Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK

Gambaran Hematologi Dan Kimia Klinik


Infeksi African Swine Fever dan Balantidiosis pada Babi (Sus scrofa)

Disusun oleh :
Desqi Vigia Anggis Dwimantara
20/458146/KH/10516

Dosen Pembimbing :
drh. Dorothea Vera Megarani, MPH.

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
AFRICAN SWINE FEVER
Etiologi
ASF disebabkan oleh virus DNA dengan untai ganda dari genus Asfivirus dan
famili Asfarviridae dengan morfologi icosahedral, memiliki ukuran 170 – 194 kbp,
sitoplasmik dan beramplop. Virus ASF hanya memiliki satu serotipe meskipun terdapat
23 genotipe dengan virulensi yang bervariasi. Virus ASF sangat tahan terhadap
pengaruh lingkungan, dan stabil pada pH 4-13, serta dapat tahan hidup dalam darah
(40C) selama 18 bulan, dalam daging dingin selama 15 minggu, dalam daging beku
selama beberapa tahun, dan di dalam kandang babi selama 1 bulan. Virus ASF
merupakan virus yang sangat unik, hidup dalam makrofag darah sehingga antibody
yang ditimbulkan tidak cukup untuk menetralkan virus sehingga penggunaan vaksin
masih belum efektif (Sendow et al., 2020).

Gambar 1. Struktur Virus ASF (Beltran-Alcrudo et.al.,2017).


Gejala Klinis
Masa inkubasi antara 3 – 15 hari dan penyakit dapat terjadi dalam bentuk
perakut, akut, sub akut dan kronis. Pada bentuk perakut biasanya hewan ditemukan mati
tanpa gejala apapun.
Pada penyakit bentuk akut, masa inkubasi berlangsung lebih singkat (3-7 hari),
ditandai dengan demam tinggi hingga 42 °C, depresi, nafsu makan menurun, malas
bergerak, mata dan hidung keluar cairan, hemoragi pada kulit dan organ dalam, lesi
nekrotik di abdomen, leher, telinga, abortus pada babi bunting, sianosis (warna kulit
kebiruan), muntah, dan diare. Kematian biasanya terjadi dalam 5-10 hari setelah muncul
gejala klinis. Angka kematian dapat mencapai 100% dan terkadang, kematian terjadi
bahkan sebelum tanda klinis dapat diamati.
Pada bentuk subakut dan kronis yang disebabkan oleh virus dengan virulensi
yang rendah, tanda klinis yang muncul lebih ringan dan berlangsung dalam periode
waktu yang lebih lama. Tingkat kematian lebih rendah, berkisar antara 30-70%.
Manifestasi penyakit bentuk kronis di antaranya penurunan berat badan, demam
berkala, gangguan pernapasan, ulser pada kulit, dan radang sendi. Bentuk ini jarang
ditemukan pada wabah penyakit (Salguero, 2020).

Gambar 2. (A) Letargi pada infeksi akut. (B) Sianosis pada telinga dan moncong
(Salguero, 2020).
Perubahan Makroskopis dan Mikroskopis
Pengamatan makroskopis kasus African Swine Fever pada limfoglandula
mesenterika terlihat ukuran membesar dan hemoragi di bagian medula. Lesi tersebut
yang terkadang membuat limfoglandula memiliki tampilan seperti marmer dan khas
pada bentuk infeksi akut. Pada pengamatan mikroskopis terlihat limfoglandula
mengalami kongesti karena terdapat debris sel. Sinus medula mengalami dilatasi dan
terdapat nekrosis limfosit yang ditandai dengan karioreksis. Karena limfoglandula
merupakan tempat replikasi ASFV sehingga terdapat invasi makrofag di zona
perifolikuler dan area sub kapsula. Di daerah kortikal terjadi hemosiderosis sehingga
terdapat endapan hemosiderin di daerah sub kapsula (Ganowiak, 2012).
Gambar 3. Limfoglandula mesenterika membesar dan hemoragi (Ganowiak,
2012).

Gambar 4. Limfoglandula mesenterika (A dan B) Dilatasi sinus medulla (C)


Endapan hemosiderin di sub kapsula, (D) Invasi makrofag di zona
perifolikuler (Ganowiak, 2012).
Limpa mengandung paling tinggi konsentrasi virus, dan DNA virus dapat
bertahan lebih lama di limpa dibandingkan organ dalam lainnya setelah kematian.
Infeksi akut menyebabkan limpa membesar, rapuh, dan berwarna merah tua atau hitam.
Pada infeksi sub akut, limpa membesar tetapi tidak rapuh, dengan warna yang hampir
normal. Pemeriksaan makroskopik limpa menunjukkan splenomegali hiperemik karena
ciri khas dari ASFV adalah dengan merusak jaringan dan organ limfoid termasuk limpa.
Pada pemeriksaan mikroskopik terdapat nekrosis hemoragik pulpa merah dan putih.
Pulpa merah limpa babi mengandung serat-serat jala dan sel-sel otot polos yang
dikelilingi oleh populasi makrofag yang terikat pada tali-tali limpa. Nekrosis makrofag
di pulpa merah diikuti oleh hilangnya persimpangan antar sel dengan sel otot polos dan
paparan lamina basal, yang memicu aktivasi koagulasi, agregasi trombosit, dan deposisi
fibrin, sehingga menimbulkan akumulasi sel darah merah di dalam limpa (Salguero,
2020).

