Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KOASISTENSI VIROLOGI

STUDI KASUS MANDIRI

SUSPEK ASF (Asian Swine Fever)

OLEH

AMALIA YOSEFA KRISTA NATA S.KH

2209020012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan salah satu provinsi dengan populasi ternak
babi tertinggi di Indonesia (Dirkeswan, 2017). Daerah NTT merupakan daerah yang
sangat berpotensi untuk pemeliharaan dan pengembangan ternak babi (Wea, 2002). Hal
ini didukung oleh kondisi sosial budaya yaitu pemeliharaan babi yang merupakan suatu
kebiasaan turun temurun, babi banyak digunakan dalam upacara adat atau keagamaan,
serta daging babi sebagai sumber protein hewani utama bagi masyarakat NTT serta
beternak babi merupakan salah satu usaha rumah tangga yang penting sebagai sumber
penghasilan.
Ternak babi merupakan salah satu ternak yang menjadi penyedia dan penyumbang
sumber protein hewani selain unggas dan sapi (Jayanata et al.,2016). Gangguan kesehatan
pada ternak babi merupakan salah satu faktor menurunnya produksi daging babi yang
mengakibatkan kerugian pada peternak babi Penyakit-penyakit tersebut bisa disebabkan
oleh berbagai faktor, baik dari babi itu sendiri maupun faktor dari luar seperti serangan
virus dan bakteri (Manik et al., 2018).
African swine fever (ASF) atau dikenal dengan demam babi Afrika merupakan salah
satu penyakit yang menyerang babi dan bersifat infeksius dan hemoragik yang
disebabkan oleh virus DNA beruntai ganda, dalam famili Asfarviridae dan genus
Asfivirus (Boinas et al., 2011). Menurut Sendow et al.,(2020) virus ini menyebabkan
demam berdarah dengan tingkat kematian yang tinggi pada babi domestik dan babi liar.
Gejala klinis ASF dibagi menjadi 4 bentuk yaitu perakut, akut, subakut, dan kronis,
dimana semua bentuk gejala klinis ini tergantung dari virulensi strain yang menginfeksi,
status kekebalan babi, serta strain babi (SánchezVizcaíno et al., 2015).
Virus ASF dapat ditularkan melalui gigitan caplak (Ornithodorus sp) (Beltrán-
Alcrudo et al., 2019) dan dapat ditularkan secara langsung melalui air liur, air mata,
darah, sekresi hidung, urin, feses, dan sekresi dari saluran kelamin. Selain itu kontak
dengan babi yang telah terinfeksi juga merupakan salah satu ancaman penularan virus
ASF. Untuk kontak tidak langsungnya dapat melalui alat transportasi, bahan pakan,
peralatan kandang, aktivitas peternak, serta biosecurity dan biosafety yang kurang baik
(FAO, 2017).
Penyakit ASF tidak bersifat zoonosis sehingga tidak menimbulkan risiko terhadap
kesehatan manusia, tetapi mempunyai dampak akibat ketiadaan vaksin dan pengobatan
efektif serta penurunan ekonomi yang sangat signifikan yang akhirnya berimplikasi pada
tingginya tingkat moribiditas dan mortalitas penyakit ini (Galindo and Alonso, 2017).
Mengingat penyakit ini merupakan penyakit yang baru masuk di Indonesia tahun
2019, maka peternak babi dan petugas terkait perlu mengetahui tentang penyakit ASF
sehingga dapat segera mengambil tindakan cepat jika penyakit ini muncul. Penyebaran
ASF di Indonesia pertama kali dilaporkan berdasarkan kasus kematian babi di Sumatera
Utara (Sendow, 2020). Pada September 2019 OIE melaporkan bahwa Timor Leste telah
masuk dalam salah satu negara yang terinfeksi ASF (OIE, 2019). Menurut Ditjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan, (2020) telah terjadi kematian babi di wilayah NTT
sebanyak 4.888 ekor yang tersebar di 6 kecamatan. Sedangkan pada juli 2020 terjadi
kematian ternak babi sekitar 24.822 dimana kematian ternak babi di Kota Kupang sekitar
249 ekor (Bere, 2020)
1.2. Tujuan
Untuk menegakkan diagnosa penyakit berdasarkan gejala klinis dan hasil pengujian
laboratorium.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. African Swine Fever (ASF)


