Anda di halaman 1dari 17

ILMU PENYAKIT DALAM

LAPORAN PRAKTIKUM

OLEH
NATASHA IMANUELLE 1609010029

UNIVERSITAS NUSA CENDANA


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai pangan
manusia. Hasil sampingan, seperti kulit, jeroan, tanduk, dan kotorannya juga dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan manusia. Di sejumlah tempat, sapi juga dipakai sebagai penggerak alat
transportasi, pengolahan lahan tanam (bajak), dan alat industri lain (seperti peremas tebu).
Karena banyak kegunaan ini, sapi telah menjadi bagian dari berbagai kebudayaan manusia sejak
lama. Kualitas sapi menjadi menurun akibat adanya abnormalitas pada fisiknya. Salah satu
abnormalitas tersebut adalah adanya parasit pada indra penglihatan sapi yang nantinya dapat
mengganggu stabilitas dari sapi tersebut.

Cacing salah satu faktor yang mempengaruhi penampilan dan kesehatan sapi adalah
adanya infestasi parasit cacing Thelazia sp. Cacing Thelazia sp. dapat menyebabkan penyakit
thelaziasis. Thelazia merupakan penyakit mata yang disebabkan oleh cacing Thelazia sp. yang
dapat menyerang hewan ternak seperti sapi, kambing, domba, anjing, kucing, kerbau, kelinci.
Cacing tersebut hidup dalam membrane niktitan atau kantong konjungtiva atau duktus lakrimalis.
Infestasi cacing Thelazia sp. menjadi penting karena hewan penderita akan tampak tidak tenang
karena adanya iritasi pada mata dan akan tampak kemerahan, keluar cairan dari mata yang lama
kelamaan apabila dihinggapi lalat akan semakin memperparah kondisi mata sehingga mata tidak
dapat terbuka, pada tahap selanjutnya akan terjadi ulserasi pada kornea dan akhirnya
menyebabkan kebutaan.

Infeksi Thelaziasis sangat berbahaya bagi sapi ataupun hewan ternak yang lain, karena
apabila infeksi tersebut tidak segera ditangani maka dapat menimbulkan infeksi mata jenis
lainnya seperti keratitis, ulserasi kornea yang dapat melanjut menjadi kerusakan lensa dan iris
mata, serta pada serangan yang cukup parah kornea akan mengalami fibrosis yang bersifat
permanan. Oleh karena itu Thelaziasis perlu dilakukan penanganan yang tepat.

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan
hidup. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan
kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastik dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur,
jenis kelamin, ras dan juga sangat bergantung pada lokasi tubuh.

Reaksi kulit terhadap berbagai stimuli yang berbahaya bervariasi tergantung dari tingkat
keparahan dan dalamnya lesi yang terjadi. Bila bagian kulit yang terkena adalah corium atau
dermis maka respon patologisnya akan sama dengan yang terjadi pada berbagai bagian jaringan
yang lain karena strukturnya sama – sama mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, saraf
dan jaringan ikat. Fungsi kulit secara umum adalah untuk menjaga temperature tubuh tetap
normal, serta menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan tubuh. Secara umum fungsi tersebut
tidak banyak terganggu pada kebanyakan penyakit kulit. Walaupun demikian penyakit kulit yang
menyebabkan kegagalan berkeringat merupakan ancaman serius terhadap gangguan pengaturan
temperature tubuh. Demikian juga dengan luka bakar yang parah dan trauma parah lainnya dapat
menyebabkan hilangnya cairan tubuh yang dapat berakibat fatal.

Pengaruh yang paling umum akibat penyakit kulit pada hewan adalah menurunnya nilai
estetika dan ekonomi. Tampilan hewan yang buruk akibat penyakit kulit menyebabkan rasa sedih
pada pemiliknya. Ketidaknyamanan akibat kegatalan dapat menganggu istirahat dan waktu
makan hewan. Terlebih bila lesinya mengenai bibir maka akan menganggu cara menelan
pakannya.

