Anda di halaman 1dari 3

MENGENAL DEMAM BABI AFRIKA ATAU

AFRICAN SWINE FEVER (ASF)

African Swine Fever (ASF) adalah penyakit viral pada babi yang sangat
menular, menimbulkan berbagai perdarahan pada organ internal dan disertai
angka kematian yang sangat tinggi.

Penyebab
ASF disebabkan oleh virus DNA dengan untai ganda dari genus Asfivirus
dan famili Asfarviridae. ASF virus sangat tahan terhadap pengaruh
lingkungan, dan stabil pada pH 4-13, serta dapat tahan hidup dalam darah (4
o
C) selama 18 bulan, dalam daging dingin selama 15 minggu, dalam daging
beku selama beberapa tahun, dalam ham selama 6 bulan dan di dalam
kandang babi selama 1 bulan.

Hewan Peka
Babi peliharaan (domestik) adalah hewan yang paling peka terhadap
penyakit ASF. Manifestasi penyakit secara klinis hanya terlihat pada babi
domestik, sedangkan pada babi hutan - babi warthogs (Phacochoerus
africanus dan P. aethiopicus), babi semak (Potamochoerus porcus dan P.
larvatus), dan babi hutan raksasa (Hylochoerus meinertzhageni tidak
menunjukkan tanda klinis saat terinfeksi namun berperan sebagai reservoir
virus.

Penyebaran Penyakit
ASF pertama kali diidentifikasi pada tahun 1921 di Kenya, Afrika Timur. Pada
tahun 1957 menyebar ke Portugal dan berbagai negara di Eropa. Di Asia,
virus ASF ditemukan pada babi liar di Iran pada tahun 2010, kemudian di
tahun 2018  Tiongkok melaporkan wabah demam babi afrika di
provinsi Liaoning. Pada bulan Februari 2019, Vietnam mengonfirmasi kasus
demam babi afrika. Hal ini menjadikannya negara Asia Tenggara pertama
yang terinfeksi penyakit ini. Secara berturut-turut ASF juga ditemukan
di Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar dan Timor Leste. Hingga bulan
Desember 2019, tujuh negara di Asia Tenggara telah melaporkan kasus ASF
termasuk Indonesia. Di Indonesia kejadian ASF diumumkan secara resmi
melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019
tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika (African Swine
Fever) pada Beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

Penularan
Darah, cairan tubuh dan jaringan babi-babi yang terinfeksi merupakan
sumber penularan karena mengandung virus dalam konsentrasi tinggi. Oleh
karena itu penularan dapat terjadi secara kontak langsung dengan babi yang
sakit. Penularan juga dapat terjadi melalui peralatan, pakan dan minuman
yang tercemar virus. Selain itu penularan juga dapat terjadi melalui
gigitan caplak yang bertindak sebagai vektor biologis virus ASF yaitu caplak
lunak dari genus Ornithodoros, seperti O. erraticus dan O. moubata.
Babi yang telah sembuh dari infeksi sebenarnya masih tetap terinfeksi
walaupun tidak menampakkan gejala klinis atau berstatus terinfeksi secara
persisten dan berperan sebagai pembawa virus. Infeksi yang berkelanjutan
ini dapat berlangsung lama bahkan virus masih dapat terisolasi dari
beberapa jaringan sampai lebih satu tahun setelah infeksi awal.
Gejala Klinis
Masa inkubasi antara 3 – 15 hari dan penyakit dapat terjadi dalam bentuk
perakut, akut, sub akut dan kronis.
Pada bentuk perakut biasanya hewan ditemukan mati tanpa gejala apapun.
Pada penyakit bentuk akut, masa inkubasi berlangsung lebih singkat (3-7
hari), ditandai dengan demam tinggi hingga 42 °C, depresi, nafsu makan
menurun, malas bergerak, cenderung berkumpul, hemoragi pada kulit dan
organ dalam, abortus pada babi bunting, sianosis (warna kulit
kebiruan), muntah, dan diare. Kematian biasanya terjadi dalam 5-10 hari
setelah muncul gejala klinis. Angka kematian dapat mencapai 100% dan
terkadang, kematian terjadi bahkan sebelum tanda klinis dapat diamati.
Pada bentuk subakut dan kronis yang disebabkan oleh virus dengan virulensi
yang rendah, tanda klinis yang muncul lebih ringan dan berlangsung dalam
periode waktu yang lebih lama. Tingkat kematian lebih rendah, berkisar
antara 30-70%. Manifestasi penyakit bentuk kronis di antaranya penurunan
berat badan, demam intermiten atau berkala, gangguan pernapasan, ulser
pada kulit, dan radang sendi. Bentuk ini jarang ditemukan pada wabah
penyakit.

