Anda di halaman 1dari 62

MAKALAH

ILMU PENYAKIT DALAM I


“GANGGUAN PADA SISTEM KULIT DAN RAMBUT”

OLEH :
KELOMPOK 6
RAMBU L. A PAREMADJANGGA 1609010002
ALEXANDRA PALLO SUNGGA 1609010018
YUSTINA INDRAWATI 1609010030
NOVIE HELLEN MANONGGA 1609010032
DEBORA IRENE WEKI 1609010036
ANDIANUS FRANSISKUS SURAK 1609010044

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sistem integumen adalah sistem organ yang membedakan, memisahkan,
melindungi, dan menginformasikan hewan terhadap lingkungan sekitarnya. Sistem ini
seringkali merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang
mencakup kulit, rambut,bulu, sisik, kuku, kelenjar keringat dan produknya
(keringat atau lendir). Kata ini berasal dari bahasa Latin "integumentum", yang berarti
"penutup".
Kulit adalah lapisan jaringan yang terdapat pada bagian luar yang menutupi dan
melindungi permukaan tubuh. Kulit merupakan organ tubuh yang paling luar yang
membatasinya dengan dunia luar. Organ yang sangat essensial, vital, serta cermin
kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastik, dan sangat sensitive,
bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan lokasi tubuh.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai gangguan (infeksius atau non infeksius)
pada sistem kulit dan rambut pada hewan yang meliputi penyebab, patofisiologis, gejala
klinis, pemeriksaan laboratorium, tindakan terapi dan pencegahan dari masing-masing
gangguan/penyakit pada sistem urinaria.

B. RUMUSAN MASALAH
Gangguan (infeksius atau non infeksius) pada sistem kulit dan rambut pada hewan
meliputi :
a. Pyderma
b. Papiloma
c. Gangguan epidermis dan dermis
d. Gangguan patologik subkutis
e. Dermatokosis
C. TUJUAN
Untuk menambah wawasan tentang gangguan pada sistem kulit dan rambut pada
hewan yang meliputi penyebab, patofisiologis, gejala klinis, pemeriksaan laboratorium,
tindakan terapi dan pencegahan dari masing-masing gangguan/penyakit pada sistem kulit
.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DERMATOMIKOSIS
Dermatomikosis adalah penyakit infeksi pada kulit yang dapat menginfeksi kutaneus
superfial ataupun dapat menyerang lapisan berkeratin seperti stratum korneum kulit,rambut
dan kuku. Penyakit ini dapat disebabkan oleh jamur dermatofita dan mampu menginfeksi
berbagai jenis hewan. Dermatomikosis ini dibagi menjadi 2 yaitu Ringworm dan Hifomikosis.

1. Ringworm, Tinea dan Dermatomycosis


Ringworm adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh kelompok jamur yang dikenal
sebaga dermatophyte. Ringworm dapat pula menjadi penyakit zoonosis. Penyebaran spora
yang dapat bertahan selama berluna-bulan ataupun bertahun-tahun, dan dapat berlangsung
secara kontak langsung atau tak langsung maupun melalui udara.
ETIOLOGI
Jamur dapat hidup pada permukaan tubuh pada keratin dari kulit, kuku, rambut, bulu,
maupun tracak. Jamur tidak bersifat invasive, tidak mampu bertumbuh pada jaringan yang
sedang mengalami peradangan,dan memiliki sifat meluruhkan keratin (keratolitik).
Jenis jamur yang banyak dikenal menyebabkan ringworm pada ternak adalah
 Kuda :Microsporum canis, M.gypseum, Trichophyton mentagrophyte,T.verrucosum,
T.equinum dan T.ajelloi
 Sapi :T. Mentagrophyte, T.verrucosum, T.rubrum dan T.violaceum
 Domba:T.verrucosum
 Kambing: Trichopyton spp.

PATOGENESIS
Jamur yang berhasil melekat di kulit mungkin tidak mampu menyebabkan perubahan
patologik, karena terhapus dari kulit atau tidak mampu bersaing dengan mikroorganisme
yang lain. Derajat keasaman kulit dapat mempengaruhi pertumbuhan jamur dan umur juga
bisa mempengaruhi besar/kecilnya infeksi. Pada kejadian ini pedet juga lebih sering
mengalami ringworm dibandingkan dengan sapi dewasa. Jamur yang melekat pada kulit
dapat hidup tanpa adanya perubahan klinis pada hewan semangnya.
Apabila jamur dapat bertumbuh didalam keratin, pertumbuhannya bersifat mengarah
kedalam. Karena toksin yang dihasilkan menyebabkan jaringan yang hidup, epidermis dan
dermis yang kaya pembuluh darah, berusaha melawan antigen yang berbentuk toksin tersebut
hingga terjadi radang kulit. Dapat diartikan bahwa Ringworm, Tinea dan Dermatomycosis
merupakan radang kulit yang bersifat bioimunologik. Apabila reaksi kulit berlebihan, maka
jamur tidak dapat bertumbuh lagi. Dalam pertumbuhan jamur yang ideal, jamur tidak
menghasilkan toksin yang berlebihan. Apabila perubahan klinis telah terlihat, hal tersebut
berarti radang telah terjadi karena pembentukkan toksin yang berlebihan.
Perubahan klinis dimulai dengan eritema, kemudian diikuti dengan eksudati,panas
setempat dan terjadinya alopecia. Karena jamur tidak hidup dalam suasana radang, jamur
berusaha melua ke pinggir lesi, sehigga terbentuk lesi yang klasik berupa lesi yang bulat atau
sirkuler. Apabila jamur bertumbuh pada kulit yang memiliki selaput keratin yang lebih tebal
dan jauh dari jaringan vaskuler, menyebabkan Ringworm yang kronis. Apabila tubuh mampu
merespon infeksi dengan pembentukkan radang yang berlebihan maka jamur akan mati dan
dihasilkan kesembuhan sempurna.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang khas ditunjukkan dalam kejadian ini berupa lesi yang timbulkan.
Perubahan klinis yang bervariasi pada berbagai jenis hewan, juga gambaran lesi yang
dihasilkan oleh setiap spesies jamur yang menginfeksi setiap hewan ternak. Hal tersebut
mungkin disebabkan oleh kemampuan masing-masing hewan dalam bereaksi secara
imunologik.
Gambaran klinis untuk masing-masing jenis jamur dan lesi yang ditimbulkan
ditunjukkan sebagai berikut:
 M.canis : Lesi berbentuk bulat, tersebar, alopecia, yang ditutupi crustae.
Apabila crusta terkelupas, kulit berwarna kemerahan. Pada anjing dan kucing
terbanyak di kepala,sedangkan pada kuda didaerah pinggang tempat pelana
biasanya diletakkan. Hewan sering mengalami gatal, tidak tenang dan kemudian
hewan menjadi kurus.
 M.gypseum : Lesi tunggal kadang ditemukan pada kepala, kaki atau tersebar
diberbagai bagian tubuh lainnya. Lesi berbentuk bulat dengan alopecia serta
keropeng yang berwarna coklat kekuningan. Rambut yang rontok melekat pada
keropeng.
 T.mentagrophyte : Alopecia yang tidak beraturan dengan keropeng berbentuk
sisik. Pada tepi atau bawah keropeng sering diikuti dengan pernanahan. Pada kuda
letak lesi pada tempat yang terkena pakian atau pelana. Pada hewan lain di kepala,
dekat mata, mulut,atau pangkal ekor. Tidak jarang ditemukan ditempat lain dari
tubuh.
 T.verrucosum : Lesi berbentuk keropeng dengan penebalan (plaques), berukuran
2-3cm dengan permukaan berwarna putih abu-abu. Apabila keropeng terkelupas,
lesi bersifat basah dan berdarah. Keropeng yang sudah lama bersifat kering
dengan bentukan sisik-sisik serta bulu-bulu terdapat dalam bendel-bendel. Lesi
terdapat dikepala, leher, atau ditempat lain dari tubuh.
 T.equinum : Lesi tersebr berbentuk bulat, terdapat didaerah punggung tempat
pelana. Pada lesi yang sembuh keropeng hilang dan tertinggal daerah-daerah tanpa
bulu.
 T.rubrum : Lesi yang tersebar tunggal, dengan alopecia, ditutupi dengan sisik-
sisik dan kulit berwarna kemerahan.
 T.violaceum : Lesi dan tempatnya mirip dengan ringworm pada T.verrucosum.
 T.ajelloi : Lesi yang tersebar dan permukaan yang bersisik dengan alopecia.
Pada kambing jarang sekali menderita ringworm, tinea atau dermatomycosis, jika
ditemukan biasanya disebabkan oleh jamur Trichophyton spp. Lesi yang terbentuk berupa
alopecia dengan keropeng bersisik-sisik, terdapat didaerah kepala dan daun telinga.

DIAGNOSIS
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan jamur seperti M.canis, M.audouinii
memberikan warna fluoresensi hijau kekuningan apabila terkena sinar ultraviolet
(menggunakan alat Wood’s light). Microsporum menghasilkan bentuk mozaik yang tersusun
dari spora jamur pada permukaan rambut yang terserang. Spora Trichopyton tersusun sejajar
dengan permukaan rambut. Selain itu untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan melalui
beberapa pemeriksaan seperti;
a) Pemeriksaan Mikroskopik, hal ini berguna untuk mengetahui secara pasti jenis
penyebab ringworm, tinea atau dermatomycosis dengan menggunakan sampel kerokan
kulit dan rambut kemudian diamati bisa secara langsung ataupun menggunakan
mikroskop.
b) Pemeriksaan Patologik, dapat dilakukan dengan pemupukan/penanaman/kultur jamur
maupun dapat dilakukan dengan cara reaksi imunologi yang ditunjukkan pada kulit.
c) Pemeriksaan Histopatologik,
Pemeriksaan histopatologik pada bagian kulit yang mengalami radang minimal akan
menunjukkan hiperkeratosis yang bersifat moderat dari epidermis dan folikel, adanya
akantosis, serta reaksi radang poliofolikuler yang bersifat minimal disertai infiltrasi sel-
sel mononuklear. Bagian-bagian jamur selalu ditemukan apabila sediaan diwarnai
dengan pewarna asam peryodat Schiff (PAS) atau perak methenamin. Selain itu, biasa
pula ditemukan ulserasi epidermis yang diisi oleh keropeng-keropeng hasil peradangan.
Dinding folikel rambut yang terserang akan berisikan sel-sel polimormonuklear dan
mononuklear, limfosit, plasma sel dan histiosit. Pada bagian yang mengalami
peradangan intensif, fragmen jamur tidak akan dapat dijumpai.

TERAPI
Bermacam-macam obat telah digunakan sebagai terapi penyembuhan pada ringworm,
tinea atau dermatomycosis dan hasilnya bervariasi, terkadang dapat juga sembuh sendiri
dikarenakan sistem imun pada suatu hewan yang merespon dengan baik sehingga tubuh
mampu merespon infeksi dengan pembentukkan radang yang berlebihan maka jamur akan
mati dan dihasilkan kesembuhan sempurna.
Kesembuhan pada ringworm, tinea dan dermatomycosis dapat pula terjadi karena
pertumbuhan rambut dari stadium anagen ke telogen, sedang berlangsung sehingga produksi
keratin menjadi terhenti. Dengan tidak adanya keratin, jamur tidak dapat berkembang.
Obat antibiotika yang paling dikenal adalah griseofulvin, produk dari Penicillium
griseofulvin. Penggunaan secara topikal biasanya tidak memberikan hasil yang sempurna.
Secara oral obat tersebut diberikan dengan dosis 20-40mg/kg setiap hari berturut-turut selama
1 bulan. Dapat pula diberikan 1-2kali setiap minggu dengan dosis yang lebih tinggi. Secara
farmakologi obat-obat untuk ringworm, tinea dan dermatomycosis dibedakan dalam 5
golongan yaitu;
1) Golongan 1 Iritansia, yang menghambat proses radang.
2) Golongan 2 Keratolitikum, yang meluruhkan dan menghilangkan keratin.
3) Golongan 3 Fungistatikum, yang menahan pertumbuhan jamur lebih lanjut.
4) Golongan 4 Fungisid, yang membunuh jamur secara langsung.
5) Golongan 5, obat yang menghentikan pertumbuhan rambut, hingga keratin juga
tidak terbentuk.
Berbagai obat memiliki sifat-sifat seperti diatas dan bentuk sediaannya berupa sediaan
tunggal maupun kombinasi, misalnya sulfur prespitat 1-10% dan asam salisilat 2-10% yang
memiliki sifat fungisidal; asam salisilat juga bersifat keratolitik, fungisidal dan iritansia
ringan; asam-asam lemak undecylinat, caprylat dan proprionat bersifat fungisidal dan
fungistatik, tidak merangsang dan mempunyai toksitas rendah; asam bensoat 6% bersifat
fungisidal, tidak merangsang dan keratolitik; yodium bersifat fungisidal dan sangat
merangsang namun tidak dipakai dalam keadaan radang yang sedang berlangsung, yodium
tingtur 2-5% bersifat fungisidal dan tidak begitu merangsang; preparat hidroksiquinolin 1-
3% bersifat antieksem, antibakteri dan fungisidal.
Untuk hewan-hewan besar diberikan preparat Captan (Orthocide garden fungicide, 50%
Captan) dianggap cukup efektif dan harganya murah. Terkadang diberikan griseofulvin juga
dipakai namun harganya terlalu mahal.
Untuk keberhasilannya suatu program pengobatan, alat yang tidak berguna atau yang
sudah terkontaminasi harus dibakar, hal ini berguna untuk menghindari pencemaran
lingkungan da penyebaran spora dan untuk pengobatan hendakya hewan ditempatkan pada
kandang. Hewan yang sudah terinfeksi dipisahkan dikandang yang berbeda agar tidak
menularkan pada hewan yang sehat.

2. Hifomikosis pada Kuda (Hyphomycosis destruens equi, Bursattee, Swamp


cancer, Leeches)

Hifomikosis merupakan penyakit jamur kulit yang ganas pada kuda dan keledai,
ditandai dengan pembentukan radang yang bersifat granulomatous pada lapisan subkutis yang
diiukuti dengan pembesaran menyolok dari jaringan yang mengalami radang dan terjadinya
luka terbuka. Saat ini penyakit tersebut hanya dapat ditemukan secara sporod.

ETIOLOGI
Penyakit kulit ini terjadi pada kuda yang umumnya digunakan tenaganya sebagai sarana
transportasi, namun karena mulai meningkatnya fasilitas lain sehingga kuda jarang dipakai
lagi untuk hal seperti itu. Saat ini penyakit hifomikosis hanya dapat ditemukan secara
sporadis.
Adanya luka yang terbuka pada permukaan kulit merupakan jalur masuknya agen
infeksius yang dalam hifomikosis jamur Hyphomyces destruens. Di India penyakit ini dikenal
dengan nama Bursattee, yang secara histopatologi sama dengan Leeches di Amerika Serikat
kemungkinan penyebab dari penyakit ini adalah larva lalt Habronema muscae. Mengingat
pada hifomikosis selalu ditemukan hifen (hypen, atau micelium, semacam cabang atau
ranting jamur) , sehingga hifomikosis hampir sama dengan bursattee atau leeches yang juga
disebut habronemiasis.

PATOGENESIS
Dengan adanya luka dimukosa maupun kulit yang merupakan media pertumbuhan bagi
spora jamur Hyphomyces destruens, terjadilah penetrasi jamur tersebut berupa masuknya hife
atau miselia ke dalam jaringan subkutis, dan lebih kedalam lagi ke jaringan otot maupun
tulang. Pertumbuhan jaringan bersifat granulomatous menyebabkan jaringan membesar dan
terjadi ulserasi. Luka yang semula tidak begitu mengganggu, dengan adanya granulasi dan
terbukanya saluran limfe dan darah, akhirnya terjadi luka terbuka dengan permukaan rata
atau bungkul-bungkul mengkilat dengan tipe luka yang berkerut tidak beraturan. Didalam
luka tersebut terdapat kantung-kantung (sinus) atau lorong-lorong (fisula), berisikan masa
berwarna kuning abu-abu dan terkadang terjadi pengapuran.
Pembuluh limfe dan darah demikian rapuhnya hingga cairan limfe mengalir keluar dan
bercampur dengan darah. Hifomices ring bertumbuh didaerah kepala, leher, kaki depan dan
kaki belakan terutama pada bagian bawah, mukosa bibir, hidung, kelopak mata dan bahkan
mukosa gusi.

