LAPORAN
“CANINE PARVOVIRUS”
Oleh:
2. Anamnesis
Informasi yang diperoleh dari pemilik, anjing dibeli dari pedagang
anjing disalah satu pasar hewan saat umur 1,5 bulan. Anjing sudah diberikan
obat cacing dan belum dilakukan vaksinasi. Selama dipelihara, anjingdiberi
pakan nasi dan air minum. Pemilik memiliki 5 ekor anjing lain. Anjing
diketahui sakit oleh pemilik pada hari Kamis, 30 Juni 2022 dengan gejala
tidak mau makan sudah 3 hari, lemas, muntah berwarna kuning,kemudian
mengalami diare berdarah sudah 2 hari. Selama sakit anjing diberikan
pengobatan berupa antibiotik dan antimuntah. Dari informasi yang
didapatkan dari pemilik tidak ada anjing disekitar rumahnya mengalami
gejala yang sama. Pada 3 Juli 2022 pukul 21.00WITA anjing kemudian
dibawa ke laboratorium patologi untuk di nekropsi satu jam setelah kematian
anjing.
3. Gejala klinis
Anjing dengan nomor protokol 462/N/22 sudah 3 hari tidak mau makan.
Gejala ini diikuti keadaan tubuh anjingyangmulai lemas, muntah berwarna
kuningdan diare berdarah sudah 2 hari. Hingga pada hari ketiga anjing mati.
Pada saat pemeriksaaan sebelum dinekropsi disekitar anus terdapat bekas
berak berdarah, turgor kulit sudah tidak bagus lagi.
4. Data Epidemiologi
Pengambilan data epidemiologi berdasarkan host, agen dan lingkungan.
penyebaran penyakit dalam suatu populasi sangat berpengauh terhadap
ketiga data tersebut. Berikut data epidemiologi yang didapat dari anjing
kasus
a. Hospes
Hospes pada kasus ini adalah anjing betina berumur 2,5 bulan berwarna
coklat. Pakan yang diberikan adalah nasi dan minum yang sama dengan
pemilik. Pemilik memiliki 5 anjing lain dirumah.
b. Agen
Agen yang memungkinkan dapat menginfeksi anjing yaitu virus,
bakteri, dan parasit. Berdasarkan informasi dari pemilik, anjing belum
divaksinasi namun sudah diberikan pengobatan tapi tidak kunjung
sembuh. Agen penyebab yang dicurigai adalah virus karena waktu
kesakitan yang relatif singkat. Selain itu status vaksinasi dan umur
anjing dapat menyebabkan virus menyerang anjing kasus yang masih
berumur 2,5 bulan.
c. Lingkungan
Berdasarkan data dari pemilik anjing selama dipelihara anjing
dikadangkan, kandang diletakkan di samping rumah. Tempat tinggal
pemilik merupakan kawasan kos-kosan dan padat penduduk. Menurut
informasi yang didapat dari pemilik, di gg turi ada memelihara anjing
dengan Jumlah anjing yang dipelihara adalah 2.
8. Diskusi kasus
a. Sampel yang digunakan
Sampel organ yang digunakan sesuai dengan predileksi dari canine
parvovirus. Replikasi virus terjadi pada sel yang aktif membelah
(winaya etal. 2014). Selain itu virus juga bisa bereplikasi pada jaringan
limfoid (Jedaut et al. 2021). Pengambilan organ juga berdasarkan
perubahan yangterlihat saat nekropsi. Spesimen yang diambil pada
kasus ini sesuai predileksi dari canine parvovirus yaitu usus, jantung,
paru. Selain itu organ yang mengalami perubahan patologi juga diambil
sebagai sampel yaitu hati, otak, limpa, ginjal. pemeriksaan dilakukan di
laboratorium patologi.
b. Kejadian Epidemiologi
Hospes, host dan lingkungan merupakan hal yang saling
berhubungan dalam penyebaran penyakit. Hospes dalam kasus ini
merupakan anjing minipom mix betina yang berumur 2,5 bulan. Anjing
dibeli oleh pemilik dari pasar saat umur 1,5 bulan. Anjing dipelihara
dengan cara dikandangkan didaerah yang termasuk padat penduduk.
Canine parvovirus infection (CPV) merupakan penyakit menular oleh
virus yang dapat menyebabkan penyakit saluran pencernaan yang parah
dan terkadang penyakit jantung pada anjing. Penyakit ini memiliki
morbiditas dan mortalitas yangtinggi pada anjingkhususnya anjingmuda
(Decaro etal., 2005; Litster et al., 2012).
