Anda di halaman 1dari 9

MANAJEMEN DAN KESEHATAN SAPI BALI

“RINGWORM PADA SAPI BALI”

OLEH:

Fasya Abimata 18-071


Daniella Everetta 18-084
Katharina Diena Bhoki 20-002
Stephanie Levina ` 20-003
Rahmat Ade Verdiansyah 20-018
Fadhilla Suryadhi 20-037

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2022
I. PENDAHULUAN
Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi pada penyakit terutama di negara-
negara tropis. Penyakit kulit akibat jamur merupakan penyakit yang sering muncul di
tengah masyarakat dan wilayah Indonesia. Iklim tropis dengan kelembaban udara yang
tinggi di Indonesia sangat mendukung pertumbuhan jamur.
Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan adalah
dermatofit (dermatophyte, dalam bahasa Yunani, yang berarti tumbuhan kulit) yang
menyebabkan terjadinya infeksi jamur pada kulit, rambut, kuku, dan selaput lendir.
Dermatofit termasuk dalam kelompok jamur yang menyebabkan kelainan yang disebut
infeksi dengan "ringworm".
Ringworm adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh jamur
dermatofita dan dapat menyerang berbagai jenis hewan termasuk sapi. Penyakit
ringworm mampu menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi dalam usaha peternakan
dan bersifat zoonosis. Ringworm pada sapi telah banyak dilaporkan di berbagai negara.
Penyakit ini mampu menimbulkan kerugian ekonomi dalam usaha peternakan dan juga
berpotensi menularkan infeksinya kepada manusia.
● Judul Kasus : Ringworm Pada Sapi Bali
● Sinyalemen:
Pasien merupakan seekor sapi Bali betina berumur 4 tahun. Pemeriksaan fisik
ditemukan lesi yang mengalami keratinisasi berdiameter ± 2-7 cm pada permukaan
kulit. Pemeriksaan penunjang yg dilakukan pengerokan lesi kulit dan kultur pada media
SDA ditemukan jamur arthrospora, sporangiospora koloni dermatofita. Lesi muncul
pasca sapi digembalakan di padang. Sistem pemeliharaan semi intensif pada musim
hujan, sedangkan pada musim kemarau secara intensif. pakan yang diberikan
kombinasi gamal dan petes. Jumlah populasi sapi 16 ekor. Yang menunjukkan gejala
hanya 1 ekor. Sudah divaksin. Sapi diikat didepan rumah, dekat dengan kandang babi.
II. ETIOLOGI
Dermatofitosis atau ringworm adalah penyakit infeksi kutaneus superfisial yang
dapat menyerang lapisan berkeratin seperti stratum korneum kulit, rambut, dan kuku.
Penyakit ini disebabkan oleh jamur dermatofita dan mampu menginfeksi berbagai
hewan. Tiga genus jamur dermatofita yaitu Microsporum dan Trichophyton Ringworm
pada sapi Bali disebabkan oleh jamur dermatofit yaitu jamur dari genus Trichophyton
dan spesies Trichophyton verrucosum, T. mentagrophytes dan T. megninii.
Pertumbuhan jamur penyebab Ringworm didukung dengan kondisi kandang
yang lembab karena sirkulasi udara yang kurang baik, cahaya tidak masuk kedalam
kandang, serta kebersihan kandang kurang terjaga (Putriningsih dkk, 2016). Selain itu
juga, Ringworm lebih sering terjadi di negara-negara yang beriklim tropis atau dingin,
karena dalam bulan-bulan musim dingin, hewan selain kurang menerima sinar matahari
secara langsung, juga sering bersama - sama di kandang, schingga kontak langsung di
antara sesama individu lebih banyak terjadi. Penyebaran infeksi dapat terjadi karena
kontak langsung dengan hewan atau patahan bulu yang terinfeksi (Al-Ani et al, 2002).
III. TANDA KLINIS
Umumnya sapi didiagnosis terinfeksi ringworm apabila menunjukkan gejala
klinis berupa adanya lesi berwarna putih keabuan atau kehitaman berbentuk bulat
disertai adanya krusta, scale, hiperkeratosis, dan alopesia dengan berbagai ukuran.
Sapi pada kasus menunjukan lesi berupa alopesia berbentuk bulat berwarna
putih, abu-abu, atau coklat kehitaman disertai dengan adanya hiperkeratosis, sisik, dan
krusta berbentuk bulatan seperti cincin dengan batas yang jelas, berbagai ukuran hingga
terjadi kerusakan pada rambut. Alopesia merupakan suatu kondisi hilangnya rambut
secara parsial (sebagian) atau secara keseluruhan pada bagian tubuh. Lesi tersebut pada
umumnya terjadi pada daerah wajah, leher, dada, bahu, kaki, dan tubuh. Selanjutnya
terjadi keropeng, lepuh dan kerak sehingga kulit menebal. Jika terjadi infeksi parah
tubuh sapi akan sangat kurus dan menurunnya nafsu makan.

