................1
1.2.......................................................................................................... Rumusan Masalah
.......................................................................................................................11
1.3........................................................................................................... Tujuan Penelitian
.......................................................................................................................12
1.4.......................................................................................................... Manfaat Penelitian
.......................................................................................................................12
1.4.1 Manfaat Akademik...............................................................................12
1.4.2 Manfaat Praktis....................................................................................12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Penelitian Terdahulu....................................................................................13
2.2. Landasan Teori.............................................................................................18
2.3. Kerangka Berpikir........................................................................................45

BAB III METODE PENELITIAN


3.1. Tipe Penelitian.............................................................................................47
3.2. Isu-isu Penelitian..........................................................................................48
3.2.1. Potensi Kearifan Lokal Suku Bajo.....................................................48

xiv
3.3.2. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal........................48
3.3. Lokasi Penelitian..........................................................................................50
3.4. Teknik Penentuan Informan/Subjek............................................................50
3.5. Metode Pengumpulan Data..........................................................................51
3.6. Teknik Analisa Data....................................................................................53

BAB IV HASIL & PEMBAHASAN


4.1. Gambaran Suku Bajo di Desa Mola dan Desa Samabahari, Wakatobi.......55
4.2. Profil Informan.............................................................................................58
4.2.1 Bapak Samran...................................................................................59
4.2.2 Bapak Rosman..................................................................................59
4.2.3 Ibu Sartini..........................................................................................60
4.2.4 Ibu Hapsah........................................................................................61
4.2.5 Ibu Royani.........................................................................................62
4.2.6 Bapak Mukmin Rabana.....................................................................62
4.2.7 Bapak Rustam...................................................................................63
4.2.8 Bapak Iskandar..................................................................................63
4.2.9 Bapak Pondang.................................................................................64
4.2.10 Bapak Jabira....................................................................................64
4.3. Kearifan Lokal Suku Bajo...........................................................................65
4.3.1Tradisi Pengobatan Suku Bajo.............................................................69
4.3.1.1 Pengobatan Kaka....................................................................72
4.3.1.2 Pengobatan Tuli......................................................................73
4.3.1.3 Pengobatan Kutta....................................................................74
4.3.1.4 Pengobatan Kadilaok Kadari..................................................75
4.3.1.5 Pengobatan Duata...................................................................75
4.3.2 Makanan Khas Suku Bajo...................................................................79
4.3.3 Menyuluh............................................................................................81
4.3.4 Meti (Mencari Tetehe)........................................................................83
4.3.3 Bedak Pupur........................................................................................85
4.3.6 Perahu Khas Bajo................................................................................86
4.3.7 Carumeng............................................................................................88
4.3.8 Pemukiman Suku Bajo........................................................................89
4.3.9 Kain Tenun Tradisional Bajo..............................................................91
4.4. Suku Bajo dalam Mempertahankan Kearifan Lokal....................................95
4.5. Pemberdayaan Masyarakat Pada Komunitas Suku Bajo dalam Bidang
Pariwisata....................................................................................................102
4.5.1 Kepresidenan Suku Bajo....................................................................106
4.5.2Pemberian Akses Kepada Komunitas Suku Bajo dalam Bidang
Pariwisata...........................................................................................108
4.5.3 Pembentukan UKM dan Pelatihan bagi Komunitas Bajo..................114
4.5.4 Pembentukan Lembaga yang Memfasilitasi Pariwisata Suku Bajo...122
4.5.5 Kerjasama dan Perluasan Jaringan dalam Bidang Pariwisata............132
4.6. Hambatan dalam Perkembangan Pariwisata di Perkampungan Bajo.........137

xv
BAB V Kesimpulan & Saran
5.1. Kesimpulan.................................................................................................146
5.2. Saran dan Rekomendasi...........................................................................147
Daftar Pustaka.........................................................................................................150
Lampiran ................................................................................................................158

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Populasi Suku Bajo di Wakatobi............................................................6


Tabel 1.2. Data Kunjungan Wisatawan di Wakatobi...............................................8
Tabel 4.1. Bentuk & Sasaran Kegiatan Pemberdayaan .......................................105

xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Peta Persebaran Suku Bajo di Kabupaten Wakatobi...........................5
Gambar 4.1. Pemukiman Suku Bajo di Desa Mola.................................................56
Gambar 4.2. Pemukiman Suku Bajo di Desa Samabahari.......................................57
Gambar 4.3. Prosesi Pengobatan Duata...................................................................77
Gambar 4.2. Kasuami, Makanan Khas Suku Bajo...................................................80
Gambar 4.3. Suku Bajo, Menyuluh dan Berjalan di Bawah Laut............................82
Gambar 4.4 Anak Bajo Mencari Tetehe (Meti)......................................................84
Gambar 4.5. Penjual Tetehe.....................................................................................84
Gambar 4.6. Perempuan Bajo memakai Bedak Pupur.............................................85
Gambar 4.7. Pembuat Carumeng.............................................................................89
Gambar 4.8. Pemukiman Suku Bajo........................................................................90
Gambar 4.9. Pusat Informasi Pariwisata LEPA – MOLA .....................................129

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rencana Panduan Wawancara Penelitian...........................................159

xviii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pariwisata merupakan salah satu bidang yang memiliki peran penting dalam

pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, termasuk di negara Indonesia.

Pariwisata memiliki potensi untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan

meningkatkan pendapatan bagi masyarakat lokal, dengan syarat masyarakat lokal

ikut terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata. Perkembangan

pariwisata merupakan sarana untuk mengurangi kemiskinan daerah terpencil dan

masyarakat etnis pedesaan, meningkatkan kualitas hidup lokal, serta melindungi

dan melestarikan sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat. Namun,

tanpa keterlibatan dan partisipasi masyarakat lokal maka akan menjadi bumerang

bagi masyarakat lokal dan pariwisata tersebut. Hal ini dapat merugikan

masyarakat lokal, kerusakan sumber daya alam, dan budaya setempat.

Indonesia memiliki ratusan komunitas etnis yang mendiami wilayah tertentu

dengan ciri khas masing-masing yang memperkaya ragam budaya Indonesia. Di

era otonomi daerah, keragaman budaya ini dapat menjadi sumber pendapatan

APBD melalui sektor pariwisata. Sektor pariwisata akan menjadi salah satu

kegiatan ekonomi yang penting dalam suatu negara. Apabila dikembangkan

secara berencana dan terpadu maka peran sektor parwisata akan melebihi sektor

lainnya. Namun, perkembangan pariwisata seringkali tidak diiringi dengan

pengembangan sumber daya manusia sehingga terjadi ketidakseimbangan antara

1
2

perkembangan pariwisata dengan sumber daya manusia yang memadai untuk

mengelola pariwisata tersebut.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang

RIPPARNAS 2010 – 2025 , Kementerian Pariwisata mengambil langkah untuk

mendorong kemajuan kepariwisataan nasional dengan cara, (1) Menciptakan,

meningkatkan kualitas produk dan pelayanan kepariwisataan serta kemudahan

pergerakan wisatawan di destinasi pariwisata; (2) Mendorong penguatan struktur

industri pariwisata, peningkatan daya saing produk pariwisata, penguatan

kemitraan usaha pariwisata, penciptaan kredibilitas bisnis, dan pengembangan

tanggung jawab terhadap lingkungan; (3) Menciptakan, mengkomunikasikan,

menyampaikan produk wisata dan mengelola relasi dengan wisatawan untuk

mengembangkan kepariwisataan seluruh pemangku kepentingannya; (4)

Mengembangkan organisasi kepariwisataan, SDM pariwisata untuk

mendukungdan meningkatkan kualitas pengelolaan dan penyelenggaraan kegiatan

Kepariwisataan di Destinasi Pariwisata (kemenpar.go.id).

Adapun 10 destinasi yang menjadi prioritas pemerintah dalam pengembangan

kepariwisataan nasional pada periode tahun 2015 – 2019 yakni (1) Danau Toba

(Sumatera Utara), (2) Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), (3) Kepulauan Seribu

(DKI Jakarta), (4) Tanjung Lesung (Banten), (5) Borobudur (Jawa Tengah), (6)

Bromo Tengger Semeru (Jawa Timur), (7) Mandalika (Nusa Tenggara Barat), (8)

Wakatobi (Sulawesi Tenggara), (9) Pulau Morotai (Maluku Utara), (10) Labuan

Bajo (NTT). Kesepuluh destinasi wisata tersebut mendapatkan perhatian lebih


3

dari pemerintah dalam percepatan pembangunan destinasi pariwisata serta

prioritas pemasaran pariwisata (kemenpar.go.id).

Pengembangan kepariwisataan nasional tentunya tidak lepas dari keterlibatan

berbagai pihak termasuk masyarakat sebagai subyek yang berdampingan dengan

keberlangsungan pariwisata itu sendiri sebagai pihak pengelola yang terlibat

secara langsung. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu pilar dalam

strategi pengembangan tujuan pariwisata. Dengan harapan masyarakat menjadi

tuan rumah bagi wisatawan yang berkunjung ke daerahnya. Upaya untuk

meningkatkan pemberdayaan masyarakat antara lain meliputi kegiatan

peningkatan sadar wisata dan potensi usaha masyarakat di bidang pariwisata.

Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pariwisata secara tidak

langsung mendorong tumbuhnya lapangan pekerjaan baru. Dengan memiliki

SDM pariwisata yang memiliki kompetensi yang baik, maka pembangunan

kepariwisataan dapat dilakukan secara optimal.

Beberapa program pariwisata lebih banyak dikembangkan oleh Private

Operator. Perkembangan pariwisata yang signifikan dengan menjamurnya Private

Operator, sering kali tidak diringi dengan sumber daya manusia yang mamadai

dari masyarakat lokal. Orang lokal sering tidak dianggap sebagai pemangku

kepentingan pariwisata. Ketidakseimbangan antara pertumbuhan industri wisata

yang cepat di suatu daerah dan kurangnya sumber daya yang memadai dalam

menajemen industri pariwisata berdampak negatif masyarakat lokal (Keovilay,

2012).
4

Pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal bertujuan memberdayakan

masyarakat untuk berbaur dengan kegiatan pariwisata. Dengan begitu, sumber

daya alam, budaya, industri, kearifan lokal, dan sumber daya lokal yang dimiliki

oleh masyarakat lokal yang dapat dijadikan sebagai objek dan daya tarik wisata

pariwisata tetap terjaga kelestariannya. Selain itu masyarakat lokal mendapatkan

keuntungan ekonomi yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup

masyarakat sekitar kawasan wisata.

Salah satu etnis masyarakat yang memiliki keunikan adat budaya adalah suku

Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Suku Bajo dahulunya hidup secara

nomaden di atas perahu. Mereka tinggal dan beraktivitas di atas perahu yang

disebut dengan soppe secara berkelompok dalam setiap keluarga. Perahu bagi

suku Bajo ibarat rumah dan merupakan kebutuhan utama yang sangat berharga.

Di perahu segala aktivitas di lakukan, mulai dari makan, tidur, ritual keagamaan,

bermain untuk anak-anak bahkan melahirkan pun kadang dilakukan di atas

perahu. Mereka menetap di dekat pantai hanya pada musim-musim tertentu ketika

perairannya tenang sambil memperbaiki perahu dan alat-alat untuk menangkap

ikan serta hasil laut lainnya, mengadakan kegiatan sosial seperti perkawinan,

sunatan, penguburan, dan upacara lainnya (Suryanegara, 2015).

Perkembangan zaman membuat suku Bajo yang sebelumnya hidup

mengembara (nomaden) menjadi tinggal menetap di wilayah pesisir dan laut

sekitar. Sudah banyak suku Bajo yang menyebar di sepanjang pantai dan

membuat rumah permanen sebagai tempat tinggal. Beberapa permukiman suku

Bajo yang telah menetap dengan jumlah populasi yang cukup besar ditemukan di
5

sepanjang pesisir pantai Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Moto yang

dianut para Suku Bajo yaitu lao denakangku yang berarti lautan adalah saudaraku.

Mereka percaya bahwa dengan menjaga lautan maka lautan juga akan menjaga

mereka (Suryanegara, 2015).

Gambar 1.1. Peta Persebaran Suku Bajo di Kabupaten Wakatobi

Sumber : Data Peneliti (2017)

Kehidupan masyarakat Bajo pada periode ini, ditandai dengan pola

pemukiman yang mulai menetap di beberapa wilayah di nusantara, dengan

mendirikan rumah panggung di atas air pada kawasan pantai. Saat ini,

permukiman Suku Bajo di sepanjang perairan Kepulauan Wakatobi merupakan

salah satu permukiman dengan jumlah populasi suku Bajo terbesar di nusantara.
6

Lokasi permukiman suku Bajo di Wakatobi tersebar di beberapa pulau,

diantaranya di Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, dan Tomia.

Tabel 1.1. Populasi Suku Bajo Di Wakatobi


Suku
No Kecamatan Luas Penduduk Kepadatan Suku
Bajo
KM2 Bajo
(%)
1. Binongko 93 8.176 88

2. Togo Binongko 63 4.550 72

3. Tomia 47 7.038 149 1.033 11,13

4. Tomia Timur 68 7.777 115

5. Kaledupa 46 10.531 231 1.886 20,32

6. Kaledupa Selatan 59 7.150 122

7. Wangi-Wangi Selatan 447 49.567 223 6.363 68,55

Mola Selatan 2.010

Mola Utara 798

Mola Nelayan bakti 1.651

Mola Samaturu 876

Mola Bahari 1.028

Jumlah di Wakatobi 823 94.789 1000 9.282

Sumber : (Data BPS,2015 dan Data Desa ,2015)

Berdasarkan Tabel 1.1 jumlah penduduk suku Bajo di Kepulauan Wakatobi

sebanyak 9.282 orang yang tersebar di beberapa desa. Desa Mola yang terletak di

Kecamatan Wangi-wangi Selatan merupakan desa terbesar komunitas suku Bajo

di Wakatobi, sebesar 68,55% suku Bajo bermukim di sana dengan jumlah

penduduknya 6.363 orang (Data BPS, 2015 & Data Desa, 2015).
7

Mata pencaharian utama suku Bajo adalah mencari ikan dengan cara yang

masih terbilang tradisional, seperti memancing, memanah, dan menjaring ikan.

Ikan-ikan tersebut nantinya dijual kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau

terdekat. Suku Bajo juga dikenal sebagai penyelam ulung, mereka mampu

bertahan menyelam selama berjam-jam di kedalaman 10-20 meter untuk berburu

ikan dengan tombaknya yang berkait dan senjata buatan sendiri. Selain ikan,

mereka juga mencari kerang mutiara dan juga mengumpulkan rumput laut,

teripang, dan sirip ikan hiu yang memiliki harga cukup tinggi (Suryanegara,

2015).

Tradisi lokal suku Bajo yang ada sejak turun-temurun diperkuat sehingga

dapat dijadikan sebagai objek wisata bernilai ekonomis tinggi guna meningkatkan

ekonomi nelayan tradisional. Pengembangan wisata bahari diharapkan bisa

mengangkat kehidupan sosial ekonomi suku Bajo, terutama bagi masyarakat yang

bermukim dekat dengan kawasan wisata yang pada bulan-bulan tertentu selalu

ramai oleh kunjungan wisata mancanegara dalam rangka penelitian ataupun hanya

sekedar berkunjung. Sesungguhnya kedatangan wisatawan mancanegara ini

merupakan peluang bagi penduduk desa yang mayoritas etnik Bajo menambah

penghasilan dengan menyediakan jasa pengayuh perahu ke tempat-tempat yang

disakralkan, menunjukan ritual-ritual tradisi Bajo dalam mengelola sumberdaya

perikanan, serta membuat dan berjualan cinderamata khas Suku Bajo. Apabila

aktivitas nelayan suku Bajo ini berlangsung secara terus-menerus, aktivitas ini

dapat memberikan sumbangsih bagi lingkungan yaitu mengurangi ketergantungan

nelayan suku Bajo terhadap sumber daya laut.


8

Dalam lima tahun terakhir kunjungan wisata di Wakatobi mengalami

peningkatan. Peningkatan kunjungan wisata ini juga diikuti oleh perkembangan

sarana dan prasarana pariwisata. Pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan

lokal dilakukan dengan melibatkan penduduk lokal sehingga dapat memberi

keberdayaan bagi mereka dalam kegiatan pariwisata. Studi ini dilakukan untuk

mengetahui lebih jauh tentang dinamika masyarakat dalam pemberdayaan

masyarakat berbasis kearifan lokal di Perkampungan Suku Bajo, Wakatobi untuk

meningkatkan keberdayaan komunitas suku Bajo dalam bidang pariwisata.

Tabel 1.2. Data Kunjungan Wisatawan di Wakatobi


2.

3.

4.

5.

6.
Sumber : Data Dinas Pariwisata & Ekonomi Kreatif Kabupaten Wakatobi, 2016

Tabel 1.2. menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan

yang berkunjung ke Wakatobi dari tahun ke tahun. Data diambil sejak Pemerintah

Kabupaten Wakatobi mempromosikan Destinasi Wisata Wakatobi hingga level

Internasional pada tahun 2011. Promosi yang dilakukan oleh Pemerintah

Wakatobi terus dilakukan, diawali dengan pertumbuhan kunjungan wisatawan

pada tahun 2011 mencapai 61,94 % dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan jumlah
9

kunjungan wisata ini selalu meningkat hingga akhir tahun 2016. Pemerintah

menargetkan kawasan Wakatobi sebagai pusat biodiversitas bawah laut, kawasan

pariwisata olahraga air, dan kawasan pariwisata berbasis marina yang mampu

meningkatkan kunjungan wisman sebanyak 500 ribu pada tahun 2019

(kemepar.go.id).

Meningkatnya jumlah wisatawan setiap tahunnya ternyata membawa dampak

negatif untuk Kabupaten Wakatobi. Seperti yang dijelaskan pada penelitian Udu

(2012) menyatakan bahwa penunjukan dan penetapan Wakatobi sebagai Taman

Nasional telah membawa konsekuensi yang berbeda antara masyarakat adat,

pemerintah Kabupaten Wakatobi dan pemerintah pusat melalui Taman Nasional

Wakatobi (TNW). Pemeritah pusat melalui TNW telah menuntut dilakukannya

perlindungan dan konservasi yang ketat di wilayah TNW, sementara pemerintah

Wakatobi berkepentingan untuk mengelolah pembangunan Wakatobi yang jelas

akan bersebrangan dengan tujuan TNW. Seperti halnya, adanya kebijakan tentang

penetapan situs sakral bagi suku Bajo menjadi daerah perlindungan laut yaitu

sebagai zona pemanfaatan pariwisata, berakibat pada tergerusnya kepercayaan

masyarakat, dimana situs keramat merupakan sesuatu yang diyakini sebagai

tempat tinggal penguasa laut oleh suku Bajo dan orang lokal sebagai Gurita yang

merupakan saudara dari penduduk setempat, akan tetapi saat ini tempat tersebut

tidak lagi dianggap sebagai situs keramat karena lokasi ini menjadi tempat diving

yang indah dan disukai oleh wisatawan.

Jumlah wisatawan yang semakin meningkat membawa dampak negatif bagi

masyarakat sekitar yaitu ramainya wisatawan yang berenang di situs keramat,


10

khususnya di daerah laut dangkal. Banyak dari nelayan tradisional yang

mengeluhkan tentang perilaku wisatawan tersebut, ternyata wisatawan juga

melakukan pembiusan terhadap ikan secara sembunyi-sembunyi, dimana nelayan

seringkali mendapatkan ikan mati terapung ketika mereka berkeliling dengan

menggunakan kapal (Udu, 2012). Kegiatan ini menunjukkan aktivitas berbahaya

di tempat ini. Di samping itu, mereka mengeluhkan tentang hilangnya berbagai

biota laut seperti lobster dan karang yang bernilai ekonomis tinggi. Suku Bajo pun

dianggap masih belum bisa memasarkan cinderamata khas Wakatobi dan juga

tidak kreatif dalam membudidayakan hasil laut. Selain itu, kekurangan air bersih

dan rusaknya jalan masih mewarnai di sejumlah tempat wisata di Wakatobi.

Kekurangan ini yang akan menjadi fokus Kemenko Maritim untuk melakukan

akselerasi membenahi Wakatobi (Delimunthe, 2015).

Pemerintah melakukan peningkatan atraksi di Wakatobi, salah satunya

dengan cara penataan Kampung Adat Suku Bajo sebagai wisata budaya, dan

pembentukan Agenda Festival rutin (kemenpar.go.id). Pemerintah ingin

memberikan pembekalan pada masyarakat suku Bajo untuk ikut serta dalam

pengembangan pariwisata di Wakatobi, khususnya di perkampungan mereka

masing-masing. Pemerintah ingin membekali pelatihan dan pendidikan yang

berfokus pada pengelolaan pariwisata yakni basic science of tourism, yakni cara

melayani turis, bersikap ramah, membangun dan mengelola dermaga, menjadi

penyelamat daerah wisata, memelihara kebersihan pantai, ilmu tentang biota laut

berikut nama-nama latinnya dan menjadi wiraswasta yang bisa menjual budidaya

Wakatobi (Delimuthe, 2015). Seperti yang diungkapkan oleh Deputi IV Bidang


11

Kordinasi SDM, IPTEK dan Budaya Maritim pada Kemenko Maritim dan

Sumber Daya Syafri Burhanudin,

“ ..., Jangan sampai masyarakat Bajo atau Wakatobi hanya menjadi


penonton dan tidak nikmatin hasil pariwisata daerahnya, ... Bisa manggil
lumba-lumba itu atraksi wisata yang unik di Wakatobi, terutama Suku Bajo.
Tapi memang banyak masyarakat yang masih belum bisa memasarkan
gimana kearifan lokal dan budaya perumahan di Wakatobi, gimana nama
ikannya, terumbu karang, perumahan adatnya. Kalo cuma diving atau
lautkan di luar negeri banyak seperti Maldive. Tapi negara luar tidak ada
budaya dan kearifan lokal yangbisa dijual. Buat ceita menarik tentang
masyarakat Bajo atau Wakatobi, semua terintegrasi” (Delimunthe, 2015)

Melihat potensi yang dimiliki oleh suku Bajo dan dampak negatif yang

mempengaruhi masyarakat lokal, pemerintah berupaya untuk mengembangkan

pariwisata di daerah pemukiman suku Bajo. Hal ini sesuai dengan konteks

pemberdayaan, sebenarnya terkandung unsur partisipasi yaitu bagaimana

masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil

pembangunan. Pemberdayaan mementingkan adanya pengakuan subyek akan

kemampuan atau daya (power) yang dimiliki objek. Secara garis besar, proses ini

melihat pentingnya proses ini melihat pentingnya mengalih fungsikan individu

yang tadinya obyek menjadi subjek (Suparjan dan Hempri, 2003).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut,

1. Bagaimana masyarakat suku Bajo mampu mempertahankan kearifan lokal

sebagai modal sosial untuk mengembangkan pariwisata di perkampungan

suku Bajo, Wakatobi?


12

2. Bagaimana kearifan lokal didayagunakan dalam pemberdayaan

masyarakat pada bidang pariwisata di Perkampung Suku Bajo Wakatobi?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis tentang potensi

kearifan lokal suku Bajo yang dapat dikembangkan menjadi modal sosial serta

mempertahankannya dan Pemberdayaan Masyarakat kepada komunitas suku Bajo

berbasis kearifan lokal dalam pengembangan pariwisata di Wakatobi. Selain itu

juga untuk menganalisis tentang kemampuan pemberdayaan masyarakat dalam

mempertahankan kearifan lokal.

1.4. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian akan berharga jika memberikan manfaat tidak hanya bagi

peneliti tetapi juga pihak lain. Manfaat dari hasil penelitian ini antara lain,

1.4.1. Manfaat Akademik

Secara akademik penelitian ini memberikan manfaat pengetahuan

tentang pemberdayaan masyarakat dalam komunitas etnis dengan melihat

kearifan lokal sebagai modal sosial. Serta kemampuan kearifan lokal

didayagunakan dalam Pemberdayaan Masyarakat.

1.4.2. Manfaat Praktis

Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat atau lembaga

pemerintahan terkait konsep pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan


13

lokal sebagai modal sosial. Serta kemampuan mempertahankan kearifan lokal

dan kearifan lokal didayagunakan dalam Pemberdayaan Masyarakat.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian-penelitian

terdahulu yang pernah dilakukan sebagai bahan perbandingan dan kajian. Adapun

hasil-hasil penelitian yang dijadikan perbandingan tidak terlepas dari topik

penelitian yaitu mengenai Pemberdayaan Masyarakat berbasis Kearifan lokal.

Penelitian yang pertama adalah Syahrul Ibad (2016) yang berjudul “Kearifan

Lokal Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pembangunan

Sumberdaya Perikanan yang Berkelanjutan (Studi Kabupaten Situbondo)”.

Metode penelitian yang digunakan oleh Ibad (2016) dalam penelitian ini yaitu

metode Pendekatan penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif, yaitu

pengukuran cermat terhadap studi kasus fenomena sosial, analisis data

menggunakan model reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data. Teknik

pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Adapun

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kearifan lokal,

pendekatan pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat (pendekatan

subjektif dan pendekatan struktural)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ibad (2016) tersebut menunjukkan

bahwa ada tiga pola kearifan lokal yang terjadi di masyarakat Situbondo dalam

pemberdayaan masyarakat, pengelolaan dan pembangunan sumberdaya perikanan

yang berkelanjutan yaitu pertama, kearifan lokal petik laut. Kedua, kearifan lokal

13
14

nyabis. Ketiga, kearifan lokal tellasan. Dalam membangun pengelolaan

sumberdaya berbasis masyarakat yang didalamnya melalui pendekatan subyektif

dan pendekatan struktural. Pendekatan subyektif dengan meningkatkan peran serta

masyarakat sebagai subjek yang akan melakukan tindakan lansung dalam

masyarakat pada saat mengelola sumberdaya yang ada disekitarnya. Hal tersebut

dilakukan dengan cara memodifikasi beberapa perancangan kebijakan dan

pemberdayaan perikanan di Situbondo tanpa harus menghilangkan kondisi asli

agar bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan

pembangunan sumberdaya perikanan yang lestari berkelanjutan. Pendekatan

strukturaldengan langkah yang dapat diupayakan pada masyarakat dengan

membentuk lembaga lokal, mengembangkan keikut sertaan masyarakat lokal

dalam proses pengambilan keputusan, peningkatan akses masyarakat terhadap

informasi.

Perbedaan dalam penelitian ini dan penelitian yang dilakukan Ibad (2016),

dalam penelitian yang dilakukan oleh Ibad (2016), fokus yang dikaji adalah

pemberdayaan masyarakat dalam bidang perikanan, sedangkan pada penelitian ini

fokus yang dikaji adalah pemberdayaan masyarakat pada bidang pariwisata. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Ibad (2016) pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan kearifan lokal, pendekatan pembangunan berkelanjutan berbasis

masyarakat (pendekatan subjektif dan pendekatan struktural), dan pada penelitian

ini pendekatan yang digunakan adalah Pemberdayaan Masyarakat berbasis

Kearifan lokal menggunakan dimensi modal sosial (bonding, bridging, linking).


15

Penelitian terdahulu yang kedua dengan judul “Modal Sosial dalam

Pengembangan Pariwisata di Desa Wisata Petingsari dan Sambi, Kabupaten

Sleman” oleh Tri Sunu Yulianto (2015). Penelitian menggunakan pendekatan

deduktif dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh penyebaran

dan pengisian kuesioner, wawancara dan observasi sedangkan data sekunder

diperoleh dari dokumen-dokumen di instansi atau lembaga terkait. Pendekatan

yang digunakan elemen modal sosial yaitu rasa saling percaya, jaringan kerjasama

dan norma.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2015) tersebut diperoleh hasil

(1) kondisi modal sosial masyarakat di Desa Wisata Pentingsari dan Sambi

berbeda. Tiga elemen modal sosial yaitu jaringan, kepercayaan dan norma yang

dimiliki masyarakat Pentingsari kesemuanya lebih tinggi dibandingkan dengan

Sambi. Perbedaan mencolok terjadi pada modal sosial elemen jaringan. (2)

Keberhasilan pengembangan desa wisata yang dilihat dari peran serta,

kelembagaan, manfaat dan obyek wisata di Pentingsari dan Sambi

memperlihatkan kondisi yang berbeda. Keberhasilan Pentingsari dalam

mengembangkan desa wisata ditunjukkan dengan hasil penilaian peran serta

tinggi, kelembagaan tinggi, manfaat sangat tinggi dan obyek wisata sangat tinggi.

Sementara itu Desa Wisata Sambi dinilai tidak berhasil dalam pengembangan

desa wisata karena hasil penilaian menunjukkan peran serta rendah, kelembagaan

sangat rendah, manfaat rendah dan obyek wisata rendah. (3) Tingkat modal sosial

masyarakat mempengaruhi keberhasilan pengembangan desa wisata. Masyarakat


16

yang memiliki modal sosial yang tinggi lebih berhasil daripada yang memiliki

modal sosial rendah. Hal ini terjadi karena modal sosial yang terdiri dari elemen

jaringan, kepercayaan dan norma akan menggerakkan masyarakat untuk berperan

serta sehingga kelembagaan desa wisata semakin kuat serta dipercaya masyarakat.

Jaringan ke dalam yang kuat akan menciptakan adanya kepedulian dari

masyarakat untuk bersama menjaga obyek wisata agar siap untuk menerima

kunjungan wisatawan. Jaringan ke luar yang kuat akan mendorong peningkatan

kunjungan wisatawan yang secara langsung akan memberikan manfaat secara

ekonomi kepada masyarakat.

Perbedaan dengan penelitian ini terdapat dalam penelitian Yulianto (2015)

menggunakan pendekatan elemen modal sosial yakni jaringan, kepercayaan dan

norma. Sedangkan dalam penelitian ini peneliti berusaha menggali Pemberdayaan

Masyarakat berbasis Kearifan lokal menggunakan dimensi modal sosial (bonding,

bridging, linking). Selain itu hasil penelitiannya akan jauh berbeda mengingat

lokasi penelitian yang berbeda dengan latar belakang yang sangat berbeda antara

dua lokasi penelitian ini.

Penelitian terdahulu yang terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh Dian

Kagungan (2015) dengan judul “Pengembangan Model Pemberdayaan

Masyarakat Pesisir Untuk Pengentasan Kemiskinan Berbasis Kearifan Lokal

Melalui Kebijakan Kerjasama Antar Daerah dalam Rangka Optimalisasi

Pengembangan Kawasan Wisata Bahari Teluk Kiluan”. Penelitian menggunakan

pendekatan deduktif dengan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan


17

melalui wawancara kepada key informan, studi dokumentasi dan observasi lapang.

Pendekatan yang digunakan adalah pemberdayaan masyarakat dan kearifan lokal.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kagungan (2015) tersebut diperolehhasil

sebagaiberikut, (1) Lembaga Swadaya Masyarakat Cinta kepada alam (LSM

Cikal) sebagai sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di Teluk Kiluan memiliki

peranan dalam pemberdayaan masyarakat, yang diwujudkan melalui program

pengembangan ekowisata, yang tujuannya menitikberatkan pada konservasi alam

dan pengembangan usaha pariwisata berkelanjutan yang berbasiskan pada

komunitas setempat. (2) Pemerintah Provinsi Lampung dan Pemerintah

Kabupaten Tanggamus melalui dinas/instansi terkait berupaya mengembangkan

potensi dan mengatasi permasalahan yang terjadi di Teluk Kiluan yang tertuang

dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi Lampung 14 Tahun

2012-2031. Kawasan wisata Teluk Kiluan telah menjadi kawasan wisata unggulan

(KWU) Provinsi Lampung. (3) Jalinan kerjasama antara Pemerintah Provinsi

Lampung dan Pemerintah Kabupaten Tanggamus dalam rangka mengembangkan

potensi dan mengatasi permasalahan yang terjadi di Teluk Kiluan melalui

dinas/instansi terkait dengan melaksanakan beberapa program/kegiatan. (4)

Berkenaan dengan peran Pemerintah Daerah sebagai fasilitator dan akselerator

pembangunan kawasan Teluk Kiluan, berbagai potensi dan permasalahan yang

ada di kawasan Teluk Kiluan mulai di ekspose di media cetak dan elektronik.

Bahkan Pemerintah Kabupaten Tanggamus telah memasukkannya ke dalam

Rencana Induk Pariwisata Daerah, dimana berbagai potensi dan permasalahan

yang ada di kawasan Teluk Kiluan mulai di ekspose di media cetak dan elektronik
18

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Kagungan (2015) dengan

penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Kagungan (2015) lebih

kepada pengembangan model pengentasan kemiskinan berbasis kearifan lokal dan

pemberdayaan masyarakat. Sedangkan penelitian ini mengangkat pemberdayaan

masyarakat berbasis kearifan lokal dalam bidang pariwisata, dilihat dari dimensi

modal sosial (bonding, bridging, linking).

Penelitian-penelitian yang telah dijelaskan tersebut memberikan masukan

yang bermanfaat kepada penulis dalam melakukan penelitian ini. Fokus pada

penelitian pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal terletak pada

partisipasi dan jaringan yang dikelola masyarakat sebagai subjek pengembangan

pengelolaan pariwisata. Sehingga penelitian ini terfokus pada penjelasan tentang

pada partisipasi masyarakat dan jaringan yang terbentuk dalam mendukung

pengelolaan pariwisata khusunya di daerah pemukiman Suku Bajo. Studi ini

bertujuan untuk mengkaji dan menganalisa tentang upaya-upaya Pemberdayaan

Masyarakat dalam mempertahankan kearifan lokal. Selain itu penelitian ini juga

menganalisa bentuk pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal dalam

pengembangan pariwisata di perkampung Suku Bajo Wakatobi.

