Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI SISTEMIK II

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Patologi Sistemik II

Dosen Pengampu : Tyagita Hartady drh. MVSc.

Disusun oleh :

Shofa Fikriyah Nurimtinan 130210160016

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2019
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Patogenesa Koksidia Enteritis


Eimeria dapat diidentifikasi berdasarkan sifat-sifat yang spesifik, yaitu
lokasi lesi yang ditimbulkan, gambaran lesi secara makroskopis, ukuran, warna
dan bentuk ookista, ukuran skizon dan merozoit, lokasi parasit di dalam
jaringan, periode prepaten minimal pada infeksi buatan, waktu minimal untuk
sporulasi, dan sifat imunogenisitas terhadap galur Eimeria yang murni. Setiap
spesies Eimeria memiliki lokasi infeksi yang berbeda-beda, adapun lokasi
infeksi antara lain adalah sepertiga usus bagian depan, sepertiga usus bagian
tengah, atau sepertiga usus bagian belakang. E. acervulina menyerang
sepertiga usus bagian depan, menyebabkan enteritis ringan hingga sedang dan
menyebabkan penebalan mukosa usus. E. acervulina ini biasanya menyerang
ayam tua. E. necratix dan E. maxima menyerang sepertiga usus bagian tengah.
E. necratix merupakan jenis Eimeria yang sangat patogen dan mengakibatkan
angka kematian yang tinggi. E. necratix menyebabkan enteritis berat pada
sepertiga usus bagian tengah. Enteritis sering disertai dengan perdarahan dan
luka yang menyebabkan berak berdarah. E. maxima menyebabkan enteritis
sedang hingga berat pada sepertiga usus bagian tengah, kadang-kadang disertai
dengan penebalan dinding usus dan perdarahan di usus. E. brunetti dan E.
tenella merupakan spesies yang menyerang daerah sepertiga usus belakang. E.
tenella menyebabkan enteritis dan perdarahan di sekum sehingga terjadi berak
darah. E. tenella bersifat patogen dan menyebabkan kematian yang tinggi pada
anak ayam (Tabbu, 2002).
Siklus hidup Eimeria spp. dimulai saat ookista diingesti, maka dinding
ookista akan digerus di dalam ventrikulus, ookista akan pecah dan
membebaskan sporokista. Kimotripsin dan garam empedu di dalam usus akan
membantu pembebasan sporozit dari sporokista. Sporozoit yang bebas akan
memasuki sel epitel dan berkembang menjadi tropozoit, setelah matang
tropozoit akan pecah sehingga merusak epitel usus.
Setelah pecah tropozoit akan berkembang menjadi merozoit. Merozoit ini
akan masuk ke dalam epitel kembali dan berkembang menjadi fase tropozoit
tahap 2 dan pecah membentuk merozoit. Tahap tropozoit dan merozoit ini
disebut sebagai fase skizogoni yang dapat berulang antara 2 hingga 4 kali.
Kemudian ada beberapa spesies, seperti E. tenella dan E. necatrix
menyebabkan kerusakan jaringan (perdarahan dan nekrosis) pada skizon
generesi keduanya. Skizon generasi kedua E. tenella dan E. necatrix
menyebabkan mukosa usus mengalami ruptur karena membebaskan
merozoitnya yang berukuran besar. Selanjutnya merozoit akan berkembang
menjadi makrogamet dan mikrogamet. Sejumlah mikrogamet yang kecil dan
motil akan mencari dan bersatu dengan makrogamet. Zigot yang dihasilkan
akan menjadi dewasa dan membentuk ookista yang akan dibebaskan dari
mukosa usus dan bercampur dengan feses. Seluruh proses membutuhkan 4-6
hari, namun ookista dapat dikeluarkan selama beberapa hari setelah siklus
pembelahan berakhir (Tabbu, 2002). Ookista bersifat resisten terhadap kondisi
lingkungan dan berbagai disinfektan. Ookista dapat hidup selama berminggu-
minggu di dalam tanah, tetapi ketahanannya di dalam litter hanya beberapa hari
karena pengaruh amoniak, jamur, dan bakteri yang ada di dalam litter. Ookista
dapat bertahan selama beberapa minggu pada kondisi optimal, tetapi akan mati
dengan cepat jika kontak dengan temperatur tinggi, temperatur sangat rendah
atau kondisi kekeringan. Ookista akan mati dengan cepat pada temperatur 55
°C atau pada keadaan beku. Ookista tersebut dapat juga mati pada temperatur
37 °C selama 2-3 hari. Kejadian koksidiosis biasanya lebih rendah pada cuaca
panas dan kering dibandingkan dengan cuaca yang dingin dan lembab (Tabbu,
2002).
Patologi anatomi yang biasa ditemukan adalah lesi pada bagian serosa usus
atau sekum. Proses yang terjadi adalah intestinum membengkak dan menebal
akibat perkembangan fase skizongoni Eimeria. Tahap lebih lanjut vili
megalami kerusakan sedangkan sel-sel epitel mengelupas dan diganti tiap dua