GEJALA KLINIS
Gejala yang ditimbulkan tergantung pada letak jaringan mukosa atau kulit yang
mengalami luka, perubahan yang terlihat pada setiap hewan bervariasi. Bila pada kaki,
gerakan waktu berjalan dapat terlihat pincang. Bila pada leher gerakannya terganggu, begitu
pula jika letak luka pada daerah kepala yaitu berupa air mata yang keluar terus menerus,
leleran pada hidung yang berlebihan dan hipersalivasi.
Luka pada umumnya bersifat granulomatous, permukaannya rata atau tidak, mengkilat
dengan lapisan limfe yang mengering, atau disertai leleran cairan limfe yang mungkin
bercampur darah segar. Ukuran luka sangat bervariasi, tepi luka tidak beraturan dan biasanya
konsistensi luka jadi tegang.
Karena rasa sakit yang terus menerus, nafsu makan turun dan lama kelamaan menjadi
kurus/ anorexia. Proses radang dapat berlangsung hingga beberapa bulan.

DIAGNOSIS
Diagnosis hifomikosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Sebagai diagnosis banding
perlu diperhatikan luka pelana (saddle-sore) dan botriomikosis yang kejadiannya sangat
jarang.Selain itu diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan patologi anatomi.
Secara histologik jaringan hifomikosis memperlihatkan potongan-potongan hifen
(miselia), berupa benanag bercabang-cabang, tanpa sekat (septum) dengan spora bebas
menempel pada jaringan hialin dan leukosit. Jika jaringan biopsi berhasil dibiakkan pada plat
agar terlihat pertumbuhan halus, berwarna abu-abu, dengan miselia yang tumbuh didalam
agar.

TERAPI
Usahakan menghilangkan jaringan yang mengalami granulasi dengan pisau listrik atau
menggunakan ose atau besi yang sudah dipanaskan. Setalah jaringan diekstirpasi, oleskan
larutan I-KI, atau kalium permanganat 1:1000. Sebaiknya, bila mungkin, luka dibalut dan
diluarnya diolesi pix-liquida.
Secara internal dapat diberikan suntikan potassiun-yodida 10% sebanyak 10-30gr. Obat
lama neo-salvarsan juga dapat memberikan hasil baik, setidaknya luka terlihat cepat
mengalami kesembuhan. Obat anti jamur griseofulvin suntikan dapat pula diberikan. Namun
laporan keberhasilan pengobatan tersebut belum pernah dipublikasikan.

B. PAPILOMA
1. Cutaneous Papilomatosis Pada Sapi

Cutaneous papilomatosis adalah tumor tidak ganas pada kulit yang dapat menyerang
berbagai jenis hewan. Lokasi dapat dimana saja, bisa soliter atau mengumpul/menyatu.
Permukaan tumor ini agak kasar, seperti bunga kol, dan tidak menimbulkan rasa nyeri
(Soeharsono, Tati dan Tri, 2010).

a. Etiologi
Cutaneous papilomatosis disebabkan oleh Papilomavirus termasuk dalam
Family Papovaviridae yang diketahui sebagai penyebab tumor alami yang timbul dari
dirinya sendiri (Jawetz, Joseph dan Edward, 1978). Berdasarkan struktur protein
virus, pada sapi terdapat enam tipe Bovine papilomavirus (BPV) yang telah
teridentifikasi yaitu (BPV-1 sampai BPV-6) dan di klasifikasikan dalam dua subgroup,
A dan B. Subgroup A terdiri dari (BPV-1, BPV-2, BPV-5) akan membentuk
fibropapilloma dengan melibatkan dermal fibroblas dan keratinosit, dan subgroup B
terdiri dari (BPV-3 dan BPV6) akan menyebabkan papiloma epitel dengan hanya
melibatkan keratinosit, sedangkan BPV-4 menginfeksi epitel mukosa dari saluran
pencernaan bagian atas (Meuten, 2002).
Sapi dengan tingkat keparahan ringan dan sedang hanya di sebabkan oleh
BPV-1. Pada sapi tingkat keparahan ringan dan sedang diinfeksi oleh dua tipe virus
(BPV1 dan BPV-2). Sedangkan pada tingkat keparahan berat disebabkan oleh tiga
tipe virus (BPV-1, BPV-2 dan BPV5). 3 tipe Bovine papilomavirus yang berperan
dalam terbentuknya kutil yaitu BPV-1, BPV-2 dan BPV-5. BPV-1 dan BPV-2
menimbulkan kutil pada daerah kepala, leher, bahu perut, dibagaian bawah dan
permukaan alat kelamin dan puting susu. Sedangkan BPV-5 menginfeksi pada puting
susu, lidah dan tidak menutup kemungkinan didaerah lain (Meuten, 2002,. Hatama,
2011).
Cutaneous Papilomatosis dapat menular melalui kontak langsung dengan
hewan penderita. Selain itu dapat juga ditularkan melalui kontaminasi makanan,
peralatan yang digunakan untuk kastrasi dan penggunaan jarum suntik yang berulang
saat melakukan pengobatan (Ozsoy, Zafer dan Murat, 2011).
 BPV Tipe 4 dan Tumor Gastrointestinal Pada Sapi

BPV-4 menginfeksi mukosa saluran gastrointestinal atas (GI) yang mengarah


pada pembentukan papiloma dan / atau fibropapillomas. Infeksi BPV-4 dan tumor
terkait pada saluran GI bagian atas telah ditemukan di Brasil, Lembah Nasampolai
Kenya, Dataran Tinggi Barat Skotlandia dan di Selatan Italia.

Ternak yang sehat biasanya pulih dari papillomatosis dalam waktu kurang
lebih satu tahun melalui respon imun seluler, tetapi beberapa hewan bahkan mungkin
mati karena papillomatosis luas jika infeksi terlalu berat dan sulit untuk pulih.
Paparan kronis terhadap imunosupresan menyebabkan persistensi dan penyebaran
papiloma. Umumnya, imunosupresi pada sapi hasil dari paparan pakis pakis, tetapi
mungkin bahkan karena beberapa faktor lain seperti infeksi virus bovine virus diare.

Pakis menginduksi imunosupresi dan fibropapillomas menyebar; hewan-


hewan dengan papillomatosis luas berisiko tinggi untuk mengembangkan kanker
seperti karsinoma sel skuamosa. BPV laten diaktifkan dan transformasi maligna
penuh tergantung pada mutagen lain seperti quercetin dan ptaquiloside yang bertindak
secara sinergis dengan virus dalam proses karsinogenik, memicu ekspresi gen BPV
dan mengarah pada perkembangan kanker.

Oncoprotein BPV-4 E7 bekerja sama dengan quercetin untuk transformasi


neoplastik, dengan demikian ras onkogen diaktifkan, p53 dimutasi dan jumlah
reseptor seluler untuk faktor pertumbuhan epidermis meningkat. Kejadian perubahan
ini mungkin disebabkan oleh mutagen pakis pakis, tetapi masih tetap ditetapkan in
vivo.
 BPV tipe 1 atau 2 dan tumor kandung kemih pada sapi

Tumor kandung kemih biasanya terkait dengan sindrom yang dikenal sebagai
Haematuria Enzootic Kronis karena sapi mengonsumsi tumbuhan pakis – pakis dalam
jangka yang panjang dengan prevalensi setinggi 90% pada hewan dewasa. Penyakit
ini diketahui terjadi di benua Eropa, Kepulauan Azores, di beberapa daerah di Kenya,
Brasil, Selandia Baru, India dan di Cina. Kejadian menular yang terjadi pada manusia
baik secara langsung ataupun tidak langsung yaitu melalui susu dari sapi pemakan
pakis bracken telah dikaitkan dengan kanker GI manusia.

Keterlibatan BPV-1/2 dalam karsinogenesis kandung kemih telah diakui untuk


waktu yang lama dan hubungan antara virus dan pakis telah direproduksi secara
eksperimental. Kanker ini berasal dari epitel dan mesenkimal (kebanyakan
hemangioma dan mitranya yang ganas) dengan varian histologis epitel yang berbeda
diidentifikasi. Tumor epitel mengekspresikan penanda tumor urothelium Uroplakin III
dan tidak sering bermetastatise karena kandungan asam sialat dan gangliosida.

BPV-2 terlibat dalam tumor epitel dan mesenkimal, tetapi tipe virus ini
bukanlah agen epiteliotropik murni pada inang alami. Virus menginfeksi mukosa
kandung kemih yang menginduksi infeksi yang gagal dan laten tanpa produksi virion.
Paparan imunosupresan, prinsip mutagenik dan karsinogenik dari pakis bracken
memicu ekspresi gen virus yang mengarah ke transformasi sel. Pada kanker epitel dan
mesenkimal, onkoprotein BPV-2 E5 diekspresikan dan dalam kompleks dengan
bentuk aktif reseptor PDGFβ. Selain itu, pada kanker urothelial aktivitas telomerase
diregulasi, ekspresi ras onkoge dan siklooksigenase-2 (COX-2) meningkat. Limfosit
dari sapi menyimpan DNA BPV, yang telah ditemukan juga ke dalam aliran darah dan
kelainan kromosom telah dibuktikan.

b. Patogenesis
Cutaneous papilomatosis timbul akibat infeksi virus masuk melalui lesi atau
abrasi kulit. Lesi kulit dapat terjadi akibat tatto sekitar telinga untuk ear tag, sekitar
hidung akibat luka pemasangan bull leads (tali hidung), dan lesi akibat terkena kawat
berduri. Virus masuk ke dalam jaringan epidermis kemudian memperbanyak diri
(bereplikasi) pada basal sel epitel. Replikasi virus menyebabkan pertumbuhan epitel
berlebihan, merupakan karakteristik tumor jinak seperti kutil. (Hagan dan Bruner,
1988).
Cutaneous papilomatosis dapat dijumpai pada semua hewan terutama sapi,
kuda anjing, kucing, domba, kambing dan babi. Pada sapi lesi ditemukan di kepala
dan leher. Pada kuda ditemukan disekitar hidung dan mulut, pada domba ditemukan di
bagian kepala dan telinga, dan pada anjing ditemukan di kepala dan bagian tubuh
lainnya. (Meuten, 2002).
c. Gejala Klinis

Papilomavirus pada tipe fibropapiloma atau cutaneous papuilomatosis yaitu


BPV-1, BPV-2 dan BPV5, gejala klinis yang ditimbulkan sangatlah jelas dengan
adanya kutil pada permukaan kulit dari ternak yang terserang (Meuten, 2002).
Permukaan tumor ini agak kasar, seperti bunga kol, dan tidak menimbulkan rasa nyeri
(Soeharsono dkk., 2010).

Penyebaran, ukuran Cutaneous papilomatosis pada sapi yang terinfeksi


berbeda-beda, maka ditentukan tingkatan keparahan dari penyakit dengan metode
skoring. Menurut Budhiyadnya dkk. (2008), sapi yang terinfeksi kutil pada daerah
leher, mulut, paha dan scrotom, berbentuk bulat mengelompok seperti bunga kol
termasuk tingkat keparahan berat, maka dilanjutkan penentuan skoring berdasarkan
besarnya kutil dan kerapatan jarak pertumbuhannya pada kulit sapi tersebut dengan
penilaian :

1. Ringan :

- Besar kutil kecil atau sama 2,5 cm

- Jarak kutil satu dengan lainnya lebih besar 2,5 cm

2. Sedang :

- Besar kutil antara 2,5 - 5 cm

- Jarat kutil satu dengan lainnya antara 1,5 - 2,5 cm

3. Berat :

- Besar kutil lebih besar 5 cm

- Jarak kutil satu dengan lainnya kecil atau sama 1,5 cm


- Besar kutil kecil 5 cm jumlah sebaran sangat banyak.

4. Sehat :

- Tidak ditemukannya kutil

 Makroskopis :
Gambar 1. Derajat keparahan sapi terinfeksi Cutaneous papilomatosis
dalam tiga kelompok yaitu : Tingkat keparahan ringan pada no.1, 2, dan 3;
Tingkat keparahan sedang pada no.4, 5, dan 6; Tingkat keparahan berat pada
no.7, 8, dan 9. LD (Lingkar Dada), Px (Penyakit).

Gambar 2. Tampilan makroskopis dari tumor kandung kemih sapi


 Mikroskopis:
 BPV Tipe 4 dan Tumor Gastrointestinal Pada Sapi

a b
Gambar 3. a. Gambaran histologis papiloma esofagus. b. PCR amplifikasi
papiloma oesofagus sapi. Panah di sebelah kanan menunjukkan posisi produk
amplifikasi BPV-4.

 BPV-1/2 dan tumor kandung kemih pada sapi

a b c
Gambar 4. a. Penampilan histologis karsinoma urin derajat II; b. Gambaran
histologis haemangioma kavernosa pada kandung kemih; c. PCR amplifikasi
kanker kandung kemih sapi bovin. Panah di sebelah kanan menunjukkan
posisi produk amplifikasi BPV-2.

d. Diagnosa
Kutil diambil dari hewan terinfeksi. Sebelum kutil diambil terlebih dahulu
dilakukan anastesi lokal dengan lidocain pada lokasi kutil yang akan disayat.
Penyayatan dilakukan dengan menggunakan pisau bedah. Setelah kutil diambil
dilakukan pembuatan autovaksin dengan metode Budhiyadnya dkk. (2008) dan
pembuatan prepara histopatologi dengan metode Mikel (1994).

Dalam pembuatan vaksin untuk mengetahui efektifitas terbentuknya imunitas


terhadap suatu penyakit perlu dilakukan uji potensi virus. Uji potensi virus dapat
dilakukan secara in vivo dengan hewan coba dan secara invitro dengan cultur sel.
Baik in vivo maupun invitro keduanya menggunakan metode titrasi antigen 10-1 – 10-
10. Pada titrasi dengan hewan coba bila infeksi berakhir dengan kematian memakai
istilah LD50 (Lethal Dose 50) dan TCID50 (Tissue Culture Infective Dose 50) bila
titrasi pada perbenihan jaringan, infeksi yang positif berupa adanya efek sitopatik
pada sel-selnya. Hewan coba yang digunakan pada in vivo adalah marmut atau tikus.
Sedangkan kultur jaringan yang digunakan pada in vitro adalah ekstraksi kelenjar
getah bening/ lymphonodus atau sel limpa (Pastoret, Blancou, Vannier, Verschueren,
1999).

e. Pencegahan
Penyebaran penyakit dapat dikurangi dengan isolasi ternak penderita. Kutil
dapat di angkat melalui pembedahan atau melalui diikat dengan benang jahit dibagian
dasarnya, tergantung dari jumlah, tipe, ukuran dan lokasinya (Champness dan
Hamilton, 2007).

f. Pengobatan
Kutil dapat disembuhkan dengan pembuatan autovaksin yang diinjeksikan
secara subcutaneous didaerah dekat dengan kutil. Regresi atau berkurangnya kutil
terjadi kira-kira tiga minggu setelah vaksinasi dan dalam enam minggu kutil secara
spontan hilang dengan menunjukkan total kesembuhan. Setelah pengobatan, kutil
pada sapi ini tidak tumbuh lagi (Sreeparvathy, Harish dan Anuraj, 2011)
utovaksin adalah vaksin yang disiapkan dari jaringan/kutil pada hewan yang
sama (Inayat dkk., 1999). Autovaksin diketahui memberikan hasil yang baik sebagai
pengobatan pada kasus klinis. Komersial vaksin telah di coba dengan hasil yang baik
pada sapi. Vaksin komersial yang tersedia hanya mengandung tipe BPV-1 sehingga
hasil yang dicobakan pada kuda zebra tidak direspon karena kemungkinan kuda zebra
tersebut telah terinfeksi tipe BPV-2 dan vaksin tersebut tidak memiliki kekebalan
silang dengan tipe BPV-1. Dengan kata lain autovaksin lebih efektif dalam
pengobatan Papilomavirus karena mengandung virus yang heterogen (Pangty dkk.,
2010).
Imunoterapi dilakukan dengan cara injeksi autovaksin secara sub kutan (s.c)
sebanyak 1ml/20kg berat badan dan pengulangan (booster) satu kali dengan volume
yang sama, interval empat minggu setelah dilakukan injeksi pertama. Selanjutnya
dilakukan pengamatan selama enam minggu. Booster interval empat minggu
dilakukan mendasar pada respon imunitas dan penelitian yang dilakukan
Budhiyadnya dkk (2008). Pengamatan enam minggu mendasar pada penelitian Inayat
dkk. (1999), Budhiyadnya dkk. (2008), dan Panggty dkk. (2010), yaitu autovaksin
mampu meregresi kutil antara empat sampai enam minggu. Pemberian imunoterapi
akan meningkatkan sitokin T helper 1 (Th1) mengaktifkan sel T sitotoksik dan natural
killer sel meregresi kutil (Chandrashekar, 2011).