2.2.Landasan Teori

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai teori dan konsep yang digunakan

untuk menjawab permasalahan penelitian atau menjelaskan fenomena-fenomena

yang diangkat dalam penelitian ini. Peneliti menganalisa tentang pemberdayaan

masyarakat Suku Bajo melalui Teori Pemberdayaan Masyarakat, Modal sosial,


19

serta Komodifikasi. Pemberdayaan berasal dari kata empowerment, secara

etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan

atau kemampuan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat

dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh

daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian

daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang

kurang atau belum berdaya (Sulistyani, 2004). Pemberdayaan berarti pemberian

kemampuan dari suatu individu atau kelompok yang sudah berdaya kepada

individu atau masyarakat agar menjadi berdaya.

Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan menurut Ambar T. Sulistyani

(2004) adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri.

Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan

mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan

suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk

memikirkan, memutuskan, serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi

mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi menggunakan daya

kemampuan yang meliputi kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif,

dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal

masyarakat tersebut.

Setiap masyarakat pasti memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang mereka

tidak menyadari atau daya tersebut masih belum diketahui secara eksplisit. Oleh

karena itu daya harus digali dan kemudian dikembangkan. Jika asumsi ini

berkembang maka pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan


20

cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang

dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. Pemberdayaan masyarakat

merupakan suatu proses dimana masyarakat (khususnya yang kurang memiliki

akses terhadap pembangunan) didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam

mengembangkan kehidupan mereka (Surjono & Nugroho, 2008). Pemberdayaan

sebagai alat untuk membantu individu, kelompok dan masyarakat supaya mereka

mampu mengelola lingkungan dan mencapai tujuan mereka, sehingga mampu

bekerja dan membantu diri mereka dan orang lain untuk memaksimalkan kualitas

hidup (Adams, 2003).

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya membantu masyarakat untuk

mengembangkan kemampuannya sendiri sehingga bebas dan mampu untuk

mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri. Proses

pemberdayaan tersebut dilakukan dengan memberikan kewenangan, aksesibilitas

terhadap sumberdaya dan lingkungan yang akomodatif (dalam Gitosaputro &

Rangga, 2015). Dalam penelitian ini mendeskripsikan tentang pemberdayaan yang

dilakukan agar Suku bajo mendapatkan kewenangan dan akses, sehingga Suku

Bajo dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk dapat dalam

pengelolaan pariwisata di perkampungan Suku Bajo. Dalam pemberdayaan

masyarakat, diperlukan upaya membangkitkan kesadaran masyarakat. Menurut

Jim Ife (1995) Kesadaran masyarakat berawal dari upaya menghubungkan

individu dengan struktur sosial dan politik yang bertujuan untuk membantu

individu melihat permasalahan, impian, aspirasi, penderitaan ataupun kekecewaan

mereka dari perspektif sosial politik yang lebih luas. Hal ini dilakukan karena
21

memisahkan permasalahan yang bersifat personal dengan struktur sosial dan

politik sering kali justru menjadi penyebab ketidakberdayaan. Kemudian, akan

mendorong semakin terjadinya penekanan dari mereka yang memiliki kekuasaan

terhadap mereka yang kurang berkuasa. Dalam upaya agar masyarakat mau dan

mampu mengatasi ‘ketidakberuntungan struktural’ mereka, masyarakat ini harus

mau menjalin hubungan antara satu dan lainnya, hal ini menjadi tujuan awal dari

penyadaran masyarakat (Rukminto Adi, 2008).

Penyadaran masayarakat dalam pemberdayaan masyarakat ini membantu

masayarakat untuk dapat melihat berbagai alternatif yang ada. Menurut Jim Ife

(1995) masyarakat tidaklah perlu hanya melihat kehidupan seperti apa adanya saat

ini karena dengan mau melihat dunia ini dari sudut pandang yang lain, sering kali

justru dapat memunculkan beberapa alternatif untuk mengatasi permasalahan

yang ada. Kemampuan untuk melihat dunia dari sisi yang berbeda tidak jarang

akan membuat masyarakat dapat melihat alternatif lain dari kehidupan yang ada

saat ini (Rukminto Adi, 2008). Dalam proses pemberdayaan masyarakat di Suku

Bajo, diupayakan untuk mendorong Suku Bajo untuk beralih kondisi yang ada

saat ini, dimana dalam perkembangan pariwisata yang ada mereka masih menjadi

objek pariwisata, dengan penyadaran masyarakat ini diharapkan komunitas Suku

Bajo dapat menjadi subjek yang dapat mengembangkan pariwisata yang ada di

lingkungan sekitarnya yakni perkampungan Suku Bajo. Hal ini terkait dengan

konteks pemberdayaan, sebenarnya terkandung unsur partisipasi yaitu bagaimana

masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil

pembangunan. Pemberdayaan mementingkan adanya pengakuan subjek, akan


22

kemampuan atau daya (power) yang dimiliki objek. Secara garis besar, proses ini

melihat pentingnya proses ini melihat pentingnya mengalihfungsikan individu

yang tadinya objek menjadi subjek (Suparjan & Hempri, 2003). Pendekatan utama

dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari

berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya

pembangunannya sendiri. Dalam penelitian ini Suku Bajo masih diposisikan

menjadi objek pariwisata, dan diupayakan untuk beralih menjadi subjek yang

dapat mengembangakan potensi wisata di lingkungannya.

Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan

martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi saat ini tidak mampu untuk

melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, dengan kata lain

memberdayakan berarti memampukan dan memandirikan (Kartasasmita, 1996).

Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi yakni

enabling, empowering, protecting (Kartasasmita (1996), yang pertama,

menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap

manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya,

tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan

sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan

mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang

dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat

(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain


23

dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-

langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta

pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat

masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan

individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya menyangkut

pembangunan sarana prasarana, baik fisik seperti irigasi, jalan, listrik, maupun

sosial seperti sekolah, fasilitas pelayanan kesehatanyang dapat dijangkau oleh

masyarakat pada lapisan bawah, serta ketersediaan lembaga-lebaga pendanaa,

pelatihan dan pemasaran, dimana konsentrasi penduduk yang keberdayaan amat

kurang. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat,

keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya

pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan

pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di

dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam

proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh

karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan,

pembudayaan, pengamalan demokrasi (Kartasasmita, 1996).

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi (protecting).

Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah

lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena

itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya

dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi

atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil
24

dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk

mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat

atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi

makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada

dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang

hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan

akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun

kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara

berkesinambungan.

Konteks pemberdayaan, sebenarnya terkandung unsur partisipasi yaitu

bagaimana masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, dan hak untuk

menikmati hasil pembangunan. Pemberdayaan mementingkan adanya pengakuan

subyek akan kemampuan atau daya (power) yang dimiliki obyek. Secara garis

besar, proses ini melihat pentingnya proses ini melihat pentingnya

mengalihfungsikan individu yang tadinya obyek menjadi subyek (Suparjan &

Hempri, 2003). Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa

masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi

merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri.

Berdasarkan konsep tersebut, Sumodiningrat (2002) menjelaskan bahwa

pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut pertama,

upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan. Upaya ini

ditujukan langsung kepada yang memerlukan,dengan program yang dirancang

untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Kedua, program ini harus
25

langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang

menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai

beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan

kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu,

sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam

merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya

peningkatan diri dan ekonominya. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok,

karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-

masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika

penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif

dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien.

Pemberdayaan masyarakat (komunitas setempat) yang berada di destinasi

melalui kegiatan usaha kepariwisataan yang merupakan salah satu model

pembangunan yang sedang mendapatkan banyak perhatian dari berbagai kalangan

dan akan menjadi agenda penting dalam proses pembangunan kepariwisataan ke

depan. Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu proses untuk

memotivasi masyarakat yang sedang tidak berdaya agar memiliki kemampuan

untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Berdasarkan pengertian di

atas, pemberdayaan merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan

kemampuan masyarakat supaya memiliki kemampuan untuk mangaktualisasi diri

sehingga mampu menolong diri sendiri dan dapat meningkatkan taraf hidup

masyarakat.
26

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dapat dipahami bahwa

pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk membangun, meningkatkan dan

memulihkan kemampuan suatu komunitas untuk menjadi lebih baik dan bertindak

sesuai dengan hak, harkat, dan martabatnya. Keterlibatan masyarakat setempat

dalam setiap tahap pengembangan dan pengelolaan kepariwisataan di suatu

kawasan objek wisata merupakan syarat utama dalam konsep pembangunan

berbasis masyarakat. Kunci utama dalam pembangunan yaitu adanya

keseimbangan dan keharmonisan antara lingkungan hidup dan sumber daya, serta

kepuasan wisatawan yang diciptakan oleh kemauan masyarakat, sehingga ketiga

faktor tersebut menjadi prioritas untuk keberlanjutan sistem sosial, budaya,

lingkungan, dan ekonomi.

Dalam penelitian ini juga menggunakan Teori Modal Sosial dalam mengkaji

penerapan pemberdayaan masyarakat di Komunitas Suku Bajo. Teori Modal

Sosial mengkaji tentang upaya menciptakan kemandiriaan masyarakat melalui

pemberdayaan masyarakat. Putnam (dalam Field, 2010) mengartikan modal sosial

sebagai bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma dan kepercayaan yang

mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai

tujuan bersama. Kemudian Field (2010) memaparkan pembahasan Putnam yakni

gagasan inti dari teori modal sosial adalah bahwa jaringan memiliki nilai

kemudian kontak sosial akan memengaruhi produktivitas individu dan kelompok.

Pengertian lain yakni oleh Fukuyama (2002) bahwa modal sosial adalah

serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara

para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara


27

mereka. Fukuyama (2002) menyatakan modal sosial timbul dari adanya

kepercayaan (trust) dalam sebuah komunitas. Fukuyama (2002) menyatakan

bahwa modal sosial yang tumbuh pada suatu komunitas sangat membantu dan

memperkuat entitas masyarakat tersebut dalam bentuk kemampuan untuk

menciptakan dan mentransfer ide dan pemikiran yang membuat suatu organisasi

(kelompok) menjadi efektif. Putnam (dalam Hasbullah, 2006) menyebutkan

bahwa modal sosial yang tinggi akan membawa dampak pada tingginya

partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan pembangunan. Masyarakat

yang memiliki modal sosial yang tinggi akan banyak membantu pemerintah dalam

menjalankan berbagai program pembangunan wilayah. Berbagai program

pembangunan yang dilaksanakan akan jauh lebih efektif jika dilakukan pada

masyarakat yang memiliki modal sosial yang kuat.

Menurut Putnam (dalam Hasbullah, 2006) modal sosial merupakan

karakteristik organisasi sosial seperti trust (rasa saling percaya), norma, dan

jaringan kerja yang memudahkan terjadinya koordinasi dan kerjasama untuk

kemanfaatan bersama. Syahyuti (2008) menyebutkan bahwa modal sosial dalam

suatu masyarakat dapat diperkuat namun membutuhkan dukungan sumber daya

tertentu dan agar tercipta hubungan sosial serta kelembagaan yang baik maka

anggota masyarakat mesti mendukungnya. Modal sosial berperan sebagai perekat

yang mengikat semua orang yang ada di dalam masyarakat tersebut. Agar modal

sosial tumbuh baik dibutuhkan adanya nilai saling berbagi, kepercayaan, dan

pengorganisasian peran yang diekspresikan dalam hubungan personal. Hasbullah

(2006) menyatakan bahwa inti telah modal sosial terletak pada bagaimana
28

kemampuan masyarakat dalam suatu kelompok untuk berkerja sama membangun

suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerja sama tersebut diwarnai oleh

suatu pola interelasi yang timbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun

di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang

positif dan kuat.

Hasbullah (2006) menyatakan bahwa modal sosial memperkuat perubahan

ditengah masyarakat dan memperluas kesadaran bahwa banyak cara yang bisa

dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki kualitas hidup secara

bersama-sama. Masyarakat yang memiliki modal sosial yang kuat akan cenderung

lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai program pembangunan.

Modal sisal yang kuat lebih memudahkan informasi dan ide dari luar merangsang

dan memperkuat program pengembangan suatu kelompok masyarakat. Fukuyama

(2002) menyatakan bahwa modal sosial yang tumbuh pada suatu komunitas

sangat membantu dan memperkuat entitas masyarakat tersebut dalam bentuk

kemampuan untuk menciptakan dan mentransfer ide dan pemikiran yang

membuat suatu organisasi (kelompok) menjadi efektif.

Dalam upaya menciptakan kemandirian masyarakat Suku Bajo, dalam

penelitian ini menggunakan dimensi modal sosial (Woolcock, 2001 dalam Field,

2010) yakni, Bonding, Bridging, dan Linking. Yang pertama adalah Bonding

Social Capital, yaitu ikatan modal sosial yang menunjukkan hubungan orang-

orang dengan beberapa karakteristik demografi bersama keluarga dekat, hubungan

kekerabatan, kelompok etnik, kelompok keagamaan, teman dekat dan tetangga.

Pada situasi ini, hubungannya sangat tertutup, kuat, dan interaksi hubungan
29

berkali-kali. Hubungan interaksi tersebut, dibangun antar anggota yang memiliki

kepercayaan kuat, serta latar belakang sosial sama. Oleh karenanya, proses

interaksi akan berjalan dengan sangat mudah (Scheffert et al., 2008). Hubungan

ini dapat mewujudkan rasa empati /kebersamaan. Hubungan ini juga dapat

mewujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, pengakuan timbal

balik nilai kebudayaan yg mereka percaya (Woolcock, 2001 dalam Field, 2010).

Pada Bonding social capital adalah kerja sama yang dihasilkan dari hubungan

dalam kelompok homogen (Woolcock dan Sweetser, 2002). Jenis masyarakat atau

individu yang menjadi anggota kelompok Bonding social capital umumnya

homogenius, misalnya seluruh anggota kelompok berasal dari suku yang sama.

Fokus perhatian pada upaya menjaga nilai-nilai yang turun-temurun telah diakui

dan dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku (code of conduct) dan perilaku

moral (code of ethics) dari suku atau entitas tersebut. Mereka cenderung

konservatif dan lebih mengutamakan solidarity making dari pada hal-hal yang

lebih nyata untuk membangun diri dan kelompok sesuai dengan tuntutan nilai dan

norma masyarakat yang lebih terbuka.Tingginya hubungan ikatan antara orang-

orang dengan asal etnis yang sama didukung oleh proses manajemen organisasi

partisipatif yang formal. Hal ini didasarkan pada sistem pengambilan keputusan

kolektif tradisional dan keterlibatan institusi kesukuan (Dahal & Adhikari, 2008).

Bonding social capital ini menjadi perekat dan pengikat anggota komunitas

karena adanya kesamaan kepentingan untuk mempertahankan eksistensi

kelompok. Kekuatan ini memberi manfaat bagi setiap anggota kelompok untuk

mengutarakan berbagai permasalahannya, dimana permasalahan individu anggota


30

menjadi bagian dari masalah kelompok, anggota merasa terayomi, terfasilitasi dan

memberi rasa aman dan nyaman. Komunitas dengan Bonding social capital ini

biasanya kontrol kelompok sangat kuat, kepedulian sangat tinggi, namun juga

stratifikasi sosial sangat rendah dalam arti simbol-simbol pelapisan tidak terlalu

nampak. Dan ciri lain diversifikasi dan diferensiasi sosial biasanya rendah oleh

karena itu kehidupannya lebih bersahaja. Dalam dimensi Bonding, masyarakat

suku bajo adalah kelompok satu etnik, mereka memiliki interaksi yang kuat sejak

zaman nenek moyang. Suku bajo memiliki tingkat kepercayaan, nilai sosial,

perasaan senasib dengan komunitas suku bajo lainnya. Sehingga mereka memiliki

interaksi hubungan yang sangat kuat.

Rule of law merupakan aturan atau kesepakatan bersama dalam masyarakat,

bentuk aturan dapat berupa aturan formal dengan sanksi yang jelas seperti aturan

Undang-Undang. Namun ada juga aturan non-formal dengan sanksi yang akan

diberikan masyarakat kepada anggota masyarakatnya berupa pengucilan, rasa

tidak hormat bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan komunitasnya.

Ini menimbulkan ketakutan dari setiap anggota masyarakat yang tidak

melaksanakan bagian dari tanggungjawab. Hal ini berakibat akan adanya

keteraturan dalam masyarakat (social order) (Woolcock, 2001, dalam Field,

2010). Suku bajo juga memiliki norma-norma adat yang kuat dalam mengatur

kehidupan bermasyarakat didalam komunitas suku bajo. Norma-norma tersebut

dipegang kuat dan menjadi kearifan lokal yang tidak dimiliki oleh komunitas suku

lain.
31

Dimensi modal sosial yang kedua adalah Bridging social capital, yaitu ikatan

modal sosial yang melibatkan hubungan diantara orang-orang yang tidak dekat

dan berbeda. Bentuk ikatan tersebut, seperti persahabatan yang tidak erat, dan

rekan kerja. Pada hubungan ini, kekuatan hubungan tidak terlalu kuat namun ada

kesempatan untuk dapat menjalin keeratan hubungan. Bridging social capital

mengacu pada hubungan dengan orang-orang yang tidak sama dalam pengertian

demografis dan cenderung menyatukan orang-orang di berbagai tingkatan sosial

(Woolcock and Sweetser, 2002). Pada kelompok ini, kepercayaan harus dibangun

atas dasar norma-norma umum dalam masyarakat dibandingkan pengalaman

pribadi dari masing-masing individu. Selanjutnya, dengan latar belakang yang

berbeda maka kegiatan dan pemecahan masalah harus dilakukan secara bersama-

sama. Kemampuan bridging ini membuka peluang informasi keluar, sehingga

potensi dan peluang eksternal dari suatu komunitas dapat diakses. Prinsip-prinsip

yang dianut pada pengelompokan bridging social capital ini adalah universal

tentang kebersamaan, kebebasan, nilai-nilai kemajemukan dan kemanusiaan,

terbuka dan mandiri (Hasbullah, 2006).

Menurut Kearns (2004) bahwa relasi-relasi sosial antar kelompok berbeda

identitas asal yang cenderung memperkuat ikatan di antara kelompok yang

berbeda identitas asal tersebut disebut bridging social capital. Relasi antar

kelompok yang berbeda identitas asal menurut Kearns tersebut dapat dimaknai

lebih luas seperti relasi antar sektor, seperti sektor pendidikan dan kesehatan,

sektor ekonomi dan sosial atau relasi antar organisasi, lembaga serta asosiasi.

Pemaknaan kelompok yang lebih luas tersebut menjadi kekuatan yang dapat
32

digunakan oleh setiap individu untuk mengaksesnya, tergantung pada kepentingan

kebutuhan yang akan dicapai. Pola-pola interaksi dan jaringan yang terbentuk

dalam bridging sosial capital ini dengan pihak luar ditegakkan dengan semangat

untuk saling menguntungkan.

Dalam pengembangan suatu komunitas tidak bisa hanya mengandalkan

potensi internalnya, oleh karena itu perlu membangun relasi keluar disamping

untuk mengoptimalkan potensinya juga untuk membuka peluang potensi yang ada

diluar komunitasnya. Modal sosial yang bersifat bridging inilah yang menjadi

kekuatan yang relevan untuk dikembangkan. Bridging social capital bukan hanya

merefleksikan kemampuan suatu perkumpulan atau asosiasi sosial tertentu

melainkan melainkan juga suatu kelompok masyarakat secara luas.

Bridging social capital dapat menggerakkan identitas yang lebih luas dan

variatif dan akulturasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai

dengan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal.

Orientasinya adalah memberi tekanan pada dimensi berjuang yakni mengarah

pada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi

oleh suatu kelompok. Modal sosial ini biasanya mampu memberikan kontribusi

besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan masyarakat.

Tujuan dari Bridging Social Capital adalah mengembangkan potensi yang

ada dalam masyarakat juga dapat memperkuat serta mengembangkan relasi-relasi

antar kelompok yang lain, sehingga masyarakat mampu menggali dan

memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik SDM (sumber daya manusia)

dan SDA (sumber daya alam) dapat dicapai secara maksimal. Kapasitas modal
33

sosial memfasilitasi dan menjadi jembatan dalam hubungan antar warga, antar

kelompok yang berasal dari latar belakang berbeda, baik dari sudut etnis, agama,

maupun tingkatan sosial ekonomi. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat suku

bajo, pemerintah Waktobi melibatkan pihak diluar komunitas suku bajo untuk

membangun jaringan yang dapat membangun solidaritas dan tingkat partisipasi

pada kelembagaan antara komunitas suku bajo dengan pihak lain.

Dimensi Modal sosial yang terakhir adalah Linking social capital, yaitu

ikatan modal sosial yang menjangkau orang-orang yang sangat berbeda, bahkan

berada di luar komunitasnya. Bentuk ini biasanya memberikan akses kepada

organisasi atau sistem yang akan membantu masyarakat memperoleh sumberdaya

untuk mendapatkan perubahan. Ikatan modal sosial ini, biasanya dihubungkan

dengan organisasi seperti pemerintah, bank, ataupun lembaga penyandang dana

yang ada di dalam atau luar masyarakat. Pada kelompok ini, kepercayaan terhadap

pimpinan, akan sangat berdampak pada interaksi yang terjalin. Kepercayaaan

pimpinan diindikasikan dari pemimpin yang mendengar kebutuhan, memberikan

perhatian, dan berkomitmen terhadap masyarakat. (Scheffert et al., 2008).

Linking social capital adalah hasil dari hubungan yang paling lemah namun

menghasilkan sesuatu yang berharga, karena hubungan ini menyediakan akses dan

koneksi ke struktur dan institusi kekuasaan. Tidak seperti Bonding social capital

dan Bridging social capital yang ditandai dengan paparan dan pengembangan

gagasan, nilai, dan perspektif baru (Woolcock, 2001). Menurut Woolcock and

Sweetser (2002), Linking social capital berkaitan dengan hubungan dengan orang-

orang yang berkuasa, apakah mereka berada dalam posisi yang berpengaruh
34

secara politis atau finansial. Linking social capital juga mencakup koneksi vertikal

ke institusi formal. Menurut Kearns (2004), bahwa relasi-relasi sosial antar

individu-individu dan kelompok-kelompok dalam strata sosial yang berbeda

secara hierarkhis disebut linking sosial capital.

Modal sosial yang bersifat lingking tersebut menunjukkan suatu bentuk

kekuatan komunitas. Potensi suatu komunitas ditentukan oleh kepercayaan/trust

dan norma-norma yang dimiliki oleh komunitas tersebut. Dimana inti dari

kekuatan modal sosial terletak pada tingginya kepercayaan dimiliki dan ketaatan

terhadap norma oleh anggota dalam komunitas. Untuk pengembangan suatu

komunitas diperlukan berbagai potensi dan sumberdaya baik secara internal

maupun eksternal. Modal sosial khususnya jaringan dan relasi-relasi merupakan

potensi yang dapat mensinergikan dan mengungkap potensi dan modal lainnya.

Potensi modal jaringan dan relasi menjadi inti dalam dinamika pembangunan

suatu komunitas. Kompleksitas jaringan dan relasi yang tercipta dalam suatu

komunitas merupakan salah satu indikator kekuatan yang dimiliki komunitas.

Dalam Linking Social Capital, suatu hubungan sosial yang dikarakteristikkan

dengan adanya hubungan diantara beberapa jenjang sosial, yang muncul dari

kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Masing-masing

kelompok dalam hubungan tersebut saling membutuhkan dan memiliki

kepentingan sehingga terbentuk hubungan antar kelompok tersebut. Dalam

penelitian ini, hubungan yang terbentuk dalam upaya perkembangan pariwisata di

perkampungan suku bajo mencakup jaringan yang lebih luas dari Bridging Social

Capital. Jaringan yang terbentuk tidak hanya antara suku bajo dengan suku bajo
35

lainnya, namun juga hubungan komunitas suku bajo dengan pemerintah, private

tour, LSM, serta pihak lain yang memiliki pengaruh. Untuk membentuk jaringan

tersebut, dibutuhkan partisipasi masyarakat suku bajo, peran aktif tersebut

digunakan untuk menarik pihak lain dalam membangun pariwisata di

perkampungan suku bajo.

Dalam hal ini, komunitas Suku Bajo, merupakan suatu komunitas

masayarakat yang memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh komunitas

masyarakat lainnya. Pengelolaan wisata diterapkan di perkampungan Suku Bajo

di Wakatobi dengan mengandalkan ciri khas kearifan lokal yang dimiliki Suku

Bajo, mereka dapat mengembangkan potensi tersebut sebagai daya tarik wisata,

agar menarik lebih banyak wisatawan berkunjung ke perkampungan mereka.

Perencanaan, pembangunan, pengelolaan dan pengembangan sampai dengan

pemantauan (monitoring) dan evaluasi dari pembangunan pariwisata di

Perkampungan Suku Bajo, masyarakat setempat yakni Suku Bajo harus dilibatkan

secara aktif dan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi. Hal ini dilakukan

untuk memberikan komunitas Suku Bajo akses dalam mengelola sumber daya

pariwisata yang mereka miliki. Sehingga mereka dapat hidup mandiri dalam

pengelolaan pariwisata, dan dapat melihat potensi-potensi yang mereka miliki

sebagai suatu peluang untuk membuka lapangan pekerjaan baru sebagai suatu

mata pencaharian baru.

Suatu program pembangunan dapat dikatakan sebagai proses pemberdayaan

bila mengandung elemen-elemen (1) pengembangan kapasitas masyarakat untuk

memenuhi felt-need (kebutuhan yang dirasakan) dan real-need (kebutuhan nyata)


36

masyarakat sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan; (2) pengembangan

kapasitas masyarakat untuk mempunyai akses yang lebih baik terhadap berbagai

sumberdaya; (3) pengembangan kapasitas masyarakat untuk mengelola organisasi

lokal (self-management); (4) pengembangan critical thinking masyarakat, agar

bisa berfikir lebih kritis terhadap diri dan lingkungannya; dan (5) pengembangan

kapasitas masyarakat untuk melakukan kontrol sosial terhadap berbagai aspek

kehidupannya (Kusumahadi, 2007).

Masyarakat berdaya adalah masyarakat yang mampu merencanakan dan

mengelola sumber daya lokal yang dimiliki, melalui collective action (tindakan

kolektif) dan networking sehingga pada akhirnya mereka mempunyai kemandirian

secara ekonomi, ekologi, dan sosial (Subejo dan Supriyanto, 2004). Dengan

memberdayakan, diharapkan masyarakat akan bisa menjadi pelaku utama dalam

pemanfaatan lingkungan strategis yang ada untuk mendapatkan manfaat secara

berkelanjutan.

Dalam perkembangan pariwisata, pasti terdapat suatu perubahan dari

masyarakat. Dalam masyarakat suku Bajo, kearifan lokal merupakan suatu yang

digunakan sebagai daya tarik wisata. Untuk menganalisa kearifan lokal yang

dikelola sebagai daya tarik pariwasata, dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan teori komodifikasi, Piliang (2011) menyatakan bahwa komodifikasi

merupakan suatu proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditas

menjadi komoditas. Komoditas memiliki fungsi sebagai nilai tukar yang dapat

memberikan keuntungan yang lebih banyak dari yang sebelumnya. Komodifikasi

memiliki artian yang luas, tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas
37

jual-beli barang dan jasa. Permasalahan lain yakni menyangkut bagaimana proses

distribusi dan konsumsi barang dan jasa juga termasuk di dalamnya. Lebih jauh

komodifikasi sebagai proses di mana domain-domain dan institusi-institusi sosial,

mengorganisasikan dirinya untuk dapat melakukan produksi, distribusi, dan

konsumsi komoditas. Komodifikasi dalam bidang kesenian tradisional dan

warisan budaya pun saat ini dapat dikomersilkan dengan tujuan untuk dijadikan

barang/jasa perdagangan di sektor pariwisata. Dalam bidang pariwisata,

penerapan komodifikasi merujuk langsung pada makna kebudayaan suatu daerah

tertentu terlebih lagi jika melibatkan pemanfaatan simbol-simbol ikon-ikon hingga

indeks-indeks seni, budaya, dan agama. Dengan penggunaan teknologi media,

komodifikasi tentu sudah menjadi suatu ritual usaha ekonomi sempurna (Darmadi,

2006).

Keberadaan kebudayaan dan kesenian tradisional dikemas dalam bentuk yang

sedemikian rupa dengan tujuan untuk dijadikan sebagai komoditas pariwisata

yang diharapkan mampu untuk mendorong kemajuan pariwisata itu sendiri.

Akibat dari adanya ekonomi uang yang berdasarkan semangat mendapatkan

keuntungan sebanyak-banyaknya mendorong munculnya gejala komodifikasi di

berbagai sektor kehidupan (Marx dan Simmel dalam Turner, 1992).

Komodifikasi budaya erat kaitannya dengan pariwisata. Melalui komodifikasi

budaya inilah masyarakat memiliki sesuatu hal baru yang adapat dijual, di

pamerkan atau dilakukan untuk menarik para wisatwan yang datang. Disisi lain

komodifikasi terus berjalan dengan syarat tidak menghilangkan apa yang menjadi

kebudayaan asli dari masyarakat tersebut. Budaya secara umum disebut sebagai
38

hasil karya, rasa dan cipta manusia yang didasarkan pada karsa. Selama ini

pemahaman mengenai budaya pun juga di pahami secara umum sebagai sesuatu

yang baik dan dilakukan secara berulang-ulang hingga menjadi sebuah kebiasaan.

Pariwisata budaya terus berkembang yang tidak hanya dipahami sebagai

keberagaman semata. Proses pariwisata budaya yang besar dan berjalan begitu

dinamis mengikuti modernisasi kehidupan juga memberikan dampak bagi

masyarakat di berbagai bidang termasuk dalam bidang ekonomi. Di mana

masyarakat dapat mengambil keuntungan secara ekonomi dari berembangnya

sebuah pariwisata budaya yang ada. Keberadaan para wisatwan baik lokal maupun

mancanegara menuntut pelayanan pariwisata yang memadai sehingga dapat

menumbuhkan industrialisasi pariwisata melalui pemenuhan akomodasi,

amenitas, transportasi, fasilitas, dan jasa lainnya. Begitu juga dengan kesediaan

atraksi budaya yang diinginkan. Jika sebelumnya berbagai upacara/ritual dan

produk-produk kriya hanya digunakan untuk kalangan sendiri dengan makna dan

fungsi khusus, maka kehadiran wisatawan  telah menambahkan nilai lain terhadap

produk dan atraksi budaya. Melalui pengelolaan sumber daya, pihak pengelola

bersama-sama masyarakat berupaya kuat untuk mengkomersialkan budaya

sebagai daya tarik wisata. Bisa dikatakan kemudian bahwa produk pariwisata

budaya dapat berubah menjadi suatu kebutuhan wisatawan sebagai akibat dari

berkembangnya industri pariwisata.

Pada penelitian ini akan digunakan kajian konseptual mengenai kearifan

lokal, partisipasi masyarakat, serta jaringan sosial. Kearifan lokal yang dimaksud

merupakan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi


39

kehidupan yang berwujud aktivitas, yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam

menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Gitosaputro &

Rangga, 2015). Kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal

yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara

arif atau bijaksana. Jadi, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai

keunggulan budaya masyarakat setempat berkaitan dengan kondisi geografis.

Kearifan lokal merupakan hasil interaksi antara masyarakat dengan lingkungan,

sehingga dengan kearifan lokal sangat diperlukan untuk membantu masyarakat itu

sendiri (Gitosaputro & Rangga, 2015).

Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup

masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan

tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu.

Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya

akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan

perilaku mereka sehari-hari.

Konsep kearifan lokal menurut Permana (2010) adalah pengetahuan khas

yang dimiliki suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama

sebagai hasil dari proses hubungan timbal-balik antara masyarakat dengan

lingkungan sekitarnya. Kearifan lokal juga disebutkan sebagai budaya yang

dimiliki oleh masyarakat tertentu yang mengandung nilai-nilai tertentu yang

dianut dalam suatu daerah tertentu. Dilihat dari struktur dan tingkatannya,

kearifan lokal berada pada tingkat culture. Hal ini berdasarkan skema sosial

budaya masyarakat Indonesia dimana terdiri atas sosial, budaya, dan ekonomi
40

yang majemuk. Menurut Mitchell (2003), kearifan lokal memiliki 6 (enam)

dimensi yaitu (1) Dimensi Pengetahuan Lokal, setiap masyarakat memiliki

kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan hidupnya karena masyarakat

memiliki pengetahuan lokal dalam menguasai alam. Seperti halnya pengetahuan

masyarakat mengenai perubahan iklim dan sejumlah gejala-gejala alam lainya.

(2) Dimensi Nilai Lokal, setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai

lokal mengenai perbuatan atau tingkah laku yang ditaati dan disepakati bersama

oleh seluruh anggotannya tetapi nilai-nilai tersebut dapat mengalami perubahan

sesuai dengan kemajuan masyarakatnya tetapi bukan berarti menghilangkan nilai-

nilai tersebut. Nilai tersebut antara satu kelompok dengan kelompok lainnya

belum tentu menjadi kesepakatan bersama karena apa yang menjadi nilai itu

merupakan suatu keunikan tersendiri dari suatu kelompok masyarakat. (3)

Dimensi Keterampilan Lokal, setiap masyarakat memilki kemampuan untuk

bertahan hidup (survival) untuk memenuhi kebutuhan keluargannva masing-

masing atau disebut dengan ekonomi subsistensi. Hal ini merupakan cara

mempertahankan kehidupan manusia yang bergantung dengan alam mulai dari

cara berburu, meramu, bercocok tanam, hingga industry rumah tangga.