hari akibatnya mukosa usus atau sekum akan menipis dan tertutup oleh plak
berwarna putih yang cenderung tersusun melintang sehingga terlihat
menyerupai tangga. Usus atau sekum terkadang terlihat pucat dan mengandung
cairan encer. Lesi pada infeksi ringan akan menunjukkan beberapa plak pada
setiap sentimeter. Plak yang mengandung skizon, gametosit, atau ookista yang
sedang berkembang akan ditemukan jika infeksinya berat. Perubahan jaringan
juga sangat dipengaruhi oleh spesies Eimeria yang menginfeksinya (Soulsby,
1982). Patologi anatomi yang terlihat pada infeksi E. tenella ialah hemoragi,
petechiae pada bagian serosa, dinding sekum menebal dan kadang-kadang
terdapat massa menyerupai keju di lumen sekum. E. acervulina menyebabkan
mukosa usus tipis dan tertutup oleh plak berwarna putih, usus berwarna pucat
dan mengandung cairan. infeksi ringan E. acervuliana menunjukkan lesi
terbatas hanya di duodenum sedangkan pada infeksi berat lesi terlihat
sepanjang usus. Patologi anatomi yang terjadi pada infeksi ringan E. brunetti
adalah perdarahan petechiae di mukosa, sedangkan pada infeksi berat terdapat
nekrosis dan koagulasi di seluruh mukosa usus. E. maxima menyebabkan
enteritis ringan sampai berat pada jejunum dan ileum, kadang-kadang disertai
penebalan dinding usus. Infeksi E. mitis mengakibatkan ileum pucat dan lunak.
Infeksi E. mivati menyebabkan lesi pada duodenum, jika infeksi telah parah
lesi meluas hingga sekum dan kloaka. Lesi yang ditimbulkan mirip dengan E.
acervulina. E. necatrix mengakibatkan usus bagian tengah akan membengkak,
mukosa menebal, lumen terisi cairan darah, runtuhan jaringan, terlihat plak dan
perdarahan petechiae pada bagian serosa. Perubahan makroskopik yang terjadi
akibat infeksi E. praecox adalah lumen berisi cairan kadang-kadang
mengandung mukus, hemoragi, petechiae pada bagian mukosa duodenum
(Johnson, 2004).
1.2 Patogenesa Fasciola Cholangiohepatitis
Infeksi cacing F. gigantica pada sapi berlangsung asymptomatic. Kasus
fascioliasis dapat diamati melalui pemeriksaan postmortem. Perubahan yang
khas dan menciri pada organ hati dan saluran empedu menjadi peneguh
ketepatan diagnosa. Pada pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan bahwa
semua hati sapi aceh yang positif terinfeksi cacing F. gigantica mengalami
kerusakan mencapai parenkim hati dan saluran empedu. Migrasi cacing F.
gigantica melalui dinding intestinal tidak menimbulkan kerusakan pada inang
definitif, tetapi penetrasi dari kapsul hati oleh cacing muda dalam jumlah yang
banyak menimbulkan respons inflamasi kapsul (peri-hepatitis). Migrasi
cacing muda melalui parenkim hati menyebabkan kerusakan jaringan hati
sebelum menuju saluran empedu. Pada fascioliasis akut, kerusakan jaringan
hati dapat menghasilkan pendarahan pada rongga abdominal sehingga migrasi
cacing muda dalah jumlah yang sedikit hanya menimbulkan kelainan patologi
yang ringan dan jarang menampakkan gejala klinis. Selama fase perbaikan
mengikuti migrasi cacing, jaringan hati menunjukkan bermacam tingkatan
fibrosis. Selama F. gigantica hidup di dalam saluran empedu, kondisi saluran
empedu sangat padat dan rapat sehingga mengganggu fungsi normal hati dan
sering menyebabkan pengapuran pada dinding empedu. Kantung empedu
menjadi tropisma bagi survival cacing F. gigantica dewasa yang berpredileksi
dan bertelur di dalam kantung empedu. Telur dialirkan ke keluar bersama tinja
dan mencemari lingkungan. (Shaikh et al, 2004) menunjukkan bercak hitam
dan terang pada permukaan hati, dan penebalan fibrosis pada kantung kerbau
yang terinfeksi F. gigantica. Kantong empedu yang mengalami hiperplasia
menunjukkan disintegrasi, daerah nekrosa, dan sel-sel inflamatori. Kelainan
patologi yang ditimbulkan oleh fasciolosis biasanya tergantung kepada jumlah
metaserkaria yang tertelan pada suatu periode tertentu dan kerentanan hewan.
Infeksi yang berat pada menunjukkan gejala klinis yang nyata, dan dapat
menimbulkan pengurangan produksi. Kasus fasciolosis kronis terjadi pada
semua musim dan gejala klinik termasuk anemia, berat badan berkurang,
penurunan produksi susu, udema submandibula (Talukder et al., 2010).
Aktivitas cacing menghisap darah menyebabkan iritasi pada kantung
empedu sehingga menimbulkan respons inflamasi, dan berasosiasi dengan
kehilangan darah menyebabkan anemia (Raadsma et al., 2007).