Gambar 5. Limpa membesar, tepi Gambar 6. Nekrosis hemoragik


membulat, warna merah pulpa merah dan putih
tua sampai hitam limpa (Ganowiak, 2012).
(Gallardo, et al., 2015).
BALANTIDIOSIS
Etiologi
Balantidiosis adalah suatu penyakit infeksius yang terjadi di seluruh dunia dan
disebabkan oleh protozoa, Balantidium coli. Parasit ini dapat ditemukan pada lumen
sekum, kolon babi, manusia, dan primata sebagai organisme komensal, namun dapat
menjadi patogen kalau didahului oleh adanya kerusakan pada jaringan akibat
mikroorganisme lain (Winaya et al., 2011).
Memiliki dua bentuk tubuh yaitu, tropozoit dan kista. Bentuk tropozoit seperti
kantung, panjangnya 50-200 mμ, lebarnya 40-70 mμ dan berwarna abu-abu tipis.
Silianya tersusun secara longitudinal dan spiral sehingga geraknya melingkar, sitostoma
yang bertindak sebagai mulut pada B. coli terletak di daerah peristoma yang memiliki
silia panjang dan berakhir pada sitopige yang berfungsi sebagai anus sederhana. Ada 2
vakuola kontraktil dan 2 bentuk nukleus. Bentuk nukleus ini terdiri dari makronukleus
dan mikronukleus. Makronukleus berbentuk seperti ginjal, berisi kromatin, bertindak
sebagai kromatin somatis/vegetatif. Mikronukleus banyak mengandung DNA sebagai
nukleus generatif/seksual dan terletak pada bagian konkaf makronukleus (Winaya et al.,
2011).
Bentuk kistanya lonjong atau seperti bola, ukurannya 45-75 mμ, warnanya hijau
bening, memiliki makronukleus, memiliki vakuola kontraktil dan silia. Kista tidak tahan
kering, sedangkan dalam tinja yang basah kista dapat tahan berminggu-minggu
(Solaymani-Mohammadi, 2006).

Gambar 7. Tropozoit B.coli Gambar 8. Kista B.coli


(Schmidt dan Roberts, 2009)

Gejala Klinis
Penyakit ini muncul dalam tiga bentuk utama yaitu akut, kronis dan fulminasi.
Bentuk akut balantidiasis ditandai dengan penurunan berat badan, abses hati, perforasi
usus besar, dan radang usus buntu, diare kronis, Bentuk kronis ditandai dengan
kelemahan otot, penurunan berat badan dan diare intermitten. Bentuk fulminasi ditandai
dengan kelemahan dan nekrosis mukosa usus besar. Babi juga dapat menunjukkan tanda
klinis nyeri abdomen, desentri dan kloitis. Masa inkubasi Balantidium coli berkisar 3-6
hari (Kennedy, 2006).

Gambar 9. Gejala Klinis B. coli. (A) Pada kolon dan usus halus mengalami
distensi, hemoragik dan edema (B).Pengamatan pada usus halus
mengalami penipisan mukosa usus, sedangkan perdarahan dominan
pada kolon dan sekum (Purnama et al., 2019).
Perubahan Makroskopis dan Mikroskopis
Perubahan makroskopis pada penyakit balantidiosis terutama terjadi pada ruang
abdomen dan sistem gastrointestinal. Sistema lain tidak terinfeksi dan tidak mengalami
perubahan patologi. Terjadi peritonitis ringan dengan terdapat akumulasi cairan pada
ruang peritoneum. Pada kolon dan usus halus teramati mengalami distensi, hemoragik
dan edema, Pengamatan pada mukosa usus mengalami perdarahan terutama pada kolon
(Winaya et al., 2011).
Infeksi Balantidiosis pada kolon babi menimbulkan lesi berupa erosi, distensi,
hemoragi, dan edema. Erosi pada permukaan mukosa kolon disebabkan oleh adanya
enzim proteolitik yang disekresikan oleh Balantidium coli. Enzim ini kemudian tersebar
di permukaan mukosa dan menyebabkan kerusakan secara perlahan sampai timbul
nekrosis pada mukosa kolon. Pada pengamatan mikroskopis, kolon mengalami
peradangan dengan ditemukannya potongan protozoa koloni B.coli di dalam mukosa
dan masuk hingga lapisan submukosa kolon. Peradangan juga dapat ditemukan mulai
submukosa sampai mukosa. Pada bagian mukosa ditemukan nekrosis. Sel radang yang
ditemukan adalah sel limfosit dan polimorfonuklear (Purnama et al., 2019).

Gambar 10. Kolon dan usus mengalami Gambar 11. Kolon mengalami edema dan
distensi, hemoragik dan peradangan pada membran
edema (Purnama et al., serosa, sub mukosa sampai
2019). mukosa (Purnama et al., 2019).