(4) Dimensi Sumber daya Lokal, setiap masyarakat memiliki prinsip tertentu

yang dianut dalam memanfaatkan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya

dengan tidak mengeksploitasi secara besar-besaran. Masyarakat dituntut untuk

dapat menyimbangkan aktivitas soailnya dengan keberlanjutan alam. (5) Dimensi

Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal, setiap masyarakat pada dasarnya

memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku


41

merupakan kesatuan hukum yang memerintah warganya untuk bertindak sesuia

dengan aturan yang telah disepakati. (6) Dimensi Solidaritas Kelompok Lokal,

dalam suatu tatanan masyarakat tentunya membutuhkan sikap kerjasama yang

tertanam dengan baik dalam melakukan aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi

juga terhadap lingkungan. Manusia pastimembutuhkan orang lain untuk dapat

mempermudah pekerjaanya maka dari itu solidaritas masyarakat sangat

diperlukan dalam menjaga dan mempertahankan serta memelihara kearifan lokal

yang ada.

Selain kearifan lokal, dalam prosesnya Pemberdayaan Masyarakat unsur yang

terpenting adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat adalah

keterlibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam

perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/ proyek pembangunan

yang dikerjakan di dalam masyarakat lokal (Adisasmita, 2006). Peningkatan

partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat

(social empowerment) secara aktif yang berorientasi pada pencapaian hasil

pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat (pedesaan) (Adisasmita, 2006).

Prinsip dalam partisipasi adalah melibatkan atau peran serta masyarakat secara

langsung, dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil bagian,

sejak dari awal, proses dan perumusan hasil. Keterlibatan masyarakat akan

menjadi penjamin bagi suatu proses yang baik dan benar. Berkaitan dengan hal ini

perlu adanya regulasi-regulasi dari pemerintah yang memberikan keberpihakan

dan perlindungan pada masyarakat lokal. Termasuk dalam konteks ini adalah
42

kearifan lokal, tradisi-tradisi lokal, maupun potensi-potensi lokal yang sebenarnya

dapat dijadikan sebagai modal sosial pembangunan.

Warga masyarakat yang mampu memberikan bantuan program pembangunan

dalam jumlah yang besar berarti dia telah berpartisipasi secara aktif dan

menyukseskan jalannya pembangunan (Suparjan & Hempri, 2003). Dengan tidak

adanya keterlibatan masayarakat atau masyarakat tidak dilibatkan dalam berbagai

tahap perubahan yakni pemberdayaan masyarakat dan hanya memiliki peran pasif

dalam perubahan yang direncakan oleh pelaku perubahan (baik itu pihak lembaga

pemerintah, LSM maupun sektor swasta), masyarakat cenderung akan menjadi

lebih dependent (tergantung) pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi secara

terus menerus, maka ketergantungan masyarakat pada pelaku perubahan akan

semakin meningkat (Rukminto Adi, 2008).

Selain partisipasi masyarakat, jaringan sosial merupakan unsur yang juga

penting dalam Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Modal Sosial, jaringan sosial

menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang

memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara efisien dan efektif (Lawang, 2005).

Lebih lanjut lagi jaringan sosial terbentuk berawal dari suatu interaksi sosial yang

kemudian berlanjut membentuk hubungan sosial, lalu dari hubungan sosial yang

berkualitas itu terbentuk suatu jaringan sosial yang merupakan suatu

pengelompokan sosial (Mudiarta,2009). Jaringan memberikan dasar bagi kohesi

sosial karena mendorong orang bekerja sama satu sama lain dan tidak sekedar

dengan orang yang mereka kenal secara langsung untuk memperoleh manfaat
43

timbal balik. Jaringan dalam konsep modal sosial memberikan akses pada sumber

daya (Field, 2010).

Sedangkan Fukuyama (2002), menganggap jaringan sosial lebih menekankan

pada efektifitas kerjasama atas tim dengan kepercayaan tinggi. Modal sosial

memiliki konsekuensi-konsekuensi utama bagi penentuan hakikat ekonomi

industri yang akan bisa diciptakan oleh masyarakat. Jika orang-orang yang bekerja

bersama dalam sebuah lembaga/organisasi saling mempercayai dan bekerja

menurut serangkaian norma-norma etis bersama, maka berbisnis hanya

memerlukan sedikit biaya. Masyarakat demikian akan lebih mampu berinovasi

secara organisasional, karena tingkat kepercayaan yang tinggi akan

memungkinkan munculnya hubungan sosial yang lebih luas.

Modal sosial secara luas terdiri atas norma-norma sosial dan jaringan

hubungan antara individu dan kelompok. Dalam norma jaringan tersebut, terlihat

aksi sosial dan mitra yang saling mengukuhkan dan menguntungkan. Jaringan-

jaringan kerja dengan aturan tertentu biasanya berwujud sebuah lembaga sosial, di

dalamnya terjadi tindakan sosial dan interaksi antara individu dan kelompok untuk

memenuhi harapan, kebutuhan, kepentingan dan tujuan lembaga.

Dalam pemberdayaan masyarakat pasti akan ditemukan hambatan-hambatan

yang dapat mempengaruhi prosesnya. Program pemberdayaan yang kurang

berhasil atau gagal mencapai tujuan tentu disebabkan oleh berbagai kendala. Adi

(2008) mengemukakan bahwa salah satu kendala yang menyebabkan program

pemberdayaan tidak berjalan mulus dalam pelaksanaannya adalah adanya

kelompok-kelompok dalam komunitas yang menolak upaya pembaruan atau


44

perubahan yang terjadi. Menurut Watson dalam Adi (2008), Hambatan-hambatan

yang muncul antara lain (1) Kestabilan (homeostasis), Tubuh manusia mempunyai

kestabilan yang terbentuk dalam jangka waktu cukup panjang. Stimulus yang

diberikan secara terus menerus untuk mengubah kestabilan tersebut dapat

menghasilkan respon sesuai yang diharapkan, namun pada saat stimulus

dihentikan maka kestabilan yang pernah ada sebelumnya dapat muncul kembali.

(2) Kebiasaan (habit), Kebiasaan dapat menjadi faktor pendukung untuk

mengembangkan perencanaan perubahan namun di sisi lain kebiasaan dapat

menjadi faktor penghambat. Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan adalah

contoh kebiasaan yang positif dan mendukung upaya peningkatan kesehatan

sedangkan contoh kebiasaan yang negatif antara lain adalah membuang sampah

sembarangan. 3) Hal yang utama (primacy), Hal yang utama yang dimaksudkan

adalah hal-hal yang berhasil memberikan hasil yang memuaskan. Ketika

seseorang menghadapi suatu situasi tertentu dan tindakannya memberikan hasil

yang memuaskan maka ia cenderung akan mengulangi tindakan tersebut pada

waktu yang lain dengan situasi yang sama.

(4) Seleksi ingatan dan persepsi, salah satu bentuk seleksi ingatan dan

persepsi adalah terbentuknya sikap seseorang terhadap “obyek sikap” yang

kemudian menimbulkan perilaku yang disesuaikan dengan “obyek sikap” tersebut.

(5) Ketergantungan (depedence), ketergantungan suatu komunitas terhadap orang

lain (misalnya terhadap pendamping sosial) menyebabkan proses “pemandirian”

masyarakat membutuhkan waktu yang cenderung lebih lama. (6) Superego,

superego yang terlalu kuat dalam diri seseorang cenderung membuat ia tidak mau
45

atau sulit menerima perubahan atau pembaharuan. Dorongan superego yang

berlebihan dapat menimbulkan kepatuhan yang berlebihan pula. (7) Rasa tidak

percaya diri (self distrust), Rasa tidak percaya diri membuat seseorang tidak yakin

dengan kemampuannya sehingga sulit untuk menggali dan memunculkan potensi

yang ada pada dirinya. Hal ini membuat orang menjadi sulit berkembang karena ia

sendiri tidak mau berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. (8) Rasa

tidak aman dan regresi (insecurity and regression), keberhasilan dan “masa-masa

kejayaan” yang pernah dialami seseorang cenderung menyebabkan ia larut dalam

“kenangan” terhadap keberhasilan tersebut dan tidak berani atau tidak mau

melakukan perubahan. Contoh regresi ini adalah : seseorang yang tidak mau

mengubah pola pertaniannya karena ia pernah mengalami masa-masa panen yang

melimpah di waktu yang lalu. Rasa tidak aman berkaitan dengan keengganan

seseorang untuk melakukan tindakan perubahan atau pembaharuan karena ia

hidup dalam suatu kondisi yang dirasakan tidak membahayakan dan berlangsung

dalam waktu cukup.

2.3.Kerangka Berpikir

Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu pilar dalam strategi

pengembangan destinasi pariwisata. Masyarakat memegang peranan yang sangat

penting dalam pariwisata. Pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal

dalam bidang pariwisata diharapkan mampu memberdayakan masyarakatnya

berbaur dengan kegiatan pariwisata sehingga sumber daya alam, budaya, industri,

kearifan lokal, dan sumber daya lokal yang dimiliki oleh masyarakat lokal dapat
46

dijadikan sebagai objek dan daya tarik wisata pariwisata. Namun, suku Bajo di

Pulau Wangi-wangi dan Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi dianggap belum

mampu menjadi subjek yang dapat menjual potensi yang dimilikinya.

Melalui penelitian ini akan didapatkan gambaran Pemberdayaan Masyarakat

dengan melihat potensi kearifan lokal sebagai modal sosial pada komunitas suku

Bajo sehingga dapat menjadi daya tarik wisata yang dapat diandalkan. Modal

sosial yang dimaksud berdasarkan dimensi yang dikemukan oleh Woolcock yakni

Bonding Social, Bridging Social, dan Linking Social. Penelitian ini juga

menganalisis tentang kemampuan dalam mempertahankan kearifan lokal yang

dimiliki oleh masyarakat suku Bajo, serta kearifan lokal yang didayagunakan

dalam pemberdayaan masyarakat untuk mendukung perkembangan pariwisata.

Modal Sosial

Bonding Bridging Linking

Pemberdayaan
Masyarakat
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

menurut Moleong (2007) adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Metodologi kualitatif

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian

kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan

menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang

tertarik secara alamiah (Moleong, 2007). Penelitian kualitatif bertujuan

memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan

manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi,

pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti dan kesemuanya tidak dapat diukur

dengan angka. Dalam penelitian ini memberikan sebuah gambaran terhadap

kemampuan kearifan lokal didayagunakan dalam upaya pemberdayaan

masyarakat untuk mengembangakan bidang pariwisata di Perkampungan Suku

Bajo, Wakatobi.

47
48

3.2.Isu-Isu Penelitian

3.2.1.Potensi Kearifan Lokal Suku Bajo

Kearifan lokal yang dimaksud merupakan pandangan hidup dan ilmu

pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas, yang

dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam

pemenuhan kebutuhan mereka (Gitosaputro & Rangga, 2015). Daya tarik

wisata sebagai segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan

dilihat. Tanpa adanya daya tarik di suatu daerah atau tempat tertentu

kepariwisataan sulit untuk dikembangkan. Diperlukan daya tarik wisata yang

dapat diandalkan untuk menarik minat wisatawan, daya tarik wisata dapat

berupa alam, sosial-budaya berupa kearifan lokal, sejarah, artifisial buatan

manusia dll. Suku Bajo memiliki potensi daya tarik wisata berupa kearifan

lokal yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata andalan di

Wakatobi. Dalam penelitian ini akan dianalisa tentang kearifan lokal

Komunitas Suku bajo, sehingga akan mendapatkan gambaran bagaimana

potensi kearifan lokal yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata

dalam pengembangan pariwisata di Wakatobi

3.2.2. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan lokal

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya membantu masyarakat

untuk mengembangkan kemampuannya sendiri sehingga bebas dan mampu

untuk mengatasi masalah dan keputusan secara mandiri. Kearifan lokal yang

terdapat dalam masyarakat memiliki peluang besar untuk dikelola dan


49

diberdayakan kembali sehingga dapat mengatur kehidupan masyarakat sehari

– hari dan norma sebagai aturan. Dalam pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal adalah upaya

menyelesaikan masalah masyarakat dan membuat mereka mandiri dengan

memanfaatkan kearifan lokal yang ada.

Keikutsertaan masyarakat dianggap sebagai bagian yang tidak terlepas

dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Keikutsertaan ataupun keterlibatan

masyarakat dalam mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi potensi yang

ada pada masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan alternatif solusi

penanganan masalah dan juga keterlibatan masyarakat dalam proses

mengevaluasi perubahan yang terjadi. Begitu juga dalam penerapan

pemberdayaan masyarakat di komunitas Suku Bajo, pasti ada hal yang baru

yang dan perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada pada saat ini. Sehingga

keterlibatan Suku Bajo dalam pengembangan pariwisata sangatlah penting.

Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap perubahan akan membuat

masyarakat menjadi lebih berdaya dan dapat semakin memiliki ketahanan

dalam menghadapi perubahan.

Hal penting lainnya dalam pemberdayaan masyarakat adalah jaringan

sosial. Jaringan mendorong orang bekerja sama satu sama lain dan tidak

sekedar dengan orang yang mereka kenal secara langsung untuk memperoleh

manfaat timbal balik. Jaringan dalam konsep modal sosial memberikan akses

pada sumber daya (Field, 2010). Jaringan akan mendorong komunitas suku

bajo untuk bekerja sama satu sama lain dan tidak sekedar dengan orang
50

didalam komunitas suku bajo yang mereka kenal secara langsung untuk

memperoleh manfaat timbal balik. Jaringan dalam konsep modal sosial

memberikan akses pada sumber daya bagi suku bajo.

3.3. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul, penelitian ini akan dilakukan di Perkampungan Suku

Bajo di Pulau Wangi-wangi & Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi. Lokasi

tersebut dipilih karena mayoritas suku bajo di Wakatobi bermukim di Pulau

Wangi-wangi dan Pulau Kaledupa. Penulis memilih Komunitas Suku Bajo karena

mereka memiliki kearifan lokal yang sangat kuat dan dapat dikembangkan sebagai

daya tarik wisata di Wakatobi. Desa Mola menjadi lokasi penelitian di Pulau

Wangi-wangi, dan Desa Samabahari menjadi lokasi penelitian di Pulau Kaledupa.

3.4. Teknik Penentuan Informan/subjek

Penelitian kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas sosial atau fenomena

sosial yang bersifat unik dan kompleks, maka pada penelitian kualitatif yang

terpenting adalah bagaimana menentukan informan/subjek. Informan merupakan

orang yang diminta untuk memberikan keterangan atau pendapat tentang suatu

permasalahan dalam penelitian. Sedangkan subjek merupakan orang yang terlibat

langsung dalam suatu permasalahan yang sedang diteliti. Gagasan dibalik

penelitian kualitatif adalah memilih dengan sengaja dan terencana para

informan/subjek dan lokasi penelitian yang dapat membantu peneliti untuk

memahami masalah yang diteliti. Informan/subjek yang dipilih merupakan pihak


51

yang dianggap paling mengetahui dan memahami tentang permasalahan dalam

penelitian ini. Peneliti cenderung memilih informan/subjek yang dianggap tahu

dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui

masalahnya secara mendalam (Demartoto, 2009). Adapun informan yang sudah

digali informasinya adalah

1. Kepala Desa Perkampungan Suku Bajo di Pulau Wangi-wangi dan

Kaledupa, Wakatobi

2. Lembaga Pengelola Sadar Wisata Perkampungan Suku Bajo Wakatobi

3. Stakeholder pengembangan wisata Suku Bajo.

4. Masyarakat Perkampungan Suku Bajo

3.5. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk menghimpun

data, infomasi, atau berbagai hal yang berhubungan dan relevan dengan masalah

yang hendak diteliti (Sugiono, 2013). Menurut asal sumbernya data digolongkan

menjadi dua, yakni (1) data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek

yang diteliti. (2) data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari lembaga atau

institusi tertentu, seperti dokumen, Peraturan Pemerintah, surat kabar dan lainnya

yang dapat menunjang dan memperkuat data utama untuk dianalisis. Berikut cara

peneliti dalam memperoleh data yang digunakan untuk penelitian :

1. Observasi, pengumpulan data dilakukan di desa Mola, Pulau Wangi-wangi

dan desa Samabahari, Pulau Kaledupa. Pengamatan dilakukan untuk

mengamati kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Bajo,


52

dilakukan selama kurang lebih 3 minggu. Pengumpulan data dilakukan

dengan tujuan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan

penginderaan. Peneliti melakukan observasi untuk mendapatkan gambaran

tentang kondisi empirik yang ada di lapangan. Peneliti langsung turun ke

lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas individu-individu di

lokasi penelitian (Sugiono, 2013).

2. Wawancara mendalam, merupakan cara memperoleh data dengan

melakukan wawancara mendalam dan tanya jawab langsung dengan

orang-orang yang sudah ditetapkan sebagai informan atau sumber data

oleh peneliti yang memiliki relevansi dengan topik dan masalah yang

diteliti. Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil

bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang

diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)

wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan

sosial yang relatif lama (Moleong, 2007)

3. Studi dokumen, teknik pengumpulan data melalui pencarian dan

penemuan bukti-bukti yang tidak langsung ditujukan pada subjek

penelitian, namun melalui dokumen. Moleong (2007) membagi dokumen

menjadi dua jenis, yaitu dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen

pribadi merupakan catatan atau karangan individu yang tertulis tentang

tindakan, pengalaman, dan kepercayaan. Sedangkan dokumen resmi

terbagi menjadi dua, yaitu dokumen internal dan dokumen eksternal. Yang
53

termasuk dalam dokumen internal adalah memo, pengumuman, instruksi

dan lain-lain. Dokumen eksternal adalah berita media cetak maupun

elektronik yang di siarkan ke khalayak ramai. Dalam hal ini peneliti

mengumpulkan dan mencatat data yang berupa dokumen, seperti dokumen

administratif, tabel-tabel, dan sumber-sumber data tertulis yang diperlukan

dalam penelitian ini.

3.6 . Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif,

dimana penulis akan menganalisi segala informasi yang didapatkan dari data

dalam bentuk kalimat dan jika menggunakan analisis data berupa angka maka

analisis tersebut hanya akan digunakan untuk mendukung pernyataan penulis.

Dalam teknik data kualitatif akan dijabarkan data-data yang diperoleh dalam kata-

kata untuk memudahkan dalam membaca dan menginterpretasi (Ulber, 2006).

Terdapat tiga tahapan analisis Miles & Huberman (1992 dalam Ulber, 2006)

dalam analisis data kualitatif yakni pereduksian data, penyajian data dan

penarikan kesimpulan atau verifikasi. Pereduksian data merupakan proses

pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan

transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

Tahap berikutnya penyajian data dalam bentuk teks yang tersusun sedemikian

rupa sehingga informasi yang disajikan di dalamnya dapat memungkinkan peneliti

untuk menarik kesimpulan. Tahap terakhir yaitu penarikan kesimpulan, yakni


54

suatu pengorganisasian data-data yang telah terkumpul sehingga dapat dibuat

suatu kesimpulan (Ulber, 2006).


BAB 4

HASIL & PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Suku Bajo di Desa Mola dan Desa Samabahari, Wakatobi

Desa Mola merupakan wilayah perkampungan Bajo terbesar di Kepulauan

Wakatobi. Luas wilayah Kampung Mola sebesar 8,3 Km2. Saat ini kampung Bajo

Mola terpecah menjadi lima desa, antara lain (1) Desa Mola Selatan, (2) Desa

Mola Utara , (3) Desa Mola Samaturu, (4) Desa Mola Nelayan Bakti, (5) Desa

Mola Bahari. Pada umumnya, mata pencaharian utama penduduk Kampung Mola

adalah sebagai nelayan. Desa Samabahari merupakan salah satu desa terapung di

Kecamatan Kaledupa yang terletak di perairan dangkal laut Banda. Semula Desa

Samabahari menjadi bagian dari Desa Laulua, dan sejak tahun 1997 terpisah

menjadi desa tersendiri dengan luas wilayah sekitar 60 km2. Desa Samabahari

merupakan perkampungan yang benar-benar berada di atas laut.

Kehidupan Suku Bajo berbeda dengan masyarakat lainnya di Wakatobi.

Mereka menempati daerah pesisir pantai sampai perairan dangkal, dengan

membentuk rumah-rumah panggung. Mereka dihubungkan dengan jembatan dan

perahu-perahu kecil sebagai alat transportasi utama untuk mengakses daratan.

Perahu ini juga merupakan alat untuk mencari nafkah sebagai nelayan tradisional.

Di semua perkampungan Suku Bajo, sebagian besar masyarakatnya adalah

nelayan atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan kegiatan kemaritiman.

Sebagai masyarakat yang menempati daerah pesisir, Suku Bajo memiliki

pekerjaan sebagai nelayan yang telah berlangsung secara turun temurun. Bagi

55
56

Suku Bajo menangkap ikan merupakan satu-satunya mata pencaharian mereka,

bahkan mereka tidak bisa makan tanpa ikan segar, sehingga sulit untuk

memisahkan mereka dengan laut (Saad 2009). Namun bagi Suku Bajo menangkap

ikan bukan satu-satunya sumber mata pencaharian karena budidaya rumput laut,

menambang karang dan pasir juga merupakan sumber mata pencaharian.

Gambar 4.1. Pemukiman Suku Bajo di Desa Mola


Permukiman Suku Bajo yang menyatu dengan pesisir pantai di
desa Mola, Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi

Sumber : Google Earth, diakses pada 27 Januari 2018

Suku Bajo awalnya membangun rumah-rumah panggung di atas laut, dengan

kolong rumah berfungsi sebagai tempat parkir perahu dan tempat memancing

ikan. Untuk berkunjung dari satu rumah ke rumah lain hanya dapat di tempuh

dengan menggunakan perahu. Namun saat ini sebagian besar mengalami

perubahan, terutama Desa Mola Utara, rumah-rumah masyarakat yang telah

terbuat dari beton dengan cara menimbun karang sebagai dasar bangunan rumah

(Baharudin, 2011). Untuk Desa Samabahari cenderung masih menggunakan

rumah-rumah panggung, namun ada juga beberapa rumah telah menjadi rumah
57

beton. Akan tetapi, rumah-rumah panggung yang ada sebagian besar mulai terisi

karang pada bagian kolong rumahnya (Baharudin, 2011).

Gambar 4.2. Pemukiman Suku Bajo di Desa Samabahari


Permukiman Suku Bajo yang terpisah dengan daratan di Desa
Samabahari, Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi

Sumber: Google Earth, diakses pada 27 Januari 2018

Dahulu Suku Bajo masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten yang

dilakukan dengan cara berburu, dan berpindah-pindah, penangkapan ikan hanya

untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya (Zacot, 2002). Seiring

dengan dimulainya relokasi masyarakat Bajo ke daratan, rupanya membawa

implikasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya. Relokasi

masyarakat Bajo semenjak tahun 1970-an, menjadi pendorong terjadinya

perubahan sosial pada komunitas Bajo di Wakatobi adalah karena masuknya

kebudayaan lain. Pada kasus Suku Bajo di Wakatobi pendorongnya adalah

bertemunya budaya laut/maritim Suku Bajo dengan budaya masyarakat daratan

(Suryanegara, Ellen, dkk. 2015).

Saat ini, dengan bermukim di sekitar masyarakat daratan maka akses terhadap

pendidikan juga menjadi semakin dekat dan mudah. Anak-anak Suku Bajo sudah

banyak yang bersekolah, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Hal ini
58

menunjukkan bahwa kesadaran mereka tentang pentingnya pendidikan sudah

mulai terbangun. Banyak pemuda Bajo yang sekolah atau bekerja di luar daerah

namun enggan kembali ke kampungnya sehingga menyebabkan berkurangnya

regenerasi kearifan lokal masyarakat Bajo (Suryanegara, Ellen, dkk. 2015).

Regenerasi adat istiadat khas Bajo berkurang drastis, sehingga tradisi khas Suku

Bajo seperti Ikiko dan pengobatan Duata bisa dibilang hampir punah dan jarang

dilakukan oleh masyarakat Bajo. Hal ini menyebabkan anak muda Bajo kurang

mengenal sejarah suku dan adat istiadatnya.

Secara berangsur-angsur, pengaruh budaya darat juga menimbulkan pola

hidup yang konsumtif. Hal ini ditunjukkan dengan ada keinginan dan upaya orang

Bajo untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan selain kebutuhan pokok

walaupun di luar kemampuannya, misalnya pembelian barang-barang

berteknologi terbaru (kendaraan pribadi, parabola, gadget, dan lain sebagainya).

Selain itu terjadi juga perubahan pada model rumah yang mengarah pada rumah-

rumah modern minimalis sehingga mulai menghilangkan ciri khas Suku Bajo

yang memiliki rumah panggung yang terapung di lautan (Suryanegara, Ellen, dkk.

2015).

4.2. Profil Informan

Profil Informan dalam penelitian ini sebanyak sepuluh orang. Disini akan

diuraikan satu persatu latar belakang profil informan seperti pendidikan,

pekerjaan, hingga peran mereka dalam pariwisata yang ada di perkampungan

Bajo.
59

4.2.1. Bapak Samran

Bapak Samran merupakan penduduk asli Desa Mola. Saat ini, beliau

menjabat sebagai ketua LEPA – MOLA yang diresmikan pada tahun 2015.

Bapak Samran bergabung dengan LEPA – MOLA sejak lembaga tersebut

melakukan tahap persiapan pada tahun 2013. Beliau telah bergabung dan

mengikuti dari awal persiapan, pembinaan berupa pelatihan-pelatihan,

diresmikan pada tahun 2015, hingga dilepas secara mandiri oleh British

Council dan Bank Mandiri.

Sejak banyaknya wisatawan yang berkunjung didesa Mola, beliau

memiliki cita-cita untuk membuat desa wisata di perkampungan Suku Bajo di

Mola. Namun, karena keterbatasan biaya dan kemampuan untuk

mewujudkannya. Setelah masuknya British Council dan Bank Mandiri, beliau

dapat mewujudkan harapan yang telah di cita-citakannya tersebut. Bapak

Samran merupakan salah satu orang yang tetap konsisten menjadi pengurus

dan mengelola LEPA – MOLA sejak lembaga ini dirintis.

4.2.2. Bapak Rosman

Bapak Rosman adalah seorang Guru di salah satu SD di desa Mola,

Pulau Wangi-wangi, Wakatobi. Beliau merupakan penduduk asli Desa Mola.

Selain menjadi Guru, beliau juga menjadi salah satu pengurus LEPA –

MOLA dan menjadi Guide Walking Tour. Menurut beliau, selalu terjadi pro

dan kontra dalam perkembangan pariwisata di desa Mola. Namun, beliau


60

selalu berusaha mengajak masyarakat untuk mendapat manfaat dalam

kegiatan pariwisata yang dikelola oleh LEPA – MOLA.

Sebagai seorang Guru, beliau juga sangat memperhatikan regenerasi

adat istiadat khas Suku Bajo yang sudah hampir punah. Melalui workshop

budaya yang dilakukan LEPA – MOLA, beliau mengajak generasi muda

Suku Bajo untuk lebih mengenal dan melestarikan kearifan lokal Suku Bajo,

seperti budaya Starkling khas Suku Bajo. Beliau sadar dengan melestarikan

kearifan lokal menjadi modal bagi masyarakat Bajo untuk mengembangkan

daya tarik wisata di desa Mola.

4.2.3. Ibu Sartini

Ibu Sartini merupakan keturunan suku Jawa yang menetap di

perkampungan Suku Bajo, Desa Mola sejak menikah dengan orang Bajo. Saat

ini beliau menjadi Ketua Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan Perikanan Bajo

Mandiri. Beliau memulai usaha pengolahan hasil laut sejak tahun 2007.

Beliau mengikuti pelatihan-pelatihan pengolahan hasil laut yang diadakan

berbagai instansi hingga membentuk UKM pengolahan ikan ibu-ibu Suku

Bajo dan menjadi Ketua Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan Perikanan Bajo

Mandiri.

Selain menjadi ketua, beliau juga beberapa kali menjadi pemateri

pengolahan ikan di berbagai daerah. Menurut beliau, dengan adanya

wisatawan yang datang di merupakan peluang yang bagus untuk menambah

penghasilan selain mengandalkan suami sebagai nelayan. Selain itu, menurut


61

beliau sisa ikan hasil tangkapan tidak ada yang terbuang sia-sia karena dapat

diolah menjadi makanan yang tahan lama. Dari usaha pengolahan ikan pula ia

dapat membuat rumah permanen di darat dan menyekolahkan anak-anaknya

hingga jenjang perguruan tinggi di Pulau Jawa.

4.2.4. Ibu Hapsah

Ibu Hapsah merupakan ketua Pengerajin Kain Tenun dan Olahan

Sampah di desa Mola. Beliau merupakan keturunan asli Suku Bajo yang saat

ini berumur 70 tahun. Meskipun usia yang sudah tidak lagi muda dan hanya

lulusan Sekolah Rakyat, beliau tetap memiliki semangat untuk terus belajar

sebagai pengerajin. Berbagai pelatihan kerajinan yang diadakan oleh

pemerintah dan lembaga swasta, beliau ikuti untuk menambah kemampuan.

Bahkan beliau sering dikirim untuk studi banding ke daerah pariwisata

lainnya seperti Bali dan Yogyakarta untuk mempelajari bentuk kerajinan

seperti apa yang diminati oleh wisatawan baik dalam maupun luar negeri.

Saat ini, ia memiliki showroom kerajinan di desa Mola yang sering

dikunjungi oleh wisatawan yang singgah. Sehingga, wisatawan mudah untuk

mendapatkan produk khas Suku Bajo. Jika musim liburan dan banyak

wisatawan yang berkunjung, permintaan kerajinan dari berbagai hotel dan

toko oleh-oleh di Wakatobi meningkat. Selain itu, beliau sering mendapatkan

pesanan kerajinan berupa kain tenun dari berbagai instansi pemerintah untuk

acara pameran dan penyambutan tamu. Dari keahliannya tersebut, ia ingin


62

membagikan keahliannya kepada wanita-wanita Bajo lainnya, sehingga

mereka dapat merasakan manfaat dari kunjungan wisatawan yang datang.

4.2.5. Ibu Royani

Ibu Royani merupakan ketua ibu-ibu kuliner Bajo. Beliau merupakan

keturunan asli Bajo di desa Mola. Pekerjaan sehari-hari beliau adalah ibu

rumah tangga. Beliau dipercaya oleh LEPA – MOLA untuk menyajikan

masakan khas Bajo kepada wisatawan. Selain LEPA – MOLA, beliau juga

mendapat pesanan dari Hotel dan Instansi Pemerintah Wakatobi.

Menurut beliau, perkembangan pariwisata membawa dampak positif

bagi ibu-ibu kuliner Bajo. Dengan banyaknya wisatawan yang datang di desa

Mola, semakin banyak pesanan yang didapatkan oleh ibu-ibu kuliner untuk

menyajikan makanan khas Bajo. Beliau juga mendapatkan kesempatan untuk

mengikuti pelatihan kuliner tentang cara penyajian dan variasi menu untuk

disajikan kepada tamu.

4.2.6. Bapak Mukmin Rabana

Bapak Mukmin Rabana merupakan salah satu guide LEPA – MOLA.

Pekerjaan beliau adalah nelayan dan guide diving. Beliau merupakan

keturunan asli Bajo, saat ini berusia 42 tahun. Beliau merupakan anggota

Badan Permusyawaratan Desa di desa Mola. Bapak Mukmin bergabung

dengan LEPA – MOLA sejak tahun 2015, dan mengikuti beberapa pelatihan

kepariwisataan yang diadakan LEPA – MOLA, maupun instansi pemerintah.


63

Menurut Bapak Mukmin, pariwisata membuka peluang bagi

masyarakat Bajo untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Melalui LEPA –

MOLA, masyarakat yang memilki keahlian diminta membantu untuk ikut

melayani tamu, seperti membantu mendayung di spot wisata canoeing dan

meminta bantuan ibu-ibu kuliner untuk menyajikan makanan khas Bajo bagi

wisatawan.

4.2.7. Bapak Rustam

Bapak Rustam adalah Kepala Desa Samabahari, Pulau

Kaledupa,Wakatobi. Beliau merupakn keturunan asli Bajo Samabahari.

Menurut Bapak Rustam, kebudayaan Khas Bajo merupakan daya tarik yang

diminati oleh wisatawan. Sebagai Kepala Desa, beliau sangat mendukung

perkembangan wisata di desa Samabahari. Menurut beliau, kedatangan

wisatawan di desa Samabahari, dapat menjadi penghasilan tambahan bagi

masyarakat Bajo, serta mengenalkan kebudayaan khas Bajo kepada

wisatawan.

4.2.8. Bapak Iskandar

Bapak Iskandar adalah keturunan asli Bajo desa Samabahari. Beliau

merupakan guide dan pemilik homestay di desa Samabahari. Semenjak

menjalani usaha dalam bidang pariwisata, beliau tidak sering melaut. Bapak

Iskandar bekerjasama dengan operator wisata Will Be The Dragon. Melalui

kerjasama usaha wisata dengan Will Be The Dragon, beliau dapat membantu
64

masyarakat Bajo di desa Samabahari untuk mendapatkan penghasilan

tambahan. Masyarakat dapat menyewakan rumahnya untuk dijadikan

homestay. Menurut beliau, kebudayaan Bajo menjadi daya tarik yang diminati

oleh wisatawan.

4.2.9. Bapak Pondang

Bapak Pondang merupakan guide dan pemilik homestay di desa

Samabahari. Beliau merupakan keturunan asli Bajo Samabahari, berusia 25

tahun. Pekerjaan keseharian beliau adalah nelayan. Namun beliau tidak

melaut, jika musim liburan tiba dan banyak tamu yang berkunjung di desa

Samabahari. Bapak Pondang bekerjasama dengan operator wisata di Bau-bau

serta hotel di Pulau Hoga. Sama halnya dengan Bapak Iskandar, Bapak

Pondang dapat membantu masyarakat Bajo di desa Samabahari untuk

mendapatkan penghasilan tambahan.