2.1.1 Etiologi
Penyakit ASF disebabkan oleh virus ASF, yang merupakan virus DNA
beruntai ganda genus Asfivirus. Hingga saat ini virus ASF hanya memiliki satu
serotype meskipun terdapat 23 genotipe dengan virulensi yang bervariasi
(Rodriguez et al. 2015). Meskipun virus ASF mempunyai satu serotipe, namun
penelitian terakhir menyatakan bahwa virus ASF dapat dikelompokkan menjadi 8
serogroup berdasarkan hemadsorption inhibition assay (HAI) pada biakan
jaringan. Adanya hemadsorption, merupakan patognomonik adanya virus ASF
yang membedakan dengan virus Classical Swine Fever (CSF) (Malogolovkin et
al. 2015).
Virus ASF sangat tahan terhadap perlakuan fisik seperti beku cair,
ultrasonografi dan suhu rendah, namun dengan pemanasan 56°C selama 70 menit
dan 90°C selama 30 menit, virus ini akan inaktif. Penyimpanan virus ASF pada
suhu -80°C dapat bertahan selama bertahun-tahun, sedangkan pada suhu -20°C
bertahan hingga 65 minggu. Virus ini juga tahan terhadap beberapa bahan kimia
seperti tripsin dan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). Virus ASF dalam
darah (viraemia) yang disimpan dalam keadaan dingin dapat bertahan selama 75
minggu, sedangkan pada medium transport dapat bertahan selama 12 hari. Oleh
karena itu, transportasi sampel lapang harus mengikuti sistem rantai dingin agar
virus tetap hidup. Virus ini juga tidak tahan hidup dalam kondisi antara pH 3,9
hingga 13,4. Berdasarkan sifat kimianya, virus ini akan inaktif terhadap eter,
kloroform, natrium hidroksida, hipoklorit, 0,5% klorin, 3/1000 formalin selama
30 menit, 3% ortho phenylphenol selama 30 menit dan senyawa yodium (Mazur-
Panasiuk et al. 2019b; OIE 2018).
2.2.1 Epidemiologi
Penyakit ASF pertama kali ditemukan di Afrika Kenya pada tahun 1921,
yang kemudian menyebar di sebagian besar sub-Sahara Afrika termasuk di Pulau
Madagaskar, sehingga penyakit ini menjadi endemik di Afrika pada babi (FAO
2018). Situasi ASF di Asia, pertama kali terjadi di Cina pada tahun 2018 (Zhao et
al. 2019), penyakit ini telah menyebar ke Mongolia (Januari 2019), Vietnam
(Februari 2019), Kamboja (Maret 2019), Hongkong dan Korea Utara (Mei 2019),
Laos (Juni 2019) dan kemudian ke Myanmar (Agustus 2019), Philipina, Korea
Selatan dan Timor Leste (September 2019) (OIE 2019). Indonesia masih
dinyatakan bebas ASF hingga bulan September 2019, namun pada bulan Oktober
2019 dilaporkan banyak kematian pada babi di Kota Kupang, Kabupaten Kupang,
TTS (Timor Tengah Selatan), Kabupaten Lembata dan Kabupaten Sikka (FAO,
2021). Dinas Peternakan Provinsi NTT mencatat bahwa kasus kematian ternak
babi milik masyarakat di Pulau Timor hingga bulan Maret tahun 2020 mencapai
4.888 ekor akibat terserang virus ASF (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan,
2020).
2.3.1 Gejela Klinis
Gejala klinis pada babi yang menderita ASF dapat dibagi menjadi 4 tahap,
yaitu per akut, akut, sub akut, dan kronis.
a. Gejala klinis per akut ditandai dengan demam tinggi (41-42°C),
kehilangan nafsu makan dan tidak aktif, kematian mendadak mungkin
terjadi dalam 1-3 hari sebelum timbulnya tanda klinis.
b. Gejala klinis Akut di tandai jika setelah masa inkubasi 4-7 hari (jarang,
hingga 14 hari), hewan menunjukkan demam 40-42°C dan kurang nafsu
makan; hewan-hewan terlihat mengantuk dan lemah, berbaring dan
meringkuk serta menunjukkan peningkatan laju pernapasan, kematian
sering terjadi di dalam 6-9 hari untuk strain yang sangat virulen, atau 11-
15 hari untuk isolat yang cukup virulen.
