Anda di halaman 1dari 7

Tugas Praktikum Hari, tanggal : Selasa, 8 September 2020

Epidemiologi dan Ekonomi Kelompok :4


Veteriner Dosen : Dr. Drh. Chaerul Basri, M.Epid

Praktikum 2

Anggota kelompok:

1. Emilna Mega Ningrum B04170050


2. Bella Syafira Sofwan B04170068
3. Muh Kholid Ridwan B04170081
4. Tigrisia Faathira Ahmad B. B04170086
5. Tabitha Audrey Auraroso B04170092

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN


MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
IPB UNIVERSITY
2020
1. Tentukan hal-hal berikut untuk masing-masing penyakit
(Trypanosomiasis) :

a. Mata Rantai Infeksi (6 buah anak rantai).


1. agen etiologis : Spesies Trypanosoma sp seperti; T.evansi, T.lewisi, T.
cruzi, dan T.brucei
2. Sumber/reservoir: Rattus rattus dan Rattus norvegicus.
Vector lalat Tsetse-Glossina sp dan Kutu Xenopsylla cheopis dan
Leptopsylla segnis
3. Cara keluar : Melalui saliva dan bersamaan dengan darah yang dihisap
serta digigit oleh vector dan reservoir.
4. Cara Transmisi :
Horizontal gigitan lalat. Melalui kontak langsung dengan hewan yang
terkena melalui luka di kulit, per oral dan melalui gigitan vector
penyakit. Didukung pula keadaan sanitasi lingkungan dan
kepadatannya. Stadium Trypomastigotes membelah diri dengan
pembelahan biner dibeerbagai cairan tubuh. Beberapa kasus protozoa
ini bermigrasi ke sistem saraf pusat .
5. Cara masuk : Vektor menggigit dan menghisap darah (saliva) dari
kulit, hidup di sel darah merah. Reservoir terinfeksi melalui per oral,
memakan kutu yang mengandung Trypanosoma atau feses kutu
tersebut.
6. Inang rentan : Hewan ternak, terutama sapi, kerbau, dan kuda. Juga
pada manusia,anjing, kucing, dan wild animal (Novita 2019).

b. Riwayat alamiah penyakit (4 tahap).


 Tingkat Kerentanan: Tergantung kekebalan masing-masing individu.
Protozoa ini sangat rentan terhadap antibodi, karena mereka hidup
sepenuhnya terkena antibodi dalam darah. Ternak yang terinfeksi
surra akut pada kuda dan kronis pada sapi (Putra et al.2019).
 Tingkat Subklinis: Fase parasitemia pada tikus berlangsung 30 hari,
setelahnya membentuk kekebalan jika terinfeksi ulang. Kemudian
masuk kedalam tubuh manusia membuat lemah selama tiga minggu
bersamaan dengan gejala klinis lainnya. Tingkatan ini tergantung pada
jumlah kepadatan protozoa didalam darah kapiler
 Tingkat Klinis: Infeksi T. evansi adanya demam disertai keringat
selama >11 hari, disorentasi, gelisah, berperilaku kasar, sakit kepala,
penurunan berat badan dan nyeri sendi, anoreksia, depresi, serta batuk.
Dapat menembus blood brain barier.
 Tingkat Pemulihan, cacat atau mati: Infeksi protozoa T.evansi
menunjukkan sifat pathogen pada manusia bahkan menyebabkan
kematian. Dilaporkan pula infeksi T. cruzzi mencapai angka kematian
sebesar 16% pada tahun 1992-2009 di Kolombia (Novita 2019).

c. Determinan/faktor risiko penyakit (berdasarkan agen, inang dan


lingkungan).
 Determinan Agen: terlihat isolate agen T.evansi yng berasal dari
Indonesia dan filiphina lebih ganas dibanding yang ada di afrika.
Namun yang paling ganas berada di Filiphina, sehingga menimbulkan
kematian pada hewn ternak. Antigenitas tergantung pada kekebalan
tubuh individu dan dapat menyesuaikan diri didalam tubuh (Novita
2019).
 Determinan Inang :
- Bangsa : Protozoa Trypanosoma sp.
- Jenis : Hewan ternak kuda, kerbau, sapi : T. eansi, Tikus : T.
lewisi, manusia: T.evansi, T.brucei, T.lewisi, T.cruzi
- Jenis Kelamin - Betina dan jantan.
- Umur: infeksi protozoa ini tidak terpaut umur, karena pernah
dilaporkan menyerang bayi berumur 37 hari di India tahun 2010,
umur 45 hari di Thailand tahun 2007, dan umur umur diatas 30
tahun (Novita 2019).
 Determinan Lingkungan:
- Lokasi : berawal dari Afrika Barat, meluas ke Afrik Tengah,
Afrika utara, hingga ke benua Asia.
- Iklim : Perubahan iklim akan menyebabkan kenaikan temperature
udara yang memacu pada perkembangbiakan vektor
- Kepadatan populasi ternak dan jarak antara pemukiman
penduduk dengan lokasi peternakan dapat mempermudah
penyebaran penyakit ini.
- Kondisi rumah dan lingkungan yang kotor yang membuat
banyaknya populasi tikus dapat menjadikn factor risiko penularan
penyakit ini yaitu pada jenis T. lewisi (Novita 2019).

