Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH ENDOPARASIT

Endoparasit pada Sampel Feses Ruminansia Besar dan Ruminansia Kecil

PPDH PERIODE I TAHUN 2021/2022


KELOMPOK C1

Carina Khairunnisa, S.K.H B9404211064

Di bawah bimbingan:
Prof. Dr. drh. Umi C., MS

LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
IPB UNIVERSITY
BOGOR
2021
Eimeria auburnensis dan Eimeria bovis

Klasifikasi
Infrakingdom : Alveolata
Filum : Apicomplexa
Kelas : Conoidasida
Ordo : Eucoccidiorida
Famili : Eimeriidae
Genus : Eimeria
Spesies : Eimeria auburnensis / Eimeria bovis

Eimeria auburnensis adalah spesies coccidian yang termasuk kurang pathogen. Hewan
yang terinfeksi oleh spesies ini jarang menimbulkan gejala klinis. Eimeria bovis adalah salah
satu dari dua coccidia sapi yang paling pathogen (Indraswari et al. 2017).

Morfologi
Eimeria auburnensis memiliki bentuk ovioid, agak rata pada ujungnya yang kecil,
dinding terlihat licin. Bagian lengkungan pada badan nya disebut micropyle (Gambat 1),
kemudian ada lapisan luar dinding ookista, dan lapisan dalam ookista. Ukurannya 37,9 x 28,9
μm. Eimeria bovis memiliki bentuk ovioid, dinding berlapis dua, dan lapiran luar tidak
berwarna, lapisan dalam berwarna kuning kecoklatan, dan terdapat juga micropyle (Gambar
2). Ukurannya 29,4 x 19,6 μm (Indraswari et al. 2017).

Gambar 1 Eimeria auburnensi micropyle (1), lapisan luar dinding ookista (2), lapisan dalam
ookista (3).

Gambar 2 Eimeria bovis lapisan luar tidak berwarna (1), lapisan dalam kuning kecoklatan
(2), micropyle (3).

Siklus Hidup dan Penularan


Eimeria sp. berawal dari ookista yang keluar bersama feses dari inang yang terinfeksi
dan belum mengalami sporulasi. Ketika ookista yang terlah berspora tertelan, ookista akan
pecah menghasilkan sporokista. Sporokista terdiri dari dua sporozoid. Sporozoid kemudian
menuju ke usus. Saat di usus, sporozoid akan menginfeksi epitel dan berkembang menjadi
sizon. Sizon menjadi semakin besar dan pada ukuran tertentu sizon akan berubah menjadi
merozoid. Perkembangan ini terus berlangsung dalam bentuk gamet jantan dan betina yang
akan menjadi zigot. Hasil pembuahan akan muncul dan memiliki flagella dan mencari epitel
usus bermakrogamet. Kemudian terbentuklah zigot atau ookista yang akan keluar bersama
feses. Protozoa gastrointestinal yang menginfeksi sapi dapat berupa Eimeria aurbunensis dan
Eimeria bovis. Penularan terjadi melalui ookista yang tertelan bersama makanan yang telah
terkontaminasi ookista. Ookista yang terkontaminasi adalah ookista yang telah bersporulasi.
Makanan tersebut terkontaminasi akibat feses yang menumpuk. Ookista berspora kemudian
bertahan untuk waktu yang lama pada kondisi lingkungan yang menguntungkan atau bahkan
ekstrim. Faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi protozoa gastrointestinal adalah
kbersihan lingkungan kandang (Indraswari et al. 2017).

Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan dari Eimeria bovis antara lain adalah diare atau disentri,
tenesmus, dan tempratur badan naik, serta sering diikuti dengan kematian. Gejala klinis yang
khas adalah diare berdarah. Perubahan patologis dapat dilihat pada sekum, kolon, dan 0,3 m
terminal ileum, dan disebabkan oleh gamont-gamont. Pada awalnya mukosa mengalami
pembendungan bersifat oedem dan menebal, disertai dengan petekhiae. Kemudian, mukosa
rusak dan tekelupas. Kerusakan ini dapat terjadi juga pada submucosa (Indraswari et al. 2017).

