Dosen Pengampu
Dita Meidinata, M.S.Farm., Apt
Di susun oleh :
AKADEMI FARMASI
YAYASAN PENDIDIKAN FARMASI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT karena dengan rahmat dan nikmat-Nya makalah
ini dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fitokimia. Di dalam
makalah ini berisi tentang “Antelmintika”. Penulis menyadari bahwa apa yang
tertuang di dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi
penulisan, segi redaksional maupun segi pengkajian dan pemilihan bahan literatur
sebagai landasan teori. Keadaan tersebut disebabkan adanya keterbatasan dalam
diri penulis sendiri.
Penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai
pihak. Penulis ucapkan terima kasih bagi mereka yang telah memberikan bantuan
dan pengarahan dalam penyelesaian makalah ini. Dan penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Tegur sapa serta kritik membangun penulis terima dengan senang hati demi
perbaikan di masa depan.
Penulis
BAB I
PENDAHULAN
ANTELMINTIK
Infeksi cacing ini Apabila dicermati lebih lanjut pengaruhnya bisa sangat
mengganggu, terutama pada anak-anak yang dalam masa pertumbuhan, infeksi
ringannya, dapat mengakibatkan anemia dengan berbagai manifestasi kilinis, baik
yang terlihat secara nyata maupun yang tidak terlihat. Kasus infeksi yang sedang
sampai berat bisa mengakhibatkan adanya gangguan penyerapan pada usus dan
gangguan beberapa fungsi organ dalam. Gangguan yan ditimbulkan mulai dari yang
ringan tanpa gejala hingga sampai yang berat bahkan sampai mengancam jiwa.
Secara umum gangguan nutrisi atau anmeia dapat terjadi pada penderita. Hal ini
secara tidak langsung akan mengakibatkan gangguan kecerdasan pada anak.Karena
itu, cacingan masih menjadi masalah kesehatan mendasar di negeri ini.
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan suatu upaya bersama dan juga
kesadaran dalam menanggulangi penyakit ini. Salah satunya dengan Penggunaan
antihelmintik atau obat anti cacing yang merupakan salah satu upaya
penanggulangan infeksi cacingan. Sebagian besar antihelmintik efektif terhadap
satu macam jenis cacing, sehingga diperlukan diagnosis yang tepat sebelum
menggunakan obat tertentu. pemberian antihelmintik haruslah mengikut indikasi-
indikasi tertentu. Untuk mengobati cacingan, banyak obat anti cacing diberikan
yang bertujuan untuk mengeluarkan cacing segera bersama tinja hanya dalam dosis
sekali minum. Obat anti-cacing yang dipilih harus diperhatikan benar karena tidak
semuanya cocok pada anak maupun orang dewasa. Pemberian obat anti cacing
tanpa dasar justru akan merugikan penderita yang mana akan memperberat kerja
hati. Diagnosis harus dilakukan dengan menemukan telur/larva dalam tinja, urin,
sputum dan darah atau keluarnya cacing dewasa melalui anus,mulut atau lainnya.
Maka dari itu penggunaan antihelmintik sangat diperlukan dalam memberantas dan
mengurangi cacing dalam organ atau jaringan tubuh.
ANTI AMOEBA
Amuba adalah parasit yang terdapat dalam makanan dan minuman yang
tercemar, kemudian tertelan oleh manusia, dan menetap di usus yang dapat menimbulkan
infeksi pada usus, penularan amuba ini sering terjadi karena seseorang yang tidak dapat
menjaga kebersihan pada dirinya dan lingkungannya. Maka dari itu, kami membuat
makalah ini agar para pembaca dapat lebih mengetahui bagaimana cara mencegah agar
parasit – parasit yang merugikan tidak masuk kedalam tubuh.
