Anda di halaman 1dari 7

EPIDEMIOLOGI TRAVELERS’ RABIES

Disusun untuk memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Epidemiologi Traveller Diseases

Dosen Pengampu : Sugiarto, S.KM., M.PH

Disusun oleh :

Cahya Wulandari

2000029099

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2023
A. Definisi Rabies
Rabies merupakan penyakit menular akut yang menyerang sistem saraf pada
manusia dan hewan berdarah panas yang disebabkan oleh virus rabies, ditularkan
melalui saliva hewan penderita rabies melalui gigitan atau luka terbuka. Penyakit ini
bersifat fatal, biasanya berakhir dengan kematian (Kemenkes, 2017). Rabies disebut
juga penyakit anjing gila adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik yaitu penyakit dapat
ditularkan dari hewan ke manusia melalui gigitan hewan penular rabies (Kemenkes ,
2016).
B. Sebaran Kasus Rabies
Di Indonesia, sampai tahun 2018 rabies masih tersebar di 24 propinsi, hanya 9
provinsi saja yang dinyatakan daerah bebas rabies, yaitu di provinsi kepulauan
Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Di Yogyakarta, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Papua (Kemenkes , 2016). Sehingga
rabies di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarkat. Di daerah Bali kasus
gigitan hewan penular rabies (GHPR) Menurut Dinas peternakan ambon tahun 2017
rabies masih menjadi masalah penyakit zoonosis utama. Tidak hanya itu jumlah kasus
rabies pada manusia rata-rata pertahun dibeberapa Negara Asia antara lain India
20.000 kasus, Vietnam 9000 kasus, Filipina 300-600 kasus dan Indonesia 131 kasus
pada 5 tahun terakhir (Infodatin , 2017).
Namun, menurut Kementerian Kesehatan RI (2020) menyatakan bahwa
angka kasus kematian akibat rabies masih tergolong tinggi dengan jumlah kasus
sekitar 100 hingga 156 kematian per tahun. Ditinjau dari segi statistik, penularan
penyakit rabies akibat gigitan anjing mencapai 98% sedangkan 2% lainnya
ditularkan oleh kera dan kucing. Dari sejumlah wilayah provinsi di Indonesia,
tercatat bahwa sejumlah delapan provinsi belum bebas rabies yaitu Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi DKI Jakarta,
Provinsi Papua Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur hingga
Provinsi DI Yogyakarta dan sejumlah 26 provinsi lainnya tercatat endemik rabies
(Kementerian Kesehatan, 2020). Fenomena kasus rabies yang pertama kali
dilaporkan di Provinsi Bali terjadi di wilayah Desa Kedonganan, Kecamatan
Kuta, Kabupaten Badung dengan kasus penyakit rabies pada hewan jenis
anjing (Yulianita, et al., 2023).
C. Faktor Risiko Penyebab Rabies
Faktor yang menyebabkan penyakit rabies bertahan di suatu daerah salah
satunya adalah tidak terkendalinya populasi hewan penularan rabies dan kurangnya
vaksin terhadap hewan penular rabies. Penularan rabies di pedesaan berawal dari
kondisi anjing liar yang tidak terpelihara dengan baik, kemudian berkembang biak
secara cepat dan sulit untuk dikendalikan, Kondisi seperti ini yang menyebabkan
suatu daerah bertahan menjadi endemis rabies. Faktor utama yang menyebabkan
meningkatnya kasus GHPR adalah penurunan konsistensi dan kuantitas dalam
pelaksanaan vaksinasi atupun eliminasi terhadap hewan penular rabies, padahal
program vaksinasi dan eliminasi hewan penular rabies sangat efektif dalam
menurunkan kasus GHPR (Hamdani & Puhilan, 2020).
Berdasarkan segitiga epidemiologi, faktor risiko penyebab rabies dapat terbagi
menjadi:
1. Faktor Lingkungan
a. Kepadatan Penduduk
Tinggi rendahnya kasus rabies di pengaruhi oleh kepadatan penduduk, dimana
semankin banyak penduduk dan memelihara hewan seperti anjing maka
semakin tinggi resiko terjadinya kasus rabies dibandingkan dengan kecamatan
yang sepi penduduk maka sedikit pula hewan yang dipelahara sehingga rendah