Kerugian lain akibat penyakit kulit adalah menurunnya simpanan protein karena
banyaknya epitel yang hilang. Sel epitel dan jaringan pendukungnya sangat banyak mengandung
asam amino bersulfur. Apabila asam amino tersebut tidak tercukupi oleh pakan maka akan
terpenuhi dengan perombakan jaringan lain, sehingga dapat berakibat kekurangan jaringan yang
serius (kurus). Dalam keadaan demikian hewan akan mudah terkena penyakit.

Kembung rumen atau bloat adalah bentuk gangguan pencernaan yang ditandai dengan
akumulasi gas yang berlebihan di rumen. Bloat terjadi ketika mekanisme eruktasi terganggu dan
laju produksi gas melebihi kemampuan hewan untuk mengeluarkannya. Bloat bisa terjadi dengan
sangat cepat karena volume gas berlebihan yang diproduksi di rumen. Bloat dapat
diklasifikasikan menjadi bloat primer (frothy/wet bloat) yang berbentuk busa bersifat persisten
yang bercampur dengan isi rumen dan bloat sekunder/timpani bloat (free gas/dry bloat) yang
berbentuk gas bebas yang terpisah. Tidak ada metode tunggal pada pencegahan kejadian bloat
yang dapat diterapkan dalam setiap situasi yang berbeda, tetapi ada metode pengelolaan dalam
pencegahan dan pengobatan yang dapat membantu memperkecil risiko

Dengan demikian kami melakukan praktikum observasi langsung di lapangan


bertempatan di Baumata Kupang Nusa Tengga Timur. Penyakit kulit ringworm adalah yang
paling sering ditemukan di lapangan, thelaziasis merupakan khasus cacingan yang cukup marak
di masyarakat di Kota Kupang, selain itu kasus bloat pada sapi juga merupakan kasus paling
umum dipeternakan sapi, sehingga dengan adanya praktikum langsung di lapangan, kami
mahasiswa dapat mempelajari langsung tindakan klinis yang harus dilakukan ketika terdapat
ternak yang mengalami penyakit seperti yang sudah di paparkan diatas.

TUJUAN

 Untuk memenuhi pertemuan praktikum Ilmu Penyakit Dalam

 Untuk memperdalam pengetahuan mengeani penyakit pada hewan besar yang umum
terjadi di Kota Kupang
BAB II
MATERI DAN METODE PRAKTIKUM

MATERI PRAKTIKUM
Waktu Praktikum : Sabtu, 15 Desember 2018
Tempat Praktikum : Kecamatan Taubenu Baumata dan Tarus , Nusa Tenggara Timur

ALAT DAN BAHAN


- Stetoskop
- Alat tulis
- Hp untuk dokumentasi
- Sapi yang terinfeksi penyakit Ringworm
- Babi yang memiliki gejala diare

METODE PRAKTIKUM
Dengan observasi langsung di lapangan hewan yang terinfeksi penyakit, melihat gejala
klinis yang menciri sehingga diagnosa dapat langsung diketahui.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL
RINGWORM PADA SAPI
Umur sapi : 1 tahun 6 bulan
Jenis kelamin sapi : Jantan
Suhu tubuh : 39,1 oC
Gangguang digesti : bloat ringan
Gangguan Kulit : Ringworm
Infeksi sekunder : Helminthiasis ( Thelaziasis )
Pengobatan : Diberi obat usir lalat ( dispray ) gusanex

( Gambar 1 dan 2 merupakan sapi yang terkena ringworm )

DIARE PADA BABI


Umur babi : 2 bulan
Jenis kelamin babi : Betina
Berat badan babi : 17-20 kg
Suhu tubuh : 40,3 oC
Gejala klinis : Demam sudah 3 hari dan Anoreksia
Pengobatan : Diberikan Sulfidan 3 ml untuk penurun panas, Iodin 5 ml, Betamax

