Anda di halaman 1dari 7

EPIDEMIOLOGI TRAVELERS DISEASE SCHISTOSOMIASIS

Disusun untuk memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Epidemiologi Traveller Diseases

Dosen Pengampu : Sugiarto, S.KM., M.PH

Disusun oleh :

Cahya Wulandari

2000029099

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2023
A. Definisi Schistosomiasis
Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit yang diperantarai oleh keong
yang menginfeksi tubuh manusia dan mamalia lain (Mahendradhata, et al., 2021).
Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit dari genus
schistosoma dan tularkan ke manusia oleh siput air tawar yang berfungsi sebagai
inang perantara parasite (Ningsi, et al., 2022). Schistosomiasis adalah penyakit
parasitik yang bersifat zoonosis dengan siklus penularan yang sangat kompleks
(Raflizar & Sudomo, 2019).
Penyakit Schistosomiasis atau disebut demam keong adalah penyakit menular
kronis yang disebabkan oleh cacing Schistosoma Japonicum dan keong Oncomelania
Hupensis Linduensis merupakan hospes perantara Cacing Trematoda Schistosoma
Japonicum. Cacing ini hidup didalam pembuluh darah vena mesentrika manusia dan
binatang vertebrata khususnya mamalia. Gejala penyakit ini antara lain adalah adanya
urtikaria (gatal-gatal), sindroma disentri, demam, mual/muntah, tidak ada nafsu
makan, hepatomegali, splenomegali, melena, ascites dan dapat menyebabkan
kematian. Cacing Schistosoma yang terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah adalah
Cacing Schistosoma japonicum (Informasi, 2021).
B. Sebaran Kasus Schistosomiasis
Di Indonesia hanya ditemukan di Provinsi Sulawesi Tengah dan hanya di dua
kabupaten, yaitu di dataran tinggi Lindu (Kabupaten Sigi), Napu dan Bada
(Kabupaten Poso). Terdapat 28 desa endemis Schistosomiasis di Kabupaten Sigi dan
Poso dengan rincian sebanyak 5 desa endemis di Kabupaten Sigi (Desa Anca,
Tomado, Olu, Puroo, dan Langko) serta sebanyak 23 desa endemis di Kab. Poso
(Desa Banyusari, Sedoa, Kaduwoa, Alitupu, Tamadue, Mekarsari, Maholo,
Winowanga, Dodolo, Torire, Watutau, Wuasa, Wanga, Siliwanga, Betue, Kalemango,
Watumaeta, Kageroa, Tomehipi, Lengkeka, Tuare, Koloni, Leleo). Upaya
pengendalian dilakukan dengan melibatkan sektor lain di luar kesehatan berhasil
secara signifikan menurunkan angka prevalensi Schistosomiasis pada manusia pada
tahun 2001 sebesar 1,8% menjadi 0,7% di tahun 2004 di dataran tinggi Napu, dan di
dataran tinggi Lindu berada pada tingkat rendah antara 0,8-0,2%. Sampai berakhirnya
proyek tersebut tahun 2005, tetap belum bisa mengeliminasi Schistosomiasis secara
permanen (Julifent, et al., 2022). Berdasarkan Laporan hasil pemeriksaan feses
manusia yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah dapat dilihat
bahwa prevalensi Schistosomiasis pada manuasia mengalami fluktuasi baik di
kabupaten Sigi maupun di Kabupaten Poso sepanjang tahun 2014- 2019. Pada Tahun
2019 prevalensi schitosomiasis pada manusia di Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso
terlihat menurun dibandingkan tahun 2018, yaitu menjadi 0,11% dan 0,05%
(Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit , 2020).
C. Faktor Risiko Penyebab Schistosomiasis
1. Faktor Lingkungan
 Pengelolaan Lahan
Pengelolaan lahan yang dilakukan berjangka, merupakan faktor risiko
terhadap kejadian Schistosomiasis. Lahan pertanian baik itu sawah
maupun kebun yang dikelola secara berjangka banyak ditumbuhi rumput
air/serasah dan juga pepohonan besar yang dapat menghalangi sinar
matahari langsung, menyebabkan perkembangbiakan OHL (Oncomelania
Hupensis Linduensis) semakin baik karena lingkungan cocok untuk tempat
hidupnya dan ketersediaan makanan (alga) banyak. Oleh karena itu,
masyarakat yang akan mengelola kembali lahan yang sebelumnya telah