1.3 Patogenesa Leucocytozoon Myositis


Penularan Leucocytozoonosis memerlukan bantuan vektor biologis
Simulium sp. dan C. arakawae. Kedua arthropoda tersebut akan
menginjeksikan sporozoit Leucocytozoon sp. ke dalam pembuluh darah inang.
Sporozoit yang telah masuk ke dalam pembuluh darah kemudian akan
berkembang membentuk dua tipe skizon, yaitu skizon hepatic dan
megaloskizon. Skizon hepatic akan terbawa oleh aliran darah menuju hati dan
berkembang di sel-sel kupffer hati. Skizon tersebut berukuran kecil dan akan
berkembang membentuk merozoit. Kumpulan dari merozoit yang berukuran
kecil (20,2x18,5µm sampai 300x248µm dengan rata-rata 120x100µm) disebut
cytomere. Megaloskizon jumlahnya lebih banyak daripada hepatic skizon.
Megaloskizon berkembang pada sel-sel darah seperti sel limfoid dan sel
makrofag. Megaloskizon yang terdapat pada sel-sel darah akan beredar ke
berbagai organ tubuh seperti otak, hati, paru-paru, ginjal, saluran pencernaan,
dan ginjal setelah 6 hari infeksi. Setelah 7 hari infeksi, Hepatic skizon dan
megaloskizon akan mengalami robek dan mengeluarkan merozoit yang telah
berkembang di dalam skizon. Merozoit tersebut akan beredarbersama darah
mengikuti sirkulasi darah perifer. Merozoit tersebut kemudian berkembang
membentuk makrogamet dan mikrogamet (gametogony). Mikrogamet dan
makrogamet akan berkembang menjadi masak dan melakukan fertilisasi
membentuk oocyt di dalam saluran pencernaan vektor nyamuk. Oocyt
kemudian melakukan penetrasi ke dinding saluran pencernaan nyamuk dan
memproduksi sporozoit. Sporozoit tersebut akan menuju kelenjar ludah dan
akan diinjeksikan ke dalam tubuh inang ketika nyamuk menghisap darah inang.
Proses sporogony ini memerlukan waktu kira-kira satu minggu. Infeksi dengan
Leucocytozoon spp. paling sering subklinis tetapi kadang-kadang dapat
menyebabkan penyakit klinis dan bahkan fatal.
Penyakit klinis dan kematian disebabkan oleh anemia yang disebabkan
oleh faktor antierythrocytic yang dihasilkan oleh parasit, tingginya jumlah
gametosit besar yang menghalangi kapiler paru, atau parasit yang menginvasi
endotel pembuluh darah di jaringan (otak, jantung, dll) di mana mereka
membentuk megaloschizont yang membentuk pembuluh dan mengakibatkan
nekrosis multifokal. Perdarahan, splenomegali, dan hepatomegali terlihat.
Titik-titik putih yang terlihat di organ yang terkena adalah megaloschizonts.
Lesi histologis berhubungan dengan perkembangan megaloschizont pada
limpa, hati, jantung, dan organ lainnya. Infeksi Lullulli pada ayam memiliki
tropisme untuk saluran reproduksi dan berhubungan dengan peradangan
saluran telur dan edema dan penurunan produksi telur. Perdarahan peritoneum,
perirenal, dan subdural dilaporkan dengan penyakit berat.
Skizon secara berlebihan memperbesar sel inang dan menyebabkan
hipertrofi inti sel inang. Skizon ini dilepaskan dari sel inang sekitar 9 hari dan
menyebar ke semua organ ayam oleh aliran darah di mana mereka menginap
dan berkembang menjadi individu atau kelompok schizonts. Setelah
penginapan, schizonts mengembangkan kapsul tebal. Skizon ini pecah 2
minggu setelah infeksi dan zoites dibebaskan. Zoit kemudian memasuki
eritrosit atau eritroblast di mana mereka membentuk gametosit. Selain Akiba
ada tiga genera protozoa lain yang telah dilaporkan membentuk kista pada otot
burung. Merozoit dewasa berbentuk bulat dan berdiameter 1 µm. Kista paling
banyak ada di otot ampela tetapi juga ada di otot jantung dan tulang, kista
biasanya berkelompok dan sering sejajar.

