Anda di halaman 1dari 11

TUGAS INDIVIDU

KOASISTENSI ADMINISTRASI DINAS DAN KESEHATAN MASYARAKAT


VETERINER

RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DAN RUMAH POTONG AYAM (RPA)

Oleh :

Desqi Vigia Anggis Dwimantara


20/458146/KH/10516
A.2020.12

DEPARTEMEN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi daging di Indonesia terus mengalami peningkatan. Menurut Badan Pusat
Statistik permintaan konsumen terhadap daging tahun 2019 sebesar 490.420,8 ton sehingga
intensitas pemotongan juga harus ditingkatkan. Dalam memenuhi jumlah permintaan daging
diperlukan peranan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang dalam pelaksanaannya harus
dapat menjaga kualitas, baik dari tingkat kebersihannya, kesehatannya, ataupun kehalalan
daging untuk dikomsumsi agar masyarakat dapat tenang dalam mengkonsumsi daging.
Menurut SNI 01-6159-1999, yang dimaksud dengan Rumah Pemotongan Hewan
(RPH) adalah kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi
persyaratan khusus dan higiene tertentu, serta digunakan sebagai tempat pemotongan hewan
potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Sedangkan menurut SNI 01-6160-1999,
Rumah Pemotongan Unggas adalah kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus
yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat
memotong unggas bagi konsumsi masyarakat umum.
Rumah Pemotongan Hewan dan Rumah Pemotongan Ayam berperan penting dalam
penyediaan daging, baik daging ayam maupun daging hewan potong lain yang aman, sehat,
utuh dan halal untuk masyarakat. Dalam pelaksanaannya di lapangan, masih ditemui adanya
kegiatan baik di RPH maupun RPA yang belum mengindahkan permasalahan kesejahteraan
hewan atau Animal Welfare yang dapat berakibat pada level stress pada hewan tinggi saat
proses pemotongan berlangsung. Dampak yang ditimbulkan dari hewan yang stress saat proses
pemotongan adalah berkurangnya mutu daging yang diedarkan ke konsumen (Bhaskara, et al.,
2015; Nurjannah, et al., 2017).
Selain permasalahan yang berkaitan dengan animal welfare, terdapat beberapa masalah
lain yang masih banyak ditemukan di dalam praktek operasional RPH dan RPA di Indonesia,
masalah tersebut biasanya berupa masalah yang berkaitan dengan higiene dalam proses
pemotongan dan pengolahan daging sebelum diedarkan, serta pengolahan limbah RPH dan
RPA.
Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui permasalahan yang dapat
dijumpai pada RPH dan RPA di Indonesia dan persyaratan ideal untuk RPH dan RPA.

