Anda di halaman 1dari 7

“Referat”

STRONGYLOIDIASIS

Disusun Oleh
Muhammad Rizky Akbar 19820111
Septian Surya Saputra 19820044

Kelas B

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya


2019/2020
Abstrak
Strongyloides stercoralis adalah nematoda usus yang mempunyai siklus hidup yang sangat
kompleks, berbeda dari nematoda lain. Perbedaannya adalah cacing ini mempunyai siklus hidup
bebas dan parasit yang bisa menyebabkan autoinfeksi. Manifestasi klinis terbanyak adalah
asimtomatik tetapi dapat berubah menjadi penyakit fulminan yang fatal tergantung sistem
kekebalan tubuh hospes. Respons imun seluler dan humoral adalah pertahanan tubuh yang sangat
berperan terhadap infeksi cacing ini. Respons imun yang terjadi dapat memberikan gambaran
klinis yang berbeda-beda mulai dari asimtomatis, ringan sampai berat seperti sindroma
hiperinfeksi dan infeksi diseminata. Hal itu terbukti pada penderita imunosupresi akibat
pemakaian steroid jangka panjang dan penderita HIV. Respons imun hospes juga dapat
digunakan untuk mendiagnosis infeksi akibat cacing ini.
Kata Kunci : Nematoda, Imun, Hospes, Imunosupresi.
Penyakit cacing ini dapat menyerang ternak sapi, kuda, babi dan anjing. Parasit ini pada ternak
yang disebabkan oleh genus Strongyloides sp. dengan predeleksinya pada usus halus. Penyakit
ini bersifat zoonosis ( anjing—ke manusia ). Penyebaran penyakit ini hampir diseluruh dunia
terutama pada daerah beriklim tropis penyakit ini lebih sering terjadi.

Etiologi : Pada ternak Sapi penyakit disebabkan S. papillos, Kuda ( S. westeri),


Babi ( S. ransomi ) dan pada Anjing dan manusia (S. stercoralis).

Penularan : penularan penyakit ini pada ternak dapat melalui beberapa cara :
1. larva infektif menembus kulit
2. colustrum / air susu
3. larva infektif mencemari makanan (oral)
4. autoinfeksi (pada anjing dan manusia)

Patogenesa dan gejala klinis


Infeksi Strongyloides umumnya moderat sampai asymtomatik . cacing dewasa hidup dan
menancap dalam pada membran mukosa usus halus sehingga dapat menimbulkan kerusakan
pada usus halus .
Tempat predeksi cacing ini adalah pada usus halus, cacing tersebut terutama cacing
betina akan menyebabkan iritasi serta peradangan pada mukosa usus halus. Sel-sel epithel
banyak yang pecah, kerusakan epithel tersebut akan menyebabkan peningkatan permeabilitas
mukosa usus halus sehingga menyebabkan keluarnya protein plasma dari sistem sirkulasi ke
lumen usus.
Penularan transmammary paling umum terjadi sehingga pada anak kuda yang
terinfeksi telur cacing ditemukan 10 hari - 2 minggu setelah lahir. Pada anak babi 2-4 hari
setelah lahir. Penularan S. ransomi terjadi melalui larva infektif menembus kulit atau tertelan,
tetapi penularan terpenting adalah penularan dari induk ke anak melalui colostrum yang
mengandung larva infektif. Gejala klinis yang tampak diare berdarah (disentri), anemia,
kekurusan, gangguan respirasi dan pertumbuhan berhenti. Pada babi dewasa betina bila terinfeksi
larva infektif melalui kulit/oral maka larva cacing mengalami migrasi trachea dan dewasa setelah
6 hari atau migrasi somatik dan larva terakumulasi/berkumpul pada jaringan lemak didaerah
mammae. Apabila terjadi rangsangan pada daerah ambing, maka Larva cacing pada jaringan
lemak ini akan dikeluarkan melalui colustrum dan susu dan menularkan pada anak babi.
Strongyloidosis pada anak babi dapat bersifat akut terjadi enteritis dengan diarhe berdarah
sehingga dapat terjadi kematian anak babi sebelum sapih. Selama masa migrasi gejala klinis
yang nampak pada anak babi biasanya batuk-batuk, sakit pada bagian perut dan kematian secara
tiba-tiba. Pada anak babi yang menderita penyakit ini secara tajam terjadi penurunan berat badan
secara tajam.
Pada anjing periode prepaten berkisar 1 minggu. Pada kasus yang serius dapat terjadi
bronchopneumonia dan diarhe profus. Pada infeksi dalam jumlah besar migrasi larva dapat
terjadi perdarahan petichia pada paru-paru akibat pecahnya capiler alveoli. Infeksi S. stercoralis
pada manusia atau mungkin pada anjing dapat terjadi seumur hidup karena penularannya dapat
terjadi secara Autoinfeksi. Ini dapat terjadi beberapa kasus dimana telur cacing yang
mengandung larva 1 yang seharusnya keluar bersama feses menetas pada usus dan berkembang
menjadi larva filariform dan menembus dinding usus ( internal autoinfeksi) atau melalui kulit
daerah perianal (eksternal autoinfeksi).
Diagnosa : untuk mendiagnosa penyakit ini dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis yang
nampak dan untuk menegakkan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan feses secara mikroskopis
untuk menentukan adanya telur cacing yang khas dari Strongyloides sp. telur cacing yang khas
ditandai dengan adanya embrio (larva) di dalam telur, namun pada babi perlu dibedakan dengan
telur metastrongylus sp. (cacing paru pada babi ).
Pengobatan : ivermectine 0,2 mg/kg bb, Thia bendazole 100-150 mg/kgbb selama 3 hari.. dan
obat Benzimidazole, febanthel dan levamisol sangat efektif. Program pengobatan pada induk
sebelum melahirkan merupakan langkah efektif untuk menekan terjadinya penularan dari induk
ke anak. Ivermectine dan doramectine terbukti efektif pada babi diberikan 16 hari sebelum induk
melahirkan
Pemeriksaan pada Hewan Hidup
Parasit cacing dapat ditemukan dalam hampir semua bagian dari tubuh induk semangnya.
Karena itu pemeriksaan pada hewan hidup harus dilaksanakan seteliti mungkin, baik bagian luar
maupun bagian dalam. Sebagian besar dari jenis cacing tinggal dalam saluran cerna atau dalam
alat tubuh yang berhubungan dengan saluran pencernaan. Selama hidupnya parasit menghasilkan
produk biologis misalnya telur, yang keluar bersama tinja hospes. Karena itu diagnosis harus
disertai dan dikuatkan dengan pemeriksaan tinja.
Makin banyak cacing maka banyak pula telur yang dihasilkan tiap hari, yang tercampur
merata dengan tinja. Hospes mengeluarkan tinja dalam jumlah yang kurang lebih tetap tiap hari,
karena itu pemeriksaan tinja bukan hanya untuk melihat ada tidaknya telur cacing, tetapi yang
lebih penting lagi ialah untuk menghitung berapa telur yang terkandung dalam tiap gram tinja
hewan yang diperiksa (TTGT). Banyaknya telur tiap gram tinja berkorelasi positip dengan
banyaknya cacing, sehingga ttgt menunjukkan derajat infeksi
Untuk keperluan diagnosis dan identifikasi cacing lebih meyakinkan tinja harus dikirim ke
laboratorium. Tinja yang dikirimkan perlu diawetkan agar telur cacing tidak menetas dalam
perjalanan. Bahan pengawet atau pencegah penetasan adalah formalin 10 % atau fenol-glyserin
yaitu campuran antara fenol, glyserin dan akuades dalam perbandingan 1 : 5 : 94. Sedangkan
pengawetan parasitnya (cacing) dapat digunakan alkohol 70 % untuk keperluan identifikasi.