BAB II
ANTELMINTIKA
A. Pengertian
Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas
atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. Sebagian besar obat
cacing efektif terhadap satu macam kelompok cacing, sehingga diperlukan
diagnosis yang tepat sebelum menggunakan obat tertentu. Diagnosis dilakukan
dengan menemukan cacing, telur cacing dan larva dalam tinja, urin, sputum, darah
atau jaringan lain penderita. Sebagian besar obat cacing diberikan secara oral yaitu
pada saat makan atau sesudah makan dan beberapa obat cacing perlu diberikan
bersama pencahar. Penularan penyakit cacing umumnya terjadi melalui mulut,
meskipun ada juga yang melalui luka dikulit. Larva dan telur cacing ada di mana-
mana di atas tanah, terutama bila sistim pembuangan kotoran belum memenuhi
syarat-syarat hygiene. Gejala penyakit cacing sering kali tidak nyata. Umumnya
merupakan gangguan lambung usus seperti mulas, kejang-kejang kehilangan nafsu
makanan pucat (anemia) dan lain- lain. Pencegahannya sebenarnya mudah sekali
yaitu :
B. Penyakit Cacing
b. Platyhelmintes
Platyhelminthes berasal dari Bahasa Yunani, dari kata Platy = pipih dan
helminthes = cacing. Jadi berarti cacing bertubuh pipih. Filum
Platyhelminthes terdiri dari sekitar 13,000 species, terbagi menjadi tiga
kelas; dua yang bersifat parasit dan satu hidup bebas. Planaria dan kerabatnya
dikelompokkan sebagai kelas Turbellaria. Cacing hati adalah parasit
eksternal atau internal dari Kelas Trematoda. Cacing pita adalah parasit
internal dari kelas Cestoda. Umumnya, golongan cacing pipih hidup di
sungai, danau, laut, atau sebagai parasit di dalam tubuh organisme lain.
Platyhelminthes yang hidup bebas adalah di air tawar, laut, dan tempat-
tempat yang lembab, sedangkan Platyhelminthes yang parasit hidup di dalam
tubuh inangnya (endoparasit) pada siput air, sapi, babi, atau manusia.
Cacing golongan ini sangat sensitif terhadap cahaya. Beberapa contoh
Platyhelminthes adalah Planaria yang sering ditemukan di balik batuan
(panjang 2-3 cm), Bipalium yang hidup di balik lumut lembab (panjang
mencapai 60 cm), Clonorchis sinensis, cacing hati, dan cacing pita.
Struktur Tubuh
Platyhelminthes tidak memiliki rongga tubuh (selom) sehingga disebut
hewan aselomata.Tubuh pipih dorsoventral, tidak berbuku-buku, simetri
bilateral, serta dapat dibedakan antara ujung anterior dan posterior. Lapisan
tubuh tersusun dari 3 lapis (triploblastik aselomata) yaitu ektoderm yang akan
berkembang menjadi kulit, mesoderm yang akan berkembang menjadi otot –
otot dan beberapa organ tubuh dan endoderm yang akan berkembang menjadi
alat pencernaan makanan.
Sistem respirasi Platyhelminthes melalui permukaan tubuhnya. Sistem
pencernaan terdiri dari mulut, faring, dan usus (tanpa anus), usus bercabang-
cabang ke seluruh tubuhnya. Platyhelminthes tidak memiliki sistem peredaran
darah (sirkulasi) dan alat ekskresinya berupa sel-sel api. Kelompok
Platyhelminthes tertentu memiliki sistem saraf tangga tali. Sistem saraf tangga
tali terdiri dari sepasang simpul saraf (ganglia) dengan sepasang tali saraf yang
memanjang dan bercabang-cabang melintang seperti tangga. Organ reproduksi
jantan (testis) dan organ betina (Ovarium). Cacing pipih dapat bereproduksi
secara aseksual dengan membelah diri dan secara seksual dengan perkawinan
silang, platyhelminthes terdapat dalam satu individu sehingga disebut hewan
hermafrodit.