KAJIAN PATOLOGI KLINIK


Darah terdiri dari cairan tubuh, sel-sel, dan partikel menyerupai sel. Komponen
yang ada dalam darah antara lain 55% plasma dan 45% sel. Plasma terdiri dari 93% air
dan 5-7% molekul protein. Komponen sel dalam darah terdiri dari eritrosit, leukosit,
dan trombosit. Sel-sel darah dibentuk melalui proses yang dinamakan hematopoiesis.
Darah berfungsi sebagai pembawa nutrisi, ekstretorik, pengangkut hormon, pengatur
distribusi panas tubuh dan pemeliharaan osmotik serta asam basa tubuh. Tubuh
dilindungi dari bahan asing seperti virus, bakteri, jamur, dan sel kanker dari antibodi
dalam plasma (Salasia dan Hariono, 2010).
Kebanyakan parameter hematologis pada babi dipengaruhi oleh usia hewan dan
nilai normalnya sangat bervariasi antar strain. Berikut merupakan nilai hematologi
normal pada babi (Tabel 1).
Tabel 1. Nilai hematologi normal babi (Weiss dan Wardrop, 2010)
Pemeriksaan Unit Standar

Eritrosit (x106 sel/μL) 5,0 – 8,0


Hemoglobin (g/dL) 10,0 – 16,0
PCV (%) 32 – 50
MCV (fL) 50 – 68
MCH (pg) 17 – 21
MCHC (%) 30 – 34
TPP (g/dL) 6,0 – 8,0
Fibrinogen (g/dL) 0,1 – 0,5
Leukosit (/μL) 11.000 – 22.000
Neutrofil seg. Relatif (%) 28 – 47
Absolut (/μL) 4.480 – 7.520
Neutrofil band Relatif (%) 1–3
Absolut (/μL) 110 – 660
Basofil Relatif (%) 0–2
Absolut (/μL) 0 – 320
Eosinofil Relatif (%) 0,5 – 11
Absolut (/μL) 80 – 1.760
Monosit Relatif (%) 2 – 10
Absolut (/μL) 320 – 1.600
Limfosit Relatif (%) 39 – 62
Absolut (/μL) 6.240 – 9.920
Eritrosit
Eritrosit berasal dari kata erythro = merah, cyte = sel. Eritrosit terdiri dari 60 –
70% air, 28 – 35% haemoglobin, matrik anorganik dan organik, membran sel non –
elastik tetapi fleksibel (merupakan bentuk khusus atau biconcave), eritrosit mamalia
tidak berinti sedangkan eritrosit unta dan unggas berinti (Salasia dan Hariono, 2010).
Fungsi primer dari eritrosit adalah transpor gas respirasi (oksigen dan karbondioksida)
ke paru-paru dan jaringan tubuh serta memastikannya cukup bersirkulasi. Kompensasi
dari tubuh ketika terjadi penurunan kadar oksigen dalam jaringan adalah peningkatan
jumlah eritrosit tepi pada sirkulasi atau yang dikenal dengan istilah polisitemia,
sedangkan pada saat kadar oksigen jenuh dalam darah akan terjadi penurunan jumlah
eritrosit atau yang dikenal dengan istilah anemia. Eritrosit babi seringkali ditemukan
mengalami krenasi, anisositos walaupun babi sehat (Weiss dan Wardrop, 2010).

A
B

D
C
Gambar 12. Sel darah normal pada babi. (A) Eritrosit, (B) Neutrofil, (C) Basofil, (D)
Limfosit (Weiss dan Wardrop, 2010).

Leukosit
Leukosit berasal dari kata leuco (putih) dan cyt (sel). Sel ini memiliki fungsi
fisiologi normal yaitu fagositosis dan ikut berperan dalam proses produksi antibodi.
Leukosit akan ditransportasikan ke area infeksi dan inflamasi, karena fungsi utamanya
sebagai pertahanan terhadap agen infeksius (Guyton dan Hall, 2006). Leukosit
merupakan komponen darah dengan jumlah relatif sedikit dibanding eritrosit, dengan
perbandingan sekitar 1 leukosit untuk setiap 660 eritrosit (Salasia dan Hariono, 2010).
Leukosit dibagi dalam dua kelas berdasarkan ada tidaknya granula. Granulosit
meliputi neutrofil, eosinofil, dan basofil. Agranulosit meliputi limfosit, dan monosit.
Peningkatan jumlah leukosit disebut leukositosis, hal ini terjadi karena infeksi bakteri.
Penurunan jumlah leukosit disebut leukopenia, hal ini terjadi saat fase awal infeksi
virus (Campbell dan Reece, 2005).
Neutrofil adalah granulosit yang sering ditemukan di dalam darah perifer
anjing, kucing, manusia dan kuda. Fungsi utama neutrofil adalah pertahanan melawan
penyakit bakterial. Neutrofil sangat efisien dalam memfagosit dan menghancurkan
bakteri. Granula neutrofil mengandung enzim dan antibakterial untuk membunuh dan
mendegradasi bakteri. Kenaikan jumlah neutrofil dalam sirkulasi disebut neutrofilia.
Tiga mekanisme utama yang menyebabkan neutrofilia yaitu peradangan, stres
(kenaikan sirkulasi kortikosteroid) dan kegembiraan (kenaikan sirkulasi epineprin).
A B C