1.4 Patogenesa Tumor Mammae (Benign Mixed Tumor)


Faktor endokrin memiliki pengaruh dalam proses terjadinya tumor, hal ini
dikarenakan pengaruh hormon sehingga menyebabkan perubahan struktur dan
fungsi dalam kelenjar mamae (Noreika et al, 1998). Gambaran klinis tumor
mamae muncul dalam bentuk nodul tunggal atau ganda pada parenkim,
bentuknya bervariasi dan kerap ditemukan pada setiap kelenjar, baik tumor
jinak maupun ganas sehingga menyulitkan dalam membedakan tipe tumor.
Namun demikian terjadinya pertumbuhan yang cepat, invasi jaringan lokal dan
ulserasi merupakan karakteristik dari tumor malignant. Sekitar 2/3 dari tumor
mamae ditemukan pada kelenjar empat dan lima, sehingga akan
memungkinkan parenkim lebih banyak pada tingkat ini (Baba dan Catoi,
2007).
Secara klinis, tumor mammae muncul sebagai nodul tunggal atau multipel
di parenkim, dengan atau tanpa keterlibatan puting. Mereka dapat ditemukan
di salah satu dari delapan kelenjar, dan bentuk jinak dan ganas dapat hidup
berdampingan. Sekitar 2/3 dari tumor mammae ditemukan di kelenjar 4 dan 5,
mungkin karena parenkim yang lebih banyak pada level ini. Pada pemeriksaan
klinis, tumor bisa jinak atau ganas, mereka bisa berukuran kecil, kencang,
dengan nodul yang terbatas, yang membuat tidak mungkin dibedakan antara
jinak dan ganas. Pertumbuhan yang cepat, invasi jaringan lokal dan ulserasi
adalah karakteristik keganasan. Karsinoma mammae yang meradang muncul
sebagai pembengkakan difus, dengan keterlibatan multipel kelenjar
kongenerik, terasa nyeri dan hangat. Edema perifer terjadi karena obstruksi
pembuluh limfatik dan pertumbuhan retrograde. Metastasis sering berkembang
melalui rute limfatik, dan juga oleh rute vena. Dalam kasus karsinoma, rute
limfatik adalah yang paling penting, menuju kelenjar getah bening aksila dan
inguinal, dan pembuluh limfatik halus memasuki rongga toraks, memfasilitasi
metastasis paru-paru, serta rongga perut, dengan kemungkinan penyebaran
neoplasma di hati dan organ parenkim lainnya. Situs yang kurang terpengaruh
oleh metastasis adalah tulang panjang dan kerangka. Perlu dicatat bahwa
metastasis paru dapat dibuktikan beberapa bulan sebelum neoplasma mammae
dapat dideteksi secara klinis. Secara radiografi, neoplasma paru dapat
diidentifikasi dalam proporsi 65 hingga 97%, tergantung pada ukuran dan
penentuan nodul. (Baba dan Catoi, 2007).
1.5 Patogenesa Nefrosis Uremia
Uremia adalah meningkatnya kadar urea di dalam darah karena gagal
ginjal kronis, dan menyebabkan berbagai gejala klinis dan lesio multisistemik.
Sindrom uremia yang ditemukan berupa mineralisasi di pleura musculus
intercostalis, degenerasi organ parenkim, dan hiperplasia kelenjar paratiroid.
Penyebab kematian kucing adalah gagal ginjal, yang memicu terjadinya
hipertensi dan menginduksi terjadinya gagal jantung. Penyebab penyakit ginjal
kronis sulit untuk ditentukan dalam kaitannya dengan stadium penyakit.
Kerusakan dapat terjadi pada setiap bagian dari nefron, termasuk glomerulus,
tubulus, jaringan interstitial atau pembuluh darah, yang dapat mengakibatkan
kerusakan ireversibel dan hilangnya fungsi nefron (O’Neill dkk., 2013).
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab pada akhirnya
akan terjadi kerusakan nefron. Apabila nefron rusak, maka akan terjadi
penurunan laju filtrasi glomerolus dan terjadilah penyakit ginjal kronik yang
mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan fungsi non-eksresi.
Penurunan laju filtrasi glomerolus mengakibatkan turunnya klirens kreatinin
dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan
metabolisme protein dalam usus yang mengakibatkan munculnya gejala klinis
seperti anoreksia, nausea maupun vomitus. Peningkatan kreatinin dapat sampai
ke otak sehingga mengakibatkan gangguan syaraf, terutama pada neurosensori
(Surena, 2010). Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi
peningkatan fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan
kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Penyakit ginjal kronis yang melanjut akan mengakibatkan
peningkatan ekskresi protein dalam urine dan hipertensi (Kimmel dan
Rosenberg, 2014)
1.6 Patogenesa Pulmonary Metasistik Malignan Meloma
Invasi adalah suatu proses dimana satu jenis sel tumor melakukan
penetrasi ke jaringan lain yang sel penyusunnya berbeda dari sel tumor
penginvasi. Proses invasi ini merupakan suatu proses yang komplek yang
melibatkan peran dari berbagai faktor biokimia dan seluler dari hewan
penderita. Tiga langkah awal yang dilakukan oleh sel tumor dalam melakukan
invasi ke jaringan disekitarnya meliputi attachment/perlekatan,
degradation/penghancuran dan migration. Karsinoma yang bersifat invasif
biasanya dimulai dengan suatu tahapan yang berkaitan dengan proses infiltrasi
pada membrana basalis yang terdiri dari jaringan kolagen dan non kolagen.
Degradasi dari jaringan kolagen berperan sangat penting dalam proses
penghancuran protein dari membrana basalis. Semua jenis tumor yang bersifat
invasif dan metastasis melakukan proses di atas dengan menghasilkan beberapa
enzim protease. Matriks ekstraseluler dari hewan penderita merupakan suatu
penghalang (barrier) mekanik yang mencegah terjadinya invasi sel tumor.
Proses invasi sel tumor ini dimulai dengan mendegradasi dari matrik
ekstraseluler dengan adanya beberapa bahan yang bersifat proteolitik yang
disekresikan oleh sel tumor (Liotta et al. 1983).

