(HELMINTH USUS)
OLEH KELOMPOK 8
MAYASARI R011221004
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadiratnya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan
inayanhnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Adapun makalah asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit helminth usus ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari
segi penyusun bahasa maupun segi lainnya . oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan
terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi para pembaca yang ingin memberi saran dan kritik
kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah
Akhir kata penyusun mengharapkan semoga dari makalah asuhan keperawatan pada pasien
dengan helminth usus ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan
inspirasi terhadap pembaca.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Cacing usus merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
di Indonesia, salah satunya cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini
dapat mengakibatkan menurunnya gizi, kecerdasan dan produktivitas penderitanya
sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian karena menyebabkan
kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah.
Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi. Terutama pada
golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit ini.
Penyakit endemis dan kronis ini pada kondisi tertentu akan meningkat tajam. Biasanya
saat musim hujan yang mendatangkan banjir, parit, sungai, dan kakus meluber. Pada
kondisi tersebut larva cacing menyebar ke berbagai sudut yang sangat mungkin
bersentuhan dan masuk ke dalam tubuh manusia. Larva cacing yang masuk ke dalam
tubuh perlu waktu 1–3 minggu untuk berkembang.
Penyakit cacingan yang ditularkan melalui tanah sering dijumpai pada anak usia
sekolah dasar karena anak usia sekolah dasar masih bermain dengan tanah. Pencemaran
tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah lalu masuk ke
mulut bersama makanan (Martila dkk, 2015).
Berdasarkan siklus hidupnya nematoda usus dibagi atas dua kelompok yaitu : Soil
Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya
membutuhkan tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari stadium
non-infektif menjadi stadium infektif. Yang termasuk nematoda ini adalah Ascaris
lumbricoides menimbulkan Ascariasis, Trichuris trichiura menimbulkan Trichuriasis,
cacing tambang (ada dua spesies, yaitu Necator americanus menimbulkan Necatoriasis
dan Ancylostoma doudenale menimbulkan Ancylostomiasis), serta Strongyloides
strecoralis menimbulkan Strongyloidosis atau Strongyloidiasis. Nematoda usus lain atau
disebut juga nematoda usus Non-Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang
dalam siklus hidupnya tidak membutuhkan tanah. Ada tiga spesies yang termasuk
kelompok ini, yaitu Enterobius vermicularis (cacing kremi) menimbulkan Enterbiasis dan
Trichinella spiralis dapat menimbulkan Trichinosis serta parasit yang paling baru
ditemukan Capillaria philippinensis (Rusmartini, 2009).
Menurut World Health Organization (WHO) diantara cacing usus yang menjadi
masalah kesehatan adalah kelompok Soil Transmitted Helminths (STH) atau cacing yang
ditularkan melalui tanah. Ascaris lumbricoides menginfeksi lebih dari 1 miliar orang,
Trichuris trichiura menginfeksi 795 juta orang, Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus menginfeksi 740 juta orang di dunia. Jumlah kasus infeksi cacingan
terbanyak dilaporkan dikawasan Afrika, Amerika Latin, Cina, dan Asia Timur. Jawa
Timur merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang mempunyai kepadatan penduduk
terbesar kedua setelah Jakarta. Wilayahnya terdiri dari daerah pantai Utara Jawa, pantai
Selatan Jawa, daerah pegunungan, pertambangan, perkebunan, dan pariwisata. Berbagai
masalah kesehatan masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, salah satunya adalah
masalah penyakit cacingan (Depkes RI, 2006).
Infeksi cacing dapat ditemukan pada berbagai golongan umur, namun prevalensi
tertinggi ditemukan pada anak balita dan usia SD. Dari penelitian didapatkan prevalensi
penyakit cacingan sebesar 60–70%. Penelitian di beberapa kota besar di Indonesia
menunjukkan, kasus infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) sekitar 25–35% dan
cacing cambuk (Trichuris trichiura) 65–75%. Risiko tertinggi terutama kelompok anak
yang mempunyai kebiasaan defekasi di saluran air terbuka dan sekitar rumah, makan
tanpa cuci tangan, dan bermain-main di tanah yang tercemar telur cacing tanpa alas kaki.