menjadi lahan tidur akan terinfeksi Schistosomiasis kembali.
 Cara Penggembalaan Hewan Ternak
Aktifitas pengembalaan hewan ternak yang tidak dikandangkan
melainkan diikatdi padang atau di lokasi persawahan dengan rumput yang
subur dan lahan yang basah serta tanpa matahari langsung, menyebabkan
terjadinya kontak dengan air yang mengandung Cercaria. Sapi dan kerbau
lebih berisiko mengalami Schistosomiasis, karena mayoritas lokasi
pengembalaanya di daerah persawahan. Hewan jenis kerbau lebih suka
digembalakan di tempat-tempat yang sangat berbecek serta banyak air
yang tergenang untuk membuat kubangan, dan saat kerbau membuat
kubangan, biasanya tali pengikatnya sering ikut tertanam di dalam lumpur
yang mengahruskan pengembala untuk memperbaiki tali tersebut dan
berkontak langsung dengan air/lumpur tersebut. Untuk hewan jenis kuda
dan babi, faktor risiko cenderung lebih rendah. Kuda hanya berada di
tempat-tempat
yang lebih kering. Babi yang ada di wilayah Lindu meski jumlahnya
tergolong banyak, tapi umumnya dikandangkan. Bahan pakan ternak babi
juga sebagian besar adalah dedak dan jagung giling di tambah umbi-
umbian. Pola pengembalaan dengan cara bebas, selain menjadi faktor
infeksi pada manusia, tetapi juga keberadaan hewan tersebut menyebabkan
penularan Schistosomiasis dapat terus berlangsung melalui siklus silvatik,
karena Schistosomiasiasis di Indonesia sifatnya zoonosis.
 Keberadaan Tempat Tinggal
Schistosomiasis dapat diderita oleh semua masyarakat khususnya yang
tinggal di daerah endemik, namun yang paling mudah terinfeksi adalah
masyarakat yang jarak tempat tinggalnya sangat dekat dengan areal fokus.
Aktivitas sehari-hari yang tinggi di sekitar tempat tiggal, membuat tanpa
disadari terjadi kontak dengan areal fokus seperti akses jalan yang dilalui
setiap hari, pemanfaatan air disekitar rumah sarta memungkinkan terjadi
kontak dengan anak-anak yang senang bermain-main disekitar pekarangan
rumah dimana jarak rata-rata rumah responden dengan areal fokus yang
memiliki risiko tinggi adalah 39 meter, dengan jarak terdekat adalah 16
meter dan yang paling jauh dengan areal fokus adalah ± 173 meter
(Julifent, et al., 2022).
2. Faktor Host
Secara epidemiologi penularan Schistosomiasis japonicum tidak terpisah dari
faktor perilaku atau kebiasaan yang tidak terpisahkan dari air yang terinfeksi
parasite Schistosoma (Muslimin, 2018).
 Pekerjaan
Pekerjaan sebagai petani merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan
kejadian Schistosomiasis japonicum yaitu pekerjaan yang dilakukan di
sawah atau kebun, pekerjaan tersebut sering berhubungan dengan air,
dimana diketahui bahwa mekanisme penularan serkaria parasite
Schistosomiasis sangat erat kaitanya dengan air sungai sebagai media
penularan. Petani merupakan pekerja yang berisiko untuk terinfeksi
Schistosomiasis japonicum karena petani pada saat melakukan pekerjaan
di sawah berada dalam lingkungan yang berair dan berlumpur dengan
keadaan kaki yang telanjang tanpa menggunakan pelindung, keadaan
tersebut mempermudah terjadinya kontak langsung antara kulit kaki
dengan tanah atau air yang mengandung serkaria parasit Schistosomiasis
japonicum.
 Kebiasaan Mandi Mencuci Di Danau atau Air Sungai
Semakin banyak orang yang mandi dan mencuci di air sungai atau air
danau semakin besar peluang terjadinya infeksi Schistosomiasis
japonicum, karena terjadi kontak langsung dengan air sungai, yang
terkontaminasi dengan serkaria parasite Schistosomiasis japonicum
melalui aktifitas membersihkan diri, mandi atau mencuci disungai atau di
danau.
 Perilaku BAB
Jamban keluarga adalah suatu fasilitas pembuangan tinja yang efektif
untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit, masyarakat masih
banyak yang memanfaatkan air sungai, air danau, semak-semak untuk