2. Jumlah wabah dari tiga penyakit tertentu yang dicatat selama 20 tahun
adalah sbb :
Pertanyaan :
a. Gambarkan jumlah wabah dari penyakit-penyakit tersebut
terhadap waktu (tahun)!

Wabah di Daerah
60

50

40

30

20

10

Penyakit A Penyakit B Penyakit C


b. Tetapkan pola masing-masing penyakit secara tersendiri sebagai
endemik, sporadik atau endemik?

 Penyakit 1 : sporadik
Penyakit pertama hanya terjadi di waktu-waktu tertentu dan tidak memiliki
pola tetap, maka penyakit 1 termasuk ke dalam penyakit sporadik. Sporadik
adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya
penyakit) yang ada di suatu wilayah tertentu frekuensinya berubah-ubah
menurut perubahan waktu. Sporadik juga termasuk jenis penyakit yang tidak
tersebar merata pada tempat dan waktu yang tidak sama, dan pada suatu saat
dapat terjadi epidemik. Frekuensinya yang tidak teratur menyebabkan
kejadiannya sulit diramalkan.
 Penyakit 2 : endemik
Penyakit 2 memiliki grafik yang cenderung tetap, maka tergolong ke
dalam pola endemik. Endemik merupakan kejadian penyakit yang
biasa terjadi dalam jumlah yang relatif sama atau sedikit sekali terjadi
penyimpangan dari keadaan biasanya sehingga kejadiannya dapat
diperkirakan.
 Penyakit 3 : propagated epidemik
Penyakit 3 terlihat mengalami kenaikan di waktu tertentu. Kejadian
kenaikan kasus dan frekuensi penyakit dalam periode waktu tertentu
secara bertahap dan memerlukan waktu relatif panjang disebut dengan
propagated epidemik

3. Pada tahun 2016 satu rangkaian survai untuk menilai prevalensi penyakit
PMK pada sapi dilaksanakan pada sejumlah propinsi di Indonesia. Hasil
survai dapat dilihat sbb:
Pertanyaan :

a. Pada peta yang disediakan (cari peta Indonesia di internet),


gambarkan hasil survai menurut ukuran yang tepat.
Pengukuran prevalensi atau insiden penyakit dilakukan sebagai
gambaran kondisi suatu penyakit di suatu daerah. Tingkat prevalensi
diperoleh dari pembagian antara jumlah kasus penyakit yang ada dengan
jumlah populasi dalam suatu daerah. Berikut adalah perhitungan
prevalensi penyakit PMK di bebrapa daerah di Indonesia dan peta
distribusi penyakit:

Daerah Prevalensi (%)


Kalimantan 2%
Irian 2%
Jawa Tengah 3.7%
Lampung 5.3%
Sulawesi Selatan 6.6%
Timor 7.5%
Jawa Barat 11.2%
Sumba 16%
Daerah Prevalensi (%)
Sulawesi Utara 20%
NTB 21.5%
Bali 23%
Sumatera Selatan 75%

b. Kesimpulan apakah yang dapat Saudara tarik mengenai distribusi


penyakit ini?
Berdasarkan peta sebaran penyakit PMK yang telah dibuat dapat
disimpulkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan memiliki prevalensi
penyakit PMK tertinggi yaitu sebesar 75%. Sedangkan Provinsi
Kalimantan dan Irian Jaya memiliki prevalensi terendah dari seluruh
provinsi yaitu sebesar 2%. Berdasarkan data diatas diketahui bahwa pola
distribusi penyakit PMK di Indonesia ialah Spatial Contangios. Pola
tersebut merupakan pola penyebaran penyakit berdasarkan tempat
kejadiannya.

4. Selama tahun 2015/2016 terjadi epidemic rabies di Jawa Tengah. Jumlah


kasus penyakit yang dilaporkan setiap minggu dapat dilihat pada tabel di
bawah. Kasus dicatat dari semua spesies, sebagian besar dari anjing.
Pertanyaan :
a. Gambarkan sebuah kurva epidemic. Lukiskan pola ini secara tepat
dan ringkas.
b. Setelah diadakan pengumuman resmi pada masyarakat mengenai
adanya kejadian penyakit yang penting dan luar biasa, apakah
bahaya dari interpretasi peningkatan insidensi penyakit sebagai
peningkatan insidensi yang sesungguhnya?

