Anda di halaman 1dari 42

ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT TROPIS DAN MENULAR

(HELMINTH USUS)

OLEH KELOMPOK 8

SURYA RAHMAN R011221014

MAYASARI R011221004

MUH. ABDUL WAHID R011221061

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadiratnya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan
inayanhnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah

Adapun makalah asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit helminth usus ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari
segi penyusun bahasa maupun segi lainnya . oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan
terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi para pembaca yang ingin memberi saran dan kritik
kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah

Akhir kata penyusun mengharapkan semoga dari makalah asuhan keperawatan pada pasien
dengan helminth usus ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan
inspirasi terhadap pembaca.

Makassar Oktober 2022

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Cacing usus merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
di Indonesia, salah satunya cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini
dapat mengakibatkan menurunnya gizi, kecerdasan dan produktivitas penderitanya
sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian karena menyebabkan
kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah.

Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi. Terutama pada
golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit ini.
Penyakit endemis dan kronis ini pada kondisi tertentu akan meningkat tajam. Biasanya
saat musim hujan yang mendatangkan banjir, parit, sungai, dan kakus meluber. Pada
kondisi tersebut larva cacing menyebar ke berbagai sudut yang sangat mungkin
bersentuhan dan masuk ke dalam tubuh manusia. Larva cacing yang masuk ke dalam
tubuh perlu waktu 1–3 minggu untuk berkembang.

Penyakit cacingan yang ditularkan melalui tanah sering dijumpai pada anak usia
sekolah dasar karena anak usia sekolah dasar masih bermain dengan tanah. Pencemaran
tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah lalu masuk ke
mulut bersama makanan (Martila dkk, 2015).

Berdasarkan siklus hidupnya nematoda usus dibagi atas dua kelompok yaitu : Soil
Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya
membutuhkan tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari stadium
non-infektif menjadi stadium infektif. Yang termasuk nematoda ini adalah Ascaris
lumbricoides menimbulkan Ascariasis, Trichuris trichiura menimbulkan Trichuriasis,
cacing tambang (ada dua spesies, yaitu Necator americanus menimbulkan Necatoriasis
dan Ancylostoma doudenale menimbulkan Ancylostomiasis), serta Strongyloides
strecoralis menimbulkan Strongyloidosis atau Strongyloidiasis. Nematoda usus lain atau
disebut juga nematoda usus Non-Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang
dalam siklus hidupnya tidak membutuhkan tanah. Ada tiga spesies yang termasuk
kelompok ini, yaitu Enterobius vermicularis (cacing kremi) menimbulkan Enterbiasis dan
Trichinella spiralis dapat menimbulkan Trichinosis serta parasit yang paling baru
ditemukan Capillaria philippinensis (Rusmartini, 2009).

Menurut World Health Organization (WHO) diantara cacing usus yang menjadi
masalah kesehatan adalah kelompok Soil Transmitted Helminths (STH) atau cacing yang
ditularkan melalui tanah. Ascaris lumbricoides menginfeksi lebih dari 1 miliar orang,
Trichuris trichiura menginfeksi 795 juta orang, Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus menginfeksi 740 juta orang di dunia. Jumlah kasus infeksi cacingan
terbanyak dilaporkan dikawasan Afrika, Amerika Latin, Cina, dan Asia Timur. Jawa
Timur merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang mempunyai kepadatan penduduk
terbesar kedua setelah Jakarta. Wilayahnya terdiri dari daerah pantai Utara Jawa, pantai
Selatan Jawa, daerah pegunungan, pertambangan, perkebunan, dan pariwisata. Berbagai
masalah kesehatan masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, salah satunya adalah
masalah penyakit cacingan (Depkes RI, 2006).

Infeksi cacing dapat ditemukan pada berbagai golongan umur, namun prevalensi
tertinggi ditemukan pada anak balita dan usia SD. Dari penelitian didapatkan prevalensi
penyakit cacingan sebesar 60–70%. Penelitian di beberapa kota besar di Indonesia
menunjukkan, kasus infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) sekitar 25–35% dan
cacing cambuk (Trichuris trichiura) 65–75%. Risiko tertinggi terutama kelompok anak
yang mempunyai kebiasaan defekasi di saluran air terbuka dan sekitar rumah, makan
tanpa cuci tangan, dan bermain-main di tanah yang tercemar telur cacing tanpa alas kaki.
(Depkes RI, 2006). Sekitar seperempat kasus di dunia terinfeksi oleh nematoda usus,
infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan lembab dengan tingkat
kebersihan yang buruk. Pada dasarnya semua orang bisa terinfeksi oleh nematoda usus,
namun kelompok yang beresiko tinggi biasanya berkaitan dengan pekerjaan atau hobi
yang berkontak langsung dengan pasir, tanah atau humus yang terinfeksi oleh larva
karena parasit ini dapat berkembang biak dengan cepat di tanah, diantaranya wisatawan
yang berjemur di pantai tanpa alas kaki, anak-anak yang suka bermain pasir, tukang
kebun, penambang, pencari ikan atau pekerja lainnya (Nikmah, 2016)

Penyakit yang disebabkan cacing atau biasa disebut dengan helminthiasis merupakan
salah satu penyakit yang banyak terjadi, terutama di daerah tropis. Keberadaan penyakit ini
berkaitan dengan faktor cuaca, tingkat sanitasi lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat.
Cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu untuk hidup dan berkembang biak.
Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan
masyarakat dalam mengkonsumsi sayuran mentah, daging atau ikan yang dimasak setengah
matang merupakan salah satu cara penularan secara langsung. Bila bahan makanan tersebut
terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacing dapat menjadi lengkap, dan
terjadilah infeksi dalam tubuh.
Berbeda dengan infeksi bakteri, virus dan mikroorganisme yang lainnya, cacing dewasa
tidak bertambah banyak di dalam tubuh manusia. penyebaran penyakit inipun dapat terjadi
melalui perantara serangga seperti nyamuk dan lalat pengisap darah yang dapat
menyebarkan gtelur cacing dari feses penderita cacingan. di samping itu, kebiasaan
pengguanaan feses manusia sebagai pupuk tanaman dapat meningkatkan penyebaran telur
cacing, karena dapat mengkontaminasi tana, air rumah tangga dan tanaman pangan tertentu.
Cacing yang bersifat parasit pada manusia terbagi atas tiga golongan besar yaitu
nematoda/cacing bulat/cacing gelang, cestoda/cacing pita/taeniasis dan trematode (cacing
daun). Pada beberapa keadaan lingkungan, larva cacing dapat menginfeksi lewat kontak
langsung menembus kulit sehingga dapat bermigrasi menuju organ vital seperti pembuluh
darah, pembuluh limfe, hati, paru-paru dan jantung.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah konsep medis dan klasifikasi helminth usus?
2. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien helminth usus ?

C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui konsep medis dan klasifikasi helminth usus.
2. Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan pada penderita helminth usus.

D. Manfaat penelitian
1. Secara Teoritis Dapat menambah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa tentang
berbagai macam nematoda usus
2. Secara Praktis Dapat menambah ilmu pengetahuan dan informasi kepada masyarakat
akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan diri sendiri agar terhidar dari
kontaminasi nematoda usus
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Helminth usus adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing yang paling banyak terjadi
di daerah tropis (tempat yang baik untuk cacing hidup dan berkembang biak). Cacing ini
dapat menginfeksi manuasia dewasa maupun anak-anak, namun kebanyakan menyerang
anak-anak ditinjau dari cara penularan telur cacing melalui kontak dengan tanah, air
rumah tangga, feses manusia yang dibuang ke tanah, juga melalui perantara serangga.