(Depkes RI, 2006). Sekitar seperempat kasus di dunia terinfeksi oleh nematoda usus,
infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan lembab dengan tingkat
kebersihan yang buruk. Pada dasarnya semua orang bisa terinfeksi oleh nematoda usus,
namun kelompok yang beresiko tinggi biasanya berkaitan dengan pekerjaan atau hobi
yang berkontak langsung dengan pasir, tanah atau humus yang terinfeksi oleh larva
karena parasit ini dapat berkembang biak dengan cepat di tanah, diantaranya wisatawan
yang berjemur di pantai tanpa alas kaki, anak-anak yang suka bermain pasir, tukang
kebun, penambang, pencari ikan atau pekerja lainnya (Nikmah, 2016)
Penyakit yang disebabkan cacing atau biasa disebut dengan helminthiasis merupakan
salah satu penyakit yang banyak terjadi, terutama di daerah tropis. Keberadaan penyakit ini
berkaitan dengan faktor cuaca, tingkat sanitasi lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat.
Cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu untuk hidup dan berkembang biak.
Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan
masyarakat dalam mengkonsumsi sayuran mentah, daging atau ikan yang dimasak setengah
matang merupakan salah satu cara penularan secara langsung. Bila bahan makanan tersebut
terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacing dapat menjadi lengkap, dan
terjadilah infeksi dalam tubuh.
Berbeda dengan infeksi bakteri, virus dan mikroorganisme yang lainnya, cacing dewasa
tidak bertambah banyak di dalam tubuh manusia. penyebaran penyakit inipun dapat terjadi
melalui perantara serangga seperti nyamuk dan lalat pengisap darah yang dapat
menyebarkan gtelur cacing dari feses penderita cacingan. di samping itu, kebiasaan
pengguanaan feses manusia sebagai pupuk tanaman dapat meningkatkan penyebaran telur
cacing, karena dapat mengkontaminasi tana, air rumah tangga dan tanaman pangan tertentu.
Cacing yang bersifat parasit pada manusia terbagi atas tiga golongan besar yaitu
nematoda/cacing bulat/cacing gelang, cestoda/cacing pita/taeniasis dan trematode (cacing
daun). Pada beberapa keadaan lingkungan, larva cacing dapat menginfeksi lewat kontak
langsung menembus kulit sehingga dapat bermigrasi menuju organ vital seperti pembuluh
darah, pembuluh limfe, hati, paru-paru dan jantung.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah konsep medis dan klasifikasi helminth usus?
2. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien helminth usus ?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui konsep medis dan klasifikasi helminth usus.
2. Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan pada penderita helminth usus.
D. Manfaat penelitian
1. Secara Teoritis Dapat menambah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa tentang
berbagai macam nematoda usus
2. Secara Praktis Dapat menambah ilmu pengetahuan dan informasi kepada masyarakat
akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan diri sendiri agar terhidar dari
kontaminasi nematoda usus
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Helminth usus adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing yang paling banyak terjadi
di daerah tropis (tempat yang baik untuk cacing hidup dan berkembang biak). Cacing ini
dapat menginfeksi manuasia dewasa maupun anak-anak, namun kebanyakan menyerang
anak-anak ditinjau dari cara penularan telur cacing melalui kontak dengan tanah, air
rumah tangga, feses manusia yang dibuang ke tanah, juga melalui perantara serangga.
STH (Soil Transmitted Helminth) adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan
tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Di Indonesia golongan cacing ini yang amat
penting dan menyebabkan masalah kesehatan pada masyarakat adalah cacing gelang
(Ascaris lumbricoides) penyakitnya disebut Ascariasis, cacing cambuk (Trichuris
trichiura) penyakitnya disebut Trichuriasis, Strongyloide stercoralis penyekitnya
disebut Strongiloidiasis cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) penyakitnya disebut Ankilostomiasis dan Nekatoriasis.
Infeksi STH ditemukan tersering di daerah iklim hangat dan lembab yang memiliki
sanitasi dan hygiene buruk. STH hidup di usus dan telurnya akan keluar melalui tinja
hospes. Jika hospes defekasi di luar (taman, lapangan) atau jika tinja mengandung telur
dubuahi maka telur tersebut akan tersimpan dalam tanah. Telur menjadi infeksius jika
telur matang.