Penurunan jumlah neutrofil dalam sirkulasi disebut neutropenia, dapat disebabkan oleh
peradangan yang parah, luka di sum-sum tulang, serta defisiensi Cu dan Se
(Rosenfeld, 2010).
Gambar 13. Sel darah normal pada babi. (A)Monosit, (B) Eosinofil, (C) Neutrofil
(Weiss dan Wardrop, 2010).
Eosinofil mempunyai granula eosinofilik berwarna merah. Eosinofil terlibat
dalam respon terhadap infeksi parasit, jamur, protozoa, alergi, dan penyakit kompleks
imun. Protein dalam granula bertanggung jawab atas tanda pada nekrosis yang
ditemukan dalam jaringan dengan inflamasi eosinofilik. Pada hewan normal eosinofilik
jarang muncul pada darah perifer. Eosinofilia merupakan kenaikan jumlah eosinofil
dalam sirkulasi yang biasanya berhubungan dengan hipersensitivitas/alergi (dermatitis,
alergi, asma), parasit (cacing hati, parasit eksternal), enteritis eosinofilik dan sindrom
hipereosinofilik. Beberapa penyakit kulit dan leukimia juga dapat menyebabkan
eosinofilia. Eosinophenia adalah jumlah eosinofil yang kurang dari normal. Hal ini
dapat terjadi karena ada respon inflamasi terhadap infeksi akut dan dapat digunakan
sebagai pertanda adanya bakteri (Rosenfeld, 2010).
Basofil mempunyai granula basofilik berwarna ungu pada kebanyakan spesies.
Kandungan granular mirip dengan apa yang ditemukan pada sel mast, jaringan sel
mononuklear sering dikaitkan dengan respon inflamasi dan kondisi alergi. Pada hewan
normal jarang pada darah perifer. Jumlahnya sering meningkat dalam respon penyakit
seperti eosinofil (Rosenfeld, 2010). Peningkatan basofil yang dinamakan basofilia
biasanya disertai eosinofilia dan leukimia granulosit basofilia. Jumlah sel basofil
meningkat sehubungan dengan hiperlipemia. Basopenia yaitu menurunnya jumlah
basofil pada sirkulasi darah. Penyebabnya adalah terapi kortikosteroid, reaksi induksi
obat dan infeksi pyogenik (Salasia dan Hariono, 2010).
Monosit berasal dari sum-sum tulang, masuk dalam sirkulasi darah, dan berubah
menjadi makrofag di dalam jaringan. Makrofag memiliki fungsi untuk fagositosis dan
digesti makromolekuler, partikulat dan sel debris, mensintesis komponen-komponen
tertentu, transferin, endogenous pyrogen, lysozyme dan interferon, serta untuk imunitas
seluler (Salasia dan Hariono, 2010). Monositosis merupakan meningkatnya sirkulasi
dari monosit yang berhubungan dengan nekrosis jaringan dan peradangan kronis, jamur
dan penderita neutropenia. Monositosis dapat dipicu oleh defisiensi mineral Zn yang
menyebabkan kegagalan sel monosit dan makrofag dalam fagositosis. Monositopenia
atau menurunan jumlah monosit dalam sirkulasi tidak mempunyai arti klinik pada
pemeriksaan leukogram (Rosenfeld, 2010).
Limfosit adalah jenis sel paling banyak kedua dalam darah perifer anjing,
kucing, kuda dan manusia. Namun pada ruminansia limfosit adalah leukosit darah
perifer umum. Fungsi utama limfosit adalah berperan dalam kekebalan imunitas. Ada
dua tipe utama limfosit yaitu sel B produksi imunoglobulin dan sel T untuk mengatur
sistem imun dan proses imunitas. Limfosit mulanya diproduksi di sum-sum tulang
kemudian bermigrasi ke beberapa organ yang mengatur pembentukan limfoid.
Limfositosis adalah kenaikan jumlah leukosit yang tersirkulasi. Hal ini disebabkan oleh
kegembiraan yang berlebihan. Limfopenia adalah penurunan jumlah limfosit dalam
sirkulasi darah. Kondisi ini bisa disebabkan oleh stress (steroid menghambat
kembalinya limfosit ke sirkulasi dan menyebabkan limfosit lisis chytothorax atau
akumulasi cairan kaya limfosit cavum thorax menyebabkan hilangnya limfosit di
jaringan dan rongga tubuh) dan pelebaran pembuluh limfa pada saluran pencernaan
(penyakit defisiensi imun turunan dan penyakit viral) (Rosenfeld, 2010).

