SKENARIO IV
Canine Distemper
NIM : 16/398229/KH/09000
Kelompok/Sub : 2/c
C. Skema Pembelajaran
SKENARIO IV
Canine Distemper
Penyebab penyakit
Cara Nekropsi,
Canine Distemper,
Perubahan Gambaran
Gejala Klinis,
Makroskopis Hematologik dan
Patognesis,
dan Patologi Klinik
Pencegahan dan
Histopatologik
Pengobatan
D. Bahasan
Distemper adalah salah satu penyakit menular yang menyerang anjing. Penyakit ini
disebabkan oleh virus dari famili Paramyxoviridae dan umumnya sangat sulit disembuhkan
sehingga jika tidak ditangani secara dini, penyakit tersebut menyebabkan kematian pada anjing.
Penyakit distemper ditemukan hampir di seluruh dunia. Selain menyerang anjing, penyakit ini
juga dilaporkan menyerang musang, raccoon, panda, mamalia air seperti anjing laut, dan anjing
liar di Afrika. Pencegahan penyakit distemper dapat dilakukan dengan vaksinasi. Distemper
merupakan penyakit virus multisistemik yang menyerang saluran respirasi, gastrointestinal, dan
system saraf (AHC, 2006; Headley dan Graca, 2007).
Diagnosis tentatif untuk penyakit distemper umumnya dilakukan dengan melihat gejala
klinis yang muncul pada penderita. Namun, secara klinis penyakit distemper sering dikelirukan
dengan penyakit lain. Selain itu, penyakit distemper sering diikuti oleh infeksi bakteri sehingga
gejala klinisnya menjadi lebih rumit. Karena itu, diagnosis peneguhan menjadi amat penting.
Diagnosis dapat dilakukan dengan melacak antibodi khas virus distemper dengan melakukan: uji
neutralisasi, uji presipitasi, uji fiksasi komplemen, uji sitotoksik, dan ELISA. Diagnosis yang
didasari oleh pelacakan antibodi terbukti tidak cukup untuk meneguhkan diagnosis penyakit
distemper. Alasannya adalah antibodi terhadap virus distemper dengan titer antibodi yang sangat
tinggi umumnya terlacak pada awal infeksi, sedangkan pada kasus distemper yang berat, antibodi
penetrali sulit dilacak. Di samping itu virus distemper memiliki antigen yang bereaksi silang
dengan virus campak/measles (Sthephenson dan Meulen, 2006), sehingga akan mengurangi
tingkat kekhasan hasil uji.
Belakangan ini, teknik histopatologi dan imunohistokimia dapat memberikan hasil yang
sangat memuaskan untuk diagnosis distemper (Bildt et al., 2002), tetapi uji ini dilakukan hanya
pada hewan mati atau yang dibunuh. Untuk itu perlu dikembangkan teknik diagnosis yang lebih
tepat, cepat dan dapat dipakai untuk hewan hidup. Reverse ranscriptase-polymerase
chainreaction (RT-PCR) adalah teknik untuk melacak asam nukleat dan belakangan ini telah
banyak dipakai untuk melacak infeksi virus, baik pada hewan maupun pada manusia.
Pada pemeriksaan elektroforesis dengan gelagarose didapatkan pita dengan panjang 300
bpdan sesuai dengan yang diharapkan. Sepasang primer yang dipakai dalam penelitian ini
dirancang untuk mengam-plifikasi gen nukleoprotein (NP) dari virus distemper padaposisi 769-
789 ke depan dan pada posisi 1035-1055 ke belakang, sesuai dengan data GeneBank Acc. No.
NC001921, sehingga menghasilkan produk PCR dengan panjang 300 bp (Sindhu etal. 1993).
Mengingat produk PCR tersebutadalah khas virus distemper, berarti anjingyang diperiksa
memang benar menderita distemper (Gambar 1). Sepasang primer yang dipakai dalam penelitian
ini dirancang oleh Frisk et al. (1999) dan telah terbukti dapatmengamplifikasi asam nukleat dari
virus distemper dengan tingkat sperifisitas yang tinggi.
UJI HEMAGLUTINASI
• dicair-bekukan sebanyak 3 kali, lalu disentrifus dengan kecepatan 1000 rpm selama 15 menit.
• Supernatan digunakan dalam uji HA -->ada tidaknya daya aglutinasi virus terhadap Sel Darah
Merah (SDM) babi.
• identifikasi isolat dengan menggunakan uji HI terhadap referen antisera CPV --> mengetahui ada
tidaknya antibodi pada serum yang diperoleh.
• dari 81 sampel yang diproses untuk isolasi virus, 10 sampel menunjukkan CPE pada biakan
jaringan Feline Kidney, dan memberikan daya aglutinasi dengan sel darah merah babi dengan uji
Hemaglutinasi (HA)
• uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) --> 10 isolat tersebut menetralisir serum standar CPV dengan
titer mulai dari 128 hingga 256, sesuai dengan titer standar referen serum CPV yaitu 8 log 2 atau
256 .
• Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa isolat tersebut merupakan isolat Parvovirus
Penyiapan inokulum
• Inokulum dibuat dari gerusan organ, ditambahkan cairan Phosphate Buffered Saline (PBS).