Berikut beberapa jenis cacing usus, diantaranya;
b. Manifestasi
Sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala, akan tetapi karena
tingginya angka infeksi; morbiditasnya perlu diperhatikan.
Gejala yang terjadi dapat disebabkan oleh:
1) Migrasi Larva
Walaupun kerusakan hati dapat terjadi sewaktu larva melakukan
siklus dari usus melalui hati ke paru, tetapi organ yang sering
dikenai adalah paru, yang masa semua larva Ascaris lumbricoides
harus melalui paru-paru sebelum menjadi cacing dewasa di usus.
Hal ini terjadi sewaktu larva menembus pembuluh darah untuk
masuk ke dalam alveoli paru. Pada infeksi yang ringan, trauma yang
terjadi bisa berupa perdarahan, sedangkan pada infeksi yang berat,
kerusakan jaringan paru dapat terjadi, sejumlah kecil darah mungkin
mengumpul di alveoli dan bronkial yang kecil yang bisa
mengakibatkan terjadinya edema pada organ paru. Selama hal ini
disebut pneumonitis Ascaris. Pneumonitis Ascaris ini disebabkan
oleh karena proses patologis dan reaksi alergi berupa peningkatan
temperature sampai 39.5-400C, pernafasan cepat dan dangkal (tipe
asmatik), batuk kering atau berdahak (ditandai dengan Kristal
Charcot-Leyden), ronki atau wheezing tanpa krepitasi yang
berlangsung 1-2 minggu, eosinofilia transien, infiltrate pada
gambaran radiologi (sindrom Loeffler) sehingga diduga sebagai
pneumoni viral atau tuberculosis.
2) Cacing Dewasa
Cacing dewasa biasanya hidup di usus halus. Yokogawa dan
Wakeshima menyatakan bahwa pada anak yang terinfeksi dengan
Ascaris lumbricoides, pertumbuhan fisik dan mentalnya akan
terganggu dibandingkan anak yang tidak terinfeksi.
Gejala klinis yang paling menonjol adalah rasa tidak enak di perut,
kolik akut pada daerah epigastrium, gangguan selera makan,
mencret. Ini biasanya terjadi pada saat proses peradangan pada
dinding usus. Pada anak kejadian ini bisa diikuti demam.
Komplikasi yang ditakuti adalah cacing migrasi dan menyebabkan
gejala akut. Pada keadaan infeksi berat, paling ditakuti bila terjadi
muntah cacing yang akan menimbulkan komplikasi penyumbatan
saluran nafas usus oleh massa cacing dewasa. Pada keadaan lain
dapat terjadi ileus oleh karena sumbatan pada usus oelh massa
cacing, atau apendiksitis sebagai akibat masuknya cacing ke dalam
lumen apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla Vateri
ataupun saluran empedu dan terkadang masuk ke jaringan hati.
Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing
menjadi dewasa di dalam usus halus, yang mana hasil metabolism cacing
dapat menimbulkan fenomena sensitisasi seperti urtikaria, asma bronkial,
konjungtivitis akut, fotofobia dan terkadang hematuria. Eosinofilia 10%
atau lebih sering pada Ascaris lumbricoides tetapi hal ini tidak
menggambarkan beratnya penyakit tetapi lebih banyak menggambarkan
proses sensitisasi dan eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi
Ascaris lumbricoides
c. Patofisiologi
Tanah liat dengan kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara
25◦C-30◦C sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides
sampai menjadi bentuk infektif. Gejala yang timbul pada penderita dapat
disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya
terjadi saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil
di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru disertai batuk, demam
dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam
waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut Sindroma Loeffler. Akumulasi sel
darah putih dan epitel yang mati membuat sumbatan menyebabkan Ascaris
pneumonitis.
d. Gejala Klinis dan Diagnosis
Pada kebanyakan kasus tidak terdapat gejala. Namun, indikasi dari
adanya Ascaris adalah gangguan nutrisi dan akan mengganggu
pertumbuhan anak. Pada umumnya pasien akan mengalami demam,
urticaria, malaise, kolik intestinal, mual, muntah, diare. Migrasi larva
Ascaris melewati paru akan menyebabkan pneumonitis dan bronchospasm.