membuang kotoran, bagi penderita
Schistosomiasis japonicum yang tidak memanfaatkan jamban untuk buang
air besar, akan menyebarkan telur cacing yang keluar bersama tinja
menyebar bersama aliran air, kondisi ini lebih potensi jika menemukan
host perantara berupa keong Oncomelania hupensisi linduensis, dengan
membuang tinja di sembarang tempat akan menyebabkan penyebaran telur
lebih meluas, dan memungkinkan infeksi baru pada orang lain yang sehat.
 Penggunaan APD
Penggunaan alat pelindung diri seperti sepatu jenggel boot saat bekerja
di persawahan suatu tindakan yang aman, sepatu jenggel boot melindunggi
kaki terkontaminasi langsung dengan air yang mengandung serkaria
ataupun tempat fokus keong perantara Schistosomiasis japonicum.
3. Faktor Agent
Schistosomiasis adalah zoonosis yang disebabkan oleh infeksi cacing dari
kelas Trematoda, genus Schistosoma. Untuk menginfeksi manusia, Schistosoma
membutuhkan siput sebagai hospes perantara. Schistosoma ditularkan oleh inang
yang mengembangkan serkaria yang menyerang kulit manusia dalam air.
Schistosomiasis disebabkan oleh respon imunologi terhadap telur cacing yang
terperangkap dalam jaringan (Mendila & Triyono, 2022).
D. Riwayat Alamiah Penyakit
1. Tahap Pre-patogenesis
Pada tahap ini telah terjadi interaksi antara host dengan agent bibit penyakit.
Tetapi interaksi yang terjadi diluar tubuh host. Pada tahap ini juga belum terjadi
tanda-tanda dari penyakit tersebut. Apabila system imun host kuat, maka host
dapat menolak penyakit
2. Tahap Patogenesis
 Inkubasi
Agent sudah masuk ke dalam tubuh host, tetapi belum menimbulkan
gejala. Hal ini karena masa inkubasi setiap penyakit berbeda-beda. Masa
inkubasi penyakit Schistosomiasis adalah 4-8 minggu
 Penyakit Dini
Pada tahap ini host sudah menimbulkan gejala. Gejala yang timbul yaitu
demam, panas dingin, nyeri otot, Lelah, rasa tidak nyaman yang samar
(malaise), mual dan nyeri perut bisa terjadi. Batang getah bening dapat
membesar untuk sementara waktu, kemudian Kembali normal.
 Tahap Penyakit Lanjut
Ditahap ini apabila host tidak diobati maka penyakit ini akan semakin
parah bahkan dapt menyebabkan kematian
3. Pasca Patogenesis
Dapat menjadi sembuh sempurna, carier, cacat
E. Model Penularan Schistosomiasis
Cacing dewasa hidup dalam venula yang mengalir ke usus halus dalam perut
hospes definitif. Cacing betina menempel pada bagian gynecophore dari cacing jantan
dimana mereka berkopulasi. Cacing betina meninggalkan tempat tersebut untuk
mengeluarkan telur di venula yang lebih kecil. Telur keluar dari venula menuju lumen
usus atau kantong kencing. Telur keluar dari tubuh hospes melalui feses atau urine
dan membentuk embrio. Telur menetas dan keluar mirasidium yang bersilia dan
berenang dalam air serta bersifat fototrofik yang kemudian menemukan hospes
perantaranya berupa keong air. Setelah masuk kedalam siput, mirasidium melepaskan
kulitnya dan membentuk sporokista, biasanya di dekat pintu masuk dalam siput
tersebut. Setelah dua minggu sporokista mempunyai 4 Protonepridia yang akan
mengeluarkan anak sporokista dan anak tersbut bergerak ke organ lain dari siput.
Sporokista memproduksi anak lagi dan begitu seterusnya sampai 6 - 7 minggu.
Serkaria keluar dari anak sporokista kemudian keluar dari tubuh siput dalam
waktu 4 minggu sejak masuknya mirasidium dalam tubuh siput. Serkaria berenang ke
permukaan air dan dengan perlahan tenggelam ke dasar air. Bila serkaria kontak
dengan kulit hospes definitif, kemudian mencari lokasi penetrasi dari tubuh orang
tersebut, kemudian menembus ke dalam epidermis dan menanggalkan ekornya
sehingga bentuknya menjadi lebih kecil disebut "Schistosomula" yang masuk
kedalam peredaran darah dan terbawa ke jantung kanan. Sebagian lain schistosomula