2. Equine congenital papilloma

Kasus papilloma cutaneus pada kuda terjadi sebagai bentuk dapatan dan kongenital
(bawaan). Papilloma kulit yang terdapat pada kuda adalah neoplasma yang diinduksi oleh
virus yang mirip dengan papilloma virus pada spesies lain. Equine papillomatosis virus
paling sering terjadi pada kuda usia < 3 – 4 tahun. Tumor paling umum terjadi di
moncongnya, seringkali multipel dan akhirnya akan mengalami regresi spontan. Equine
papilloma telinga (plak aural) terjadi pada semua usia dan tidak mengalami regresi.
Papillomavirus mudah dideteksi pada lesi yang didapat, dan adanya keratinosit dengan
atypia nuklir, vacuolization sitoplasma, dan kelainan keratohyalin granul (koilocytes) adalah
karakteristik.

a. Etiologi
Papilloma adalah tumor kulit yang umum terjadi pada hewan dimana infeksi
papilomavirus adalah penyebab paling umum terjadi. Epidermal proliferasi
merupakan karakteristik papiloma skuamosa, sedangkan proliferasi fibroblast dermal
adalah karakteristik dari fibropapiloma. Papiloma kongenital memiliki diameter yang
bervariasi mulai dari 2 hingga 4cm. Semua tumor yang teridentifikasi pada kasus ini
memiliki tangkai mulai dari bentuk yang sempit sampai yang lebar.

Tabel 1. Ringkasan lima kasus papiloma kongenital kongenital

Tumor dari kasus 1, 3 dan 5 adalah jenis verukosa (Gambar 1a), sedangkan
tumor dari kasus 2 dan 4 adalah jenis dengan permukaan lebih halus dan cauli
berbunga seperti (Gambar 1b). Pada table, kasus pada no 1 sampai 4 adalah tumor
tunggal dan kasus nomor 5 adalah tumor multiple. Kasus yang pertama adalah janin
dari kuda betina yang mati dikarenakan mengalami kolik, kasus 2 dimana kuda yang
lahir mati karena mengalami distokia, dan tumor dari kasus 3-5 hadir pada saat lahir
dan dihapus segera sesudahnya.

b. Patogenensis
 Didapat melalui lecet kulit.
 Infeksi langsung melalui kontak dengan kuda yang terinfeksi.
 Infeksi tidak langsung dari fomit yang terkontaminasi.
 Terkadang ditularkan melalui aktivitas seksual.
 Papillomavirus yang menyebabkan plak aural dapat ditularkan melalui arthropoda
yang menggigit.

c. Gejala Klinis
Perubahan pada keratinosit dikenal sebagai koilocytes adalah karakteristik
infeksi papillomavirus. Sel-sel ini menunjukkan pembesaran dan atypia yang sangat
tajam, dengan perinuklear yang terdefinisi tajam, vacuolization yang padat dan tidak
teratur dari sitoplasma perifer. Pembesaran ini terjadi pada sel-sel keratinosit yang
sudah matang dalam lapisan superfisial atau menengah epidermis dan terdapat
perbedaan dengan keratinosit dengan perubahan vacuolar sitoplasma karena penyebab
lain, seperti akumulasi glikogen. Perubahan papillomavirus-induced lainnya dalam
keratinosit termasuk peningkatan jumlah, ukuran dan penggumpalan butiran
keratohyalin. Hypomelanosis adalah gambaran dari papilloma virus yang diinduksi
secara eksperimental pada kuda. Pigmentasi melanin pada papiloma kongenital ini
bervariasi dan termasuk hipermelanosis.
Gejala klinis secara histologis menunjukkan adanya hyperplasia epidermal
epidermis yang relative seragam dengan ekspansi stratum spinosum yang jelas. Tumor
didukung oleh adanya fibrosis stroma tanpa bukti proliferasi dermal fibroblast
(Gambar 2a). Hiperkeratosis permukaan baik orthokeratotic atau parakeratotic,
vakuolisasi keratinosit di semua lapisan, tetapi tidak ada koilosit yang terlihat. Pigmen
melanin dalam epitel basal bervariasi. Mitosis tidak terlihat dan inflamasi superfisial
jarang terjadi. Lesi dari kasus yang ke-2 mengandung banyak kelenjar sebasea yang
membesar terkait dengan folikel rambut di dalam bagian dermal tumor (Gambar 2b).
Epidermal hyperplasia dalam kasus ini sangat tidak teratur, dengan karakteristik
keratinosit atipikal koilosit dalam lapisan epidermis superfisial. Antigen virus dalam
kasus-kasus ini paling sering ditemukan dalam inti koilosit (Gambar 2c), tetapi juga
terjadi dalam inti sel epidermis lain dalam stratum granulosum. Antigen
papillomavirus tidak terdeteksi pada salah satu dari lima kasus papiloma kongenital
(Gambar 2d).

 Makroskopis :

a b
Gambar 1. a.Beberapa papilloma kongenital, difiksasi dalam larutan formalin, dari
anak kuda berumur 2 hari (kasus 5). Massa bertangkai dengan permukaan
verukosa. Bar = 1 cm., b. Papilloma kongenital pada kulit kuda yang baru lahir
prematur lengkap (kasus 2). Massa bertangkai dengan permukaan seperti bunga
cauli. Tumor telah di hemiseksi.
 Mikroskopis :
a b c d

Gambar 2 a. Papiloma kongenital dari janin standar usia kehamilan 305 hari (kasus 1)
menunjukkan hiperplasia papermal epidermal yang relatif seragam dengan ekspansi
stratum spinosum yang jelas dan tidak ada bukti adanya kelainan koilositosis atau
keratohyalin granul. Hypermelanosis hadir di epitel basal. Proyeksi papiler didukung
oleh stroma fibromvascular dermal tanpa bukti proliferasi dermal fibroblast. Bar =
100 µm, pewarnaan H & E., b. Papilloma kongenital dari bayi keturunan lengkap
yang lahir mati secara tuntas (kasus 2). Unit Pilosebaceous hadir di dalam dermis di
dasar papillae epidermal. Bar = 75 µm, pewarnaan H & E., c. Papilloma telinga yang
didapat dari seekor kuda perawakan berusia 6 tahun dengan koilosit khas dengan
butiran keratohyalin abnormal di dalam lapisan epidermis superfisial. Nuklei koilosit
mengekspresikan antigen papillomavirus (noda coklat). Bar = 25 µm.
Imunohistokimia untuk ekspresi papillomavirus, counterstained dengan hematoksilin
Mayer., dPapiloma kongenital dari anak-anak berusia 1 hari yang berdarah murni
(kasus 4) menunjukkan vakuolisasi keratinosit difus tanpa atypia nuklir atau kelainan
keratohyalin, dan tidak ada ekspresi antigen papillomavirus. Bar = 25 µm.
Imunohistokimia untuk ekspresi papillomavirus, counterstained dengan hematoksilin
Mayer.

d. Diagnosa

Antigen papillomavirus dideteksi menggunakan imunohistokimia. Papillomavirus


mungkin tidak terdeteksi menggunakan imunohistokimia selama tahap tertentu dari
perkembangan tumor, dan kemungkinan infeksi papillomavirus tidak mengekspresikan
protein virus yang menyebabkan papilloma kongenital pada kuda, masih membutuhkan
adanya studi molekuler tambahan untuk memperkuat diagnose. Selainn itu, diagnose
juga dapat dilakukan berdasarkan riwayat, tanda-tanda klinis, biopsi.

e. Terapi dan Pencegahan


Dapat dilakukan dengan cara :
1. Kontrol melalui hewan
- Perawatan untuk kutil sering tidak diindikasikan, kecuali untuk alasan estetika.
- Beberapa data obyektif tentang perawatan kutil tersedia, tetapi banyak perawatan
telah disarankan.
2. Kontrol melalui chemotherapies
Berbagai terapi telah disarankan untuk kutil, termasuk:
- Mediator imunomodulator intralesi atau intravena, misalnya Bacille de
Calmette et
Guerin (BCG).
- Cisplatin intralesi.
- Agen kaustik topikal.
- Pengubah respons biologis, misalnya krim imiquimod 5%.
3. Kontrol melalui lingkungan
Menghambat agar lalat tidak menyebabkan iritasi pada plak aural dengan
manajemen yang tepat.
4. Penanggulangan lainnya
Perawatan lain yang diusulkan untuk kutil Papillomatosis meliputi:
- Operasi pengangkatan.
- Cryonecrosis.
- Hipertermia radiofrekuensi
3. Papilomavirus Pada Babi

Etiologi

a. Karakteristik utama Swine Papilloma Virus (SPV)

Swine Papilloma Virus merupakan anggota kelompok Papovavirus, dalam famili


Papillomavirus dan, genus Alpha papillomavirus. SPV adalah virus DNA dengan bentuk
melingkar kecil, tidak terbungkus, memiliki untai ganda dengan genom yang dapat
mengkdekan delapan hingga sepuluh protein. Penularannya dapat secara seksual dan
menyebabkan penyakit jinak yang dikenal sebagai papilloma genital yang dapat menular
pada babi.

b. Variabilitas Strain

SPV terjadi sebelum teknik molekuler tersedia untuk mengurutkan genom. Selain itu,
terdapat juga varian SPV yaitu Sus scrofa papillomaviruses tipe 1 varian a dan b (SsPV-1a /
b) diisolasi dari kulit dua babi domestik yang sehat. Virus-virus ini tidak memiliki kerangka
pembacaan terbuka E7 yang biasanya ada dalam PV. Informasi tentang variabilitas rengan
untuk SPV sampai saat ini masih terbatas.

Epidemiologi

a. Spesies yang Terkena Dampak


Papillomavirus menginfeksi banyak spesies termasuk, manusia, sapi, kucing, kuda.
Papillomaviruses umumnya sangat spesifik spesies.Namun SPV hanya
didokumentasikan pada babi.
b. Potensi Zoonotik
SPV tampaknya tidak dapat menginfeksi spesies lain. Papillomavirus yang ditemukan
pada tukang jagal telah ditemukan sebagai human papillomavirus, bukan
papillomavirus yang berasal dari spesies lain
c. Distribusi Geografis
Tidak ada informasi tentang distribusi geografis SPV hingga saat ini. Laporan yang
diterbitkan menunjukkan keberadaan SPV dalam dua babi hutan di Inggris pada 1960-
an dan dua varian baru SPV di kulit babi yang sehat di Belgia.
d. Morbiditas dan Mortalitas
Tidak ada informasi yang tersedia mengenai morbiditas atau mortalitas yang diinduksi
SPV. Sifat self-limiting yang ditentukan oleh penyakit yang diinduksi SPV.
menunjukkan bahwa SPV tidak akan menyebabkan kematian.
e. Transmisi
SPV dapat ditularkan selama kawin atau inseminasi buatan. Induk yang disembuhkan
atau diinseminasi oleh babi hutan yang terinfeksi diperkirakan akan mengalami lesi
empat sampai sepuluh minggu setelah pembiakan.

Patogenesis

Replikasi PV membutuhkan pertumbuhan dan diferensiasi sel epitel skuamosa


bertingkat. Dalam kasus SPV, replikasi terjadi pada membran mukosa vulva pada gilt / sow
dan divertikulum preputial babi hutan. Infeksi awal terjadi pada sel-sel dari stratum basale,
tetapi virus tidak bereplikasi di dalam sel-sel ini. Sebaliknya, PV tetap berada dalam kondisi
laten proviral dalam sel basal. Genom tetap episomal selama periode ini sementara secara
bersamaan memproduksi produk gen virus awal. SPV akan menginduksi hiperplasia sel basal
dan pematangan tertunda sel-sel dalam strata spinosum dan granulosum. Ketika sel-sel basal
telah cukup matang, maka akan berkembang menjadi stratum spinosum, produk-produk gen
virus akhir diproduksi dan virion dirakit di dalam sel. Sel-sel stratum granulosum sangat sarat
dengan virion PV, yang ditumpahkan ketika sel-sel yang terinfeksi dikelupas dari stratum
korneum.

Gejala Klinis

Lesi kecil sampai sedang (1-3 cm), kuat, papular sampai papillary adalah karakteristik
infeksi SPV. Lesi eksperimental berkembang rata-rata delapan minggu pasca-intradermal
inokulasi atau skarifikasi permukaan vulva dari gilt atau preputium babi hutan. Inokulum
adalah filtrat bebas-sel yang berasal dari lesi divertikular preputial yang ditemukan pada
nekropsi pada dua babi. Penyakit ini terbatas dalam perjalanannya dan sembuh setelah
beberapa minggu, setelah respon imun antivirus yang cukup telah berkembang. Babi yang
terinfeksi secara eksperimental memiliki resolusi lesi sekitar tiga minggu setelah deteksi
pertama pertumbuhan lesi.

Lesi postmortem merupakan lesi yang disebabkan oleh SPV pertama kali dijelaskan
pada tahun 1961 dalam dua babi hutan pada nekropsi. Secara kasar, lesi papular ditemukan
pada divertikulum preputial dari satu dan lesi papiler ditemukan di lokasi yang sama di babi
hutan lainnya. Bentuk lesi yang diinduksi secara kuat dan eksperimental pada galur babi yang
terinfeksi dan babi jantan memiliki bentuk dan kekencangan yang serupa. Lesi pada gilt lebih
kecil dari pada babi hutan, lesi sering bertangkai. Secara histologi, lesi yang disebabkan oleh
SPV adalah papilloma khas luas, acanthosis tidak merata dan pertumbuhan epitel. Inklusi
besar, bulat, intracytoplasmic bernoda dengan noda asam, sering dikelilingi oleh lingkaran
cahaya.

Diagnosa

a. Sejarah Klinis
Karena infeksi SPV menginduksi penyakit ringan dan sembuh sendiri, tidak ada tanda
klinis sistemik yang dikaitkan dengan infeksi. Pertumbuhan kecil, papular ke papillary
pada vulva gow / sow di dalam diverticulum preputial babi konsisten dengan infeksi
SPV. Lesi divertikular vulvar dan preputial dalam kelompok harus diperiksa dan
diambil sampelnya, jika memungkinkan.
b. Tes untuk Mendeteksi Asam Nukleat, Virus, atau Antigen
Isolasi virus dan propagasi dapat dilakukan dengan menginokulasi sel PK-15 atau PS,
baik jalur sel ginjal babi. Degenerasi primer spesifik PV dapat digunakan untuk
memperkuat daerah genom SPV menggunakan polymerase chain reaction (PCR).
Urutan produk PCR harus dilakukan untuk mengidentifikasi amplikon lebih lanjut.
Primer spesifik SsPV-1a / b telah dijelaskan.
c. Tes untuk Mendeteksi Antibodi
Belum terlalu dijelaskan.
d. Sampel
- Sampel Pilihan
Scrapings atau swab dari diverticulum preputial babi hutan atau vulva betina mungkin
cocok untuk isolasi dan / atau deteksi virus.
- Cairan Oral
Kesesuaian cairan oral untuk isolasi atau deteksi SPV tidak diketahui. SPV
menginfeksi saluran genital dan tetap terlokalisasi; oleh karena itu, tidak mungkin
SPV akan ditemukan dalam cairan oral.

Terapi

a. Post exsposure
Respon imun antivirus yang dihasilkan terhadap PV memberi perlindungan dari
infeksi ulang dan juga melawan pertumbuhan yang ada, menghasilkan kemunduran
dan akhirnya mengalami peluruhan. Selain itu, uji presipitasi antigen-antibodi tidak
dapat menunjukkan adanya antibodi anti-PSV. Adanya sel respon imun langsung ke
PSV tidak diketahui.
b. Vaksin
Tidak ada informasi tentang vaksin untuk SPV yang tersedia. Namun, paparan
papillomavirus pada kelinci yang tidak aktif cukup untuk melindungi kelinci terhadap
infeksi dan menunjukkan bahwa SPV yang tidak aktif mungkin menjadi calon vaksin
yang potens
c. Cross Protection
Tidak ada informasi yang tersedia tentang perlindungan silang
d. Papillomavirus bertahan hidup dengan baik di lingkungan dan tetap infektif setelah
terpapar pelarut lipid dan deterjen, pH rendah, dan suhu tinggi.
e. Tidak ada protokol desinfeksi khusus untuk SPV yang tersedia; namun, sebagai virus
yang tidak terbungkus, SPV mungkin rentan terhadap hipoklorit dan aldehid seperti
formaldehida dan glutaraldehida.
f. Human papiloma virus (HPV), ditemukan rentan terhadap hipoklorit (0,525%) setelah
45 menit. Glutaraldehyde tidak memiliki kemampuan untuk membuat HPV tidak
aktif. HPV juga rentan terhadap desinfeksi dengan asam peracetic 1,2% berbasis
perak.

Pencegahan dan Pengendalian

Skrining virus air mani yang digunakan untuk inseminasi buatan harus dilakukan
sebelum menggunakannya untuk pembibitan. Sifat membatasi diri dari penyakit dan
kurangnya morbiditas yang didokumentasikan yang terkait tidak memerlukan tindakan
pengendalian yang ekstrim. Namun, langkah-langkah harus diambil untuk memastikan bahwa
hewan yang tidak terinfeksi tidak dibiakkan untuk hewan yang saat ini terinfeksi.
C. PYODERMA

Pyoderma secara harfiah berarti "nanah di kulit" dan dapat disebabkan oleh etiologi
infeksi, inflamasi, dan / atau neoplastik; setiap kondisi yang menghasilkan akumulasi eksudat
neutrofilik dapat disebut pioderma. Paling umum, bagaimanapun, pioderma mengacu pada
infeksi bakteri pada kulit. Pyodermas sering terjadi pada anjing dan lebih jarang terjadi pada
kucing.