Pada umumnya akan didapati eosinofilia.
Cara menegakkan diagnosa penyakit adalah dengan pemeriksaan
tinja. Parasites Load Ascaris lumbricoides untuk infeksi ringan adalah 1-
4.999 Telur per Gram Tinja (EPG), untuk infeksi sedang adalah 5.000-
49.999 EPG, dan untuk infeksi berat adalah ≥50.000 EPG.
e. Pengobatan
Pada saat ini pemberian obat-obatan telah dapat mengeluarkan cacing dari
dalam usus. Obat-obatan yang dapat digunakan:
1) Pirantel pamoat, dosis 10mg/kgBB/hari, dosis tunggal, memberikan
hasil yang memuaskan
2) Mebendazol, dosis 100mg, dua kali sehari, diberikan selama tiga
hari berturut- turut. Hasil pengobatan baik tetapi efek samping
berupa iritasi terhadap cacing, sehingga cacing dapat terangsang
untuk bermigrasi ke tempat lain harus di pertimbangkan
3) Oksantel-pirantel pamoat, dosis 10 mg/kgBB, dosis tunggal
memberikan hasil yang baik
4) Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet
Albendazol (400mg) atau 20 ml suspense, berupa dosis tunggal.
Hasil cukup memuaskan.
4. Strongiloides stercolaris
a. Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini dapat
menyebabkan strongiloidiasis. Hanya cacing dewasa betina hidup sebagai
parasit di vilus duodenum dan yeyenum. Cacing betina berbentuk filiform,
halus, tidak berwarna dan panjangnya 2 mm. Telur berbentuk parasitik
diletakkan di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas menjadi larva
rabditiform yang masuk ke ronnga usus serta dikeluarkan bersama tinja.
Siklus secara langsung, larva filaform menembus kulit dan mencapai
peredaran darah sehingga dapat sampai ke paru atau jantung, dari paru
parasit menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Secara tidak
langsung, larva rabditiform dapat menjadi larva filariform yang infeksius
dan mengeinfeksi hospes atau larva rabditiform kembali ke siklus
bebasnnya. Secara autoinfeksi larva filariform di daerah perianal menembus
langsung daerah tersebut dan capai peredaran darah.
b. Patofisiologi
Bila larva dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang
dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan gatal hebat.
Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Ditemukan
eosinophilia meskipun dapa juga dalam kondisi normal.
c. Gejala Klinik dan Diagnosis
Umumnya tanpa gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti
ditusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar.mungkin ada
mual dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. 9 Diagnosis klinis
tidak pasti karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang
nyata. Diagnosis pasti adalah dengan menemukan larva rabditiform dalam
tinja segar, dalam biakan atau aspirasi duodenum. Biakan sekurang-
kurangnya 2x24 jam menghasilkan larva filariform dan cacing dewasa.
5. Cacing kremi (Enterobius vermicularis)
a. Morfologi dan daur hidup
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anterior ada
pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulubus esofagus
jelas sekali, ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid
melebar dan penuh dengan telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm, jugam
mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda
tanya; spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa
biasanya di rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan
dengan rongga sekum. Makanannya adalah isi dari usus.
Cacing betina yang gravid mengandung 11.000 – 15.000 butir telur,
bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus
dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus, sehingga jarang
ditemukan di dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu
sisi (asimetrik) dalam tinja. Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari
dinding telur cacing tambang. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira
6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu badan. Telur resisten terhadap
disinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup
sampai 13 hari.
Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum. Cacing jantan
mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur.
Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang, atau bila larva dari
telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar.
Bila telur matang yang tertelan, telur menetas di duodenum dan larva
rabfitiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di jejujum dan bagian
atas ileum.
Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur
matang sampai menjadi cacaing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah
perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya
hanya berlangsung kira-kira 1 bulan karena telur-telur cacaing dapat
ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan.
Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri (self limited). Bila tidak ada
reinfeksi, tanpa pengobatan pun infeksi dapat berakhir.
b. Epidemiologi
Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat
terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu
lingkungan yang sama (asrama). Telur cacing dapat diisolasi dari debu
diruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan mungkin ini menjadi sumber
infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan beberapa
anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat
ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus (toilet
seats), bak mandi, alas kasur, pakaian dan tilam. Hasil penelitian
menunjukkan angka prevalensi pada berbagai golongan manusia 3-80%.
Anjing dan kucing bukan mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi
sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya.
e. Penularan
1) Cacing dewasa betina biasanya akan bermigarasi pada malam hari ke
daerah disekitar anus untuk bertelur.
2) Telur akan terdeposit ke lubang anus.
3) Hal ini akan meyebabkan rasa gatal disekitar anus (pruritus ani
nokturnal). Apabila digaruk maka penularan dapat terjadi dari kuku jari
tangan ke mulut (self-infection, infeksi oleh diri sendiri). Metode
penularan lainnya adalah dari orang ke orang melalui pakaian, peralatan
tidur. Penularan dapat terjadi dalam lingkungan yang terkontaminasi
cacing kremi, misalnya melaui debu rumah
4) Telur menetas di usus halus, selanjutnya larva akan bermigrasi ke daerah
sekitar anus (sekum, Caecum)
5) Disini larva akan tinggal sampai dewasa
Infeksi dapat juga terjadi karena menghisap debu yang mengandung telur
dan retrofeksi dari anus. Bila sifat infeksinya adalah retroinfeksi daria
anus, maka telur akan menetas disekitar anus, selanjutnya larva akan
bermigrasi ke kolon asendens, sekum atau apendiks dan berkembang
menjadi dewasa. Suatu penelitian pada anak melaporkan bahwa ada 33%
anak yang memiliki telur cacing pada kuku jarinya
f. Manifestasi klinis
Ada beberapa tanda dan gejala yang khas antara lain:
1) Iritasi di sekitas anus,perineum dan vagina akibat infeksi cacing yang
bermigrasi kedaerah tersebut
2) Terjadi pruritus local sebagai tanda terjadi infeksi.
3) Timbulnya bekas luka garuk pada daerah anus akibat pruritus ani
4) Kurang tidur dan kelemahan akibat pruritus pada malam hari.
g. Diagnosis
Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di
sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan
telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan
alat anal swab yang ditempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari
sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat.
Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atatu spatel lidah yang pada
ujungnya dilekatkan Scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ini
ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada
perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan
dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya
pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut.
h. Pengobatan
Obat anticacing harus diberikan pada individu yang terinfeksi dan anggota
keluarganya. Dosis tunggal mebendazole (100 mg peroral untuk semua usia)
diulang dalam 2 minggu menghasilkan angka kesembuhan 90-100%. Pilihan
regimen terapi lain termasuk dosis tunggal albendazole (400 mg peroral
untuk semua usia) diulang dalam 2 minggu atau dosis tunggal pirantel
pamoate (11 mg/kgBB peroral, maksimal 1 g). Mandi pagi menghilangkan
telur dalam jumlah besar. Penggantian pakaian yang sering, baju tidur, dan
seprai menurunkan kontaminasi telur dan dapat menurunkan resiko terjadi
autoinfeksi.
i. Pencegahan
Perlunya kampanye atau penyuluhan perilaku sehat termasuk mencuci
tangan sebelum dan sesudah makan, serta perawatan atau pemotongan kuku
jari anak.
6. Cestoda/cacing pita
a. Definisi
Penyakit Cacing Pita (taeniasis) adalah salah satu jenis penyakit cacing
yang paling berbahaya. Bentuk cacingnya pipih seperti pita, bisa mencapai
panjang 3–10 meter dan hebatnya walau dipotong-potong, cacing ini masih
bisa hidup. Bibit cacing terutama banyak ditemukan didalam daging babi
dan daging sapi. Infeksi Cestoda lazim ditiap benua kecuali Antartika.