Fasciola spp.
Klasifikasi
Famili : Fasciolidae
Filum : Plathyhelminthes
Ordo : Plagiotchiida
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola gigantica, Fasciola hepatica

Fasciola hepatica merupakan cacing yang biasa dikenal juga sebagai cacing hati pada
kambing atau sheep liver fluke. Fasciola gigantica merupakan cacing hati yang lebih besar
dibandingkan dengan Fasciola hepatica. Fasciola dapat sensitive terhadap panas, dapat
disterilisasi menggunakan autoclave. Pada suhu <10°C dan kelembaban <25% menghambat
perkembangan tahap larva miracidia. Paparan sinar matahari langsung & lingkungan kering
menghambat kelangsungan hidup metaserkaria F. gigantica. F. gigantica tumbuh subur di
lingkungan yang lebih ringan dan basah (OIE 2021).

Morfologi
Fasciola hepatica memiliki ukuran panjang hingga 30 mm dengan lebar 15 mm.
Fasciola gigantica memiliki ukuran panjang hingga 75 mm dengan lebar 55 mm (CDC 2021).

Siklus Hidup dan Penularan


Telur cacing yang belum matang dikeluarkan di saluran empedu dan keluar melalui
feses. Telur menjadi berembrio di air tawar selama kurang lebih 2 minggu. Telur berembrio
kemudian melepaskan citra miracidia yang menyerang inang perantara yaitu siput. Pada
bekicot, parasite mengalami beberapa tahap perkembangan (sporokista, redia, dan sekaria).
Sekaria dilepaskan dari siput dan berkista sebagai metaserkaria pada perantara air atau substrat
lainnya. Manusia dan mamalia lain terinfeksi dengan menelan atau memakan perantara yang
telah terkontaminasi metaserkaria. Setelah tertelan, metaserkaria keluar dari duodenum dan
menembus dinding usus ke dalam ringga peritoneum. Cacing yang belum matang kemudian
bermigrasi melalui parenkim hati ke saluran empedu, dimana mereka matang menjadi cacing
dewasa dan menghasilkan telur. Pada manusia, pematangan dari metaserkaria menjadi cacing
dewasa biasanya sekitar 3 – 4 bulan. Pertembangan F.gigantica mungkin lebih lama daripada
F.hepatica (CDC 2021).

Gambar 3 Siklus hidup Fasciola spp.

Gejala Klinis
Gejala klinis akut dapat terlihat pada ruminansia seperti demam, ruam kulit, dan
pencoklatan pada skin rashes. Gejala klinis kronis dapat terlihat seperti anemia, penyakit
kuning, dan pencokelatan yang berlanjut pada skin rashes. Lesi patologi lainnya yang dapat
terlihat berupa selaput lendir pucat atau ikterik, jaringan subkutan, lemak perut, hepatitis
berkembang menjadi nekrosis dan fibrosis hati, hati bengkak dengan warna pucat, oranye-
coklat, kolangitis yang menyebabkan fibrosis dan kalsifikasi saluran empedu, splenomegaly
atau limpa yang membesar, gelap, dan rapuh (OIE 2021).

Diagnosis banding
- Kolestasis
- Dirofilariasis
- Dracunculiasis
- Fasciola hepatica
- Fascioloides magna
- Giardiasis
- Infeksi cacing tambang
- Penyakit protozoa usus
- Leptospirosis

Haemonhcus contortus
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Famili : Trichostrongylidae
Ordo : Rhabditida
Filum : Nematoda
Spesies : Haemonchus contortus
Haemonchus contortus merupakan salah satu gangguan infestasi cacing yang sering
terjadi pada peternakan domba. Cacing ini hidup dalam abomasum sebagai penghisap darah
(Inanusantri 1988).