4.2.10. Bapak Jabira

Bapak Jabira adalah keturunan asli Suku Bajo di desa Samabahari.

Pekerjaan beliau adalah seorang nelayan, selain itu beliau juga seorang

pengerajin Carumeng. Pada saat banyak wisatawan yang berkunjung ke desa

Samabahari dan Pulau Hoga, beliau lebih banyak menghabiskan waktu untuk

membuat Carumeng. Beliau memulai membuat Carumeng dalam jumlah

yang banyak sejak tahun 2009. Beliau mendapatkan pesanan Carumeng dari
65

beberapa hotel Wakatobi, serta tamu mancananegara yanagpernah membeli

carumeng kepada Bapak Jabira

4.3. Kearifan Lokal Masyarakat Suku Bajo

Suku Bajo merupakan suku yang tersebar di seluruh penjuru dunia, mulai dari

daerah Indonesia seperti Sulawesi, Papua, Jawa, Nusa Tenggara, hingga luar

negeri seperti Filipina, Malaysia, bahkan sampai Afrika. Meskipun berada dalam

jarak yang saling berjauhan, Suku Bajo di seluruh dunia memiliki cara hidup yang

sama, budaya yang sama, termasuk bahasa yang sama. Bahasa Bajo di berbagai

tempat hanya berbeda di dialek dan beberapa perbedaan kata yang tidak signifikan

(KKN-PPM UGM, 2015).

Kearifan lokal merupakan bentuk dari Bonding social capital yaitu ikatan

modal sosial yang menunjukkan hubungan orang-orang dengan beberapa

karakteristik demografi bersama keluarga dekat, hubungan kekerabatan, kelompok

etnik, kelompok keagamaan, teman dekat dan tetangga. Pada situasi ini,

hubungannya sangat tertutup, kuat, dan interaksi hubungan berkali-kali.

Hubungan interaksi tersebut, dibangun antar anggota yang memiliki kepercayaan

kuat, serta latar belakang sosial sama. Oleh karenanya, proses interaksi akan

berjalan dengan sangat mudah (Scheffert et al., 2008). Ini adalah kerja sama yang

dihasilkan dari hubungan dalam kelompok homogen (Woolcock dan Sweetser,

2002). Jenis masyarakat atau individu yang menjadi anggota kelompok Bonding

social capital umumnya homogenius, misalnya seluruh anggota kelompok berasal

dari suku yang sama. Fokus perhatian pada upaya menjaga nilai-nilai yang turun-
66

temurun telah diakui dan dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku (code of

conduct) dan perilaku moral (code of ethics) dari suku atau entitas tersebut.

Mereka cenderung konservatif dan lebih mengutamakan solidarity making

daripada hal-hal yang lebih nyata untuk membangun diri dan kelompok sesuai

dengan tuntutan nilai dan norma masyarakat yang lebih terbuka.

Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai

kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya, dan adat istiadat. Undang-

undang No. 32 Tahun 2009 memberikan pengertian tentang kearifan, yaitu nilai-

nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain

melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Bentuk-bentuk

kearifan yang ada dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan

aturan-aturan khusus. Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam suatu

sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan

dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun

pola perilaku manusia sehari-hari (Keraf, 2002). Komunitas Suku Bajo memiliki

kearifan berupa tradisi, aturan atau pantangan turun temurun yang dipraktikkan,

dipelihara dan ditaati masyarakat Bajo dalam menjaga dan memanfaatkan wilayah

pesisir secara berkelanjutan. Kearifan tersebut mengandung nilai pelestarian

ekosistem perairan laut dan pesisir. Keunikan Suku Bajo seperti yang dituturkan

Hamzah (2008), memiliki seperangkat kearifan dalam pengelolaan pesisir dan laut

karena kaitannya yang sangat erat yang menjadikan laut sebagai tempat keramat

dan dimiliki nenek moyang mereka dengan suku lain seperti Bugis-Makassar yang

mampu menyelenggarakan kehidupannya di semua tempat. Dengan kearifan yang


67

mereka miliki, masyarakat Suku Bajo menjaga kelestarian ekosistem dan SDA

pesisir dan laut sebagai sumber kehidupan.

Tradisi yang diwarisi turun temurun, kebiasaan atau perilaku ini tumbuh

dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan berkembang sesuai kedekatan

manusia dengan alam di sekitarnya dan tantangan yang dihadapinya. Ini

merupakan kearifan lokal yang mewarnai kehidupan masyarakat. Kearifan lokal

dipandang sebagai tindakan dan sikap manusia terhadap sesuatu objek atau

peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.

Nababan (2003) mengatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki

sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh-

kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat di

sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan

sosiokultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Pandangan ini

sejalan dengan dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 yang

menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup

berdasarkan asal-usul secara turun temurun atas satu wilayah adat, yang diatur

oleh adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan

soaial budaya yang diatur oleh adat, dan lembaga adat yang mengelola

keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Masyarakat Bajo, khusus generasi tua, masih mempercayai gugusan karang

tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur. Orang tua melarang

anggota keluarga menangkap ikan dan biota lain di sekitar gugusan karang,

kecuali terlebih dahulu melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan sajian bagi
68

leluhur (Utina, 2012). Norma lain yang berlaku adalah menghormati laut. Suku

Bajo sangat menghormati laut karena merupakan sumber penghidupannya. Bagi

Suku Bajo, adalah pamali untuk mengucapkan kata-kata yang tidak pantas atau

mengumpat di laut. Hal tersebut menunjukkan betapa Suku Bajo sangat

menghargai laut. Suku Bajo sangat takut melanggar pamali. Mereka beranggapan

akan mendatangkan malapetaka dan musibah apabila melanggar pamali.

Malapetaka atau musibah tersebut dapat datang dalam berbagai bentuk seperti

tidak memperoleh ikan, badai, ombak besar, dsb.

Diakuinya Wakatobi sebagai salah satu dari 10 destinasi wisata unggulan di

Indonesia memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat dan

komunitas etnis yang tingggal di kawasan Wakatobi, termasuk diantaranya pula

Suku Bajo. Semakin banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Wakatobi lambat

laun membuat masyarakat sadar akan potensi budaya unggulan yang dimilikinya

sebagai salah satu faktor penarik jumlah wisatawan. Sisi kearifan lokal disini

memiliki artian bahwasanya beberapa komunitas etnis di Wakatobi saat ini sudah

tergerak untuk menawarkan budayanya sebagai komoditas yang menjual bagi para

wisatawan. Jika dahulu wisatawan berlibur hanya berfokus untuk menikmati

keindahan alam, kini adanya keterbukaan dari masyarakat dan kemampuan

melihat potensi adat dan budaya membuat masyarakat Suku Bajo mulai terbuka

dalam mengenalkan berbagai kearifan lokal yang mereka miliki untuk semakin

menarik potensi wisata di Wakatobi. Suku Bajo menjadi komunitas etnis terbesar

di Wakatobi yang tergerak untuk menawarkan budayanya. Berikut adalah

beberapa kearifan lokal Suku Bajo yang menjadi potensi pariwisata dalam
69

menarik kunjungan wisatawan serta dapat turut berperan dalam memberdayakan

masyarakat Suku Bajo.

4.3.1. Tradisi Pengobatan Suku bajo

Tradisi pengobatan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal dalam

bentuk ritual yang sangat menarik minat wisatawan, tak jarang beberapa

wisatawan biasanya turis asing rela mengeluarkan uang lebih untuk

mengadakan ritual pengobatan. Biaya yang harus dikeluarkan untuk satu

ritual misalnya pengobatan duata minimal 10 juta rupiah. Waktu pengobatan

ini sudah ditetapkan pada tanggal tertentu dan informasi mengenai

pelaksanaannya akan disebar luaskan sehingga akan banyak wisatawan yang

hadir pada saat ritual pengobatan berlangsung.

Kepercayaan akan pengobatan tradisional oleh masyarakat Suku Bajo

dapat dilihat dari mulai ritual yang diberikan kepada bayi. Ketika seorang

bayi Suku Bajo lahir, ari-ari sang bayi akan dibuang ke laut. Orang Bajo

mempercayai bahwa ari-ari bayi adalah saudara sang bayi, dalam bahasa bajo

disebut kaka yang berarti kakak, atau dalam istilah lain disebut kagumbarang

yang berarti kembaran. Orang Bajo percaya bahwa dalam rahim ibu, Allah

SWT selalu melakukan penjagaan terhadap sang bayi. Ada beberapa jenis

pengobatan tradisional yang diyakini oleh Suku Bajo dalam mengobati

penyakit, seperti yang diungkapkan oleh Kepala Desa Samabahari,

“Disini kan ada susunan pengobatan nya komunitas bajo yang pertama
itu kasih roh itu kalau menurut versi kita orang bajo itu penyakit yang
popoh penyakit setelah itu ada sang roh yang dipanggil,...” (Wawancara
dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).
70

Proses pemotongan ari-ari bayi dilakukan dengan cermat oleh Suku

Bajo. Pemotongan ari-ari dilakukan dengan menggunakan aur bambu. Setelah

dipotong, ari-ari ini dilihat jatuhnya. Jika menghadap keatas, orang Bajo

mempercayai bahwa sang bayi memiliki kecenderungan untuk mengikuti

karakter sang bapak yang keras dan tegas. Bayi ini kagumbarangnya adalah

Tuli, dalam bahasa Bajo berarti buaya, sifatnya menerkam dan menyergap,

sejalan dengan keras dan tegas. Kelak jika sang bayi sakit atau membutuhkan

pengobatan tertentu, ia menggunkan pengobatan Maduai Tuli. Jika ari-ari

sang bayi menghadap kebawah, keccenderungannya akan memiliki karakter

seperti ibunya lembut dan menjaga. Kagumbarang bayi ini adallah Kutta,

yang berarti gurita. Gurita bersifat memeluk (lembut dan menjaga). Jika sang

bayi ini sakit, ia akan menggunakan pengobatan Maduai Kutta (KKN-PPM

UGM, 2015).

Ada beberapa jenis pengobatan tradisi Suku Bajo yakni Kaka, Tuli,

Kutta, Kadilaok Kadara. Pada awal proses pengobatan, Sanro (dukun

pengobatan) akan meraba bagian tubuh (telapak kaki, telinga, kepala) dari

orang yang sakit lalu menentukan jenis pengobatan yang akan dilakukan.

Penentuan ini menjadi hak khusus Sanro, karena ia dianggap paling

mengetahui tentang orang yang sakit tersebut. Orang lain hanya bisa

mengetahui sebatas penentuan dasar jenis pengobatan yang dilihat dari arah

ari-ari sang pasien saat bayi dulu. Dasar penentuan pengobatan dengan ari-ari

ini pun tidak mutlak dan bisa berubah seiring berjalannya waktu (KKN-PPM

UGM, 2015).
71

Dimensi kearifan lokal yang tertanam kuat dalam tradisi pengobatan

Suku Bajo yakni dimensi pengetahuan lokal dan dimensi nilai lokal, berbeda

dengan kepercayaan pada pengobatan medis modern masyarakat Suku Bajo

mempunyai jawaban dan kepercayaan sendiri dalam mencapai kesembuhan,

meskipun beberapa Sanro saat ini tidak jarang memiliki kapasitas pendidikan

yang tinggi, namun mereka tetap memandang segala penyakit disebabkan

oleh adanya gangguan dari kagumbarang mereka yang ada di laut. Sehingga

apabila terjadi penyakit, mereka mengembalikan semua ke laut. Mereka

memohon dan memberi sesajen bagi saudara si sakit yang ada di laut untuk

menyembuhkan penyakit yang diderita melalui bantuan sang Sanro.

Ritual pengobatan menjadi salah satu bentuk kearifan lokal Suku Bajo

yang menjadi daya tarik wisata yang menarik minat wistawan untuk

berkunjung di perkampungan Bajo, kesadaran akan hal tersebut membuka

peluang bagi masyarakat Bajo untuk memberdayakan masyarakatnya berbaur

dengan kegiatan pariwisata, menjamu para tamu dan memperlihatkan

langsung bagaimana pengobatan tradisonal masih tetap dipertahankan.

Menurut Bapak Pondang obat-obatan dan pengobatan tradisonal menjadi

salah satu hal yang menarik dari kehidupan Suku Bajo,

“Tertarik dengan cara-cara orang-orang Bajo disini mereka cari


teripang, panah-panah ikan itu saja. ..., mereka tertarik dengan obat-
obatan bajo, obat-obatan tradisional” (Wawancara dengan Bapak
Pondang, 07 Juni 2017).

Orang Bajo memercayai manusia memiliki empat unsur kehidupan

(tanah, air, api, angin). Hawa nafsu manusia digambarkan sebagai unsur api,
72

sifat penyabar manusia digambarkan sebagai unsur tanah, dan seterusnya.

Sebagai gambaran tentang jenis pengobatan pasien, jika pasien terasa dingin,

dapat dikatakan bahwa unsur air sang pasien sedang sakit. Pengobatan dapat

menggunakan Maduai Kaka, Tuli, maupun Kutta. Jika unsur api yang sakit,

pasien diindikasi sedang kemasukan jin, maka pengobatannya menggunakan

Maduai Kadilaok Kadara.

4.3.1.1. Pengobatan Kaka

Kaka dahulunya merupakan ritual tahunan perayaan ulang tahun

yang dilakukan oleh tiap-tiap orang di Suku Bajo. Kaka dilakukan untuk

menjaga keamanan dan kenyamanan tubuh secara berkala. Namun, Suku

Bajo sekarang hanya melakukan ritual (pengobatan) ini jika orang sakit.

Keseluruhan prosesi Kaka memerlukan waktu kurang lebih sekitar 45

menit. Proses pelaksanaan Kaka memerlukan beberapa alat dan bahan,

yakni tempurung kelapa, Nasi 9 kepal, garam, Sarung 3 buah, benang

kenur, cangkir, kendi, lilin kain, kelapa, beras, janur kelapa, sirih.

Keseluruhan alat dan bahan tersebut kurang lebih seharga Rp. 40.000-,.

Alat dan bahan yang telah dipersiapkan untuk menjadi sesajen.

“disini kan ada susunan pengobatan nya komunitas bajo yang


pertama itu kasih roh itu kalau menurut versi kita orang bajo itu
penyakit yang popoh penyakit setelah itu ada sang roh yang
dipanggil setalah diobati gak turun panasnya, Madui Kakka setelah
itu berangsur panasnya,..” (Wawancara dengan Bapak Rustam, 06
Juni 2017).
73

Kaka diturunkan di laut di depan atau belakang rumah tempat

sesajen disusun. Saat ini di sebagian besar tempat di Mola Raya, laut

tempat penurunan Kaka sudah terlihat seperti kanal, namun pada

hakikatnya air tersebut tetaplah laut karena memang terhubung dengan

laut dan airnya juga asin. Proses penurunan sesajen ini menggunakan

doa-doa yang dibacakan oleh Sanro. Sang Sanro menenggelamkan

sesajen dari atas sampan, kemudian membuang air yang ada di kendi, dan

mengisinya kembali dengan air laut. Setelah itu cangkir berisi tali

semangat diisi dengan air laut, lalu beras ditaburkan ke laut.

Ritual pasca penurunan sesajen dilakukan di dalam rumah.

Kepala dan tubuh orang yang sakit akan diusapi dengan air laut yang

disimpan di kendi. Kemudian Sanro akan menempelkan tali sumanga di

kepala pasien, lalu mencium dahi si pasien sambil membaca doa-doa.

Tali sumanga kemudian akan diikatkan di pergelangan tangan si pasien

dan tidak boleh dilepas hingga ikatan tersebut terlepas sendiri.

Selanjutnya pasien memilih salah satu dari tiga sarung yang ada dan

lipatan sarung akan dibuka di atas kepala pasien. Terakhir Sanro

melakukan penaburan beras di sekelilingnya (KKN-PPM UGM, 2015).

4.3.1.2. Pengobatan Tuli

Orang yang memiliki kagumbarang Tuli jika sakit akan

menggunakan Maduai Tuli dalam pengobatan. Secara umum proses

pengobatan Maduai Tuli sama seperti Kaka. Tuli menggunakan sesajen


74

dan doa-doa disertai ritual-ritual yang berbau animisme. Perbedaan yang

cukup jelas dibanding Kaka adalah sesajennya. Sesajen Tuli menggunakan

tampah yang diisi diantaranya pisang, telor, dan nasi empat warna (hitam,

putih, kuning, dan merah). Warna nasi melambangkan empat unsur bumi

versi Suku Bajo yakni tanah, air, angin dan api. Sesajen Tuli diturunkan di

tengah laut (KKN-PPM UGM, 2015).

Pengobatan menggunakan Maduai Tuli dilaksanakan setelah

pengobatan Maduai Kaka dilakukan tetapi orang yang sakit belum sembuh

juga, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Rustam sebagai Kepala Desa

Perkampungan Bajo di desa Samabahari, Pulau Kaledupa,

“..., setelah itu Madui Tuli karena ada kaitannya kita kan pekerjaan
orang bajo ada kaitannya ada dewa dilaut,...” (Wawancara dengan
Bapak Rustam, 06 Juni 2017).

4.3.1.3. Pengobatan Kutta

Maduai Kutta dilaksanakan pada orang sakit dan memiliki

kagumbaran Kutta. Persiapan Maduai Kutta Menggunakan beberapa

bahan diantaranya daun sirih, kapur, pisang dan nasi. Kutta juga

menggunakan sarung dan beras seperti Manduai Kaka. Secara umum

proses pelaksanaan Kutta pun sama dengan Kaka, yang membedakan

terletak pada sesajen. Sesajen Kutta diturunkan di bagian Palung laut

(KKN-PPM UGM, 2015).

Sama Halnya dengan pengobatan menggunakan Maduai Tuli,

Maduai Kutta dilaksanakan setelah pengobatan Maduai Kaka dilakukan

tetapi orang yang sakit belum sembuh juga, tergantung kagumbarang


75

(kembaran) orang bajo yang sakit. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak

Rustam sebagai Kepala Desa Perkampungan Bajo di desa Samabahari,

Pulau Kaledupa,

“..., Madui Kakka setelah itu berangsur panasnya, setalah itu Madui
Kutta kan dia berjenjang pengobatannya tradisi orang bajo,..”
(Wawancara dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).

4.3.1.4. Pengobatan Kadilaok Kadara

Maduai Kadilaok Kadara merupakan pengobatan tradisional

Suku Bajo yang dilakukan kepada orang yang dianggap kemasukan jin

atau makhluk halus lainnya. Maduai Kadilaok Kadara terhitung lebih

jarang dilakukan dibanding dengan Kaka, Tuli maupun Kutta (KKN-PPM

UGM, 2015).

Selain itu, Maduai Kadilaok Kadara dilaksanakan setelah

pengobatan Maduai Tuli dan Kutta dilakukan tetapi orang yang sakit

belum sembuh juga. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Rustam

sebagai Kepala Desa Perkampungan Bajo di desa Samabahari, Pulau

Kaledupa,

“..., setelah Madui Tuli dia tidak lekas sembuh kemudian kinakang
(nasi), kadilaok (laut), kadarak (darat).” (Wawancara dengan Bapak
Rustam, 06 Juni 2017)

4.3.1.5. Pengobatan Duata

Bila seluruh upaya pengobatan sudah dilakukan dan si pasien belum

juga diberi kesembuhan, maka Duata menjadi upaya terakhir dalam

penyembuhannya. Tradisi duata adalah puncak dari segala upaya


76

pengobatan tradisional suku Bajo. Tradisi ini dilakukan jika ada salah satu

diantara mereka mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan

dengan cara lain termasuk pengobatan medis. Seperti yang diungkapkan

oleh Kepala Desa Samabahari, Bapak Rustam,

"..., Tapi ada pengobatan yang paling besar itu sudah masal itu
Duata itu terakhir Duata. Duata itu sudah masal ongkosnya besar.”
(Wawancara dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).

Kata duata sendiri merupakan kata saduran dari sebutan dewata.

Dalam keyakinan masyarakat Bajo, duata adalah dewa yang turun dari

langit dan menjelma menjadi sosok manusia. Dalam kehidupan

masyarakat Bajo saat ini pelaksanaan tradisi duata tidak terbatas pada

prosesi pengobatan tetapi juga dapat dilakukan dalam acara syukuran dan

hajatan sebagai bentuk penghargaan pada penguasa laut yang mereka sebut

sebagai Mbo Janggo atau Mbi Gulli (BAPPEDA Kabupaten Wakatobi,

2013). Prosesi Duata memerlukan uang yang cukup banyak untuk

persiapan alat dan bahan, sesajen, hingga untuk kebutuhan penari dan

orang-orangnya. Bila ditotal, jumlah uang yang dibutuhkan setidaknya 10

juta rupiah. Duata merupakan penggabungan prosesi pengobatan yang

ditambah dengan tari-tari dan musik gendang, gong, dan bonang (KKN-

PPM UGM, 2015).

Dalam prosesi Duata itu, sejumlah tetua adat berkumpul di satu

ruang pengobatan berukuran sekitar 2 meter persegi. Ada hiasan janur

kuning di bagian atas. Ada pula Ula-Ula, bendera yang merupakan

lambang kebesaran Suku Bajo yang diyakini membawa berkah. Tetua adat
77

yang didominasi perempuan lanjut usia itu meramu berbagai jenis sesaji

ritual. Ada beras warna-warni yang dibentuk melingkar di atas daun

pisang. Ini melambangkan warna-warni sifat manusia. Ada pula

pembakaran dupa yang mengharumkan sekitar pelaksanan kegiatan.

Setelah semuanya teracik sebagai mana kebiasaan sebelumnya, orang yang

akan diobati digiring menuju laut. Sepanjang perjalanan lagu Lilligo tak

pernah putus dinyanyikan diiringi dengan tabuhan gendang. Di barisan

terdepan, ada delapan orang gadis cantik berpakaian adat yang tak

hentinya-hentinya menarikan tarian Ngigal. Di atas perahu semua peserta

juga ada yang menari Ngigal untuk menyemangati orang yang diobati agar

menemukan semangat hidupnya lagi (Udu, 2015). 

Gambar 4.3 Prosesi Pengobatan Duata


Proses Pengobatan Duata merupakan puncak dari segala upaya
pengobatan tradisional Suku Bajo. pengobatan tradisional Suku Bajo.

Sumber : wakatobicenter.com (2015)

Menurut cerita, prosesi ini dilakukan untuk memberi makan saudara

kembar si sakit yang berada di laut. Masyarakat Bajo percaya setiap

kelahiran anak pasti bersama kembarannya yang langsung hidup di laut.

Jika salah satu diantara mereka menderita sakit keras, dipercaya bahwa
78

sebagian semangat hidup orang itu telah diambil oleh saudara kembarnya

yang disebut kaka dan dibawa ke laut. Sebagian lagi diambil oleh dewa

dan dibawa naik di langit ke tujuh. Sehingga prosesi ini dilakukan untuk

meminta kembali semangat hidup yang dibawa ke laut dan ke langit. Usai

pelarungan, si sakit dan tetua adat kembali di tempat semula. Orang yang

sakit akan kembali melalui beberapa prosesi pengobatan seperti mandi

dengan bunga pinang (mayah) yang berguna untuk membersihkan

penyakit yang ada dalam tubuhnya dan mengusir roh jahat yang

menyebabkan sakit. Tetua adat juga akan mengikatkan benang di lengan si

sakit sebagai obat. Konon benang ini berasal dari langit ke tujuh yang

dibawa turun oleh 7 bidadari sebagai obat bagi si sakit. Dari benang yang

tersimpan dalam cangkir, tetua adat dapat mengetahui apakah yang sakit

ini masih dapat sembuh atau tidak (Udu, 2015).

Untuk menguji kesembuhannya, salah satu tetua adat akan

menancapkan keris tepat di atas ubun-ubun orang yang sedang dalam

pengobatan. Selanjutnya tetua adat yang  membawa keris  terhunus

mengitari si orang sakit itu beberapa kali. Ini dilakukan untuk menguji

mental orang yang dalam pengobatan. Pengujian kesembuhan ini juga

dilakukan dengan cara mengadu dua ekor ayam jantan. Jika ayam si sakit

menang maka itu berarti si sakit telah sembuh. Selanjutnya si sakit akan

menghambur-hamburkan beras sebagai wujud kegembiraan karena telah

terbebas dari penyakit yang dideritanya. Sementara keluarga dan sanak


79

saudara bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si sakit (Udu,

2015).

4.3.2. Makanan Khas Suku Bajo

Masyarakat Suku Bajo pada umumnya adalah nelayan. Ketika mereka

mencari nafkah di laut, terkadang perjalanan membutuhkan waktu berhari-

hari. Kasuami menjadi bekal yang sering dibawa oleh para nelayan karena

dapat bertahan hingga 3 hari. Kausami terbuat dari singkong sehingga dapat

menjadi pengganti nasi. Kasuami merupakan makanan khas Wakatobi yang

biasanya dibentuk dalam bentuk kerucut. Suku Bajo sendiri juga memiliki

makanan khas yang sama, namun Kasuami khas suku Bajo dibentuk dalam

bentuk bulat pipih (KKN-PPM UGM, 2015). Makanan khas orang Bajo

lainnya adalah Parede, orang darat (sebutan untuk orang diluar suku Bajo)

biasa menyebutnya Paredek. Parede merupakan Ikan yang dimasak dengan

bumbu sederhana yakni garam, jeruk dan tomat. Seperti pada hasil kutipan

dari wawancara dengan masyarakat setempat yakni Ibu Royani,

“Kalau dari makanannya itu sama saja dengan orang darat, kasuami
juga tapi kita juga yang ciri khasnya itu kalau yang anu gitu, nasi
jagung. ..., parede, orang darat bilang paredek. Tapi kalau kita orang
Bajo bilang parede. Ikan yang dimasak biasa saja, bumbunya sederhana
cuma jeruk dan tomat. Kalau makanan Bajo ini rata-rata praktis dan
minim bumbu. ..., kalau bumbunya itu kelapa yang sudah disangrai
sama bawang putih, lada, dengan jeruk, garam” (Wawancara dengan
Ibu Royani, 03 Juni 2017).
80

Gambar 4.4 Kasuami, Makanan Khas Suku Bajo


Kasuami menjadi bekal yang sering dibawa oleh para nelayan karena
dapat bertahan hingga 3 hari.

Sumber : kompasiana.com (2015)

Selain itu, orang Bajo juga memakan ikan mentah tanpa bumbu, mereka

menyebutnya Titta, sedangkan orang darat menyebutnya Terange, sedangkan

tamu-tamu menyebutnya hampir mirip dengan Sashimi. Orang Bajo tidak

merasa aneh menyantap hasil laut seperti ikan, teripang, cumi, gurita ataupun

bulu babi mentah-mentah. Mereka hanya membersihkan bagian-bagian kotor,

membuang bagian yang tidak dapat dimakan dan menyantap daging hasil laut

tersebut apa adanya tanpa diolah. Kadang ikan hanya dibumbui dengan jeruk

nipis dan kecap saja. Menu-menu ini menjadi warna dalam kehidupan melaut

Suku Bajo. Lowar merupakan makanan khas bajo, Lowar merupakan bumbu

yang digunakan untuk memasak yakni kelapa yang disangrai, bawang putih,

lada, jeruk, dan garam. Berbagai olahan laut yang dapat dijadikan Lowar

antara lain, ikan, siput-siput kecil dan besar, serta tetehe (bulu babi).

“Satu lagi, yang dimakan mentah itu kita bilang disini kalau orang Bajo
bilang Titta’. Kalau orang darat bilang Terange, kalau kita orang bajo
bilang Titta’. Titta atau sashimi. Untuk lauk itu banyak ada juga kita
bilang tetehe rakumba, bulu babi. Kalau untuk bulu babi itu tergantung,
kalau juga yang suka rasa aslinya itu tidak di bumbui. Tinggal direbus
aja atau dimakan mentah. Iya, lebih umumnya dimakan mentah, lebih
enak dari pada direbus. Diambil dari laut langsung dimakan”
(Wawancara dengan Ibu Royani, 03 Juni 2017).
81

Makanan khas Suku Bajo yang sebelumnya hanya menjadi konsumsi

pribadi suku Bajo, saat ini telah menjadi daya tarik wisata. Pengunjung

tertarik untuk mencoba makanan khas suku Bajo. Seperti Kasuami yang

menjadi bekal yang sering dibawa oleh para nelayan karena dapat bertahan

hingga 3 hari, saat ini diproduksi lebih banyak karena tidak hanya menjadi

konsumsi suku Bajo saja, tapi juga diminati oleh ’bagai’ (sebutan penduduk

darat oleh suku Bajo). Selain itu Kasuami juga diminati oleh wisatawan, baik

dimakan langsung maupun digunakan sebagai oleh-oleh.

Titta dan Lowar juga menjadi minat wisatawan yang mengunjungi

perkampungan Bajo. Wisatawan membeli dan belajar memakan ikan mentah

dari anak-anak yang mencari ikan karang pada sore hari. Hal tersebut

membantu anak-anak Bajo untuk mendapat uang saku tambahan. Selain itu

untuk memfasilitasi wisatawan yang ingin merasakan makanan khas Bajo,

ibu-ibu suku bajo membentuk perkumpulan ibu-ibu kuliner Bajo. Mereka

sering mendapatkan pesanan dari LEPA – MOLA, instansi pemerintah dan

hotel-hotel di Wakatobi. Hal tersebut dapat menjadi mata pencaharian

alternatif bagi ibu-ibu suku Bajo.

4.3.3. Menyuluh

Bagi Suku Bajo, anugerah Tuhan yang diberikan kepada meraka adalah

lautan yang luas dengan segala isinya. Lautan yang kaya itu dalam alam

pikiran Suku Bajo memberikan pemahaman bahwa segala isinya

dimanfaatkan manusia, tak ada habis-habisnya. Filsafat hidup yang tertanam


82

dalam alam pikiran suku Bajo dari generasi ke generasi ini mengandung

pesan agar mempergunakan dan mengelola lautan dengan sebaik-baiknya

(Saad, 2009). Sebagai masyarakat pesisir yang menggantungkan kegiatan

perekonomian pada Sumber daya laut, dalam hal ini perikanan. Masyarakat

suku Bajo, berfokus pada budaya pemanfaatan dan pengelolaan Sumber Daya

Laut di perairan dangkal, khususnya di area ekosistem terumbu karang, maka

lahirlah penggunaan teknologi penangkapan ikan yang disesuaikan dengan

lingkungan ekosistem seperti penggunaan sampan, alat pancing, jaring kecil,

tombak, bambu, dan sebagainya. Kegiatan ini dikenal dengan istilah

menyuluh, salah satu kegiatan yang biasa dilakukan di malam hari oleh Suku

Bajo. Menyuluh adalah kegiatan mencari ikan dengan cara menombaknya di

laut. Kegiatan ini disebut menyuluh karena kegiatan ini biasanya dilakukan di

malam hari dengan menggunakan bantuan penerangan berupa senter (suluh).

Menjelang magrib, para penyuluh berangkat ke laut untuk mencari ikan,

durasinya rata-rata tiga jam (KKN-PPM UGM, 2015).

Gambar 4.5 Suku Bajo Menyuluh dan Berjalan di Bawah Laut


kegiatan ini biasanya dilakukan di malam hari dengan menggunakan
bantuan penerangan berupa senter (suluh).

Sumber : en.rocketnews24.com (2015)


83

Kegiatan menyuluh termasuk dalam kearifan lokal yang mengandung

unsur dimensi sumber daya lokal, suku Bajo yang memandang laut sebagai

sumber segala mata pencaharian amat sangat menjaga kelestarian ekosistem

laut, pengembangan sumber daya manusia dilakukan dengan cara

memberikan pengetahuan kepada masyarakat bagaimana cara-cara mengelola

hasil laut secara maksimal namun tetap sesuai kebutuhan dan tidak

mengeksploitasi laut secara besar-besaran. Kegiatan menyuluh ini merupakan

atraksi pariwisata yang diminati oleh wisatawan dan para peneliti. Wisatawan

dan peneliti mendokumentasikan kegiatan menyuluh yang dilakukan oleh

nelayan suku Bajo.

4.3.4.Meti (Mencari Tetehe)

Meti dalam bahasa Bajo artinya surut. Ketika air laut sedang surut,

orang Bajo memanfaatkannya untuk menyuluh dan mencari tetehe (bulu

babi). Meti dapat diartikan pula sebagai kegiatan mencari tetehe (bulu babi)

saat laut sedang surut. Di laut sekitar perkampungan Bajo, berkedalaman 20-

50 cm, akan mudah ditemukan tetehe (bulu babi) tersebar di antara tumbuhan

laut dasar. Teripang dan bintang laut berukuran kecil hingga besar akan

menjadi selingan dalam pencarian tersebut. Untuk menuju tempat pencarian,

orang Bajo mendayung 100 m menggunakan lepa dibura atau lepa kaloko

(KKN-PPM UGM, 2015).


84

Gambar 4.6. Anak Bajo Mencari Tetehe (Meti)


Meti merupakan kegiatan mencari tetehe (bulu babi) disaat
laut sedang surut.

Sumber : Kompasiana.com (2010)

Tetehe yang didapatkan biasanya langsung dapat dikonsumsi mentah-

mentah atau dilowar. Tetehe yang dulunya menjadi konsumsi pribadi

masyarakat bajo, saat ini juga diminati oleh masyarakat darat dan wisatawan.

Sebagian orang juga menjualnya ke pasar, tidak sedikit juga orang darat yang

menyukai tetehe, mereka dapat membelinya dari orang Bajo di pasar

Perkampungan Suku Bajo di Mola.