c. Gejala Subakut disebabkan oleh isolat yang cukup virulen dan dapat
terjadi pada daerah endemik. Babi biasanya mati dalam 7-20 hari, dengan
tingkat kematian mulai dari 30 hingga 70 persen. Fluktuasi demam,
disertai oleh depresi dan kehilangan nafsu makan, juga biasa terjadi,
kesakitan pada waktu berjalan dan sendi bengkak dengan akumulasi
cairan dan fibrin, tanda-tanda respirasi dan pneumonia, serta keguguran
pada babi betina.
d. Gejala Kronis sering mengakibatkan tingkat kematian yang biasanya
kurang dari 30 persen. Bentuk kronis berasal dari virus yang dilemahkan
secara alami. Tanda-tanda klinis mulai 14 - 21 hari setelah infeksi dengan
sedikit demam, diikuti oleh gangguan pernapasan ringan dan
pembengkakan sendi sedang sampai berat, serta dikombinasikan dengan
area kulit memerah. Apabila babi dilakukan nekropsi tambahan, maka
akan ditemukan pneumonia dengan nekrosis caseous di paru-paru,
perikarditis fibrinosa, dan kelenjar getah bening edematosa, yang
sebagian dapat berupa perdarahan (terutama kelenjar getah bening
mediastinum) (BeltranAlcrudo et al., 2017).
2.4.1 Diagnosa
Deteksi antibodi terhadap ASF dapat dilakukan dengan uji serologi seperti
uji ELISA, Hemaglunisasi Inhibisi dan Immunodot blot (Balyshev et al. 2018;
Zhao et al. 2019). Sedangkan uji deteksi virus ASF dilakukan dengan uji
fluorescent antibodi (DFA) dan real time q-PCR (Balyshev et al. 2018; Mazur-
Panasiuk & Woźniakowski 2019a) dan konvensional PCR. Real time PCR dan
ELISA merupakan diagnosis baku dan paling sering digunakan (Chenais et al.
2017). Sampel yang dapat dikoleksi diantaranya serum untuk pemeriksaan
serologi (Chenais et al. 2017) dan untuk uji virologik berupa organ seperti limpa,
hati, tonsil, ginjal, limfoglandula, jantung dan paru atau darah dalam EDTA, swab
nasal dan swab rektal (Sanchez-Vizcano et al. 2015; Beltran-Alcrudo et al.
2017).
Untuk pengujian RT-PCR, dapat menggunakan sampel seperti tanah yang
telah terkontaminasi cairan tubuh babi atau tempat pemotongan babi secara
tradisional, air minum babi, sisa makanan atau tempat pembuangan feses/manure
(Chenais et al. 2017).
Isolasi virus ASF dapat dilakukan pada Swine pulmonary alveolar
macrophages (PAMs) (MazurPanasiuk & Woźniakowski 2019a: Zhao et al. 2019)
atau sel primer dari Swine leucocyte (SL) dan transplantable hybrid cell line
(A4C2/9k) (Balyshev et al. 2017). Selain itu, jaringan kultur lestari Pig Kidney
(PK) juga dapat digunakan untuk mengembangkan virus ASF (Cabezon et al.
2017). Namun penggunaan sel lestari PK tidak sensitif untuk isolasi ASF asal
sampel lapang. Titer virus diperoleh dari sampel darah lebih tinggi dibanding
sampel organ (Chenais et al. 2017; Balyshev et al. 2018). Virus ASF
menyebabkan cythopathic effect (CPE) pada sel dan mempunyai daya
hemadsorption (Reis et al. 2016; Zhao et al. 2019).
2.5.1 Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan dan kontrol penyakit ASF belum dapat dilakukan dengan
vaksinasi maupun obat antiviral karena belum tersedia secara komersial. Bagi
negara yang masih dinyatakan bebas ASF, maka beberapa pencegahan yang dapat
dilakukan antara lain peningkatan karantina dan biosekuriti yang ketat, membatasi
lalu lintas babi dan pengurangan populasi ternak babi yang sakit dan terpapar.
Disamping penerapan biosekuriti yang baik, mengurangi kontak dengan pakan/
alat yang tercemar seperti penggunaan swill feeding sebagai pakan ternak babi
dan pengolahan limbah pesawat, serta pengetatan barang bawaan penumpang
pesawat dan kapal laut perlu dilakukan.
BAB III