Gambar 14. Limfosit normal dalam babi (Weiss dan Wardrop, 2010).
STUDI KASUS PATOLOGI KLINIK
Tabel 2. Hasil pemeriksaan hematologi pada babi
Pemeriksaan Unit Standar* Hasil** Keterangan
Eritrosit (x106 sel/μL) 5,0 – 8,0 4,9 Menurun
Hemoglobin (g/dL) 10,0 – 16,0 7,4 Menurun
PCV (%) 32 – 50 31,06 Menurun
MCV (fL) 50 – 68 47 Menurun
MCH (pg) 17 – 21 20,1 Normal
MCHC (%) 30 – 34 24,4 Menurun
TPP (g/dL) 6,0 – 8,0 5,7 Menurun
Fibrinogen (g/dL) 0,1 – 0,5 0,7 Meningkat
Total Leukosit (/μL) 11.000–22.000 9.900 Menurun
Neutrofil seg. Relatif (%) 28 – 47 45
Normal
Absolut (/μL) 4.480 – 7.520 4.500
Neutrofil band Relatif (%) 1–3 12
Meningkat
Absolut (/μL) 110 - 660 1.188
Basofil Relatif (%) 0–2 0
Normal
Absolut (/μL) 0 – 320 0
Eosinofil Relatif (%) 0,5 – 11 23
Meningkat
Absolut (/μL) 80 – 1.760 2.277
Monosit Relatif (%) 2 – 10 1,3
Menurun
Absolut (/μL) 320 – 1.600 128,7
Limfosit Relatif (%) 39 – 62 18,7
Menurun
Absolut (/μL) 6.240 – 9.920 1.851
*(Weiss dan Wardrop, 2010)
**(Karalyan, et al., 2016)
Pemeriksaan patologi klinik yang dilakukan antara lain pemeriksaan Packed
Cell Volume (PCV), kadar hemoglobin (Hb), Mean Corpuscular Volume (MCV),
Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Haemoglobin
Concentration (MCHC), total protein plasma, fibrinogen, total leukosit, total eritrosit,
dan diferensial leukosit. Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi klinik babi yang
mengalami infeksi African Swine Fever dan balantidiosis mengalami anemia
mikrositik hipokromik, hipoproteinemia, hiperfibrinogenemia. leukopenia disertai left
shift, eosinofilia, monositopenia, dan limfopenia.
Berdasarkan pemeriksaan hematologi, babi mengalami penurunan kadar
hemoglobin, penurunan PCV dan penurunan jumlah eritrosit total sehingga babi
teridentifikasi mengalami anemia. Interpretasi MCV menurun menunjukkan anemia
mikrositik dan MCHC mengalami penurunan menunjukkan hipokromik. Penyebab
umum terjadinya anemia adalah hemolisis, hemoragi, depresi eritropoiesis di sumsum
tulang belakang dan defisiensi nutrisi (Salasia dan Hariono, 2010). Penyebab lain yang
kemungkinan dapat menyebabkan anemia mikrositik hipokromik adalah hemoragi
kronis, defisiensi Cu, piridoksin atau riboflavin. Hemoragi pada ginjal juga dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal, salah satunya adalah proses produksi hormon
eritropoeitin. Eritropoietin merupakan hormon yang merangsang sumsum tulang
belakang untuk meningkatkan produksi dan pelepasan eritrosit. Eritropoeitin
menstimulasi proses eritropoiesis mulai dari eritroblas hingga menjadi eritrosit yang
beredar di sirkulasi dengan meningkatkan jumlah sel progenitor yang terikat untuk
eritropoiesis. Oleh karena itu kerusakan pada ginjal akan mengganggu proses
eritropoiesis (Santosa, 2009). Patofisiologi terjadinya anemia mikrositik hipokromik
adalah prekursor erithroid yang membelah hingga mendekati perbandingan normal
dengan konsentrasi hemoglobin sehingga menghasilkan ukuran eritrosit yang kecil.
Sel tidak dapat mengatur konsentrasi normal hemoglobin pada kasus defisiensi Fe
(Voigt et Swist, 2011).
Pada kasus infeksi African Swine Fever dan balantidiosis anemia mikrositik
hipokromik dapat terjadi karena defisiensi Fe yang disebabkan oleh gangguan
penyerapan Fe dari saluran gastrointestinal karena adanya enteritis dan colitis. Hal ini
sesuai dengan Thrall et al., (2012) yang menyatakan bahwa defisiensi Fe dapat terjadi
karena penurunan absobsi Fe dari saluran gastrointestinal karena terjadinya hemoragi
kronis pada usus. Penyebab hemoragi kronis diantaranya adalah ulcer gastrointestinal
dan colitis. Infeksi Balantidiosis secara signifikan mempengaruhi nilai hematokrit,
total eritrosit dan kadar hemoglobin dan berpotensi menginvasi jaringan dengan
penetrasi ke mukosa di area yang membentuk ulcer, selain itu dapat juga terbentuk
abses pada kasus akut (Garcia, 2001). Balantidiosis pada domba dan kambing juga
menunjukkan adanya anemia akibat hemoragi intestinal. Setelah pengobatan maka
nilai hemoglobin, hematokrit dan total eritrosit kembali normal karena eliminasi
parasit dari saluran gastrointestinal (Jamil et al., 2015).
Leukopenia merupakan penurunan jumlah total leukosit. Leukopenia dapat
terjadi karena konsumsi leukosit perifer yang tinggi atau dapat juga terjadi karena
penurunan produksi leukosit. Leukopenia dapat disebabkan oleh virus yang
mensupresi sistem imun (Thrall et al., 2012). Leukopenia pada kasus ini dapat terjadi
karena infeksi African Swine Fever. Leukopenia yang terjadi pada ASF berkaitan
dengan nekrosis limfosit yang ekstensi di jaringan limfoid. Hal ini sesuai dengan
pendapat Clark dan Coffer (2008) yaitu pada infeksi viral terjadi penurunan jumlah
total leukosit dan terjadi peningkatan jumlah neutrofil imatur di darah perifer terutama
pada infeksi akut.
Perubahan pada diferensial leukosit babi yaitu terjadi penurunan jumlah
limfosit atau limfopenia. Persentase penurunan limfosit yang diamati pada babi yang
terinfeksi kemungkinan disebabkan oleh apoptosis dan nekrosis yang diinduksi ASFV.
Babi yang menderita ASF umumnya mengalami limfopenia yang dikaitkan dengan
apoptosis limfosit yang diinduksi oleh sitokin yang diproduksi oleh monosit dan
makrofag yang terinfeksi ASFV. Limfopenia terjadi ketika jumlah neutrofil band
cenderung meningkat. Limfopenia dapat terjadi pada fase akut infeksi viral (Afayoa et
al., 2014). Penyebab lain limfopenia adalah respon steroid. Limfopenia pada babi
dapat terjadi karena adanya peningkatan hormon glukokortikosteroid yang disebabkan