Pyodermas bakteri adalah infeksi sederhana atau infeksi kompleks. Infeksi sederhana
adalah yang terjadi pada hewan muda yang dipicu oleh satu kali atau kejadian sederhana,
misalnya, serangan kutu. Infeksi kompleks berulang dan berhubungan dengan penyakit yang
mendasarinya, seperti alergi (alergi kutu, dermatitis atopik, alergi makanan), penyakit internal
(terutama endokrinopati seperti hipotiroidisme atau hiperprenokortikisme), kondisi seboroik
(termasuk penyakit kelenjar folikel atau sebaceous), penyakit parasit (misalnya, Demodex
canis), atau predisposisi anatomi (misalnya lipatan kulit). Infeksi sederhana atau kompleks
bisa superfisial atau mendalam. Piroderma bakteri terbatas pada epidermis dan folikel rambut
disebut sebagai superfisial, sedangkan mereka yang melibatkan dermis, dermis yang dalam,
atau menyebabkan furunkulosis disebut sedalam ini. Klasifikasi etiologi mengacu pada
organisme patogenik yang terlibat dalam infeksi (misalnya, staphylococci, streptococci, dll).
Infeksi superfisial dan sekunder untuk berbagai kondisi lain.

Pioderma adalah kelainan kulit akibat infeksi yang umum dijumpai. Pioderma
disebabkan oleh infeksi Staphylococcus dan/atau Streptococcus. Pioderma merupakan salah
satu bagian dari kelompok penyakit lebih luas yang disebut skin and soft tissue infections
(SSTI). SSTI sebenarnya mencakup banyak penyakit lain, seperti infeksi jamur dan bakteri
lain selain Staphylococcus dan/atau Streptococcus.

Pioderma diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

 Pioderma primer, yaitu pioderma pada kulit yang sebelumnya sehat.


 Pioderma sekunder, yaitu pioderma yang menyertai penyakit kulit lainnya, misalnya
pioderma pada pasien dermatitis. Tampilan klinis pada pioderma golongan ini
umumnya tidak lagi khas Impetigo krustosa. Sumber: Openi, 2015.
Klasifikasi

Ada banyak jenis pioderma dengan berbagai cara pembagiannya. Ada yang membagi
pioderma berdasarkan lapisan kulit yang terinfeksi (pioderma superfisialis dan pioderma
profunda). Ada juga yang membagi menjadi pioderma supuratif dan nonsupuratif.

Pioderma Superfisialis, terdiri atas:

 Impetigo. Impetigo merupakan infeksi kulit pada epidermis. Impetigo dibagi menjadi
dua, yaitu impetigo bulosa dan impetigo krustosa.
 Folikulitis. Folikulitis merupakan inflamasi pada folikel rambut yang dapat bersifat
superfisial maupun profundal.
 Furunkel. Furunkel merupakan peradangan pada area sekitar folikel yang meluas
hingga jaringan subkutan.
 Karbunkel. Karbunkel adalah kumpulan furunkel dalam satu area.
 Furunkulosis. Adanya lebih dari satu furunkel pada pasien.
 Ektima. Ektima adalah infeksi hingga dermis sehingga menimbulkan ulkus tepi
meninggi superfisial disertai krusta.

Pioderma Profundal, terdiri atas :

 Erisipelas. Erisipelas merupakan infeksi pada lapisan dermis yang umumnya disertai
keterlibatan aliran getah bening. Definisi erisipelas ini tidak universal dan berbeda di
berbagai tempat. Ada sentra pendidikan yang mendefinisikan erisipelas sebagai
selulitis pada wajah. Di beberapa negara Eropa, erisipelas dan selulitis bahkan
dianggap sebagai dua entitas yang sama.
 Selulitis. Selulitis adalah infeksi kulit yang mirip dengan erisipelas, namun sudah
melibatkan jaringan subkutan.
 Flegmon. Flegmon adalah terminologi untuk selulitis yang telah mengalami supurasi.
 Hidraadenitis. Hidraadenitis adalah infeksi yang melibatkan kelenjar apokrin.
 Ulkus piogenik.
 Abses kelenjar keringat.

Bentuk pioderma lainnya adalah Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). SSSS
sering disebut juga sebagai penyakit Ritter atau dermatitis eksfoliativa neonatorum. Penyakit
ini merupakan penyakit infeksi dengan gejala berupa epidermolisis.
Patofisiologi pioderma dimulai dari rusaknya sawar stratum korneum. Pada kulit yang
intak, flora normal, sistem imun non-spesifik, dan asam lemak akan menjadi pertahan
pertama untuk mencegah terjadinya infeksi. Namun bila sawar stratum korneum rusak,
organisme seperti Staphylococcus dan Streptococcus lebih mudah untuk masuk dan
menginvasi kulit. Selanjutnya akan terjadi kolonisasi organisme yang diikuti dengan infeksi
apabila terdapat nutrien dan kelembaban yang tepat. Setelah organisme masuk melewati
sawar epidermis, akan diikat oleh antigen presenting cell seperti sel Langerhans, makrofag,
dan dendroit dermis. Sel-sel ini akan memproses dan mempresentasikan fragmen antigen
kepada limfosit spesifik. Limfosit kemudian akan membentuk sel inflamasi perivaskular.
Kemdian, terjadi peranan sitokin proinflamasi yang akan menghancurkan antigen dan sel
yang terinfeksi, hal ini lah yang menimbulkan gambaran peradangan pada kulit.

Etiologi pioderma yang tersering adalah Staphylococcus dan Streptococcus.

 Impetigo Krustosa

Penyebab tersering impetigo krustosa adalah Streptococcus, namun tren saat ini
semakin banyak yang disebabkan Staphylococcus aureus, termasuk golongan methicillin-
resistance Staphylococcus aureus (MRSA).

 Impetigo Bulosa

Impetigo bulosa mayoritas disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus dan juga
paling sering menyerang populasi anak, terutama balita.

 Infeksi Folikel

Mayoritas penyebab infeksi folikel adalah S.aureus. Ada beberapa patogen lain yang
juga dapat menyebabkan masalah ini, misalnya Pseudomonas aeruginosa pada kasus
folikulitis didapat dari kolam renang.

Contoh kasus pyoderma pada hewan

A. Furunkulosis
Furukulosis sering teradi pada kuda dan kambing. Folikultis adalah inflamasi pada
folikel rmbt, sedangkan furunkulosis adalah proses inflamasi yang menembus olikel
rambut dan meluas pada seditar epidermis dan subkuan. Multiple area karbunkel
furnkulosis pada kuda menyebabkan indurasi fokal dan traktus fistulous.
Penyebab utamanya folikulitis dan furunkulosis pada ternak adalah Staphylococcus
Sp. Staphylococuss pathogen pada hewan besar adalah S. aureus, S. intennedius, S.
hycus. Penyebab lain adalah Strepococus Sp.; Corynebacterium, Pseudotuberculosis
(Canadian horsepox atau contagious acne), Corynebacterium Equi, dan
Dermathophylosis Congolensis. Pada domba penyebabnya adalah Staphylococcus Sp.,
Adinomyces Pyogenes, dan Pseudomonas Aeruginosa.
Faktor predisposisi folikulitis dan furunkulosis adalah trauma mekanis, gigitan
serangga, dan sanitasi yang buruk.
Diagnosis. Tindakan diagnosis didasarkan pada enamnesis, pemeriksaan fisik, kutur
bakeri, dan biopsi kulit.
Terapi
 Pada kasus ringan seringkali sembuh dengan sendirinya. Pada kasus yang parah, kulit
harus dibersihkan, dikeringkan, dan diberi antibekerial (chlorhexidine tiap hari selama
5-7 hari, kemudian 2 kai seminggu hingga sembuh).
 Antibiotika sistemik perlu diberikan pada asus parah dan proresif. Berikan procaine
penicillin G 200 IU/kg tiap hari selama 7-10 hari. Mungkin banyak Staphylococcus
Sp.yag resisten terhadap penicillin, namun masih peka terhadap erythromycin,
trimethoprim-sulfomethoxazole, dan amino-glikosida. Long-acting oxytetracycline
(10-20 mg/kgBB) dapat digunakan jika pemberian antibiotika harian sulit dilakukan.

B. Pyoderma (Infeksi Kulit Bakterial)

Folikulitis bakteri (pioderma superfisial) biasanya disebabkan oleh Staphylococcus


positif koagulase. Baik S. aureus dan S. intermedius memiliki telah diisolasi. Menariknya,
dalam penelitian lain, lysozymes dari neutrofil kuda hanya sedikit baktericidal untuk S.
aureus. Banyak isolat yang tahan terhadap penicillin G3.

Tanda-tanda klinis pyoderma staphylococcal adalah paling sering crusts, biasanya


dalam pola melingkar yang sugestif dermatofitosis (ini mungkin alasannya pioderma kuda
yang kurang terdiagnosis), epidermal collarettes (lesi kulit melingkar dengan perbatasan
exfoli seperti yang terlihat pada anjing dengan superfisial pioderma; Buah ara. Gambar 1
dan 2), atau papul bertaburan similar dengan pola reaksi dermatitis miliaria di kucing.
Infeksi ini cenderung bervariasi pada intensitas pruritus yang dialami. Histologi biasanya
menunjukkan folliculitis dan / atau furunculosis, tetapi koloni bakteri tidak selalu terlihat.
Bentuk terompet dari bakteri folliculitis (jerawat menular, pustular menular dermatitis,
atau horsepox Kanada) sering dikaitkan dengan perawatan yang buruk, trauma dari tack
dan pelana, cuaca basah yang hangat, dan kerja berat. Ini menyakitkan dan mengganggu
kerja dan berkuda.

Biasanya disebabkan oleh koagulase positif Staphylococcus species tetapi mungkin juga
disebabkan oleh Corynebacterium pseudotuberculosis. Organisme ini lebih umum
penyebab pioderma dalam, seperti yang dibahas di bawah ini (Gambar 3).

Pada kuda, folikulitis sering terjadi berkembang di sadel dan lumbar region,
khususnya di musim panas. Area yang terkena awalnya mungkin bengkak dan sangat
sensitif; ini diikuti dengan pembentukan papula dan pustula folikuler. Ini bisa menjadi
konfluen atau pecah, terbentuk plak dan remah. Pioderma mendalam diikuti oleh
ulserasi dapat berkembang di area besar tubuh, terutama di leher, sisi dada, dalam

permukaan paha, atau kulup. Infeksi bakteri pastern (folikulitis pucat) sering terlihat.
Sekali lagi, agen penyebab biasanya suatu spesies Staphylococcus positif koagulase.
Sebagai dengan sebagian besar "pyodermas utama," mekanisme di mana organisme
mendapatkan pijakannya tidak diketahui (tidak menular dan bukan kondisi sanitasi
yang buruk). Lesi biasanya terbatas pada posterior sebagai pect dari daerah pastern
dan fetlock; satu atau lebih anggota badan mungkin terlibat. Lesi awal terdiri papula
dan pustula (Gbr. 4).

Jika tidak ditangani, lesi menyatu dan dapat menghasilkan area yang luas ulserasi dan
nanah, yang mungkin cukup menyakitkan. Penyakit ini biasanya tidak berhubungan
dengan tanda-tanda sistemik, dan kesehatan kuda secara umum adalah tidak
terpengaruh.

Pengobatan Pyoderma Equine

Antibiotik biasanya digunakan untuk banyak kulit bakteri infeksi pada kuda adalah
sulfa trimetoprim secara oral (30 mg / kg, q 12 jam selama 2-6 minggu, lebih lama
untuk infeksi yang dalam). Menariknya, interval pemberian dosis untuk IV
administration trimethoprim-sulfamethoxazole di kuda mungkin tidak sesuai untuk
digunakan dalam keledai atau bagal. Keledai mengeliminasi obat-obatan dengan cepat
dibandingkan dengan kuda. Dalam kasus Staphylococcus sp. resistensi terhadap obat
trimetoprim-sulfa, enrofloxacin dapat digunakan. Penggunaan enrofloxacin pada kuda
muda (2 tahun) harus dihindari karena kekhawatiran kerusakan pada tulang rawan
artikular. Reaksi terbaru pada penggunaan formulasi gel floxacin (100 mg / ml gel)
menunjukkan klinis yang baik khasiat untuk infeksi di beberapa organ; namun,
hampir sepertiga dari kuda memiliki beberapa diare, dan 10% memiliki lesi oral. Efek
samping yang terakhir ini dapat diatasi dengan administrasi air keran dari rongga
mulut. Pada intestingly, enrofloxacin mengikat melanin di kuda rambut, meskipun
implikasi klinisnya tidak diketahui. Dalam satu laporan dari 15 kuda, vankomisin
digunakan, sendiri atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida, untuk mengobati
MRSA dan infeksi enterococcal. Rata-rata dosis vancomycin usia 7,5 mg / kg, q 8 h,
IV over 30 menit. Antibiotik, sendiri atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida,
aman dan efektif. Karena masalah dengan resistensi yang muncul,

Orsini et al. merekomendasikan bahwa penggunaan vancomycin pada kuda


dibatasi pada kasus-kasus di mana budaya dan kerentanan menunjukkan keefektifan
dan tidak ada perawatan alternatif yang dapat disesuaikan lagi. Untuk lesi lokal, salep
mupirocin generik 2% atau perak sulfadiazine creama mungkin efektif. Sampo seperti
etil laktateb atau klorheksidin (2% -4%) sangat membantu. Dermatophilosis
disebabkan oleh actinomycete bakteri Dermatophilus congolensis. Tiga kondisi harus
ada agar Dermatophilus terwujud sendiri: hewan pembawa, kelembaban, dan abrasi
kulit. Hewan yang terkena dampak kronis adalah sumber infeksi primer. Namun,
mereka saja menjadi sumber infeksi yang serius ketika cairan mereka dibasahi. Ini
menghasilkan pelepasan zoospora, tahap infektif organisme.

Transmisi mekanis kronik dari penyakit ini terjadi oleh karena keduanya
saling menggigit dan tidak melalui gigitan lalat dan mungkin, fomites. Karena kulit
yang sehat normal cukup tahan infeksi dengan D. congolensis, beberapa faktor
predisposisi yang menghasilkan penurunan resistensi dari kulit diperlukan untuk
infeksi terjadi; berkepanjangan Membasahi kulit dengan hujan adalah salah satu
penyebab paling mematikan. Penyakit ini biasanya terlihat selama musim gugur dan
bulan musim dingin dengan permukaan dorsal hewan paling sering terkena.
Terkadang, lesi melibatkan ekstremitas bawah ketika hewan dipelihara di "padang
rumput basah" ("keracunan embun") atau jika kuda dilepaskan di stall sementara stall
dibersihkan dengan selang air bertekanan tinggi. Pada tahap awal penyakit, lesi dapat
dirasakan lebih baik daripada yang mereka bisa dilihat. Kerak tebal dapat diraba di
bawah rambut mantel (Gbr. 5).

Menghapus remah dan melekat rambut memaparkan permukaan kulit yang lembab
dan merah muda dengan keduanya mengangkat rambut dan kulit yang terpapar
dengan asumsi bentuk "kuas." Permukaan bagian bawah kerak biasanya cekung
dengan akar rambut menonjol. Diagnosis dibuat oleh "jalur kereta api" pada cocci
kesan apusan: sebagian dari salah satu remahnya harus dicincang dan dicampur
dengan beberapa tetes air steril pada slide kaca, gram bernoda, dan diperiksa secara
mikroskopis (Gbr. 6).