bermigrasi mengikuti sistem peredaran cairan limfe ke duktus thoracalis dan terbawa
ke jantung. Schistosomula ini biasanya berada dalam jantung sebelah kanan.
Cacing muda tersebut kemudian meninggalkan jantung kanan melalui kapiler
pulmonaris dan kemudian menuju jantung sebelah kiri, kemudian mengikuti sistem
sirkulasi darah sistemik. Hanya schistosomula yang masuk arteri mesenterika dan
sistem hepatoportal yang dapat berkembang. Setelah sekitar tiga minggu dalam
sinusoid hati, cacing muda bermigrasi ke dinding usus atau ke kantong kencing,
kemudian berkopulasi dan memulai memproduksi telur.
F. Upaya Pencegahan Schistosomiasis
1. Untuk Wisatawan
Belum ada vaksin atau obat yang dapat mencegah terjadinya penyakit
Schistosomiasis. Jika sedang bepergian ke daerah dengan kasus Schistosomiasis yang
tinggi, sebaiknya menghindari kegiatan mendayung, mencuci, atau berenang di air
tawar. Selain itu, gunakan sepatu boots anti air jika harus melewati aliran air tawar
atau sungai. Apabila air minum berasal dari sumber air yang mungkin terkontaminasi,
jangan lupa untuk merebus dan menyaring air tersebut sebelum dikonsumsi.
Schistosomiasis dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan air tawar
yang berpotensi terkontaminasi cacing schistosoma. Jika sedang mengunjungi area
yang diduga terkontaminasi cacing schistosoma, lakukan upaya pencegahan berikut
ini:
 Gunakan celana dan sepatu bot anti-air jika bekerja di area berair tawar.
 Jaga kebersihan diri dan rutin mencuci tangan dengan sabun dan air
mengalir.
 Mengonsumsi air matang atau air mineral yang terjamin kebersihannya.
 Hindari mandi atau berendam di dalam air sungai atau danau.
 Gunakan air bersih untuk mandi dan mencuci.
2. Untuk Industry Pariwisata
Industry pariwisata dapat mencegah penyebaran schistosomiasis dengan
menghindari menambatkan ternak atau mengembala ternak peliharaan di area
wisata serta menyediakan APD yang lengkap pada tempat wisata
G. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Schistosomiasis
atau disebut demam keong adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh
cacing Schistosoma Japonicum dan keong Oncomelania Hupensis Linduensis
merupakan hospes perantara. Di Indonesia hanya ditemukan di Provinsi Sulawesi
Tengah dan hanya di dua kabupaten, yaitu di dataran tinggi Lindu (Kabupaten Sigi),
Napu dan Bada (Kabupaten Poso). Faktor risiko penyebaran terdiri dari lingkungan,
host dan agent. Upaya pencegahan dapat dilakukan oleh wisatawan saat akan pergi
berwisata dan industry wisata sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit , 2020. Rencana Aksi Kegiatan (RAK)
2020-2024. Jakarta: Kemenkes RI.
Informasi, S. B. P. P. D. d., 2021. Profil Kesehatan 2020. Palu: Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Tengah.
Julifent, Ishak, H. & Taba, P., 2022. Analisis Faktor Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian
Schistosomiasis Di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi. Syntax Literature: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 7(9), pp. 13561-13571.
Mahendradhata, Y. et al., 2021. Kesehatan Global. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Mendila, M. & Triyono, T., 2022. Schistosomiasis. Manado: Sam Ratulangi University.
Muslimin, D., 2018. Faktor Risiko Host Terhadap Kejadian Schistosomiasis Japonicum.
Jurnal Kesehatan Masyarakat , 3(3), pp. 93-100.
Ningsi, et al., 2022. Pengetahuan dan Perspektif Masyarakat Lokal terhadap Schistosomiasis
di Indonesia. Jurnal Vektor Penyakit, 16(2), pp. 153-162.
Raflizar & Sudomo, M., 2019. Penyakit Zoonosis dengan Perhatian Khusus Pada
Schistosomiasis Japonicum: Sebuah Tinjauan. Berita Kedokteran Masyarakat : BKM
Journal of Community Medicine and Public Health, 35(7), pp. 237-244.

Anda mungkin juga menyukai