karena stres, atau karena adanya septikemia (Campbell, 2015). Kasus infeksi African
Swine Fever dan balantidiois menyebabkan stres fisiologis pada babi yang ditandai
dengan babi tidak aktif dan anoreksia. Stres fisiologis dapat terjadi karena peradangan
sehingga tubuh merespon dengan melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH)
dari kelenjar pituitari sehingga menstimulasi pelepasan kortisol oleh kelenjar adrenal.
Steroid dapat menginduksi apoptosis limfosit dan mengganggu pola resirkulasi
limfosit (Thrall et al., 2012).
Perubahan lain pada leukosit yaitu jumlah neutrofil normal mendekati batas
bawah disertai peningkatan neutofil imatur (left shift). Secara umum penyebab
terjadinya neutropenia adalah penurunan produksi neutrofil, redistribusi neutrofil dari
sirkulasi ke marginal pool karena efek endotoksin dan peningkatan konsumsi neutrofil
ke jaringan (Weiss dan Wardrop, 2010). Pada kasus infeksi African Swine Fever dan
balantidiosis jumlah neutrofil mendekati batas bawah kemungkian disebabkan oleh
terjadinya peningkatan kebutuhan neutrofil ke jaringan limfa, limfoglandula, pulmo
dan gastrointestinal yang mengalami peradangan. Hal tersebut juga menyebabkan
peningkatan pembebasan sel oleh sumsum tulang belakang dan peningkatan proporsi
neutrofil imatur di sirkulasi.
Eosinofilia adalah meningkatnya jumlah sel eosinofil di darah. Eosinofil
merupakan pertahanan utama terhadap infeksi parasit, sehingga adanya endo atau
ektoparasit dapat meningkatkan jumlahnya. Penyebab lainnya yaitu hipersensitifitas
terhadap dermatitis, pneumonia, neoplasia, infeksi virus (FeLV), bakteri
(Staphylococcus dan Streptococcus), fungi (Cryptococcus) (Latimer, 2011).
Eosinofilia dapat terjadi karena infestasi parasit baik tungau, parasit intestinal, dan
parasit yang mengalami migrasi jaringan (Cowell, 2004). Selain karena infeksiparasit,
eosinofilia dapat terjadi karena alergi, dan fase kesembuhan penyakit (Cowell, 2004).
Eosinofilia pada kasus diare babi terjadi karena adanya infestasi parasit
gastrointestinal yaitu Balantidium coli. Hal ini sesuai dengan pendapat Bauri et al.,
(2012), bahwa pada kasus B. coli terjadi eosinfilia sebagai respon pertahanan dari agen
infeksi. Eosinofil mengekspresikan reseptor untuk antibody IgE dan dapat mengikat
partikel yang dilapisi IgE. Eosinofil sangat efektif untuk menghancurkan agen infeksi
yang merangsang produksi IgE seperti agen parasit.
Perubahan lain pada leukosit babi yaitu penurunan jumlah monosit atau
monositopenia. Monositopenia disebabkan dari replikasi ASFV dalam sel yang diikuti
nekrosis. Monositopenia dapat terjadi karena respon pada peradangan akut dan kronis.
Monositopenia dapat terjadi karena peningkatan kebutuhan sel mononuklear ke
jaringan (Thrall et al., 2012). Kasus infeksi African Swine Fever dan balatidiosis pada
babi menyebabkan peradangan pada organ limfoid dan saluran gastrointestinal yang
meluas sehingga terjadi peningkatan kebutuhan monosit ke jaringan untuk eliminasi
agen penyakit. Monosit merupakan penghasil sitokin proinflamasi yang merupakan
respon imun untuk mencegah inflamasi sistemik (Weiss dan Wardrop, 2010).
Pemeriksaan nilai total protein plasma menunjukkan babi mengalami
penurunan jumlah total protein plasma atau hipoproteinemia. Nilai Total Protein
Plasma (TPP) pada hewan menurut Salasia dan Hariono (2010) dipengaruhi oleh
metabolisme protein dan perdarahan. Hipoproteinemia atau penurunan protein plasma
dapat terjadi pada kondisi diet buruk, peningkatan perombakan protein, sintesis protein
yang buruk, dan perdarahan. Hipoproteinemia pada kasus African Swine Fever dan
balantidiosis dapat terjadi karena absorbsi nutrisi yang kurang maksimal karena
kerusakan vili usus maupun adanya pendarahan pada jejunum, ileum dan kolon. Selain
itu juga terjadi gangguan pada sistem transpor natrium dan kehilangan protein
ekstravaskuler pada kondisi diare (Xia et al., 2018).
Pemeriksaan kadar fibrinogen menunjukkan babi mengalami kenaikan kadar
fibrinogen atau hiperfibrinogenemia. Fibrinogen merupakan parameter pada kejadian
keradangan. Adanya proses keradangan akan memicu peningkatan fibrinogen.
Fibrinogen merupakan protein plasma darah yang secara eksklusif di produksi hepar,
dan berperan dalam proses koagulasi darah, detoksikasi, pengangkut asam lemak
bebas dan asam empedu (Feldman et al., 2000). Pada kondisi dehidrasi dapat terjadi
peningkatan kadar fibrinogen dan total protein plasma (TPP) secara relatif ditandai
dengan perbandingan protein plasma dan fibrinogen diantara 15:1 hingga 10: 1 (15 : 1
atau lebih normal). Jika perbandingan kurang dari 10: 1 maka terjadi
hiperfibrinogenemia absolut yang disebabkan oleh keradangan (Salasia dan Hariono,
2010). Kasus infeksi ASFV dan balantidiosis terjadi hipoproteinemia sehingga tidak
dapat menggunkan perbandingan total protein plasma dan fibrinogen. Kondisi
hiperfibrinogen dapat dikonfirmasi dengan adanya lesi mikroskopik peradangan yaitu
enteritis dan colitis pada babi. Hiperfibrinogenemia terjadi sebagai respon peradangan,
karena fibrinogen merupakan reaktan fase akut inflamasi (Latimer, 2011). Peningkatan
jumlah fibrinogen tersebut dapat diakibatkan karena tubuh memerlukan fibrinogen
baru untuk melindungi endotel pembuluh darah (Feldman et al., 2000).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi klinik babi yang mengalami infeksi
African Swine Fever dan Balantidiosis mengalami anemia mikrositik hipokromik,
hipoproteinemia, hiperfibrinogenemia. leukopenia disertai left shift, eosinofilia,
monositopenia, dan limfopenia.
LAPORAN PEMERIKSAAN PATOLOGI KLINIK