Kalau tidak, kultur bakteri atau histopatologi dapat digunakan untuk diagnosa.
Kerak tebal terdiri dari bolak-balik lapisan parakeratotik stratum korneum, rum
kering, dan neutrofil yang mengalami degenerasi adalah perubahan acteristik yang
paling ampuh. Folikulitis superfisial mungkin ciri menonjol dari penyakit. Dalam
beberapa bagian diwarnai dengan pewarnaan gram, percabangan, berserabut
organisme dapat diamati di kerak dan di folikel. Perawatan adalah pengangkatan dari
lingkungan basah, pengangkatan kerak (dengan hati-hati karena ini mungkin
menyakitkan), mencuci dengan iodophors atau jeruk nipis belerang, dan penggunaan
antibiotik (penisilin pada 22.000 mg / kg prokain pena G, q 12 jam, IM atau
trimetoprim sulfa secara oral dengan dosis yang sama digunakan untuk staphylococcal
pyoderma) selama 7 hari. Karena remah adalah factor penting dalam penularan, maka
harus dibuang bukannya disikat ke tanah

D .GANGGUAN PATOLOGIK SUBKUTIS

A. SUBCUTANEUSUS EDEMA (ANASARCA)


 ETIOLOGI
Akumulasi cairan edema secara luas di jaringan subkutan adalah bagian dari
edema umum dan disebabkan oleh penyakit yang sama, sebagai berikut.
a. Meningkatnya Tekanan Hidrostatik
 Gagal jantung kongestif
 Kompresi vaskular oleh massa (misalnya, limfosarkoma mediastinum
anterior, hematoma besar)
 Obstruksi vaskular pembuluh darah atau pembuluh limfatik (misalnya,
tromboflebitis atau trombosis)
b. Hypoproteinemic (Hypooncotic) Edema
 Produksi albumin yang berkurang di hati terkait dengan peradangan kronis
atau insufisiensi hati (misalnya, fascioliasis atau sirosis hati)
 Sindrom nefrotik dengan kehilangan protein ke urin (mis., Amiloidosis
ginjal pada sapi)
 Enteropati yang kehilangan protein (misalnya, nematodiasis usus atau
paratuberculosis pada sapi)
c. Peningkatan Permeabilitas Vessel Darah
 Inflamasi (misalnya, dourine kuda atau equine infeksius anemia, infeksi
bakteri oleh Clostridium spp. Atau Anthrax)
 Reaksi alergi (mis., Purpura hemorrhagica kuda, sengatan serangga)
 PATOGENESIS
Perubahan dalam keseimbangan antara tekanan hidrostatik cairan
intravaskular, darah dan getah bening, dan tekanan osmotik dari cairan atau
perubahan integritas mekanisme penyaringan endotelium kapiler (pembuluh bocor)
oleh tekanan hidrostatik dari sistem dan menyebabkan aliran cairan keluar dari
pembuluh ke jaringan.
 TEMUAN KLINIS
Ada pembengkakan terlihat, baik lokal atau menyebar. Kulit bengkak dan
lubang pada tekanan; tidak ada rasa sakit kecuali peradangan juga hadir. Pada hewan
besar edema biasanya terbatas pada aspek ventral kepala, leher, dan batang tubuh
dan jarang terlihat pada anggota badan.
 PENGOBATAN
Perawatan primer membutuhkan koreksi dari abnormalitas kausal utama.
Perawatan pendukung juga akan tergantung pada penyebab yang mendasari tetapi
dapat terdiri dari transfusi plasma atau seluruh darah dalam kasus-kasus edema
hypooncotic, atau terapi antiinflamasi atau diuretik dalam kasus-kasus edema
inflamasi atau alergi.

B. ANGIOEDEMA (ANGIONEUROTIC EDEMA)


 ETIOLOGI
Edema subkutan transien dan terlokalisasi sebagai akibat dari reaksi alergi dan
disebabkan oleh alergen endogen dan eksogen menimbulkan lesi lokal atau difus.
Angioedema paling sering terjadi pada sapi dan kuda di padang rumput, terutama
selama periode ketika padang rumput berbunga. Ini menunjukkan bahwa alergen
adalah protein nabati. Angioedema juga dapat terjadi sebagai reaksi buruk terhadap
pemberian parenteral antibiotik tertentu, vaksin, darah, plasma, atau cairan IV
lainnya.
 PATOGENESIS
Jenis reaksi hipersensitifitas yang tepat belum ditentukan, tetapi kebanyakan
kasus tampaknya berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I atau tipe III.
Setelah eritema awal, dilatasi pembuluh darah lokal diikuti oleh kebocoran plasma
melalui pembuluh yang rusak.
 TEMUAN KLINIS
Lesi lokal paling sering menyerang kepala, dengan edema difus dari moncong,
kelopak mata, konjungtiva, dan pipi. Kadang-kadang hanya konjungtiva yang
terpengaruh, sehingga kelopak mata bengkak, membran nictitating bengkak dan
menonjol, dan lakrimasi berlimpah. Bagian yang terkena tidak menyakitkan untuk
disentuh, tetapi menggelengkan kepala dan menggosok terhadap benda-benda
menunjukkan iritasi. Salivasi dan cairan hidung bisa disertai. Keterlibatan perineum
termasuk pembengkakan vulva, sering asimetris, dan kulit perianal, dan kadang-
kadang kulit ambing, bengkak dan edematous. Ketika ambing terpengaruh, puting
dan dasar ambing adalah edematous dan sapi dapat mengayuh dengan kaki belakang,
menunjukkan iritasi pada puting. Edema ekstremitas bawah, biasanya dari lutut atau
hock ke koroner, adalah tanda langka. Tanda-tanda sistemik tidak ada, kecuali pada
kasus-kasus langka di mana angioedema merupakan bagian dari respon alergi yang
lebih luas, ketika kembung, diare, dan dyspnea dapat terjadi, seringkali dengan
keparahan yang cukup untuk memerlukan perawatan segera.

C. EMPHYSEMA SUBCUTAN
 ETIOLOGI
Emfisema, gas bebas di jaringan subkutan, terjadi ketika udara atau gas
terakumulasi di jaringan subkutan sebagai akibat dari hal berikut:
 Udara masuk melalui luka kulit yang dibuat secara operasi atau tidak sengaja,
terutama di aksila atau daerah inguinal
 Perpanjangan dari emfisema paru
 Air yang memasuki jaringan melalui diskontinuitas pada lapisan saluran
pernapasan (misalnya, dalam fraktur tulang hidung; trauma pada mukosa faring,
laring, dan trakea yang disebabkan oleh trauma eksternal atau internal, seperti
pada tusukan paru oleh tulang rusuk yang retak; trauma pada trakea selama
upaya untuk melewati tabung nasoesophageal, mengikuti prosedur pencucian
trakea untuk membantu diagnosis penyakit pernafasan di mana trakea tidak
menyegel dengan cepat ke gerakan udara setelah pengangkatan trocar.
 Perpanjangan dari laserasi vagina pada sapi, khususnya pada sapi dengan
prolaps vagina dan setelah distosia, atau sapi dengan metritis nifas dan
akumulasi gas di uterus
 Infeksi gangren gas
 TEMUAN KLINIS
Pembengkakan subkutan terlihat lunak, tidak nyeri, berfluktuasi, dan sangat
krepitasi untuk disentuh, tetapi tidak ada lesi kulit eksternal. Dalam gangren gas,
perubahan warna, kedinginan, dan keluarnya serum bisa menjadi bukti. Area kulit
yang terkena cukup menyakitkan jika disentuh. Emfisema mungkin cukup parah dan
meluas untuk menyebabkan kekakuan kiprah dan gangguan pada makan dan
respirasi. Sumber emfisema subkutan biasanya langsung mengarah ke daerah yang
terkena paling parah, yang biasanya di sepanjang punggung.
 PATOLOGI KLINIS
Patologi klinis tidak diperlukan kecuali dalam kasus gangren gas, ketika
pemeriksaan bakteriologis cairan dari pembengkakan harus dilakukan untuk
mengidentifikasi organisme yang ada.
 PENGOBATAN
Perawatan primer adalah untuk mengatasi sumber udara, tetapi ini mungkin
mustahil untuk menemukan atau menutup. Perawatan suportif hanya diperlukan
dalam kasus yang sangat langka di mana emfisema meluas dan tidak mampu,
sehingga beberapa sayatan kulit mungkin diperlukan. Gangren gas membutuhkan
perawatan segera dan drastis dengan antibiotik.

D. LYMPHANGITIS
Limfangitis ditandai oleh peradangan dan pembesaran pembuluh getah bening dan
biasanya berhubungan dengan limfadenitis.
 ETIOLOGI
Lymphangitis dalam banyak kasus adalah hasil dari infeksi kulit lokal dengan
penyebaran berikutnya ke sistem limfatik. Penyebab umum adalah sebagai berikut.
Ternak
 Bovine farcy yang disebabkan oleh Mycobacterium farcinogenes dan
Mycobacterium senegalense
 Tuberkulosis kulit yang terkait dengan mikobakteria atipikal, jarang
Mycobacterium bovis
Kuda
 Epizootic lymphangitis (equine histoplasmosis) sebagai akibat dari Histoplasma
capsulatum var. Farciminosum
 Ulseratif limfangitis sebagai akibat dari Corynebacterium pseudotuberculosis
 Glander (farcy) yang disebabkan oleh Burkolderia mallei
 Sporotrichosis
 Limfangitis sporadis
 Strangles dalam kasus-kasus di mana lokasi lokasi yang ganjil terjadi
 Pada anak kuda, ulseratif limfangitis yang terkait dengan Streptococcus
zooepidemicus
 PATOGENESIS
Penyebaran infeksi di sepanjang pembuluh limfatik menyebabkan peradangan
kronis dan penebalan dinding pembuluh darah. Abses sering berkembang, dengan
debit ke permukaan kulit melalui sinus.
 TEMUAN KLINIS
Ulkus indolen biasanya ada di tempat infeksi yang asli. Pembuluh getah
bening meninggalkan bisul ini membesar, menebal, dan berliku-liku dan sering
memiliki bisul atau sinus sekunder sepanjang perjalanannya. Edema lokal dapat
terjadi akibat obstruksi limfatik. Dalam kasus kronis, banyak jaringan berserat dapat
diletakkan di subkutis, dan penebalan kulit kronis dapat terjadi. Permukaan medial
dari hindlimb adalah situs yang paling sering, terutama pada kuda.
 PATOLOGI KLINIS
Pemeriksaan bakteriologis debit untuk kehadiran bakteri atau jamur spesifik
adalah praktik umum.
 PENGOBATAN
Perawatan primer membutuhkan operasi eksisi bedah dini yang kuat atau
terapi antibiotik spesifik. Perawatan suportif ditujukan untuk menghilangkan cairan
dan eksudat inflamasi dan menghilangkan rasa sakit.

E. PANNICULITIS
Panniculitis adalah peradangan difus lemak subkutan yang telah dikaitkan dengan
sejumlah penyebab, seperti trauma, infeksi, peradangan situs pasca-injeksi, gigitan
serangga, neoplasia, erupsi obat, dan faktor diet (asupan asam lemak tak jenuh ganda
yang berlebihan atau kekurangan vitamin E). Nodul atau plak yang dalam, kuat, dan
nyeri yang dapat mencapai diameter 15 cm atau lebih, sering dalam jumlah besar, di
mana saja di atas tubuh tetapi terutama di leher, paling sering terjadi pada kuda muda dan
jarang pada sapi. Lesi dapat sangat berfluktuasi dalam ukuran dan jumlah, atau bahkan
menghilang secara spontan. Dalam beberapa kasus demam transien, asupan makanan
berkurang, dan penurunan berat badan. Kepincangan mungkin terlihat pada kuda dengan
lesi yang luas. Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan histologis dari spesimen biopsi.
Pada pemeriksaan nekropsi tidak ada lesi lainnya. Lesi mengurangi ukuran dan jumlah
setelah pemberian dexamethasone tetapi kambuh ketika pengobatan berhenti.

F. HEMATOMA
Hematoma mengacu pada ekstravasasi darah utuh ke jaringan subkutan
 ETIOLOGI
Akumulasi darah di jaringan subkutan di luar batas yang biasanya disebabkan
oleh trauma mungkin disebabkan oleh defek pada mekanisme koagulasi atau akibat
dari peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah. Penyebab umum termasuk
yang berikut:
 Ruptur traumatis pembuluh darah besar
 Keracunan Dicoumarol dari jerami semanggi manis yang berjamur
 Purpura hemorrhagica pada kuda
 Keracunan Bracken pada ternak; penyakit granulocytopenic lainnya diwujudkan
terutama oleh petechiation, dengan lesi yang diamati hanya di mukosa
 Penyakit sistemik yang terkait dengan koagulopati intravaskular diseminata
(DIC)
 Hemangiosarcoma di tempat subkutan
 Pancytopenia bovine neonatal
 Hemofilia yang diwariskan
 PATOGENESIS
Kebocoran darah dari sistem vaskular dapat menyebabkan pembengkakan
lokal, yang mengganggu fungsi tubuh normal tetapi jarang cukup luas untuk
menyebabkan tanda-tanda anemia.
 TEMUAN KLINIS
Pembengkakan subkutan akibat perdarahan bersifat difus dan lunak, tanpa
efek yang terlihat pada permukaan kulit. Mungkin tidak ada bukti trauma. Lokasi
spesifik perdarahan subkutan pada kuda mencakup aspek frontal dada - sebagai
akibat fraktur tulang rusuk pertama dalam tubrukan pada kecepatan penuh, dan
sering fatal melalui perdarahan internal - dan perivaginal pada foaling, menyebabkan
pembengkakan masif pada perineum dan medial. aspek paha.
 PATOLOGI KLINIS
Pemeriksaan visual dari aspirasi jarum menegaskan adanya perdarahan
subkutan. Diagnosis penyebab utama sangat dibantu oleh jumlah trombosit dan
prothrombin, pembekuan, dan waktu perdarahan.
 PENGOBATAN
Perawatan Primer
Tujuan pengobatan primer adalah menghilangkan atau mengoreksi penyebabnya.
Perawatan suportif
Hematoma tidak boleh dibuka sampai pembekuan selesai, kecuali dalam kasus
perdarahan masif yang mengganggu respirasi, defekasi, atau buang air kecil. Jika
kehilangan darah parah, transfusi darah mungkin diperlukan. Injeksi koagulan
parenteral dapat dibenarkan jika perdarahan baru dan berat.

G. NECROSIS DAN GANGRENE


Nekrosis adalah kematian jaringan; gangren adalah peluruhan jaringan yang mati.
Ketika perubahan terjadi di kulit, itu melibatkan dermis, epidermis, dan jaringan
subkutan. Berbagai jenis gangren diakui:
a. Gangren kering terutama disebabkan oleh oklusi arteri yang menyebabkan iskemia
jaringan. Jaringan yang terkena muncul kering dan mengecil, dengan perubahan
warna gelap dan garis demarkasi yang jelas dari jaringan yang sehat. Tidak ada
infeksi bakteri atau pembusukan karena bakteri gagal bertahan hidup di jaringan
kering.
b. Gangren basah paling sering terjadi setelah penyumbatan tiba-tiba aliran darah vena
yang menyebabkan iskemia sementara jaringan yang terkena jenuh dengan darah
yang stagnan. Trauma jaringan (misalnya, dari trauma mekanik atau luka bakar) dan
iskemia menghasilkan pelepasan air jaringan dan memberikan area yang terkena
penampilan yang basah dan bengkak. Karena jaringan yang lembab dan kaya protein
memfasilitasi pertumbuhan bakteri, infeksi dengan mikroorganisme saprogenik
umum terjadi. Ini Infeksi menyebabkan aspek busuk dan bau busuk dan bau jaringan
dan dapat menyebabkan septikemia.
c. Gangren gas disebabkan oleh C. perfringens.
 ETIOLOGI
Kerusakan parah pada kulit dalam kategori berikut menyebabkan gangren:
 Trauma berat atau lanjut (misalnya, luka tekanan, pelana dan goyangan,
nekrosis karpal atau tarsal pada hewan yang telentang)
 Bahan kimia kaustik kuat (misalnya, creosote)
 Dingin atau panas yang parah, dengan kebakaran hutan dan kebakaran stabil
adalah pelanggar terburuk. Frostbite adalah kejadian yang tidak biasa pada
hewan kecuali pasien mengalami defisit peredaran darah (misalnya, pada
neonatus, pada syok berat atau toksemia).
 Beta-iradiasi
 Infeksi, terutama:
 Erysipelas dan salmonellosis pada babi
 Infeksi Clostridial pada sapi, mempengaruhi subkutis dan otot
 Mastitis stafilokokus pada sapi; mastitis pasteurella pada domba
 Bovine ulcerative mammillitis dari ambing dan puting
 Obstruksi vaskular lokal - obstruksi oleh thrombi atau spasme arteri
menyebabkan gangren kulit tetapi mencakup struktur yang lebih dalam, juga
keracunan oleh:
 Claviceps purpurea
 Festuca arundinacea (mungkin karena jamur yang menyertainya)
 Aspergillus terreus
 Jamur
 Injeksi intranermal anestesi lokal yang mengandung epinefrin dikaitkan dengan
gangren kering pada kulit yang disuntikkan pada sapi. Keterlibatan kulit dan
struktur yang serupa terjadi pada infeksi sistemik di mana emboli bakteri
memblok pembuluh lokal (misalnya, pada salmonellosis pada betis, dan setelah
vaksinasi ekor anak sapi dengan Mycoplasma mycoides).
Penyebab Lain
 Tahap akhir dermatitis fotosensitif dan seborrhea lentur
 Infeksi cacing sekrup
 PATOGENESIS
Penyebab dasar gangren adalah gangguan pasokan darah lokal oleh tekanan
eksternal; oleh pembengkakan parah pada kulit, seperti pada fotosensitisasi; atau
dengan spasme arteri atau kerusakan pembuluh oleh racun bakteri.
 TEMUAN KLINIS
Dengan gangren kering lesi kering dari awal, dan daerah dingin dan cekung,
dengan perubahan warna merah-coklat dan tanpa bau menyengat, menyerupai
jaringan mumi. Infeksi bakteri umumnya tidak ada. Peluruhan jaringan kering
mungkin membutuhkan waktu lama, dan permukaan yang mendasari biasanya terdiri
dari jaringan granulasi. Pada gangren basah lesi awal basah dan keluar, dan area
yang terkena bengkak, timbul, berubah warna, dan dingin. Pemisahan terjadi di tepi,
dan kulit yang terkena bisa mengelupas sebelum mengering; Permukaan yang
mendasari adalah mentah dan menangis. Karena gangren basah dalam banyak kasus
disertai dengan infeksi patogen saprofit, jaringan yang terkena sering memiliki aspek
busuk dan bau busuk. Penyakit sistemik dapat terjadi akibat penyerapan produk-
produk beracun dari kerusakan jaringan dan bakteri, yang menyebabkan septikemia.
Presentasi gangren gas dibahas di bawah “Edema Maligna.”
 PENGOBATAN
Perawatan primer membutuhkan penghilangan penghinaan etiologi. Perawatan
suportif yang terdiri dari penggunaan salep astringen dan antibakteri mungkin
diperlukan dalam kasus gangren basah untuk memfasilitasi pemisahan jaringan
gangren dan untuk mencegah infeksi bakteri. Debridemen jaringan agresif dari
jaringan nekrotik dan pada kasus berat amputasi bagian tubuh yang terkena mungkin
diperlukan. Antibiotik sistemik tidak mencapai jaringan gangren tetapi diindikasikan
setiap kali septikemia dicurigai.