Tidak seperti parasit lain yang memisahkan stadium perkembangannya pada
berbagai spesis hospes. Beberapa cacing pita dapat menginfeksi manusia
dengan stadium dewasanya. Infeksi dengan cacing dewasa dapat dengan
mudah didiagnosis dengan mengamati telur atau segmen cacing dewasa
dalam tinja.
b. Etiologi
Penyakit ini dapat disebabkan oleh larva cacing pita yaitu Taenia solium
(pada babi), Taenia saginata (pada sapi),dan Cysticercus cellulosae (pada
babi) yang terdapat pada daging yang tidak dimasak atau dmasak
kurangmatang.
c. Manifestasi klinik
Beberapa tanda dan gejala yang biasa timbul pada penyakit ini antara lain:
1. Umumnya asimptomatis
2. Rasa tidak enak dilambung
3. Kadang-kadang mual
4. Diare, sakit perut,
5. Pruritus ani
6. Takikardi, sesak
7. Berat badan menurun
8. Sefalgi, pusing
9. Tergantung pada lokasi larva (Sistiserkosis, Ekinokokosis)
10. Ada proglotid keluar bersama tinja
d. Klasifikasi cacing pita
1) Cacing pita daging
Jenis cacing pita daging ada tiga, yaitu Taenia solium (pada babi),
Taenia saginata (pada sapi), dan Diphyllobothrium latum (pada ikan).
Cacing ini terdapat pada daging yang tidak dimasak atau dimasak tetapi
kurang matang. Epidemiologi kasus yang tertinggi di Indonesia terjadi
di Bali. Cacing ini bersifat hermafrodit, panjangnya bisa mencapai 4-10
m. cacing hidup di usus halus untuk menghisap karbohidrat dari lumen
usus dan protein mukosa usus. Hospes perantara T. solium adalah babi
dan hospes T. saginata adalah sapi, sedangkan hospes definitifnya
adalah manusia. Siklus hidup dimulai dari cacing dewasa dalam usus
halus manusia. Cacing bertelur selanjutnya telur keluar melalu tinja.
Apabila telur termakan oleh babi atau sapi, maka telur akan menetas
menjadi larva di dalam usus. larva masuk ke pembuluh darah dan
menuju ke jaringan otot atau ke dalam daging. Bila daging dimakan
oleh manusia, maka larva akan menetap dan menjadi dewasa di usus
halus. Gejala dan tanda penyakitnya adalah gangguan saluran cerna
karena adanya massa cacing. Anemia dapat terjadi pada berbagai
tingkat keparahan. Pengobatannya adalah dengan kuinakrin
hidroklorida. Pencegahan utamanya adalah dengan pengobatan
penderita untuk memutus rantai penularan dan memasak daging hingga
matang. Sanitasi lingkungan yang baik akan menurunkan penyebaran
telur pada tanah.
a) Cacing pita ikan
Penyebab penyakit adalah Diphyllobothrium latum. Sumber
penularannya adalah manusia dan beruang. Cacing pita ini sering
terdapat pada ikan yang mentah. Pencegahannya adalah
pengawasan terhadap pengelolaan ikan, pemasakan ikan, dan
sanitasi lingkungan.
b) Taenia saginata
Morfologi dan daur hidup
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya proflotid yang
aktif bergerak dalam tinja, atau keluar spontan; juga dengan
ditemukannya telur dalam tinja atau usap anus. Proglotid
kemudian dapat diidentifikasi dengan mrendamnya dalam
cairan laktofenol sampai jernih. Setelah uterus dengan
cabang-cabangnya terlihat jelas, jumlah cabang-cabang dapat
dihitung.
c) Taenia solium
Morfologi dan daur hidup
Diagnosis
Pengobatan
Prognosis
Prognosis untuk taeniasis solium cukup baik, dapat
disembuhkan dengan pengobatan. Pada sistiserkosis,
prognosis tergantung berat ringannya infeksi dan alat tubuh
yang dihinggapi. Bila yang dihinggapi alat penting,
prognosis kurang baik.
tinggi dan suhu yang berkisar antara 250C-300C sangat baik untuk berkembangnya
telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif. Sedangakan untuk
320C dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale
h. Status Gizi
Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif),
penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan infeksi
cacingan dapat menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat
menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan dan produktifitas kerja, juga
berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena
penyakit lainnya.
