Anda di halaman 1dari 13

PATOFISIOLOGI, FARMAKOLOGI DAN TERAPI DIET

PADA KASUS KRITIS DENGAN GANGGUAN PENCERNAAN

Oleh :

1. Yuni Arroh Manita

2. Devika Amara Safitri

3. Fety Fauziah

4. Aan Rudiyanto

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS SAIN AL-QURAN

2023
A. ANATOMI FISIOLOGI

Usus besar atau colon berbentuk saluran muscular berongga yang


membentang dari sekum hingga kanalis ani dan dibagi menjadi sekum, kolon
(assendens, transversum, desendens, dan sigmoid) dan rectum. Katup
ileosekal mengontrol masuknya kimus kedalam kolon, sedangkan otot
sfingter eksternus dan internus mengontrol keluarnya feses dari kanalis ani.
Diameter kolon kurang lebih 6,3 cm dengan panjang kurang lebih 1,5 m
(Lestari dan Agus, 2018).
Usus besar memiliki berbagai fungsi, yang terpenting adalah absorbsi air
dan elektrolit. Ciri khas dari gerakan usus adalah pengadukan haustral.
Gerakan meremas dan tidak progresif ini menyebabkan isi usus bergerak
bolak balik, sehingga memberikan waktu untuk terjadinya absorbs. Peristaltic
mendorong feses ke rectum dan menyebabkan peregangan dinding rectum
dan aktivasi reflex defekasi (Lestari dan Agus, 2018).
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam colon berfungsi mencerna
beberapa bahan, membantu penyerapan zat gizi dan membuat zat penting.
Beberapa penyakit serta antibiotic bisa menyebabkan gangguan pada bakteri
dalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang menyebabkan dikeluarkannya
lender dan air sehingga terjadilah diare (Lestari dan Agus, 2018).
B. DEFINISI