Morfologi
Haemonchus contortus pada cacing betina lebih besar dan panjang dari cacing jantan.
Cacing jantan memiliki panjang 10 – 20 mm, sedangkan cacing betina 18 – 30 mm. Cacing ini
memiliki lanset pada bagian dorsal dari rongga mulut dan papillae cervical berbentuk duri kira-
kira sebesat 300 mikrometer dari ujung anterior. Pada cacing jantan terdapat bursa yang
berbentuk seperti huruf Y dan spikula (Inanusantri 1988).

Siklus Hidup
Siklus hidup Haemoncus contortus adalah langsung (tanpa inang perantara). Cacing
betina dewasa mengeluarkan terlur dan melerakkan telurnya pada stadium morula di lumen
abomasum dan keluar melalui feses. Telur yang berisi embrio akan menetas menjadi larva
stadium 1, yang memakan mikroorganisme dari feses induk semang. Selanjutnya, 1
mengadakan ekdisis menjadi L2 yang lebih aktif dan berenang cepat di dalam air. L2 kemudian
tumbuh menjadi L3 atau larva infektif. Tetapi selubung L2 tidak dilepaskan sehingga L3
memiliki dua larva. L3 tahan terhadap kekeringan dan udara dingin. Pada l3 walaupun tidak
makan, tetapi dapat tetap hidup dari persediaan makanan yang disimpan di dalam sel-sel
ususnya. L3 tinggal di rerumputan sehingga dapat temakan oleh domba. Setelah termakan
kemudian L3 bergerak dari reticulorumen ke abomasum. Di dalam reticulorumen larva infektif
akan segera melepaskan kulit pembungkusnya. L3 kemudian akan berkembang menjadi L4
dalam waktu 48 jam. L4 kemudian masuk kedapam mukosa dan menghisap darah, setelah 3
hari akan berubah menjadi L5. L5 kemudian menjadi dewasa dan pada hari ke-7 cacing menjadi
dewasa di dalam abomasum selama 18 hari. Infestasi dan telur pertama akan dikeluarkan
bersama tinja induk semang setelh infestasi selama 18 – 21 hari (Inanusantri 1988).

Gambar 4 Siklus hidup Haemoncus contortus

Gejala Klinis
Gejala klinis dapat berupa anemia, dengan ditandai kadar hemoglobin menurun, nilai
hematocrit dibawah normal dan jumlah eritrosit berkurang sedangkan leukositnya bertambah.
Dapat dilakukan pemeriksaan tinja dan pemeriksaan post mortem (Inanusantri 1988).
Metode Diagnosa

Metode diagnose yang dapat dilakukan melalu sampel feses berupa identifikasi
mikroskopis telur Fasciola dalam sampel feses merupakan standar emas, sedimentasi feses
berulang mungkin diperlukan, isi duodenum atau aspirasi empedu dapat digunakan untuk
mendeteksi telur Fasciola. Dapat juga dilakukan diagnose melalui sampel darah dengan
membuat apusan darah tebal dan tipis yang dikumpulkan dari hewan hidup selama fase akut
dari penyakit (OIE 2021).