Pemilik : Bapak Wadikin


Alamat : Deli Serdang, Sumatera Utara
Jenis hewan : Babi betina (Sus scrofa), umur 6 bulan
Anamnesa : Babi terlihat lemas, nafsu makan menurun, kulit kemerahan
pada daun telinga, perut, perineum, ekor, kaki, diare. Populasi
total 200 ekor, dalam 1 bulan terakhir babi sakit 20 ekor
(morbiditas 10%) dengan kematian 100 ekor (mortalitas 50%),
pakan yang diberikan berupa ampas tahu, bekatul, konsentrat, dan
sisa makan restoran, sedangkan air minum dari air sumur. Babi
dipelihara dalam kandang. Babi belum pernah diberi obat cacing
dan vaksin.
Gejala Klinis : Demam tinggi hingga 42 °C, depresi, nafsu makan menurun,
malas bergerak, mata dan hidung keluar cairan, hemoragi pada
kulit dan organ dalam, lesi nekrotik di abdomen, leher, telinga,
sianosis (warna kulit kebiruan), muntah, dan diare.
Sampel Pemeriksaan :
1. Preparat apus darah dengan pewarnaan Giemsa 10%
2. Darah dengan antikoagulan Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA)
Hasil Pemeriksaan :
Tabel 1. Hasil pemeriksaan hematologi dan kimia klinik pada babi yang terinfeksi
African Swine Fever dan Balantidiosis
Pemeriksaan Unit Standar* Hasil** Keterangan
Eritrosit (x106 sel/μL) 5,0 – 8,0 4,9 Menurun
Hemoglobin (g/dL) 10,0 – 16,0 7,4 Menurun
PCV (%) 32 – 50 31,06 Menurun
MCV (fL) 50 – 68 47 Menurun
MCH (pg) 17 – 21 20,1 Normal
MCHC (%) 30 – 34 24,4 Menurun
TPP (g/dL) 6,0 – 8,0 5,7 Menurun
Fibrinogen (g/dL) 0,1 – 0,5 0,7 Meningkat
Total Leukosit (/μL) 11.000–22.000 9.900 Menurun
Neutrofil seg.Relatif (%) 28 – 47 45
Normal
Absolut (/μL) 4.480 – 7.520 4.500
Neutrofil band Relatif (%) 1–3 12
Meningkat
Absolut (/μL) 110 - 660 1.188
Basofil Relatif (%) 0–2 0
Normal
Absolut (/μL) 0 – 320 0
Eosinofil Relatif (%) 0,5 – 11 23 Meningkat
Absolut (/μL) 80 – 1.760 2.277
Monosit Relatif (%) 2 – 10 1,3
Menurun
Absolut (/μL) 320 – 1.600 128,7
Limfosit Relatif (%) 39 – 62 18,7
Menurun
Absolut (/μL) 6.240 – 9.920 1.851
*(Weiss dan Wardrop, 2010)
**(Karalyan, et al., 2016)
Interpretasi hasil :
- Jumlah eritrosit, kadar Hb, PCV, dan MCV mengalami penurunan; MCH normal;
MCHC mengalami penurunan yang berarti anemia mikrositik hipokromik.
- Penurunan Total Protein (hipoproteinemia) dan kenaikan fibrinogen
(hiperfibrinogenemia)
- Leukosit menurun disertai peningkatan neutrofil band : leukopenia disertai
eosinofilia, monositopenia, dan limfopenia.

Yogyakarta, 12 November 2020


Dosen Pembimbing Mahasiswa Koasistensi Diagnosa
Patologi Klinik Laboratorik

drh. Dorothea  Vera Megarani, MPH. Desqi Vigia


Anggis Dwimantara S.K.H.