Colitis ulseratif adalah penyakit yang terjadi sepanjang kolon dan


melibatkan hanya mukosa dan submukosa dari usus besar. Penyakit biasanya
mulai dari rectum dan kolon distal, menyebar ke atas melewati katup
rektosigmoid dan melibatkan sebagian besar sigmoid dan kolon desendens.
Penyakit meluas dengan batas yang jelas antara bagian yang sehat dan sakit.
Colitis ulseratif menyebabkan inflamasi, penebalan, kongesti, edema, dan
kehilangan darah melalui laserasi kecil yang kemudian berkembang menjadi
abses. Edema dapat menyebabkan kerapuhan parah dari mukosa, dan
perdarahan serta perforasi dapat terjadi karena hanya trauma minor. Penyakit
colitis ulseratif dapat terjadi pada semua usia, tetapi angka kejadian lebih
tinggi pada dewasa muda dan perempuan (Black & Hawks, 2014).
Lesi yang paling menjadi khas colitis ulseratif adalah infiltrate
inflamatoris yang disebut abses kripta. Abses ini terjadi atas leukosit
polimorfonuklear, limfosit, sel darah merah, dan debris seluler yang muncul
di dasar kripta Liberkuhn. Sekresi dari abses kripta menghasilkan cairan
puluren dari mukosa usus. Abses menjadi nekrotik dan dapat menjadi ulkus
Black & Hawks, 2014).
Infeksi sekunder dari colitis ulseratif menghasilkan reaksi inflamatoris
menyembuh, jaringan parut dan fibrosis, dengan penyempitan, penebalan, dan
pemendekan kolon, serta hilangnya lipatan haustra dapat terjadi.
Kanker kolon lebih umum terjadi pada klien dengan colitis ulseratif
daripada populasi umum. Angka kejadian lebih tinggi jika colitis terjadi pada
klien usia 16 tahun dan jika klien telah mengalami kondisi tersebut selama
lebih dari 20 tahun.
Mega kolon toksik adalah dilatasi ekstrem dari segmen kolon yang
mengalami penyakit (seringnya segmen transverse) yang menyebabkan
obstruksi komplit. Mega kolon toksik biasanya terjadi selama eksaserbasi
akut colitis ulseratif, dan dapat terjadi setelah adanya hypokalemia, barium
enema, atau penggunaan antikolinergik, opioid, kortikosteroid, atau
antibiotic. Pertumbuhan berlebihan dari bakteri berkontribusi kepada
komplikasi ini.
C. ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit colitis meliputi factor familial, infeksi, imunologik,
dan psikologik (Dina, 2018) :
1. Factor familial/genetic
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang
kulit hitam dan orang China, dan insidennya meningkat (3 sampai 6 kali
lipat) pada orang Yahudi dibandingkan orang Non Yahudi. Hal ini
menunjukkan bahwa dapat ada predisposisi genetic terhadap
perkembangan penyakit ini.
2. Factor Infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencairan terus-
menerus untuk kemungkinan peyebab infeksi. Di samping banyak usaha
untuk menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang
sedemikian jauh di isolasi. Laporan awal isolate varian dinding sel
Pseudomonas atau agen yang dapat ditularkan yang menghasilkan efek
sitopatik pada kultur jaringan masih harus di konfirmasi.
3. Factor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep
bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini
(misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan
bahwa zat teraputik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat
menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif.
Pada 60-70% pasien dengan colitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA
(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-
ANCA tidak terlibat dalam pathogenesis penyakit colitis ulseratif, namun
ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, dimana pasien dengan p-ANCA
negative lebih cenderung menjadi HLA-DR4 positif.
4. Factor ligkungan
Ada hubungan terbalik antara operasu apendiktomi dan penyakit colitis
ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit colitis ulseratif
menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi
apendiktomi. Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan
risiko penyakit colitis ulseratif diantara perokok dibandingkan dengan
yang bukan perokok. Analis meta menunjukkan risiko penyakit colitis
ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan
perokok.
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi utama dari colitis ulseratif adalah diare (defekasi > 20 kali
sehari) dan adanya darah pada feses. Derajat keparahan dan frekuensi diare
tergantung pada luas kolon yang terkena. Diare berat dapat menyebabkan
hilangnya 500-17.000 ml air dalam 24 jam. Feses cair terjadi dengan
tenesmus dan dapat mengandung darah, lendir, dan pus. Sensasi urgensi dan
nyeri abdomen melilit dapat terjadi bersamaan dengan diare. Klien biasanya
mengalami kram, nyeri abdomen, dan sakit pada kuadran kiri bawah (Black
& Hawks, 2014).
Mual, muntah, anoreksia, demam, penurunann berat badan, dan potassium
serum yang turun dapat terjadi pada penyakit berat. Selain itu, klien
kehilangan protein plasma, protrombin, dan cairan. Anemia dapat terjadi
dengan kehilangan darah berat dan penurunan asupan zat besi (Black &
Hawks, 2014).
Temuan fisik termasuk nyeri pada kuadran kiri bawah, tegangan otot, dan
(pada colitis ulseratif berat) distensi abdomen. Setelah nyeri reda, colitis
ulseratif dapat terjadi lagi setelah serangan stress emosional, indiskresi diet,
atau memakan iritan seperti laksatif dan antibiotic. Beban fisik, infeksi
saluran pernapasan, dan kelelahan dapat memicu serangan (Black & Hawks,
2014).
E. PATOFISIOLOGI
Perdarahan terjadi sebagai akibat dari ulserasi. Lesi berlanjut, yang terjadi
satu secara bergiliran, satu lesi diikuti oleh lesi yang lainnya. Proses penyakit
mulai pada rectum dan akhirnya dapat mengenai seluruh kolon. Akhirnya
usus menyempit, memendek, dan menebal, akibat hipertrofi muskuler dan
deposit lemak.
Colitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada kolon,
yang merupakan perluasan dari rectum. Kelainan pada rectum yang menyebar
ke bagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang normal tidak
dijumpai. Kelainan ini akan berhenti pada daerah ileosekal, namun pada
keadaan yang berat kelainan dapat terjadi pada ileum terminalis dan apendiks.
Pada daerah ileosekal akan terjadi kerusakan sfingter dan terjadi
inkompetensi.
Panjang kolon akan menjadi 2/3 normal, pemendekan ini disebabkan
terjadinya kelainan muskuler terutama pada kolon distal dan rectum.
Terjadinya struktur tidak selalu didapatkan pada penyakit ini, melainkan
dapat terjadi hipertrofi local lapisan muskularis yang akan berakibat stenosis
yang reversible.
Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa
pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi pada
penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding usus. Pada permulaan
penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa. Edema dapat menyebabkan
kerapuhan hebat sehingga terjadi perdarahan pada trauma yang hanya ringan,
seperti gesekan ringan pada permukaan.
Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah menembus
dinding kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa, menimbulkan
terowongan dalam mukosa. Mukosa kemudian terlepas menyisakan daerah
yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mula-mula tersebar dan dangkal, tetapi
pada stadium yang lebih lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih
luas sekali sehingga menyebabkan banyak kehilangan jarigan, protein, dan
darah.
F. PATHWAY KOLITIS