METODE

3.1. Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan dan pemeriksaan sampel yaitu
babi dengan gejala sakit, thermometer, tabung vacum non-EDTA, venoject, alcohol
swabs, kertas label, pensil, kamera dan darah babi.
3.2. Metode
3.2.1. Metode Pengambilan Sampel Darah
Metode pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara mengambil darah
pada babi yang menunjukkan gejala sakit pada vena jugularis, lalu sampel darah
dimasukkan kedalam tabung non-EDTA, tabung dimiringkan dan disimpan pada
suhu ruang. Setelah serum terbentuk, di masukkan kedalam tabung ependrof.
3.2.2. Metode Pemeriksaan Sampel
Pemeriksaan sampel menggunakan teknik pemeriksaan PCR yang dilakukan
oleh petugas UPT Veteriner.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
a. Sinyalemen :
Nama Pemilik : Ibu
Alamat : Tilong
Jenis Hewan : Babi
Ras : Landrace
Umur : 1 tahun
Jenis Kelamin : Betina
Warna Kulit : Merah Muda
b. Gambaran Klinis :
Berdasarkan hasil pengamatan dan anamnesa diketahui bahwa babi yang
diperiksa merupakan babi yang dipelihara secara semi intensif berjumlah 13 ekor.
Populasi babi di kandang tersebut adalah 1 ekor babi betina (indukan) dan 12
anak babi, dari hasil wawancara dengan peternak sebelumnya sudah pernah ada
kasus babi yang mati dan bangkai babi dibuang disekitar daerah tersebut.
Berdasarkan keterangan dari pemilik babi belum pernah divaksin. Kondisi
kandang bersih, beratap kayu, berlantai semen kasar dan terdapat tempat
pembuangan limbah.
c. Pemeriksaan Fisik :
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan pemeriksaan fisik, gejala yang
tampak pada babi antara lain demam (40,3ºC), nafsu makan menurun, lesu, bintik
merah pada bagian telinga dan leher (Hemoragi).
d. Hasil Pemeriksaan Sampel

Gambar. Hasil Pemeriksaan Darah Babi menggunakan Uji PCR.