Mengetahui,
DAFTAR PUSTAKA

Afayoa, M. Atuhaire, D.K., Ochwo, S., Okuni, J.B., Kisekka, M., Olaho-Mukani, W.,
Ojok, L. 2014. Haematological, Biochemical and Clinical Changes in Domestic
Pigs Experimentally Infected with African Swine Fever Virus Isolates from
Uganda. Bull. Anim. Hlth. Prod. Afr., (2014), 62, 07-22.
Bauri, R.K., Rajeev, R., Deb, A.R., Ranjan, R. 2012. Prevalence and Sustainable
Control of Balantidium coli Infection in Pigs of Ranchi, Jahrkahnd, India. Vet.
World 5(2): 94-99.
Beltran-Alcrudo, D., Arias, M., Gallardo, C., Kramer, S. & Penrith, M.L. 2017. African
Swine Fever : Detection And Diagnosis – A Manual For Veterinarians. USA :
FAO Animal Production and Health Manual.
Campbell, N. A. dan Reece, J. B. 2005. Biology. San Fransisco : Pearson, Benjamin
Cummings.
Campbell, T. W. 2015. Exotic Animal Hematology and Cytology Fourth Edition.
Iowa:Wiley Blackwell.
Clark. S. G., Coffer, N. 2008. Normal Hematology and Hematologic Disorders in
Potbellied Pigs. Vet Clin Exot Anim 11 (2008) 569–582.
Cowell, R.L. 2004. Veterinary Clinical Pathology Secrets. USA: Elsevier.
Feldman, B. F., Zinki, J. G., Jain N. 2000. Schalm’s Veterinary Hematology Fifth
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Gallardo, M.C., Reoyo, A.T., Fernandes, J., Iglesias, S., Munoz, M.J., Arias, M.L. 2015.
African Swine Fever: A Global View of The Current Challenge. Porcine Health
Management (2015) 1:21.
Ganowiak, J. 2012. Patho-Anatomical Studies On African Swine Fever In Uganda.
Examensarbete Inom Veterinärprogrammet.
Garcıa-Gonzalez, A. M., Perez-Martın, J. E., Gamito-Santos,J. A., Calero-Bernal, R.,
Alonso, M. A., Carrion, E. M. F. 2013. Epidemiologic Study of Lung Parasites
(Metastrongylus spp.) in Wild Boar (Sus scrofa) in Southwestern Spain. Journal
of Wildlife Diseases 49(1) : 157–162.
Guyton, A. C. dan Hall, J. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th Edition. San
Fransisco, USA : Appleton and Lange.
Jamil, M., Ijaz, M., Ali, M.M. 2015. Prevalence, Hematology and Treatment of
Balantidium coli among Small Ruminants in and Around Lahore, Pakistan.
Kafkas Univ Vet Fak Derg 21 (1): 123-126.
Karalyan, Z., Zakaryan, H., Arakelova, E., Aivazyan, V., Tatoyan, M., Kotsinyan, A.,
Izmailyan, R., Karalova, E. 2016. Evidence of Hemolysis In Pigs Infected With
Highly Virulent African Swine Fever Virus. Veterinary World, EISSN: 2231-
0916.
Kennedy, M.J. 2006. Balantidium in Swine. Agriculture, Food and Rural Deveolpment.
AGRI-FACTS.
Latimer, K.S. 2011. Duncan & Prasse’s Veterinary Laboratory Medicine Clinical
Pathology Fifth Edition. USA: John Wiley & Sons.
Purnama, K.A., Kardena, A.M., Berata, I.K., Winaya, I.B.O., Adi, A.M. 2019. Laporan
Kasus: Patologi Balantidiosis pada Babi. Indonesia Medicus Veterinus. Januari
2019, 8(1): 1-8.
Rosenfeld, A. J dan Sharon M. D. 2010. Clinical Pathology for the Veterinary Team.
USA : Wiley-Blackwell.
Salasia, S. I. O dan Hariono, B. 2010. Patologi Klinik Veteriner Kasus Patologi Klinis.
Yogyakarta : Samudra Biru. Hal 9-40.
Salguero, F.J. 2020. Comparative Pathology and Pathogenesis of African Swine Fever
Infection in Swine. Frontiers in Veterinary Science. May 2020. Volume 7.
Article 282.
Santosa, B. 2009. Aktifitas Hematopoiesis Akibat Suplementasi Tawas dan Seng pada
Tikus (Rattus norvegicus). Jurnal Kesehatan 2 (1): 4149.
Schmidt, G. D., dan Robert, L. S. 2009. Foundations of Parasitology. New York :
McGraw-Hill.
Sendow,I., Ratnawati, A., Dharmayanti, M Saepulloh, M. 2020. African Swine Fever:
Penyakit Emerging yang Mengancam Peternakan Babi di Dunia. WARTAZOA
Vol. 30 No. 1 Th. 2020 Hlm. 15-24.
Solaymani-Mohammadi, S. 2006. Review : Zoonotic Implications Of The Swine-
Transmitted Protozoal Infections. Veterinary Parasitology. 140 : 189–203.
Thrall, M. A., Weise, G., Allison, R., Campbell, T.W. 2012. Veterinary Hematology
and Clinical Chemistry Second Edition. Oxford: Willey-Blackwell.
Voigt, G. L., Swist, S. L. 2011. Hematology Techniques and Concepts for Veterinary
Technicians Second Edition. New Delhi: Willey-Blackwell.
Weiss, D.J. dan Wardrop, K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology, Sixth Edition.
USA: Blackwell Publishing. Hal 843-851.
Winaya, I.B.O., Bearata, I.K., Apsari, I.A.P. 2011. Kejadian Balantidiosis pada Babi
Landrace. Jurnal Veteriner. Maret 2011, Vol. 12, No. 1: 65-68.
Xia, L., Yunhan, Y., Jialu, W., Yuchao, J., Qian, Y. 2018. Impact of TGEV Infection on
the Pig Small Intestine. Virology Journal (2018) 15:102.

Anda mungkin juga menyukai