Penularan penyakit tersebut melalui kontak langsung dengan
hewan yang terinfeksi atau melalui tinja anjing yang terkontaminasi
(Sardjana dan Kusumawati, 2004). Masa inkubasi penyakit ini adalah 5-
12 hari. Berdasarkan uraian diatas kemungkinan anjingkasus terinfeksi
dari penjual di pasar atau anjing lain yang sudah terinfeksi. Faktor risiko
penyakit virus parvo pada anjing meliputi umur hewan, jenis kelamin, ras
anjing, status vaksinasi, musim, kelembaban, dan suhu lingkungan
(Suartha et al., 2011). Status vaksinasi lengkap apabila anjing sudah
divaksinasi minimal dua kali dengan selang waktu vaksinasi 1 bulan,
sedangkan anjing kasus belum pernah divaksin dan belum pernah
diberikan obat cacing. Oleh karena itu anjing kasus rentan terkena
penyakit. Salah satunya Canine parvovius dengan tingkat keparahan
yang parah karena umur anjing kasus yangmasih muda dantidak
divaksin.
c. Etiologi
Canine parvovirus infection (CPV) merupakan penyakit
menular oleh virus yang dapat menyebabkan penyakit saluran
pencernaan yang parah dan terkadang penyakit jantung pada anjing.
CPV disebabkan oleh virus Canine parvovirus, termasuk dalam famili
Parvoviridae (Matthews, 1979), Diameter virus CPV berkisar 20 nm,
termasuk virus single stranded DNA, dan virionnya berbentuk partikel
ikosahedral serta tidak beramplop, dan perkembangbiakan virus ini
sangat tergantung pada sel inang yang sedang aktif membelah. Canine
Parvovirus tipe 2 (CPV-2) merupakan virus paling penting penyebab
enteritis pada anak anjing umur dua bulan. Berdasarkan pendekatan
antigenisitas dan genetika,
Canine Parvovirus (CPV) memiliki protein yang terdiri dari 3
protein virus yaitu VP1, VP2, dan VP3 dengan berat molekul 82 .500
sampai 63.500 (Barker dan parish, 2001). Panjang dari genom CPV
adalah 5.000 nukleotida dan mempunyai reseptor khusus yaitu Canine
Transferin Receptor (Truyen, 2000). Protein dari VP2 merupakan
struktural utama yang menyusun 90% kapsid (Cavalli et al, 2008).
Canine Parvovirus (CPV) sangat stabil pada pH 3 hingga 9 dan pada
suhu 60°C selama 60 menit. Karena virus ini tidak beramplop maka
virus ini relatif tahan terhadap pelarut lemak, tetapi Canine Parvovirus
(CPV) menjadi inaktif dalam formalin 1%, beta-propiolakton,
hidroksilamin, larutanhipoklorit 3%, dansinar ultra violet (Johnson dan
Spradbrow, 1979). Virus CPV diketahui mempunyai daya aglutinasi
terhadap sel darah merah babi, kera dan kucingpada suhu 4°C dan 25°C
pada pH 6,0 - 7,2 tetapi tidak pada suhu 37°C (Sendow, 2003; Eugester,
1980).
d. Patogenesa
Infeksi CPV dapat terjadi secara kontak langsung melalui
mulut, hidung anjing, kontak langsung antara anjing dengan feses yang
mengandung virus, tanah yang tercemar virus atau benda-benda lain
yang tercemar dengan virus parvo, sedangkan kontak tidak langsung
dapat terjadi melalui serangga yang tercemar virus, meskipun hal ini
jarang terjadi (Foster & Smith 2011). Virus yang tertelan selanjutnya
menuju jaringan limfoid terutama daerah retrofaringeal, tonsil dan
timus. Sebagian besar virus akan menempati peyer’s patches (Nwoha
2011). Virus melakukan replikasi di jaringan limfoid, selanjutnya
diekresikan melalui pembuluh darah sehingga terjadi viremia. Viremia
terjadi selama 1-3 hari setelah infeksi, kemudian virus akan menuju
limfonodus mesenterika, kripte liberkuhn padausus dan sumsumtulang.