Klasifikasi
Filum Platyhelminthes terbagi menjadi tiga kelas, yaitu:
1) Turbellaria (berambut getar)
Contoh: Planaria sp
2) Trematoda (cacing hisap)
Contoh: Fasciola hepatica (cacing hati)
3) Cestoda (cacing pita)
Contoh: Taenia solium, Taenia saginata
Planaria sp
Cacing ini dipakai sebagai contoh yang mewakili anggota kelas Turbellaria
pada umumnya. Anggota genus Dugesia, yang umumnya dikenal sebagai
Planaria, berlimpah dalam kolam dan aliran sungai yang tidak terpolusi.
Planaria mempunyai kebiasaan berlindung di tempat-tempat yang teduh,
misalnya di balik batu-batuan, di bawah daun yang jatuh ke dalam air. Bentuk
tubuh anggota ini adalah pipih dorsoventral, dengan bagian kepala yang
berbentuk seperti segitiga, sedangkan bagian ekornya berbentuk meruncing
yang panjang tubuh sekitar 5-25 mm.
Planaria memangsa hewan yang lebih kecil atau memakan hewan-hewan
yang sudah mati. Planaria dan cacing pipih lainnya tidak memiliki organ yang
khusus untuk pertukaran gas dan sirkulasi. Bentuk tubuhnya yang pipih itu
menempatkan semua sel-sel berdekatan dengan air sekitarnya, dan percabangan
halus rongga gastrovaskuler mengedarkan makanan ke seluruh hewan tersebut.
Sistem saluran pencernaan makanan terdiri dari mulut, faring, oesofagus,
dan usus. Mulut, terletak di bagian ventral dari tubuh, yaitu kira-kira dekat
dengan pertengahan agak ke arah ekor. Lubang mulut ini dilanjutkan oleh
kantung yang bentuknya silindris memanjang yang disebut rongga mulut
(Faring). Oesofagus merupakan persambungan daripada faring yang langsung
bermuara kedalam usus; ususnya bercabang tiga, yaitu menuju ke arah anterior,
sedang yang dua lagi sejajar menuju ke arah posterior.
Seperti halnya hewan tingkat rendah lainnya, Planaria juga belum
mempunyai alat pernafasan yang khusus. Pengambilan O2 maupun pengeluaran
CO2 secara osmosis langsung melalui seluruh permukaan tubuh.
Sistem ekskresi terdiri dari 2 tabung ekskresi longitudinal yang mulai dari
sel-sel nyala (flame cells) yang di bagian anteriornya berhubungan silang.
Seluruh sistem ini terbuka ke luar melalui porus ekskretorius. Flame cells atau
sel-sel api berfungsi sebagai alat ekskresi yang membuang zat-zat sampah yang
merupakan sisa-sisa metabolisme dan juga sebagai alat osmoregulasi dalam arti
ikut membantu mengeluarkan ekses-ekses penumpukan air di dalam tubuh,
sehingga nilai osmosis tubuh tetap dapat dipertahankan seperti ukuran normal.
Sistem saraf terdiri dari 2 batang saraf yang membujur memanjang, yang di
bagian anteriornya berhubungan silang, dan 2 ganglion anterior yang terletak
dekat di bawah mata. Ganglion berfungsi sebagai otak dalam arti bertindak
sebagai pusat susunan saraf serta mengkoordinir aktivitas-aktivitas anggota
tubuh. Seonggok ganglion tersebut letaknya di bagian kepala persis di bawah
lapisan epidermis agak di sebelah bintik mata. Ganglion ini karena terletak di
bagian kepala dan berfungsi sebagai otak maka biasa disebut ganglion kepala
atau ganglion cerebral. Dari ganglin cerebral ini keluarlah cabang-cabang urat
saraf secara radier menuju ke arah lateral, anterior, dan pasterior. Cabang
anterior menuju ke bagian bintik mata, cabang lateral menuju ke alat indera
cemoreseptor, sedangkan cabang posterior ada satu pasang kanan kiri yang
saling bersejajar yang membentang di bagian ventral tubuh yang disebut tali
saraf.