Gambar 4.7 Penjual Tetehe


orang bajo menjual tetehe (bulu babi) di pasar Perkampungan Suku
Bajo di Mola

Sumber : Dokumentasi Peneliti (2017)

.
85

4.3.5. Bedak Pupur

Bedak Pupur merupakan bedak yang biasa digunakan oleh masyarakat

suku Bajo. Bedak Pupur bisa digunakan oleh siapa saja. Saat ini bedak pupur

sering digunakan oleh para perempuan suku Bajo. Kadang orang menyebut

bedak pupur ini sebagai bedak dingin. Bedak ini memang dapat melindungi

pemakainya dari sengatan panas matahari. Menurut Suku Bajo, bedak ini

dapat menghilangkan keringat, juga jerawat. Bedak pupur dijual dalam

bentuk bulat-bulatan seperti kacang atom, dengan harga 5 ribu rupiah per tiga

bungkus ukuran segenggam tangan.

Gambar 4.8 Perempuan Bajo memakai Bedak Pupur


Bedak Pupur digunakan pemakainya untuk melindungi dari sengatan
panas matahari.

Sumber : travel.detik.com (2015)

Untuk menggunakan bedak pupur yang masih dalam bentuk bulatan

harus diberi air dan ditumbuk agar merata, kemudian baru dioleskan di bagian

tubuh yang diinginkan, biasanya di wajah. Bedak pupur terbuat dari beras,

gula, daun mangkok, kunyit, dan berbagai jenis bahan dasar lainnya. Ada dua

jenis bedak pupur, jenis yang pertama adalah bedak pupur yang digunakan

untuk aktivitas luar rumah. Bedak pupur jenis ini menggunakan campuran
86

daun mangkok. Jenis yang kedua adalah bedak pupur yang digunakan untuk

aktivitas didalam rumah, bedak ini menggunakan campuran kunyit (KKN-

PPM UGM, 2015).

Banyak wanita suku Bajo memakai bedak pupur ini, membuat Bedak

pupur menjadi daya tarik wisata yang diminati oleh wisatawan. Bedak pupur

merupakan salah satu tujuan walking tour yang diadakan oleh LEPA –

MOLA. Bedak pupur yang dulunya hanya menjadi konsumsi pribadi oleh

wanita suku bajo, saat ini bernilai ekonomi yang dapat dijual kepada

wisatawan.

“Lalu pembuatan bedak pupur, itu juga ketika mereka (tamu) mencoba,
pasti meraka beli.” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31 Mei 2017)

4.3.6. Perahu Suku Bajo

Perahu tradisional Suku Bajo ada beberapa jenis, diantaranya adalah

body batang, lepa kaloko, lepa dibura, soppe, dan lambo. Masing-masing

perahu memiliki bentuk yang khas dan digunakan untuk keperluan yang

berbeda-beda. Perahu tradisional Suku Bajo dibuat dari kayu Katali dan kayu

Kalimpapa (Saad, 2009). Proses pembuatan perahu bermacam-macam

bergantung jenis perahunya. Perahu kecil secara umum lebih simpel dan

tanpa menggunakan ritual khusus. Sedangkan perahu besar sebaliknya, proses

pembuatannya cukup rumit dan membutuhkan ritual khusus, misalnya dengan

membacakan mantra dan doa-doa saat pemasangan tunas dan sebagainya.

Perahu Jenis Body Batang biasa digunakan untuk menangkap ikan tuna

dan cakalang di karang-karang. Perahu jenis Lepa Dibura merupakan sampan


87

berukuran sedang yang muat untuk delapan orang. Sampan ini digunakan

untuk memancing di karang selama satu sampai dua hari. Selain itu Lepa

Dibura juga digunakan sebagai alat transportasi antar pulau yang berdeketan.

Lepa Kaloko merupakan perahu berukuran ramping dan kecil sehingga

membutuhkan keahlian untuk menggunakannya. Lepa Kaloko digunakan

sebagai alat transportasi jarak dekat dan untuk mencari ikan tuna maupun

cakalang pada jarak yang tidak terlalu jauh. Jolor merupakan jenis perahu

yang biasa digunakan untuk menangkap ikan sulur, kerapu, atau gurita. Soppe

merupakan jenis perahu yang digunakan untuk mencari ikan di tempat-tempat

yang jauh. Lambo merupakan jenis perahu berukuran besar yang dahulu

sering digunakan untuk berlayar ke Jawa, membeli berbagai macam barang

untuk kemudian dibawa ke Wakatobi (Saad, 2009).

Lepa-lepa atau koli-koli merupakan perahu yang digunakan oleh

masyarakat Bajo untuk transportasi antar rumah. Perahu ini menjadi daya

tarik wisata di perkampungan suku Bajo. Masyarakat Bajo sering diminta

untuk mendayung koli-koli yang ditumpangi oleh wisatawan. Seperti yang

diungkapkan oleh bapak Mukmin,

“Malah kalau tamu banyak kami ambil dari luar pendayungnya itu.
Tidak dari kami lagi, kami jadi guide saja. Cuma guide, nanti yang
dayung masyarakat” (Wawancara dengan Bapak Mukmin, 03 Juni
2017)

Tidak hanya lelaki dewasa yang diminta untuk mendayung perahu

yang ditumpangi oleh wisatawan, anak-anak suku Bajo juga sering diminta
88

untuk mendayung dan mendapatkan uang saku tambahan dari jasa

mendayung. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Rustam,

“Kadang perahu dia sewa kadang anak-anak yang sering dayung


ditengah kampung dia kasih uang sehingga anak-anak jajan tidak minta
lagi ke orang tuanya” (Wawancara dengan Bapak Rustam, 06 Juni
2017).

4.3.7. Carumeng

Carumeng adalah sebutan untuk kacamata renang tradisional orang

Bajo. Carumeng juga biasa disebut cermin kaca. Bentuknya cukup unik

karena framenya terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa agar bisa

sesuai dengan kontur mata kita. Frame tersebut kemudian dilengkapi dengan

cermin kaca yang direkatkan dengan lem agar tidak tertembus oleh air.

Terakhir karet disambungkan di dua ujung frame kayu dan jadilah kacamata

renang tradisional. Orang bajo biasa menggunakan carumeng untuk berenang,

terutama jika menyuluh. Orang bajo biasanya membuat sendiri carumeng

yang mereka gunakan. Kekhasan Carumeng ini, menarik minat wisatawan

untuk memilikinya, sehingga menjadi peluang usaha orang Bajo untuk

menjualnya ke wisatawan, seperti Bapak Jabira di Desa Samabahari.

“..., oh bukan ini khusus orang bule itu untuk orang bajo sendiri jarang
ada yang beli, kan bikin sendiri. ..., ya tidak begitu laris tapi kalau
musim turis ya laris, kalau ini kita kejar bulan 6 nanti musim turis lagi”
(Wawancara dengan Bapak Jabira, 07 Juni 2017).

Carumeng menjadi benda khas suku Bajo yang saat ini memiliki nilai

ekonomi, karena dapat dijual kepada wisatawan yang tertarik pada kearifan

lokal suku Bajo.


89

Gambar 4.9. Pembuatan Carumeng


Carumeng adalah sebutan untuk kacamata renang tradisional orang Bajo

Sumber : Dokumentasi Peneliti (2017)

4.3.8. Pemukiman Suku Bajo

Pemukiman komunitas Suku Bajo memiliki ciri khas berupa rumah

panggung, bertiang kayu, berdinding dan berlantai papan, serta atap rumbia.

Pemukiman Suku Bajo dibangun berkelompok di pesisir pantai dan sebagian

menjorok ke laut. Pemukiman Suku Bajo lebih dominan memusat di suatu

bagian wilayah dan terpisah dari komunitas etnik lainnya. Hal ini disebabkan

keakraban dan keeratan hubungan antar anggota keluarga Suku Bajo,

sehingga mereka tinggal berkelompok. Meski demikian, tidak berarti

komunitas Suku Bajo menutup diri dari pergaulan dengan komunitas lainnya.

Mereka sangat menyadari keterbukaan terhadap komunitas lain dalam

kehidupan bermasyarakat sangat diperlukan untuk menjamin kebutuhan


90

hidup. Interaksi ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah

tangga mendorong mereka berinteraksi-sosial dengan komunitas lainnya

(Saad, 2009).

Gambar 4.10. Pemukiman Suku Bajo


Pemukiman Suku Bajo dibangun berkelompok di pesisir pantai dan
sebagian menjorok ke laut.

Sumber : Dokumentasi Peneliti (2017)

Meski pemukiman Suku Bajo sebagian berada diatas laut, namun tetap

menjaga keberadaan ruang terbuka atau semacam koridor di kawasan

pemukiman untuk lalu lintas keluar-masuk perahu guna interaksi ekonomi

anggota masyarakat. Koridor untuk lalu lintas perahu ini pun tetap

dipertahankan, ketika rumah-rumah Bajo sudah dikelilingi tembok batu

karang. Koridor ini tak ubahnya seperti gang atau jalan kecil berupa jembatan

kayu di kampung-kampung pemukiman darat seperti yang terlihat di

kecamatan Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi. Wajah pemukiman Suku

Bajo di beberapa desa di Wakatobi pertumbuhannya cukup mengkhawatirkan

dengan semakin banyaknya tempat tinggal permanen yang berfondasi batu

karang di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan (Saad, 2009).

Rumah panggung suku Bajo yang berada di atas laut merupakan daya

tarik tersendiri bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan yang ingin


91

merasakan tinggal di rumah suku Bajo. Beberapa rumah suku Bajo di desa

Samabahari telah dikomersialkan menjadi homestay. Suku Bajo yang

menyewakan rumahnya untuk dijadikan homestay mendapatkan penghasilan

tambahan, namun mereka harus memperhatikan fasilitas yang dibutuhkan

wistawan tanpa merubah kearifan lokal dari pemukiman suku Bajo yang telah

ada.

4.3.9. Kain Tenun Tradisional Bajo

Kaum Ibu di Suku Bajo memiliki kerajinan kain tenun tradisional

sebagai kegiatan ekonomi mereka. Kain Ledja dan Kasopa ditenun dengan

alat-alat tradisional dengan berbagai motif khas suku Bajo. Suku Bajo

percaya kepada kearifan lokal dari pada instrumen-instrumen modern yang

berkembang masif di luar kebudayaan Suku Bajo (BAPPEDA Kabupaten

Wakatobi, 2013).

Menurut Ibu Hapsah, saat wawancara dengan peneliti, kain tenun Khas

Suku Bajo ini merupakan warisan nenek moyang yang sangat diminati oleh

tamu yang datang dan mengunjungi perkampungan Suku Bajo. Tidak hanya

dijual berupa lembaran, kain tenun tersebut juga dikreasikan Ibu-ibu Bajo

menjadi Tas, Tempat pensil, dan Syal. Biasanya Syal dipesan oleh Dinas

Kabupaten Wakatobi untuk dikalungkan pada tamu pemerintahan yang

datang dalam acara penyambutan tamu.

“Kalo saya membuat ini (kain) sudah lama, dari Ibu, dari orang dulu-
dulu.Kalo yang daur ulang pertama dari WWF. Kalo kainnya kreasi
dompet, tas belajar juga dari jogja, dari bali, pergi ke pasar-pasar studi
banding. ...pesanan dari Pariwisata, itu biasanya syal yang dikalungkan.
92

Ya bisanya bikin tas, bikin dompet, bikin kalung” (Wawancara dengan


Ibu Hapsah, 03 Juni 2017).

Aktivitas menenun menghasilkan kain Ledja dan Kasopa merupakan

bentuk usaha yang dilakukan para kaum ibu untuk mengembangkan potensi

yang mereka miliki. Mereka sadar akan tingginya nilai seni yang terkandung

pada setiap motif tenun yang mereka buat yang menjadi yang menjadi salah

satu cinderamata yang paling diburu oleh wisatawan. Kegiatan menenun

adalah usaha untuk menambah pendapatan ibu-ibu melalui penjualan hasil

tenun kepada para wisatawan.

Keragaman kearifan lokal yang ditemui pada masyarakat Suku Bajo di

Wakatobi mulai menarik minat masyarakat untuk dilakukan pengembangan

kearifan lokal tersebut sebagai upaya meningkatkan daya tarik wisata sekaligus

sebagai pemberdayaan masyarakat berbasis budaya di Wakatobi.

Pembangunan pariwista berkelanjutan di Wakatobi diharapkan bisa tetap

melestarikan adat dan tradisi Suku Bajo yang sulit dilepaskan dari laut. Program

ini, ditujukan untuk memberdayakan masyarakat dalam mengelola potensi wisata

yang ada di daerah ini sehingga mereka bisa merasakan dampaknya (Ashdiana,

2015).

“Tidak hanya bertumpu pada keindahan alam laut, tapi juga memperkenalkan
kepada wisatawan berbagai kekayaan budaya suku bajo (Cultur Walking
Tour), kesempatan untuk mengamati dan membaca bintang (star-telling) yang
merupakan keahlian suku bajo. ..., Selain itu wisatawan akan diajak
bersampan di perkampungan Suku Bajo Mola, mengamati lumba-lumba dan
memperkenalkan kuliner Bajo” (Tonggo Marbun, Deputi Regional CEO
Sulawesi dan Maluku Bank Mandiri dalam Ashdiana, 2015).
93

Berdasarkan teori komodifikasi, Piliang (2011) menyatakan bahwa

komodifikasi merupakan suatu proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya

bukan komoditas menjadi komoditas. Komoditas memiliki fungsi sebagai nilai

tukar yang dapat memberikan keuntungan yang lebih banyak dari yang

sebelumnya. Sebagai contoh komodifikasi yang telah diupayakan oleh masyarakat

Suku Bajo adalah melalui pengemasan pariwisata yang disuguhkan bagi para

wisatawan melalui kearifan lokal yang ada. Seperti contoh pengobatan tradisional

Suku Bajo yang dilakukan ketika hanya ada orang Bajo yang sakit. Bagi wisatwan

yang ingin melihat pengobatan tradisional tidak harus menunggu ada orang Bajo

sakit kemudian dilakukan pengobatan, melainkan cukup dengan membayar orang

Bajo untuk dapat mengadakan pengobatan tradisional Suku Bajo.

Komodifikasi memiliki artian yang luas, tidak hanya menyangkut masalah

produksi komoditas jual-beli barang dan jasa. Permasalahan lain yakni

menyangkut bagaimana proses distribusi dan konsumsi barang dan jasa juga

termasuk di dalamnya. Lebih jauh komodifikasi sebagai proses di mana domain-

domain dan institusi-institusi sosial, mengorganisasikan dirinya untuk dapat

melakukan produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas. Komodifikasi dalam

bidang kesenian tradisional dan warisan budaya pun saat ini dapat dikomersilkan

dengan tujuan untuk dijadikan barang/jasa perdagangan di sektor pariwisata.

Kegiatan wisata budaya berbasis kearifan lokal pada Suku Bajo telah

diupayakan dikemas dalam bentuk pariwisata yang dinaungi oleh salah satu

organisasi yang bernama LEPA – MOLA. LEPA – MOLA sebagai organisasi

yang menghubungkan antara wisatawan dan masyarakat Suku Bajo. Organisasi ini
94

dibentuk bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dalam mengelola potensi

wisata yang ada di daerah ini sehingga mereka bisa merasakan dampaknya.

Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Samran sebagai ketua LEPA – MOLA,

“Karena dalam paket kami, kami sengaja jalan ke tempat pembuatan alat
tangkap. Ada salah satu kelompok, ketika kami lewat tamu pasti beli untuk
kenang-kenangan. Lalu pembuatan bedak pupur, itu juga ketika mereka
(tamu) mencoba, pasti meraka beli. Dampak pariwisata yang ada ini juga
mereka dapatkan, kelompok ibu-ibu. Ditempat olahan ikan, jadi abon dari
ikan tuna, kelompok itu juga dapatkan secara langsung manfaatnya. Nah
artinya lewat ini semua kami promosikan. Ketika kami buka paket wisata dan
mengunjungi tempat-tempat itu, pasti mereka dapatkan manfaatnya.
Kerumah-rumah tancap, disana banyak yang menjual makanan-makanan
cemilan, mereka juga dapatkan manfaatnya. Nah, yang ditempat kerajinan
sovenir, oleh-oleh itu juga mereka juga dapatkan manfaatnya. Nah ini salah
satu tujaun paket kami. ..., Artinya masyarakat juga sadar. Jadi mereka
menganggap LEPA – MOLA berkontribusi, dan banyak teman-teman yang
diberdayakan, dan bermanfaat bagi semua” (Wawancara dengan Bapak
Samran, 31 Mei 2017)

Dalam bidang pariwisata, penerapan komodifikasi merujuk langsung pada

makna kebudayaan suatu daerah tertentu terlebih lagi jika melibatkan

pemanfaatan simbol-simbol ikon-ikon hingga indeks-indeks seni, budaya, dan

agama. Dengan penggunaan teknologi media, komodifikasi tentu sudah menjadi

suatu ritual usaha ekonomi sempurna (Darmadi, 2006). Pengembangan kawasan

wisata ini bertujuan untuk mendorong sektor pariwisata berbasis komunitas di

Sulawesi Tenggara untuk meningkatkan ketrampilan pengelolaan wisata oleh

masyarakat setempat.

"Sebagai daerah pariwisata, Wakatobi memiliki keunggulan berupa


keindahan alam dan etnik yang menarik untuk dikembangkan secara
berkelanjutan. Kami bersama British Council hadir di kawasan ini untuk
memberikan nilai tambah bagi masyarakat" (Tonggo Marbun, Deputi
Regional CEO Sulawesi dan Maluku Bank Mandiri dalam Ashdiana, 2015).
95

4.4. Suku Bajo dalam Mempertahankan Kearifan Lokal

Nenek moyang suku Bajo dikenal sebagai masyarakat laut, hidup secara

nomaden (berpindah-pindah) atau manusia perahu (sea nomedic atau sea gypsies)

(Brown, 1993). Umumnya, tempat tinggal mereka dinamai “Negeri di Atas

Karang‟, yaitu permukiman yang terletak di atas laut. Suku Bajo merupakan

komunitas atau masyarakat di Indonesia, dan meyebar ke berbagai pulau-pulau.

Mereka menempati lahan di sepanjang pesisir pantai bahkan hingga ke arah lautan

bebas, sehingga permukimannya pun berada diatas air, tempat mereka mencari

dan menjalani penghidupan (Zacot, 1979). Orang Bajo telah mengenal

permukiman setelah “menetap‟ pada suatu tempat, tempat tinggal dibangun

menggunakan tiang-tiang di air, sedang perahu mereka ditempatkan di bawah

tempat tinggal. Perkampungan berada jauh menjorok ke arah laut bebas, karena

berfungsi sebagai tempat mencari penghidupan. Laut adalah tempat utama dalam

kehidupannya, dan hasil laut diperoleh secara tradisional. Walaupun saat ini Suku

Bajo tidak hidup secara nomaden lagi diatas perahu, namun mereka masih

memiliki kearifan lokal yang unik.

Perkembangan zaman menjadi tantangan bagi komunitas Suku Bajo dalam

mempertahankan kearifan lokal yang mereka miliki. Kekhawatiran terhadap

pergeseran budaya muncul dengan semakin banyaknya wisatawan yang membawa

kebiasaan mereka dari luar yang berbeda dengan budaya Bajo. Hal ini

diungkapkan oleh Bapak Rosman, guru sekaligus anggota LEPA – MOLA dalam

wawancaranya dengan peneliti tentang pergeseran budaya yang mungkin akan

terjadi ke depannya.
96

“Mungkin kalo dampak yang signifikan belum kita rasakan. Itu juga yang kita
khawatirkan. Dengan adanya pariwisata tentu ada dampak positif dan
negatifnya. Sisi negatifnya tentu dengan adanya kunjungan yangg lebih
banyak pergeseran budaya akan terjadi. ..., Kami mencoba untuk melestarikan
budaya kita yang memang tidak kelihatan, karena ada perkembangan zaman,
anak-anak sekarang untuk mencintai budaya mereka kadang tergeser. Nah, itu
yang kita coba pertahankan (kearifan lokal), banyak sekali yang mesti kita
pertahankan” (Wawancara dengan Bapak Rosman, 01 Juni 2017).

Atas kekhawatiran yang muncul akan pergeseran budaya yang nantinya akan

terjadi, masyarakat Bajo sesegera mungkin melakukan upaya-upaya

mempertahankan kearifan lokal, sehingga budaya yang mereka miliki tidak

hilang. Upaya-upaya yang mereka lakukan antara lain, mengumpulkan dan

menyusun kembali budaya-budaya suku Bajo. Pengumpulan budaya-budaya Bajo,

dilakukan untuk menggali kembali budaya yang hampir hilang, karena budaya

tersebut jarang lagi dilakukan oleh masyarakat Bajo. Seperti yang diungkapkan

oleh Bapak Mukmin,

“Ada juga ini pariwisata kami mau kembalikan tentang budaya yang hampir
tenggelam itu. ..., Macam Ikiko. Ikiko kan hampir tidak dikenali itu. Ikiko
itu semacam nyinden. Yang menyanyi tentang khas bajo. ..., Pemuda itu
tidak tertarik. Kakek-kakek itu yang suka cerita. Kalau disitu ada sejarah-
sejarah, cerita orang Bajo. Semacam dongeng-dongeng tentang Bajo”
(Wawancara dengan Bapak Mukmin, 03 Juni 2017).

Hal tentang penggalian budaya suku Bajo yang hampir tenggelam juga

diungkapkan oleh Bapak Rosman,

“ Kami akan sharing ke orang-orang tua tentang budaya-budaya apa yang


bisa kita lestarikan. Kita mencoba workshop tentang budaya, kita gali
kembali budaya yang ada. Tapi itu memerlukan profit yang lebih, dengan
mendapatkan dana yang lebih banyak. Minimal kita harus menghargai
waktu orang tua yang kita sita” Rosman, 01 Juni 2017)
97

Selain untuk memunculkan kembali budaya yang hampir tenggelam, upaya

penggalian ini juga bertujuan untuk menyamakan informasi tentang budaya Bajo,

sehingga informasi tentang budaya Bajo tidak berbeda antara satu dengan yang

lainnya.

“Sehingga informasi tentang budaya, kami ada orang-orang yang siap


memberikan informasi itu. Informasi pasti beda-beda, setelah kami
melakukan penggalian dari sejarah tentang budaya, otomatis kami tahu
orang-orang tua yang mampu untuk memberikannya, sehingga informasi
tidak beda-beda” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31 Mei 2017)

Upaya yang berikutnya dilakukan adalah pengenalan budaya kepada

generasi suku Bajo sedini mungkin. Pengenalan tersebut dilakukan dengan cara

memberikan sosialisasi tentang wawasan kebudayaan kepada generasi muda suku

Bajo. Bapak Samran melalui LEPA – MOLA (lembaga pariwisata di Desa Mola,

Pulau Wangi-wangi) mencoba untuk melakukan kegiatan sosialisasi budaya ke

beberapa Sekolah Dasar di perkampungan Bajo, Desa Mola, Pulau Wangi-wangi.

“Lalu masalah budaya, karena anak-anak saat ini sudah banyak yang tidak
mengetahuinya. Setelah selesai kami gali sejarah ini, kami masuk ke
sekolah-sekolah untuk bercerita tentang Suku Bajo untuk menguatkan
kembali budaya yang ada disini” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31
Mei 2017)

Bapak Rosman sebagai guru di salah satu Sekolah Dasar di Desa Mola,

sekaligus anggota LEPA – MOLA juga merasa bahwa sosialisasi budaya untuk

memperkuat dan melestarikan budaya kepada generasi muda Bajo merupakan hal

yang penting.

“Kalau kami, kegiatan kemarin masih sebatas sederhana yang kami lakukan.
Kami memperkenalkan budaya Starkling, memperkenalkan menggunakan
bintang, bagaimana sejarah menghargai lingkungan melalui starkling itu
98

kami perkenalkan ke anak- anak, kami undang beberapa SD disini dan


gurunya untuk mendampingi” (Wawancara dengan Bapak Rosman, 01 Juni
2017).

Di desa Mola, perkampungan suku Bajo di Pulau Wangi-wangi, terdapat

lembaga yang mengelola pariwisata yakni bernama LEPA – MOLA (rincian lebih

detail tentang lembaga ini dibahas pada 4.5.4 Pembentukan Lembaga suku Bajo

dalam bidang Pariwisata). LEPA –MOLA mengusung kearifan lokal Suku Bajo di

desa Mola sebagai paket wisata unggulan di perkampungan Bajo, Desa Mola,

yakni Star Telling, Canoeing, Dolphin Watching, Kuliner Khas Bajo, Walking

Tour. Dari kelima paket tersebut merupakan cerminan identitas suku Bajo.

Dengan mengusung kearifan lokal sebagi paket wisata diharapkan dapat

membantu melestarikan budaya Bajo dan juga mengenalkannya kepada

masyarakat luas.

“Memang kita ini adalah suku bajo. Yang kita kembangkan adalah budaya
Suku Bajo, khususnya yang ada di Mola. ..., Justru dengan adanya lembaga
pariwisata ini, kita berfikir kesitu, karena ini adalah tour budaya. Lewat ini
kita kembangkan budaya yang ada” (Wawancara dengan Bapak Rosman,
01 Juni 2017).

Bapak Rosman menambahkan, bahwa paket wisata yang diusung oleh LEPA

– MOLA merupakan cerminan dari budaya Bajo di desa MOLA,

“Sebenarnya dalam paket wisata, yang kelima paket itu, sebenarnya


mencerminkan identitas kita sebagai suku bajo. Di Canoeing saja, ada spot
yang kita singgahi ada ceritanya. Kita singgahi pembuatan alat tangkap,
sampai kita melakukan memancing di keramba, ada juga jalur kita menuju
ke pasar. Itu menceritakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan Suku
Bajo. ...,Disini kan ada spot-spot yang kita datangi. Spot pembuatan alat
tangkap, spot kuliner, ada juga pembuatan bedak pupur, ada juga pembuatan
oleh-oleh dan juga budanyanya. Ada pengobatan, dan ada juga starkling
99

yang berbicara tentang navigasi suku bajo, bagaimana caranya melaut, bagai
caranya membaca bintang” (Wawancara dengan Bapak Rosman, 01 Juni
2017).

Tidak hanya di Desa Mola, Pulau Wangi-wangi saja, kelembagaan untuk

mempertahankan kearifan lokal juga ada di Desa Samabahari, Pulau Kaledupa.

Berbeda dengan LEPA – MOLA, menurut Kepala Desa Desa Samabahari, Bapak

Rustam, kelembagaan Desa Samabahari berbentuk kumpulan Sanro (Dukun

pengobatan tradisional Bajo) sebagai tokoh dalam mempertahankan kearifan

lokal Bajo.

“Kalau usahanya untuk mempertahankan kearifan lokal itu disini kan ada
organisasi seperti organisasi Sanro, ada orang tua yang nama nya disini
Sanro lah orang itulah yang mempertahankan kearifan lokal” (Wawancara
dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).

Dengan memberikan wawasan tentang kebudayaan yang mereka miliki dan

perkembangannya terhadap pariwisata diharapkan generasi muda dapat lebih

mencintai dan peduli terhadap kebudayaan Bajo. Karena kebudayan yang mereka

miliki merupakan salah satu aset untuk memperbaiki kehidupan mereka.

Salah satu dampak positif dengan adanya pariwisata di perkampungan Bajo

adalah rasa bangga akan budaya yang orang bajo miliki, baik di Desa Mola

maupun Desa Samabahari. Mereka merasa perlu mempertahankan kebudayaan

khas Bajo, karena dapat menjadi daya tarik wisata bagi wisatawan. Bahkan,

wisatawan yang datang di perkampungan Bajo harus menyesuaikan kebudayaan

yang ada disana. Hal tersebut membantu masyarakat Bajo untuk mempertahankan

kearifan lokal yang mereka miliki dari kemungkinan pergeseran budaya dengan
100

adanya perkembangan pariwisata yang ada. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak

Mukmin, selaku anggota LEPA – MOLA,

“Malah mereka itu ada apa di nasehati kalau ada yang pakaian minim itu
disuruh pakai sarung. Jadi kami simpan sarung. Masyarakat tidak suka
melihat ada tamu seksi katanya memakai celana pendek, kasih tahu dia
jangan pakai celana begitu karena disini kan jarang orang gadis-gadis kita
kan pakai celana begitu, dianggap tidak sopan” (Wawancara dengan Bapak
Mukmin, 03 Juni 2017).

Hal serupa diungkapkan juga oleh Bapak Rustam, masyarakat Bajo di desa

Samabahari merasa bangga akan kebudayaan yang mereka miliki hingga menjadi

daya tarik bagi wisatawan,

“Kalau datang wisata itu artinya tidak juga berpengaruh malah mereka
senang dengan kearifan lokal disini.” (Wawancara dengan Bapak Rustam,
06 Juni 2017)

Bapak Iskandar juga memberikan pernyataan yang sama tentang

kebanggaan terhadap kebudayaan Suku Bajo yang menjadi daya tarik pariwisata,

“..., tidak malah bangga ada orang lain ada orang luar yang tertarik
keberadaan mereka itu membuat percaya diri mereka keberadaan nya
orang bajo meningkat. ..., iya mempertahankan kebudayaan nya, yang
dianggap orang lain itu kehidupan yang rendah yang kelas ketiga kalau di
depan turis dia sesuatu yang besar. ..., kita sudah punya aturan-aturan
tertentu seperti tidak boleh pakai pakaian pendek, tidak boleh pakai bikini
di depan umum. Belum ada dampak negatif. ya harus ada mungkin kita di
desa ini harus membuat aturan harus membuat kesepakatan bersama apa
yang boleh apa yang tida boleh dilakukan kalau bule-bule datang kesini.
Disini hanya minuman keras saja dia bersembunyi biar tidak kelihatan
mabok di depan umum. Harus ada aturan bersama yang dibuat oleh
masyarakat. saya pikir cukup seperti ini saja cukup mempertahankan
kebudayaan saja sudah menjadi nilai daya tarik” (Wawancara dengan
Bapak Iskandar, 06 Juni 2017).
101

Dari beberapa hasil wawancara, beberapa narasumber mengungkapkan

bahwa telah terjadi pergeseran budaya akibat dari perkembangan zaman dan

masuknya wisatawan yang membawa kebiasaan yang berbeda dengan budaya

bajo. Atas kekhawatiran yang muncul akan pergeseran budaya yang nantinya akan

terjadi, maka sesegera mungkin dilakukan upaya-upaya untuk menanggulanginya.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang sadar bahwa budaya suku

Bajo merupakan daya tarik dan menjadi aset penting dalam mengembangkan

pariwisata. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain, (1) Mengumpulkan dan

menyusun kembali budaya-budaya suku Bajo. Pengumpulan budaya-budaya Bajo

dilakukan untuk menggali kembali budaya yang hampir hilang, karena budaya

tersebut jarang lagi dilakukan oleh masyarakat Bajo. Selain itu, pengumpulan

budaya-budaya bertujuan untuk menyamakan informasi tentang budaya Bajo,

sehingga informasi tentang budaya Bajo tidak berbeda antara satu dengan yang

lainnya. (2) Pengenalan budaya kepada generasi suku Bajo sedini mungkin.

Pengenalan tersebut dilakukan dengan cara memberikan sosialisasi tentang

wawasan kebudayaan kepada generasi muda suku Bajo. Dengan memberikan

wawasan tentang kebudayaan yang mereka miliki dan perkembangannya terhadap

pariwisata diharapkan generasi muda dapat lebih mencintai dan peduli terhadap

kebudayaan Bajo. Karena kebudayan yang mereka miliki merupakan salah satu

aset untuk memperbaiki kehidupan mereka. (3) Mengusung kearifan lokal Suku

Bajo di desa Mola sebagai paket wisata unggulan di perkampungan Bajo. Paket

wisata yang disusun merupakan cerminan identitas suku Bajo. Dengan


102

mengusung kearifan lokal sebagi paket wisata diharapkan dapat membantu

melestarikan budaya Bajo dan juga mengenalkannya kepada masyarakat luas.

Upaya–upaya yang dilakukan merupakan usaha untuk memuculkan rasa

bangga akan budaya yang orang bajo miliki, baik di desa Mola dan desa

Samabahari. Sehingga suku Bajo merasa perlu mempertahankan kebudayaan khas

Bajo, karena dapat menjadi daya tarik wisata bagi wisatawan. Bahkan, wisatawan

yang datang di perkampungan Bajo harus menyesuaikan kebudayaan yang ada

disana. Hal tersebut membantu masyarakat Bajo untuk mempertahankan kearifan

lokal yang mereka miliki dari kemungkinan pergeseran budaya dengan adanya

perkembangan pariwisata yang ada.

4.5. Pemberdayaan Masyarakat pada Komunitas Suku Bajo dalam Bidang

Pariwisata

Pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau

proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian

daya/kekuatan/ kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang

kurang atau belum berdaya (Sulistyani, 2004). Pemberdayaan berarti pemberian

kemampuan dari suatu individu atau kelompok yang sudah berdaya kepada

individu atau masyarakat agar menjadi berdaya. Setiap masyarakat pasti memiliki

daya, akan tetapi kadang-kadang mereka tidak menyadari atau daya tersebut

masih belum diketahui secara eksplisit. Pemberdayaan masyarakat merupakan

upaya membantu masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya sendiri

sehingga bebas dan mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan
103

secara mandiri. Dalam pengembangan pariwisata di Wakatobi ada beberapa

permasalahan strategis yang ditemukan diantaranya adalah (1) Keterbatasan

sumber daya manusia yang berkualitas, di segala tingkatan (dari tingkat

pengambil keputusan, manajerial hingga garda depan), dan di berbagai aspek yang

terkait. (2) Minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata dan

keterbatasan kapasitas masyarakat dapat menghambat peluang masyarakat dalam

mengambil manfaat dari pariwisata. (3) Akses yang terbuka sehingga lebih sulit

untuk mengelola dan melakukan pengawasan. (4) Lemahnya koordinasi antar

sektor dan antar pihak yang terlibat dalam pengembangan kepariwisataan

Wakatobi (BAPPEDA Kabupaten Wakatobi, 2013). Maka dari itu diperlukannya

pemberdayaan masyarakat dalam bidang pariwisata sehingga masyarakat

memiliki peran serta dalam pengembangan pariwisata. Dalam pembahasan ini

akan diuraikan tentang pemberdayaan masayarakat khususnya dalam komunitas

Suku Bajo agar mereka mendapatkan kewenangan dan akses, sehingga Suku Bajo

dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk dapat dalam

pengelolaan pariwisata di perkampungan Suku Bajo, Wakatobi.