Suspensi jaringan disentrifuge dengan kecepatan 15000 rpm selama 10 menit. Supernatannya
diambil, lalu ditambahkan antibiotik penstrep® dengan menggunakan tuberculin syringe (1ml)
sebanyak 0,2 ml. Suspensi diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit.
• Penanaman dilakukan pada TAB umur 11 hari. Pertama, telur di candling. Dengan alat penusuk,
buat lubang pada cangkang telur di daerah kantung udara alami dan daerah bebas pembuluh
darah.
• Selanjutnya telur diinkubasi pada suhu 37°C, dan diamati setiap hari. Bila embrio terlihat mati,
segera dilakukan panen, namun bila dalam waktu 5 hari belum mati maka dilakukan panen paksa.
Panen Membran Korioalantois (CAM)
• Masukkan telur yang siap panen ke dalam lemari es (4º C - 5º C) selama beberapa jam untuk
mengurangi pendarahan saat membuka telur.
• Selanjutnya kerabang telur pada daerah kantung udara buatan dibuka dengan gunting, embrio dan
cairan telur dikeluarkan.
• Membran korioalantois dipisahkan dan dicuci dengan cairan Phosphate Buffered Saline (PBS).
Hasil
Pemeriksaan diawali dengan pembuatan inokulum dari spesimen otak, paru-paru, limpa, dan V.U,
inokulasi pada telur ayam bertunas umur 11 hari melalui jalur CAM dan dipanen pada hari ke-5.
Setelah dipanen dilakukan pengamatan untuk melihat adanya bentukan bunga karang pada
membrane korioalantois dan hasilnya adalah terjadi penebalan pada pembuluh darah, embrio mati dan
ditemukan bentukan bunga karang pada membran korioalantois. Selanjutnya melakukan isolasi RNA
virus, dilanjutkan dengan uji RT-PCR.
Specificity of sandwich-dot ELISA in detecting purified CDV and the CDV in CDV-infected blood
lymphocytes and not cross-reacting with canine parvovirus (CPV) (strain JIN-C-4), canine hepatitis
virus (ICHV) (strain TS-25), or rabies virus (RV) (strain RU-34). The experiment was performed
twice.
Terapi cairan dan elektrolit untuk mengganti cairan yang hilang dan mengatasi dehidrasi akibat
diare atau muntah
Pemberian obat-obat sedativa dan anti konvulsi bila anjing menunjukkan gejala saraf
Vaksinasi dengan vaksin hidup dapat memberikan imunitas yang cukup dan berdurasilama sesuai
prosedur penggunaan
Memberikan gizi yang baik agar nutrisi yang diperlukan anjing dapat terpenuhi
E. Luaran Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu memahami konsep virus dan penyakit yang ditimbulkan virus.
Mahasiswa dapat menjelaskan apa itu virus, bedanya dengan organisme lain, cara
replikasi virus, bagaimana virus dapat menginfeksi dan menimbulkan penyakit pada
hewan serta memahami penyakit-penyakit pada hewan yang disebabkan oleh virus.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan proses yang terjadi di dalam tubuh
setelah tubuh terdedah oleh agen perusak (agen fisik, agen kimia, agen infeksius, dan
parasite, dan agen lain).
3. Mahasiswa mampu mengenali penyakit-penyakit yang banyak terjadi pada hewan,
tanda klinis penyebab pathogenesis termasuk pencegahan penyakit ; mampu
megidentifikasi penyakit-penyakit pada hewan serta penanganannyasaat di lapangan ;
mampu mendiagnosis secara tepat macam-macam penyakit pada hewan sehingga
pengobatan yang diberikan lebih optimal.
4. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan dan interpretasi hasil pemeriksaan
meliputi analisa darah, urin, feses, cairan tubuh, enzim, hormone, serta hubungannya
dengan gejala-gejala klinis untuk mendiagnosa penyakit.
5. Mahasiswa mampu memahami mekanisme kerja obat berbagai golongan ; mampu
memahami efek obat dan penerapan terhadap pengobatan penyakit yang sesuai ;
mampu memahami cara pemberian obat (dosis, aplikasi) yang sesuai pada berbagai
spesies.
F. DAFTAR PUSTAKA
G.
ACH (Animal Health Channel). 2006. CanineDistemper. http://
www.animalhealthchannel.com/distemper/ diakses tanggal 29 November 2018
Bildt MWG, Kuiken Van de T, Visee AM, Lema S, Fitzjohn TR, Osterhaus ADME. 2002.
Distemper Outbreak and Its Effect on African Wild Dog Conservation. EmergingInfect
Dis 8 (2): 211-213.
FriskAL, Koenig M, Moritz A, Baumgärtner W.1999. Detection of CanineDistemper Virus
Nucleoprotein RNA by Reverse Transcription-PCR Using Serum, Whole Blood, and
Cerebrospinal Fluid from Dogs with Distemper. J of Clinical Microbiol 37 (11): 3634-
3643.
Headley SA, Graca DL. 2007. Canine distemper; Epidemiological findings of 250 cases.
Brazilian J Vet Resc and Anim.
Sidhu MS, Husar W, Cook SD, Dowling PC, Udem SA. 1993.
Stephenson JR, Meulen VT. 2006. Antigenic relationship between Measles and Canine Distemper
Viruses : Comparisson of Immune Response in Animals and Humans to Individual
Virus Spesific polypeptides. PNAS.