Planaria sudah mempunyai alat indera yang berupa bintik mata, dan indera
aurikel, yang kedua-duanya terletak di bagian kepala. Bintik mata merupakan
titik hitam yang terletak di bagian dorsal daripada bagian kepala. Masing-
masing bintik mata terdiri dari sel-sel pigmen yang tersusun dalam bentuk
mangkok yang dilengkapi dengan sel-sel saraf sensorik yang sangat sensitif
terhadap sinar. Bintik mata itu sekedar dapat membedakan gelap dan terang
saja. Planaria bersifat hermafrodit, terdapat alat kelamin jantan dan betina.
Alat kelamin jantan terdiri dari;
1. Testis, yang berjumlah ratusan, berbentuk bulat tersebar di sepanjang
sisi tubuh keduanya.
2. Vasa eferensia, yang merupakan pembuluh yang menghubungkan testis
dengan bagian pembuluh lainnya.
3. Vasa deferensia, merupakan pembuluh berjumlah dua buah yang
masing-masing membentang di setiap sisi tubuh yang kedua-duanya
saling bertemu dan bermuara ke dalam suatu kantung yang disebut
vesiculus seminalis.
4. Vesiculus seminalis, berfungsi untuk menampung sperma dan
menyalurkan sperma menuju ke penis.
5. Penis, yang merupakan alat pentransfer ke tubuh waktu mengadakan
kopulasi pada perkawinan silang.
Sistem alat kelamin betina terdiri dari atas bagian-bagian seperti berikut:
1. Ovari, berjumlah dua buah, berbentuk bulat terletak di bagian anterior
tubuh.
2. Oviduct, dari setiap ovarium akan membentang ke arah posterior sebuah
saluran yang disebut oviduct (saluran telur). Antara saluran telur kanan
dan kiri saling bersejajar yang masing-masing dilengkapi dengan
kelenjar yang menghasilkan kuning telur.
3. Kelenjar kuning telur, menghasilkan kuning telur yang akan disediakan
bagi sel telur bila telah diproduksi oleh ovarium.
4. Vagina, merupakan suatu aliran yang berfungsi untuk menerima transfer
spermatozoid dari cacing planaria lain.
5. Uterus, merupakan ruangan yang bentuknya menggelembung yang
berfungsi untuk menyimpan spermatozoid. Uterus juga biasa disebut
receptaculus seminalis.
6. Genital atrium (ruang genitalis) yaitu muara antara kedua buah saluran
telur.
7. Planaria berkembang biak dengan cara seksual maupun aseksual.
Planaria akan menghindarkan diri bila terkena sinar yang kuat, oleh
karena itu pada siang hari cacing itu melindungkan diri di bawah
naungan batu-batu atau daun atau di bawah objek yang lain. Pada waktu
istirahat biasanya Planaria melekatkanatau menempelkan diri pada
suatu objek dengan bantuan zat lendir yang dihasilkan oleh kelenjar-
kelenjar lendir. Planaria melakukan dua macam gerak, yaitu gerak
merayap dan meluncur.
Larva, yang dilengkapi dengan scolex akan berkembang menjadi kista pada
jaringan tubuh inang, misal pada otot. Manusia yang memakan daging yang
terinfeksi, akan menyebabkan kista berkembang menjadi cacing pita dewasa
Cacing pita dewasa terdiri dari scolex dan proglotid.Proglotid pada bagian
ujung mengandung telur yang telah dibuahi yang siap dikeluarkan bersama
feses untuk menginfeksi kembali Di dalam telur yang telah dibuahi, embrio
berkembang menjadi larva. Sapi mungkin akan memakan telur bersama rumput
dan akan menjadi inang sementara bagi cacing pita.