H. LESI GRANULOMATUS DARI KULIT


Lesi granulomatosa adalah nodul inflamasi kronik, plak, dan bisul; keras, dan
berkembang lambat, sering disertai limfangitis dan limfadenitis. Dalam banyak kasus
tidak ada diskontinuitas kulit atau alopecia. Beberapa penyebab umum pada hewan
adalah sebagai berikut.
Ternak
 Bovine farcy yang disebabkan oleh M. Farcinogenes dan M. Senegalense
 Actinobacillosis (botryomycosis) yang disebabkan oleh Actinobacillus lignieresi
 Infestasi dengan Onchocerca spp.
 Infestasi dengan larva Hypoderma spp.
 Infeksi dengan Mucor spp. jamur di nodul berdinding tebal di kulit pada aspek
posteroventral dari ambing
Domba
 Pijakan kaki stroberi - D. Congolensis
 Ecthyma
 Lesi ulseratif pada rahang bawah
Kuda
 Kalsinosis tumor, yang menyebabkan granulomata bulat keras, tidak nyeri, sferis,
berdiameter sampai 12 cm, dekat sendi dan selubung tendon, terutama sendi yang
kaku.
 Amiloidosis kutaneus
 Kolagenolitik granuloma (nodular necrobiosis) - penyakit kulit nodular yang paling
umum pada kuda. Etiologi tidak diketahui. Ada beberapa nodul perusahaan yang
terletak di dermis, mulai dari diameter 0,5 hingga 5 cm. Permukaan kulit dan rambut
di atasnya biasanya normal. Biopsi mengungkapkan kolagenolisis. Perawatan terdiri
dari operasi pengangkatan dan kemungkinan pemberian kortikosteroid.
 Botryomycosis, atau pseudomikosis bakteri, hasil dari infeksi bakteri di banyak
tempat, sering disertai oleh benda asing. Lesi pada ekstremitas, brisket, perut ventral,
dan skrotum bervariasi dalam ukuran dari nodul ke pertumbuhan fungating besar
yang terdiri dari jaringan inflamasi yang kuat yang ditulisi oleh traktus nekrotik,
yang mengarah ke pengeluaran sinus, sering mengandung butiran kecil kuning-putih
atau “grains.” Eksisi bedah adalah satu-satunya yang bisa dilakukan larutan.
 Granuloma eosinofilik Equine - nodul nonalopecik, tanpa rasa sakit, nonpruritis,
tegas, berdiameter 2 sampai 10 cm dan tertutup oleh kulit normal, berkembang di
leher, layu, dan punggung kuda, terutama di musim panas. Penyebabnya tidak
diketahui, dan perawatan paliatif, eksisi bedah, atau pemberian kortikosteroid
biasanya diberikan.
 Penyakit granulomatosa sistemik (equine sarcoidosis) - sebuah penyakit langka pada
kuda yang ditandai oleh lesi kulit dan keterlibatan luas paru-paru, kelenjar getah
bening, hati, saluran pencernaan, limpa, ginjal, tulang, dan sistem saraf pusat.
 Burkolderia mallei - kelenjar atau kelenjar kulit
 Actinomadura spp. dan Nocardia brasiliensis - mycetoma tanpa rasa sakit
 Histoplasma farciminosum - limfangitis epistemik
 Corynebacterium pseudotuberculosis - lymphangitis ulseratif
 Habronema megastoma dan Hyphomyces destruens sebagai penyebab kanker rawa,
bursattee, lintah kuda Florida, dan blackgrain mycetoma
 Infestasi dengan Onchocerca spp.
 urtikaria kronis
Babi
 Actinomyces spp. dan B. suilla menyebabkan lesi pada ambing.

E.GANGGUAN EPIDERMIS DAN DERMIS

Gangguan epidermis dan dermis meliputi demodecosis , scabies, dermatophilosis.

A. PENDAHULUAN
Demodecosis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh sejumlah parasit
eksternak/tungau dari genus Demodex. Penyakit ini dapat menyerang berbagai hewan antara
lain anjing, kucing, sapi, kambing, domba, babi dan kuda, kecuali unggas. Kasus
demodecosis juga dilaporkan pada menyerang manusia. Tungau Demodex sp hidup dalam
folikel rambut dan kelenjar sebaseus dengan memakan sebum, serta debris (runtuhan sel)
epidermis.
Umumnya anjing yang terserang akan mengalami kerontokan rambut di daerah
tetentu, seperti di sekitar mata, mulut, leher, dan siku kaki depan, yang diikuti dengan
munculnya tonjolan-tonjolan pada kulit yang berwarna kemerahan. Demodekosis dikenal
juga dengan nama Red mange, Follicular mange, or Puppy mange sedangkan pada manusia
penyakit ini disebut sebagai “Black Heads”. Kerugian eknomis yang diakibatkan oleh
penyakit ini adalah adanya kerusakankulit dan penurunan kondisi tubuh sehingga
menurunkan nilai jualnya. Meskipun ditemukan dalam bentuk nodule kecil, tetapi berdampak
pada penurunan harga kulit yang signifi kan. Kulit dari penderita demodecosis yang parah,
praktis tidak dapat dijual.
Tungau Demodex sp dipercaya sebagai fauna normal pada kulit. Penularannya terjadi
karena kontak langsung induk terhadap anak-anaknya pada saat menyusui, yaitu sekitar 2-3
hari di awal-awal kehidupan. Tungau ini bahkan sudah dapat ditemukan pada anak anjing
yang berumur sekitar 16 jam. Suatu penelitian menunjukkan bahwa anak anjing yang lahir
melalui bedah Caesar tidak terinfestasi tungau Demodex sp.
Umumnya anjing dewasa yang menderita demodecosis berkorelasi positif dengan
ganggungan sistem imun, seperti kanker, penyakit liver, ginjal maupun ketidakseimbangan
hormonal. Pada beberapa kasus juga terjadi imunosupresi, akibat adanya penekanan terhadap
produksi limfosit T. Hewan yang sedang dalam terapi menggunakan obat imunosupresif
seperti kortikosteroid juga dapat berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh hewan yang
akhirnya dapat memicu timbulnya demodecosis.
B. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh sejenis tungau yang disebut Demodex sp., berbentuk
seperti cerutu atau wortel, mempunyai 4 pasang kaki yang pendek dan gemuk serta memiliki
3 ruas. Bagian perutnya terbungkus kitin dan bergaris melintang menyerupai cincin serta
memipih ke arah caudal. Ukuran tungau bervariasi antara 0,2 – 0,4 mm.
Beberapa spesies tungau memiliki inang spesifi k, seperti demodecosis pada sapi pada
sapi disebabkan oleh D.bovis, pada anjing oleh D.canis, D.cornei dan D.injai. Pada kucing
disebabkan oleh D.cati dan D.gatoi, pada kambing oleh D.caprae, D.criceti pada marmot,
D.phylloides pada babi D.equi pada kuda dan D.folliculorum pada manusia.
Tungau demodex hidup di dalam kelenjar minyak dan kelenjar keringat (glandula
sebacea) dan memakan epitel serta cairan limfe dari beberapa hewan, kecuali unggas. Dalam
kondisi tertentu tungau demodek dapat menginfestasi manusia.

C. EPIDEMIOLOGI
1. Siklus Hidup
Seluruh siklus hidup demodec sp berlangsung pada tubuh inangnya selama 20-35 hari,
yang terdiri dari telur, larva, nimfa dan dewasa di dalam folikel rambut atau kelenjar keringat.
Tungau jantan terdistribusi pada permukaan kulit, sedangkan tungau betina meletakkan 40-90
telur yang berbentuk simpul (spindel shape) di dalam folikel rambut. Larva dan nimfa
terbawa oleh aliran cairan kelenjar ke muara folikel. Dilokasi inilah, tungau dewasa kawin.
Telur akan menetas menjadi larva berkaki enam dalam waktu 1-5 hari, lalu berkembang
menjadi nimfa yang berkaki delapan, kemudian menjadi dewasa. Waktu yang diperlukan
sejak dari telur sampai menjadi dewasa adalah antara 11-16 hari.
2. Sifat Alami Agen
Tungau Demodec sp memiliki daya tahan hidup yang sangat baik, bahkan diluar inang
dengan kondisi lingkungan yang lembab dilaporkan mampu bertahan hidup selama berhari-
hari. Perbedaan morfologi tungau yang berasal dari satu inang dan inang lainnya sulit
dibedakan walaupun disebutkan sebagai spesies yang berbeda.
Gambar 1. Demodex sp

3. Spesies Rentan
Semua hewan mamalia rentan terhadap penyakit ini, antara lain anjing, kucing,
kambing, domba, babi, kuda, sapi, kerbau, marmot, kelinci dan manusia.
4. Pengaruh Lingkungan
Tungau hidup di dalam folikel rambut dan kelenjar sebaseus, dapat hidup dalam
beberapa hari pada inang. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tungau dapat hidup
selama 21 hari dalam potongan rambut/bulu pada kondisi basah dan dingin, sedangkan pada
kondisi normal tungau betina dapat hidup sekitar 40 hari, namun tungau pada umumnya amat
peka terhadap kekeringan.
5. Sifat Penyakit
Penyakit umumnya bersifat endemis bersifat endemis.
6. Cara Penularan
Penularan melalui kontak langsung antara penderita dengan hewan sehat.
7. Distribusi Penyakit
Kasus penyakit Demodecosis tersebar luas di seluruh Indonesia.

D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang tampak pada kulit berupa alopecia (kebotakan), kemerahan, dan
kulit mejadi berkerak. Pada tahap yang lebih lanjut, dapat terjadi demodecosis general
disertai dengan peradangan dan infeksi sekunder oleh bakteri. Lapisan kulit yang terinfeksi
terasa lebih berminyak saat disentuh.
Tungau sangat menyukai bagian tubuh yang kurang lebat bulunya, seperti moncong
hidung dan mulut, sekitar mata, telinga, bagian bawah badan, pangkal ekor, leher sepanjang
punggung dan kaki. Rasa gatal yang ditandai dengan hewan selalu mengaruk dan
menggosokkan badannya pada benda lain atau menggigit bagian tubuh yang gatal, sehingga
terjadi iritasi pada bagian yang gatal berupa luka/lecet, kemudian terjadi infeksi sekunder
sehingga timbul abses, sering luka mengeluarkan cairan (eksudat) yang kemudian mengering
dan menggumpal dan membentuk kerak pada permukaan kulit.
Ada 2 (dua) bentuk infeksi pada kulit akibat iritasi yaitu bentuk squamous (bersisik)
dan bentuk pustular (benjolan). Bentuk squamous biasanya terdapat pada anjing, sedangkan
bentuk pustular sering ditemukan pada sapi. Ukuran benjolan/nodule sangat bervariasi, mulai
dari berukuran kecil sampai sekitar 2 cm, bahkan lebih besar. Lesi berawal pada daerah
kepala, menjalar ke daerah leher dan kemudian dapat menutupi seluruh tubuh.

2. Patologi
Tidak ada tanda yang khas pada perubahan anatomi, selain adanya perubahan/lesi
pada kulit seperti tersebut di atas.

3. Diagnosa
Diagnosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifi
kasi adanya tungau Demodex sp. Langkah diagnosis yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan deep skin scraping atau pengerokan kulit hingga berdarah. Scraping dilakukan
dengan memegang dan menggosok daerah terinfeksi untuk mengeluarkan tungau dari folikel
dengan menggunakan scalpel. Scraping dilakukan pada beberapa tempat. Setelah hasil
scraping didapatkan, hasil tersebut kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan
pembesaran 10X untuk menginterpretasikan hasil kerokan kulit tersebut.

4. Diagnosa Banding
a. Folikulitis/furunkulosis akibat bakteri, dermatophytosis, pemphigus kompleks, dermatitis
kontak, dermatomiositis, dan lupus erytrematous kompleks.
b. Dermatitis yang disebabkan oleh jamur atau Scabies .

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen


Spesimen berupa kerokan pada kulit yang terinfeksi tungau dimasukkan ke dalam
cawan petri tanpa ditambah larutan apapun, atau ditambah larutan Glycerol 5-10 % untuk
melihat tungau yang masih hidup dan melihat pergerakannya di bawah mikroskop. Identifi
kasi tungau dapat dilakukan dengan menambahkan NaOH 10 % atau KOH 10 % secara
mikroskopis. Isi pustula yang diperoleh dengan jalan melakukan sayatan pada bagian kulit
dari pustula/nodula dimasukkan ke dalam botol yang berisi formalin 5% atau alkohol 70 %
agar lebih tahan lama apabila spesimen tersebut akan dikirimkan/diperiksa ke tempat lain.

E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Pengobatan pada demodecosis bergantung pada tingkat keparahan kasus yang terjadi.
Pengobatan yang diberikan memerlukan waktu yang lama dan harus dipantau secara berkala
selama 4-6 minggu, untuk memastikan populasi Demodex kembali normal. Pemeriksaan skin
scrap perlu dilakukan dengan interval 2 minggu, jika hasil pemeriksaan menunjukkan tidak
ditemukannya Demodex pada 2 kali pemeriksaan, maka hewan tersebut dapat dikatakan
sudah sembuh, dan pengobatan dapat dihentikan. Demodecosis dapat menyerang kembali
hewan yang sudah sembuh, jika sistem kekebalan hewan tersebut mengalami penurunan.
Pengobatan dilarang menggunakan kortikosteroid sistemik maupun topikal, karena
kortikosteroid dapat menyebabkan imunosupresi yang kemungkinan akan memperparah
demodecosis.
Pengobatan pada demodecosis lokal dapat dilakukan dengan memberikan salep yang
mengandung 1 % rotenone (goodwinol ointment) maupun gel benzoyl peroxide 5 % yang
diaplikasikan sekali sehari setiap hari selama 1-3 minggu. Selain itu, pengobatan harus
disertai dengan memandikan hewan dan melakukan pemberian shampoo yang mengandung
antiseboroik (benzoyl peroxide) secara berkala minimal semingu sekali. Selanjutnya dapat
memberikan amitraz yang diencerkan dengan konsentrasi 0,1 % pada area alopecia sehari
sekali selama dua minggu. emberian amitraz dilakukan bila demodecosis sudah menyeluruh
dan tanpa disertai komplikasi. Untuk mengurangi efek samping dari amitraz dapat
menggunakan yohimbin dengan dosis 0,25 ml/10 kg BB secara intravena perlahan-lahan.
Pada kasus demodecosis yang disertai dengan komplikasi (disertai pyoderma, kulit bersisik,
pengerasan kulit luar, dan hipofungsi kelenjar tyroid), maka pengobatan awal ditujukan untuk
mengobati pyoderma sebelum mengobati demodecosis dengan akarisida.
Pengobatan pada canine generalized demodecosis (CGD), tidak hanya untuk
membunuh tungau saja, tetapi juga untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pengobatan
dapat dilakukan dengan memandikan hewan dengan amitraz dengan konsentrasi 0,025 % dua
kali seminggu. Sebaiknya sebelum menggunakan amitraz, hewan terlebih dahulu dimandikan
dengan shampoo yang mengandung benzoyl peroxide untuk mengurangi minyak dan
runtuhan sel epidermis.
Pada anjing yang memiliki bulu panjang dan lebat, harus dilakukan pencukuran
rambut terlebih dahulu agar obat lebih mudah meresap. Obat sistemik yang dapat diberikan
adalah ivermectin (300-600 μg/kg bb/hari), Milbemycin (1.0-2.0 mg/kg bb/hari),
Moxidectine (0.5 mg/kg bb 2 minggu 1x secara topikal), dan vitamin E sebagai penguat efek
terapi akarisida (400-800 IU 3-5x/hari).
Pemakaian ivermectin perlu diwaspadai karena obat ini memiliki kontraindikasi untuk
anjing jenis Collie, Shelties, Australian shepherds, dan Old English sheepdogs. Efek samping
yang dapat ditimbulkan dari pemberian ivermectin adalah salivasi dan inkoordinasi. Obat
akarisida tetap dilanjutkan sebanyak 2-3x setelah pemeriksaan kerokan kulit menunjukkan
hasil yang negatif. Hal-hal yang menjadi faktor penting untuk mencegah demodecosis adalah
dengan memperbaiki nutrisi, mengatasi gangguan parasitik, dan gangguan lainnya.
Pengobatan secara individual, beberapa obat dapat dipakai, antara lain Benzoas
Bensilikus 10 % dioleskan pada bagian kulit yang luka, BHC 0,05%, Coumaphos 0,05-0,1 %
dengan cara disemprotkan atau merendam pada seluruh badan, Coumaphos salep 1-2 %.
Sedangkan akarisida misalnya ivermectin dengan dosis 200 g/kg bb diberikan secara
subcutan atau amitraz sebagai obat luar.