Pengembangan Wakatobi sebagai suatu destinasi yang berfungsi baik dan

bernilai tinggi membutuhkan peran dari semua pihak. Terutama karena banyak

elemen yang mutlak diperlukan oleh pariwisata membutuhkan peran pemerintah,

seperti pembangunan sarana transportasi dan besarnya sumber daya yang

dibutuhkan untuk pembangunan itu sendiri. Kemitraan dengan multi pihak dapat

diwujudkan dalam berbagai bentuk, antara lain membentuk forum pengembangan


104

pariwisata atau membentuk dan membina kerjasama swasta dengan masyarakat

(BAPPEDA Kabupaten Wakatobi, 2013).

Pengembangan pariwisata di Wakatobi didasarkan pada beberapa

pendekatan, diantaranya (1) Peningkatan Daya Saing, yaitu upaya pengembangan

pariwisata sebagai proses untuk membuat potensi pariwisata/kelebihan

(comparative advantages) sebagai nilai lebih (added value) agar dapat bersaing

dengan destinasi lain. (2) Pelibatan Masyarakat, yaitu upaya pengembangan

pariwisata dengan melibatkan masyarakat sejak perencanaan serta mendorong

para pelaku wisata dan pemerintah untuk bekerjasama dengan masyarakat,

termasuk upaya peningkatan kapasitas dan pengelolaan daya tarik atau usaha

mikro sebagai penunjang pariwisata. (3) Konservasi Lingkungan, yaitu upaya

pengembangan pariwisata dengan menjamin keberlanjutan upaya-upaya

konservasi lingkungan dan memberikan nilai lebih dari konservasi itu sendiri bagi

masyarakat. (4) Peningkatan Perekonomian lokal, yaitu upaya pengembangan

pariwisata untuk dapat meningkatkan pendapatan masyarakat disekitar daya tarik

dan sekaligus meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pariwisata (BAPPEDA

Kabupaten Wakatobi, 2013).

Di perkampungan komunitas Suku Bajo juga diterapkan pendekatan

pengembangan pariwisata di Wakatobi yang telah dipaparkan sebelumnya,

diperlukan pemberdayaan masyarakat komunitas Bajo dalam mendukung

pengembangan pariwisata tersebut. Pemberdayaan masyarakat yang diterapkan di

komunitas Bajo adalah berbasis kearifan lokal, karena kearifan lokal yang dimiliki

suku Bajo tersebutlah yang menjadi daya tarik wisata. Sehingga diharapkan suku
105

Bajo dapat berdaya dengan menjadi subjek dalam mengembangan pariwisata di

perkampungan suku Bajo dan dapat mempertahankan kearifan lokal yang mereka

miliki.

Tabel 4.1 Bentuk dan Sasaran Kegiatan Pemberdayaan

No Nama kegiatan Bentuk pemberdayaan Stakeholder Tujuan pemberdayaan


Kepresidenan Melalui figur presiden Masyarakat Suku
Dapat menjadi perekat
Suku Bajo Bajo dan organisasi Bajo
dan pengikat komunitas
1 KEKAR BAJO
untuk mempertahankan
(Kerukukan Keluarga
eksistensi kelompok
Bajo) Indonesia
Pemberian Akses Organisasi LEPA –
Partisipasi masyarakat Mampu menyiapkan
Kepada MOLA Suku Bajo
dalam mengelola segala sesuatu yang
Komunitas Suku
pariwisata seperti dibutuhkan oleh
2 Bajo dalam
pelayanan wisatawan wisatawan guna
Bidang
berupa penyediaan membantu memajukan
Pariwisata
penginapan pariwisata
Pembentukan Pelatihan UKM di Masyarakat Suku
UKM dan bidang kuliner, kerajinan Bajo, Pemerintah Mempersiapkan
Pelatihan bagi tangan, menghasilkan Kabupaten Wakatobi, kemampuan masyarakat
Komunitas Bajo produk olahan ikan, LSM, dan sektor dalam menghadapi
3 pelatihan pemandu privat wisatawan dan
wisata, penguatan mendukung pertumbuhan
kelembagaan dan ekonomi rumah tangga
peningkatan wawasan nelayan Suku Bajo
tentang keoariwisataan
Pembentukan Masyarakat Suku Masyarakat Bajo mampu
Lembaga yang Pembentukan sebuah Bajo, program CSR mengembangkan potensi
Memfasilitasi lembaga yakni LEPA – Bank Mandiri, dan dalam bidang pariwisata
Pariwisata Suku MOLA (Lembaga British Council di perkampungan Suku
Bajo Pariwisata Mola Raya) Indonesia
4 Bajo melalui pemberian
dan pembangunan
akses antara organisasi
Tourism Center sebagai
atau masyarakat dalam
pusat informasi kegiatan
memperoleh
wisata Suku Bajo
sumberdaya.
Kerjasama dan Kerjasama dan perluasan Masyarakat Suku Membuka lapangan
Perluasan jaringan dilakukan Bajo, Pemerintah pekerjaan alternatif bagi
5 Jaringan dalam dengan konsep Kabupaten Wakatobi, masyarakat Suku Bajo
Bidang Pariwisata pengelolaan pariwisata Bank Mandiri, dan
multi pihak British Council
Sumber: Data Diolah Penulis
106

4.5.1.Kepresidenan Suku Bajo

Dalam tingkatan Bonding social capital ini, suku Bajo membentuk

persatuan Suku Bajo dalam Kepresidenan Suku Bajo. Bonding social capital

ini menjadi perekat dan pengikat anggota komunitas karena adanya kesamaan

kepentingan untuk mempertahankan eksistensi kelompok. Kekuatan ini

memberi manfaat bagi setiap anggota kelompok untuk mengutarakan

berbagai permasalahannya, di mana permasalahan individu anggota menjadi

bagian dari masalah kelompok, anggota merasa terayomi, terfasilitasi, dan

memberi rasa aman dan nyaman. Tingginya hubungan ikatan antara orang-

orang dengan asal etnis yang sama didukung oleh proses manajemen

organisasi partisipatif yang formal. Hal ini didasarkan pada sistem

pengambilan keputusan kolektif tradisional dan keterlibatan institusi

kesukuan (Dahal & Adhikari, 2008). Komunitas dengan Bonding social

capital ini biasanya kontrol kelompok sangat kuat, kepedulian sangat tinggi,

namun juga stratifikasi sosial sangat rendah dalam arti simbol-simbol

pelapisan tidak terlalu nampak. Dan ciri lain diversifikasi dan diferensiasi

sosial biasanya rendah oleh karena itu kehidupannya lebih bersahaja.

Di Indonesia, selain memiliki bahasa dan bendera yang sama ternyata

Suku Bajo juga memiliki seorang Presiden. Presiden Suku Bajo Indonesia

bernama Abdul Manan, yang juga menjabat sebagai Kepala BAPPEDA

Kabupaten Wakatobi. Diharapkan dengan adanya figur Presiden Bajo, bisa

memberi warna perubahan untuk kesejahteraan masyarakat Bajo. Di samping


107

itu dibentuk pula organisasi bersama masyarakat Suku Bajo yang disebut

KEKAR BAJO (Kerukukan Keluarga Bajo) Indonesia. Dengan adanya

organisasi ini diharapkan dapat membawa Suku Bajo untuk menjadi suku

yang tidak lagi terbelakang, namun tetap memegang teguh tradisi budaya

leluhur mereka sampai kapanpun.

Menurut Presiden Bajo Indonesia, KEKAR BAJO dibentuk untuk

mengambil fungsi memperkuat program-program Masyarakat Bajo. Terkait

program kerja, KEKAR BAJO diharapkan menjadi simpul silahturahmi bagi

kesejahteraan masyarakat Bajo. KEKAR BAJO diharapkan menjadi delegasi

dan mediator untuk isu dan permasalahan yang ada di tengah masyarakat

Bjao, dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat Suku Bajo itu sendiri.

Bagi orang Bajo memandang sosok Presiden Bajo, sebagai tumpuan

atau harapan besar, agar KEKAR BAJO dapat melakukan penguatan dan

tetap menjalin silahturahmi antar semua wilayah lokal hingga lintas negara di

semua kawasan warga Bajo berada, sehingga KEKAR BAJO membentuk

sebuah lembaga Internasional yang diberi nama The Bajo Community

Confederation yang melibatkan tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia,

Filipina. Sehingga diharapkan lahir bantuan dan kerjasama yang menyangkut

kesejahteraan masyarakat Bajo dalam berbagai sektor.

Kepresidenan Suku Bajo diharapkan menjadi perekat dan pengikat

anggota komunitas karena adanya kesamaan kepentingan untuk

mempertahankan eksistensi kelompok. Kekuatan ini memberi manfaat bagi

setiap orang Bajo untuk memecahkan berbagai permasalahannya yang


108

mereka hadapi, di mana permasalahan individu anggota menjadi bagian dari

masalah kelompok, anggota merasa terayomi, terfasilitasi dan memberi rasa

aman dan nyaman. Dengan adanya organisasi ini diharapkan dapat membawa

Suku Bajo lebih maju mengikuti perkembangan zaman, namun tetap

memegang teguh tradisi budaya leluhur mereka.

4.5.2.Pemberian Akses kepada Komunitas Bajo dalam Bidang Pariwisata

Berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata, Masyarakat harus

memiliki modal dan berinteraksi dengan masyarakat diluar komunitas suku

Bajo. Partisipasi masyarakat dapat dilihat dari peran serta masyarakat dalam

menciptakan dan meningkatkan kualitas produk pelayanan kepariwisataan

(kemenpar.go.id). Diharapkan masyarakat berusaha untuk menyiapkan apa

yang dibutuhkan oleh wisatawan. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak

Rosman sebagai anggota LEPA – MOLA, beliau mengatakan jika semakin

banyak wistawan yang datang maka pelayanan harus ditingkatkan dan

kebutuhan wisatawan semaksimal mungkin untuk dipenuhi. Dampak

pariwisata yang didapatkan oleh masyarakat tergantung dari cara mereka

menyambut wisatawan itu sendiri. Masyarakat harus siap dengan

perkembangan pariwisata nantinya.

“Yang kita harapkan masyarakat berusaha untuk menyiapkan apa yang


dibutuhkan oleh tamu. Dari sisi pemberdayaannya, jika banyak tamu,
maka banyak juga spot yang harus dibuat, maka masyarakat diharapkan
dapat menyiapkan kebutuhan-kebutuhan tamu. Dampak pariwisata
didapatkan, tergantung penyambutan dari tamu itu sendiri, apa yang
dibutuhkan dari tamu, mungkin misalnya ada penginapan, atau dia buat
warung yang memiliki kaitannya dengan pariwisata, mungkin warung
terapung. Masyarakat yang harus siap. Kami hanya memberikan
109

peluang dengan mendatangkan tamu. Kita undang tamu sebanyak-


banyaknya, dan masyarakat harus memanfaatkan itu” (Wawancara
dengan Bapak Rosman, 01 Juni 2017).

Masyarakat Bajo perlu persiapan yang baik untuk menyambut

wisatawan yang datang di luar komunitas suku mereka agar merasa nyaman

dengan wisata yang ada. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak Rosman dalam

wawancara dengan peneliti. Menurut beliau keterlibatan yang lebih dari

masyarakat dalam pengembangan pariwisata adalah sebuah keharusan.

Karena tidak hanya dari pengurus LEPA – MOLA tapi juga dari masyarakat

tentang kearifan dan pengetahuan masyarakat akan pariwisata sangat

membantu dalam memajukan pariwisata yang ada di perkampungan Bajo.

“Ada keterlibatan yang lebih dari masyarakat dalam pengembangan


pariwisata. Karena kemajuan pariwisata itu tidak hanya dari pengurus
LEPA – MOLA, tapi juga dari masyarakat tentang kearifan masyarakat
dan pengetahuan masyarakat akan pariwisata sangat membantu untuk
memajukan pariwsata. Mungkin dengan senyum saja ke tamu sudah
membantu memajukan pariwisata disini” (Wawancara dengan Bapak
Rosman, 01 Juni 2017).

Dengan adanya kesadaran bahwa kearifan lokal yang dimiliki oleh

Suku Bajo merupakan daya tarik yang diminati oleh wisatawan maka antar

masyarakat suku Bajo saling memberikan manfaat bagi komunitasnya. Hal ini

mencerminkan Bonding social capital, yakni dengan tingginya hubungan

ikatan antara orang-orang dengan asal etnis yang sama didukung oleh proses

manajemen organisasi partisipatif yang formal. Hal ini didasarkan pada

sistem pengambilan keputusan kolektif tradisional dan keterlibatan institusi

kesukuan (Dahal & Adhikari, 2008). Bonding social capital ini menjadi
110

perekat dan pengikat anggota komunitas karena adanya kesamaan

kepentingan untuk mempertahankan eksistensi kelompok. Kekuatan ini

memberi manfaat bagi setiap anggota kelompok untuk mengutarakan

berbagai permasalahannya, dimana permasalahan individu anggota menjadi

bagian dari masalah kelompok, anggota merasa terayomi, terfasilitasi dan

memberi rasa aman dan nyaman. Saling memberikan manfaat antar sesama

suku Bajo dilakukan oleh seseorang dalam komunitas suku Bajo yang

memiliki akses dalam bidang pariwisata dengan memberikan kesempatan

kepada masyarakat suku Bajo yang lain untuk mendapatkan penghasilan

tambahan melalui mata pencaharian alternatif dalam bidang pariwisata.

Di Desa Mola, pemberian akses tersebut dilakukan oleh LEPA –

MOLA sebagai lembaga pengelola wisata di desa Mola kepada masayarakat

suku Bajo dengan memberikan peran kepada mereka untuk turut membantu

dalam pelayanan wisatawan yang datang di desa Mola. Misalnya saja, ketika

banyak wisatawan yang datang dan guide LEPA – MOLA yang aktif tidak

dapat menghandle, maka LEPA – MOLA meminta bantuan masyarakat suku

Bajo yang memilki keahlian untuk ikut melayani tamu, seperti membantu

mendayung di spot wisata canoeing, Seperti yang diungkapkan oleh bapak

Mukmin,

“Malah kalau tamu banyak kami ambil dari luar pendayungnya itu.
Tidak dari kami lagi, kami jadi guide saja. Cuma guide, nanti yang
dayung masyarakat” (Wawancara dengan Bapak Mukmin, 03 Juni
2017)
111

Ibu-ibu kuliner juga diminta untuk menyajikan makanan khas Bajo bagi

wisatawan. Seperti yang diungkapkan Ibu Royani,

“Kalau ada tamu dari LEPA – MOLA biasanya memasak dengan


ibu-ibu disini makanan khas Bajo” (Wawancara dengan Ibu
Royani, 03 Juni 2017)

Sedangkan di desa Samabahari, Pulau Kaledupa, pariwisata masih

dikelola oleh perorangan, yakni oleh Pak Iskandar dan Pak Pondang. Mereka

yang memilki akses untuk mengatur aktivitas tamu yang berkunjung ke desa

Samabahari. Mereka meminta masyarakat untuk turut membantu dalam

menjamu tamu dengan menyadiakan penginapan khas masyarakat suku Bajo,

yakni rumah pribadi masayarakat Suku Bajo dan menjadi induk semang

wisatawan selama mereka tinggal di Samabahari. Hal ini diungkapkan oleh

Kepala desa Samabahari,

“Ya artinya dia pake penginapan masyarakat, homestay, tapi mereka


biasa nya pakai rumah pribadi semacam dia menyatu dengan keluarga
itu” (Wawancara dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).

Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Pondang bahwa setiap kali

ada tamu atau wisatawan yang datang menginap, akan di bagi-bagi ke

masyarakat lainnya. Wisatawan mendapatkan pengalaman menjalani

kehidupan suku Bajo selama mereka tinggal disana, wisatawan mengikuti

tatacara hidup suku Bajo, ikut melaut dan menjual ikan dipasar bersama

orang tua asuh mereka selama di Samabahari, membuat kelas tentang budaya

suku Bajo dan mengundang nelayan untuk tanya jawab, juga menyaksikan
112

prosesi pengobatan khas Bajo hal tersebut diungkapkan oleh Bapak Kepala

Desa Samabahari,

“Ya, kan biasa menginap di rumah warga penduduk disini kadang ya 1


minggu karena dia ingin tau kehidupan bajo. Ini kaitannya karena
orang bajo itu masih dikenal kalau ke pasar itu dia masih barter”
(Wawancara dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).

Hal tersebut juga didukung dari pernyataan Bapak Iskandar, sebagai

salah satu masyarakat yang aktif dalam bidang pariwisata di desa Samabahari,

Pulau Kaledupa,

“..., jadi pakai bajo experience, mereka pake ikut orang luar pergi
mancing, pergi ke pasar terus mereka juga membuat kelas mereka
berjalan sambil belajar mereka datang dengan instruktur ada guru-guru
dalam satu tim itu. Jadi mereka membuat kelas, kelas tentang budaya
kelas tentang lingkungan tentang laut. ..., ada grup yang macam-macam
ada tentang kepercayaan orang bajo. ..., terus tentang perikanan yang di
kelola ada mengundang beberapa nelayan tanya jawab seperti itu untuk
dikelola. ..., kita sering nonton kalau ada opening ceremony
pengobatan. ..., yang menarik tinggal di rumah orang itu merasakan
menjadi orang bajo. ..., iya menjadi orang bajo seperti apa keseharian
orang bajo seprti apa dan karena makanan yang dibuat di rumah tangga
tidak standart jadi kita buat mereka makan disini buat dapur umum
untuk mereka semua. ..., jadi mereka mencari penggalaman lah dengan
orang bajo sekitar 1 – 2 minggu” (Wawancara dengan Bapak Iskandar,
06 Juni 2017).

Selain Bapak Iskandar, Bapak Pondang yang juga aktif dalam pariwisata

di desa Samabahari, Pulau Kaledupa, menyatakan hal serupa bahwa

wisatawan tertarik dengan kehidupan suku Bajo di Samabahari,

“Tertarik dengan cara-cara orang-orang majo disini mereka cari


teripang, panah-panah ikan itu saja. ..., mereka tertarik dengan obat-
obatan bajo, obat-obatan tradisional” (Wawancara dengan Bapak
Pondang, 07 Juni 2017).
113

Dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan adanya partisipasi dari

masyarakat. Pada bidang pariwisata, tujuan untuk memberdayakan

masyarakatnya berbaur dengan kegiatan pariwisata. Dengan adanya

perkembangan wisata di perkampunga Bajo, diharapkan masyarakat mampu

untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan wisatawan. Keterlibatan

yang lebih dari masyarakat dalam bidang pariwisata sangat membantu

memajukan pariwisata yang ada di perkampungan Bajo. Karena kearifan

lokal suku Bajo merupakan daya tarik wisata yang menarik minat wistawan

untuk berkunjung di perkampungan Bajo.

Dengan adanya kesadaran bahwa kearifan lokal yang dimiliki oleh Suku

Bajo merupakan daya tarik yang diminati oleh wisatawan maka antar

masyarakat suku Bajo saling memberikan manfaat bagi komunitasnya. Di

Desa Mola, pemberian akses tersebut dilakukan oleh LEPA – MOLA sebagai

lembaga pengelola wisata di desa Mola kepada masayarakat suku Bajo dengan

memberikan peran kepada mereka untuk turut membantu dalam pelayanan

wisatawan yang datang di desa Mola. Sedangkan di desa Samabahari, Pulau

Kaledupa, pariwisata masih dikelola oleh perorangan, yakni oleh Pak Iskandar

dan Pak Pondang. Mereka yang memilki akses untuk mengatur aktivitas tamu

yang berkunjung ke desa Samabahari. Mereka meminta masyarakat untuk

turut membantu dalam menjamu tamu.


114

4.5.3.Pembentukan UKM dan Pelatihan bagi Komunitas Bajo

Diperlukan persiapan yang baik bagi masyarakat suku Bajo dalam

menghadapi kunjungan wisatawan yang datang ke perkampungan Suku Bajo.

Untuk mengembangkan keahlian tersebut masyarakat suku Bajo mengikuti

berbagai pelatihan yang diadakan oleh instansi pemerintah serta LSM yang

mendukung pengembangan pariwisata. Selain itu mengikuti pelatihan,

komunitas Bajo juga membentuk UKM untuk menumbuhkan perekonomian

masyakat Bajo.

UKM (Usaha Kecil dan Menengah) merupakan kegiatan usaha yang

mampu memperluas lapangan kerja memberikan pelayanan ekonomi secara

luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan

peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan

berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. UKM memiliki posisi

penting dalam pembangunan ekonomi nasional kerana sumbangannya yang

besar terhadap kesempatan kerja dan kenaikan pendapatan, khususnya di

kawasan pedesaan. Rencana Pembangunan Jangka menengah Nasional

(RPJMN) 2010-2015, menegaskan bahwa program jangka panjang untuk

kesejahteraan masyarakat dan mempercepatkan pemberantasan kemiskinan

dilakukan melalui, (1) kelompok bantuan perlindungan sosial berasaskan

keluarga, (2) kelompok bantuan pemberdayaan masyarakat, (3) kelompok

bantuan pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM) serta (4) kelompok

bantuan program murah untuk rakyat (RPJMN, 2010).


115

Salah satu prinsip pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat

adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan lokal masyarakat. Hal

ini bukanlah berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan

tidak berubah. Kenyataan objektif telah membuktikan bahwa dalam banyak

hal perkembangan pengalaman dan pengetahuan lokal (bahkan tradisional)

masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan yang terjadi dan

tidak lagi dapat memecahkan masalah-masalah yang berkembang. Namun

sebaliknya, telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern dan inovasi dari

luar yang diperkenalkan oleh orang luar tidak juga dapat memecahkan

masalah mereka. Bahkan dalam banyak hal, pengetahuan modern dan inovasi

dari luar malah menciptakan masalah yang lebih besar lagi. Karenanya

pengetahuan lokal masyarakat dan pengetahuan dari luar atau inovasi, harus

dipilih secara arif dan atau saling melengkapi satu sama lainnya (Karsidi,

2007).

Dalam upaya ini terlihat pendekatan Bridging social capital, yaitu

ikatan modal sosial yang melibatkan hubungan diantara orang-orang yang

tidak dekat dan berbeda. Bentuk ikatan tersebut, seperti persahabatan yang

tidak erat, dan rekan kerja. Pada hubungan ini, kekuatan hubungan tidak

terlalu kuat namun ada kesempatan untuk dapat menjalin keeratan hubungan.

Bridging social capital mengacu pada hubungan dengan orang-orang yang

tidak sama dalam pengertian demografis (Woolcock and Sweetser, 2002), dan

cenderung menyatukan orang-orang di berbagai tingkatan sosial (Field,

2003). Kemampuan bridging ini membuka peluang informasi keluar,


116

sehingga potensi dan peluang eksternal dari suatu komunitas dapat diakses.

Prinsip-prinsip yang dianut pada pengelompokan bridging social capital ini

adalah universal tentang kebersamaan, kebebasan, nilai-nilai kemajemukan

dan kemanusiaan, terbuka dan mandiri (Hasbullah, 2006). Pola-pola interaksi

dan jaringan yang terbentuk dalam bridging sosial capital ini dengan pihak

luar ditegakkan dengan semangat untuk saling menguntungkan. Begitu pula

yang dilakukan oleh komunitas Bajo, mereka mulai membuka diri kepada

lingkungan diluar komunitasnya untuk mendapatkan keuntungan dan akses

untuk bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan masyarakat Bajo.

Beberapa UKM yang ada dalam perkampungan Bajo, antara lain UKM

Kelompok Bajo Mandiri yang sudah mulai berdiri sejak tahun 2007 dengan

tujuan awal yakni memberdayakan ibu-ibu nelayan Bajo dalam

memanfaaatkan hasil tangkap yang melimpah sehingga dapat meningkatkan

perekonomian keluarga nelayan dan mengurangi pengangguran (P2MKP

Bajo Mandiri, 2015). Ketersediaan bahan baku olahan ikan yang masih sangat

melimpah dipasaran menjadi daya dukung yang sangat potensial. Fungsi dan

peran UKM Kelompok Bajo Mandiri lebih meningkat melalui kemitraan

dengan BPPP Ambon sebagi salah satu Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan

Perikanan (P2MKP) yang ada diperkampungan Bajo. P2MKP ini berperan

untuk memperdayakan para pelaku utama yang sudah mandiri, baik

perorangan maupun kelompok untuk meningkatkan status kelembagaan

terhadap kemampuan dan keswadayaan pelaku utama dalam pengelenggaraan

pelatihan yang ada, sekaligus menjadi lembaga pelatihan yang lebih


117

profesional dengan meningkatkan status dan perannya bagi masyarakat

(P2MKP Bajo Mandiri, 2015).

Pelatihan-pelatihan dalam bidang pengolahan hasil laut juga didapatkan

oleh masyarakat Bajo dari beberapa instansi negeri maupun swasta, seperti

DKP Wakatobi, Perindag, BP3 Ambon. Melalui pelatihan-pelatihan yang

didapatkan, mereka membentuk UKM Bajo Mandiri dan menghasilkan

produk olahan ikan yang dapat dipasarkan ke minimarket di sekitar Pulau

Wangi-wangi dan dijual langsung ke wisatawan.

“Awalnya ikut pelatihan, pelatihan, pelatihan. Habis itu kita mulai


praktek sama satu kelompok. Berjalan sampai sekarang, bikin sedikit-
sedikit sama satu kelompok. Lalu disimpan disini, sampai sekarang
seperti ini. Dulu belum begini, masih rumah diatas laut. ..., Iya ikut
pelatihan, pelatihan dari DKP, dari Perindag, dari BP3 Ambon. Saya
juga pelatihan di Bogor, pelatihan di Bali, kita orang mewakili
Wakatobi. Sampai sekarang saya jadi pelatih juga. Yang pelatih BP3
ambon di Wakatobi juga sudah saya” (Wawancara dengan Ibu Sartini,
01 Juni 2017).

Dari usaha ini, mereka mendapatkan penghasilan tambahan melalui

mata pencaharian alternatif selain menjadi nelayan. Ibu Sartini, merupakan

ketua Kelompok Bajo Mandiri yang sebelumnya hanyalah seorang ibu rumah

tangga. Melalui beliau mendapatkan penghasilan dari penjualan usaha

pengolahan ikan Bajo Mandiri, dan digunakan untuk menambah penghasilan

untuk membangun rumah permanen (di darat) hingga dapat menyekolahkan

anaknya ke Jawa.

“..., bisa nyekolahkan anak ke Jogja, bisa bikin ini (bangunan rumah
permanen)” (Wawancara dengan Ibu Sartini, 01 Juni 2017).
118

Selain UKM Bajo Mandiri, dalam perkampungan Bajo di desa Mola

juga terdapat perkumpulan Ibu-Ibu Kerajinan Tangan yang diketuai oleh Ibu

Hapsah. Ibu Hapsah dan kelompoknya memiliki kesempatan untuk

mengembangkan kreativitasnya dalam membuat kerajinan tangan yang dapat

dipasarkan di showroom miliknya di desa Mola, di acara-acara kebudayaan di

Wakatobi serta resort-resort ternama di Wakatobi. Bahkan Ibu Hapsah sering

mendapatkan pesanan dari berbagai dinas di Wakatobi. Ibu Hapsah memiliki

keahlian dasar menenun kain khas Suku Bajo yakni Ledja dan Kasopa.

Namun beliau memilki kesempatan untuk belajar membuat barang daur ulang

dan mengkreasikan kain khas Bajo menjadi beberapa barang yang menarik

seperti dompet, tas, tempat pensil, dan barang lainnya. Keahlian tersebut

didapatkan dari mengikuti pelatihan-pelatihan dan studi banding ke luar kota.

Di mana pelatihan-pelatihan tersebut diikuti untuk menambah wawasan

tentang barang yang dapat menarik minat wisatawan.

“Dari Ibu, dari orang dulu-dulu. kalo yang daur ulang pertama dari
WWF. Kalo kainnya kreasi dompet, tas belajar juga dari jogja, dari bali,
pergi ke pasar-pasar studi banding, ...Biasanya dari utusan-utusan desa
pasti ada yang belajar. Kadang saya dipanggil juga untuk mengajar. ...,
Misalnya dari Perindag, dari Sosial, dari Pariwisata, dari Kebersihan.
kalo dari kebersihan termasuk limbah ini” (Wawancara dengan Ibu
Hapsah, 03 Juni 2017).

Upaya UKM yang ada di perkampungan Bajo juga mendukung

kepariwisataan yang ada di Wakatobi. Produk yang mereka hasilkan,

merupakan salah satu ciri khas yang dapat dijual kepada wisatawan sebagai

oleh-oleh khas Bajo. Tidak hanya mempromosikannya di perkampungan

Bajo, mereka juga mengikuti acara-acara untuk mempromosikan produk yang


119

mereka hasilkan. Selain itu mereka juga menitipkan produk mereka ke

beberapa resort dan swalayan yang ada di Wakatobi. LEPA – MOLA juga

membantu promosi yang hasil produksi masyarakat Bajo, hal tersebut

disampaikan oleh Bapak Samran selaku Ketua LEPA – MOLA:

“Kemudian ada kelompok-kelompok ibu kuliner, mereka dapat


membuat makanan, tetapi mereka susah untuk mempromosikan itu.
Selama satu tahun lebih kami belajar untuk penguatan kelembagaan,
baru kemudian kami jalan. Kami jalan, di program ini, lewat program
yang memang mencoba untuk mendiri. Kami melihat ada beberapa
wirausaha kecil, kelompok-kelompok kecil yang tidak mampu untuk
mempromosikan. Hanya mampu untuk memproduksi, namun
inovasinya kurang, disitu kami masuk. Lewat program wisata ini kami
membuat paket, yang bertujuan untuk mempromosikan usaha-usaha
kecil tersebut. Dalam paket wisata ini program pemberdayaan itu ada.
Masuk semua kelompok kuliner, kelompok kerajinan yang kami
kunjungi, dan tamu yang datang pasti mereka beli. Karena yang
menjadi manfaat secara langsung dalam pemberdayaan. Karena dalam
paket kami, kami sengaja jalan ke tempat pembuatan alat tangkat. Ada
salah satu kelompok, ketika kami lewat tamu pasti beli untuk kenang-
kenangan. Lalu pembuatan bedak pupur, itu juga ketika mereka (tamu)
mencoba, pasti meraka beli. Dampak pariwisata yang ada ini juga
mereka dapatkan, kelompok ibu-ibu. Ditempat olahan ikan, jadi abon
dari ikan tuna, kelompok itu juga dapatkan secara langsung manfaatnya.
Nah artinya lewat ini semua kami promosikan. Ketika kami buka paket
wisata dan mengunjungi tempat-tempat itu, pasti mereka dapatkan
manfaatnya. Kerumah-rumah tancap, disana banyak yang menjual
makanan-makanan cemilan, mereka juga dapatkan manfaatnya. Nah,
yang ditempat kerajinan sovenir, oleh-oleh itu juga mereka juga
dapatkan manfaatnya. Nah ini salah satu tujaun paket kami”
(Wawancara dengan Bapak Samran, 31 Mei 2017)

Hal tersebut didukung oleh pernyataan Ibu Hapsah, sebagai ketua

Kelompok Ibu-ibu Pengerajin Bajo bahwa LEPA – MOLA membantu mereka

dalam mempromosikan hasil produksi mereka

“Ada yang datang sendiri, kadang-kadang juga diantar Sopir


(direkomendasikan oleh Sopir hotel/rental mobil). Ada juga bawa dari
Informasi (LEPA – MOLA)” (Wawancara dengan Ibu Hapsah, 03 Juni
2017).
120

Hal tersebut juga didukung oleh Ibu Royani, sebagai ketua Kelompok

Ibu-ibu Kuliner Bajo bahwa LEPA – MOLA membantu mereka dalam

mempromosikan hasil produksi mereka,

“Iya kalau ada tamu LEPA – MOLA sini. Kalau ada tamu, mereka pesan
kuliner untuk makanan makan malam, makan siang. Jadi kita tinggal
menyesuaikan. ..., mereka pesan, tapi tamunya LEPA-MOLA juga
kadang gitu. Ada yang menelpon minta pesankan ini. ..., Ke mereka dulu
nanti anggotanya LEPA-MOLA. Pak Mukmin yang sering menghubungi
saya” (Wawancara dengan Ibu Royani, 03 Juni 2017).

Anggota LEPA – MOLA (Lembaga Pariwisata Mola Raya) juga tak

luput dari pelatihan untuk menambah wawasan mereka dalam melayani

wisatawan. Sebelum diluncurkan, Bank Mandiri dan British Council

mengagendakan beberapa rangkaian pelatihan bagi anggota LEPA – MOLA

untuk mempersiapkan diri mereka dalam mennjamu wisatawan yang datang

kedepannya.