Manfaat
Manfaat dari makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai masalah-
masalah yang sering terjadi di RPH dan RPA sehingga dapat diberikan solusi terkait hal
tersebut.
PEMBAHASAN
A. Permasalahan di RPH
Permasalahan – permasalahan yang terjadi di Rumah Potong Hewan (RPH) yang
biasa ditemui di Indonesia, diantaranya :
1. Permasalahan Lokasi
Syarat lokasi RPH menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 13/ PERMENTAN/
OT.140/ 2010 yaitu tidak berada di tengah kota, letak lebih rendah dari pemukiman
penduduk, tidak berada di dekat industri logam atau kimia, tidak berada di daerah rawan
banjir serta lahan luas. Namun, beberapa lokasi RPH di Indonesia berlokasi lebih tinggi dan
sangat dekat dari pemukiman warga. Akibatnya limbah RPH dapat mencemari lingkungan
seperti yang terjadi di RPH Oeba, Kupang. Limbah hewan yang tertampung dalam tempat
pembuangan saat musim hujan akan meluap dan menggenangi pemukiman warga, limbah
tersebut berupa darah, bangkai anak sapi, rumput, tali pengikat sapi, batang pohon, isi perut
sapi, dan kotoran sapi.
Kasus lain terkait lokasi dan sarana terjadi di RPH Gunung Telihan, Kota Bontang. Air
limbah yang berasal dari proses pemotongan hewan dan pembersihan daging mengalir
menuju penampungan air RPH. Namun saat hujan turun air hujan akan mengalir bersama
air limbah ke lokasi yang lebih rendah dari lokasi RPH, sehingga air warga menjadi sedikit
keruh dan berbau, serta timbul genangan air yang dapat menjadi sumber perkembang biakan
nyamuk (Yulianto, 2012). Dampak negatif limbah rumah potong hewan berupa: (1) sebagai
pembawa penyakit (vehicle); (2) menyebabkan kerusakan benda/bangunan; (3) merusak
atau mematikan biota; (4) mengurangi nilai estetika/keindahan lingkungan (Sugiharto
2014). Keberadaan limbah rumah potong hewan yang tidak dikelola dengan baik juga dapat
menyebabkan peningkatan jumlah penderita penyakit Alzheime, dementia, peningkatan
prevalensi penyakit tersebut karena pencemaran udara (Wu et al., 2015), gangguan
psikomotorik (mual, muntah, sakit kepala, nyeri ulu hati, nafsu makan menurun, gangguan
tidur, tekanan darah tinggi, jantung berdebar dan kecemasan) (Purnomo et al., 2015) dan
penyakit yang paling sering muncul adalah malaria, tifus, disentri dan diare (Weobong dan
Adinyira 2011).
Untuk mencegah lokasi RPH yang dekat dengan perumahan warga atau mencemari
lingkungan, perencanaan pembangunan RPH perlu dimantapkan. Apabila RPH sudah
dibangun di area yang luas dan bebas banjir dan jauh dari perumahan warga, serta tidak
berada di dekat industri logam atau kimia, maka aturan – aturan tegas diperlukan agar
perluasan pemukiman warga tidak mendesak/ mendekat dengan RPH yang sudah ada.
Namun apabila RPH terpaksa didirikan dekat dengan pemukiman warga, maka sistem
pembuangan harus mampu menyaring limbah RPH terutama limbah padat agar tidak
mencemari lingkungan sekitar. Untuk limbah cair diberikan penampungan atau drainase
khusus yang kedap, sehingga limbah cair tidak bercampur dengan air hujan yang kemudian
mencemari air warga atau dapat pula dengan membangun sistem IPAL yang baik.
2. Permasalahan Desain RPH
Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 13/ PERMENTAN/ OT.140/ 2010 setiap
bangunan RPH harus dipisahkan antara daerah bersih dan daerah kotor dengan maksud
untuk mencegah kontaminasi silang antara bagian-bagian karkas yang dianggap bersih dan
jeroan hewan potong. Proses-proses yang dilakukan di daerah kotor adalah pemingsanan,
penyembelihan dan pengeluaran darah, pemisahan kepala, kaki dan ekor dari karkas,
pengulitan dan pengeluaran jeroan. Proses selanjutnya dari pengubahan hewan menjadi
daging dilakukan di daerah bersih yaitu pembelahan karkas, pemeriksaan postmortem,
pemisahan bagianbagian/pemotongan (cutting), pendinginan dan bila diperlukan
pembekuan.
Pada praktiknya di RPH, kegiatan yang seharusnya dilakukan di daerah bersih
dilakukan di daerah kotor. Seperti yang dilakukan oleh RPH Mancasan, Sleman bahwa
kegiatan pemeriksaan post mortem dan parting masih dilakukan di daerah kotor. Dari
kejadian ini, kesadaran akan hygiene dan sanitasi karyawan dan dokter hewan di RPH perlu
ditingkatkan, guna menjamin mutu dan kebersihan dari produk daging.