Virus melakukan perlekatan dengan reseptor disel-sel kripte usus halus
dan sel-sel limfoid, untuk selanjutnya terjadi endositosis dan virus
menuju inti sel serta bereplikasi (Smith & Helenius 2004).
Predileksi virus pada daerah limfoid menyebabkan deplesi
limfosit dan predileksi pada usus menyebabkan nekrosis kripte dan vili-
vili usus halus. Pada kondisi ini, anjing menunjukkan gejala klinis
demam, muntah, tidak mau makan dan diare akibat peradangan dan
tidak berfungsinya vili-vili usus halus. Infeksi CPV pada anjing adalah
penyakit sistemik karena virus menyebar melalui darah dan menyerang
jaringan limfoid di seluruh tubuh. Anjing akan mengalami
imunosupresif akibat kerusakan jaringan limfoid. Secara klinis, anjing
mengalami limfopenia dan netropenia akibat deplesi limfoid dan
berkumpulnya netrofil ke jaringan yang mengalami nekrosis (Goddard
& Leisewitz 2010).
e. Kontrol dan Mitigasi Penyakit
Infeksi Canine parvovirus (CPV) adalah penyakit infeksius
yang sangat fatal pada anjing. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia
karena virus parvo dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang
ekstrem dan resisten terhadap berbagai desinfektan (Goddard dan
Leisewitz 2010). Kebersihan lingkungan merupakan salah satu faktor
dalam.
Penularan CPV pada anjing terjadi melalui mulut dan hidung
(Prittie, 2004). Penularan penyakit tersebut melalui kontak langsung
dengan hewan yang terinfeksi atau melalui tinja anjing yang
terkontaminasi (Sardjana dan Kusumawati, 2004). Lingkungan yang
terkontaminasi dapat menularkan virus parvo pada anjing baik secara
langsung dan tidak langsung. Penularan melalui plasenta juga bisa
terjadi, induk anjing penderita yang tidak divaksin dapat mengakibatkan
anak anjing sekelahiran menderita parvovirus bentuk miokarditis
(Honkins, 1995).
Vaksinasi pada anak anjing telah merupakan pencegahan yang
dpat dilakukan untuk infeksi CPV. Namun adanya maternal antibodi di
dalam tubuh anjing mengganggu respon pembentukan antibodi sehingga
terjadi kegagalan vaksinasi (Prittie 2004). Truyen (2006) melaporkan
bahwa 90% dari populasi anjing yang divaksin CPV memberikan respon
yang baik jika vaksinasi dilakukan padaminggu ke- 12, baik
menggunakan vaksin multivalen maupun monovalen.
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
Nekropsi
Pengambilan Sampel
Otak, Jantung, Trakea, Paru,
Limpa, Hati, Esophagus, Usus, Ginjal
Pemeriksaan Pemeriksaan
Perubahan Perubahan Patologi
Anatomi
Pembuatan Preparat
Jantung mengalami
Jantung
perdarahan
Terjadi perdarahan,
konsistensi mengeras
Paru-Paru
Terjadi pembengkakan
Limpa
limpa
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
Terjadi Hiperemi
Hati
Mengalami hemoragi
Usus halus
Gambar Histopatologi
A
C
Gambar 1. Otak. (A) Demyelinasi aksonal (B) perdarahan pada selaput meningen,
(C) Infiltasi sel radang H&E 100X, H&E 400X
Gambar 2. Jantung. Myocarditis nekrotican. (A) Kongesti dan nekrosis pada sel
otot jantung, H&E 100X, H&E 400X
A C
Gambar 3. Paru. (A) perdarahan, (B)Emfisema di septa paru, (C) infiltrasi sel
radang.H&E 100X, H&E 400X
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
B
A
Gambar 5. Usus. Enteritis nekrotican. (A) nekrosis pada kripta lieberkuhn, H&E
400X
A B
C
A
B
Kesimpulan Diagnosa:
Berdasarkan pemeriksaan morfologi terhadap perubahan Patologi Anatomi
dan Histopatologi dapat disimpulkan bahwa anjing kasus dengan nomor protokol
462/N/22 terinfeksi canine parvorius.
Mengetahui:
Sampel Organ
Isolasi DNA
Elektroforesis
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
1. Sampel Organ
Untuk pengujian kasus di laboratorium virologi sampel yang digunakan
adalah usus, jantung, limpa. Pengabilan organ ini sesuai dengan hasil diagnosa
sementara dari kasus yang didapat yaitu canine parvovirus. Ketiga organ yang
digunakan merupakan tempat replikasi dari canine parvovirus. Replikasi virus
terjadi pada sel yang aktif membelah (winaya et al. 2014). Selain itu virus juga
bisa bereplikasi pada jaringan limfoid. Sampel organ disimpan dalam freezer.