PEMBAHASAN
RINGWORM
Ringworm adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jamur yang bersifat keratinofi
lik pada permukaan kulit atau bagian dari jaringan lain yang mengandung keratin (bulu, kuku,
rambut dan tanduk) baik pada hewan maupun manusia. Beberapa spesies jamur bersifat zoonosis
karena hewan penderita dapat merupakan sumber penularan pada manusia dan sebaliknya.
Mortalitas penyakit rendah, namun kerugian ekonomis dapat terjadi karena mutu kulit yang
menurun atau berat badan turun karena hewan selalu gelisah. Penyakit ini sering dijumpai pada
hewan yang dipelihara secara bersama-sama dan merupakan penyakit mikotik yang tertua di
dunia.
 Etiologi
Jamur penyebab penyakit ini termasuk dalam kelompok Dermatophyta. Terdapat
empat genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton, Keratinomyces,
namun yang menyebabkan penyakit pada hewan adalah Trichophyton dan spesies
Trichophyton verrucosum, T.mentagrophytes dan T.megninii dan genus Microsporum.
Lebih dari 90% kasus pada kucing disebabkan oleh M.canis.
Di negara-negara yang berikilim tropis atau dingin, kejadian Ringworm lebih
sering karena dalam bulan-bulan musim dingin, hewan selain kurang menerima sinar
matahari secara langsung juga sering bersama-sama di kandang sehingga kontak
langsung diantara sesama individu lebih sering terjadi. Penyebaran penyakit dapat
terjadi karena kontak langsung dengan hewan atau patahan bulu yang terinfeksi.
Pada dasarnya jamur diklasifikasikan berdasarkan habitat, spesies yang diserang,
lokasi spora pada rambut, sifat pertumbuhan, dan lokasi tempat tumbuhnya.
a. Habitat : geofi lik yang terdapat dalam tanah dan keratinofi lik yang terdapat
pada jaringan yang membentuk keratin (epitel, tanduk, rambut, kuku).
b. Spesies : anthropofi lik menyerang manusia dan zoofi lik menyerang hewan
c. Lokasi spora pada rambut : eksotriks berlokasi di luar dan endotriks di dalam
rambut.
d. Pertumbuhan pada kultur : berdasarkan sifat pertumbuhannya di dalam kultur
e. Lokasi pada tubuh : seluruh permukaan tubuh.
Namun demikian predileksi pada host tidaklah mutlak. Hewan atau manusia dapat
terinfeksi oleh berbagai jenis jamur.
Spora ringworm tahan lama dalam kandang dan bebas di tempat hewan. Koloni
jamur dapat tetap hidup dalam koloni feses setengah kering. jamur tetap infektif di luar
tubuh, misalnya di tanah, jerami, kayu, dan bahan keratin. jamur akan rusak pada suhu
tinggi (100oC).
jamur ini umumnya tidak dapat tumbuh Iebih dalam di bawah jaringan kulit atau
jaringan yang Iebih dalam, diduga karena ada faktor penghambat yang terdapat di dalam
serum darah atau cairan tubuh. jamur hidup dipermukaan tubuh yang mengalami
keratinisasi, seperti tanduk dari kulit, rambut,kuku,dan bersifat invasif
Demikian pula tidak dapat hidup dalam jaringan yang mengalami peradangan
yang berat dimana terdapat banyak sel-sel radang sehingga jamur akan dimakan oleh sel
– sel radang tersebut. Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Arthrospora
teratur berderet di dalam rambut (endotriks) atau sejajar berderet di bagian luar rambut
(eksotriks). Pada kulit dan kuku Trichopython mempunyai miselia yang bercabang dan
bersekat. Bentuk ini tidak dapat dibedakan dengan Microsporum maupun
Epidermophyton. Dermophyta mampu memanfaatkan bahan keratin untuk hidupnya,
tetapi keratin tidak diperlukan bila cendawan tumbuh dalam perbenihan (kultur).
jamur cenderung tumbuh menyebar menjauhi radang untuk mencapai jaringan
normal hingga terbentuk cincin. Teori terbentuknya cincin adalah bahwa tubuh
membentuk zat inti yang membatasi pertumbuhan cendawan. Microsporum hanya hidup
pada rambut dan kulit. jamur ini terlihat bagai selubung mosaik yang terdiri dari spora
kecil di sekeliling batang rambut. Microsporum canis tetap hidup pada rambut hewan
yang diletakkan pada suhu kamar selama 323-422 hari, Epidermophyton hidup pada kulit
dan kuku dengan bentuk bercabang dan bersekat. Pengamatan secara pasti hanya dapat
dilakukan dengan pemupukan.
 Epidemiologi
Spesies rentan
Ringworm dapat menginfeksi hewan antara lain sapi, kuda, anjing, kucing
dan unggas, demikian pula dapat menyerang manusia. Banyak jenis Ringworm
yang sangat kontagius, yaitu ringworm pada kucing, anjing, kuda dan sapi mudah
menular ke manusia.
Pengaruh Lingkungan
Ringworm tersebar luas di negara tropis, beriklim panas atau sedang
terutama jika udara lembab. Walau demikian distribusi geografi s penyakit ini
bervariasi. Di negara yang mempunyai 4 musim, kasus yang paling sering terjadi
pada musim dingin dan musim semi. Menurut British report, hal ini merupakan
indikasi adanya variasi dalam musim. Di samping itu ada perbedaan geografis
yang menarik yang berhubungan dengan penyakit endemik Dermatophyton
dimana Microsporum canis merupakan agen penyebab kurang lebih 95 % pada
kucing dan 70 % pada anjing di Amerika utara.