e. Pembahasan
Berdasarkan gejala klinis yang terlihat pada babi tersebut, terdapat satu
gejala klinis yang mirip dengan gejala pada ASF yaitu hemoragi yang muncul
pada telinga. Menurut Retnaningsih (2019) babi yang terinfeksi ASF ditandai
dengan demam tinggi hingga 42°C, depresi, nafsu makan menurun, malas
bergerak, cenderung berkumpul, hemoragi pada kulit dan organ dalam, abortus
pada babi bunting, sianosis (warna kulit kebiruan), muntah, dan diare. Begitupun
dengan gejala klinis yang timbul oleh babi yang terinfeksi penyakit Hog cholera
(CSF) pada kasus akut.
Selain itu riwayat babi belum pernah divaksin, dapat memperbesar
kemungkinan jika babi tersebut terinfeksi penyakit ASF walaupun tidak menutup
kemungkinan bahwa penyakit ini tidak dapat terjadi walaupun babi tidak divaksin
karena babi yang tidak divaksinpun ada kemungkinan ditemukan antibodi. Hal ini
bisa terjadi karena babi sudah mengalami infeksi alam ataupun sudah memiliki
maternal antibodi dimana mampu menetralisir antigen yang masuk (Van Oirschot,
2003). Jika dilihat dari gejala yang timbul maka akan sulit untuk membedakan
kedua jenis penyakit tersebut jika hanya melakukan pemeriksaan klinis
dikarenakan gejala yang timbul hampir sama. Oleh karena itu untuk menegakkan
diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi agen
penyebab penyakit.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab penyakit
dapat menggunakan diagnosis PCR, teknik diagnosa PCR digunakan untuk
mendeteksi genom ASF dalam sampel babi baik darah, jaringan maupun organ.
PCR memungkinkan diagnosis penyakit dalam beberapa jam hal ini karena PCR
memiliki sensitive, spesifik dan cepat untuk mendeteksi virus. PCR dapat menjadi
alternatif pemeriksaan ASF sehingga pencegahan dan penyebaran dapat dilakukan
sejak dini
Hasil negatif ini berarti bisa dikatakan gejala klinis yang timbul bukanlah
disebabkan oleh ASF selain itu juga, faktor human eror juga bisa mempengaruhi
hasil yang didapat dimana mungkin terjadi kesalahan pada saat proses
pengemasan sampel maupun pada saat pemeriksaan sampel.
Pada kasus ini sangat sulit untuk membedakan penyakit yang diduga ASF
hanya dengan pemeriksaan gejala klinis. Selain itu hasil laboratorium yang negatif
menunjukkan babi tersebut negatif ASF, walaupun gejala yang muncul mirip
dengan gejala ASF. Oleh karena itu, diperlukan diagnosa banding penyakit yang
mirip dengan penyakit ASF ini yaitu Classical Swine Fever/Hog Cholera.
Penyakit ini mirip dan menimbulkan gejala yang sama dengan ASF yaitu : nafsu
makan menurun, lesu, sesak nafas, dan kulit bercak kebiruan. Jika dilihat dari
mortalitasnya, ASF dan CSF dapat menimbulkan tingkat kematian hingga 100%
pada babi yang terinfeksi tergantung pada gejala klinis yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA

Balyshev VM, Vlasov ME, Imatdinov AR, Titov I, Morgunov S, Malogolovkin AS. 2018.
Biological properties and molecular-genetic characteristics of African Swine Fever
virus isolated in various regions of Russia in 2016–2017. Russ Agric Sci. 44:469-473.

Beltran-Alcrudo DB, Falco JR, Raizman E, Dietze K. 2019. Transboundary spread of pig
diseases: the role of international trade and travel. BMC Vet Res. 15:1-14.

Boinas FS, Wilson AJ, Hutchings GH, Martins C, Dixon LJ 2011. The persistence of African
Swine Fever Virus in field-infected Ornithodoros erraticus during the ASF endemic
period in Portugal. PLoS ONE. 6:e20383.

Beltrán-Alcrudo D, Arias M, Gallardo C, Kramer S, Penrith ML. 2017. African swine fever:
detection and diagnosis – A manual for veterinarians. FAO Animal Production and
Health Manual No. 19. Rome (Italy): Food and Agriculture Organization of the United
Nations..

Bere. M. Sigiranus. 2020. “24.822 Ternak Babi di NTT Mati akibat Virus ASF”.
Kompas.com19/07/2020.https://kupang.kompas.com/read/2020/07/19/10174731/2482
2 ternak-babi-di-nttmati-akibat-virus-asf?page=all.