1) Gejala Umum
Perut buncit, badan kurus, rambut seperti rambut jagung, lemas dan cepat lelah,
muka pucat, serta mata belekan. sakit perut, diare berulang dan kembung, kolik
yang tidak jelas dan berulang.
2) Gejala Khusus
1. Cacing Gelang (Ascarislum bricoides)
Sering kembung, mual, dan muntah-muntah. Kehilangan nafsu makan
dibarengi diare, akibat ketidakberesan di saluran pencernaan. Pada kasus yang
berat, penderita mengalami kekurangan gizi. Cacing gelang yang jumlahnya
banyak, akan menggumpal dan berbentuk seperti bola, sehingga menyebabkan
terjadinya sumbatan di saluran pencernaan.
Cacing tambang menetas di luar tubuh manusia, larvanya masuk kedalam tubuh
melalui kulit. Cacing tambang yang hidup menempel di usus halus menghisap darah
si penderita. Gejala yang biasa muncul adalah lesu, pucat, dan anemia berat.
4. Cacing Kremi (Enterobius Vermicularis)
Telur cacing ini masuk ke dalam tubuh melalui mulut, lalu bersarang di usus
besar. Setelah dewasa, cacing berpindah ke anus. Dalam jumlah banyak, cacing ini
bisa menimbulkan gatal-gatal di malam hari. Tidak heran bila si kecil nampak rewel
akibat gatal-gatal yang tidak dapat ditahan. Olesi daerah anusnya dengan baby oil
dan pisahkan semua peralatan yang bisa menjadi media penyebar, seperti handuk,
celana, pakaian.
1. Piperazin
b. Farmakokinetik
Penyerapan piperazin melalui saluran cerna, sangat baik. Sebagian obat yang
diserap mengalami metabolisme, sisanya diekskresi melalui urin. Menurut Rogers
(1958), tidak ada perbedaan yang berarti antara garam sitrat, fosfat dan adipat dalam
kecepatan ekskresinya melalui urin. Tetapi ditemukan variasi yang besar pada
kecepatan ekskresi antar individu. Yang diekskresi lewat urin sebanyak 20% dan
dalam bentuk utuh. Obat yang diekskresi lewat urin ini berlangsung selama 24 jam.
Piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Pada dosis terapi umumnya
tidak menyebabkan efek samping, kecuali terkadang nausea, vomitus, diare, dan
alergi. Pemberian secara intravena menyebabkan penurunan tekanan darah selintas.
Dosis letal menyebabkan konvulsi dan depresi pernapasan. Pada takar lajak atau
pada akumulasi obat karena gangguan faal ginjal dapat terjadi inkoordinasi otot,
atau kelemahan otot, vertigo, kesulitan bicara, bingung yang akan hilang setelah
pengobatan dihentikan. Piperazin dapat memperkuat efek kejang pada penderita
epilepsi. Karena itu piperazin tidak boleh diberikan pada penderita epilepsi dan
gangguan hati dan ginjal. Pemberian obat ini pada penderita malnutrisi dan anemia
berat, perlu mendapatkan pengawasan ekstra. Karena piperazin menghasilkan
nitrosamin, penggunaannya untuk wanita hamil hanya kalau benar-benar perlu atau
kalau tak tersedia obat alternatif. Piperazin bersifat teratogenic.
Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan sirop 500 mg/ml,
sedangkan piperazin tartrat dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis dewasa pada
askariasis adalah 3,5 g sekali sehari. Dosis pada anak 75 mg/kgBB (maksimum 3,5
g) sekali sehari. Obat diberikan 2 hari berturut-turut. Untuk cacing kremi
(enterobiasis) dosis dewasa dan anak adalah 65 mg/kgBB (maksimum 2,5 g) sekali
sehari selama 7 hari. Terapi hendaknya diulangi sesudah 1-2 minggu.
2. Pirantel Pamoat
Obat ini efektif untuk cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang.