“Berjalan mulai 2014 bulan April mulai kami dilatih, ada beberapa
pelatihan, beberapa workshop tentang kepariwisataan, ilmu-ilmu dasar
kepariwisataan, peningkatan kapasitas. Kemudian dilatih menjadi
guide, menjadi pemandu. ..., proses kerja mulai april 2014 tetrkait
dengan kesiapan pelibatan awal termasuk pelatihan pemahaman situasi,
perencanaan, pembagian, uji coba sebelum itu steering commite dan
resident team kan berubah itu dari beberapa orang itu 30 itu yang tersisa
sampai selesai kemudian diagendakan pelatihan dasar-dasar
kepariwisataan” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31 Mei 2017)

Kesempatan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan ini diberikan secara

bergiliran kepada anggota-anggota UKM dan lembaga lokal suku Bajo yang

ingin meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi perkembangan

pariwisata. Pemilihan anggota yang mengikuti pelatihan didasarkan kepada

kesiapan mereka dalam mengikuti pelatihan dan membagi ilmunya dengan


121

anggota yang lainnya. Untuk pelatihan dan pengembangan UKM hanya

terlihat pada masyarakat Bajo di desa Mola, Wangi-wangi sedangkan di desa

Samabahari, Kaledupa, mereka belum mendapatkan pelatihan terkait dengan

kepariwisataan ataupun lainnya.

Kunjungan wisatawan yang datang ke perkampungan Suku Bajo

haruslah diiringi dengan peningkatan keahlian masyarakat Bajo dalam

menyambut wisatawan. Setelah melakukan wawancara dengan narasumber,

peneliti mendapatkan informasi bahwa masyarakat Bajo mengikuti pelatihan-

pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau LSM untuk mengembangkan

keahlian dalam mengelola pariwisata dan membentuk UKM untuk

menumbuhkan perekonomian melalui mata pencaharian alternatif. Pelatihan-

pelatihan yang didapatkan oleh masyarakat suku Bajo antara lain, (1)

Pelatihan dalam bidang pengolahan hasil laut, (2) Pelatihan dalam bidang

daur ulang dan kreasi kain khas Bajo, (3) Pelatihan dalam bidang melayani

tamu.

Wawasan yang didapatkan melalui pelatihan, dijadikan modal dasar

bagi masyarakat Bajo untuk membentuk perkumpulan dan UKM yang

bertujuan meningkatkan perekonomian melalui mata pencaharian alternatif.

Beberapa UKM yang sudah terbentuk antara lain (1) UKM Bajo Mandiri,

memberdayakan ibu-ibu nelayan Bajo dalam memanfaatkan hasil laut yang

melimpah. UKM ini menghasilkan produk olahan ikan yang dapat dipasarkan

ke minimarket dan dijual langsung ke wisatawan. (2) Perkumpulan Ibu-Ibu

kerajinan tangan, memberdayakan ibu-ibu Bajo dengan mengembangkan


122

kreatifitas mereka dalam membuat kerajinan tangan daur ulang dan kreasi

kain khas Bajo. Perkumpulan ibu-ibu kerajinan tangan ini memasarkan hasil

kreasinya melalui showroom yang ada di desa Mola, resort-resort ternama di

Wakatobi, serta acara-acara kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah. (3)

Perkumpulan Ibu-Ibu Kuliner Bajo, melalui ibu-ibu kuliner ini wisatawan

dapat merasakan makanan khas Bajo.

Upaya UKM yang ada di perkampungan Bajo ini, mendukung

perkembangan kepariwisataan yang ada di Wakatobi. Produk yang

dihasilkan, merupakan salah satu ciri khas yang dapat dijual ke wisatawan

sebagai oleh-oleh khas Suku Bajo. LEPA – MOLA membantu dalam

mempromosikan produk hasil UKM masyarakat Bajo, selain itu mereka juga

mengikuti acara-acara yang diadakan pemerintah Wakatobi, serta menitipkan

produk mereka ke swalayan dan resort di Wakatobi. Dari usaha ini,

masyarakat suku Bajo mendapatkan penghasilan tambahan yang dapat

menumbuhkan perekonomian mereka melalui mata pencaharian alternatif

selain menjadi nelayan.

4.5.4. Pembentukan Lembaga yang Memfasilitasi Pariwisata Suku Bajo

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa, Pasal 1 dijelaskan tentang Pemberdayaan Masyarakat Desa

adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat

dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku,

kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan


123

kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi

masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.

Pasal 93 ayat 1 berbunyi “Kerja sama Desa dengan pihak ketiga

dilakukan untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan

Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan

kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa”. Ayat 2 berbunyi

“Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dimusyawarahkan dalam Musyawarah Desa.” Dalam memfasilitasi

pengembangan pariwisata di Wakatobi, terdapat strategi-strategi

pengembangan yang melibatkan masyarakat antara lain (1) Mendorong

keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan dan pengelolaan

pariwisata, (2) Mengembangkan sistem pengelolaan daya tarik wisata

berbasis kelompok masyarakat, (3) Meningkatkan kapasitas sumber daya

manusia baik di lingkup industri, pemerintah, dan kelompok masyarakat, (4)

Memfasilitasi pembentukan hubungan bisnis antara kelompok dan industri

pariwisata skala lokal, (5) Memberikan dukungan bisnis bagi industri

pariwisata skala lokal dan kelompok masyarakat.

Dalam tahapan Linking social capital, masyarakat Bajo mendapatkan

kesempatan untuk membentuk suatu lembaga yang mengelola kepariwisataan

di perkampungan Bajo. Lembaga ini merupakan jembatan bagi masyarakat

yang sadar akan potensi yang mereka miliki dalam bidang pariwisata dalam

mewujudkan cita-cita mereka untuk mengembangkan sektor pariwisata di


124

perkampungan suku Bajo. Pembentukan dan proses berjalannya lembaga ini

didukung oleh pemerintah dan LSM sebagai penyandang dana.

Linking social capital, yaitu ikatan modal sosial yang menjangkau

orang-orang yang sangat berbeda, bahkan berada di luar komunitasnya.

Bentuk ini biasanya memberikan akses kepada organisasi atau sistem yang

akan membantu masyarakat memperoleh sumberdaya untuk mendapatkan

perubahan. Ikatan modal sosial ini, biasanya dihubungkan dengan organisasi

seperti pemerintah, bank, ataupun lembaga penyandang dana yang ada di

dalam atau luar masyarakat. Pada kelompok ini, kepercayaan terhadap

pimpinan, akan sangat berdampak pada interaksi yang terjalin. Kepercayaaan

pimpinan diindikasikan dari pemimpin yang mendengar kebutuhan,

memberikan perhatian, dan berkomitmen terhadap masyarakat (Scheffert et

al., 2008).

Dalam lembaga dalam bidang pariwata oleh komunitas suku Bajo, tidak

serta merta berdiri begitu saja. Masyarakat Bajo memiliki kesadaran akan

potensi yang mereka miliki dalam bidang pariwisata. Hal ini seperti yang

diungkapkan oleh Bapak Samran (Ketua LEPA – MOLA), dahulu desa Mola

ini hanya menjadi objek. Wisatawan mengunjungi desa untuk mengambil

gambar dan kemudian pergi. Hingga Pak Samran sadar akan potensi

pariwisata yang mereka miliki. Masayarakat Bajo di desa Mola sadar bahwa

mereka menjadi salah satu objek Pariwisata di Wakatobi, namun mereka tidak

turut andil dalam pengelolaan pariwisata tersebut. Dengan kesadaran ini


125

mereka memiliki keinginan dan cita-cita untuk mengelola potensi yang

mereka miliki dalam bidang pariwisata.

“.., dulu Mola ini kan menjadi objek. Orang datang 3,4,5 mobil, turun
ambil foto, gambar atau semua, pulang. Kami tidak pernah menanyakan
ada apa mereka? Namun, kesadaran itu kemudian muncul. Mereka
mengambil gambar ngambil foto anak-anak yang berenang, ibu-ibu
yang menjual ikan ke pasar, orang yang membuat alat tangkap,
memperbaiki kapal. Apa sebenarnya ini? Nah itu kemudian muncul
kesadaran ini. Ini munculnya setelah saya masuk di WWF, itu 2010, eh
2011. WWF melihat sebenarnya disini ada kegiatan yang berhubungan
dengan pariwisata. Nah, ternyata itu wisatawan. nah, dampak apa yang
kemudian yang berhubungan dengan saya? Apa yang bermanfaat bagi
kami? Mereka datang, ternyata ada yang yang mengelola, ada kemudian
orang-orang yang mengelola. Ternyata mereka sudah jadikan kami
paket wisata. Oh, ini kami baru sadar, bagaimana bisa? Muncul dalam
benak saya untuk mengajak teman-teman bagaimana punya seperti ini?
Dengan khayalan ini kami memiliki cita-cita” (Wawancara dengan
Bapak Samran, 31 Mei 2017)

Masayarakat Bajo di desa Mola sadar bahwa mereka menjadi salah satu

objek Pariwisata di Wakatobi, namun mereka tidak turut andil dalam

pengelolaan pariwisata tersebut. Dengan kesadaran ini mereka memiliki

keinginan dan cita-cita untuk mengelola potensi yang mereka miliki dalam

bidang pariwisata.

“Nah kaitannya tentang mereka sadar atau tidak sadar, mereka sudah
dimasuki wisatawan yang berkunjung ke mereka. Awalnya dulu,
kadang mereka malu, ketika ada yang pegang kamera mereka lari
bersembunyi dirumah, tidak mau berbaur. Namun saat ini, mereka
santai saja, oh, itu wisatawan ya mereka santai saja. Datang mereka,
lewat mereka paling menyapa, mereak tersenyum. Kami sadari juga
harus bersih, nyaman, yang punya kenangan” (Wawancara dengan
Bapak Samran, 31 Mei 2017).

Dan setelah datangnya British Council dan Bank Mandiri di

perkampungan Bajo di desa Mola, cita-cita untuk mengelola pariwisata di


126

desa Bajo dapat mereka wujudkan. British Council dan Bank Mandiri

menganggap bahwa Suku Bajo berpotensi untuk mengembangkan program

wisata di perkampungan Bajo,

“Dan setelah masuknya British Council dan Mandiri, mereka


menganggap kami berpotensi untuk mengembangkan program wisata.
Namun Pemerintah daerah merasa tidak bisa kalo disini, karena mereka
menganggap kami tidak mampu. Karena desa ini penuh dengan
sampah, bagaimana dijadikan tempat pariwisata. Tapi kemudian kami
coba survey, mereka menetapkan disini. Mereka (British Council dan
Mandiri) berkata tidak, disini juga bisa digunakan pariwisata, karena
ada konsultannya juga kan. Oleh karena itu kami coba” (Wawancara
dengan Bapak Samran, 31 Mei 2017).

British Council dan Bank Mandiri meluncurkan kawasan wisata suku

pengembara laut Bajo di Mola Raya. Kawasan wisata budaya ini dibangun di

5 desa suku Bajo masing-masing Mola Bahari, Mola Utara, Mola Samaturu,

Mola Selatan, dan Mola Nelayan Bhakti, Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten

Wakatobi, Sulawesi Tenggara. (Rivai, 2015). Pada program ini, Bank

Mandiri, British Council beserta pemerintah Wakatobi mendampingi

masyarakat dengan membangun kapasitas dan infrastruktur untuk

pengelolaan potensi wisata berbasis kelautan. Sebagai pengembara laut, Suku

Bajo di Mola sendiri sudah ada dan menetap di Wangi-wangi sejak tahun

1958, mereka tinggal di atas karang dan disebut sebagai manusia laut (Rivai,

2015).

Sebagai Badan Usaha Milik Negara yang memiliki peran untuk turut

mendukung pengembangan aktivitas masyarakat di berbagai lapangan usaha,

Bank Mandiri senantiasa hadir dan berkontribusi di berbagai belahan

nusantara melalui program-program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan


127

sebagai perwujudan dari BUMN Hadir Untuk Negeri. Tidak hanya menyasar

langsung pada masyarakat melalui program-program kemitraan, dukungan

yang diberikan Bank Mandiri juga diarahkan kepada pengembangan sektor

pariwisata yang bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Institusi terkait

melalui program CSR (Kementrian BUMN, 2017).

Peluncuran kawasan wisata Mola tersebut dilakukan pada hari Jumat,

tangga 07 Agustus 2015, oleh Deputi Regional CEO Sulawesi dan Maluku

Bank Mandiri, Tonggo Marbun, Direktur British Council Indonesia Sally

Goggin, dan disaksikan oleh Bupati Wakatobi, Ir. Hugua, di Desa Mola

Utara, Wakatobi. Menurut Deputi Regional CEO Sulawesi dan Maluku Bank

Mandiri Tonggo Marbun,  pengembangan kawasan wisata ini bertujuan untuk

mendorong sektor pariwisata berbasis komunitas di Provinsi Sulawesi

Tenggara. Dengan langkah ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan

ekonomi masyarakat (Wakatobi Tourism, 2015).

“Wakatobi, sebagai salah satu destinasi wisata unggulan tentu memiliki


potensi pariwisata alam dan etnik yang menarik untuk dikembangkan
secara berkelanjutan. Karena itulah kami bersama British Council
mengembangkan kawasan ini, untuk memberikan nilai tambah yang
lebih baik bagi masyarakat” (Tonggo Marbun, Deputi Regional CEO
Sulawesi dan Maluku Bank Mandiri dalam Wakatobi Tourism, 2015).

Program Mandiri Bersama Mandiri (MBM) Pariwisata Berkelanjutan

ini bertujuan untuk mendorong ekonomi di tingkat lokal dengan membangun

kapasitas masyarakat untuk mengelola potensi pariwisata mereka dan

mendapatkan tambahan pendapatan melalui kegiatan produktif dan kreatif

dalam sektor pariwisata (Wakatobi Tourism, 2015). Direktur British Council


128

Indonesia, Sally Goggin, menegaskan pentingnya aspek pembangunan

manusia dalam pengelolaan destinasi wisata secara berkelanjutan. 

“Dengan berbagai program peningkatan kapasitas dan pelatihan yang


dilakukan lewat program MBM Pariwisata Berkelanjutan, British
Council ingin turut berkontribusi dalam mengembangkan konsep eko-
wisata di berbagai wilayah Indonesia sehingga terbangun pula pola
interaksi sosio-kultural yang berkesinambungan” (Sally Goggin,
Direktur British Council Indonesia, dalam Wakatobi Tourism, 2015).

Pengembangan kawasan wisata di desa Mola diwujudkan dengan

pembentukan sebuah lembaga yakni LEPA – MOLA (Lembaga Pariwisata

Mola Raya). Lembaga ini merupakan bentukan dari Bank Mandiri yang pada

tahun 2013 bekerjasama dengan British Council untuk membina kelompok

masyarakat Desa Mola di Pulau Wangi-Wangi. Sedangkan, peluncuran

kawasan wisata Mola tersebut dilakukan pada hari Jumat, tangga 07 Agustus

2018. Program pembinaan yang dilakukan berupa pendampingan serta

pembangunan infrastruktur untuk mendukung pengembangan potensi wisata

serta pengelolaan destinasi wisata salah satunya melalui pembangunan

Tourism Center sebagai pusat informasi untuk kegiatan-kegiatan wisata yang

menjadi ciri khas suku Bajo seperti Dolphin Watch, Bajo Cultural Walking

Tour, hingga lokasi untuk menikmati kuliner khas Suku Bajo (Kementrian

BUMN, 2017).
129

Gambar 4.11. Pusat Informasi Pariwisata LEPA – MOLA


kantor LEPA – MOLA sekaligus tempat bagi wisatawan untuk
mendapatkan informasi tentang wisata di perkampungan suku Bajo di
desa Mola.

Sumber : Dokumentasi Peneliti (2017)

Pembentukan LEPA – MOLA melalui beberapa tahapan, Bank Mandiri

dan British Council secara bertahap mengadakan program-program dalam

mempersiapkan peluncuran desa wisata suku Bajo, seperti sosialisasi ke 5

desa, pembentukan tim, pelatihan, studi banding, evaluasi dan perencanaan

kedepannya hingga masyarakat dapat secara mandiri mengelola kegiatan

pariwisata yang ada disana:

“Awalnya kami pilih sebelum terbentuk ini prosesnya itu mulai dari
mereka datang sosialisasi kesalah satu desa yang paling ujung sana desa
Nelayan Bakti sana tentang program MBPB (Mandiri Bersama
Pariwisata Berkelanjutan) sosialisasi tentang itu dulu, setelah itu pindah
lagi ke desa Mola Selatan dan Utara gabung disitu sosialisasinya setelah
itu membentu yang direkomendasikan untuk ke 5 orang yang di
rekomendasikan ada dari kepala desa, tokoh yang ada di desa,
masyarakat yang ada di desa sekitar 5 oarang sampai 6 orang kemudian
dibentuk ada yang jadi steering commite sebagai pengarah, yang masuk
disitu pemerintah desa, kepala desa dan tokoh-tokoh kemudian yang 3
orang itu masyarakat sendiri itu resident team tim kerja dia proses kerja
mulai april 2014 tetrkait dengan kesiapan pelibatan awal termasuk
pelatihan pemahaman situasi, perencanaan, pembagian, uji coba
sebelum itu steering commite dan resident team kan berubah itu dari
beberapa orang itu 30 itu yang tersisa sampai selesai kemudian
diagendakan pelatihan dasar-dasar kepariwisataan. ..., Sosialisasi kami
lakukan ke 5 desa. Kami masuk ke kepala-kepala desa. Tiap tahapan-
130

tahapan kami lakuakan pertanggung jawaban yang kemudian


disampaikan ke masyarakat” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31
Mei 2017).

Setelah peluncuran desa wisata Mola, dan masyarakat Bajo dianggap

dapat secara mandiri mengelola pariwisatadi desa MOLA, Bank Mandiri

tetap memantau kegiatan LEPA – MOLA serta memberikan bantuan dalam

mendukung kegiatan kepariwisataan yang ada di desa Mola. Pada bulan Mei

2017, Bank Mandiri kembali memberikan bantuan berupa 10 buah peralatan

snorkeling dari dan 2 buah peralatan diving dari PT Antam yang diserahkan

kepada  Lembaga Pariwisata Desa Mola (Lepa Mola) (Kementrian BUMN,

2017). Berikut hasil penuturan dalam wawancara dengan Samran,

“Karena Bank Mandiri ini juga sudah beberapa kali melakukan


kegiatan, walaupun saat ini kami sudah dilepas oleh Bank Mandiri
tetapi mereka selalu mengikuti perkembangan kami. Kemarin itu ada
pasar murah, jadi langsung dibagi ke beberapa masjid bertepatan
dengan bulan Ramadahan. Artinya lewat ini mereka sadar, oh tenyata
ini manfaatnya ada lembaga (LEPA – MOLA) ini. Ini lagi, kami ada
alat snorkling alat diving dari mereka (Bank Mandiri) juga yang
memberi. Artinya masyarakat juga sadar. Jadi mereka menganggap
LEPA – MOLA berkontribusi, dan banyak teman-teman yang
diberdayakan, dan bermanfaat bagi semua” (Wawancara dengan Bapak
Samran, 31 Mei 2017).

Hal tersebut didukung oleh pernyataan Bapak Rosman sebagai anggota

LEPA – MOLA, dampak yang bermanfaat diharapkan dapat menjadi pemicu

masyarakat Bajo untuk mengembangkan Pariwisata di desa Mola. Sehingga

keberadaan LEPA – MOLA dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Suku

Bajo yang berperan aktif dalam mendukung pariwisata di Mola,

“Dari Spot-spot yang kami lalui minimal ada kontribusi dari kami.
Walaupun tidak kesuluruhan dari masyarakat yang mendapatkan
131

dampak dari pariwisata ini. Minimal yang kami usahakan, spot yang
kami lalui mendapatkan dampak dari pariwisata itu” (Wawancara
dengan Bapak Rosman, 01 Juni 2017).

Dengan adanya kesempatan untuk membentuk suatu lembaga yang

mengelola kepariwisataan di perkampungan Bajo menjadi jembatan bagi

masyarakat yang sadar akan potensi yang mereka miliki dalam bidang

pariwisata dalam mewujudkan cita-cita mereka untuk mengembangkan sektor

pariwisata di perkampungan suku Bajo. Pembentukan dan proses berjalannya

lembaga ini didukung oleh pemerintah dan LSM sebagai penyandang dana.

Menurut narasumber yang telah diwawancara oleh peneliti, masayarakat Bajo

di desa Mola sadar bahwa mereka menjadi salah satu objek Pariwisata di

Wakatobi, namun mereka tidak turut andil dalam pengelolaan pariwisata

tersebut. Masyarakat Bajo memiliki kesadaran akan potensi yang mereka

miliki dalam bidang pariwisata. Dengan kesadaran ini mereka memiliki

keinginan dan cita-cita untuk mengelola potensi yang mereka miliki dalam

bidang pariwisata.

Cita-cita untuk mengelola pariwisata di desa Bajo dapat diwujudkan

setalah datangnya bantua dari British Council dan Bank Mandiri di

perkampungan Bajo di desa Mola. British Council dan Bank Mandiri

menganggap bahwa suku Bajo berpotensi untuk mengembangkan program

wisata di perkampungan Bajo dengan membentuk lembaga LEPA – MOLA.

LEPA – MOLA dibentuk bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dalam

mengelola potensi wisata yang ada di daerah ini sehingga mereka bisa

merasakan dampaknya. Dampak yang bermanfaat diharapkan dapat menjadi


132

pemicu masyarakat Bajo untuk mengembangkan Pariwisata di desa Mola.

Sehingga keberadaan LEPA – MOLA dapat memberikan manfaat bagi

masyarakat Suku Bajo yang berperan aktif dalam mendukung pariwisata di

Mola.

4.5.5. Kerjasama dan Perluasan Jaringan dalam Bidang Pariwisata

Peningkatan kapasitas bagi masyarakat di bidang pariwisata mulai dari

pemahaman pariwisata, penerapan sapta pesona, pemanduan, kelembagaan,

bisnis pariwisata, pengelolaan keuangan mikro, pengelolaan pengunjung,

termasuk pengelolaan dampak negatif sebagai akibat kegiatan pariwisata serta

kontribusi terhadap kegiatan pelestarian sumber daya alam dan budaya sangat

diperlukan. Selain itu, dukungan keuangan seperti akses kepada lembaga

keuangan dan pemberian mikro kredit dengan suku bunga rendah juga sangat

dibutuhkan agar kelompok masyarakat dapat membangun jasa usaha yang

profesional dan berkualitas (BAPPEDA Kabupaten Wakatobi, 2013).

Untuk memeperluas jaringan, Suku Bajo juga perlu melaksanakan

Konsep Pengelolaan Pariwisata Multi Pihak. Konsep ini mengharuskan

adanya forum multipihak (pemerintah, swasta, perwakilan masyarakat,

akademisi) yang akan berperan memberikan arah, mendorong kebijakan

pemerintah, harmonisasi kegiatan dari para pihak yang berkepentingan,

melakukan pencitraan destinasi, membuka peluang-peluang investasi serta

memastikan pihak-pihak yang berkepentingan menerapkan perencanaan yang

telah disusun. Konsep Pengelolaan Pariwisata Multi pihak pada kawasan


133

yang memiliki kemampuan tinggi secara politik dan implementasi, biasanya

pelaksanaannya hingga pembentukan lembaga pengelolaan di tingkat

destinasi (BAPPEDA Kabupaten Wakatobi, 2013).

Dalam tahapan ini, masyarakat menggunakan Linking social capital.

Menurut Woolcock and Sweetser (2002), Linking social capital berkaitan

dengan hubungan dengan orang-orang yang berkuasa, apakah mereka berada

dalam posisi yang berpengaruh secara politis atau finansial. Linking social

capital juga mencakup koneksi vertikal ke institusi formal (Woolcock ,

2001). Menurut Kearns (2004), bahwa relasi-relasi sosial antar individu-

individu dan kelompok-kelompok dalam strata sosial yang berbeda secara

hierarkhis disebut linking sosial capital. Modal sosial yang bersifat linking

tersebut menunjukkan suatu bentuk kekuatan komunitas. Potensi suatu

komunitas ditentukan oleh kepercayaan/trust dan norma-norma yang dimiliki

oleh komunitas tersebut. Dimana inti dari kekuatan modal sosial terletak pada

tingginya kepercayaan dimiliki dan ketaatan terhadap norma oleh anggota

dalam komunitas. Untuk pengembangan suatu komunitas diperlukan berbagai

potensi dan sumberdaya baik secara internal maupun eksternal. Modal sosial

khususnya jaringan dan relasi-relasi merupakan potensi yang dapat

mensinergikan dan mengungkap potensi dan modal lainnya. Potensi modal

jaringan dan relasi menjadi inti dalam dinamika pembangunan suatu

komunitas. Kompleksitas jaringan dan relasi yang tercipta dalam suatu

komunitas merupakan salah satu indikator kekuatan yang dimiliki komunitas.


134

Pada masyarakat di Desa Mola, pengembangan jaringan ditunjukkan

dengan cara membuka diri untuk bekerjasama dengan British Council dan

Bank Mandiri dengan membentuk suatu Kelembagaan yakni LEPA – MOLA,

yang telah dibahas sebelumnya. Pada program di perkampungan Bajo, Bank

Mandiri, British Council dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi mendampingi

masyarakat dengan membangunan kapasitas dan infrastruktur sehingga

nantinya dapat mengelola sendiri potensi wisata yang dimiliki (Wakatobi

Tourism, 2015).

Sedangkan di desa Samabahari, Pulau Kaledupa, pengelolaan

pariwisata masih dipegang oleh perorangan yakni oleh Bapak Iskandar dan

Bapak Pondang. Mereka memiliki jaringan pariwisata dengan beberapa

operator wisata diluar Wakatobi. Dari operator wisata inilah mereka

mendapatkan tamu dan dapat memberikan manfaat kepada orang Bajo di desa

Samabahari. Operator wisata tersebut tidak hanya dari dalam negeri, namun

juga memiliki jaringan di luar negeri. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak

Kepala Desa Samabahari, dan bapak Iskandar, orang Bajo yang aktif dalam

bidang pariwisata:

“Tamu Dragon (nama provider wisata), tamu malaysia, ada juga tamu
lepas. ..., kalau Dragon yang kordinir ada 3 pulau masyarakat juga,
diambil dari malang, kalau tamu Dragon itu banyak anak-anak semua
mahasiswa kaitannya kadang yang dia ini yang dia teliti di Samabahari
tentang kehidupan orang bajo. ..., kalau Dragon cabangnya kantornya
di Bau-Bau tapi ada penggurusnya di Samabahari ada guide disini tapi
ada kantornya dibawah pengurusnya juga ada disini. Kalau ada tamu
dari luar negeri melalui ada kantornya mungkin Bau-Bau tapi untuk
yang, untuk yang cabangnya disini yang mengurus mereka itu terutama
fasilitasnya” (Wawancara dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).
135

“Orang dari luar yang buat lembaga, yaa tidak ada lembaga formal
disini. ..., iya kerja sama dengan mereka saja yang paling sering itu 3x
setahun datang itu namanya will be the dragon” (Wawancara dengan
Bapak Iskandar, 06 Juni 2017).

Selain bapak Iskandar dan bapak Pondang yang memiliki jaringan

dengan orang luar karena aktif dalam pariwisata di Samabahari, Bapak Jabira,

sebagai pengerajin Carumeng (kacamata renang khas Bajo) juga memiliki

jaringan dengan wisatawan asing yang sering membeli produk khas suku

Bajo tersebut. Melalui jaringan tersebut, bapak Jabira sering mendapatkan

pesanan dari wisatawan dalam dan luar negeri,

“Sejak masuknya turis, pas waktu itu ada teman saya dari inggris
memberikan saya petunjuk katanya harus begini-begini orang-orang
barat itu juga suka yang terbuat dari kain-kain. ..., tapi sebenarnya tidak
terbatas itu kan yang datang di wakatobi, jadi semua negara yang masuk
pasti dia cari anu apa ehhh cari oleh-oleh dari samabahari. ..., kemudian
ini mungkin sudah disebar luaskan ke luar negeri karena ada teman saya
itu nama siapa itu nama perempuan terus waktu itu saya di foto terus
dikirim di negara-negara tetangganya terus itu nama anda terus itu ada
arahan ke sini. ..., tidak banyak kadang 10 kadang 20 tapi kadang tidak
pesan langsung datang sendiri kesini, karena sudah itu diarahkan jadi
orang bule sendiri yang datang kesini karena itu saya tidak bisa bahasa
inggris yaa begitu pakai isyarat saja begitu saja main bahasa isyarat
saja” (Wawancara dengan Bapak Jabira, 07 Juni 2017).

Pengembangan wisata bahari diharapkan bisa mengangkat kehidupan

sosial-ekonomi masyarakat Bajo, terutama yang berdekatan dengan kawasan

wisata seperti resort Hoga di Pulau Hoga yang lokasinya berhadapan dengan

desa Samabahari, Pulau Kaledupa. keberadaan resort dengan berbagai

kegiatannya, menarik banyak wisatawan lokal dan mancanegara, terutama

untuk tujuan penelitian kelautan. Sebagian dari kegiatan, tidak sedikit dari

peneliti yang juga singgah di desa Samabahari.


136

Kedatangan wisatawan ini merupakan peluang bagi penduduk desa

etnis Bajo untuk menambah penghasilan seperti menyediakan jasa pengayuh

perahu keliling desa, membuat dan berjualan cinderamata yang spesifik

seperti bedak pupur dan carumeng. Dengan adanya lapangan pekerjaan

alternatif diluar pekerjaan sebagai nelayan, dapat mengurangi ketergantungan

nelayan Bajo terhadap sumber daya laut. Sehingga diharapkan berkurangnya

eksploitasi sumber daya laut secara berlebihan (Saad, 2009). Hal tersebut

diungkapkan oleh Bapak Iskandar,

“Ya itu penghasilan tambahan bagi masyarakat. ..., ya mereka senang


tapi yang dampak langsungnya ya rumah-rumah yang ditempati dan itu
setiap musim diambili yang baru 4 diambili yang baru 4 lagi”
(Wawancara dengan Bapak Iskandar, 06 Juni 2017).

Selain itu, menurut Bapak Rustam, Kepala Desa Samabahari, anak-anak

kecil juga mendapatkan keuntungan dari datangnya wisatawan, yakni

menambah uang saku mereka dengan cara memberikan jasa mendayung

kepada wisatawan:

“Kadang perahu dia sewa kadang anak-anak yang sering dayung


ditengah kampung dia kasih uang sehingga anak-anak jajan tidak minta
lagi ke orang tuanya” (Wawancara dengan Bapak Rustam, 06 Juni
2017).

Pada masyarakat di Desa Mola, pengembangan jaringan ditunjukkan

dengan cara membuka diri untuk bekerjasama dengan British Council dan

Bank Mandiri dengan membentuk suatu Kelembagaan yakni LEPA – MOLA.

Sedangkan di desa Samabahari, Pulau Kaledupa, pengelolaan pariwisata

masih dipegang oleh perorangan yakni oleh Bapak Iskandar dan Bapak
137

Pondang. Mereka memiliki jaringan pariwisata dengan beberapa operator

wisata diluar Wakatobi. Dari operator wisata inilah mereka mendapatkan tamu

dan dapat memberikan manfaat kepada orang Bajo di desa Samabahari.

Pariwisata membuka lapangan pekerjaan alternatif bagi masyarakat Bajo

diluar pekerjaan sebagai nelayan, yang dapat mengurangi ketergantungan

nelayan Bajo terhadap sumber daya laut.

4.6. Hambatan dalam Perkembangan Pariwisata di Perkampungan Bajo

Program pemberdayaan yang kurang berhasil atau gagal mencapai tujuan

tentu disebabkan oleh berbagai hambatan. Menurut Adi (2008) mengemukakan

bahwa salah satu hambatan yang menyebabkan program pemberdayaan tidak

berjalan mulus dalam pelaksanaannya adalah adanya kelompok-kelompok dalam

komunitas yang menolak upaya pembaruan atau perubahan yang terjadi. Adapun

hambatan-hambatan menurut Watson dalam Adi (2008), antara lain (1)

Kestabilan, (2) Kebiasaan, (3) Hal yang utama, (4) Seleksi Ingatan dan Persepsi,

(5) Ketergantungan, (6) Super Ego, (7) Rasa tidak percaya diri, (8) Rasa Tidak

aman dan Regresi.

Dalam pemberdayaan masyarakat di komunitas suku Bajo dalam bidang

pariwisata, muncul juga hambatan-hambatan yang mempengaruhi perkembangan

pariwisata di perkampungan suku Bajo. Hambatan-hambatan yang muncul antara

lain, kebiasaan membuang sampah sembarangan. Kebiasaan ini menjadi

kebiasaan yang negatif dalam perkembangan pariwisata di perkampungan Bajo.


138

Karena kebiasaan ini pemerintah menyangsikan potensi pariwisata di desa Mola,

seperti yang diungkapkan oleh Bapak Samran,

“Dan setelah masuknya British Council dan Mandiri, mereka menganggap


kami berpotensi untuk mengembangkan program wisata. Namun
Pemerintah daerah merasa tidak bisa kalo disini, karena mereka
menganggap kami tidak mampu. Karena desa ini penuh dengan sampah,
bagaimana dijadikan tempat pariwisata” (Wawancara dengan Bapak
Samran, 31 Mei 2017)

Selain itu, wisatawan yang berkunjung ke desa Mola, juga masih

menganggap bahwa sampah menjadi masalah yang perlu diperhatikan.

