DEMAM TIFOID
Disusun Oleh :
Usus halus adalah bagian dari system pencernaan makanan yang berpangkal
pada pylorus dan berakhir pada seikum yang panjangnya ± 6 m,
merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil
pencernaan yang terdiri dari: Lapisanusus halus; lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan
otot melingkar (M. sirkuler), lapisan otot memanjang ( M. longitudinal), dan lapisan
serosa ( sebalah luar).
a. Duodenum
Duodenum disebut juga usus 12 jari panjangnya 25 cm berbentuk sepatu
kuda melengkung ke kiri pada lengkungan ini terdapat pankreas. Bagian kanan
duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit di sebut papilla vateri. Pada
papilla vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pancreas
(duktus wirsungi/ duktus pankreatikus). Dinding duodenum mempunyai lapisan
mukosa yang banyak mengandung kalenjar, kalenjar ini di sebut kalenjar-kalenjar
brunner, berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.
b. Yeyenum dan Ileum.
Yeyenum dan ileum mempunyai panjang sekitar ±6 m, dua perlima bagian
adalah (yeyenum) dengan panjang 2-3 m dan ileum dengan panjang 4- 5 m. Lekukan
yeyenum dan ileum meletak pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan
lipatan peritoneum yang berbentuk kipas di kenal sebagai mesenterium.
Ujung bawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraa lubang
yang bernama urifisium ileoseikalis, urifisium ini di perkuat oleh sfinter ileoseikalis
dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula baukhini yang
berfungsi mencegah cairan dalam kolon asendens tidak masuk kembali keadaan
ileum.
3
Didalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yang
menyempurnakan makanan : (Syafuddin, 1997)
a. Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik
b. Eripsin menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino.
c. Lactase mengubah lactase menjadi monosakarida.
d. Maltose mengubah maltosa menjadi monosakarida.
e. Sukrosa mengubah sukrosa menjadi monosakarida.
3. Etiologi
Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan
salmonella parathypi (S. Parathypi A dan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram
negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat
mati dengan pemanasan suhu 600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi,
pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu:
a. Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O
(berasal dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari
flagel kuman).
c. Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan antigen
Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid. (Aru W.
Sudoyo. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 2009. Ed V.Jilid III. Jakarta: interna publishing)
4
4. Patofisiologi
5
mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi
sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami
multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe
mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella
typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi
sistemik.
Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat
yang disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung
empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik
secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di
empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran
endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak
terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati,
limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi
sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis
sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan
pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk.
2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI).
6
Muntah 50%
Gejala:
Demam 100%
Nyeri tekan perut 75%
Bronkitis 75%
Toksik 60%
Letargik 60%
Lidah tifus (“kotor”) 40%
(Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.)
a. Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris reminten, suhu tubuh
berangsur meningkat.
b. Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap, bibir kering pecah- pecah
(ragaden), lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue, lidah limfoid) ujung dan
tepinya kemerahan, biasanya disertai konstipasi, kadang diare, mual muntah, dan jarang
kembung.
c. Gangguan kesadaran, kesadaran pasien cenderung turun, tidak seberapa dalam, apatis
sampai somnolen, jarang sopor, koma atau gelisah
d. Relaps (kambung) berulangnya gejala tifus tapi berlangsung ringan dan lebih singkat.
6. Komplikasi
Komplikasi demam typhoid dapat dibagi dalam :
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perforasi usus
3) Ileus paralitik
b. Komplikasi ekstra intestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler: Kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis),
miokarditis, thrombosis dan tromboflebitis.
2) Komplikasi darah: Anemia hemolitik, trombositopenia, dan sindrom uremia
hemolitik
3) Komplikasi paru: Pneumonia empiema dan pleurutis
7
4) Komplikasi hepar dan kandung empedu, hepatitis, dan kolesistisis
5) Komplikasi ginjal: Glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
6) Komplikasi tulang: Osteomilitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
7) Komplikasi neuropsikiatrik: Delirium, meningismus, meningitis, polyneuritis perifer.
(Sjaifoellah Noer, 1997 hlm 438)
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia
dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai.
b. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT
SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan
hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1) Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal
ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan
darah dapat positif kembali.
3) Vaksinasi di masa lampa
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.
8
4) Pengobatan dengan obat anti mikrob
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman
Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali
lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60
(dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan
diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur
negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu
pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi.
9
kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada
pemeriksaan sekali).
(Widodo, D. 2007.).
8. Penatalaksanaan
a. Medis
1) Anti Biotik (Membunuh Kuman): Klorampenicol, Amoxicilin, Kotrimoxasol,
Ceftriaxon, Cefixim
2) Antipiretik (Menurunkan panas): Paracetamol
b. Keperawatan
1) Observasi dan pengobatan
2) Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih dari
selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi perforasi usus.
3) Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
4) Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus..
5) Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
konstipasi dan diare.
6) Diet
a) Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein.
b) Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
c) Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
d) Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama
7 hari (Smeltzer & Bare. 2002)
10
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan. Tahap ini terdiri
atas:
Pengumpulan Data
1) Identitas klien
Anamnesa identitas klien meliputi; nama, usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan,
alamat, suku/bangsa, agama, tingkat pendidikan.
2) Keluhan utama
Demam lebih dari 1 minggu, gangguan kesadaran: apatis sampai somnolen,
dan gangguan saluran cerna seperti perut kembung atau tegang dan nyeri pada
perabaan, mulut bau, konstipasi atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa
lendir, anoreksia dan muntah.
3) Riwayat penyakit saat ini
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
b) Provoking incident: klien mengeluh demam, demam hilang timbul
c) Quality of pain: seperti apa panas yang dirasakan atau digambarkan klien,
seperti air mendidih?
d) Region, radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar dan dimana rasa sakit terjadi. Panas berkurang
jika dikompres, panas bertambah jika tidak dikompres.
e) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
memengaruhi kemampuan fungsinya. Panas paling sewring terjadi pada
malam hari.
f) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
4) Riwayat penyakit dahulu
Perawat menanyakan kepada pasien tentang masalah masa lalu pada sistem
gastrointestinal. Pernahkan pasien dirawat dirumah sakit? Untuk
11
melanjutkan pengkajian keperawatan riwayat pasien, perawat mencatat status
kesehatan umum pasien serta gangguan dan perbedaan gastrointestinal
sebelumnya.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga tentang penyakit yang dapat mempengaruhi masalah
kesehatan saat ini dan masa lalu pasien.
6) Riwayat psikososial
Riwayat psikososial mencakup status emosional, konsep diri, mekanisme koping,
kemampuan keluarga mengenal masalah klien, sumber stress serta adanya
kebiasaan atau pengaruh budaya terhadap penyakit.
7) Pola-pola fungsi kesehatan
o Nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah
saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama
sekali.
o Pola eliminasi
Eliminasi alvi: klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring
lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna
urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi
peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa
haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
o Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak
terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
o Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
o Pola persepsi dan konsep diri.
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit
anaknya.
12
o Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya
tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pad klien.
o Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di rumah
sakit dan klien harus bed rest total.
b. Data Objektif
Dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan umum untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis).
Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum; baik atau buruknya tanda-tanda yang dicatat adalah seperti:
a) Kesadaran penderita; apatis, sopor, gelisah, atau komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, atau berat.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala; kaji adanya lesi, lebam atau oedem dan nyeri tekan, kondisi rambt
bersih/ tidak, penyebaran merata atau tidak.
b) Mata: biasanya konjungtiva anemis karena mengalami dehidrasi, lihat
apakah terdapat bengkak.
c) Hidung: lihat apakah ada nyeri tekan pada bagian yang lunak,
biasanya tidak ada eformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
d) Telinga: lihat adanya lesi atau lebam, pendengaran normal atau tidak, apakah
ada nyeri tekan atau tidak..
e) Mulut dan gigi: mukosa mulut pucat, biasanya kondisi bibir kotor.
f) Leher: lihat apakah ada pembesaran kelenjar tiroid, apakah ada nyeri telan,
palpasi apakah ada nyeri tekan atau tidak.
13
g) Paru; lakukan pemeriksaan IPPA (inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi).
Apakah gerakan dada simetris atau tidak, apakah terdengar suara sonor pada
kedua lapang paru.
h) Jantung; lakukan pemeriksaan IPPA (inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi). Apakah iramanya teratur, apakah terdengar bunyi pekak.
i) Abdomen; lakukan pemeriksaan IPPA (inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi). Apakah perut buncit, warna kulit sama dengan warna kulit di
sekitarnya, bersih/kotor dan terdapat jaringan parut atau tidak, warna
ikterik/tidak. Apakah umbilikus mengalami inflamasi, posisi umbilicus tepat
ditengah garis tubuh/ tidak. Bising usus normal atau tidak. apakah terdengar
bunyi timpani, apakah terdapat nyeri tekan.
j) Genitalia: Apakah terpasang kateter, terdapat luka/ tidak dan terdapat radang
pada area genetalia atau tidak, adakah nyeri tekan
k) Kulit; turgor kulit baik atau keelastisan turgor kulit lambat atau tidak.
l) Ekstremitas
Ekstremitas atas: apakah simetris kanan dan kiri, apakah klien dapat
melakukan range of motion aktif pada tangan kanan dan kiri, terdapat nyeri
pada sendi atau tidak. Adakah edema dan akral dingin.