Sifat Penyakit
Ringworm cepat menular di antara kelompok hewan (morbiditas tinggi)
dengan mortalitas yang rendah. Zoofilik dermatophytosis dapat menyebabkan
epidemik pada manusia. Kaplan dkk melaporkan bahwa dari 360 anjing penderita
ringworm, 10 % pemiliknya mengalami infeksi, demikian juga 30 % pemilik
kucing yang terinfeksi menderita penyakit ini. Perlu dicatat, bahwa hewan liar
juga bisa menjadi reservoir dari ringworm. Hasil penelitian Zurich dari 12.520
anak sapi penderita ringworm di abatoir (Rumah Potong Hewan) selama tahun
1989, menunjukkan bahwa prevalensi ringworm 7 % dengan maksimal 12,8 %
pada bulan JuIi dan minimun 5,1 % pada bulan Maret. Prevalensi ringworm lebih
tinggi pada peternakan dengan kelompok yang besar dibanding dengan kelompok
kecil. Sistem manajemen kontinyu memberikan prevalensi 51 % dibanding
dengan sistem all in all out 28 %. Bentuk yang dapat dikenali dari kulit manusia
hampir sama dengan infeksi pada kulit kucing atau hewan lainnya. Bulat
kemerahan dengan lesi menyerupai kawah yang terkadang berisi air, rasa gatalnya
teramat sangat, apabila digaruk akan semakin besar dan melebar dengan lesi yang
semakin dalam. Penyembuhan secara total pada hewan maupun manusia perlu
dilakukan, penanganan yang tidak tuntas memungkinkan cendawan tumbuh
kembali sehingga lebih sulit dibasmi.
Cara Penularan
Penularan penyakit ini melalui kontak langsung bersentuhan antara hewan
penderita dengan hewan sehat, meskipun persentuhan tersebut tidak selalu
menimbulkan penyakit. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya persaingan
antara jamur itu sendiri dengan organisme yang sudah menetap lebih dahulu pada
kulit. Perkembangan penyakit tergantung interaksi antara inang dengan cendawan
tersebut, sehingga perubahan kulit tidak selalu berbentuk cincin. Terutama bila
diikuti dengan infeksi sekunder. Penularan dari hewan ke manusia dan sebaliknya
kadang terjadi terutama Microsporum canis. Peralatan untuk perawatan hewan,
sadel dan pakaian kuda sering sebagai penyebab penularan penyakit.
 Gejala klinis
Di tempat infeksi terdapat bentukan khas dari penyakit ini, yaitu terlihat seperti
cincin, namun gejala klinis bervariasi apabila disertai infeksi kuman lain. Gejala
dimulai dari bercak merah, eksudasi dan rambut patah atau rontok. Perkembangan
selanjutnya sangat bervariasi dapat berupa benjol kecil dengan erupsi kulit atau
berbentuk seperti tumor yang dikenal dengan kerion.
Gejala pada sapi
Pada sapi erupsi kulit terjadi pada muka, leher, dengan permukaan yang
meninggi, berkeropeng, bersisik atau berbentuk bungkul. Jika keropeng diangkat
akan terjadi perdarahan. Penyakit ini paling sering menyerang hewan muda.
Setelah masa inkubasi 2-4 minggu, rambut patah atau rontok. 2-3 bulan kemudian
terlihat lesi tebal, bulat, menonjol dengan batas jelas, warna putih keabuan. Lesi
berkembang ke arah perifer, dapat mencapai diameter 5- 10 cm. Bila penyakit
tidak diobati lesi bisa meluas secara umum terutama pada sapi muda.