Faktor Ekstrinsik Faktor Intrinsik

Diet, infeksi, Gangguan sistem imun Genetik


obat-obatan (alergi, autoimun)

Reaksi inflamasi di
lapisan dan dinding usus

Lesi pada mukosa usus Kolitis Ulseratif Infeksi kuman

Pembentukan abses Mengeluarkan toksin Permeabilitas usus


meningkat

Abses pecah Adanya gangguan


Absorpsi
fungsi mukosa
berkurang
Iritasi pada mukosa
Masuk ke usus
Gangguan
metabolisme cairan
Merangsang reseptor nyeri
dan elektrolit di usus
Gangguan keseimbangan
floral usus
Pengeluaran neurotransmitter Diare
bradikinin, serotinin, dan
histamin disampaikan ke SSP
Bakteri usus meningkat

Persepsi nyeri
Asam lambung meningkat

Nyeri akut Tidak Nasfu Makan / anoreksia

Nutrisi Kurang dari kebutuhan


tubuh
G. KOMPLIKASI
Komplikasi pada penyakit colitis antara lain :
a. Penyempitan lumen usus.
b. Pioderma gangrenosa.
c. Episkleritis.
d. Uveitis.
e. Arthritis.
f. Spondylitis ankilosa.
g. Gangguan fungsi hati.
h. Karsinoma kolon.
i. Retinitis.
j. Hemoragi.
k. Perforasi.
l. Neoplasma malignan.
m. Nefrolitiasis.
n. Eritema nodosum.
o. Batu ginjal.
p. Batu empedu.
H. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Obat-obatan
a. Terapi Simtomatis
Mengatasi gejala diare, spasme atau nyeri ketidaknyamanan
epigastrum, maka diberikan obat antidiare, antispasmodic dan Pereda
asam lambung. Loperamide dan kombinasi dari diphenoxylate dan
atropine untuk mengurangi pergerakan usus dan urgensi rektum.
Cholestyramine untuk mengurangi diare pada pasien CD yang sudah
direseksi ileumnya. terapi antikholinergik dicyclomide untuk
memabantu mengurangi spasme pada intestinal (Danastri and Putra,
2013).
b. Terapi Step-Wise
Aminosalisilat dapat membantu dalam mempertahankan
remisi pada pasien dan dapat mencegah rekurensi pada pasien CD
yang sudah ditangani dengan pembedahan. Antibiotik metronidazole
dan ciprofloxacin dapat menginduksi remisi pada pasien. Obat anti
inflamasi yang digunakan pada peradangan dengan perluasan akut
menggunakan kortikosteroid. Kortikosteroid bersifat tidak untuk
mempertahankan remisi pada kondisi tersebut (Danastri and Putra,
2013).
c. Obat-obatan sedative dan anti diare/anti peristaltic digunakan untuk
mengurangi peristaltic sampai minimum untuk mengistiirahatkan
usus yang terinflamasi. Terapi ini dilanjutkan sampai frekuensi
defekasi dan konsistensi feses pasien mendekati normal.
d. Sulfonamida seperti sulfasalazine (asulfidine) atau sulfisoxazol
(gantrisin) biasanya efektif untuk menangani inflamasi ringan dan
sedang. Antibiotic digunakan untuk infeksi sekunder, terutama untuk
komplikasi purulent seperti abses, perforasi, dan peritonitis.
2. Pembedahan
Pembedahan umumnya digunakan untuk mengatasi colitis
ulseratif bila penatalaksanaan medical gagal dan kondisi sulit diatasi,
intervensi bedah biasanya di indikasi untuk colitis ulseratif. Pembedahan
dapat di indikasikan pada kedua kondisi untuk komplikasi seperti
perforasi, hemoragi, obstruksi megacolon, abses, fistula, dan kondisi sulit
sembuh.
3. Masukan diet dan cairan.
Ada 2 jenis terapi nutrisi yaitu terapi nutrisi primer dan terapi
nutrisi suportif. Tujuan dari terapi nutrisi primer yaitu :
a. Mengurangi reaksi peradangan yang diakibatkan dari penyakit itu
sendiri.
b. Menghambat aksi spesifik dari molekul peradangan.
c. Merubah sel target yang terlibat dalam respon imun sehingga sintesis
molekul peradangan dapat termodifikasi.