H. PATWAY
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
B. Diagnosa keperawatan
1. Defisit nutrisi
2. Kerusakan integritas kulit
3. Gangguan pola tidur
4. Gangguan rasa nyaman
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Luaran Intervensi
Defisit nutrisi Setelah dilakukan Tindakan Manajemen nutrisi
selama …x…jam di Observasi
harapkan status nutrisi Identifikasi status
membaik dengan kriteria nutrisi
hasil : Identifikasi makanan
Porsi makanan yang di yang disukai
habiskan meningkat Monitor asupan
Diagnosa Luaran Intervensi
Berat badan cukup makanan
membaik monitor berat badan
Terapeutik
Lakukan oral
hygiene sebelum
makan
Sajikan makanan
secara menarik
dengan suhu yang
sesuai
Berikan makanan
tinggi kalori tinggi
protein
Edukasi
Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukanjumlah
kalori dan jenis
nutrisi yang di
butuhkan
Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan Tindakan Perawatan integritas kulit
selama …x… jam Observasi
diharapkan integritas kulit Identifikasi penyebab
meningkat dengan kriteria gangguan integritas
hasil : kulit
Kerusakan kulit Terapeutik
menurun Bersihkan perianal
dengan air hangat
Edukasi
Anjurkan minum air
yang cukup
Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
Diagnosa Luaran Intervensi
Anjurkan
meningkatkan
asupan buah dan
sayur
Gangguan pola tidur Setelah dilakukan Tindakan Dukungan tidur
selama …x…jam diharapkan Observasi
pola tidur membaik dengan Identifikasi factor
kriteria hasil penganggu tidur
Keluhan sering Identifikasi obat tidur
terjaga menurun yang dikomsumsi
Keluhan tidak puas Terapeutik
tidur menurun Lakukan prosedur
untuk meningkatkan
kenyamanan
Edukasi
Ajarkan faktor-faktor
yang berkontribusi
terhadap gangguan
pola tidur
Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan Tindakan Perawatan kenyamanan
selama …x…jam Observasi
diharapakan status Identifikasi gejala
kenyamanan meningkat yang tidak
dengan kriteria hasil menyenangkan
Keluhan tidak Identifikasi
nyaman menurun pemahaman terhadap
Gelisa cukup kondisi
menurun Identifikasi masalah
emosional
Terapeutik
Dukung keluarga
atau pengasuh
terlibat dalam
pengobatan
Berikan terapi
hipnosis
Diskusikan mengenai
Diagnosa Luaran Intervensi
situasi dan pemilihan
terapi
Edukasi
Jelaskan mengenai
kondisi dan pilihan
terapi
Ajarkan terapi
relaksasi
Jajrkan Teknik
imajinasi terbimbing
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian anti
histamin jika perlu
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cacing yang bersifat parasit pada manusia terbagi atas tiga golongan besar yaitu
nematoda/cacing bulat/cacing gelang, cestoda/cacing pita/taeniasis dan trematoda (cacing
daun). Penyakit cacing sering diderita oleh anak-anak dibanding orang dewasa. Untuk itu
diperlukan pencegahan yang tepat agar terhindar dari infeksi cacing usus. Pencegahan
merupakan suatu hal yang penting daripada mengobati, pencegahan timbulnya penyakit
parasit ini dimulai dari hal yang sangat kecil, misalnya Minum air yang sudah dimasak
hingga mendidihdan tertutup. Masih banyak upaya untuk pencegahan yang lainnya.
B. SARAN
1. Kepedulian terhadap lingkungan dimulai dari dini.
2. Memiliki jamban yang sesuai standar di masing-masing rumah agar tidak mudah
terkontaminasi.
3. Melakukan kebiasaan mencuci tangan bersih dengan air & sabun saat sebelum dan
setelah melakukan aktivitas yang behubungan dengan apapun itu baik makan dan
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Pane.Indah Puspitasari.2013.Kecacingan Di Indonesia.hhtps://www.scribe.com/document
/157646986/Kecacingan-Di-Indonesia.Diakses Pada Tanggal 01 Nopember 2022
Sumanto.Didik._.Nematoda Usus kelompok Soil Transmitted Helminth (STH) Dan Non STH.
https://www.academia.edu/ Nematoda-Usus-Kelompok-Soil-Transmitted-Helminth (STH)-Dan -
Non-STH.diakses tanggal 24 oktober 2022.