BLOAT
Gejala klinis : distensi abdomen, depresi, tanda-tanda kolik, penggilingan gigi dan air
liur, anoreksia, cairan cairan di perut, dan dehidrasi. Gejala yang kurang umum termasuk diare
dan suhu tinggi (Shoemaker et al., 2007). Menurut Panciera et al. (2007), setelah percobaan
induksi bloat pada sapi, nekropsi menunjukkan distensi, perdarahan (pendarahan internal),
peradangan, nekrosis mukosa, dan emfisema mural (penumpukan udara di dinding lambung).
Gejala-gejala bloat biasanya termasuk onset cepat dan kadang-kadang bahkan tidak diamati
sebelum kematian terjadi. Sapi akhirnya akan mati karena shock atau gangguan pernapasan
karena perut membesar, menurut Van Meter (2017).

Patogenesis Bloat
Hewan ruminansia membawa populasi aktif mikro-organisme (bakteri, jamur, dan
protozoa)di perut hutan sistem pencernaan mereka. Tanpa organisme ini, hewan itu akan menjadi
tidak dapat mencerna makanan berserat, seperti rumput dan kacang polong. Dalam proses
mencerna inibahan, mikro-organisme menghasilkan sejumlah besar gas yang harus dikeluarkan.
Kapan sapi jantan diberi makan alfalfa yang segar, mereka menghasilkan hingga 2 L gas per
menit. Dalam kondisi normal, gas yang diproduksi dalam rumen memisahkan dari padat dan
cairisi dan kemudian naik ke bagian atas rumen, di mana ia mengumpulkan sebagai gelembung
bebas (Gambar 1). Ertrasi, atau bersendawa, dimulai dengan meningkatkan tekanan gas dalam
rumen. Ketika seekor binatangbersendawa, kontrak rumen dan mendorong gas bebas menuju
bagian depan rumen, di manamengumpulkan sekitar pembukaan esofagus.

Sejarah dan Pemeriksaan Fisik


Beberapa poin historis harus diperoleh oleh dokter hewan.. Muntah, demam, penurunan
berat badan, diare nokturnal, perdarahan rektal, atau steatorrhea mengindikasikan kemungkinan
penyakit organik. Faktor risiko untuk pertumbuhan bakteri berlebihan harus dilihat. Riwayat
makan pasien dan makanan yang dikonsumsi apakah mengandung laktosa, fruktosa, atau
sorbitol.
Pemeriksaan fisik biasanya normal pada pasien dengan penyebab fungsional gas dan bloat.
Distensi abnormal dengan atau tanpa gangguan suara usus serta massa teraba pada bagian kiri
sapi.