1.7 Patogenesa Plak Atheroma


Sistem kardiovaskuler bekerja secara terus-menerus dan pada kebanyakan
kasus, secara efisien. Tapi masalah dapat muncul ketika aliran darah berkurang
atau tersumbat. Penyakit jantung dapat bersiklus fatal, karena pembuluh darah
terbatas, tidak hanya dapat merusak jantung, tapi juga membuatnya bekerja
lebih keras untuk memompa darah melalui sistem sirkulasi. Kerusakan jantung
menjadikan jantung kurang efisien dan harus bekerja walaupun dengan keras
untuk tetap melanjutkan suplai oksigen ke seluruh tubuh. Sumbatan yang
menyebabkan masalah dibentuk oleh suatu pertumbuhan lekatan yang dikenal
sebagai plak aterosklerotik. Arterosklerosismerupakan suatu proses yang
kompleks. Secara tepat bagaimana arterosklerosis dimulai atau apa
penyebabnya tidaklah diketahui, tetapi beberapa teori telah dikemukakan.
1.8 Patogenesa Pox Dermatitis
Dermatitis adalah peradangan non-inflamasi pada kulit yang bersifat akut,
subakut, atau kronis dan dipengaruhi banyak faktor.Dermatitis adalah
peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh
faktor eksogen dan endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi
polimorfik dan keluhan gatal (Djuanda, 2006). Terdapat berbagai macam
dermatitis, dua diantaranya adalah dermatitis kontak dan dermatitis okupasi.
Dermatitis kontak adalah kelainan kulit yang bersifat polimorfi sebagai akibat
terjadinya kontak dengan bahan eksogen (Dailli, 2005).
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Temuan Histopatologis Koksidia Enteritis