B. Jenis nematoda usus


Ada beberapa jenis cacing yang bersifat parasit pada tubuh manusia diantaranya
nematoda atau cacing bulat, cestoda atau cacing pita dan trematoda atau cacing daun.
Parasit ini menyerang usus dan menginfeksi bagian usus dalam fase lanjut dapat
menginfeksi bagian tubuh lain seperti hati dan organ pernafasan.
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan
dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk
Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang
penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering
adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris
trichiura.

STH (Soil Transmitted Helminth) adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan
tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Di Indonesia golongan cacing ini yang amat
penting dan menyebabkan masalah kesehatan pada masyarakat adalah cacing gelang
(Ascaris lumbricoides) penyakitnya disebut Ascariasis, cacing cambuk (Trichuris
trichiura) penyakitnya disebut Trichuriasis, Strongyloide stercoralis penyekitnya
disebut Strongiloidiasis cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) penyakitnya disebut Ankilostomiasis dan Nekatoriasis.

Infeksi STH ditemukan tersering di daerah iklim hangat dan lembab yang memiliki
sanitasi dan hygiene buruk. STH hidup di usus dan telurnya akan keluar melalui tinja
hospes. Jika hospes defekasi di luar (taman, lapangan) atau jika tinja mengandung telur
dubuahi maka telur tersebut akan tersimpan dalam tanah. Telur menjadi infeksius jika
telur matang.
Berikut beberapa jenis cacing usus, diantaranya;

1. Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)


Askariasis adalah infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, yang
merupakan nematode usus terbesar. Angka kejadiannya di dunia lebih banyak
dari infeksi cacing lainnya, diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di dunia
pernah terinfeksi dengan cacing ini. Infeksi paling sering pada anak prasekolah
atau umur sekolah awal. Askariasis berada paling banyak pada negara bermusim
panas. Meskipun demikian, didapati sekitar 4 juta individu, terutama anak, di
Amerika Utara
a. Morfologi dan Daur Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides.


Penyakitnya disebut askariasis. Cacing dewasa bebentuk silinder dengan
ujung yang meruncing. Stadium dewasa hidup di rongga usus halus. Betina
berukuran dengan panjang 20-35 cm dan tebal 3-6 mm. Jantan lebih kecil,
panjang 12-31 cm dan tebal 2-4 mm dengan ujung melengkung, seperti
yang ada pada gambar 1.

Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir


sehari terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Ukuran telur
cacing dengan panjang 60-70 μm dan lebar 40-50 μm . Dalam lingkungan
yang sesuai,

Dalam lingkungan yang sesuai maka telur yang dibuahi akan


berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3
minggu.Spesies ini dapat ditemukan hampir diseluruh dunia, terutama
didaerah tropis dengan suhu panas dan sanitasi lingkungan jelek. Semua
umur dapat terinfeksi jenis cacing ini. Anak kecil yang sering bermain
dengan tanah akan berpeluang besar untuk terkontaminasi oleh telur cacing,
mengingat telur cacing ini mengalami pematangan di tanah.
Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva
di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh
darah atau saluran limfa dan di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran
darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui
dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui
bronchiolus dan bronchus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam
esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses
tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai
menjadi cacing dewasa.

b. Manifestasi
Sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala, akan tetapi karena
tingginya angka infeksi; morbiditasnya perlu diperhatikan.
Gejala yang terjadi dapat disebabkan oleh:
1) Migrasi Larva
Walaupun kerusakan hati dapat terjadi sewaktu larva melakukan
siklus dari usus melalui hati ke paru, tetapi organ yang sering
dikenai adalah paru, yang masa semua larva Ascaris lumbricoides
harus melalui paru-paru sebelum menjadi cacing dewasa di usus.
Hal ini terjadi sewaktu larva menembus pembuluh darah untuk
masuk ke dalam alveoli paru. Pada infeksi yang ringan, trauma yang
terjadi bisa berupa perdarahan, sedangkan pada infeksi yang berat,
kerusakan jaringan paru dapat terjadi, sejumlah kecil darah mungkin
mengumpul di alveoli dan bronkial yang kecil yang bisa
mengakibatkan terjadinya edema pada organ paru. Selama hal ini
disebut pneumonitis Ascaris. Pneumonitis Ascaris ini disebabkan
oleh karena proses patologis dan reaksi alergi berupa peningkatan
temperature sampai 39.5-400C, pernafasan cepat dan dangkal (tipe
asmatik), batuk kering atau berdahak (ditandai dengan Kristal
Charcot-Leyden), ronki atau wheezing tanpa krepitasi yang
berlangsung 1-2 minggu, eosinofilia transien, infiltrate pada
gambaran radiologi (sindrom Loeffler) sehingga diduga sebagai
pneumoni viral atau tuberculosis.

2) Cacing Dewasa
Cacing dewasa biasanya hidup di usus halus. Yokogawa dan
Wakeshima menyatakan bahwa pada anak yang terinfeksi dengan
Ascaris lumbricoides, pertumbuhan fisik dan mentalnya akan
terganggu dibandingkan anak yang tidak terinfeksi.
Gejala klinis yang paling menonjol adalah rasa tidak enak di perut,
kolik akut pada daerah epigastrium, gangguan selera makan,
mencret. Ini biasanya terjadi pada saat proses peradangan pada
dinding usus. Pada anak kejadian ini bisa diikuti demam.
Komplikasi yang ditakuti adalah cacing migrasi dan menyebabkan
gejala akut. Pada keadaan infeksi berat, paling ditakuti bila terjadi
muntah cacing yang akan menimbulkan komplikasi penyumbatan
saluran nafas usus oleh massa cacing dewasa. Pada keadaan lain
dapat terjadi ileus oleh karena sumbatan pada usus oelh massa
cacing, atau apendiksitis sebagai akibat masuknya cacing ke dalam
lumen apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla Vateri
ataupun saluran empedu dan terkadang masuk ke jaringan hati.

Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing
menjadi dewasa di dalam usus halus, yang mana hasil metabolism cacing
dapat menimbulkan fenomena sensitisasi seperti urtikaria, asma bronkial,
konjungtivitis akut, fotofobia dan terkadang hematuria. Eosinofilia 10%
atau lebih sering pada Ascaris lumbricoides tetapi hal ini tidak
menggambarkan beratnya penyakit tetapi lebih banyak menggambarkan
proses sensitisasi dan eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi
Ascaris lumbricoides
c. Patofisiologi
Tanah liat dengan kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara
25◦C-30◦C sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides
sampai menjadi bentuk infektif. Gejala yang timbul pada penderita dapat
disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya
terjadi saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil
di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru disertai batuk, demam
dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam
waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut Sindroma Loeffler. Akumulasi sel
darah putih dan epitel yang mati membuat sumbatan menyebabkan Ascaris
pneumonitis.
d. Gejala Klinis dan Diagnosis
Pada kebanyakan kasus tidak terdapat gejala. Namun, indikasi dari
adanya Ascaris adalah gangguan nutrisi dan akan mengganggu
pertumbuhan anak. Pada umumnya pasien akan mengalami demam,
urticaria, malaise, kolik intestinal, mual, muntah, diare. Migrasi larva
Ascaris melewati paru akan menyebabkan pneumonitis dan bronchospasm.
Pada umumnya akan didapati eosinofilia.
Cara menegakkan diagnosa penyakit adalah dengan pemeriksaan
tinja. Parasites Load Ascaris lumbricoides untuk infeksi ringan adalah 1-
4.999 Telur per Gram Tinja (EPG), untuk infeksi sedang adalah 5.000-
49.999 EPG, dan untuk infeksi berat adalah ≥50.000 EPG.
e. Pengobatan

Pada saat ini pemberian obat-obatan telah dapat mengeluarkan cacing dari
dalam usus. Obat-obatan yang dapat digunakan:
1) Pirantel pamoat, dosis 10mg/kgBB/hari, dosis tunggal, memberikan
hasil yang memuaskan
2) Mebendazol, dosis 100mg, dua kali sehari, diberikan selama tiga
hari berturut- turut. Hasil pengobatan baik tetapi efek samping
berupa iritasi terhadap cacing, sehingga cacing dapat terangsang
untuk bermigrasi ke tempat lain harus di pertimbangkan
3) Oksantel-pirantel pamoat, dosis 10 mg/kgBB, dosis tunggal
memberikan hasil yang baik
4) Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet
Albendazol (400mg) atau 20 ml suspense, berupa dosis tunggal.
Hasil cukup memuaskan.

2. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Cacing Tambang).


a. Morfologi dan Daur Hidup
Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga
usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina
menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai
panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa
berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi.
Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar
bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas
menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh
menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat 13 bertahan
hidup 7-8 minggu di tanah.
Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke
paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu
ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam
usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform
menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan.
b. Manifestasi
1) Migrasi Larva
a) Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik dapat terikut masuk
pada saat larva menembus kulit, menimbulkan rasa gatal pada kulit
(ground itch). Creeping eruption (cutaneus larva migrans)
umumnya disebabkan larva cacing tambang yang berasal dari
hewan seperti kucing ataupun anjing yang kadang disebabkan oleh
larva N. americanus ataupun A. duodenale.
b) Sewaktu larva melewati paru, dapat terjadi pneumonitis, tetapi
tidak sesering larva A. lumbricoides.
2) Cacing Dewasa
Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga bagian atas usus halus dan
melekat pada mukosa usus. Gejala klinis yang sering terjadi tergantung
pada berat ringannya infeksi; makin berat infeksi manifestasi klinik
yang terjadi semakin mencolok seperti:
a) Gangguan gastro-intestinal yaitu anoreksia, mual, muntah, diare,
penurunan berat badan, nyeri pada daerah sekitar duodenum,
jejunum dan ileum
b) Pada pemeriksaan laboratorium umumnya dijumpai anemia
hipokromik mikrositik
c) Pada anak dijumpai adanya korelasi positif antara infeksi sedang
dan berat dengan tingkat kecerdasan anak

Bila penyakit berlangsung kronis akan timbul gejala anemia,


hipoalbuminemia dan edema. Hemoglobin kurang dari 5 gr/dl
dihubungkan dengan gagal jantung dan kematian yang tiba-tiba.
Patogenesis anemia pada infeksi cacing tambang tergantung 3 faktor
yaitu:
a) kandungan besi dalam makanan
b) status cadangan besi dalam tubuh pasien
c) intensitas dan lamanya penyakit

Ketiga faktor ini bervariasi di negara tropis. Di Nigeria, dimana


masukan besi tinggi (20-30 mg per hari), perdarahan yang disebabkan oleh
cacing tambang tidak menunjukkan berkurangnya besi meskipun didalam
tubuhnya terdapat sampai 800 cacing tambang dewasa. Pada infeksi cacing
tambang, kehilangan darah yang terjadi adalah 0.03-0.05 ml
darah/cacing/hari pada N. americanus dan 0.16-0.34 ml darah/cacing/hari
pada A. duodenale.
c. Patofisiologi
Cacing tambang dapat berkembang secara optimal pada tanah
berpasir yang hangat dan lembab, telur di tanah tumbuh dan berkembang
menjadi embrio dalam 24-48 jam pada suhu 23 sampai 30 °C dan menetas
menjadi larva. Larva filaform yang menembus kulit dapat menyebabkan
ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan. Tiap cacing
N.americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari,
sedangkan A.duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi kronik atau infeksi berat
terjadi anemia hipokrom mikrositer. Cacing tambang biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan kognitif menurun.

d. Gejala Klinik dan Diagnosis


Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak
bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,
prestasi kerja menurun, dan anemia (anemia hipokrom micrositer). Di
samping itu juga terdapat eosinophilia. Cara menegakkan diagnosa penyakit
adalah dengan pemeriksaan tinja. Parasites Load cacing tambang untuk
infeksi ringan adalah 1-1.999 EPG, untuk infeksi sedang adalah 2.000-
3.999 EPG, dan untuk infeksi berat adalah ≥4.000 EPG
e. Pengobatan

Pengobatan yang dapat dilakukan antara lain:


1) Creeping eruption: krioterapi dengan liquid nitrogen atau kloretilen
spray, tiabendazol topical selama 1 minggu. Coulaud dkk (1982)
mengobati 18 kasus cutaneus larva migrans dengan albendazol 400 mg
selama 5 hari berturut-turut, mendapatkan hasil yang memuaskan
2) Pengobatan terhadap cacing dewasa: di bangsal anak RS Pirngadi di
Medan, pengobatan yang digunakan adalah gabungan pirantek-pamoat
dengan mebendazol, dengan cara pirantel pamoat dosis tunggal 10
mg/kgBB diberikan pada pagi harinya diikuti dengan pemberian
mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Hasil
pengobatan ini sangat memuaskan, terutama bila dijumpai adanya
infeksi campuran dengan cacing lain

Obat-obat lain yang dapat digunakan:


1) Pirantel pamoat dosis 10 mg/kgBB
2) Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut
3) Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 400 mg (2
tablet) atau setara dengan 20 ml suspense, sedangkan pada anak yang
lebih kecil diberikan dengan dosis separuhnya, dilaporkan cukup
memuaskan
3. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)
a. Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes cacing ini.penyakit yang disebabkannya
disebut trikiuriasis. Cacing betina panjangnya sekitar 5cm dan yang jantan
sekitar 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira
3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk,
pada cacing betina bentuknya membulat tumpul. Pada cacing jantan
melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon
asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu
ekor cacing betina dapat menghasilkan telur sehari 3.000-5.000 butir.
Bentuk cacing dan telur dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti


tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit
telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya
jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur
menjadi matang (berisi larva dan infektif) dalam waktu 3–6 minggu di
dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi
larva dan merupakan bentuk infektif.
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh
manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk
ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian
distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai
tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-
90 hari.
b. Manifestasi
Mekanisme pasti bagaimana cacing cambuk menimbulkan kelainan
pada manusia tidak diketahui, tetapi paling tidak ada 2 proses yang berperan
yaitu trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma (kerusakan) pada dinding
usus terjadi oleh karena cacing ini membenamkan kepalanya pada dinding
usus. Cacing ini biasanya menetap di daerah sekum.
Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya
sedikit. Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas humoral
yang ditunjukkan dengan adanya anafilaksis lokal yang dimediasi oleh IgE,
akan tetapi peran imunitas seluler tidak terlihat. Terlihat adanya infiltrasi
lokal eosinofil di submukosa dan pada infeksi berat ditemukan edema. Pada
keadaan ini mukosa akan mudah berdarah, namun cacing tidak aktif
menghisap darah.
Namun pada referensi yang berbeda, menyebutkan cacing ini
memasukkan kepalanya ke dalam mukosa dan menimbulkan iritasi dan
peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi
perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini menghisap darah hospesnya,
sehingga dapat menyebabkan anemia.
Gejala pada infeksi ringan dan sedang ialah anak menjadi gugup,
susah tidur, nafsu makan menurun, bisa dijumpai nyeri epigastrik atau nyeri
perut, muntah atau konstipasi, perut kembung, buang angin. Pada infeksi
berat dijumpai mencret yang mengandung darah, lender; nyeri perut;
tenesmus (nyeri sewaktu buang air besar); anoreksia; anemia dan penurunan
berat badan. Pada infeksi yang berat dapat terjadi prolapsus rekti.
c. Patofisiologi
Trichuris trichiura berkembang pada tanah yang terkontaminasi tinja,
telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal
± 30 0C. Cacing kemudian menetas menjadi larva dan masuk ke tubuh
manusia melalui oral. Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di
sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat,
terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-
kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat
mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan
kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan
iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat
menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini menghisap darah
hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia.
d. Gejala Klinik dan Diagnosis
Infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan gejala
klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi cacing
cambuk yang berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala
seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang
terjadi prolapses rektum. Infeksi cacing cambuk yang berat juga sering
disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Cara menegakkan
diagnosa penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja. Parasites Load
Trichuris trichura untuk infeksi ringan adalah 1-999 EPG, untuk infeksi
sedang adalah 1.000-9.999 EPG, dan untuk infeksi berat adalah ≥10.000
EPG.
e. Pengobatan
Pengobatan yang dapat diberikan antara lain:

1) Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut


2) Albendazol pada anak usia di atas 2 tahun diberikan dosis 400 mg
(2tablet) atau 20 ml suspense berupa dosis tunggal. Sedangkan di
bawah 2 tahun diberikan separuhnya
3) Gabungan pirantel pamoat dan Mebendazol

4. Strongiloides stercolaris
a. Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini dapat
menyebabkan strongiloidiasis. Hanya cacing dewasa betina hidup sebagai
parasit di vilus duodenum dan yeyenum. Cacing betina berbentuk filiform,
halus, tidak berwarna dan panjangnya 2 mm. Telur berbentuk parasitik
diletakkan di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas menjadi larva
rabditiform yang masuk ke ronnga usus serta dikeluarkan bersama tinja.
Siklus secara langsung, larva filaform menembus kulit dan mencapai
peredaran darah sehingga dapat sampai ke paru atau jantung, dari paru
parasit menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Secara tidak
langsung, larva rabditiform dapat menjadi larva filariform yang infeksius
dan mengeinfeksi hospes atau larva rabditiform kembali ke siklus
bebasnnya. Secara autoinfeksi larva filariform di daerah perianal menembus
langsung daerah tersebut dan capai peredaran darah.
b. Patofisiologi
Bila larva dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang
dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan gatal hebat.
Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Ditemukan
eosinophilia meskipun dapa juga dalam kondisi normal.
c. Gejala Klinik dan Diagnosis
Umumnya tanpa gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti
ditusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar.mungkin ada
mual dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. 9 Diagnosis klinis
tidak pasti karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang
nyata. Diagnosis pasti adalah dengan menemukan larva rabditiform dalam
tinja segar, dalam biakan atau aspirasi duodenum. Biakan sekurang-
kurangnya 2x24 jam menghasilkan larva filariform dan cacing dewasa.
5. Cacing kremi (Enterobius vermicularis)
a. Morfologi dan daur hidup
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anterior ada
pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulubus esofagus
jelas sekali, ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid
melebar dan penuh dengan telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm, jugam
mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda
tanya; spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa
biasanya di rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan
dengan rongga sekum. Makanannya adalah isi dari usus.
Cacing betina yang gravid mengandung 11.000 – 15.000 butir telur,
bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus
dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus, sehingga jarang
ditemukan di dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu
sisi (asimetrik) dalam tinja. Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari
dinding telur cacing tambang. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira
6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu badan. Telur resisten terhadap
disinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup
sampai 13 hari.

Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum. Cacing jantan
mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur.

Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang, atau bila larva dari
telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar.
Bila telur matang yang tertelan, telur menetas di duodenum dan larva
rabfitiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di jejujum dan bagian
atas ileum.

Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur
matang sampai menjadi cacaing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah
perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya
hanya berlangsung kira-kira 1 bulan karena telur-telur cacaing dapat
ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan.

Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri (self limited). Bila tidak ada
reinfeksi, tanpa pengobatan pun infeksi dapat berakhir.

b. Epidemiologi
Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat
terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu
lingkungan yang sama (asrama). Telur cacing dapat diisolasi dari debu
diruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan mungkin ini menjadi sumber
infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan beberapa
anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat
ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus (toilet
seats), bak mandi, alas kasur, pakaian dan tilam. Hasil penelitian
menunjukkan angka prevalensi pada berbagai golongan manusia 3-80%.

Penularan dapat dipengaruhi oleh :


1) Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perinanal
(auto-infeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang
lain maupun kepada diri sendiri karena memegang benda-benda
maupun pakaian yang terkontaminasi.

2) Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan


oleh angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan.

3) Retroinfeksi melalui anus: larva dari telur yang menetas di sekitar


anus kembali masuk ke usus.

Anjing dan kucing bukan mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi
sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya.

Kebersihan penting untuk pencegahan. Kuku hendaknya selalu dipotong


pendek, tangan dicuci bersih sebelum makan. Anak yang mengandung
cacing kremi sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur supaya
alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah
perianal
c. Etiologi
Manusia terinfeksi dengan menelan telur yang mengandung embrio yang
biasanya terbawa pada kuku jari, pakaian, atau seprei. Telur menetas dalam
lambung, keluarlah larva dan larva bermigrasi ke daerah sekum dimana
mereka matang menjadi cacing dewasa E. vermicularis. Enterobius
vermicularis atau Oxyuris vermicularis adalah cacing kecil (1 cm) berwarna
putih. Dalam sekali bereproduksi cacing dapat menghasilkan 11.000 butir
telur. Telur berbentuk asimetris, eclips pada satu sisi dan datar pada sisi
lainnya dengan ukuran telur 30-60 μm. setelah mengalami proses
pematangan, larva dapat bertahan hidup dalam telur sampai 20 hari.
d. Patologi dan gejala klinis

Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti.


Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum
dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan
vagina sehingga menimbulkan pruritus lokal. Oleh karena cacing
bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita
menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar
anus.1,3 Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita
terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang cacing dewasa
muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung,
esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut.
Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di
tuba Fallopii sehingga menyebabkan radang di saluran telur. Cacing sering
ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan apendisitis.1

Beberapa gejala karena infeksi cacing Enterobius vermicularis


dikemukakan oleh beberapa penyelidik yaitu kurang nafsu makan, berat
badan turun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi menggeretak,
insomnia.

e. Penularan
1) Cacing dewasa betina biasanya akan bermigarasi pada malam hari ke
daerah disekitar anus untuk bertelur.
2) Telur akan terdeposit ke lubang anus.
3) Hal ini akan meyebabkan rasa gatal disekitar anus (pruritus ani
nokturnal). Apabila digaruk maka penularan dapat terjadi dari kuku jari
tangan ke mulut (self-infection, infeksi oleh diri sendiri). Metode
penularan lainnya adalah dari orang ke orang melalui pakaian, peralatan
tidur. Penularan dapat terjadi dalam lingkungan yang terkontaminasi
cacing kremi, misalnya melaui debu rumah
4) Telur menetas di usus halus, selanjutnya larva akan bermigrasi ke daerah
sekitar anus (sekum, Caecum)
5) Disini larva akan tinggal sampai dewasa
Infeksi dapat juga terjadi karena menghisap debu yang mengandung telur
dan retrofeksi dari anus. Bila sifat infeksinya adalah retroinfeksi daria
anus, maka telur akan menetas disekitar anus, selanjutnya larva akan
bermigrasi ke kolon asendens, sekum atau apendiks dan berkembang
menjadi dewasa. Suatu penelitian pada anak melaporkan bahwa ada 33%
anak yang memiliki telur cacing pada kuku jarinya
f. Manifestasi klinis
Ada beberapa tanda dan gejala yang khas antara lain:
1) Iritasi di sekitas anus,perineum dan vagina akibat infeksi cacing yang
bermigrasi kedaerah tersebut
2) Terjadi pruritus local sebagai tanda terjadi infeksi.
3) Timbulnya bekas luka garuk pada daerah anus akibat pruritus ani
4) Kurang tidur dan kelemahan akibat pruritus pada malam hari.
g. Diagnosis

Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di
sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan
telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan
alat anal swab yang ditempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari
sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat.

Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atatu spatel lidah yang pada
ujungnya dilekatkan Scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ini
ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada
perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan
dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya
pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut.

h. Pengobatan
Obat anticacing harus diberikan pada individu yang terinfeksi dan anggota
keluarganya. Dosis tunggal mebendazole (100 mg peroral untuk semua usia)
diulang dalam 2 minggu menghasilkan angka kesembuhan 90-100%. Pilihan
regimen terapi lain termasuk dosis tunggal albendazole (400 mg peroral
untuk semua usia) diulang dalam 2 minggu atau dosis tunggal pirantel
pamoate (11 mg/kgBB peroral, maksimal 1 g). Mandi pagi menghilangkan
telur dalam jumlah besar. Penggantian pakaian yang sering, baju tidur, dan
seprai menurunkan kontaminasi telur dan dapat menurunkan resiko terjadi
autoinfeksi.
i. Pencegahan
Perlunya kampanye atau penyuluhan perilaku sehat termasuk mencuci
tangan sebelum dan sesudah makan, serta perawatan atau pemotongan kuku
jari anak.
6. Cestoda/cacing pita
a. Definisi
Penyakit Cacing Pita (taeniasis) adalah salah satu jenis penyakit cacing
yang paling berbahaya. Bentuk cacingnya pipih seperti pita, bisa mencapai
panjang 3–10 meter dan hebatnya walau dipotong-potong, cacing ini masih
bisa hidup. Bibit cacing terutama banyak ditemukan didalam daging babi
dan daging sapi. Infeksi Cestoda lazim ditiap benua kecuali Antartika.
Tidak seperti parasit lain yang memisahkan stadium perkembangannya pada
berbagai spesis hospes. Beberapa cacing pita dapat menginfeksi manusia
dengan stadium dewasanya. Infeksi dengan cacing dewasa dapat dengan
mudah didiagnosis dengan mengamati telur atau segmen cacing dewasa
dalam tinja.
b. Etiologi
Penyakit ini dapat disebabkan oleh larva cacing pita yaitu Taenia solium
(pada babi), Taenia saginata (pada sapi),dan Cysticercus cellulosae (pada
babi) yang terdapat pada daging yang tidak dimasak atau dmasak
kurangmatang.
c. Manifestasi klinik
Beberapa tanda dan gejala yang biasa timbul pada penyakit ini antara lain:
1. Umumnya asimptomatis
2. Rasa tidak enak dilambung
3. Kadang-kadang mual
4. Diare, sakit perut,
5. Pruritus ani
6. Takikardi, sesak
7. Berat badan menurun
8. Sefalgi, pusing
9. Tergantung pada lokasi larva (Sistiserkosis, Ekinokokosis)
10. Ada proglotid keluar bersama tinja
d. Klasifikasi cacing pita
1) Cacing pita daging
Jenis cacing pita daging ada tiga, yaitu Taenia solium (pada babi),
Taenia saginata (pada sapi), dan Diphyllobothrium latum (pada ikan).
Cacing ini terdapat pada daging yang tidak dimasak atau dimasak tetapi
kurang matang. Epidemiologi kasus yang tertinggi di Indonesia terjadi
di Bali. Cacing ini bersifat hermafrodit, panjangnya bisa mencapai 4-10
m. cacing hidup di usus halus untuk menghisap karbohidrat dari lumen
usus dan protein mukosa usus. Hospes perantara T. solium adalah babi
dan hospes T. saginata adalah sapi, sedangkan hospes definitifnya
adalah manusia. Siklus hidup dimulai dari cacing dewasa dalam usus
halus manusia. Cacing bertelur selanjutnya telur keluar melalu tinja.
Apabila telur termakan oleh babi atau sapi, maka telur akan menetas
menjadi larva di dalam usus. larva masuk ke pembuluh darah dan
menuju ke jaringan otot atau ke dalam daging. Bila daging dimakan
oleh manusia, maka larva akan menetap dan menjadi dewasa di usus
halus. Gejala dan tanda penyakitnya adalah gangguan saluran cerna
karena adanya massa cacing. Anemia dapat terjadi pada berbagai
tingkat keparahan. Pengobatannya adalah dengan kuinakrin
hidroklorida. Pencegahan utamanya adalah dengan pengobatan
penderita untuk memutus rantai penularan dan memasak daging hingga
matang. Sanitasi lingkungan yang baik akan menurunkan penyebaran
telur pada tanah.
a) Cacing pita ikan
Penyebab penyakit adalah Diphyllobothrium latum. Sumber
penularannya adalah manusia dan beruang. Cacing pita ini sering
terdapat pada ikan yang mentah. Pencegahannya adalah
pengawasan terhadap pengelolaan ikan, pemasakan ikan, dan
sanitasi lingkungan.
b) Taenia saginata
 Morfologi dan daur hidup

Cacing pita Taenia saginata adalah salah satu cacing pita


yang berukuran besar dan panjang; terdiri dari kepala yang
disebut skoleks, leher dan strobila yang merupakan rangkaian
ruas-ruas proglotid, sebanyak 1000-2000 buah. Panjang
cacing 4-12 meter atau lebih. Skoleks hanya berukuran 1-2
milimeter, mempunyai empat batil isap dengan otot-otot
yang kuat, tanpa kait-kait. Bentuk leher sempit, ruas-ruas
tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur tertentu.
Strobila terdiri dari rangkaian proglotid yang belum dewasa
(imatur) dan yang dewasa (matur) dan yang mengandung
telur atau disebut gravid. Pada proglotid yang belum dewasa,
belum terlihat struktur alat kelamin seperti folikel testis yang
berjumlah 300 – 400 buah, tersebar di bidang dorsal. Vasa
eferensnya bergabung untuk masuk ke rongga kelamin
(genital atrium), yang berakhir di lubang kelamin (genital
pore). Lubang kelamin ini letaknya selang-seling pada sisi
kanan atau kiri strobila. Di bagian posterior lubang kelamin,
dekat vas deferens, terdapat tabung vagina yang berpangkal
pada ootip.

Ovarium terdiri dari 2 loobus, berbentuk kipas, besarnya


hampir sama. Letak ovarium di sepertiga bagian posterior
dari proglotid. Vitelaria letaknya di belakang ovarium dan
merupakan kumpulan folikel yang eliptik.

Uterus tumbuh dari bagian anterior ootip dan menjulur ke


bagian anterior proglotid. Setelah uterus ini penuh dengan
telur, maka cabang-cabangnya akan tumbuh, yang berjumlah
15 – 30 buah pada satu sisinya dan tidak memilki lubang
uterus (porus internus). Proglotid yang sudah gravid letaknya
terminal dan sering terlepas dari stobila. Proglotid ini dapat
bergerak aktif, keluar dengan tinja atau keluar sendiri dari
lubang dubur (spontan). Setiap harinya kira-kira 9 buah
proglotid dilepas. Proglotid ini bentuknya lebih panjang
daripada lebar. Telur dibungkus embriofor, yang bergaris-
garis radial, berukuran 30-40 x 20-30 mikron, berisi suatu
embrio heksakan atau onkosfer. Telur yang baru keluar dari
uterus masih diliputi selaput tipis yang disebut lapisan luar
telur. Sebuah proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah
telur. Waktu proglotid terlepas dari rangkaiannya dan
menjadi koyak; cairan putih susu yang mengandung banyak
telur mengalir keluar dari sisi anterior proglotid tersebut,
terutama bila proglotid berkontraksi waktu gerak.