Inspeksi : Pada saat dilakukan inspeksi, terlihat dari belakang, abdomen bagian kiri sapi
mengalami distensi.
Palpasi : Saat dipalpasi, teraba seperti masa pada bagian abdomen sapi. Masa yang berisi gas.
Perkusi :
Auskultasi : Kontraksi rumen rata-rata terjadi sekali tiap dua menit. Peristiwa ini menimbulkan
gerakan rumen yang dapat dirasakan oleh tangan pemeriksa dengan mengepalkan tinju dan
mendesaknya di bagian kiri atas lambung tepat di lekuk pinggang di belakang rusuk terakhir.
Terjadinya perubahan frekuensi atau gerak ruminansi yang tidak dapat dirasakan menandakan
adanya gangguan fungsi rumen.
Bloat atau kembung rumen adalah gangguan pada saluran pencernaan ruminansia yang
disebabkan oleh retensi gas atau penyimpangan pengeluaran gas dari rumen secara normal.
Menurut Merck Veterinary Manual (2006), kembung rumen didefinisikan sebagai pembesaran
abdomen karena akumulasi berlebihan dari gas yang terperangkap dalam rumino-retikulum.
Kembung terjadi ketika mekanisme eruktasi terganggu atau terhambat dan laju produksi gas
melebihi kemampuan ruminansia untuk mengeluar-kannya. Gangguan mekanisme eruktasi
tersebut akan mengakibatkan volume gas yang diproduksi oleh rumen berlebihan sehingga
kejadian bloat dapat berkembang dengan sangat cepat (Majak et al., 2003).
Bloat dapat diklasifikasikan menjadi bloat primer (frothy/wet bloat) yang berbentuk busa
bersifat persisten yang bercampur dengan isi rumen dan bloat sekunder/timpani bloat (free
gas/dry bloat) yang berbentuk gas bebas yang terpisah. Lebih lanjut, bloat primer biasanya
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu pasture bloat dan feedlot bloat. Sebagian besar kasus
feedlot bloat bersifat sub-akut atau kronis dan terutama terjadi karena pakan pemberian pakan
bijian yang tinggi tetapi sedikit hijauan (Wang et al., 2012). Penyebab paling umum dari bloat
primer (frothy/wet bloat) adalah konsumsi leguminosa yang berlebihan (Bowen, 2006; Merck
Veterinary Manual, 2006).

DIARE PADA BABI


Penyebab diare pada babi yaitu infeksi yang terjadi meliputi bakteri ETEC dengan nama
penyakit: (1) New born diarrhea terjadi umur 1-7 hari ditandai oleh diare, lesu dan kedinginan;
(2) Young pig diare umur 14-28 hari yang ditandai oleh diare dan lesu; (3) Hemorrhagic gastro
enteritis (1-8 minggu) yang ditandai diare berdarah.
Di samping karena E. coli, diare juga dapat diakibatkan oleh Iso spora suis pada anak
babi sebelum disapih. Kejadiannya sering namun diabaikan oleh peternak. Gejala diare pada
anak babi setelah umur 5 hari dapat disebabkan oleh penyakit koksidiosis akibat infeksi Iso spora
suis. Penyakit ini menyerang anak babi umur 6-42 hari yang ditandai diare berwarna kekuningan
sampai abu-abu secara terus menerus. Anak babi kurus, napsu makan menurun sehingga
pertumbuhannya jelek, bahkan sering diikuti oleh kematian.
Program pencegahan diare pada anak babi sebelum disapih karena bakteri E. coli dan Iso
spora suis dilakukan dengan cara meningkatkan tindakan bioskuriti. Tindakan itu dilakukan
secara ketat dengan membersihkan lantai tiap hari, menjaga lantai tetap kering, membuat
ruangan untuk anak hangat, dan melakukan penyemprotan desinfektan seperti Benzalchonium
clorida (DES HP), serta memberikan vaksinasi.
Secara fisiologi pencernaan makanan khususnya protein dalam lambung sangat
tergantung dari pH lambung. Kondisi pH lambung yang bersifat asam (pH 2-3,5) akan
meningkatkan konversi enzim pepsinogen menjadi pepsin yang berfungsi untuk memecah
protein menjadi proteasa, pepton dan peptida, yang selanjutnya akan dipecah menjadi asam asam
amino dan diserap dalam usus . Pada anak babi yang baru disapih tidak lagi memproleh air susu
dari induknya, sehingga tidak mendapat asam laktat yang biasa diperoleh oleh anak babi selama
menyusu. Hal ini akan menyebabkan pH lambung meningkat melebihi pH 3,5.