2. Isolasi DNA
Sampel organ yang digunakan sebanyak 1 gram digerus hingga halus.
Sampel yang sudah halus dimasukkan ke dalam Eppendorf kemudian
ditambahkan PBS (NaCl) dan diaduk hingga tercampur rata. Setelah tercampur
rata tambahkan lagi PBS hingga tabung Eppendorf penuh. Sentrifuge selama 3
menit kemudian ambil supernatan sebanyak 400 µl. masukkan kedalam tabung
Eppendorf baru. Tambahkan 400 µl lysis solution dan 200 µl Proteinase K lalu
vortex selama satu menit. Dimasukkan kedalam inkubator dengan suhu 560C
diinkubasi selama 1-3 jam. Setelah selesai diinkubasi tambahkan 200 µl ethanol
(96-100%) lalu vortex. Masukkan semua cairan kedalam tabung catridge lalu
sentrifuge selama 3 menit dengan kecepatan 12000 rpm. Cairan yang berada pada
catridge dibuang. Lalu tambahkan Wash Buffer I sebanyak 500 µl lalu sentrifuge
selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Buang cairan bagian bawah tabung
di catridge, lalu tambahkan Wash Buffer II sebanyak 500 µl lalu sentrifuge. Cairan
di catridge dibuang, ganti tabung Eppendort bagian bawah dengan yang baru.
kemudian tambahkan 200 µl Elution Buffer. Selanjutnya inkubasi selama 2 menit
lalu sentrifuge. Cairan hasil sentrifuge ditampung di tabung Eppendorf baru. hasil
isolasi sudah siap digunakan. Liquid dalam tabung siap digunakan. Simpan dalam
freezer.
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik memperbanyak DNA secara in-
vitro. Teknik ini mensintesis dan mengamplifikasi bagian DNA yang diingankan
(Mahardika et al, 2015). Komponen-komponen yang diperlukan padaproses PCR
adalah templat DNA, sepasang primer, dNTPs (deoxynukleotide triphosphates),
buffer PCR, MgCl2, dan enzyme polymerase DNA.
Adapun bahan-bahan dalam uji PCR Canine parvovirus yang
dimasukkan dalam tabung PCR adalah larutan buffer 5 µl (taq PCR buffe MM),
primer depan (HMFROM) 0,5 µL, primer belakang (VPRM) 0,5 µL, isolasi DNA
kasus sebanyak 1 µL dan aquabides (AQB) 3 µL. Campuran tersebut dimasukkan
ke dalam mesin termocycler yang telah diprogram dengan kondisi:
a. 950C selama 7 menit,
b. 940C selam 45 detik,
c. 550C selama 45 detik,
d. 720C selama 1 menit,
e. Siklus kemudian diulang dari tahap ke-2 sampai tahapan ke-4 sebanyak
39 kali,
f. 720C selama 5 menit, dan
g. 220C selama-lamanya.
4. Elektroforesis
Elektroforesis digunakan untuk mengetahui panjang produk basa dari
gen yang diuji.
a. Sebelum dilakukan elektroforesis diawali dengan proses pembuatan media
elektroforesis berupa gel agarose 1% dengan cara melakrutkan 0,5 gram
agarose dengan 50 ml TAE (Tris Acelat EDTA). Kemudian larutan dipanaskan
sambil diaduk hingga mendidih dan agak mengental. Kemudian tambahkan 4
µl EtBr (Etium Bromida) ke dalam larutan dan dicetak menggunakan cetakan
sisir yang telah disiapkan. Setelah gel mengeras kemudian dipindahkan ke
mesin elektroforesis.
b. Persiapan produk PCR untuk elektroforesis : Sepuluh sampai tiga puluh
persen produk PCR ditambahkan sebanyak 1 µl loading dye (Bromphenol-blue
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
dan Cyline Cyanol) dan dimasukkan ke dalam setiap sumur pada gel dengan
catatan : sumur pertama pada gel dimasukan DNA Ladder sebagai marker pada
gel emudian diikuti sampel, kontrol negative dan kontrol positif sumur. Setelah
semuanya dimasukkan kedalam gel, running dengan cara mesin elektroforesis
deprogram dalam tegangan 100 volt selama 30 menit. Setelah itu diangkat dan
visualisasi DNA dilakukan dengan vansluminator ultraviolet (UV), kemudian
pita yang terlihat diamati dan dicocokan dengan kontrol positif. Hasilnya
didokumentasikan dengan kamera.