Telur-telur ini melekat pada rumput bersama tinja, bila orang


berdefekasi di padang rumput; atau karena tinja yang hanyut
dari sungai di waktu banjir. Ternak yang makan rumput yang
terkontaminasi dihinggapi caacing gelembung, oleh karena
telur yang tertelan dicerna dan embrio heksakan menetas.
Embrio heksakan disaluran pencernaan ternak menembus
dinding usus, masuk kesaluran getah bening atau darah dan
ikut dengan aliran darah ke jaringan ikat di sela-sela otot
untuk tumbuh menjadi cacing gelembung, disebut sisterkus
bovis, yaitu larva Taenia saginata. Peristiwa ini terjadi
setelah 12 – 15 minggu.

Bagian tubuh ternak yang sering dihinggapi larva tersebut


adalah otot maseter, paha belakang dan punggung. Otot di
bagian lain juga dapat dihinggapi. Setelah 1 tahun cacing
gelembung ini biasanya mengalami degenerasi, walaupun
ada yang dapat hidup sampai 3 tahun.

Bila cacing gelembung yang terdapat di daging sapi yang


dimasak kurang matang termakan oleh manusia, skoleksnya
keluar dari cacing gelembung dengan vara evaginasi dan
melekat pada mukosa usus halus seperti jejunum. Cacing
gelembung tersebut dalam waktu 8 – 10 minggu menjadi
dewasa.
 Patologi dan gejala klinis

Cacing dewasa Taenia saginata, biasanya menyebabkan


gejala klinis yang ringan, seperti sakit ulu hati, perut merasa
tidak enak, mual, muntah, mencret, pusing atau gugup.
Gejala-gejala tersebut disertai dengan ditemukannya
proglotid cacing yang bergerak-gerak lewat dubur bersama
dengan atau tanpa tinja. Gejala yang lebih berat dapat terjadi,
yaitu apabila proglotid menyasar masuk apendiks, atau
terdapat ileus yang disebabkan obstruksi usus oleh strobila
cacing.6 Berat badan tidak jelas menurun. Eosinofilia dapat
ditemukan di darah tepi.

 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya proflotid yang
aktif bergerak dalam tinja, atau keluar spontan; juga dengan
ditemukannya telur dalam tinja atau usap anus. Proglotid
kemudian dapat diidentifikasi dengan mrendamnya dalam
cairan laktofenol sampai jernih. Setelah uterus dengan
cabang-cabangnya terlihat jelas, jumlah cabang-cabang dapat
dihitung.
c) Taenia solium
 Morfologi dan daur hidup

Cacing pita Taenia solium, berukuran panjang kira-kira 2 – 4


meter dan kadang-kadang sampai 8 meter. Cacing ini seperti
cacing Taenia saginata, terdiri dari skoleks, leher dan
stobila, yang terdiri dari 800 – 1000 ruas proglotid. Skoleks
yang bulat berukuran kira-kira 1 milimeter, mempunyai 4
buah batil isap dengan rostelum yang mempunyai 2 baris
kait-kait, masing-masing sebanyak 25 – 30 buah. Seperti
Taenia saginata, strobila terdiri dari rangkaian proglotid
yang belum dewasa (imatur), dewasa (matur) dan
mengandung telur (gravid). Gambaran alat kelamin pada
proglotid dewasa sama dengan Taenia saginata, kecuali
jumlah folikel testisnya lebih sedikit, yaitu 150 – 200 buah.
Bentuk prolotid gravid mempunyai ukuran panjang hampir
sama dengan lebarnya. Kumlah cabang uterus pada proglotid
gravid adalah 7 – 12 buah pada satu sisi. Lubang kelamin
letaknya bergantian selang-seling pada sisi kanan atau kiri
strobila secara tidak beraturan.

Proglotid gravid berisi kira-kira 30.000 – 50.000 buah telur.


Seperti pada Taenia saginata, telurnya keluar melalui celah
robekan pada proglotid. Telur tersebut bila termakan oleh
hospes prantara yang sesuai, maka dindingnya dicerna dan
embrio heksakan keluar dari telur, menembus dinding usus
dan masuk ke saluran getah bening atau darah. Embrio
heksakan kemudian ikut aliran darah dan menyangkut di
jaringan otot babi. Embrio heksakan cacing gelembung
(sistiserkus) babi, dapat dibedakan dari cacing gelembung
sapi, disebut sistiserkus selulose biasanya ditemukan pada
otot lidah, punggung dan pundak babi. Hospes perantara lain
kecuali babi, adalah monyet, onta, anjing, babi hutan, domba,
kucing, tikus dan manusia. Larva tersebut berukuran 0,6 –
1,8 cm. Bila daging babi yang mengandung larva sistiserkus
dimakan setengah matang atau mentah oleh manusia, dinding
kista decerna, skoleks mengalami evaginasi untuk kemudian
melekat pada dinding usus halus seperti jejunum. Dalam
waktu 3 bula cacing tersebut menjadi dewasa dan
melepaskan proglotid dengan telur.

 Patologi dan gejala klinis

Cacing dewasa, yang biasanya berjumlah seekor, tidak


menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, dapat
berupa nyeri ulu hati, mencret, mual, obstipasi dan skit
kepala. Darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia.

Gejala klinis yang lebih berarti dan sering diderita,


disebabkan oleh larva dan disebut sistiserkosis.

Infeksi ringan biasanya tidak menunjukkan gejala, kucali bila


alat yang dihinggapi adalah alat tubuh yang penting.

Pada manusia, sistiserkus atau larva Taenia solium sering


menghinggapi jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot,
otot jantung, hati, paru dan rongga perut. Walaupun sering
dijumpai, kalsifikasi (perkapuran) pada sistiserkus tidak
menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat
pseudohipertrofi otot, disertai gejala, miositis, demam tinggi
dan eosinofilia.

Pada jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jarang


mengalami kalsifikasi. Keadaan ini serin menimbulkan
reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan
(epilepsi), meningo-ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh
tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan
kadang-kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus internus dapat
terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal.

Sebuah laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus


tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak, dapat
menyebabkan kematian.1

 Diagnosis

Diagnosis taeniasis solium dilakukan dengan menemukan


telur dan proglotid. Telur sukar dibedakan dengan telur
Taenia saginata.

Diagnosis sistiserkosis dapat dilakukan dfengan cara :

 Ekstirpasi benjolan yang kemudian diperiksa secara


histopatologi.

 Radiologis dengan CT scan atau MRI.

 Deteksi antibodi dengan teknik ELISA, Western Blot,


uji hemaglutinasi, CIE.

 Deteksi coproantigen pada tinja.

 Deteksi DNA dengan teknik PCR

 Pengobatan

Infeksi cacing dewasa dapat dieliminasi dengan


praziquantel (5-10 mg/kgBB sekali peroral). Alternatif lain
adalah niclosamide (50 mg/kgBB sekali peroral untuk anak,
2 g sekali peroral untuk dewasa). Parasit biasanya
menghilang sehari setelah pemberian obat.

 Prognosis
Prognosis untuk taeniasis solium cukup baik, dapat
disembuhkan dengan pengobatan. Pada sistiserkosis,
prognosis tergantung berat ringannya infeksi dan alat tubuh
yang dihinggapi. Bila yang dihinggapi alat penting,
prognosis kurang baik.