“Kami masih memasukkan kegiatan aksi kebersihan. karena masalah yang


kami hadapi masih masalah sampah. Karena masih banyak masukan dari
wisatawan terhadap kebersihan yang ada disini” (Wawancara dengan
Bapak Samran, 31 Mei 2017)

Hambatan selanjutnya adalah anggapan suku Bajo bahwa uang masih

menjadi hal utama yang dapat memberikan hasil yang memuaskan. Ketika

seseorang menghadapi suatu situasi tertentu dan tindakannya memberikan hasil

yang memuaskan maka ia cenderung akan mengulangi tindakan tersebut pada

waktu yang lain dengan situasi yang sama. Masyarakat bajo masih memiliki

pemikiran, bahwa apa yang mereka kerjakan secara otomatis akan menghasilkan

uang. Uang hasil kerja mereka didapatkan setelah mereka melakukan pekerjaan.

Sedangkan beberapa mata pencaharian alternatif yang telah dikembangkan tidak

dapat memenuhi keinginan mereka. Seperti contohnya, dalam perkumpulan ibu-

ibu kerajinan tangan, mereka membuat kerajinan tangan yang nantinya akan

dikumpulkan dahulu untuk dipromosikan atau dipromosikan. Sehingga mereka

tidak mendapatkan langsung hasil kerja mereka. Mereka harus bersabar sampai
139

barang hasil kerjinan tangannya laku untuk dijual. Seperti yang diungkapkan oleh

Ibu Hapsah:

“Sebenarnya mereka bisa. Hanya kurang memuaskan hasilnya bagi mereka.


Karena membuat ini kita harus sabar menunggu. Tapi mereka maunya
setelah bekerja ada uang. Jadi kalau mereka maunya begitu susah, kecuali
kita punya modal. Kita gaji mereka, mereka bekerja, langsung kita bayar”
(Wawancara dengan Ibu Hapsah, 03 Juni 2017).

Ibu Hapsah juga menambahkan, hambatan lainnya adalah pelatihan yang

tidak tepat sasaran. Untuk memilih orang yang ikut dalam pelatihan seharusnya

ditujukan kepada orang-orang yang memiliki bakat dan berkemauan untuk

bekerja. Sedangkan selama ini orang-orang Bajo yang mengikuti pelatihan hanya

mengejar insentif pelatihan saja.

“Itu (pelatihan) biasanya ditunjuk. Seharusnya kalo ada pelatihan seperti itu,
harusnya dicari yang punya bakat. Asal tunjuk, asal ada yang pergi. Kalo
saya yang ditunjuk harus orang yang mau bekerja. Kalau hanya tunjuk saja,
ya percuma. Karena pelatihan itu biasanya orang cari uang saku. Mereka
mengejar uang saku, terus terang saja. melalui Kepala Desa” (Wawancara
dengan Ibu Hapsah, 03 Juni 2017).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Samran, ketika merintis LEPA –

MOLA pelatihan-pelatihan diberikan oleh calon pengurus. Namun karena tidak

adanya insentif dari pelatihan yang mereka ikuti, banyak dari mereka yang gugur.

“Dasar-dasar itu mulai kita diberkan informasi selama 3 hari pelatihan, tidak
ada insentifnya banyak yang gugur akhirnya mencari orang yang
menggantikan ini masih bertahap” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31
Mei 2017).

Hambatan yang muncul selanjutnya adalah Ketergantungan masyarakat Bajo

terhadap pihak lain dalam pengembangan pariwisata. Masyarakat Bajo belum

sepenuhnya dapat mandiri dalam pengelolaan pariwisata di perkampungan


140

mereka. Mereka masih mengharapkan adanya bantuan dari pemerintah atau pihak

lain untuk mendukung kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Seperti yang

diungkapkan oleh bapak Samran,

“.., kami tidak mampu karena tidak ada biaya, tidak ada kemampuan, tidak
ada dasar untuk membuka usaha seperti ini kan. Pemerintah pun tidak
pernah memberikan pelatihan program-program seperti ini (tentang
pariwisata)” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31 Mei 2017).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibu Hapsah, beliau masih mengharapkan

bantuan dari pemerintah untuk terus memantau mereka dalam pengembangan

usaha.

“Ya kalau saya, kalo (pemerintah) daerah mau pamer (pameran) jangan
hanya menampung hanya disimpan, hanya sebagai promosi saja. Misalnya
kalo mereka langsung beli kita senang. Buat masyarakat juga bisa dapat
gaji” (Wawancara dengan Ibu Hapsah, 03 Juni 2017).

“Tamu semakin banyak. Diperhatikan kita ini juga, diberi ilmu atau apa dari
pemerintah, supaya kita ini berkembang. Mereka pantau kita terus, supaya
kita semangat juga. Misal juga mereka ajar bagaimana kalau mau sukses”
(Wawancara dengan Ibu Hapsah, 03 Juni 2017).

Ketergantungan ini diakibatkan karena adanya kurang rasa percaya diri pada

masyarakat suku bajo dalam mengembangan pariwisata di daerah mereka. Rasa

tidak percaya diri membuat seseorang tidak yakin dengan kemampuannya

sehingga sulit untuk menggali dan memunculkan potensi yang ada pada dirinya.

Hal ini membuat orang menjadi sulit berkembang karena ia sendiri tidak mau

berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Rosman, setelah dilepas oleh Bank

Mandiri dan British Council, promosi wisata perkampungan Bajo menurun. Hal
141

tersebut berdampak pada tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran

operasional wisata di perkampungan Bajo.

“Karena kita baru launching, tahun-tahun sebelumnya banyak media yang


membantu kita. Sedangkan sekarang, karena kami sudah dilepas, kami
madiri, mungkin kekurangan kami adalah cara mempromosikan. Sehingga
sekarang kami kekurangan tamu. Sebenarnya banyak alat yang kami miliki.
Alat Starkling, body batang, itu semua butuh operasional, butuh perawatan.
Jadi jika tidak seimbang (dana), saya tidak tahu apa yang terjadi. Harapan
kita mudah-mudahan berimbanglah ini. Dalam LEPA – MOLA, kami
memiliki permasalahan-permasalahan, lalu kita ajukan ke masyarakat, mana
masalah yang diprioritaskan untuk diselesaikan“ (Wawancara dengan Bapak
Rosman, 01 Juni 2017).

Selain itu, rasa tidak percaya diri juga dirasakan Bu Sartini sebagai ketua

UKM Bajo Mandiri, ia merasa kurangnya usaha pemasaran akan produk yang

mereka hasilkan.

“..., kendala UKM disini rata-rata ya tentang pemasarannya. ..., Karena ini
tidak musim tamu, jadi kita tidak berani bikin banyak-banyak. Pernah juga
kita rugi 20 juta - 30 juta, karena tidak tau keadaan tamu. Jadi kita bikin
terus sampai rugi kita” (Wawancara dengan Ibu Sartini, 01 Juni 2017).

Peraturan pemerintah juga menjadi hambatan dalam pengembangan

pariwisata. Peraturan pemerintah terhadap datangnya wisatawan yang datang

menjadi kendala bagi bapak Iskandar dan Bapak Pondang, sebagai pelaku wisata

di desa Samabahari,

“Ya itu dari pemerintah sendiri. ..., yak karena mereka komplain harus ini
harus ini bikin ini. bikin pelapor ya kan kita didesa ini seperti polisi cek
kesana ke kepala desa jadi seharusnya kita melapor ke kepala desa tidak bisa
jaga polisi karena dia tinggal didesa” (Wawancara dengan Bapak Pondang,
07 Juni 2017).

Hambatan selanjutnya adalah kurang sadarnya masyarakat Bajo akan

potensi pariwisata yang mereka miliki. Sebagian masyarakat Bajo beranggapan


142

bahwa hasil dari pengembangan pariwisata hanya dinikmati oleh pengelola

pariwisata saja, sehingga mereka enggan ikut berpartisipasi dalam pengembangan

pariwisata. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Rosman dan Ibu Royani dalam

wawancaranya dengan peneliti:

“Kadang ada juga yang berfikir, pariwisata yang kita bangun hanya untuk
kepentingan pengurus, hanya untuk kepentingan lembaga. Kadang ada juga
yang berfikir dengan menjual budayanya kita ke orang tapi tidak ada
manfaatnya bagi mereka. Karena masih tahap sosialisasi karena kita baru”
(Wawancara dengan Bapak Rosman, 01 Juni 2017).

“Mengganggu sih tidak, tapi mungkin ada ih kenapa setiap ada tamu atau
kenapa itu ibu terus. Mungkin ada begitu itu” (Wawancara dengan Ibu
Royani, 03 Juni 2017).

Hal ini dipengaruhi oleh rasa superego yang terlalu kuat dalam diri

seseorang cenderung membuat ia tidak mau atau sulit menerima perubahan atau

pembaharuan. Dengan adanya pengembangan pariwisata, masyarakat dituntut

untuk dapat melayani tamu. Namun menurut Bapak Mukmin, kemampuan

masyarakat suku Bajo masih kurang dalam hal tersebut.

“Tapi yang repotnya masyarakat juga tidak mau proaktif begitu. Semacam
untuk penyambutan tamu macam kuliner, macam apa itu masih jarang. Atau
kerajinan-kerajinan itu masih kurang sekali. Kendala pertama itu, iya masih
masyarakat lah masih kurang pemahannya tentang pariwisata. Masih ada
anggapan kalau pariwisata itu mengubah pola hidup, tradisi itu mereka
anggap begitu. Pemahaman masyarakat begitu” (Wawancara dengan Bapak
Mukmin, 03 Juni 2017).

Hambatan yang terakhir adalah adanya operator dari luar yang tidak

menganggap keberadaan pengelola pariwisata di perkampungan Bajo. Menurut

bapak Samran, sebagai ketua LEPA – MOLA diharapkan operator dari luar dapat

bermitra dengan LEPA – MOLA dalam mengenalkan pariwisata di


143

perkampungan Bajo. Sehingga masyarakat bajo dapat diberdayakan dengan

kemajuan pariwisata.

“Ya, ada juga yang merasa pariwisata ini tidak bermanfaat. Selain itu,
masih ada pihak yang mereka tidak sadar betul bahwa kami (LEPA -
MOLA) komunitas yang punya usaha, ketika meraka (private tour) masuk,
mereka tidak menghiraukan kami, mereka tidak memakai guide kami. Jadi
dalam bentuk mitra, kami ngasih tau mereka, kalau kalian punya tamu, ya
ini perkenalkan kami sebagai pengelola wisata di Perkampungan Bajo.
Kami sudah punya paket, maka berdayakan kami juga. Dan kami pun
sudah ada berapa persen yang akan kami berikan ketika mereka (Private
tour) membawa tamu kesini. Tetapi jika mereka sudah masuk ya sudah
masuk saja, kami tidak melarang. Yang penting mereka tanggung sendiri
keaman mereka, karena jika tamu tidak melewati kami, kami tidak
tanggung keamanannya” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31 Mei
2017).

Dari Wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan narasumber,

terdapat beberapa hambatan yang dihadapi dalam pemberdayaan masyarakat

dalam bidang pariwisata. Hambatan-hambatan yang muncul antara lain (1)

Kebiasaan membuang sampah sembarangan. Kebiasaan ini menjadi kebiasaan

yang negatif dalam perkembangan pariwisata di perkampungan Bajo. Kebiasaan

ini menjadi fokus penting Bagi LEPA – MOLA, diadakan sosialisasi untuk

menggalakkan kebersihan di perkampungan Bajo melalui sekolah-sekolah. Saat

ini sampah yang ada di perkampungan Bajo sudah banyak berkurang. Hal ini juga

didukung dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung di perkampungan Bajo,

masyarakat menjadi sadar bahwa kebersihan menjadi ... penting dalam

pengembangan pariwisata. (2) Anggapan suku Bajo bahwa uang masih menjadi

hal utama yang dapat memberikan hasil yang memuaskan. Suku Bajo yang

mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan masih membawa kebiasaan

mereka untuk mendapatkan uang secara langsung setelah mereka melaut, dengan
144

cara menjual secara langsung hasil tangkapannya. Sedangkan mata pencaharian

alternatif yang ada dalam bidang pariwisata, hasilnya tidak dapat mereka dapatkan

secara langsung. Sehingga mereka kembali lagi ke mata pencaharian awal mereka

sebagai nelayan. (3) Pelatihan yang tidak tepat sasaran. Untuk memilih orang

yang ikut dalam pelatihan seharusnya ditujukan kepada orang-orang yang

memiliki bakat dan berkemauan untuk bekerja. Masyarakat yang mengikuti

pelatihan ditunjuk oleh Kepala Desa, dan beberapa dari mereka yang mengikuti

pelatihan bertujuan untuk mendapatkan insentifnya saja, tidak mengembangkan

wawasan yang mereka dapatkan dari pelatihan. (4) Ketergantungan masyarakat

Bajo terhadap pihak lain dalam pengembangan pariwisata. Masyarakat Bajo

belum sepenuhnya dapat mandiri dalam pengelolaan pariwisata di perkampungan

mereka. Mereka masih mengharapkan adanya bantuan dari pemerintah atau pihak

lain untuk mendukung kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Ketergantungan

ini diakibatkan karena adanya kurang rasa percaya diri pada masyarakat suku bajo

dalam mengembangan pariwisata di daerah mereka. Rasa tidak percaya diri

membuat seseorang tidak yakin dengan kemampuannya sehingga sulit untuk

menggali dan memunculkan potensi yang ada pada dirinya.(5) Kurang sadarnya

masyarakat Bajo akan potensi pariwisata yang mereka miliki. Sebagian

masyarakat Bajo beranggapan bahwa hasil dari pengembangan pariwisata hanya

dinikmati oleh pengelola pariwisata saja, sehingga mereka enggan ikut

berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata. Hal ini dipengaruhi oleh rasa

superego yang terlalu kuat dalam diri seseorang cenderung membuat ia tidak mau

atau sulit menerima perubahan atau pembaharuan. Dengan adanya pengembangan


145

pariwisata, masyarakat dituntut untuk dapat melayani tamu. Namun kemampuan

masyarakat suku Bajo masih kurang dalam hal tersebut. (5) Adanya operator tour

dari luar yang tidak menganggap keberadaan pengelola pariwisata di

perkampungan Bajo. Operator tour dari luar diharapkan dapat bermitra dengan

LEPA – MOLA dalam mengenalkan pariwisata di perkampungan Bajo dan

masyarakat bajo dapat diberdayakan dengan kemajuan pariwisata. Sehingga,

wisatawan dapat merasakan langsung kebudayaan suku Bajo dari masyarakat

Bajo.
BAB V

KESIMPULAN & SARAN

5.1. Kesimpulan

Suku Bajo di desa Mola dan desa Samabahari, kearifan lokal telah dikemas

sebagai daya tarik pariwisata yang berpotensi untuk menjadi komoditi pariwisata.

ketika pariwisata telah berkembang, diperlukan komodifikasi budaya suku bajo

yang telah. Komodifikasi ini bertujuan untuk memberikan fasilitas sarana dan

prasaran kepada pengunjung agar mereka merasa aman dan nyaman dalam

menikmati pariwisata di perkampungan Bajo tanpa mengubah subtansi kearifan

lokal suku Bajo yang telah ada.

Suku Bajo di Wakatobi memiliki beberapa kearifan lokal yang menjadi daya

tarik pariwisata di antaranya adalah (1) Pengobatan Tradisional (Maduai Kakka,

Maduai Tuli, Maduai Kutta, Kadilaok Kadara, Duata), (2) Makanan Khas Suku

Bajo (Kasuami, Parede, Titta, Lowar), (3) Menyuluh, (4) Meti (Mencari

Tetehe/Bulu Babi), (5) Bedak Pupur, (6) Perahu Suku Bajo (body batang, lepa

kaloko, lepa dibura, soppe, dan lambo), (7) Carumeng, (8) Pemukiman Suku

Bajo, (9) Kain tenun Khas Bajo (Kain Ledja dan Kasopa).

Upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kearifan lokal yang dimiliki

oleh masyarakat suku Bajo antara lain, (1) Mengumpulkan dan menyusun kembali

budaya-budaya suku Bajo. (2) Pengenalan budaya kepada generasi suku Bajo

sedini mungkin. (3) Mengusung kearifan lokal Suku Bajo di desa Mola sebagai

paket wisata unggulan di perkampungan Bajo.

146
147

Dalam Pemberdayaan Masyarakat menuju kemandirian yang dilakukan di

perkampungan Bajo antara lain, (1) Pemberian Akses kepada Komunitas Bajo

dalam Bidang Pariwisata, (2) Pembentukan UKM dan Pelatihan – Pelatihan bagi

Komunitas Bajo, (3) Kepresidenan Suku Bajo,(4) Pembentukan Lembaga yang

memfasilitasi pariwisata suku Bajo, (5) Kerjasama dan perluasan jaringan dalam

bidang paeiwisata.

Terdapat beberapa hambatan yang dihadapi dalam pemberdayaan masyarakat

dalam bidang pariwisata antara lain, (1) Kebiasaan membuang sampah

sembarangan. (2) Anggapan suku Bajo bahwa uang masih menjadi hal utama

yang dapat memberikan hasil yang memuaskan. (3) Pelatihan yang tidak tepat

sasaran. (4) Ketergantungan masyarakat Bajo terhadap pihak lain dalam

pengembangan pariwisata. (5) Kurang sadarnya masyarakat Bajo akan potensi

pariwisata yang mereka miliki. (6) Adanya operator tour dari luar yang tidak

menganggap keberadaan pengelola pariwisata di perkampungan Bajo.

5.2. Saran dan Rekomendasi

Kemandirian komunitas Bajo meningkat dengan adanya Pemberdayaan

masyarakat dalam sektor Pariwisata. Namun masih terdapat hambatan yang

dihadapi, maka dari itu peneliti memberikan saran sebagai beriikut :

1. Upaya meningkatkan kesadaran komintas suku Bajo dalam hal kebersihan,

dengan mengadakan sosialisasi untuk tidak membuang sampah

sembarangan.
148

2. Memperkuat kearifan lokal suku Bajo yang berpotensi menjadi daya tarik

wisata di perkampungan Suku Bajo. Mayarakat juga diharapkan dapat

lebih memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang mampu menunjang

perkembangan pariwisata.

3. Pemerintah memfasilitasi promosi wisata masyarakat Suku Bajo kepada

dunia luar. Termasuk memperkuat eksistensi lembaga masyarakat Suku

Bajo yang telah terbentuk (LEPA MOLA) yang dapat berperan sebagai

perantara antara masyarakat Bajo dengan pihak lain dalam bidang

pariwisata.

4. LEPA MOLA diharap lebih proaktif menggandeng lembaga lain. Baik

lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah yang bergerak

dalam bidang pariwisata agar LEPA MOLA lebih dikenal dan memiliki

jaringan yang lebih luas. Dengan luasnya jaringan, promosi akan lebih

mudah dilakukan dan kerjasama dengan lembaga lain juga akan menambah

pengalaman dalam pengembangan bidang pariwisata.

5. Pelatihan yang diadakan oleh instansi pemerintah atau lembaga swasta

lebih memperhatikan potensi yang dimiliki oleh masyarakat Bajo, sehingga

mereka dapat mengembangakn kemampuan dan ketrampilan yang mereka

miliki.

6. Meningkatkan kesadaran masyarakat Bajo bahwa kemampuan dan

ketrampilan dapat dikembangkan secara maksimal dan hal tersebut tidak

dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Sehingga potensi yang dimiliki
149

dapat menjadi modal jangka panjang, walaupun hasilnya tidak dapat

dicapau dalam waktu yang singkat.


150

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adi, I. 2008 Intervensi Komunitas : Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya

Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada

Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Yogyakarta


: Graha Ilmu.

Coleman,J.S. 2008. Dasar-Dasar Teori Sosial. Bandung : Nusa Media.

Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press.

Demartoto, Argyo. 2009. Pembangunan Pariwisata BerbasisMasyarakat.


Surakarta : Sebelas Maret University Press

Evans, W.R. 2005. A social capital explanation of the relationship between


functional diversity and group performnace. Alabama USA : Emerald
Group Publishing Limited.

Field, J. 2003. Social Capital. London: Routledge.

Fukuyama, F. 2002. Social Capital and Development. The Coming Agenda.


Newyork : SAIS Review XXII. Free Press.

Fukuyama. 2002. Kebijakan sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Terjemahan


The Sosial Vitues and The Creation of Prosperity, 1995. Yogyakarta : CV
Qalam

Gitosaputro, Sumaryo & Kordiyana K. Rangga. 2015. Pengembangan &


Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Graha Ilmu

Hasbullah, Jousari. 2006. Social Capital Menuju Keunggulan Budaya Manusia


Indonesia. Jakarta : MR United Press.
151

 Ife, J. dan Tesoriero, F. 2008. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era

Globalisasi : Community Development. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Ife, Jim. 1995.Community Development : Creating Community


Alternatives,Vision, Analysis and Practice. Longman Australia. 

Ife, Jim. 2002. Community Development : Community – based alternatives in an


age of globalization. Australia : Pearson Education.

Karsidi, Ravik. 2007. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT UNTUK USAHA

KECIL DAN MIKRO (Pengalaman Empiris di Wilayah Surakarta Jawa

Tengah). Jurnal Penyuluhan : Institut Pertanian Bogor

Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat : Memadukan


Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta : Pustaka Cidesindo

Keraf, A. S., 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta

KKN PPM UGM. 2015. Harmoni Pulau Karang : Pulau Wangi-Wangi Wakatobi.
Yogyakarta : UGM

Kodyat, H. 1997. Hakekat dan Perkembangan Wisata Alternatif. Dalam Prosiding


Pelatihan dan Lokakarya Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan, ed. Myra P.
Gunawan. Bandung: Penerbit ITB.

Lawang, R.M.Z. 2005. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologi. Depok : FISIP


UI Press

Mill, Robert Christie. 2000. The Tourism : International Bussiness. Jakarta :


RajaGrafindo Persada

Moleong, J. L. 2007. Metode Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung:


Remaja Rosdakarya.
152

Mudiarta, K.G. 2009. Jaringan Sosial (Networks) dalam Pengembangan Sistem


dan Usaha Agribisnis: Perspektif Teori dan Dinamika studi Kapital Sosial.
Jakarta : Badan Peneltian dan Pengembangan Pertanian

Putnam,R.D. 1993. Making Demokracy Work : Civic Traditions in Modern Italy.


USA : Priceton University Press.

Rukminto Adi, Isbandi. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat


Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : RajaGrafindo Persada

Saad, Sudirman. 2009. Bajo Berumah di Laut Nusantara. Jakarta: t.p.

Scheffert, D. R., Horntvedt, J., & Chazdon, S. .2008. Social capital and our
community. St. Paul, MN: University of Minnesota Extension Center for
Community Vitality.

Subejo dan Supriyanto. 2004. Metodologi Pendekatan Pemberdayaan


Masyarakat. Bahan Kuliah : Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan,
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan.


Yogyakarta: Gava Media

Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring


Pengaman Sosial Jakarta: Gramedia.

Sunaryo, Bambang. 2013. Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep


dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media.

Suparjan & Hempri Suyatno. 2003. Pengembangan Masyarakat dari


pembangunan Sampai Pemberdayaan. Yogyakarta: Aditya Media.

Surjono, Agus & Trilaksono Nugroho. 2008. Paradigma, Model, Pendekatan


Pembangunan, dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah.
Malang: Bayumedia Publishing
153

Ulber. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Universitas Parahyangan Press

Winarni, Tri. 1998. Memahami Pemberdayaan Masyarakat Desa Partisipatif


dalam Orientasi Pembangunan Masyarakat Desa Menyongsong Abad 21:
Menuju Pemberdayaan Pelayanan Masyarakat. Yogyakarta : Aditya Media.

Woolcock, M. 1998. Social Capital and Economic Development: Toward A


Theoretical Synthesis and Policy Framework. Theory and Society 27: 51-
208.

Woolcock, M. 2001. The Place of Social Capital in Understanding Social and


Economic Outcomes.

Woolcock, M. and A. T. Sweetser. 2002. Bright Ideas: Social Capital—The


Bonds That Connect. ADB Review 34 (2).

Woolcock, Michael, 1998. Social Capital and Economic Development: Toward a


Theoritical Synthesis and Policy Framework. Theory and Society. Kluwer
Academic Publisher.

Zacot, F. R. (2002). Orang Bajo Suku Pengembara Laut:Pengalaman Seorang


Antropolog. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

JURNAL

Adams, Robert. 2003. Social Work and Empowerment. 3rd ed. New York:
Palgrave Macmillan

Baharudin, Suratman. 2011. Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam


Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional
Wakatobi. (Tesis). Bogor : Institute Pertanian Bogor

Dahal, Ram Gangga & Krishna Prasad Adhikari. Bridging, Linking & Bonding
Social Capital In Collective Action : The Case of Kalahan Forest Reserve in
the Philippines, USA : CGIAR Systemwide Program on Collective Action
and Property Rights (CAPRi)
154

Dewi, Luh Gede Leli Kusuma.2012.Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat


Desa Beraban dalam Pengelolaan Secara Berkelanjutan Daya Tarik
Wisata Tanah Lot (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Granovetter M,  2005. The Impact of Social Structure on Economic
Outcomes. www.journalofeconomicperspektive.com. Vol.19 no.1

Hamzah, Awaluddin. 2008. Respons Komunitas Nelayan terhadap Modernisasi


Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten
Muna Provinsi Sulawesi Tenggara). [Tesis] Pascasarjana. Bogor : IPB.

Ibad, Syahrul. 2016. Kearifan Lokal Pemberdayaan Masyarakat dalam


Pengelolaan dan Pembangunan Sumberdaya Perikanan yang berkelanjutan
(studi Kabupaten Situbondo. Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan Volume 8,No.
1, April 2017

Kagungan, Dian. 2015. Pengembangan Model Pemberdayaan Masyarakat Pesisir


untuk Pengentasan Kemiskinan Berbasis Kearifan Lokal Melalui Kebijakan
Kerjasama antar Daerah dalam Rangka Optimalisasi Pengembangan
Kawasan Bahari Teluk Kiluan. Lampung : FISIP UNILA

Kearns, P. 2004, VET and SOCIAL Capital: A Paper on the Contiribution of the
VET sector to SOSIAL Capital in the Communities. [Online] tersedia pada
http/www.never.edu.au/publications/ (diakses pada 27 Februari 2017)

Keovilay, Thanouxay. 2012. Tourism and Development in Rural Communities:A


Case Study of Luang Namtha Province, Lao PDR. [Thesis] Lincoln
University

Kusumahadi, M. 2007. Practical Challenges to the Community Empowerment


Program : Experiences of Satunama Foundation of Yogyakarta. Indonesia

Nababan, A. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat.


[Online] tersedia dalam
http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/makalah_ipb.html (diakses pada 27
Februari 2017)
155

Nurhidayati, Sri Endah. 2012. Pengembangan Agrowisata Berkelanjutan Berbasis


Komunitas Di Kota Batu, Jawa Timur. [Disertasi] Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada

Suanda, I Gusti Gede. 2013. Partisipasi Masyarakat Desa Adat Kuta Dalam
Pengelolaan Pantai Kuta Sebagai Daya Tarik Wisata Yang Berkelanjutan
(tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Suryanegara, Ellen, dkk. 2015. Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo :
Studi Kasus Di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Syahyuti. 2008. Peran Modal Sosial (Social Capital) dalam Perdagangan Hasil
Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 26 No.1, Juli 2008.

Timothy, D.J., Participatory Planning a View of Tourism in Indonesia dalam


Annuals Reviewof Tourism Research, XXVI (2) 1999.

Udu, Sumiman., 2012. Pengembangan Pariwisata dan Hilangnya Tanah-Tanah


Sara di Wakatobi: Kajian Atas Perlawanan Masyarakat Adat. Disampaikan
dalam International Conference & Summer School on Indonesian
Studies Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang
dilaksanakan di Sanur Bali tanggal 9-10 Februari 2012

Utina, Ramli. 2012. Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat


Bajo, Desa Torosiaje, Provinsi Gorontalo. [Online] tersedia dalam http://
repository.ung.ac.id/.../kecerdasanekologis-dalam-kearifan-
lokalmasyarakat-bajo-desa-torosijaeprovinsi-gorontalo. diakses pada 06
September 2017

Yulianto, Tri Sunu. 2015. Modal Sosial Masyarakat dalam Pengembangan


Pariwisata di Desa Wisata Petingsari dan Sambi Kabupaten Sleman [Tesis].
Yogyakarta : UGM.
156

WEBSITE

Ashdiana, I Made. 2015. Mandiri – British Council Kembangkan Wisata Mola di


Wakatobi [Online] tersedia dalam
http://travel.kompas.com/read/2015/08/09/143916027/Mandiri-
British.Council.Kembangkan.Wisata.Mola.di.Wakatobi diakses pada 06
September 2017

Ashdiana, I Made. 2015. Menyusuri Kanal, Mengenal Kehidupan Suku Bajo Mola
[Online] tersedia dalam
http://travel.kompas.com/read/2015/08/23/203614927/Menyusuri.Kanal.Me
ngenal.Kehidupan.Suku.Bajo.Mola diakses pada 19 September 2017

Dalimunthe, Ihsan. 2015. Kemenko Maritim: Masyarakat Suku Bajo Jangan


Cuma Jadi Penonton [Online] tersedia dalam
http://www.rmol.co/read/2015/10/23/221806/Kemenko-Maritim:-
Masyarakat-Suku-Bajo-Jangan-Cuma-Jadi-Penonton- (diakses pada 27
Februari 2017)

Firdaus, Ivan. 2010. Anak Bajo Pulau Rajuni [Online] tersedia dalam
https://www.kompasiana.com/ivanfirdaus/anak-bajo-pulau-
rajuni_550049cca3331153735 10664 diakses pada19 Agustus 2017

Kementrian BUMN. 2017. Dukungan Untuk Pengengembangan Wisata Wakatobi


[Online] tersedia dalam
http://infopkbl.bumn.go.id/index.php/home/detail/2--Dukungan-untuk-
Pengembangan-Wisata-Wakatobi/50 diakses pada 23 September 2017

Phro, Preston. 2014. The Beautiful Underwater Hunting of The Bajau Nomands
[Online] tersedia dalam https://en.rocketnews24.com/2014/03/18/the-
beautiful-underwater-hunting-of-the-bajau-ocean-nomads/ (diakses pada 24
Agustus 2017)

Rahman, Arif. 2015. Kuliner khas Buton dan Wakatobi Sederhana tapi
Mengundang Selera. [Online] tersedia dalam
157

https://www.kompasiana.com/architectur034/kuliner-khas-buton-dan-
wakatobi-sederhana-tapi-mengundang-selera_552a94186ea8340c4c552d23
(diakses pada 29 Agustus 2017)

Rivai, Bahtiar. 2015. Asyik, Sekarang Ada Wisata Budaya Suku Bajo di
Wakatobi [Online] tersedia dalam https://travel.detik.com/travel-news/d-
2987417/asyik-sekarang-ada-wisata-budaya-suku-bajo-di-wakatobi diakses
pada 06 September 2017

Rivai, Bahtiar. 2015. Masker Kecantikan Tradisional ala Suku Bajo [Online]
tersedia dalam
https://travel.detik.com/domestic-destination/d-2988048/masker-kecantikan-
tradisional-ala-suku-bajo diakses pada 27 Agustus 2017

Udu, Sumiman. 2015. Tradisi Duata dan Keberlangsungan Kehidupan Suku Bajo
Di Wakatobi [Online] tersedia dalam
http://www.wakatobicenter.com/2015/10/tradisi-duata-dan-
keberlangsungan.html (diakses pada 20 Agustus 2017)

Wakatobi Tourism. 2015. British Council dan Mandiri Kembangkan Wisata Bajo
Mola [Online] tersedia dalam
http://www.wakatobikab.go.id/newsview/459/british.council.dan.mandiri.ke
mbangkan.wisata.bajo.mola.wakatobi.html diakses pada 06 September 2017

DATA LEMBAGA & INSTANSI PEMERINTAH

BAPPEDA KABUPATEN WAKATOBI. 2013. Rencana Pengelolaan Pariwisata


Wakatobi. Wakatobi : Bappeda Kabupaten Wakatobi

P2MKP Bajo Mandiri. 2015 Laporan Pelatihan P2MKP Angkatan CVI Bidang-
bidang Pengolahan Hasil Perikanan. Wangi-wangi : P2MKP Bajo Mandiri
158

LAMPIRAN I
Rencana Panduan Wawancara Penelitian
1. Siapakah Nama anda?
2. Berapakah Umur anda?
3. Sudah berapa lama anda menetap di Perkampuan Bajo di Wakatobi?
4. Apakah pekerjaan anda?
5. Apakah Bapak/Ibu terlibat dalam kegiatan pariwisata di Perkampungan
Bajo?
6. Sudah berapa lama kegiatan pariwisatadi perkampungan Bajo
dilaksanakan?
7. Apakah anda ikut terlibat dalam program tersebut?
8. Apasaja kegiatan/aktivitas pariwisata di Perkampungan Bajo?
9. Siapasaja yang terlibat dalam perkembangan pariwisata tersebut?
10. Bagaimana keterlibatan masyarakat Bajo dalam pelaksanaan pariwisata di
perkampungan Bajo?
11. Kearifan lokal apa saja yang diangkat sebagai daya tarik wisata di
perkampungan Bajo?
12. Apakah kearifan lokal tersebut masih dapat dipertahankan dengan
masuknya wisatawan ?
13. Bagaimana usaha masyarakat Bajo mempertahankan kearifan lokal
tersebut?
14. Bagaimana tanggapan anda tentang pemberdayaan masyarakat dalam
bidang pariwisata?
15. Apasaja upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan?
16. Dalam pandangan Anda, bagaimana Anda menggambarkan dampak
pariwisata bagimasyarakat Bajo? (Positif danpandangan negatif)
17. Apa kendala yang muncul dalam pengembangan pariwisata berbasis
kearifan lokal di perkampungan Bajo?
18. Apakah harapan anda dalam mempertahankan kearifan lokal?
19. Apakah harapan anda dalam pengembangan pariwisata di perkampungan
Bajo?

Anda mungkin juga menyukai