Pemeriksaan telur cacing (kualitatif) dapat menggunakan metoda natif, sedimen dan
pengapungan. Zat pengapung dapat digunakan antara lain : gula jenuh dan garam jenuh. Fungsi
zat pengapung untuk mengapungkan telur cacing, karena berat jenis (BJ) cairan lebih tinggi dari
BJ telur cacing.
Pemeriksaan telur cacing (metoda kuantitatif) untuk menghitung telur cacing per gram
tinja (ttgt) dilakukan dengan metoda Stoll dan Metoda Mc. Master atau modifikasi Mc Master.
Faktor yang Mempengaruhi perhitungan telur (ttgt)
1. kepadatan atau konsistensi feses (tinja kering, lembek,encer)
2. banyaknya tinja yang dikeluarkan tiap hari oleh hewan sering kali berbeda.
3. Produksi telur harian tiap jenis cacing berbeda
4. Distribusi telur dalam tinja tidak selalu merata
5. Produksi telur cacing tua dan cacing muda berbeda.
6. Perbandingan antara cacing jantan dan betina
7. Reaksi immunologic dari cacing terhadap hospes .
Deteksi infeksi cacing melalui pemeriksaan feses tergantung produksi telur yang dikeluarkan
cacing. Kesalahan dalam diagnosa melalui pemeriksaan feses dengan menemukan telur cacing
dapat terjadi ( False negatif dan False positif).
Penomena False negatif : pada pemeriksaan feses tidak ditemukan telur cacing, tetapi hewan
tersebut sudah terinfeksi cacing. Hal ini dapat terjadi bila hewan hanya mengandung cacing
muda yang belum memproduksi telur. Dapat juga terjadi bila sedikit cacing dewasa yang
menginfeksi ( hanya jantan atau betina ).
Penomena False positif : pada pemeriksaan feses ditemukan telur cacing tetapi hewan tersebut
tidak terinfeksi cacing. Hal ini terjadi bila memakan telur cacing yang belum infektif
(unembryonated) contoh : Ascaris suum dan Trichuris sp. Kerugian Akibat Infeksi

Cacing :
Kerusakan tergantung : Patogenitas, derajat infeksi, habitat dan kondisi kekebalan hospes.
Beberapa kerusakan atau gangguan akibat infeksi cacing adalah :
1. Menghisap sari Makanan. Dan gannguan metabolisme umum (kurus )
2. Menimbulkan penyumbatan pada usus, saluran empedu dan pembuluh darah.
3. Tekanan pada syaraf oleh gelembung atau tumor
4. Menghisap darah /limfe hospes
5. Merusak selaput lendir usus hospes
6. Kerusakan jaringan organ tubuh hospes
7. Membuat luka yang memudahkan infeksi mikroorganisme patogen
8. Larva migrasi merusak organ/jaringan tubuh
9. Menimbulkan tumor atau nodul pada usus
10. Mengeluarkan zat toksis seperti haemosilin dan antikuagulan
Daftar Pustaka

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Didik Sumanto, SKM, M.Kes (Epid) dr. H. Hadi Wartomo, SU, Sp.Par.Kvii, 97
halaman,155x230 mm
ISBN 978-602-70069-0-4
Parasitologi Kesehatan Masyarakat
Edisi Revisi November 2016

Esy Maryanti dan Agnes Kurniawan 2010. Respons Imun terhadap Infeksi Strongyloides
stercoralis Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan Departemen
Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia FK UKI 2010 Vol XXVII No.2

Anda mungkin juga menyukai