Dilihat dari insidensi yang ada, terlihat bahwa awal kasus ada pada
minggu ke 6, dan meningkat pada minggu ke 7 sekitar 2 kasus. Dengan
adanya kasus ini, terlihat adanya upaya pencegahan sehingga dapat
menurun hingga miinggu ke 9. Tetapi kasus kembali menaik pada minggu
ke 10 dan 11, menurun kembali satu tingkat pada minggu ke 12 hingga 14.
Hal ini terjadi fluktuatif, kemungkinan pencegahan yang dilakukan saat itu
kurang maksimal.
Dapat kita ketahui bahwasannya kasus ini dapat dinilai infektif,
karena kasus dapat bertambah dalam kurun waktu yang lumayan singkat.
Kemudian terjadi peningkatan secara signifikan pada minggu ke 15, yaitu
sekitar 5 kasus ditemukan. Hingga pada minggu ke 17 mencapai
puncaknya, yaitu 8 kasus. Pada minggu ke 19, 20, dan 21 terjadi penurunan
yang sangat signifikan. Hal ini diperkirakan telah adanya upaya
pencegahan maksimal atau ditemukannya obat/vaksin sehingga kasus
dapat terus menurun dan akhirnya mencapai titik 0 pada minggu ke 24.
Kemudian kembali ditemukan kasus pada minggu ke 28 hingga 31 namun
tidak begitu signifikan dikarenakan ada kemungkinan masyarakat di suatu
tempat sudah mengetahui upaya pencegahan kasus tersebut.
Hingga pada minggu 31 dan seterusnya, tidak ditemukan kasus
kembali. Jika insidensi suatu penyakit tinggi, maka perlu diadakannya
suatu pencegahan maksimal agar penularan tidak terus terjadi. Perlu
diadakannya suatu kontrol di lingkungan, individu, dan agen (seperti
dalam epidemiological triad), gangguan/manipulasi diantara ketiga ikatan
tersebut dapat dimanfaatkan untuk mencegah maupun mengendalikan
penyakit. Jika insidensi suatu penyakit rendah, bisa jadi kasus tersebut
akan meningkat seiring waktu, sehingga perlu untuk mengetahui kriteria
agen penyakit tersebut agar dapat dilakukan pencegahan secepatnya.
Peningkatan jumlah kasus dalam suatu jangka waktu pada suatu
daerah apabila meningkat terus menerus akan menjadi tersebar luas dan
sulit dikendalikan, sehingga akan berdampak kepada semakin tingginya
kasus penyakit pada daerah yang lebih luas, sehingga dibutuhkan
pencegahan agar kasus tersebut dapat dikendalikan dengan baik.

5. Distribusi spasial penyakit : Rabies di Jawa Tengah


Sejak September 2015 sampai Maret 2016 terjadi epidemic rabies di Jawa
Tengah. Distribusi kasus dapat dilihat sbb :
Pertanyaan :

a. Petakan distribusi kasus selama epidemic (dalam peta Jawa Tengah).


b. Berikan ulasan mengenai distribusi ini.
Peta distribusi kasus rabies di Jawa Tengah selama periode
September 2015 sampai Maret 2016 menunjukkan bahwa kejadian rabies
paling banyak terdapat pada daerah yang saling berdekatan yaitu Wonogiri
21 kasus, Sukoharjo 14 kasus, Karanganyar 5 kasus dan daerah Klaten 1
kasus. Daerah laing yang terdapat kejadian rabies berkelompok, yaitu
Cilacap 4 kasus, Banyumas 3 kasus dan Tegal 1 kasus.
Daerah dengan catatan kejadian kasus sebanyak satu kasus dan
terpisah dari dari daerah lainnya yaitu Semarang. Hal ini menunjukkan
pola distribusi spatial random ditandai dengan kejadian penyakit yang
muuncul pada lokasi secara acak dan tidak saling berkaitan satu sama lain.
Analisis spasial adalah proses sejumlah fungsi dan evaluasi logika
matematis yang dilakukan terhadap data spasial yang bertujuan
memperoleh informasi baru seperti distribusi penyakit (Prahasta 2011).

Daftar Pustaka
Novita R. 2019. Kajian Potensi Tripanosomiasis sebagai Penyakit Zoonosis
Emerging di Indonesia. Jurnal Vektor Penyakit.13(1): 21-32.
Prahasta E. 2011. Tutorial Arcgis Desktop untuk Bidang Geodesi dan Geomatika.
Bandung (ID): CV Informatika.
Putra AANBU, Putra IKGD, Wibawa KS. 2019. Identifikasi sel human African
Trypanosomiasis pada sel darah dengan menggunakan K-Means
clustering. Jurnal Ilmiah Merpati. 7(3): 170-181.

Anda mungkin juga menyukai