Mekanisme kerjanya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan
frekuensi imfuls, menghambat enzim kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak
baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja, <15% lewat urine. Pirantel pamoat
sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris dan Cacing tambang, tetapi tidak efektif
terhadap trichiuris. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan penerusan impuls
neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari
tubuh oleh gerak peristaltik usus. Cacing yang lumpuh akan mudah terbawa keluar
bersama tinja. Setelah keluar dari tubuh, cacing akan segera mati Resorpsinya dari
usus ringan kira – kira 50% diekskresikan dalam keadaan utuh bersamaan dengan
tinja dan lebih kurang 7% dikeluarkan melalui urin. Efek sampingnya cukup ringan
yaitu berupa mual, muntah, gangguan saluran cerna dan kadang sakit kepala.
Pemakaiannya berupa dosis tunggal, yaitu hanya satu kali diminum. Dosis
biasanya dihitung per berat badan (BB), yaitu 10 mg / kgBB. Walaupun demikian,
dosis tidak boleh melebihi 1 gr. Sediaan biasanya berupa sirup (250 mg/ml) atau
tablet (125 mg /tablet). Bagi orang yang mempunyai berat badan 50 kg misalnya,
membutuhkan 500 mg pirantel. Jadi jangan heran jika orang tersebut diresepkan 4
tablet pirantel (125 mg) sekali minum.Nama dagang pirantel pamoat yang beredar
di Indonesia bermacam-macam, ada Combantrin, Pantrin, Omegpantrin, dan lain-
lain (MIMS,1998) . Untuk dosis terhadap cacing kremi dan cacing gelang sekaligus
2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak ½ 2 tablet sesuai usia (10mg/kg). Berikut sediaan
Pirantel Pamoat :
3. Mebendazol
Mebendazol merupakan obat cacing yang paling luas spektrumnya. Obat ini
tidak larut dalam air, tidak bersifat higroskopis sehingga stabil dalam keadaan
terbuka Mebendazol adalah obat cacing yang efektif terhadap cacing Toxocara
canis, Toxocara cati, Toxascaris leonina. Trichuris vulpis, Uncinaria
stenocephala, Ancylostoma caninum, Taenia pisiformis, Taenia hydatigena,
Echinococcus granulosus dan aeniaformis hydatigena. Senyawa ini merupakan
turunan benzimidazol, obat ini berefek pada hambatan pemasukan glukosa ke
dalam cacing secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen dalam
cacing. Mebendazol juga dapat menyebabkan kerusakan struktur subseluler dan
menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing.
1. Farmakokinetika
Mebendazol tidak larut dalam air dan rasanya enak. Pada pemberian oral
absorbsinya buruk. Obat ini memiliki bioavailabilitas sistemik yang rendah yang
disebabkan oleh absorbsinya yang rendah dan mengalami first pass hepatic
metabolisme yang cepat. Diekskresikan lewat urin hanya sekitar 2% dari dosis
dalam bentuk yang utuh dan metabolit sebagai hasil dekarboksilasi dalam waktu 48
jam. Absorbsi mebendazol akan lebih cepat jika diberikan bersama lemak.
1. Interaksi
Antiepileptics
Fenitoin atau karbamazepin telah dilaporkan dapat menurunkan konsentrasi
plasma-mebendazol pada pasien yang menerima dosis tinggi untuk mengobati
echinococcosis, mungkin sebagai akibat dari induksi enzim.
Histamin H2-antagonis
Konsentrasi plasma mebendazol dapat meningkat ketika diberikan bersama dengan
enzim inhibitor yaitu simetidin.
1. Penggunaan Klinis
Capillariasis
Mebendazole dengan dosis 200 mg dikonsumsi dua kali sehari selama 20 hari dapat
digunakan untuk mengobati capillariasis.