THELAZIASIS
Cacing salah satu faktor yang mempengaruhi penampilan dan kesehatan sapi adalah
adanya infestasi parasit cacing Thelazia sp. Cacing Thelazia sp. dapat menyebabkan penyakit
thelaziasis. Thelazia merupakan penyakit mata yang disebabkan oleh cacing Thelazia sp. yang
dapat menyerang hewan ternak seperti sapi, kambing, domba, anjing, kucing, kerbau, kelinci.
Cacing tersebut hidup dalam membrane niktitan atau kantong konjungtiva atau duktus lakrimalis.
Infestasi cacing Thelazia sp. menjadi penting karena hewan penderita akan tampak tidak
tenang karena adanya iritasi pada mata dan akan tampak kemerahan, keluar cairan dari mata
yang lama kelamaan apabila dihinggapi lalat akan semakin memperparah kondisi mata sehingga
mata tidak dapat terbuka, pada tahap selanjutnya akan terjadi ulserasi pada kornea dan akhirnya
menyebabkan kebutaan. Infeksi Thelaziasis sangat berbahaya bagi sapi ataupun hewan ternak
yang lain, karena apabila infeksi tersebut tidak segera ditangani maka dapat menimbulkan infeksi
mata jenis lainnya seperti keratitis, ulserasi kornea yang dapat melanjut menjadi kerusakan lensa
dan iris mata, serta pada serangan yang cukup parah kornea akan mengalami fibrosis yang
bersifat permanan. Oleh karena itu Thelaziasis perlu dilakukan penanganan yang tepat.

Etiologi dan Patogenesa


Thelaziasis merupakan suatu penyakit cacing mata yang disebabkan oleh Thelazia sp. dan
dapat menyerang berbagai jenis ternak sapi, domba kambing dan kerbau. Thelazia sp. yang
banyak menyerang ternak sapi adalah Thelazia rhodesi, T. gulosa dan T. Skrjabini (Soulsby,
1982). Thelazia skrjabini dan T. gulosa lebih sering menginfeksi ternak dari pada genus yang lain
(Kennedy dan Mackinnon, 1994). Thelaziasis umumnya dikenal sebagai cacing mata dan
menyebabkan infeksi mata pada hewan (Anderson, 2000).
Thelaziasis pada sapi disebabkan oleh spesies Thelazia rhodesii, Thelazia gulosa dan
Thelazia skrjabini. Thelaziosis pada sapi di Eropa, umumnya disebabkan oleh T.gulosa dan
T.skrjabini, akan tetapi laporan terbaru menunjukkan adanya thelaziosis pada sapi disebabkan
oleh T.rhodesii di Portugal (Bras 2012). Kornea mata, kantung konjungtiva dan membran
pengerjap merupakan habitat dari T. rhodesii, T. skrjabini, dan T. gulosa. Kutikula yang keras dan
bergerigi dari Thelazia rhodesii menyebabkan kerusakan mekanis pada epitel konjungtiva dan
kornea sehingga produksi air mata meningkat yang berperan penting dalam transmisi cacing ke
vektornya dalam hal ini lalat Musca spp (face flies) yang pakannya adalah sekresi air mata sapi
(Otranto dan Traversa 2005).

Gejala Klinis
Gejala klinis yang paling umum dari thelaziosis adalah konjungtivitis, hipertrofi
konjungtiva, lakrimasi yang berlebihan, penyumbatan duktus lakrimalis dan keratitis. Gejala
klinis tersebut dipengaruhi oleh jumlah cacing, habitat cacing dan respon imun dari inang (Wang
et al. 1999). Penyakit yang disebabkan oleh Thelazia sp. ditandai dengan berbagai tanda-tanda
subklinis dan klinis, seperti lakrimasi, epifora, konjungtivitis, keratitis, dan ulkus kornea.
Konjungtivitis, kornea keruh, ditandai lakrimasi, mata yang terkena mungkin bengkak dan
ditutupi dengan cairan kental dan nanah. Tanpa adanya pengobatan kemungkinan dapat terjadi
keratitis progresif dan ulserasi kornea (Guttekova, 1987).

Patogenesis
Siklus hidup Thelazia spp tidak langsung membutuhkan inang antara yaitu lalat famili
Muscidae (diptera). Lalat terinfeksi oleh cacing stadium larva (L1) pada saat makan disekitar
mata inang defenitif. Larva (L1) memasuki usus lalat dan menembus folikel ovarium kemudian
berkembang menjadi larva tahap kedua (L2) yang berukuran panjang 3-4 mm. Larva kemudian
ekdisis menjadi larva tahap ketiga (L3) berukuran panjang 5-7 mm yang merupakan larva
infektif. Larva kemudian meninggalkan folikel ovarium dan bermigrasi kebagian mulut lalat.
Perkembangan dari larva tahap pertama sampai dengan larva tahap ketiga berlangsung selama
15-20 hari di dalam tubuh lalat. Larva infektif akan menginfeksi mata sapi ketika lalat makan
disekitar mata sapi. Di dalam mata sapi cacing akan menjadi dewasa dalam waktu 20-25 hari.

Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi cacing Thelazia
adalah dengan cara meminimalisir vektor yang membawa agen penyakit ini yaitu lalat Musca sp.
dengan mengendalikan lalat Musca tersebut maka stadium 2 dan 3 larva Thelezia tidak akan
terbentuk, sehingga siklus hidup cacingnya akan terputus (Koyama dan Shiwaku, 2000).

Pengobatan Secara Medis


Pengobatan serangan cacing mata Thelazia sp. pada sapi, ada beberapa obat yang
disarankan, antara lain (Anonim, 2013) :
(1) Piperazin 3% diteteskan pada mata yang terinfeksi.
(2) Larutan Boric acid 3% diteteskan pada mata.
(3) Tetramizole 15 mg/kg bb. Pengobatan bisa dilakukan dengan jalan mengambil cacing
dengan pinset setelah mata dianasthesi secara lokal dengan menetesi mata
menggunakan Procain HCL 2% dan dibiarkan selama 3-5 menit atau dengan
menggunakan obat tetes mata seperti larutan Acidum Boricum 3% (Boorwater),
larutan Diethyl tartrat 0,002 %, larutan Morantel tartrat 4 % dan Tetramisole 2 – 3
tetes pada mata (Michalski, 1976).

BAB IV
PENUTUP

SIMPULAN
Dari dari praktikum yang kami lakukan ada beberapa penyakit yang kami temukan
dilapangan dan umum terjadi. Dengan melakukan praktikum kami dapat memahami tidak hanya
melalui teori saat kuliah namun kami dapat mengetahui pengobatan secara langsung yang
diberikan dan penanganan ternak yang terinfeksi penyakit dilapangan. Penyakit yang ditemukan
memiliki gejala klinis dan penanganan serta pengobatan yang berbeda, sehingga menuntut kami
untuk lebih memahai setiap penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, R.C., 2000. Nematode parasites of vertebrates, their development and transmission, 2
ed. CABI Publishing, UK.
Bras ALL. 2012. Estude epidemilogico geospacial de Thelazia spp em bovinos da regiao de
alentejo [Dissertation]. Lisboa Portugal.

Guttekova, A., 1987. Ultrastructure of the surface sculpture of the nematodes Thelazia gulosa
and Thelazia rhodesi. Veterinary Medicine, 32: 113-120.

Pusat Kesehatan Hewan [PUSKESWAN] Takari.2009. Laporan Tahunan. Kupang

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Ed ke-7.
Bailliere

Tindall. London. Wang KC, Wang ZX, Shen JL. 1999. Canine infection with Thelazia callipaeda
and human thelaziasiasis. J Trop Dis Parasitol (28):216-218.

Ahmad RZ. 2005. Permasalahan dan penanggulangan ringworm pada hewan, Lokakarya
Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor. Balai Besar Penelitian Veteriner.

Al-Ani FK, Younes FA, Al-Rawashdeh. 2002. Ringworm infection in cattle and horse in Jordan.
Acta Vet Brno 71: 55-60

Kotnik T. 2007. Dermatophytoses in domestic animals and their zoonotic potential. Slovenian
Veterinary Research 44(3): 63- 73.

Abdisa, T. 2018. Study on the Prevalence of Bovine Frothy Bloat in and Around Kebele Lencha,
Tokke Kutaye District, Oromia Region. Appro Poult Dairy & Vet Sci, 2(3),1-10.

Aiello, S.E., and Moses, M.A. 2016. The Merck veterinary manual. Merck.

Majak, W., McAllister, T. A., McCartney, D., Stanford, K., and Cheng. K.J. 2003. Bloat in Cattle.
Alberta Agriculture and Rural Development

Anda mungkin juga menyukai