Pemeriksaan mikroskopis pada organ usus atau sekum ditemukan adanya


gametosit intraseluler yang berbentuk ovoid yang terletak di dalam sel epitel
pada vili usus. Pada infeksi yang bersifat moderat hingga berat, maka ujung
vili akan mengalami nekrosis, ditemukan koksidia enterosit sehingga vili akan
terpotong dan bersatu mengakibatkan penebalan pada mukosa. Histopatologi
ayam yang terinfeksi E. tenella adalah infiltrasi heterofil pada submukosa dan
ditemukannya skizon pada lamina propria. Sedangkan pada infeksi berat terjadi
kerusakan jaringan, baik pada lapis mukosa maupun muskularis. Sebagai
akibat dari kerusakan sel epitel maka tubuh akan merespon dengan kehadiran
sel radang. Sel radang bertugas memfagositosis benda asing dan sel yang rusak
serta meningkakan sistem imunitas tubuh (Conway & McKenzie 2007). Ada
beberapa tipe sel pada radang yang mengambil bagian dalam proses radang
diantaranya adalah sel polimorfonuklear (neutrofil, eosinofil, basofil), limfosit,
makrofag, dan sel plasma (Sudiono et al. 2003). Makrofag merupakan sel yang
relatif besar dengan diameter sekitar 10-30 μm, bergerak dengan cara ameboid,
memberikan respon terhadap rangsangan kemotaksis tertentu (sitokin dan
kompleks antigen-antibodi) dan mempunyai kemampuan fagositik untuk
mencerna mikroorganisme dan sel debris. Selain itu, makrofag dapat
membatasi organisme (agen asing) yang hidup jika tubuh tidak mampu
membunuhnya dengan enzim lisosom. Apabila makrofag kemudian ikut serta
dalam reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap organisme tersebut,
makrofag sering mengalami kematian dan melepaskan enzim lisosomnya
sehingga menyebabkan nekrosis yang meluas (Efendi 2003). Makrofag pada
jaringan yang mengalami radang berasal dari monosit darah yang telah
bermigrasi keluar dari pembuluh darah dan mengalami aktivasi di dalam
jaringan. Karena itu makrofag merupakan bagian dari sistem fagosit
mononuklear.
Limfosit memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan sel PMN
(polimorfonuklear). Biasanya didominasi dengan inti yang bulat serta
mengandung kromatin yang padat sedang sitoplasmanya sedikit. Limfosit
dibentuk dalam limfonodus dan kadang-kadang dalam folikel limfoit
(Dellmann & Brown 1992). Limfosit dimobilisasi pada keadaan setiap ada
rangsang imun spesifik (infeksi) dan peradangan yang diperantarai non imun
(infark atau trauma jaringan). Telah disebutkan di atas bahwa aktivasi limfosit
memiliki hubungan dengan aktivasi makrofag sehingg terjadi fokus radang
akibat proliferasi dan akumulasi makrofag di tempat cedera (Kumar et al. 2000;
Underwood 1999). Sel plasma merupakan produk akhir dari aktivasi sel
limfosit-B yang mengalami diferensiasi akhir. Sel plasma dapat menghasilkan
antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen di tempat radang atau
melawan komponen jaringan yang berubah. Eosinofil Eosinofil merupakan
leukosit polimorfonuklear yang biasa dijumpai pada jaringan yang terinfeksi
parasit. Keberadaan eosinofil dipicu oleh adanya protein asing. Eosinofil juga
akan bermigrasi dari pembuluh darah dalam jumlah besar jika terjadi proses
penyembuhan dari radang yang nonspesifik (Sudiono et al. 2003). Eosinofil
merupakan sel substrat peradangan dalam reaksi alergi. Aktivasi dan pelepasan
racun oleh eosinofil diatur dengan ketat untuk mencegah penghancuran
jaringan yang tidak diperlukan (Sudiono et al. 2003).
2.2 Temuan Histopatologis Fasciola Cholangiohepatitis
Pemeriksaan secara mikroskopis pada seluruh sampel kantung empedu
sapi bali terinfeksi F.gigantica menunjukkan adanya nekrosis pada epitel
penyusun selaput lendir kantung empedu. Beberapa daerah nekrosis meluas
sampai bagian lamina propria. Hiperplasia dan hipertrofi ditemukan baik pada
sel-sel penyusun kelenjar mukosa maupun kelenjar serosa kantung empedu.
Perdarahan dan infiltrasi sel-sel radang hampir selalu teramati pada daerah
lamina propria. Selain itu ditemukan juga proliferasi fibroblas dan kolagen
pada daerah selaput lendir kantung empedu. Perubahan patologi pada kasus
fasciolosis sapi terutama disebabkan oleh adanya aktivitas migrasi dan iritasi
spini tugumen F.gigantica pada selaput lendir kantung empedu sapi. Iritasi
spini yang berkepanjangan dapat menimbulkan perubahan berupa; nekrosis,