resiko terjadinya kasus rabies (Yulianita, et al., 2023).
b. Populasi HPR dan HPR yang sudah di vaksin
Hewan penular rabies yang terinfeksi virus rabies akan lebih mudah marah
dan menyerang sehingga dapat meningkatkan kasus rabies. Dimana orang
yang tergigit oleh HPR yang tidak divaskin berisiko 5 kali lebih besar
mengalami kejadian rabies dengan risiko tinggi dibandingkan dengan orang
yang tergigit oleh HPR yang telah divaksin (Simbong, et al., 2022)
2. Faktor Host
Faktor Umur
Anak dengan usia kurang dari 15 tahun menjadi kelompok umur yang paling
banyak mengalami kejadian GHPR. Anak-anak umumnya lebih berisiko
mengalami kejadian GHPR dengan risiko tinggi dibandingkan orang dewasa,
Anak-anak dan remaja menjadi kelompok paling berisiko digigit karena
mereka berbagi makanan dengan hewan dan bersentuhan dengan hewan.
Mayoritas pasien positif rabies berusia 15-24 tahun (Simbong, et al., 2022).
3. Agen penyebab rabies
Agen penyebab rabies adalah virus dari genus Lyssavirus dan termasuk ke dalam
family Rhabdoviridae. Virus ini bersifat neurotropik terdiri dari inti RNA (Ribo
Nucleic Acid) rantai tunggal diselubungi lipoprotein. Virus rabies dapat bertahan
pada pemanasan dalam beberapa waktu lamanya. Pada pemanasan suhu 56° C,
virus dapat bertahan selama 30 menit dan pada pemanasan kering mencapai suhu
100° C masih dapat bertahan selama 2-3 menit. Di dalam air liur dengan suhu
udara panas dapat bertahan selama 24 jam. Dalam keadaan kering beku dengan
penyimpanan pada suhu 4° c virus dapat bertahan selama bertahuntahun, hal inilah
yang menjadi dasar mengapa vaksin anti rabies harus disimpan pada suhu 2° C-8°
C (Kemenkes, 2017).
D. Riwayat Alamiah Penyakit
1. Tahap Pre Patogenesis
Pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit
penyakit. Tetapi interaksi ini masih terjadi di luar tubuh, yang berarti bibit
penyakit masih ada diluar tubuh pejamu dimana para kuman mengembangkan
potensi infektifitas, siap menyerang peiamu. Pada tahap ini belum ada tanda-tanda
sakit sampai sejauh daya tahan tubuh pejamu masih kuat.
2. Tahap pathogenesis
 Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi bervariasi antara 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada
umumnya 3 - 8 minggu. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
masa inkubasi, yaitu: jumlah virus yang masuk, tingkat kedalaman luka,
lokasi gigitan, imunitas penderita, dll
 Tahap Penyakit Dini
Pada tahap ini gejala yang timbul adalah demam, lemas, lesu, tidak nafsu
makan/ anorexia, insomnia, sakit kepala hebat, sakit tenggorokan dan
sering ditemukan nyeri. Pada tahap ini sering ditemukan rasa kesemutan
atau rasa panas (parestesi) di lokasi gigitan, cemas dan reaksi berlebih
terhadap rangsang sensorik
 Tahap Penyakit Lanjut
Pada tahap ini penderita mengalami berbagai macam gangguan
neurologik, penderita tampak bingung, gelisah, mengalami halusinasi,
tampak ketakutan disertai perubahan perilaku menjadi agresif, serta
adanya bermacam-macam fobia yaitu hidrofobia, aerofobia, fotofobia.
Hidrofobia merupakan gejala khas penyakit rabies karena tidak ditemukan
pada penderita penyakit enchepalitis lainnya. Gejala lainnya yaitu spasme
otot, hiperlakrimasi, hipersalivasi, hiperhidrosis dan dilatasi pupil.
3. Tahap Pasca Patogenesis
Setelah beberapa hari pasien meninggal karena henti jantung dan pernafasan. Dari
seluruh penderita rabies sebanyak 80% akan mengalami tahap ini dan lamanya
sakit untuk tahap ini adalah 7 hari dengan rata-rata 5 hari.
E. Model Penularan Rabies
Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui jilatan
atau gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera, musang,
serigala, raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui
mukosa utuh seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau
transplantasi kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah
virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal
pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut
saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Pada gigitan di
kaki masa inkubasi kira-kira 60 hari, pada gigitan di tangan masa inkubasi 40 hari,
pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30 hari. Cara penularan rabies dapat
melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi kontak dengan bahan
mengandung virus rabies pada kulit manusia yang luka atau mukosa) (Maharani, et
al., 2023).
Umumnya Rabies ditularkan melalui gigitan, cakaran dan jilatan pada kulit
yang luka oleh hewan yang terinfeksi rabies, dimana virus rabies terdapat di air liur
hewan tersebut. Penularan juga dapat terjadi ketika bahan infeksius (spesimen air liur,
otak, urin dll) kontak langsung dengan mukosa manusia atau luka di kulit (Subdit
Zoonosis, 2020).
F. Upaya Pencegahan Rabies
1. Industry wisata
 Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing,
kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
 Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk
tanpa izin ke daerah bebas rabies
 Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70%
populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi wisata.
2. Wisatawan
 Mengindari kontak langsung dengan HPR
 Menjaga kebersihan diri
 Melakukan vaksinasi saat akan berpergian keluar kota
G. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa rabies disebut juga
penyakit anjing gila adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh virus rabies. Sebaran kasus rabies di Indonesia masih tergolong
tinggi. Tingginya kasus rabies disebabkan oleh factor lingkungan, host dan agen.
Rabies dapat ditularkan melalui gigitan dan non gigitan. Upaya pencegahan dapat
dilakukan oleh wisatawan saat akan pergi berwisata dan industry wisata sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Hamdani, R. & Puhilan, 2020. Epidemiologi Penyakit Rabies di Provinsi Kalimantan Barat:
Epidemiology of Rabies in West Kalimantan Province. JHECDs: Journal of Health
Epidemiology and Communicable Disease , 6(1), pp. 7-14.
Infodatin , P. d. d. I. K. K. R., 2017. Situasi Rabies Di Indonesia. [Online]
Available at: https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/
infodatin-rabies-2017.pdf
Kemenkes , 2016. Buku Saku Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan
Penular Rabies Di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes, D. P. d. P. P., 2017. Petunjuk Teknis Surveilans Epidemiologi Rabies Pada
Manusia Di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan, 2020. 8 Dari 34 Provinsi di Indonesia Bebas Rabies. [Online]
Available at: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20200928/4735079/8-
34-provinsi-indonesia-bebas-rabies/
[Accessed 2023].
Maharani, S. A., Hilmi, I. L. & Salman, 2023. Review : Efektivitas Vaksin Antirabies pada
Manusia dan Cara Pemberantasan Kasus Rabies yang ada di Indonesia. Jurnal Ilmiah
Wahana Pendidikan, 9(4), pp. 473-479.
Simbong, M., Azis, R. & Juhanto, A., 2022. Kejadian Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)
Di Kabupaten Luwu Timur Dan Faktor Risikonya. Jurnal Promotif Preventif, 5(1),
pp. 1-15.
Subdit Zoonosis, 2020. Lembar Balik Rabies. Jakarta: Kemenkes RI.
Yulianita, N. L., Adisanjaya, N. N. & Wasita, R. R. R., 2023. Pemetaan Faktor Risiko Kasus
Gigitan Hewan Penular Rabies Pada Manusia Berbasis Sistem Informasi Geografis Di
Kabupaten Buleleng Pada Tahun 2021. Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan
Tadulako), 9(1), pp. 1-9.

Anda mungkin juga menyukai