Sumber gambar: Jurnal Veteriner Nusantara, Laporan Kasus Ringworm Pada Sapi
Bali
IV. PEMERIKSAAN

A. Pemeriksaan Fisik

Pada kasus yang kami gunakan hasil dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya
lesi berdiameter ± 2-7 cm pada permukaan kulit daerah kepala, leher, thoraks dan
abdomen. Nafsu makan sapi normal dan sapi masih bergerak aktif. Dengan body
condition score (BSC) 3 dari skala 1-5. Frekuensi nafas 28x/menit, frekuensi pulsus
48x/menit, dan suhu tubuh 38,70C. Mukosa berwarna merah muda pucat dengan
capillary refil time <2 detik. Tidak ditemukan perubahan dan pembengkakan saat
palpasi kelenjar limfa.

B. Pemeriksaan Penunjang

Pada kasus yang kami gunakan dilakukan pemeriksaan penunjang dengan


melakukan pengerokan lesi kulit. Hasil kerokan kulit dibawa Laboratorium untuk
diidentifikasi. Hasil pemeriksaan ditemukan jamur arthrospora, sporangiospora koloni
dermatofita.

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu seperti:

1. Pemeriksaan mikroskopis langsung

Lesi yang terinfeksi jamur dermatofita yang akan dilakukan kerokan


dibersihkan terlebih dahulu menggunakan kapas yang telah dibasahi alkohol 70% dan
lakukan pengerokan pada kulit bagian pinggir dari lesi menggunakan scalpel, dan
beberapa helai rambut di daerah pinggir lesi diambil menggunakan pinset. Kemudian
sampel disimpan dalam kantong plastik atau tabung sampel, lalu dibawa untuk
dilakukan pemeriksaan di laboratorium. Sampel kerokan kulit dan rambut sapi di
letakkan di atas object glass, lalu ditetesi KOH 10%, kemudian ditetesi dengan
lactophenol cotton blue dan ditutupi dengan cover glass. Diamkan selama 10-15 menit
dalam suhu ruangan dan diperiksa di bawah mikroskop cahaya. Arthrospora terlihat
berbentuk bulatan-bulatan yang bergerombol atau tersusun seperti rantai. Hifa terlihat
seperti pita yang panjang dengan septa-septa (sekat-sekat) (Putrinigsih, P.A. Sisyawati,
dkk. 2016).
a. Hasil kerokan kulit (tampak spora dan hifa yang pendek-pendek),

b. Hasil mikroskopis rambut (tampak adanya spora)

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_riwayat_penelitian_1_dir/3e7ffbc2075a
179d54672f2900c5328d.pdf

2. Kultur jamur dengan Sabouraud Dextrose Agar (SDA)

Pemeriksaan laboratorium yang juga dapat dilakukan yaitu kultur jamur dengan
Sabouraud Dextrose Agar (SDA). Pertubuhan dari jamur dapat dilihat secara
makroskopis. Sampel jamur yang tumbuh diambil dengan needle sterile dan dilanjutkan
dengan pewarnaan dengan menggunakan lactophenol cotton blue, kemudian diperiksa
di bawah mikroskop.

Gambar A. Pertumbuhan jamur hari pertama

Gambar B. Pertumbuhan jamur hari kedua

https://journal.ipb.ac.id/index.php/hemera/article/view/23905/15761
Gambar A. Pemeriksaan pada pertumbuhan jamur hari pertama.

Gambar B. Jamur hari kedua dengan pembesaran 10x.

Gambar C. Pembesaran 40x hifa dan septa (panah merah), sporangium (panah hitam).

Gambar D. Pembesaran 40x sporangiosporum (panah hijau).

https://journal.ipb.ac.id/index.php/hemera/article/view/23905/15761

V. DIAGNOSA
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis suspek ringworm dengan prognosa fausta namun membutuhkan waktu
penyembuhan yang lama.
VI. PENANGANAN
Penanganan dapat dilakukan dengan membersihkan lesi dan disikat
menggunakan air dan detergen. Lesi kemudian dioleskan ketoconazole salep sehari 2
kali secara tipis di pinggir lesi.
VII. PEMBAHASAN
Ringworm atau dermatophytosis merupakan penyakit akibat infeksi cendawan
atau jamur pada kulit atau jaringan lain yang mengandung keratin seperti bulu, kuku,
rambut dan tanduk pada hewan maupun manusia. Ringworm disebabkan oleh
cendawan dermatofit, yaitu sekelompok cendawan dari genus Microsporum dan
Trichophyton. Penyakit ini sering dijumpai pada hewan yang dipelihara secara
bersama-sama karena dapat menular antara sesama hewan. Sesungguhnya ringworm
dapat sembuh sendiri, namun umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal
tersebut tergantung pada tingkat keparahan infeksia. Hewan yang terinfeksi ringworm
perlu diberikan terapi karena penyakit ini mudah menyebar dan bersifat zoonosis(Bond,
2010).
Lesi klinis yang teramati pada sapi bali yang dicurigai terinfeksi ringworm ini
berupa alopesia berbentuk bulat berwarna putih, abu-abu, atau coklat kehitaman disertai
dengan adanya hiperkeratosis, sisik, dan krusta berbentuk bulatan seperti cincin dengan
batas yang jelas, berbagai ukuran hingga terjadi kerusakan pada rambut. Alopesia
merupakan suatu kondisi hilangnya rambut secara parsial (sebagian) atau secara
keseluruhan pada bagian tubuh. Alopesia pada ringworm disebabkan oleh adanya
inflamasi pada folikel rambut yang dapat mengakibatkan rusaknya batang rambut dan
kerontokan rambut (Scott et al., 2001). Lesi tersebut pada umumnya terjadi pada daerah
wajah, leher, dada, bahu, kaki, dan tubuh. Selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan kerak
sehingga kulit menebal. Jika terjadi infeksi parah tubuh sapi akan sangat kurus dan
menurunnya nafsu makan (Anonim, 2014).