2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan


Tindakan pencegahan dan pengendalian dapat dilakukan dengan menghindari
terjadinya kontak antara hewan sehat dengan hewan sakit, serta menjaga kebersihan kandang
dan lingkungannya.
A. PENDAHULUAN
Scabies atau kudis adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi
tungau Sarcoptes scabiei dan bersifat zoonosis. Penyakit ini telah dikenal sejak lama, yaitu
ketika Bonoma dan Cestoni mampu mengilustrasikan sebuah tungau sebagai penyebab
scabies pada tahun 1689. Literatur lain menyebutkan bahwa scabies telah diteliti pertama kali
oleh Aristotle dan Cicero dengan menyebutnyasebagai “lice in the fl esh”. Sejauh ini
dilaporkan terdapat lebih dari empat puluh spesies dari tujuh belas famili dan tujuh ordo
mamalia yang dapat terserang scabies, termasuk manusia, ternak dan hewan kesayangan (pet
animal) maupun hewan liar (wild animal).
Angka kejadian skabies pada manusia diperkirakan mencapai tiga ratus juta orang per
tahun. Masalah scabies masih banyak ditemukan di seluruh dunia, terutama pada negara-
negara berkembang dan industri. Rendahnya tingkat higenitas dan sanitasi serta sosial
ekonomi menjadi faktor pemicu terjangkitnya penyakit ini. Disamping itu, kondisi
kekurangan air atau tidak adanya sarana pembersih tubuh,kekurangan makan dan hidup
berdesakan semakin mempermudah penularan penyakit skabies dari penderita ke yang sehat.
Tungau menyerang dengan cara menginfestasi kulit inangnya dan bergerak membuat
terowongan di bawah lapisan kulit (stratum korneum dan lusidum) sehingga menyebabkan
gatal, kerontokan rambut, dan kerusakan kulit. Meskipun angka pesakitannya relatif rendah
tetapi penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar pada produksi
ternak, turunnya produksi (daging, susu, wol, kulit), turunnya feed conversion effi ciency,
kematian penderita dan pembelian obat-obatan serta biaya untuk tenaga kesehatan. Pada
hewan kesayangan, seperti anjing dan kucing, akan menimbulkan suasana yang tidak
menyenangkan di lingkungan pemukiman manusia.
B. ETIOLOGI
Penyakit skabies disebabkan oleh berbagai jenis tungau atau kudis. Tungau
merupakan arthropoda yang masuk dalam kelas Arachnida, sub kelas Acarina, ordo
astigmata, dan famili Sarcoptidae. Contoh tungau (acariformis) astigmata adalah Sarcoptes
scabiei, Psoroptes ovis, Notoedres cati, Chorioptes sp, dan Otodectes cynotys. Notoedres sp.
dan Chonoptes sp. umumnya menyerang kambing dan domba, namun terkadang dapat pula
menyerang kerbau, sapi dan kuda. Sementara Notoedres sp. umumnya menyerang kelinci dan
terkadang kucing.
Di antara jenis tungau tersebut, S.scabiei diketahui paling patogen dan memiliki
cakupan inang luas. Tungau S.scabiei berwarna putih krem dan berbentuk oval yang cembung
pada bagian dorsal dan pipih pada bagian ventral. Permukaan tubuhnya bersisik dan
dilengkapi dengan kutikula serta banyak dijumpai garis paralel transversal. Stadium larva
mempunyai tiga pasang kaki, sedangkan stadium dewasa dan nimpa memiliki empat pasang
kaki yang pendek dan pipih.

Betina berukuran antara (300-600)x(250-400) μm, sedangkan jantan berukuran antara


(200-240)x(150-200) μm. Terdapat beberapa varietas S.scabiei terhadap inangnya, yaitu
S.scabiei var humani pada manusia, S.scabiei var canis pada anjing, S.scabiei var suis pada
babi, S.scabiei var ovis pada domba, S.scabiei varcaprae pada kambing, S.scabiei var equi
pada kuda, dan S.scabiei var bovis pada sapi. Sarcoptes scabiei bersifat parasit obligat yang
artinya mutlak membutuhkan inang untuk bertahan hidup. Perlu diperhatikan bahwa skabies
pada kambing dan domba dapat disebabkan juga oleh tungau lain, yaitu Psoroptes ovis.

Gambar 1. S.scabie

C. EPIDEMIOLOGI
1. Siklus Hidup
Infestasi diawali dengan tungau betina atau nimfa stadium kedua yang aktif membuat
liang di epidermis atau lapisan tanduk. Di liang tersebut, sarcoptes meletakkan telurnya. Telur
tersebut akan menetas dalam 3-4 hari, lalu menjadi larva berkaki 6. Dalam kurun waktu 1-2
hari larva akan berkembang menjadi nimfa stadium I dan II yang berkaki 8. Kemudian
tungau akan berkembang menjadi dewasa dan mampu berkembang biak dalam 2-4 hari.
2. Sifat Alami Agen
Tidak seperti pada tungau lainnya, tungau scabies mampu menerobos stratum
corneum kulit. Tungau dewasa bertelur pada tempat terobosan tadi dan setiap tungau
menghasilkan telur antara 2-3 telur setiap hari, dengan masa bertelur sampai 2
bulan,selanjutnya tungau betina tersebut mati setelah bertelur.
Pada suhu 35°C dengan kelembaban 100 %, telur menetas dalam waktu 2-3 hari, lalu
memasuki stadium larva, kemudian larva berubah menjadi 2 bentuk nimpa, yaitu protonymph
(dalam waktu 3-4 hari) dan tritonymph (dalam waktu 2-3 hari). Tritonymph menjadi dewasa
dalam waktu 2-3 hari. Seluruh siklus hidup, sejak telur sampai sampai menjadi dewasa
memerlukan waktu antara 10-14 hari. Tungau pada anjing dan manusia dapat bertahan hidup
selama 24-36 jam pada suhu ruang, 21oC
Tungau S.scabiei diketahui sangat peka terhadap keadaan lingkungan. Di luar tubuh
inang, pada kondisi lingkungan yang kering, tungau hanya dapat bertahan hidup selama 2-3
minggu, terkadang dapat sampai 8 minggu. Pada kondisi kering tersebut, telurnya
mempunyai daya tetas sampai dengan 6 hari, dan sekitar 6 minggu dalam kondisi lingkungan
yang lembab.
3. Spesies Rentan
Tungau Sarcoptes dapat menyerang berbagai spesies hewan, yaitu sapi, kerbau,
kambing, domba, kuda, babi, anjing, kucing, kera, unta, serigala, beruang, hyena, musang,
wombat, dan coyote. Nampak bahwa S.scabiei memiliki cakupan inang (host range) yang
sangat luas atau dengan kata lain ia tidak memiliki spesifi tas inang. Manusia, umumnya
anak-anak, dapat tertular skabies yang berasal dari hewan.
Scabies dilaporkan lebih banyak terjadi pada kulit tanpa pigmen dibandingkan dengan
yang berpigmen. Bulu yang lebat, panjang dan kotor merupakan tempat yang ideal bagi
tungau S.scabiei. Mungkin bulu yang panjang ini ada kaitannya dengan kelembaban kulit.
Diduga bahwa kulit yang lembab akan menyebabkan lapisan tanduk dari kulit menjadi lebih
lunak sehingga memudahkan bagi tungau untuk menembusnya. Di samping itu, kelembaban
yang tinggi dari kulit juga meningkatkan daya hidup S.scabiei.
Hewan muda umumnya lebih peka terhadap skabies dibandingkan dengan hewan
dewasa. Faktor predisposisi pada inang yang ikut memperparah gejala klinis skabies, antara
lain kekurangan vitamin A, kekurangan protein, infestasi parasit atau penyakit lainnya. Secara
eksperimental, dilaporkan bahwa domba yang diinfestasi dengan 40.000 - 80.000 larva cacing
ostertagia memperparah gejala klinis skabies dibandingkan dengan domba tanpa infestasi
parasit cacing.
4. Pengaruh Lingkungan
Umumnya prevalensi scabies meningkat saat musim hujan. Peternakan yang terlalu
padat akan rnemberi peluang yang baik bagi peningkatan populasi tungau. Selain itu, lalu
lintas hewan yang tidak terkontrol dan penggunaan pejantan yang menderita scabies subklinis
dapat menjadi sumber penularan scabies.
5. Cara Penularan
Penularan scabies terutama terjadi secara kontak, baik antar hewan piaraan, maupun
antara hewan piaraan dan hewan liar yang menderita scabies. Penyakit scabies pada suatu
peternakan umumnya terjadi akibat masuknya hewan penderita sub-klinis (belum terlihat
gejalanya) ke peternakan tersebut, atau hewan penderita dalam stadium awal penyakit. Di
samping itu, penularan dapat pula terjadi melalui alat peternakan yang tercemar tungau
Sarcoptes, walaupun tungau ini hanya mampu bertahan hidup dalam waktu yang relatif
singkat di luar tubuh inang.
6. Sifat Penyakit
Biasanya scabies bersifat endemis, dan bila terjadi wabah akan menyerang sebagian
besar ternak dan dapat disertai adanya kematian. Pada hewan muda angka kematian penderita
dapat mencapai 50 %, tergantung pada kondisi hewan dan lingkungannya.
7. Kejadian di Indonesia
Penyakit scabies bersifat endemis hampir di seluruh wilayah Indonesia dan
menyerang berbagai jenis hewan. Pada tahun 1981, penyakit scabies dilaporkan menduduki
peringkat kedua dari penyakit yang ditemukan menyerang ternak. Wabah scabies pernah
dilaporkan terjadi pada kambing di Bali pada tahun 1983 dan di Lombok pada tahun 1995.
Kejadian yang fatal pernah terjadi pada kambing paket bantuan pemerintah, yaitu dari 396
ekor ternayat 360 ekor (91%) diantaranya mati karena skabies.
Kejadian ini tidak hanya menimbulkan kerugian materi berupa kematian, tetapi juga
kerugian moril berupa ketidakpercayaan masyarakat terhadap bantuan pemerintah
selanjutnya. Pada keadaan kurang pakan, musim kemarau, dan lingkungan kandang yang
kotor, maka prevalensi kejadian scabies dapat mencapai 4-11%. Kasus scabies di Indonesia
mencapai 0,022 %, dan kerugian ekonomi pada peternak kambing di Lombok mencapai Rp.
1.633.158.750,00 per tahun.

D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Masa inkubasi bervariasi antara 10-42 hari. Pada awal infestasi, kulit mengalami
erithema, kemudian akan berlanjut dengan terbentuknya papula, vesikula dan akhimya terjadi
peradangan yang diikuti oleh pembentukan eksudat karena adanya iritasi. Hewan penderita
tampak gelisah karena rasa gatal, menggaruk atau menggesek tubuhnya sehingga terjadi luka
dan perdarahan. Eksudat mengendap pada permukaan kulit dan terbentuk keropeng atau
kerak. Proses selanjutnya, akan terjadi keratinasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan
ikat sehingga menyebabkan penebalan kulit dan pengkeriputan.
Perubahan ini akan mengakibatkan kerontokan bulu yang pada seluruh permukaan
tubuh. Nafsu makan penderita terganggu sehingga menjadi kekurusan dan akhirnya mati
karena kurang gizi (malnufi si). Apabila pengobatan tidak dilakukan secara tuntas, maka
sering terjadi infeksi sekunder akibat bakteri atau jamur sehingga timbul abses dan bau
busuk. Pada hewan muda, angka kematian dapat mencapai lebih dari 50 % bila diikuti oleh
infeksi sekunder.
Perjalanan penyakit terbagi dalam 3 (tiga) fase. Fase pertama, terjadi 1-2 hari setelah
infestasi. Saat ini tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada pemukaan kulit
terdapat banyak lubang kecil. Pada fase kedua, tungau telah berada di bawah lapisan keratin,
permukaan kulit telah ditutup oleh kerak/keropeng yang tebal dan kerontokan bulu. Fase
kedua ini terjadi 4-7 minggu setelah infestasi. Adapun pada fase ketiga yang terjadi 7-8
minggu setelah infestasi, kerak mulai mengelupas sehingga pada permukaan kulit kembali
terlihat lubang kecil, dan pada saat itu beberapa tungau meninggalkan bekas lubang tersebut.
Bentuk lesi skabies sama pada berbagai jenis hewan, namun lokasi lesi bervariasi.
Pada kambing, lesi umumnya mulai dari daerah hidung lalu menyebar keseluruh tubuh. Pada
babi, lesi umumnya pada daun telinga, cungur, bagian dorsal dan leher, bahu, bagian dalam
dari paha, sepanjang punggung, pangkal ekor dan pada kaki. Pada sapi, lesi banyak
dijumpaipada kulit di daerah leher, punggung dan pangkal ekor. Pada penderita skabies yang
kronis lesi dijumpai pada kulit di daerah abdomen dan ambing. Pada unta, lesi dijumpai pada
kulit daerah pangkal ekor, leher, axilla, daerah sternum, abdomen, fl ank, daerah preputium
atau daerah ambing pada hewan betina, daerah sekitar mata, sehingga dapat menutupi seluruh
bagian kepala/muka.

2. Patologi
Tidak ada lesi yang khas kecuali adanya jejas pada kulit.
3. Diagnosa
Diagnosa dapat ditetapkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kulit.
Kerokan kulit diambil pada bagian sekitar lesi, dan kulit dikerok hingga sedikit berdarah.
Hasil kerokan diletakkan pada kaca objek dan ditetesi KOH 10 %, kemudian ditutup dengan
kaca penutup. Setelah 15 menit, preparat kemudian diamati di bawah mikroskop.
Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara menggosok papula
menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang telah tertutup dengan tinta didiamkan
selama dua puluh sampai tiga puluh menit, kemudian tinta diusap/dihapus dengan kapas yang
dibasahi alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan
membentuk gambaran khas berupa garis zig-zag. Visualisasi terowongan yang dibuat tungau
juga dapat dilihat menggunakan mineral oil atau fluorescence tetracycline test.
Kedua metode diagnosis di atas memiliki kekurangan khususnya pada kasus yang
baru terinfestasi S.scabiei. Tungau akan sulit untuk diisolasi dari kerokan kulit dan gejala
klinis yang ditunjukkan mempunyai persamaan dengan penyakit kulit lainnya. Oleh karena
itu, para peneliti mengembangkan tehnik diagnosis berdasarkan produksi antibodi.
Berdasarkan tehnik ELISA telah dikembangkan metode untuk mendeteksi antibodi S.
scabiei pada babi dan anjing yang telah dikomersialisasikan di Eropa. Uji tersebut
menggunakan antigen tungau yang diperoleh dari S.scabiei var suis dan S.scabiei var vulpes.
Akan tetapi beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya reaksi silang antara varian
S.scabiei yang telah dibuktikan untuk mendeteksi antibodi scabies anjing dan domba
menggunakan var. vulpes. Sejauh ini belum ada laporan yang mengevaluasi var. suis dan var .
vulpes untuk mendiagnosis scabies pada manusia. Pengembangan uji var. hominis relatif sulit
dilakukan karena terbatasnya jumlah tungau yang diperoleh dan kendala mengembangkan
tungau secara in vitro.
4. Diagnosa Banding
Dermatitis yang disebabkan oleh jamur, dan kadang sulit dibedakan dengan
demodecosis tipe skuamosa (pada anjing).
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Sampel kerokan kulit diambil dari hewan penderita. Apabila dapat segera diperiksa di
laboratorium, maka dianjurkan untuk mengambil kerokan kulit tanpa bahan pengawet. Tetapi,
apabila sampel tidak dapat segera dikirim/diperiksa di laboratorium, sebaiknya dikirim
dengan bahan pengawet alkohol 70 % atau formalin 5 % .