3. Permasalahan Alat Pelindung Diri dan Higien Pekerja
Permasalahan ini hampir banyak ditemui baik di RPH tradisional maupun modern.
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) tidak masif digunakan oleh karyawan selama proses
penyembelihan. Sebagai contoh karyawan di RPH Mancasan, Sleman hanya mengenakan
sandal jepit, tanpa apron, tanpa masker dan pelindung kepala. Selama proses parting ada
karyawan yang merokok. Hal tersebut masih kurang ideal karena pakaian luar dan sandal,
serta abu rokok tersebut dapat mencemari daging.
Kondisi tersebut dapat diminamlisir dengan diadakannya alat pelindung diri di dalam
RPH, manajemen RPH yang baik, serta diterapkannya aturan – aturan yang tegas bila
memungkinkan untuk karyawan yang tidak mau mengenakan APD dan menjalankan
higienitas individu di dalam RPH.
B. Permasalahan di RPU
Permasalahan RPU yang umum di Indonesia hingga kini pemotongan ayam yang belum
memenuhi standar SNI dengan teknik, peralatan yang sederhana dan sanitasi yang kurang
terjamin sehingga menghasilkan karkas yang bermutu rendah dan kebersihan yang belum
tentu terjamin. Karkas yang dimaksud seperti karkas dengan memar serta kerusakan
dibagian dada dan paha yang dapat mengakibatkan kerugian bisa mencapai 10-20 persen.
Kurangnya pengawasan distribusi karkas setelah pemotongan menjadikan banyaknya
perdagangan daging ayam yang tidak sesuai dengan SNI, seperti maraknya perdagangan
ayam tiren (mati kemarin), penggunaan formalin sebagai pengawet karkas, adanya residu
antibiotik dan pestisida, serta penyuntikan karkas ayam dengan air untuk meningkatkan
bobot.
Dalam pelatihan RPU di Bogor pada bulan Juli 2020, menyatakan bahwa RPU
sebaiknya berada di lokasi tidak menimbulkan gangguan, pencemaran lingkungan, dan
mudah dijangkau kendaraan. Syarat teknis pendirian RPU yakni harus ada tempat
penampungan unggas (loading room), tempat pemeriksaan ante-mortem, ada laboratorium
yang paling tidak dapat melakukan deteksi jenis dan jumlah kuman. Syarat lainnya adalah
ada instalasi penanganan limbah, ada tenaga kesehatan masyarakat veteriner, memiliki juru
sembelih khusus yang bersertifikat halal, ada ruang administrasi, ruang ganti, dan ruang
istirahat bagi karyawan.
Pada praktiknya seperti yang terjadi di RPU Rawa kepiting masih berlokasi di daerah
yang dekat dengan pemukiman warga dan Kawasan industri. Sehingga memiliki risiko
yang tinggi daging ayam segar maupun beku yang diproduksi tercemar oleh limbah
industri. Kondisi lain yaitu cat di Gedung utama RPU Rawa Kepiting sudah banyak yang
terkelupas di beberapa sisi, plafon berlubang sangat besar, di tempat pemotongan lantainya
berlubang, keramik di tembat pencucian ungags pecah – pecah di banyak sisi (Baskoro,
2019). Dengan kondisi plafon yang berlubang dan cat tembok yang banyak terkelupas
sangat berisiko adanya kontaminasi debu dari atap bangunan dan kontaminasi zat kimia
dari kelupasan cat. Kondisi lantai berlubang berisiko menimbulkan genangan, genangan
tersebut selain menambah tingkat kelembaban di ruang penyembelihan juga berisiko
mencemari karkas ayam yang disembelih di ruangan tersebut.
Kondisi sarana di RPU Rawa Kepiting dapat diatasi dengan melapor ke dinas terkait
untuk melakukan renovasi terkait kondisi bangunan seperti cat tembok, plafon dan lantai
RPU atau melakukan relokasi mengingat lokasi RPU yang berada di Kawasan industri.
Permasalahan terjadi berbeda pada Rumah Potong Hewan Unggas tradisional yang
tidak menerapkan pemisahan antara daerah bersih dan daerah kotor, semua proses
dilakukan di ruangan yang sama. Hygiene sanitasi ruangan yang tidak diperhatikan dapat
menimbulkan masalah kesehatan pada karkas ayam. Pada rumah potong hewan ungags
juga tidak menerapkan coldchain system. Menyebabkan ayam mudah berlendir, berbau,
dan dihinggapi lalat sehingga karkas ayam tidak segar bahkan busuk sampai di tangan
konsumen.
Untuk mencegah maraknya RPU tradisional yang tidak menerapkan higien dan sanitasi,
dapat dilakukan kerja sama antara RPU modern dan tradisional dengan bantuan dinas atau
petugas pemerintahan terkait. Agar pelaku RPU tradisional mau menerapkan hygiene
sanitasi atau memindahkan proses penyembelihannya ke RPU modern.