2) Cacing pita tikus


Penyebab penyakit adalah Hymenolepis spp. (H. nana) dan
Drepanidotaenia spp. Infeksi ini sering terjadi dinegara berkembang.
Sumber penularan tersering adalah manusia dan tikus. Cacing jenis ini
terdapat pada air dan makanan yang terkontaminasi telur “dwarf
worm”. H. Nana dapat diobati dengan miklosamid dengan tambahan
dosis selama 6 hari untuk melenyapkan parasit ketika mereka
berkembang menjadi dewasa. Atau praziquantel dengan dosis 25
mg/kg. Pencegahannya adalah hygiene perorangan, pembuangan feses
secara aman, penyediaan air bersih, pemberantasan dan pengendalian
tikus.
7. Trematoda (cacing daun)
Ada lima spesies dari Trematoda yaitu Schistosoma Mansoni, S. Japonicum, S.
Haemotobium, S. Intercalam, dan S. Mekongi. Gejala pada anak dengan S.
Haemotobia kronis biasanya mengeluh sering berkemih. Terdapat eritrosit
dalam urin. Sedangkan Anak dengan S. Mansoni, Japonica, intercolatum, dan
mekongi dapat mempunyai gejala itestinal, sperti nyeri kolik perut, dan diare.
a. Schistosoma Mansoni
Epidemiologi: banyak terdapat di Afrika tropis dan Amerika Selatan
Sumber penularannya adalah manusia, kera dan tikus. Penularan terjadi
melalui kontak langsung dengan air tawar seperti danau, sungai atau
genangan air yang mengandung larva infektif dari cacing Schistosoma
mansoni. Larva akan menembus kulit manusi yang utuh atau sehat (tanpa
luka). Hospes perantaranya adalah siput air tawar, di Indonesia biasanya
dari genus Oncomelania.
Pencegahannya adalah dengan menghindari kontak langsung dengan air
yang terkontaminasi oleh larva cacing tersebut (biasanya pada daerah
endemik), terapi untuk penderita, pengendalian hospes perantara, dan
sanitasi.
b. Schistosoma japonicum
Epidemiologi: banyak terdapat di Jepang, Cina, Taiwan, Filipina, dan
Indonesia.
Sumber penularannya adalah manusia, anjing, kuncing, sapi, kerbau,
kambing, domba, dan hewan liar lainnya. Hospes perantaranya adalah siput
air tawar.
Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan air tawar yang
terkontaminasi oleh larva infektif cacing ini. Cacing ini dapat bermigrasi
kepembuluh darah otak dan menimbulkan lesi setempat yang menyebabkan
kejang.
Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak langsung dengan air
tawar yang terkontaminasi, sanitasi, terapi untuk penderita, dan
pengendalian siput air tawar.
C. Sistem Imun Mukosa Usus
Tubuh manusia mempunyai system imun untuk mencegah antigen yang masuk
dalam tubuh. Pada saluran gastrointestinal system imun diperankan oleh lapisan mukosa
yang tediri atas ketahanan tubuh nonspesifik seperti asam lambung dan enzim-enzim
percernaan dan ketahanan tubuh spesifik oleh IgA dan IgM. Fungsi utama mukosa usus
adalah untuk menyerap makanan yag tercerna, agar dapat dimanfaatkan tubuh untuk
pertumbuhan dan perkembangan.
Saluran pencernaan juga merupakan organ limfoid, dan jaringan limfoid yang
disebut Gut-Associated Lymphoid Tissue (GALT). Jumlah limfosit dalam GALT secara
kasar setara dengan yang di kelenjar limfe dan berdasarkan lokasi sel-sel tersebar di tiga
populasi dasar diantaranya Peyer's Patches, Lamina propria, dan Intraepithelial.
Selain itu juga terdapat peran Sel M (Microfold). Sel M terdapat dalam mukosa
usus. Sel ini membawa organisme dan pertikel seperti mikroba dari dinding usus Peyer’s
Patches dimana terdapat limfosit T pada sistem GALT, sehingga memicu sekresi IgA
yang berfungsi untuk mengikat mikroba.
D. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Infeksi Kecacingan
a. Hygene Individu
Epidemiologi penyakit kecacingan selalu berhubungan dengan status higiene
individu. Biasanya higiene individu yang buruk cenderung meningkatkan resiko
penyakit kecacingan. Namun, pada dasarnya status higiene ini dipengaruhi oleh
kebiasaan dari individu sendiri dalam menjaga kesehatan. Hygene individu meliputi
Kebiasaan memotong kuku, memakai alas kaki, mencuci tangan, mandi teratur,
penggunaan air bersih, penggunaan jamban.

Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu ditularkan lewat


tanah. Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jari-jari tangan
mereka dimasukkan kedalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan.
b. Hygene Lingkungan
Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di
daerah kota atau daerah pinggiran. Jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak
ditemukan di daerah perkotaan, dan jumlah prevalensi tertinggi ditemukan didaerah
pinggiran atau pedesaan yang masyarakatnya sebagian besar masih hidup dalam
kekurangan.
Lingkungan terutama rumah merupakan tempat berinteraksi paling lama dari
anggota keluarga termasuk di dalamnya adalah anak. Kondisi tanah yang lembab
dengan bertumpuknya banyak sampah merupakan habitat yang tepat untuk nematoda
hidup dan berkembang biak. Tesktur tanah yang sangat bervariasi yang terdiri dari
tanah pasir, debu dan liat sangat memungkinkan hidup dan berkembang biak
telurtelur cacing hingga menjadi cacing yang infektif menularkan penyakit
kecacingan.5 Kondisi lingkungan rumah yang baik dalam hal sanitasi akan
membantu meminimalkan terjadinya gangguan kesehatan bagi penghuninya.
c. Kontak Dengan Cacing
Adanya kontak pejamu dengan larva filariform yang infektif menyebabkan
terjadinya penularan. Anak usia sekolah merupakan kelompok rentan terinfeksi
cacing tambang karena pola bermain anak pada umumnya tidak dapat dilepaskan
dari tanah sementara itu pada saat anak bermain seringkali lupa menggunakan alas
kaki, yang melakukan studi di di Desa Tegal Badeng Timur, Bali menemukan bahwa
penggunaan alas kaki berhubungan dengan kejadian infeksi cacing tambang.
d. Asuhan Orang Tua
Pola asuhan orang tua dan pengasuh merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kejadian kecacingan. Karena mereka yang mengajarkan dan
mendidik tentang kebersihan dan kesehatan. Jika orang tua mengajarkan pendidikan
kebersihan yang baik, maka dapat mengurangi risiko infeksi STH.
e. Tanah
Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan
tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang
lembab dan tanah dengan sushu optimal ± 30-C. Tanah liat dengan kelembaban

tinggi dan suhu yang berkisar antara 250C-300C sangat baik untuk berkembangnya
telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif. Sedangakan untuk

pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 280C-

320C dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale

lebih rendah yaitu 230C-250C tetapi umumnya lebih kuat.


f. Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu didaerah
tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale penyebarannya paling banyak didaerah
panas dan lembab. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan
kelembaban yang tinggi terutama didaerah perkebunan dan pertambangan).
g. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan yaitu faktor sanitasi yang
buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah.

h. Status Gizi
Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif),
penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan infeksi
cacingan dapat menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat
menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan dan produktifitas kerja, juga
berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena
penyakit lainnya.