E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Penderita scabies dapat diobati secara langsung mengenai kulit (perendaman/dipping,
disikat/brushing, penyemprotan/spraying), oral dan paranteral. Pengobatan sebaiknya diulang
sampai 2-3 kali dengan interval 1-2 minggu, untuk memutuskan siklus hidup tungau.
Obat yang digunakan secara langsung pada kulit antara lain larutan coumaphos 0,1 %,
benzena hexa chloride (1 % larutan yang berisi serbuk BHC dengan kadar 0,625 %), emulasi
benzyl benzoate 25 %, kombinasi benzylberzoate dan BHC, phosmet 20 %, odylen 20 %
(dimenthyl-diphenylene disulphide), lindane 20 %, amitraz 0,1 %, malathion, phoxim.
Mengingat lokasi tungau Sarcoptes berada di dalam kulit, maka pengobatan agak sulit
dan membutuhkan kesabaran. Pada kasus yang sudah lanjut, keropeng yang tebal dapat
menghambat penetrasi akarisida. Hasil yang baik baru diperoleh bila keropeng tersebut
dibersihkan terlebih dahulu, namun hal ini kurang praktis di lapangan. Obat yang bersifat
sistemik dan cukup ampuh adalah ivermectin, diberikan secara subkutan dengan dosis 200
mg/kg bb. Secara oral, ivermectin tablet diberikan dengan dosis 100-200 mg/kg bb setiap hari
selama 7 hari.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Tindakan Pelaporan
Scabies termasuk penyakit yang wajib dilaporkan ke Institusi Pemerintah yang
berwenang, sebagaimana diatur dalam Staatsblaad No. 432 dan 435 tahun 1912 yang masih
berlaku hingga saat ini. Disarankan agar peternak tidak mememperjualbelikan hewan yang
diketahui menderita scabies, karena hal tersebut dapat mempercepat perluasan penyakit.
b. Pencegahan
Jaga kebersihan kandang dan lingkungannya, awasi secara cermat ternak yang masuk
ke dalam peternakan, dan populasi ternak (densitas) agar disesuaikan dengan luas
lahan/kandang yang tersedia, sehingga tidak terlalu padat.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Tindakan pengendalian yang terpenting adalah manajemen pengobatan dan
penggunaan obat yang tepat, serta pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas hewan
penderita, baik klinis maupun subklinis. Di samping itu, perhatian juga harus ditujukan
terhadap induk dan pejantannya. Pejantan yang menderita scabies dapat menulari induk, dan
selanjutnya induk dapat menulari anaknya.
Tindakan pemberantasan scabies pada peternakan yang bersifat intensif (pada satu
pemilik peternakan) akan mudah dilakukan, yang ditunjukkan oleh banyaknya laporan
keberhasilan yang sangat memuaskan. Sebaliknya, tindakan pemberantasan pada suatu
daerah dengan pola peternakan tradisional, hasilnya seringkali kurang memuaskan, karena
infeksi ulang dapat kembali terjadi, sehubungan dengan kurangnya pengawasan terhadap lalu
lintas ternak.

Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging


Hewan penderita scabies dapat dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi, setelah
bagian kulit yang rusak dibuang atau dimusnahkan dengan pembakaran.

A. PENDAHULUAN
Dermatophilosis adalah penyakit kulit yang ditandai dengan terjadinya keradangan
bereksudat pada jaringan epidermis kulit diikuti terbentuknya keropeng- keropeng. Penyakit
ini dapat bersifat akut maupun kronis dan dapat menyerang sapi, kambing, domba, kuda dan
juga manusia.

Kejadian dermatophilosis diungkapkan pertama kali oleh Van Saceghem tahun 1915
dari satu kejadian penyakit kulit pada sapi di Kongo-Belgia (Afrika) yang pada saat itu
disebut sebagai penyakit dermatose contagieuse. Kemudian penyakit ini dilaporkan tersebar
luas ke seluruh dunia. Kerugian ekonomis yang diakibatkan penyakit ini tergantung dari
derajat kerusakan kulit yang terjadi dan distribusi geografis penyakit ini.

Di daerah yang beriklim dingin, kejadian dermatophilosis umumnya hanya bersifat


sporadik dan kerusakan kulit yang terjadi hanya ringan sehingga tidak menyebabkan kerugian
ekonomis yang signifi kan. Sebaiknya di daerah tropis dengan tingkat kelembaban tinggi
sepertil di Afrika Barat dan Afrika Timur dermatophilosis menimbulkan perubahan klinis
yang berat sehingga menyebabkkan kerugian ekonomis yang besar, termasuk penurunan berat
badan, penurunan produksi susu, pengafkiran (culling) hewan yang terinfeksi sangat berat,
dan kematian ternak.

B. ETIOLOGI

Dermatophilosis disebabkan oleh bakteri Dermatophilus congolensis, yang termasuk


di dalam genus Dermatophilaceae dari ordo Actinomycetales. Bakteri ini termasuk Gram
positif dan dalam perkembangannya membentuk struktur yang merupakan bentuk khas
berupa fi lamen memanjang yang terdiri dari deretan kokus yang berjajar dua, empat, atau
empat kokus. Kokus-kokus tersebut akan berkembang menjadi zoospora berfl agella yang
merupakan bentuk infektif dari D.congolensis.

Zoospora dapat bertahan hidup selama beberapa tahun di dalam keropeng kudis yang
kering pada suhu lingkungan 28-31°C. Zoospora akan aktif keluar dari keropeng/kudis (scab)
apabila terjadi kontak dengan air atau dalam kondisi kelembaban udara yang tinggi.
D.congolensis tumbuh pada media yang mengandung darah atau serum pada suhu 37 °C
selama 24-48 jam. Bentuk koloni yang tumbuh bervariasi tetapi umumnya berbentuk bulat
dengan pinggir yang tidak rata (1-2 mm), berwarna putih keabu-abuan sampai kekuningan
pada biakan yang lebih tua. Tetapi terkadang koloni berkeriput dan kering serta
mencengkeram kuat pada media padat, menghemolisis sel darah merah (B.hemolisis)
terutama sel darah merah kuda. Bakteri ini tidak tumbuh pada media biakan jamur seperti
media Sabouroud Dextrose Agar (SDA). Sifat biokimiawi D.congolensis antara lain adalah
menghidrolisis urea, memfermentasi glukosa, fruktosa, maltosa, tidak memfermentasi
sukrosa salisin dan xylosa serta membentuk indol.

C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies rentan

Sapi, domba, kambing dan kuda pada segala tingkat umur, jantan maupun betina peka
terhadap dermatophilosis. Manusia juga dapat terinfeksi oleh D.congolensis.

2. Pengaruh Lingkungan

Dermatophilosis termasuk penyakit musiman yaitu sering terjadi pada saat musim
hujan. Di samping itu cara pemeliharaan komunal atau ekstensif di padang pengembalaan
akan meningkatkan resiko infeksi D.congolensis.

3. Sifat Penyakit

Di negara-negara yang beriklim dingin, kejadian dermatophilosis umumnya hanya


bersifat sporadik, sedangkan di negara-negara tropis dengan tingkat kelembaban tinggi,
penyakit ini bersifat endemis dengan morbidity rate sampai 80%.

4. Cara Penularan

Penularan penyakit antar hewan terjadi melalui kontak langsung atau secara tidak
langsung melalui gigitan lalat penggigit (Stomoxys calcitrans dan Tabanus). Di negara-negara
Afrika cara penularan juga ditengarai melalui caplak Ambyomma variegatum.

5. Faktor Predisposisi

Untuk terjadinya infeksi diperlukan beberapa faktor predisposisi yang berperan


merusak keutuhan kulit atau mengganggu keseimbangan flora normal kulit. Kulit yang utuh
(tidak ada yang luka) merupakan pertahanan tubuh alami yang akan mampu mencegah
masuknya agen penyakit yang dalam hal ini zoospora D.congolensis. Kerusakan kulit dapat
diakibatkan oleh gigitan lalat penggigit, caplak, atau dapat karena terkena benda tajam.
Disamping itu terpaan hujan yang deras dan terus menerus juga dapat merusak keutuhan kulit
dengan mempengaruhi konsistensi lapisan lemak dan jaringan tanduk (Stratumcorneum)
kulit.

Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya infeksi adalah status nutrisi dan
kesehatan hewan. Apabila hewan dalam keadaan malnutrisi atau dalam keadaan kondisi tidak
prima maka infeksi D.congolensis akan lebih mudah terjadi. Segera setelah terjadi luka pada
kulit, zoospora sebagai bentuk infekstif D.congolensis akan masuk dan segera berkembang
menjadi hife yang mampu menembus epidermis kulit sebagai tempat predileksinya.

6. Distribusi Penyakit

Dermatophilosis telah tersebar luas di dunia terutama di negara-negara tropis di


Afrika barat, Afrika Timur, Karibia negara-negara beriklim sedang atau dingin seperti
Australia, Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat. Data kejadian Dermatophilosis di Indonesia
sangat minim. Hal ini kemungkinan karena kurangnya pemahaman tentang penyakit ini
sehingga lepas dari perhatian. Kesalahan diagnosa kemungkinan juga terjadi mengingat
terdapat beberapa penyakit kulit lain yang mempunyai kemiripan gejala klinis dengan
dermatophilosis.

Pada tahun 1993 terjadi wabah penyakit kulit pada sapi-sapi Peranakan Ongole di
Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta yang semula diduga karena infestasi parasit
(scabies) dan setelah diobati dengan ivermectin ternyata tidak ada respon kesembuhan.
Setelah dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap keropeng (scab) ternyata ditemukan
D.congolensis.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis

Tanda klinis yang paling menonjol diawali dengan terjadinya peradangan bereksudat
pada lapisan epidermis kulit yang kemudian berkembang menjadi papula dan pustula. Papula
dan pustula ini akhirnya membentuk keropeng/kudis (scab) yang kering, tebal, keras dengan
tepi yang tidak teratur. Lesi-lesi tersebut melekat sangat kuat pada permukaan dan apabila
kudis/keropeng tersebut di lepas dari permukaan kulit maka akan tampak berwarna
kemerahan sampai perdarahan pada permukaan kulit tersebut. Pada umumnya penyakit ini
dapat sembuh dengan sendirinya pada musim kemarau. Tetapi tidak jarang dilaporkan
penyakit ini tetap persisten selama musim kemarau.
Kudis/keropeng pada sapi dapat bersifat lokal di bagian-bagian tertentu tubuh seperti
pada daerah kepala, leher, punggung, kaki atau dapat menyebar luas di seluruh tubuh
sehingga kulit akan tampak sangat kasar. Kelainan kulit ini umumnya tidak disertai rasa gatal
(pruritis) seperti halnya pada kelainan kulit akibat parasit atau jamur.

Gambar 1. Lesi keropeng pada kulit bagian atas/punggung sapi akibat

dermatophilosis

Gambar 2. Lesi akibat dermatophilosis pada sapi

Pada kambing, kudis/keropeng umumnya bersifat lokal pada sekitar mulut, leher,
punggung, tapak kaki dan pada daerah abdominal, sedangkan pada domba, kudis sering
dijumpai pada telinga, hidung, kepala dan kaki (strawberry footrot).

Kelainan kulit pada kuda sering terjadi sepanjang punggung dan sisi kanan -kiri (fl
ank). Juga pada daerah sekitar ekor sampai kaki sehingga terkadang menyebabkan
kepincangan. Apabila kelainan kulit yang terjadi sangat berat tersebar diseluruh tubuh maka
hewan akan tampak depresi, tidak ada nafsu makan, kehilangan berat badan, demam dan
mengalami lymphodenopathy.

2. Patologi

Pada kejadian kematian hewan akibat dermatophilosis, perubahan yang paling menciri
adalah peradangan kulit (dermatitis) disertai keropeng/kudis yang sangat ekstensif.

Gambar 3. Keropeng pada kulit punggung sapi

Gambar 4. Lesi akibat dermatophilosis pada kambing.

Secara histopatologi tampak adanya penebalan lapisan dermis kulit yang dipenuhi
oleh sel-sel radang terutama neutrofi l pada awal infeksi. Sedangkan jaringan atau organ lain
umumnya tidak terjadi perubahan patologis yang menciri.

3. Diagnosa
Peneguhan diagnosa terhadap penyakit ini didasarkan pada perubahan klinis yang
terjadi pada hewan, pemeriksaan mikrospkopis terhadap preparat ulas langsung (direct smear)
dari keropeng/kudis dan didukung oleh temuan struktur khas bakteri D.congolensis secara
mikroskopis yaitu bentuk filamen memanjang yang terdiri dari kokus-kokus yang tersusun
berjajar dua atau lebih kokus seperti bentuk tangga dimana anak tangga diibaratkan kokus-
kokus tersebut.

Gambaran mikroskopis tersebut merupakan hasil dari pemeriksaan preparat ulas


spesimen keropeng yang kemudian diwarnai dengan Giemsa, methyelen blue atau carbol
fuchsin. Meskipun demikian untuk peneguhan diagnosa lebih lanjut dapat dilakukan isolasi
bakteri dengan melakukan penanaman pada media agar darah.

4. Diagnosa Banding

Beberapa penyakit kulit yang sering dikelirukan dengan dermatophilosis antara lain
mycotic dermatitis.

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Spesimen yang diperlukan untuk peneguhan diagnosa berupa kudis/keropeng kulit


yang dapat dikirim ke laboratorium tanpa pengawet.

E. PENGENDALIAN

Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian preparat tetracycline, penicilline-


streptomycine.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Sistem integumen adalah sistem organ yang membedakan, memisahkan,


melindungi, dan menginformasikan hewan terhadap lingkungan sekitarnya. Sistem ini
seringkali merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang
mencakup kulit, rambut,bulu, sisik, kuku, kelenjar keringat dan produknya
(keringat atau lendir). Kata ini berasal dari bahasa Latin "integumentum", yang berarti
"penutup".
Gangguan (infeksius atau non infeksius) pada sistem kulit dan rambut pada
hewan meliputi :Pyderma, Papiloma , Gangguan epidermis dan dermis, Gangguan
patologik subkutis, Dermatokosis Tentang gangguan pada sistem kulit dan rambut pada
hewan yang meliputi penyebab, patofisiologis, gejala klinis, pemeriksaan laboratorium,
tindakan terapi dan pencegahan dari masing-masing gangguan/penyakit pada sistem
kulit.
DAFTAR PUSTAKA

Azfirman. 2014. Buletin Informasi Kesehatan Hewan. Penerbit : Balai Veteriner Bukittinggi.
Vol. 16 No. 88 Tahun 2014. ISSN No. 1412-7091.

Binns, Sarah., Senter, David ., Walker, Richard. 2018. Papilloma virus. Devinitive Veterinary
Intelligence. Equis ISSN 2398-2977.

Borzacchiello, Giuseppe. 2007. Bovine papillomavirus infections in animals. Communicating


Current Research and Educational Topics and Trends in Applied Microbiology A.
Méndez-Vilas (Ed.)

Constable P. D., et al. 2017. Veterinary Medicine: A Textbook Of The Diseases Of Cattle,
Horses, Sheep, Pigs, And Goats, Eleventh Edition. Edition 11. Elsevier Ltd. All Rights
Reserved

Fairley R A & Haines D M. 1992.The electron microscopic and immunohistochemical


demonstration of a papillomavirus in equine aural plaques.Vet Pathol29, 79-81.

Killoran K, Leedom Larson KR. Swine papillomavirus. Swine Health Information Center and
Center for Food Security and Public Health, 2016.
http://www.cfsph.iastate.edu/pdf/shicfactsheet-swinepapillomavirus
Moriello A. Karen. Sekilas tentang Pyoderma. Manual Kedokteran Hewan. Departemen Ilmu
Kedokteran, Sekolah Kedokteran Hewan, Universitas Wisconsin-Madison.
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak 1-B (Mamalia). Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta. 40-50
Syibli, M. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta : Direktorat Kesehatan Hewan.
Triakoso Nusdianto. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Veteriner II. Revka Petra Media.
Hlm.155 dan 156.
WHITE, KELLY S. 2004. lishing, Ltd.Equine congenital papilloma: pathological findings
and results of papillomavirus immunohistochemistry in five cases. 2004 European
Society of Veterinary Dermatology, Veterinary Dermatology, 15, 240–244.
White D. Stephen and Yu A. Anthony.2006. Equine Dermatology, Diagnosis dan Perawatan
Kuda Pruritus, Pyoderma (Infeksi Kulit Bakterial). Department of Medicine and
Epidemiology, School of Veterinary Medicine,University of California at Davis,
Davis, CA 95616 (White); and Department of Clinical Studies, Ontario Veterinary
College, University of Guelph, Guelph, Ontario N1G 2W1, Canada (Yu).

Anda mungkin juga menyukai