Ekstremitas bawah: apakah simetris kanan dan kiri. Apakah klien dapat
melakukan range of motion aktif pada tangan kanan dan kiri, terdapat nyeri
pada sendi atau tidak. Adakah edema dan akral dingin.
Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai.
2) Pemeriksaan SGOT Dan SGPT
SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
14
3) Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.
4) Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid.
2. Diagnose Keperawatan
a. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1. DS: Bakteri Salmonella Thypi (perantara 5F) Hipertermi
o Klien
mengatakan Masuk lewat makanan
demam
DO: Saluran pencernaan
o Keadaan umum
lemah Infeksi usus halus, inflamasi
o Suhu tubuh
klien lebih dari Pembuluh limfe
36,50C
o Kulit terasa Bakteri masuk ke aliran darah (bakteremi
panas
primer)
o Kulit terlihat
kemerahan
Bakteri yang tidak di fagosit akan masuk dan
o Nadi klien lebih
berkembang di hati dan limfa
dari batas
normal. Normal
dewasa 60 – Inflamasi pada hati dan limfa
100 kali per
menit. Heptomegali, splenomegaly
o Nafas klien lebih
dari batas Masa inkubasi 5-9 hari
normal. Normal
dewasa 16 – 22 Masuk kedalam darah (bakteremi sekunder)
kali per menit.
Baktei mengeluarkan endotoksin
Peradangan lokal meningkat
15
Endotoksin merangsang sintes dan pelepasan zat
pirogen oleh leukosit pada jaringan radang
Pirogen beredar dalam darah
Hipotalamus
Gangguan pada termoregulator
Suhu tubuh meningkat, demam (hipertermi)
Gangguan termoregulasi
16
DO :
Nafsu makan menurun, nausea dan vomit
o Berat badan klien
mengalami Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
penurunan
o Membran
mukosa klien
pucat
o Klien tanpak
menghindari
makanan
4. DS: Bakteri Salmonella Thypi (perantara 5F) Nyeri akut
o Klien mengeluh
nyeri pada Masuk lewat makanan
bagian perut
o Klien Saluran pencernaan
mengatakan mual
Lambung (sebagian kuman mati oleh asam
DO: lambung)
o Klien tampak
meringis Usus hlus
kesakitan pada
bagian perut Infeksi usus halus
o Skala nyeri (1-
10)
Inflamasi
o Ekspresi wajah
klien tegang
Pembuluh limfe
Bakteri masuk ke aliran darah (bakteremi
primer)
Bakteri yang tidak di fgosit akan masuk dan
berkembang dihati dan limfa
Inflamasi pada hati dan limfa
Heptomegali, splenomegaly
Nyeri tekan
Nyeri akut
5. DS: Bakteri Salmonella Thypi (perantara 5F) Intoleransi
o Klien aktivitas
mengatakan lemas Masuk lewat makanan
DO: Saluran pencernaan
17
o Mobilitas Lambung (sebagian kuman mati oleh asam
dibantu lambung)
o Kekuatan otot
lemah Nafsu makan menurun, nausea dan vomit
Intake nutrisi untuk tubuh kurang
Metabolisme turun
Energi yang dihasilkan sedikit
Mudah letih, lesu
Intoleransi aktivitas
6. DS: Bakteri Salmonella Thypi (perantara 5F) Konstipasi
o Klien
mengatakan Masuk lewat makanan
sulit BAB, BAB
terasa keras Saluran pencernaan
DO:
o Terdapat Lambung (sebagian kuman mati oleh asam
pembesaran lambung)
abdomen.
o Perut terasa Usus hlus
keras, ada
impaksi feses.
Infeksi usus halus
o Perkusi : redup.
o Bising usus
tidak terdengar Inflamasi
Peristalik usus menurun
Bising usus tidak terdengar/ bising usus turun
Konstipasi
Diagnosa yang lazim muncul pada demam tifoid, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi kuman Salmonella Thypi ditandai
dengan keadaan umum lemah, tanda-tanda vital diatas normal, klien mengatakan
demam.
18
2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan intake cairan kurang ditandai dengan
keadaan umum lemah, mengatakan sulit minum, sering BAK dan muntah lebih dari 2
kali, penurunan turgor kulit, mukosa bibir kering, bibir pecah- pecah.
3) Defisit nutrisi berhubungan dengan intake tidak adekuat dibuktikan dengan keadaan
umum lemah, nafsu makan berkurang, penurunan berat badan.
4) Nyeri akut berhubungan dengan pembesaran hati dan limfa ditandai dengan klien
mengeluh nyeri pada bagian abdomen, mual, klien tampak meringis kesakitan,
ekspresi wajah tegang, skala nyeri (1-10).
5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan metabolisme turun ditandai dengan klien
mengatakan lemas, mobilitas dibantu, kekuatan otot lemah.
6) Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus ditandai dengan keadaan
umum lemah, klien mengatakan sulit BAB, terdapat pembesaran abdomen, terdapak
impaksi feses dan tdak terdengar bising usus.
19
3. Rencana Asuhan Keperawatan
20
Regulasi Temperatur (I.14578)
Observasi
1. Monitor suhu bayi sampai stabil ( 36.5 C -37.5 C)
2. Monitor suhu tubuh anak tiap 2 jam, jika perlu
3. Monitor tekanan darah, frekuensi pernapasan dan nadi
4. Monitor warna dan suhu kulit
5. Monitor dan catat tanda dan gejala hipotermia dan hipertermia
Terapeutik
1. Pasang alat pemantau suhu kontinu, jika perlu
2. Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
3. Bedong bayi segera setelah lahir, untuk mencegah kehilangan panas
4. Masukkan bayi BBLR ke dalam plastic segera setelah lahir ( mis.
Bahan polyethylene, poly urethane)
5. Gunakan topi bayi untuk memcegah kehilangan panas pada bayi baru lahir
6. Tempatkan bayi baru lahir di bawah radiant warmer
7. Pertahankan kelembaban incubator 50 % atau lebih untuk
mengurangi kehilangan panas Karena proses evaporasi
8. Atur suhu incubator sesuai kebutuhan
9. Hangatkan terlebih dahulu bhan-bahan yang akan kontak dengan bayi
(mis. Seelimut,kain bedongan,stetoskop)
10. Hindari meletakkan bayi di dekat jendela terbuka atau di area aliran
pendingin ruangan atau kipas angin
11. Gunakan matras penghangat, selimut hangat dan penghangat ruangan,
untuk menaikkan suhu tubuh, jika perlu
12. Gunakan kasur pendingin, water circulating blanket, ice pack atau
jellpad dan intravascular cooling catherization untuk menurunkan
suhu
Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien
13.
Edukasi
1. Jelaskan cara pencegahan heat exhaustion,heat stroke
2. Jelaskan cara pencegahan hipotermi karena terpapar udara dingin
3. Demonstrasikan teknik perawatan metode kangguru (PMK) untuk bayi BBLR
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian antipiretik jika perlu
Observasi
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
5. D.0056 Toleransi Aktivitas Manajemen Energi (I. 05178)
Intoleransi Aktivitas Meningkat (L.05047) Observasi
1. Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
Definisi: 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
Ketidakcukupan energi untuk 3. Monitor pola dan jam tidur
melakukan aktivitas sehari-hari. 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Terapeutik
Penyebab 1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. Cahaya, suara,
1. Ketidak seimbangan kunjungan)
antara suplai dan 2. Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
kebutuhan oksigen 3. Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
2. Tirah baring 4. Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau
3. Kelemahan berjalan
4. Imobilitas Edukasi
5. Gaya hidup monoton 1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan.
Edukasi:
1. Jelaskan jenis makanan yang membantu meningkatkan peristaltik usus
2. Anjurkan mencatat warna, frekuensi, konsistensi, volume feses
Manjamen Konsipasi
Observasi
1. Periksa tanda dan gejala konstipasi
2. Periksa gerakan usus, karakteristi usus
3. Identifikasi faktor risiko konstipasi
Terapeutik
1. Anjurkan diit tinggi serat
2. Lakukan masase abdomen, jika perlu
3. Berikan enema, jika perlu
Edukasi
Edukasi peningkatan cairan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat pencahar bila perlu.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Ada 3 tahap implementasi:
a. Fase Orientasi
Fase orientasi terapeutik dimulai dari perkenalan klien pertama kalinya bertemu
dengan perawat untuk melakukan validasi data diri.
b. Fase Kerja
Fase kerja merupakan inti dari fase komunikasi terapeutik, dimana perawat
mampu memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan, maka dari itu perawat
diharapakan mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam tentang klien dan
masalah kesehatanya.
c. Fase Terminasi
Pada fase terminasi adalah fase yang terakhir, dimana perawat
meninggalkan pesan yang dapat diterima oleh klien dengan tujuan, ketika dievaluasi
nantinya klien sudah mampu mengikuti saran perawat yang diberikan, maka
dikatakan berhasil dengan baik komunikasi terapeutik perawat- klien apabila ada umpan
balik dari seorang klien yang telah diberikan tindakan atau asuhan keperawatan yang
sudah direncanakan.
31
DAFTAR PUSTAKA
Evelyn C., Pearce, (2002), Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year Book,
Toronto.
Nursalam, (2001), Proses Dokumentasi Keperawatan, Edisi I, Salemba Medika, Jakarta. Sudoyo,
Aru W., (2006) , Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV, Jilid III, FKUI, Jakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tarwono, Wartonah, (2004), Kebutuhan Dasar Manusi dan Proses Keperawatan, Salemba
Medika, Jakarta.