E. Dampak dari penyakit cacing


Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan
menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-
anak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale danNecator americanus)
mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedang menimbulkan morbiditas yang tinggi
(Soedarto, 1999). Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang
dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh.
Pada infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang
3% dari kalori yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak
dapat dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan
dapat menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi
Vitamin A. Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah,
turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah
2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena
infeksi Trichuris trichiura mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml/hari/cacing
Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini
sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu menghisap
darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan
darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat.
F. Pencegahan
1. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman
2. Sebelum melakukan persiapan, maknan dan hendak makan tangan dicuci terlebih
dahulu dengan menggunakan sabun.
3. Bagi yang mengkonsumsi sayuran mentah sebagai lalapan, hendaknya dicuci
bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
G. Penanggulangan
1. Minumlah obat cacing sekali dalam enam bulan.
2. Sayuran mentah (hijau) dan segala di daerah mengadakan kemoterapi missal
setiap 6 bulan sekali di daerah endemic ataupun daerah yang rawan terhadap
penyakit kecacingan.
3. Sanitasi lingkungan
4. Memakai Jamban/WC.
5. Makan makanan yang dimasak saja.
6. Menghin dari tinja sebagai pupuk.

H. PATWAY
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian

1. Aktivitas dan istirahat


Gejala : insomnia, tidak tidur semalam karena diare.
2. Sirkulasi
Tanda : tachikardia ( respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi dan nyeri),
anemia, sianosis.
3. Pernapasan
Tanda: batuk,suara napas mengik, bronkhi, sesak
4. Nutrisi / cairan
Gejala : mual, muntah, dan anoreksia
Tanda : hipoglikemia, dehidrasi, BB turun.
5. Eliminasi
Tanda : diare, penurunan haluaran urin.
6. Nyeri
Gejala : nyeri epigastrik, abdomen, nyeri apendesitis, nyeri perut, iritasi disekitar anus.
7. Integritas ego
Gejala : ansietas.
8. Keamanan
Tanda : kulit kemerahan, kering, panas, suhu meningkat, kulit gatal.

B. Diagnosa keperawatan
1. Defisit nutrisi
2. Kerusakan integritas kulit
3. Gangguan pola tidur
4. Gangguan rasa nyaman

C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Luaran Intervensi
Defisit nutrisi Setelah dilakukan Tindakan Manajemen nutrisi
selama …x…jam di  Observasi
harapkan status nutrisi  Identifikasi status
membaik dengan kriteria nutrisi
hasil :  Identifikasi makanan
 Porsi makanan yang di yang disukai
habiskan meningkat  Monitor asupan
Diagnosa Luaran Intervensi
 Berat badan cukup makanan
membaik  monitor berat badan
 Terapeutik
 Lakukan oral
hygiene sebelum
makan
 Sajikan makanan
secara menarik
dengan suhu yang
sesuai
 Berikan makanan
tinggi kalori tinggi
protein
 Edukasi
 Ajarkan diet yang
diprogramkan
 Kolaborasi
 Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukanjumlah
kalori dan jenis
nutrisi yang di
butuhkan
Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan Tindakan Perawatan integritas kulit
selama …x… jam  Observasi
diharapkan integritas kulit  Identifikasi penyebab
meningkat dengan kriteria gangguan integritas
hasil : kulit
 Kerusakan kulit  Terapeutik
menurun  Bersihkan perianal
dengan air hangat
 Edukasi
 Anjurkan minum air
yang cukup
 Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
Diagnosa Luaran Intervensi
 Anjurkan
meningkatkan
asupan buah dan
sayur
Gangguan pola tidur Setelah dilakukan Tindakan Dukungan tidur
selama …x…jam diharapkan  Observasi
pola tidur membaik dengan  Identifikasi factor
kriteria hasil penganggu tidur
 Keluhan sering  Identifikasi obat tidur
terjaga menurun yang dikomsumsi
 Keluhan tidak puas  Terapeutik
tidur menurun  Lakukan prosedur
untuk meningkatkan
kenyamanan
 Edukasi
 Ajarkan faktor-faktor
yang berkontribusi
terhadap gangguan
pola tidur
Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan Tindakan Perawatan kenyamanan
selama …x…jam  Observasi
diharapakan status  Identifikasi gejala
kenyamanan meningkat yang tidak
dengan kriteria hasil menyenangkan
 Keluhan tidak  Identifikasi
nyaman menurun pemahaman terhadap
 Gelisa cukup kondisi
menurun  Identifikasi masalah
emosional
 Terapeutik
 Dukung keluarga
atau pengasuh
terlibat dalam
pengobatan
 Berikan terapi
hipnosis
 Diskusikan mengenai
Diagnosa Luaran Intervensi
situasi dan pemilihan
terapi
 Edukasi
 Jelaskan mengenai
kondisi dan pilihan
terapi
 Ajarkan terapi
relaksasi
 Jajrkan Teknik
imajinasi terbimbing
 Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian anti
histamin jika perlu
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Cacing yang bersifat parasit pada manusia terbagi atas tiga golongan besar yaitu
nematoda/cacing bulat/cacing gelang, cestoda/cacing pita/taeniasis dan trematoda (cacing
daun). Penyakit cacing sering diderita oleh anak-anak dibanding orang dewasa. Untuk itu
diperlukan pencegahan yang tepat agar terhindar dari infeksi cacing usus. Pencegahan
merupakan suatu hal yang penting daripada mengobati, pencegahan timbulnya penyakit
parasit ini dimulai dari hal yang sangat kecil, misalnya Minum air yang sudah dimasak
hingga mendidihdan tertutup. Masih banyak upaya untuk pencegahan yang lainnya.
B. SARAN
1. Kepedulian terhadap lingkungan dimulai dari dini.
2. Memiliki jamban yang sesuai standar di masing-masing rumah agar tidak mudah
terkontaminasi.
3. Melakukan kebiasaan mencuci tangan bersih dengan air & sabun saat sebelum dan
setelah melakukan aktivitas yang behubungan dengan apapun itu baik makan dan
sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
Pane.Indah Puspitasari.2013.Kecacingan Di Indonesia.hhtps://www.scribe.com/document
/157646986/Kecacingan-Di-Indonesia.Diakses Pada Tanggal 01 Nopember 2022

Bahanan.Muhammad Fawwas.2013.Makalah Kecacingan. hhtps://www.scribe.com/doc


/179096787/ Makalah-Kecacingan. Diakses Pada Tanggal 01 Nopember 2022

Domin.Kuruwop.2012.Tatalaksana Cacingan Pada Anak. hhtps://www.scribe.com/doc


/100059479/ Tatalaksana-Cacingan-Pada-Anak. . Diakses Pada Tanggal 01 Nopember 2022

Hidayanti.Nur._.Asuhan Keperawatan Helminth Usus Klp.https://www.academia.edu/


39249920/ Asuhan-Keperawatan-Helminth-Usus-Klp. Diakses Pada Tanggal 01 Nopember 2022

Sumanto.Didik._.Nematoda Usus kelompok Soil Transmitted Helminth (STH) Dan Non STH.
https://www.academia.edu/ Nematoda-Usus-Kelompok-Soil-Transmitted-Helminth (STH)-Dan -
Non-STH.diakses tanggal 24 oktober 2022.

Adi. Indara Kusuma.2013.Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Soil Transmitted Helminth.


https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjay-
qNrJL7AhW23HMBHVYYC20QFnoECCQQAQ&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%
2F43921%2F3%2FIndraKusumaAdi_G2A009052_BAB2KTI.pdf&usg=AOvVaw13UCZGxTOzLzHuNqyHwbw

akses tanggal 24 oktober 2022..

Tahir.Eka.Fitri._. Askep Helminth Usus.https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc


=s&source =web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjh0v-WrZL7AhXu4nMBHVVLCzEQF
noECBQQAQ&url=https%3A%2F%2Fwww.academia.edu% 2F33530662%2FAskep_
Helminth_Usus&usg=AOvVaw3Jw6s9pOnBUGz1M5_K36C6. akses tanggal 24 oktober 2022..

Anda mungkin juga menyukai