Anda di halaman 1dari 4

NEMATODA

1. Ascaris lumbricoides
Distribusi Geografik :
Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970 – 1980
menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6%
masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta
sudah dilakukan pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak
1987 di sekolah-sekolah dasar. Prevalensi Ascaris sebesar 16,8% di beberapa sekolah di Jakarta
Timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000.

Epidemiologi :
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60 – 90%.
Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencernaan tanah dengan tinja di sekitar
halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Hal ini akan
memudahkan terjadinya reinfeksi. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja
sebagai pupuk.
Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 25° – 30°C merupakan hal-hal yang
sangat baik untuk berkembangnya telur A.lumricoides menjadi bentuk infektif. Anjuran mencuci
tangan sebelum makan, menggunting kuku secara teratur, pemakaian jamban keluarga serta
pemeliharaan kesehatan pribadi dan lingkungan dapat mencegah askariasis.

2. Necator americanus dan ancylostoma duodenale


Distribusi geografik :
Penyebaran cacing ini diseluruh daerah khatulistiwa dan ditempat ,lain dengan keadaan yang
sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan. Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama di
daerah pedesaan. Antara tahun 1972-1979 prevalensi di daerah pedesaan di indonesia adalah sekitar
50%. Pada survei-survei yang dilakukan Departemen Kesehatan di sepuluh propinsi di Indonesia
antara tahun 1990-1991 hanya didapatkan 0-24,7% sedangkan prevalensi sebesar 6,7%
didapatkanpada pemeriksaan 2478 anak sekolah dasar di Sumatera Utara.

Epidemiologi :
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan,
khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan
dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%.
Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah
tertentu) penting dalam penyebaran infeksi.
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu
optimum untuk N.americanus 28° – 32°C, sedangkan untuk A.duodenale lebih rendah (23° – 25°C).
Pada umumnya A.duodenale lebih kuat.Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah dengan memakai
sandal atau sepatu.

3. Ancylostoma ceylanicum
Distribusi geografik :
Cacing ini bersifat kosmopolit; terutama ditemukan di daerah panas dan lembab, seperti di
Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia, prevalensi masih tinggi seperti yang dikemukakan oleh
Departemen Kesehatan pada tahun 1990/1991 antara lain 53% pada masyarakat Bali, 36,2% di
perkebunan di Sumatera Selatan. 51,6% pada sejumlah sekolah di Jakarta. Prevalensi di bawah 10%
di temukan pada pekerja pertambangan di Sumatera Barat (2,84%) dan di sekolah-sekolah di
Sulawesi Utara (7,42%). Pada tahun 1996 di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan infeksi trichuris
ditemukan sebanyak 60% di antara 365 anak sekolah dasar.

Epidemiologi :
            Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur di
tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum kira-kira 30 0C. Di berbagai negeri
pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di
beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30 – 90%.
            Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis,
pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama
anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah
penting apalagi di negeri-negeri yang mamakai tinja sebagai pupuk.
 

TREMATODA
1. Schistosoma joponicum
Distribusi geografi :
Cacing Schistosoma joponicum ditemukan di Asia terutama di Cina, Filipina,Jepang. Sedangkan di
Indonesia dapat ditemukan di beberapa lembah yang terisolasi di Sulawesi Tengah.

Epidemologi :
Schistosoma joponicum merupakan salah satu dari trematoda darah padamanusia yang ditemukan
di daerah Cina yang mana merupakan penyebabSchistomiasis japonica yang merupakan salah satu
penyakit yang terutama terjadididaerah danau dan rawa. Schistomiasis merupakan infeksi yang
disebabkan oleh cacing Schistosoma sp. Schistosoma joponiummemiliki sifat yang paling menular
diantara spesiesSchistosomalainnya. Infeksi oleh cacing Schistosomadiikuti demamKatayama akut.
Penyakit ini sangat endemik didaerah Katayama, Jepang. EpidemologiSchistosoma joponicum
Apabila tidak diobati, maka penyakit ini akan berkembang menjadi penyakitkronis yang ditandai
dengan penyakit hepatosclemic dan perkembangan fisik yangterganggu. Tingkat keparahan
dariSchistosoma joponicummuncul dalam 60% darisemua peyakit syaraf karena migrasi telur ke otak.
Strain bersifat geographical. Di Indonesia, khususnya di pulau Sulawesi,dengan keadaan endemik
tinggi terdapat didaerah danau Lundu. Pada tahun 1971, dari pemeriksaan tinja didapatkan
infeksischistosoma joponicumsebanyak 53% dari 126 penduduk pada usia antara 7-70 tahun.

2. Schistosoma mansoni
Distribusi geografi :
ParasitSchistosoma mansoniditemukan di banyak Negara di Afrika,Amerika Selatan (Brasil,
Suriname dan Venezuela), Karibia (termasuk Puerto Rico, StLucia, Guadeloupe, Martinique,
Republik Dominika, Antigua dan Montserat) dan di bagian Timur Tengah.

Epidemiologi :
ParasitSchistosoma mansoniditemukan di banyak Negara di Afrika,Amerika Selatan (Brasil,
Suriname dan Venezuela), Karibia (termasuk Puerto Rico, StLucia, Guadeloupe, Martinique,
Republik Dominika, Antigua dan Montserat) dan di bagian Timur Tengah. Host definitifnya adalah
manusia, sedangkan hospesreservoirnya adalah kera Baboon dan hewan pengerat. Hospes
perantaranya adalahkeong air tawar genus Biomphalaria sp.dan Australorbis sp Habitat cacing ini
adalahvena kolon dan rektum.Pada manusia cacing ini dapat menyebabkan Skistosomiasisusus,
Disentri mansoni dan Skistosomiasis mansoni.
3. Schistosoma haematobium
Distribusi geografi :
Distribusi Schistosoma haematobium ini sebagian besar diSub-Sahara, dilembah Sungai Nil,
Afrika, Negara utara lainnya, dandi Timur Tengah.

Epidemologi :

Schistosoma haematobiumini merupakan trematoda darah vesicalis yangdapat menimbulkan


schistomiasis vescicalis, schitosomoasis haematobia, vesical atauurinary bilharziasis, schitosomal
hematuria. Infeksi Schistosoma haematobium sering terjadi dilembah hulu Sungai Nil, meliputi
bagian besar Afrika termasuk kepulauan di pantai Timur Afrika, ujung Selatan Eropa, Asia Barat dan
India

DAFTAR PUSTAKA :

Craig, Faust. Clinical Parasitology. Eighth edition, 1971.

Neva FA and Brown HW. Basic Clinical Parasitology, ed.6.Prentice Hall International Editions,
1994.

Margono SS, Ito A, Suroso T. The Problem of taeniasis and cysticercoids in Irian Jaya (Papua),
Indonesia of The Sixth Asian-Pacific Congress for Parasitic Zoonoses, 2000, Taipei Taiwan.p.55 – 64.

Wandra T, Subahar R, Simanjuntak GM, Margono SS, Suroso T, Okamoto M, Nakao M, Sako Y,
Nakaya K, Schantz PM, Ito A. Resurgence of cases of epileptic seizures and burns associa with
cysticercoids in assologaima, Jayawijaya, Irian Jaya, Indonesia, 1991 – 1995. Transactions of the Royal
Society of Tropical Medicine and Hygiene (2000) 94, 46 – 50.

White AC, Jr. Neurocysticersosis: A majior cause of Neurological disease Worldwide Clinical
Infections Diseases 1997; 24 : 101 – 115.

Anda mungkin juga menyukai