Pemerikasaan Feses
Feses sapi diambil dari setiap individunya dan dimasukkan ke dalam kalium bikromat
2,5%. Pemeriksaan feses dengan metode konsentrasi pengapungan dengan gula sheater. Teknik
yang dilakukan dimulai dari feses sebesar biji kemiri atau kurang lebih 3 gram dimasukkan ke
dalam gelas beker dan ditambahkan air 30 ml sehingga konsentrasinya 10%. Kemudian feses
diaduk hingga homogen. Feses yang sudah homogeny, disaring unruk menyingkirkan bagian
yang berukuran besar, kemudian hasilnnya ditampung dengan gelas baker yang baru. Hasil
filtrate dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge dampai ¾ volume tabung atau skala 10.
Sentrifuge filtrate dengan kecepatan 1.500 rpm selama 2 – 3 menit. tabung sentrifuge kemudian
dikeluarkan dan supernatant dibuang sehingga hanya sisa endapan. Tambahkan larutan
pengapung sampai ¾ volume atau skala 10, diaduk atau dikocok hingga sedimen homogen.
Suspense tersebut disentrifuge kembali dengan kecepatan 1.500 rpm selama 2 – 3 menit.
tabung sentrifuge kemudian dikeluarkan secara perlahan dan ditaruh pad arak tabung reaksi
dengan posisi tegak lurus. Cairan pengapungan ditambahkan kembali secara perlahan dengan
meneteskannya menggunakan pipet Pasteur sampai permukaan cairan cembung. Diamkan
selama 1 – 2 menit dengan tujuan memberikan kesempatan parasite untuk mengapung ke
permukaan. Gelas penutup diambil dan disentuhkan pada permukaan cairan yang cembung,
kemudian tempelkan diatas gelas objek. Pemeriksaan parasite dilakukan dibawah mikroskop
perbesaran 40x dan identifikasi berdasarkan morfologi dan morfometri (Indraswari et al.
2017).

Pencegahan dan Pengobatan

Pencegahan dapat dilakukan dengan baik, jika kita mengetahui seberapa banyak ternak
yang terinfeksi cacing, seberapa besar tingkat serangan dan jenis cacing. Tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan seperti memisahkan ternak muda dengan dewasa, karena ternak yang
muda sangat rentan terhadap infeksi cacing. Kebersihan kandang juga menjadi faktor penyakit
cacing, sehingga harus dijaga sehingga ternak terhindar dari tempat yang basah atau becek.
Pemberian makanan yang bernilai gizi tinggi serta pemeriksaan kesehatan ternak perlu
diperhatikan dan dilakukan secara rutin. Beberapa faktor yang dapat dihindari untuk mencegah
terjadinya parasite cacing seperti kepadatan ternak, kelompok umur, waktu pengembalaan dan
intensitas pengembalaan. Kunci upaya pengendalian penyakit endoparasit yaitu dengan
pemberian pakan mengandung nutrisi yang cukup dan pengendalian parasit di area
pengembalaan dengan sistem pengembalaan yang terkontrol. Untuk menanggulangi infeksi
endoparasit pada ternak yang digembalakan sebaiknya dilakukan rotasi padang
penggembalaan.
Pemberian obat cacing (anthelmentic) merupakan salah satu yang sering dilakukan,
hanya saja terkadang pemakaian yang terlalu sering atau penyalahgunaan obat cacing dapat
meningkatkan kejadian resistensi obat cacing nematoda gastrointestinal. Obat cacing yang
umum dikenal seperti, mebendazol dan albendazol. Kedua obat ini digunakan untuk mengatasi
terapi terhadap cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang (Nasution 2021).
Daftar Pustaka

CDC. 2021. DPDx – laboratory identification of parasites of public health concern: fasioliasis.
Centers for Disease Control and Prevention. [diunduh pada 25 Nov 2021]. Dapat
diakses pada https://www.cdc.gov/dpdx/fascioliasis/index.html
Inanusantri. 1988. Parasit cacing Haemonchus contortus (Rudolphi, 1803) pada domba dan
akibat infestasinya. [skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor.
Indraswari AAS, Suwiti NK, Apsari IAP. 2017. Protozoa gastrointestinal: Eimeria auburnensis
dan Eimeria bovis menginfeksi sapi bali betina di nusa penida. Buletin Veteriner
Udayana. 9 (1): 112 – 116.
Nasution A. 2021. Jenis dan prevalensi endoparasit gastrointestinal pada sapi bali (Bos
sondaicus) di Taman Satwa Pesona Ladangku, Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang,
Sumatra Utara. [Skripsi]. Program Studi S-1 Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sumatra Utara, Medan.
OIE. 2021. Fasciola gigantica. [diakses pada 25 Nov 2021]. Dapat diakses pada
https://www.oie.int/app/uploads/2021/03/fasciola-gigantica-infection-with.pdf

Anda mungkin juga menyukai