Chenais E, Sternberg-Lewerin S, Boqvist S, Liu L, LeBlanc N, Aliro T, Masembe C, Ståhl K.


2017. African swine fever outbreak on a medium-sized farm in Uganda: Biosecurity
breaches and within-farm virus contamination. Trop Anim Health Prod. 49:337-346.

Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. 2020.“Cegah Penyebaran
Kasus, Kementan Petakan Kasus Kematian Babi Di NTT”.Diakses tanggal 8 Juni
2020.

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2018. African Swine Fever
threatens people ’s Republic of China: A rapid risk assessment of ASF introduction
[Internet]: [accessed 2nd December 2019]. Available from: http://www.fao.org/3/
I8805EN/i8805en.pdf
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2021. ASF (African Swine
Fever) situation in asia and pacific update. [Internet]: [accessed 26 Maret 2021].
Available from:
http://www.fao.org/ag/againfo/programess/en/empres/ASF/situation_update. Html.
Galindo, I., and C. Alonso. 2017. African Swine Fever Virus: A Review. Viruses 9(5)doi:
10.3390/v9050103

Jayanata, I.M.A., Suardana, I.B.K. and Ardana, I.B.K. 2016. Respon imun Anak Babi Pasca
Vaksinasi Hog Cholera,2301;2477-6637.

Malogolovkin A, Burmakina G, Titov I, Sereda A, Gogin A, Baryshnikova E, Kolbasov D. 2015.


Comparative analysis of African swine fever virus genotypes and serogroups. Emerg
Infect Dis. 21:312-315.

Manik, O.R. Yando; Ginting, Garuda. 2018. Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Hewan Ternak
Babi Dengan Menggunakan Metode Fuzzy Mamdani Berbasis Web. Majalah Ilmiah INTI
: Medan. Volume 5, Nomor 3, Juni 2018 ISSN 2339-210X.

Mazur-Panasiuk N, Woźniakowski G. 2019a. The unique genetic variation within the O174L
gene of Polish strains of African swine fever virus facilitates tracking virus origin. Arch
Vir. 164:1667-1672.

Mazur-Panasiuk N, Żmudzki J, Woźniakowski G. 2019b. African swine fever virus – persistence


in different environmental conditions and the possibility of its indirect transmission. J Vet
Res. 63:303-310.

Rodriguez JM, Moreno LT, Alejo A, Lacasta A, Rodriguez F, Salas ML. 2015. Genome
sequence of African swine fever virus BA71, the virulent parental strain of the
nonpathogenic and tissue-culture adapted BA71V. PLoS One. 10:p.e0142889.

OIE. 2019. African Swine Fever Aetiology Epidemiology Diagnosis Prevention and Control.

Sánchez-Vizcaíno, J. M., Mur, L., Gomez- Potu, R. 2021 Vol. x No. y 11 Villamandos, J. C., &
Carrasco, L. (2015). An update on the epidemiology and pathology of African swine fever.
Journal of Comparative Pathology, 152(1), 9– 21.
https://doi.org/10.1016/j.jcpa.2014.09.003

Sendow, I., Ratnawati, A., Dharmayanti, N. I., & Saepulloh, M. (2020). African Swine Fever:
Penyakit Emerging yang Mengancam Peternakan Babi di Dunia. Indonesian Bulletin of
Animal and Veterinary Sciences, 30(1), 15. https://doi.org/10.14334/wartazoa.v30i1.2479.

Zhao D, Liu R, Zhang X, Li F, Wang J, Zhang J, Liu X, Wang L, Zhang J, Wu X, Guan Y, Chen
W, Wang X, He X, Bu Z.2019. Replication and virulence in pigs of the first African swine
fever virus isolated in China. Emerging Microbes Infect. 8:438-447.

Anda mungkin juga menyukai