perdarahan, peradangan, hiperplasia, dan proliferasi seluler pada jaringan atau
organ yang dilaluinya (Shaik et al., 2004) Keberadaan cacing hati F.gigantica
dapat menimbulkan lesi kronis berupa nekrosis pada selaput lendir kantung
empedu. Sebaran nekrosis sangat ditentukan oleh jumlah cacing hati yang
menginfeksi dan zat toksik yang disekresikan.Iritasi sebatas lamina propria
selaput lendir kantung empedu dapat mengakibatkan rupturnya pembuluh
darah dan berakhir dengan perdarahan. Perdarahan juga dapat terjadi karena
adanya aktivasi organ blood sucking cacing F.gigantica. Perdarahan parah
dapat terjadi karena rusaknya sebagian besar pembuluh darah kantung
empedu.Hal ini biasanya mengakibatkan anemia tipe hipokhromik normositik
(Lotfollazadeh et al., 2008). Menunjukan selaput lendir yang tidak terinfeksi
cacing F.gigantica memiliki vili mukosa terlihat pendek, serabut kolagen tipis,
serta dijumpai beberapa kelenjar mukosa dan serosa. Respons seluler
teraktivasi sejalan dengan dimulainya jaringan hati yang terinfeksi oleh cacing
hati F.gigantica. Makrofag dan eosinofil berperan penting dalam inaktivasi
parasit dengan cara membebaskan molekul sitotoksik ke dalam permukaan
tubuh cacing (Piedrafita et al., 2001).
Adanya infiltrasi limfosit yang ditemukan pada daerah lamina propria
umumnya berhubungan dengan respons jaringan terhadap adanya cacing
dewasa F.gigantica dalam waktu lama pada selaput lendir kantung empedu
(Clery et al., 1999). Proliferasi kolagen yang ditemukan menyebar di daerah
lamina propria, disebabkan oleh adanya rangsangan prolin yang disekresikan
oleh cacing F.gigantica (Modavi & Isseroff, 1994) mengemukakan bahwa,
proliferasi kolagen secara mikroskopis ditandai dengan adanya penebalan pada
selaput lendir kantung empedu.
2.3 Temuan Histopatologis Leukocytozoon Myositis
Dinding kista tipis tetapi menebal dan membentuk invaginasi. Miopati
ringan sampai berat dengan kista yang dikelilingi atau dipenuhi darah.
Kehadiran skizon yang lebih kecil di organ visal dan fakta bahwa skizon ini
menyebabkan hipertrofi inti sel inang. Ditemukan di otot, memiliki dinding
kista yang tebal, dan mengandung zoites saat dewasa. Kista pada
leucocytozoonosis yang menyimpang, seperti pada A. caulleryi, tidak memiliki
kompartemen. Ada kemungkinan bahwa gametosit berpigmen adalah hasil dari
replikasi kista yang terlihat pada otot.
2.4 Temuan Histopatologis Tumor Mammae (Benign Mixed Tumor)
Pada pemeriksaan histopatologi, adanya indikasi metastase sel-sel tumor
kelenjar mammae ke organ lain melalui pembuluh darah dan pembuluh limfe
ditandai dengan adanya sel-sel tumor pada pembuluh darah serta pembuluh
limfe. Pembuluh darah ditandai dengan adanya satu atau dua lapis otot polos,
sedangkan pembuluh limfe ditandai dengan satu lapis endotel. Secara histologi
pada pembuluh darah dapat ditemukannya adanya sel-sel darah merah
sedangkan pada pembuluh limfe tidak. Dari hasil penelitian menunjukkan
terjadinya penyebaran tumor melalui pembuluh darah dan pembuluh limfe
kelenjar mammae. Dari hasil temuan penelitian ini dapat diketahui tumor dapat
memasuki pembuluh darah dan pembuluh limfe. Sel tumor yang berada dalam
pembuluh darah dan pembuluh limfe dapat bermetastase ke organ tubuh yang
lainnya. Tumor akan memasuki dinding pembuluh darah dan apabila
endotelnya rusak akan terjadi trombosis pembuluh darah. Apabila tumor itu
masuk lumen pembuluh darah, maka pertumbuhan tumor ini akan
mengakibatkan obstruksi dari pembuluh darah (Berata et al., 2011).
Sel tumor malignant yang berproliferasi dapat melepaskan diri dari sel
tumor induk dan masuk ke sirkulasi untuk menyebar ke tempat lain (metastase)
(Wilson, 2006). Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh faktor imunitas dari
masing-masing anjing yang berbeda-beda, kemampuan dari sistem imun dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran tumor.
Hasil evaluasi dari gambaran histopatologi menunjukkan adanya
abnormalitas bentuk dan abnormalitas sel yang terdapat pada pembuluh darah
dan pembuluh limfe kelanjar mammae. Tingkat keganasan tumor berhubungan
dengan kemampuan dari tumor untuk bermetastase. Setiap tumor terdiri atas
subklonal sel tumor yang memiliki kemampuan metastase yang berbeda pada
setiap individu (Tjarta, 2002).
2.5 Temuan Histopatologis Nefrosis Uremia