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
1
1
1 2 3 4 5 6
Keterangan:
Kesimpulan diagnosa
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium virologi
veteriner dapat disimpulkan bahwa anjing kasus dengan nomor protokol 462/N/22
terinfeksi penyakit canine parvovirus.
Mengetahui:
Sampel
Media Umum
(Nutrien Agar)
Media Selektif
Pewarnaan Gram
(EMBA)
Uji Gula-gula
(Glukosa dan laktosa)
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
1. Media Pertumbuhan
a. Isolasi Bakteri pada Media Nutrient Agar (NA)
Media umum yang digunakan untuk penanaman bakteri adalah media Nutrient
Agar (NA). Kultivasi bakteri dilakukan dengan cara mengusapkan ossa steril pada sampel
organ paru - paru, jantung dan usus yang telah dicacah secara terpidah. Ossa diusapkan pada
media biakan dengan menggunakan metode streak line. Kemudian diinkubasikan dalam
inkubator pada suhu 37oC selama 24 jam. Pertumbuhan koloni pada media diamati secara
makroskopis untuk melihat bentuk, warna, permukaan, tepi, dan diameter koloni.
b. Pewarnaan Gram
Pewarnaan gram dilakukan dengan pengambilan koloni pada media biakan diambil
dengan ossa steril dan dioleskan pada obyek gelas kemudian difiksasi. Tahapan pewarnnan
pertama yaitu olesan tersebut ditetesi dengan crystal violet dan diamkan selama 1-2 menit
kemudian cuci dengan air mengalir. Tahap selanjutnya ditetesi dengan Iodine dan diamkan
selama 1-2 menit kemudian ditetesi dengan alkohol dan didiamkan selama 30 detik lalu
dicuci dengan air mengalir. Tahap yang terakhir adalah pewarnaan dengan safranin dengan
cara diteteskan dan diamkan selama 1-2 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir.
Preparat dikeringkan dan diamati dibawah mikroskop dengan ditambahkan minyak emersi
pembesaran obyektif 1000X. Diamati warna dan bentuk kuman. Bakteri gram positif akan
berwarna ungu karena menyerap warna crystal violet, sedangkan bakteri gram negatif akan
berwarna merah karena menyerap warna safranin.
c. Penanaman pada Media Eosien Methylen Blue (EMBA)
Koloni biakan yang sama yang digunakan pada pewarnaan Gram diambil
secukupnya dengan ose steril dan dioleskan dengan metode streak pada media EMBA.
Media diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Koloni yang terbentuk diamati secara
makroskopis untuk melihat bentuk, warna, permukaan dan tepi koloni. Pertumbuhan koloni
Coliform ditandai dengan tumbuhnya koloni bakteri dengan warna hijau metalik.
Identifikasi Bakteri
1. Uji Primer
Uji Katalase
Uji Katalase dilakukan untuk mengetahui adanya aktivitas enzim katalase. Uji
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
katalase dilakukan dengan cara mengambil koloni yang dicurigai pada media selektif
dengan ossa steril dan dioleskan pada obyek gelas kemudian ditetesi H2O2 3%, kemudian
homogenkan. Lalu amati ada tidaknya pembentuk gelembung gas yang dihasilkan bakteri
yang bereaksi dengan H2O2 3%.
2. Uji Sekunder
1. Penanaman pada Media Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
Penanaman kuman pada media Triple Sugar Iron Agar (TSIA) untuk
mengetahui ada tidaknya kemampuan bakteri untuk memfermentasi glukosa, laktosa,
sukrosa, produksi H2S dan gas. Penanaman kuman pada media TSIA dilakukan dengan
cara koloni kuman diambil dari media Eosin Methylen Blue (EMBA) menggunakan
needle steril kemudian ditusukkan pada bagian tegak dari media lalu digoreskan pada
bagian miring media, selanjutnya media tersebut diinkubasikan selama 24 jam pada suhu
37oC. Fermentasi glukosa ditandai adanya perubahan warna pada bagian bawah media
dari merah menjadi kuning. Fermentasi glukosa, laktosa dan sukrosa ditandai adanya
perubahan warna pada seluruh bagian media dari merah menjadi kuning. Produksi H2S
ditandai dengan perubahan warna media menjadi hitam. Adanya gas dapat diamati
dengan adanya gelembung gas dan keretakan pada media atau media menjadi terangkat
keatas.