Patologi
Pada bentuk perakut, perubahan yang tampak berupa perdarahan pada
organ internal.
Pada ASF bentuk akut umumnya kondisi karkas tampak baik. Perubahan
yang signifikan adalah adanya perdarahan pada semua organ internal.
Bintik-bintik perdarahan terutama terjadi pada cortex ginjal, kandung kemih,
paru dan jantung. Perdarahan meluas pada serosa lambung dan usus,
limfoglandula membengkak 2-3 kali ukuran normal.
Pada bentuk subakut gambaran patologis yang terjadi sangat mirip dengan
classical swine fever (Hog Cholera), antara lain perdarahan pada
limfoglandula, ginjal, pembesaran limpa dan paru mengalami konsolidasi.
Pada ASF kronis perubahan yang terlihat antara lain adanya pembesaran
limfoglandula, pericarditis fibrinosa, pleuritis, adanya nodul kecil dan keras
pada paru, ulcerasi kulit dan arthritis pada persendian.

Diagnosis
Diagnosis dilakukan berdasarkan gejala klinis yang tampak, perubahan
patologis dan histopatologis serta pemeriksaan laboratorium.

Diagnosis Banding
Beberapa penyakit dapat menjadi diagnosis diferensial dari ASF antara
lain: Hog Cholera, akut Salmonellosis, Porcine Reproductive and Respiratory
Syndrome (PRRS), pasteurellosis, Porcine Dermatitis and Nephropathy
Syndrome (PDNS) dan keracunan.

Jenis Spesimen dan Cara Pengiriman


Spesimen darah dalam EDTA/heparin sebanyak kurang lebih 10 ml per ekor
diambil dari beberapa ekor babi pada saat demam. Kedalam darah tersebut
ditambahkan antibiotika sebagai pengawet.
Spesimen darah kurang lebih 10 ml tanpa bahan anti pembeku darah juga
perlu diambil untuk mendapatkan serum dari babi yang diduga menderita
ASF subakut atau kronis.
Spesimen limpa, limfoglandula, tonsil, hati, ginjal dan paru diambil secara
aseptis tanpa pengawet untuk pengujian virologi dan bakteriologi.
Sedangkan untuk pemeriksaan histopatologis diperlukan spesimen organ
termasuk otak dalam formalin buffer 10%.
Spesimen darah, serum dan organ segar harus dikirim ke laboratorium
dalam keadaan dingin.

Pemeriksaan Laboratorium
Pada bentuk perakut dan akut, pemeriksaan ditujukan untuk isolasi virus
atau deteksi antigen. Sedangkan pada bentuk subakut dan kronis
pemeriksaan ditujukan untuk deteksi antibody.
Isolasi dan identifikasi virus dilakukan dengan kultur sel/jaringan
menggunakan biakan sel leukosit babi atau sumsum tulang. Spesimen darah
atau suspensi organ diinokulasikan pada biakan sel kemudian diamati
kemampuan hemadsorpsi terhadap sel eritrosit babi dan diamati adanya
CPE (isolasi virus atau uji hemadsorpsi). Metode pengujian lain yang dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi virus ASF yaitu uji antibodi fluoresens/
Fluorescent Antibody Test (FAT), ELISA antigen, dan PCR.
Deteksi antibodi dapat dilakukan dengan beberapa uji serologis seperti Agar
Gel Double Diffusion Precipitin (AGDP), Immunoelectroosmophoresis (IEOP)
dan ELISA.

Pencegahan dan Pengendalian


Sampai saat ini belum ada vaksin untuk mencegah penyakit ASF pada babi.
Cara pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan antara lain:
1. Mencegah lalu lintas media pembawa virus ASF
- Tidak menjual babi/karkas yang terkena penyakit ASF serta tidak
mengkonsumsinya.
- Isolasi babi yang terkena penyakit ASF dan peralatannya serta
dilakukan pengosongan kandang selama 2 bulan.
- Babi yang mati karena penyakit ASF dimasukkan ke dalam kantong
dan harus segera dikubur oleh petugas untuk mencegah penularan
yang lebih luas.
2. Penerapan biosekuriti dan manajemen peternakan babi yang baik, antara
lain dapat dilakukan dengan:
- Menjaga kesehatan babi dengan memberikan pakan yang baik.
Jangan berikan pakan babi dengan sisa makanan restoran atau hotel.
Jika menggunakan makanan dari sisa-sisa makanan restoran atau
hotel, maka makanan tersebut harus dimasak mendidih terlebih
dahulu sekurang-kurangnya satu jam agar bebas dari virus ASF.
- Menjaga kebersihan kendang.
- Memisahkan babi yang sakit dari babi-babi yang sehat.
- Tidak mengizinkan orang lain bebas keluar masuk ke dalam
peternakan babi.
- Mencelupkan alas kaki atau sepatu kandang dalam desinfektan
sebelum memasuki kandang babi.
- Senantiasa mencuci tangan dengan sabun sebelum masuk ke dalam
kandang babi dan setelah keluar dari kandang babi.
- Jika menemukan babi yang sakit, segera hubungi petugas dari dinas
yang membidangi kesehatan hewan atau dokter hewan atau
paramedis di wilayah terdekat
3. Pengawasan yang ketat dan intensif untuk daerah yang berisiko tinggi.

Ditulis oleh:
Drh. Tri Wahyu Retnaningsih
Medik Veteriner Muda
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah
Editor_ats

Anda mungkin juga menyukai