Berdasarkan (Masrul et al., 2018) salah satu tujuan dari terapi


gizi yaitu untuk mengurangi risiko malnutrisi dengan cara memberikan
asupan energi dan suplemen zat gizi seperti antioksidan, suplemen PUFA,
Glutamin, butirat, prebiotik dan probiotik. Pasien dengan dapat diberikan
diet normal selama masa remisi berlangsung dengan tetap memperhatikan
gejala yang terjadi. Diet perlu dirubah apabila terjadi serangan akut pada
pasien. Selama serangan akut terjadi maka diet yang perlu dilakukan pada
pasien adalah :

a. Makanan porsi kecil tapi sering


b. Hindari makanan yang merangsang saluran pencernaan
c. Membatasi makanan yang mengandung serat larut (biji-bijian, kacang-
kacangan, sayuran berdaun hijau, buah dan gandum)
d. Membatasi asupan karbohidrat tinggi dan yang menimbulkan gas
e. Kurangi makanan yang berminyak atau di goreng
f. Mengandung prebiotik dan probiotik
Cairan oral, diet rendah residu-tinggi protein-tinggi kalori, dan terapi
suplemen vitamin dan pengganti besi diberikan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit yang
dihubungkan dengan dehidrasi akibat diare, dilatasi dengan terapi
intravena sesuai dengan kebutuhan. Adanya makanan yang
mengeksaserbasi diare harus dihindari. Susu dapat menimbulkan diare
pada individu intoleran terhadap laktosa. Selain itu makanan dingin dan
merokok juga dapat dihindari, karena keduanya dapat meningkatkan
morbilitas usus. Nutrisi parenteral total dapat diberikan.
4. Psikoterapi
Ditunjukkan untuk menentukan factor yang menyebabkan stress pada
pasien, kemampuan menghadapi factor-faktor ini, dan upaya untuk
mengatasi konflik sehingga mereka tidak berkabung karena kondisi
mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Dina. (2018). Kolitis Ulseratif ditinjau dari Etiologi, Klinik, dan Patogenesa.
Medan :USU e-Repository
Black, Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Singapore:Elsevier
Lestari. (2018). Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika
Syaifuddun. (2014). Anatomi Fisiologi. Jakarta: EGC
Budi, dkk. (2017). NANDA-1 Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta:EGC
Bulechek, dkk. (2016). Nursing Intervension Classification(NIC).Singapura:EGC

Anda mungkin juga menyukai