2. Penanaman pada Media Sulfid Indol Motility (SIM)
Penanaman pada media Sulfide Indol Motility (SIM) untuk mengetahui sifat kuman
dalam memproduksi hidrogen sulfida (H2S), indol dan mengetahui pergerakan kuman
(motilitas). Penanaman kuman pada Sulfide Indol Motility (SIM) dilakukan dengan cara
koloni kuman dari media TSIA diambil menggunakan needle steril kemudian ditusukkan
pada medium, selanjutnya media tersebut diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37ºC.
Produksi H2S ditandai dengan media berwarna hitam, produksi indol dapat dilihat setelah
ditetesi dengan reagen Erlich/Kovac’s sebanyak 3 tetes kedalam media. Bila indol positif
akan terbentuk cincin merah pada permukaan media. Motilitas bakteri ditandai dengan
kekaburan pada bekas tusukan.
3. Penanaman pada Media Methyl Red (MR)
Media Methyl Red (MR) untuk mengetahui sifat kuman dapat memproduksi asam
tunggal atau campuran dan acetil metil karbinol. Koloni kuman diambil dengan needle
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
steril kemudian dicelupkan pada media dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Uji
methyl red dilakukan untuk mengetahui sifat kuman dalam meproduksi asam tunggal atau
campuran dan asetil metal karbinol dengan cara meneteskan reagen MR, dimana hasil
positif ditandai dengan adanya warna merah pada media.
4. Penanaman pada Media Simmon Citrat Agar (SCA)
Penanaman pada media Simon Citrat Agar (SCA) untuk mengetahui sifat kuman
dalam menggunakan sitrat sebagai sumber karbon atau tidak.. Uji dilakukan dengan cara
mengambil koloni kuman menggunakan ossa steril kemudian diusapkan pada permukaan
media mulai dari pangkal sampai ke ujung yang sama pada media SCA. Kemudian
diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37ºC. Hasil positif ditandai dengan perubahan
warna media dari hijau menjadi biru.
5. Uji Gula-Gula
Uji gula-gula merupakan media berbentuk cair dengan terdapat tabung durham di
dalamnya. Uji ini meliputi uji glukosa dan laktosa. Uji ini dilakukan untuk mengetahui
adanya fermentasi gula. Uji dilakukan dengan cara koloni pada media biakan diambil
dengan ossa steril, lalu dicelupkan pada masing-masing. Media diinkubasikan dengan suhu
37ºC selama 24 jam. Hasil positif diamati apabila terjadi perubahan warna pada media dan
produksi gas ditandai dengan adanya gas di dalam tabung durham.
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
Kesimpulan diagnosa:
Berdasarkan bentuk, warna, tepi dan ukuran koloni yang tumbuh pada media Nutrient
Agar dan EMBA, serta pewarnaan gram dan uji biokimia dapat disimpulkan bahwa koloni
bakteri yang tumbuh pada usus halus adalah Escherichia coli sp.
Mengetahui,
Sampel
(Feses)
Sedimentasi Pengapungan
Bertujuan untuk mendiagnosa ada tidaknya infeksi telur dan protozoa pada
hewan kasus. Pemeriksaan feses menggunakan metode kualitatif yaitu secara natif
dan konsentrasi dengan langkah sebagai berikut:
a. Natif (Langsung)
Pemeriksaan dengan metode natif dilakukan dengan cara mengambil feses
sebesar pentolan korek api dan diletakkan diatas objek glass dan tambahkan 1-2
tetes aquades lalu homogenkan. Selanjutnya serat kasar dibuang dan objek glass
ditutup dengan cover glass kemudian diamati di bawah mikroskop dengan
pembesaran 10X hingga 40X.
c. Konsentrasi Pengapungan
Pemeriksaan feses dengan metode pengapungan dilakukan dengan cara feses
sebesar biji kemiri dicampur dengan air sampai konsentrasi 10% (3 gr tinja + 30 ml
air) dan diaduk hingga homogen. Campuran disaring dan ditampung dengan tabung
sentrifuge sampai skala ¾ tabung. Kemudian cairan disentrifuge dengan kecepatan
1500 rpm selama 2-3 menit. Kemudian supernatan dibuang, lalu endapan ditambah
larutan pengapung (NaCl jenuh) sampai skala ¾ tabung. Campuran diaduk hingga
homogen dan disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-3 menit. Setelah
itu, tabung dikeluarkan dan diletakkan pada rak tabung reaksi dengan posisi tegak
lurus. Tambahkan lagi larutan pengapung (NaCl jenuh) secara perlahan dengan
pipet pasteur sampai permukaan cairan cembung (tidak boleh sampai tumpah).
LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
Diamkan 1-2 menit, cover glass disentuhkan pada permukaan cairan pengapung
dan ditempelkan pada glass obyek. Selanjutnya diperiksa dibawah mikroskop
dengan perbesaran 10X dan 40X. Lalu dilakukan identifikasi.
LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
Kesimpulan Diagnosa:
Mengetahui:
Dr. drh. Ida Ayu Pasti Apsari, M.P Al Afuw Niha Remontara, S.KH
NIP. 19600504 198702 2 001 NIM. 2109611005
DAFTAR PUSTAKA
Winaya, I.B.O., Berata, I.K., Adi, A.A.A.M. dan Kardena, I.M. 2014. Aspek
Patologis Infeksi Parvovirus pada Anak Anjing Di Kota Denpasar. Jurnal
Kedokteran Hewan
Mahardika, I.G.N.K, Astawa, I.N.M, Kencana, G.A.Y, Suardana, I.B.K, Sari, T.K.
2015. Teknik Lab Virus. Udayana University Press. Denpasar.
Prittie, J. 2004. Canine parvoviral enteritis: a review of diagnosis, management, and
prevention. J Vet Emerg Crit Care, 14, 167-176
Truyen, U. 2000. Canine Parvovirus. In: Carmichael L. New York. International
Veterinary Information Service.
Honkins, J. D., 1995 Canine Parvo-virus, the evolving syndrome. Journal of
Infectious Disease Bulletin. Vol 19., No 8.
Sardjana IKW, Kusumawati D. 2004. Pengobatan Infeksi Parvovirus pada Anjing.
Surabaya. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. 10 (81 -83).
Goddard A, Leisewitz AL. 2010. Canine parvovirus. Vet. Clin. North Am. Small
Anim. Pract. 40: 1041-1053.
Smith AE, Helenius A. 2004. How viruses enter animal cells. Sci. 304:237-242.
Foster, Smith. 2007. Parvovirus: Serious diarrhea in puppies and dogs. Pet
Education [Internet]. [cited 8 December 2014]. Available from: http://www.
peteducation.com /article.cfm?c=2+2102&aid=467
Nwoha RIO. 2011. Parvoviral enteritis in a dog: Case report and review of the
literature. Cont J Vet Sci. 5:6-10.
Sendow, I. 2003. Canine Parvovirus pada Anjing. WARTAZOA Vol. 13 No. 2 Th.
2003
Barker, I.K. dan Parrish, C.R. 2001. Parvovius Infection. In Infectious Disease of
Wild Animal, 3rded. Iowa State University Pess.
Cavalli, A., G. Bozzo, N. Decaro, A. Tinelli, A. Aliberti, dan D. Buonavoglia. 2001.
Characterization of a canine parvovirus strain isolated from an adult dog.
New Microbiol., 24(3): 239–242.
Johnson, R.H dan Spradbrow, P.B. 1979. Isolation From Dogs With Severe nteritis
of a Parvovirus Related to Feline Panleucopenia Virus. Aust. Vet. J.
Matthews, R. E.F. 1979. Classification and nomenclature of viruses. 3rd report of
the International Committee on Taxonomy of viruses. S. KARGER. BASEL
(Ed.). London. pp. 189–190.
Suartha, I.N., D. Mustikawati, IGMK. Erawan, S.K. Widyastuti. 2011. Prevalensi
dan Faktor Risiko Penyakit Virus Parvo pada Anjing di Denpasar. Jurnal
Veteriner. 12(3): 235- 2
Decaro N., V. Martella, G. Elia, C. Desario, C. Campolo, E. Lorusso, M.L.
Colaianni, A. Lorusso dan C. Buonavoglia. 2007. Tissue distribution of the
antigenic variants of canine parvovirus type 2 in dogs. Veterinary
Microbiology 121: 39– 44.