Gambar 1. Koleksi sampel kerokan kulit (Kiri) dan Memandikan Sapi dengan
air deterjen sebelum pemberian obat (Kanan)

Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium menggunakan sampel


kerokan kulit, maupun rambut. Pemeriksaan juga dapat dilakukan menggunakan kultur
pada media SDA. Pemeriksaan langsung dapat dilakukan menggunakan kerokan kulit
yang diberi KOH kemudian diamati di bawah mikroskop selain itu dapat dilakukan
dengan membuat biakan pada media (Anonim, 2014).
Apabila hewan terinfeksi spesies dermatofita tipe endothrix, maka dibutuhkan
terapi yang bersifat sistemik, namun apabila hewan terinfeksi spesies tipe
ectothrix,maka pemberian terapi topikal mungkin sudah cukup. Pemberian Terapi
Sistemik Maupun terapi topikal tentunya membutuhkan biaya apalagi dengan populasi
ternak yang besar karena perawatan untuk penyakit ini membutuhkan waktu yang
cukup lama.
Pengobatan dapat dilakukan secara sistemik dan topikal. Secara sistemik dapat
menggunakan Griseofulvin dan Natamycin. Secara topikal menggunakan fungisida
topikal seperti Ketoconazole. Namun sebelumnya kulit penderita tersebut disikat
sampai keraknya bersih, kemudian digosok atau dioles salep Ketoconazole pada tempat
yang terinfeksi. Ketoconazole merupakan obat anti jamur golongan azole (imidazole).
Ketoconazole memiliki mekanisme aksi yang sama dengan agen anti jamur azole
lainnya (itraconazole dan fluconazole). Ketoconazole menghambat enzim P450 dalam
jamur dan menghambat sintesis ergosterol dalam membran sel jamur. Bersifat
fungistatik. Ketoconazole digunakan untuk mengobati dermatofita dan jamur sistemik,
seperti Blastomyces, Histoplasma, dan Coccidioides. Ini juga telah terbukti efektif
untuk pengobatan dermatitis Malassezia, namun kurang efektif untuk pengobatan
Aspergillus (Papich, 2011).
VIII. KESIMPULAN
Ringworm atau dermatophytosis merupakan penyakit akibat infeksi cendawan
atau jamur dari genus Microsporum dan Trichophyton pada kulit atau jaringan lain yang
mengandung keratin. Gejala klinis yang sering timbul yaitu kerontokan hingga
kerusakan rambut, ditemukan lesi berbentuk bulatan seperti cincin dengan batas yang
jelas, berbagai ukuran dan berwarna putih. Diagnosa dapat dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium menggunakan sampel kerokan kulit. Penanganan dapat
dilakukan dengan membersihkan lesi dan disikat menggunakan air dan detergen. Lesi
kemudian dioleskan ketoconazole salep sehari 2 kali secara tipis di pinggir lesi.
IX. DAFTAR PUSTAKA

Al-Ani, F. K., Younes, F. A., & Al-Rawashdeh, O. F. (2002). Ringworm infection of


cattle and horses in Jordan. Acta Veterinaria Brno, 71(1), 55-60.

Antoh, L., & Simarmata, Y. T. (2021). LAPORAN KASUS: RINGWORM PADA


SAPI BALI. Jurnal Veteriner Nusantara, 4(Supl. 1).

Putriningsih, P. A. S., Widyastuti, S. K., Arjentinia, I. P. G. Y., & Batan, I. W. (2016).


Identifikasi dan Prevalensi Kejadian Ringworm pada Sapi Bali. Jurnal
Veteriner Maret, 17(1), 126-132.

Putrinigsih, P.A.S., I.P.G.Y Arjentinia, Sri Kayati W. 2014. Studi Prevalensi dan
Identifikasi Ringworm Pada Sapi Bali yang Bersifat Zoonosis di Bali. Laporan
akhir. Diakses pada
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_riwayat_penelitian_1_dir/3e7ffbc2075
a179d54672f2900c5328d.pdf
Simarmata, Y. TRMR, dkk. 2018. Ringworm on Sapi Bali at Baumata Timur Village.
Diakses pada
https://journal.ipb.ac.id/index.php/hemera/article/view/23905/15761

Anda mungkin juga menyukai