Secara histopatologi ditemukan berbagai perubahan yang disebabkan


urolithiasis dan uremia, diantaranya ginjal mengalami nefrolithiasis, gagal
ginjal kronis dan fibrosis, hati mengalami nekrosa sentrilobuler, dan paru-paru
yang mengalami hemoragi, kongesti, dan emfisema. Pada paru-paru ditemukan
multifokal abses akibat infeksi jamur yang menunjukkan kucing mengalami
infeksi sekunder akibat imunosupres. Epitel tubulus yang mengalami
degenerasi dan nekrosa tampak terlepas dari membran basalnya. Beberapa
tubulus yang nekrotik dicirikan oleh inti yang piknotis dan struktur sitoplasma
yang tidak telihat jelas. Inti yang piknotis berwarna lebih gelap, padat seperti
limfosit, dan lebih berwarna hematoksilin. Epitel tubulus merupakan bagian
yang sensitif terhadap bahan-bahan toksik, bahan toksik dapat menimbulkan
perubahan pada epitel tubulus berupa cloudy swelling, degenerasi hialin,
degenerasi lemak, dan nekrosa (Mu’nisa et al. 2013). Epitel tubuli yang
nekrotik tampak berdilatasi dan hiperselular. Tubuli kemungkinan berisi sel
nekrotik, debris dan hialin berbutir (Carlton dan McGavin 1995).
Nekrosa tubuli dapat disebabkan keadaan iskemia atau zat toksik yang
masuk ke epitel tubuli. Respon sel epitel tubuli berupa degenerasi yang
kemudian dilanjutkan dengan nekrosa dan deskuamasi epitel.

2.6 Temuan Histopatologis Pulmonary Metasistik Malignan Meloma


Tumor primer melanoma ditemukan di gingiva, kemudian bermetastatik
melalui pembuluh darah dna bersirkulasi. Di paru-paru ditemukan sebagai
embolus, sementara di pembuluh darah adalah trombus. Kemudian menyebar
di ruang alveol hingga luman bronkhiolus. Metastasis tumor melalui buluh
darah akan menyebabkan gangguan sirkulasi beberapa kongesti dan edema
pulmonum.
2.7 Temuan Histopatologis Plak Atheroma

Aterosklerosis dicirikan dengan adanya akumulasi lipid intraseluler dan


lipid ektraseluler, sel busa dan proliferasi sel otot halus arteri dan akumulasi
komponen jaringan ikat. Terlihat adanya penumpukan lipid berwama hitam
yang merupakan bentuk plak ateroma pada tunika intima. Selain itu, akurnulasi
lipid juga terlihat pada tunika media sebagai butiian-butiran hitam. Massa sel
intimal adalah area putih dan menebal di titik-titik cabang di pohon arteri,
mengandung sel otot polos dan jaringan ikat tetapi tidak ada lipid. Lokasi lesi
ini di cabang arteri berkorelasi baik dengan lokasi lesi aterosklerotik. Area
antara lumen dan inti nekrotik, disebut tutup fibrosa, mengandung sel otot
polos, makrofag, limfosit (terutama sel T), sel busa sarat lipid dan komponen
jaringan ikat. Kristal kolesterol dan sel raksasa benda asing mungkin ada di
dalam jaringan fibrosa dan area nekrotik. Lalu pembuluh yang baru terbentuk
rapuh dan dapat pecah, mengakibatkan ekspansi akut plak karena perdarahan
intraplaque. (Yl2-Herttuala et al., 1996)
2.8 Temuan Histopatologis Pox Dermatitis

Ditemukan adanya infltrasi leukosit, asam nonanoat, kemudian sebagian


kecil infiltrasi epidermis. Sel mononuklear mengalami infltrasi oleh sejumlah
kelompok yang signifikan

Berbagai perubahan epidermis termasuk hyperkeratosis sedang, ringan


hingga parakeratosis dan acanthosis, dan area spongiosis dan eksositosis.
Umumnya menunjukkan peningkatan kepadatan dan dinding Ketebalan,
fibrosis pada dermis, karena peningkatan produksi kolagen.
DAFTAR PUSTAKA

Balqis, Ummu. 2013. Perubahan Patologi Anatomi Hati dan Saluran Empedu Sapi
Aceh Yang Terinfeksi Fasciola gigantica. Agripet : Vol (13) No. 1 : 53-
58.

Kardena, I Made. 2011. Gambaran Histopatologi Selaput Lendir Kantung Empedu


Sapi Bali yang Terinfeksi Cacing Fasciola gigantica. Jurnal Veteriner
Maret 2016 Vol. 17 No. 1 : 16-21.

Prof. Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS.,Ph.D., APVet., Dipl. ACCM. 2014.
PENYAKIT TUMOR PADA HEWAN: BIOLOGI DAN UPAYA
PENANGANANNYA.

Sholihah, Suci Siti. 2015. STUDI PATOMORFOLOGI KASUS UROLITHIASIS


DAN SINDROM UREMIA PADA KUCING.

Yanuartono. 2017. Penyakit Ginjal Kronis pada Anjing dan Kucing: Manajemen
Terapi dan Diet. JURNAL SAIN VETERINER 35 (1).

Anda mungkin juga menyukai