C. RPH dan RPU Ideal

No. Gambar Keterangan

Rumah Potong Hewan (RPH)

1. Hewan digantung dalam waktu

tertentu agar darah di dalam

tubuh hewan dapat keluar dengan

tuntas. Ruangan bersih dengan

pencahayaan yang baik


Gambar 1. Tempat penggantungan (Yulianto, (Yulianto, 2012).
2012)
2. Proses parting dilakukan dengan

menggantung karkas. Petugas

parting menggunakan APD yang

baik meliputi tutup kepala, baju

RPH, celemek, dan sepatu boot


Gambar 2. Proses parting (Yulianto, 2012) (Yulianto, 2012).
3. Proses pelayuan dilakukan di

ruangan yang bersih, kering,

pencahayan baik (Yulianto,

2012).

Gambar 3. Proses pelayuan (Yulianto, 2012)

4. Denah ruangan RPH ideal


(Tolostiawaty, 2015).

Gambar 4. Denah RPH ideal (Tolostiawaty,

2015)

Rumah Potong Hewan Unggas

1. Proses loading di lakukan di

halaman RPU yang luas dan

bersih. Identitas farm dicocokan

dengan kondisi ayam. Petugas

pengecheckan mengenakan APD

yang baik seperti baju hazmat dan

boot untuk meminimalisir


Gambar 5. Proses loading (Purnomo et al., 2012)
pencemaran (Purnomo et al.,

2012).
2. Proses pemotongan ayam

dilakukan dengan menggantung

ayam dengan aliran air. Agar

darah di dalam tubuh hewan

keluar dengan tuntas, air yang

mengalir akan otomatis

membersihkan darah dari proses

Gambar 6. Proses pemotongan ayam (Purnomo penyembelihan (Purnomo et al.,

et al., 2012) 2012).

3. Proses Chilling dilakukan di

ruangan dengan lantai dingin

dengan maksud untuk

meminimalisir cemaran mikroba.

Kebersihan ruangan dijaga,

petugas menggunakan APD yang

baik (Purnomo et al., 2012).


Gambar 7. Proses chilling (Purnomo et al., 2012)

4. Denah ruangan RPU ideal (Eko,

2016).

Gambar 8. Denah RPU ideal (Eko, 2016)


BAB III. SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

Permasalahan – permasalahan yang sering terjadi di RPH dan RPU di Indonesia adalah

permasalahan lokasi dan desain bangunan, Alat Pelindung Diri karyawan RPH, dan Higiene

Sanitasi RPH dan RPU

B. Saran

Dari masalah – masalah yang ditemukan di Indonesia

1. Pemerintah kota terkait ikut terlibat dalam pengawasan operasional RPH dan RPU

2. Dalam pembangunan dan pengoperasia RPH dan RPU pemerintah terkait agar lebih

memperhatikan dampak terhadap lingkungan

3. Perbaikan operasional secara menyeluruh di RPH dan RPU di Indonesia untuk

menghasilkan produk daging yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal

4. Menerapkan aturan tegas agar RPH dan RPU yang ideal dapat banyak terwujud di

Indonesia.
Daftar Pustaka

Baskoro, R. Dibangun sejak tahun 2000 bangunan rumah potong hewan ungags rawa kepiting
direnovasi. Wartakota.tibunnews.com diakses pada 10 November 2020.
Bhaskara, Adam, Nasution, Lubis, Armansyah, dan Hasan. 2015. Tinjauan Aspek
Kesejahteraan Hewan Pada Sapi Yang Dipotong Di Rumah Pemotongan Hewan
Kotamadya Banda Aceh. Jurnal Medika Veterinaria Vol. 9 No. 2, Agustus 2015.
Eko, B.P. 2016. Desain Manual Sistem Jaminan Halal Terintegrasi Standar Rumah
Pemotongan Unggas.Skripsi. IPB : Bogor.
Kementrian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian No. 13/Permentan/Ot.140/1/2010
Tentang Persyaratan rumah potong hewan ruminansia dan unit penanganan daging
(meat cutting plant). Berita Negara RI No.60/2010.
Nurjannah, I., Ferasyi, R., Rastina, Balqis, U., Adam, M., dan Asmilia, N. 2017. Penilaian
Penerapan Animal Welfare pada Usaha Pemotongan Unggas di Kabupaten Aceh Besar.
JIMVET 01(2) : 109-116.
Purnomo, Saam Z, Nasriati E. 2012. Analisis bau limbah peternakan ayam di pemukiman
terhadap gangguan psikosomatik masyarakat sekitar kandang di Desa Sei Lembu
Makmur. Dinamika Lingkungan Indonesia. 3(1):51-63.
Standar Nasional Indonesia. 1999. SNI: 01-6159-1999: Rumah Pemotongan Hewan. Jakarta:
BSN.
Standar Nasional Indonesia. 1999. SNI: 01-6160-1999: Rumah Pemotongan Unggas. Jakarta:
BSN.
Tolistiawaty, I., Widjaja, J., Isnawati, R., dan Lobo, T.L. 2015. Gambaran Rumah Potong
Hewan/ Tempat Pemotongan Hewan di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Jurnal
Vektor Penyakit 9(2) : 45-52.
Weobong CAA, Adinyira EY. 2011. Operational impacts of Tamale abattoir on the
environment. J Publ Health Epidemiol. 3(9):386-393.
Wu YC et al. 2015. Association between air pollutans and dementia risk in elderly. Alzheimer
and Dementia: Diagnosis, Assessment and Disease Monitoring. 1:220-228.
Yulianto, A. 2012. Studi kelayakan Lokasi Rumah Potong Hewan (RPH) di Kota Bontang :
Analisis pengelolaan Air Limbah RPH Eksisting Gunung Telihan sebagai Bagian Dasar
Perbaikan Pengelolaan Lingkungan. Jurnal Sains dan Teknologi lingkungan (4) : 2
halaman 137 – 147.

Anda mungkin juga menyukai