Echinococcosis
Mebendazole telah digunakan dalam pengobatan echinococcosis tetapi albendazole
lebih disukai. Biasaya dosis mebendazole untuk mengobati cystic echinococcosis
yaitu 40-50 mg/kg setiap hari selama least 3- 6 bulan. Mebendazole telah digunakan
dalam pengobatan toxocariasis dan efek samping yang ditimbulkan oleh
mebendazole memiliki kejadian yang lebih rendah dari tiabendazole dan dengan
dietilkarbamazin.
Strongyloidiasis
Mebendazole telah digunakan untuk pengobatan dari strongyloidiasis tetapi perlu
diberikan untuk jangka waktu yang lebih lama dari albendazole untuk mengontrol
auto-infeksi, sehingga albendazole lebih disukai.
4. Tiabendazol
5. Invermektin
1. Farmakokinetik
1. Penggunaan Klinis
Loiasis
Ada penelitian yang menyatakan bahwa terjadi penurunan microfilaraemia setelah
pengobatan ivermectin pada pasien dengan loiasis, tetapi ada kekhawatiran
berpotensi terjadi neurotoksisitas pada pasien.
Strongyloidiasis
Ivermektin 200 mikrogram / kg dengan dosis tunggal, atau harian pada dua hari
berturut-turut, digunakan untuk pengobatan dari strongyloidiasis.
6. Albendazole
Albendazole tidak mempunyai efek farmakologis pada manusia. Obat ini (yang
bersifat teratogenik dan embriotoksik pada beberapa spesies hewan) tidak diketahui
tingkat keamanannya pada wanita hamil. Albendazol kontra indikasi terhadap ibu
hamil.
1. Farmakokinetik
Absorpsi albendazol kurang baik pada saluran pencernaan namun absorpsi dapat
meningkat dengan adanya makanan berlemak.Albendazol secara cepat mengalami
first-pass metabolism. Metabolit albendazol sulfoksida memiliki aktivitas
antelmintik dan waktu paruh sekitar 8,5 jam. Berikatan dengan protein plasma
sebesar 70%. Albendazol sulfoxid dieliminasikan di empedu dan hanya sedikit yang
dieksresikan melalui urin.
Interaksi
1. Albendazol – Anthelmintik
Konsentrasi plasma albendazol sulfoksida dapat meningkat apabila erinteraksi
dengan praziquantel.
2. Albendazol – Kortikosteroid
Konsentrasi plasma dari metabolit aktif albendazol yaitu albendazol sulfoksida
dapat meningkat sebanyak 50% apabila berinteraksi dengan dexamethasone.
3. Histamin H2-antagonis
Konsentrasi albendazol sulfoksida ditemukan meningkat di dalam empedu dan
cairan kista hydatid (pada penyakit hydatid) saat albendazole diberikan dengan
simetidin, yang dapat meningkatkan efektivitas dalam pengobatan echinococcosis.
1. Penggunaan Klinis
Ascariasis
Albendazole dengan dosis 400 mg setiap hari selama 10 hari telah disarankan
sebagai alternatif menggantikan mebendazole untuk pengobatan capillariasis.
Loiasis
Albendazole telah diteliti untuk mengurangi mikro filariasis pada pasien terinfeksi
Loa loa.
Mikrosporidiosis
Albendazol telah dicoba dalam pengobatan dari infeksi protozoa mikrosporidiosis
pada pasien AIDS. Albendazol juga telah digunakan secara empiris dalam
pengobatan terkait infeksi dan komplikasi HIV.
Echinococcosis
Prazikuantel
Cestoda atau cacing pita, bertubuh pipih, bersegmen dan melekat pada usus
pejamu. Sama dengan trematoda, cacing pita tidak mempunyai mulut dan usus
selama siklusnya.
Niklosamid
Niklosamid adalah obat pilihan untuk infeksi cestoda (cacing pita) pada umumnya.
Farmakokinetik
Niklosamida adalah obat cacing yang aktif terhadap kebanyakan cacing pita,
termasuk cacing pita daging sapi (Taenia saginata), cacing pita babi (T. solium),
cacing pita ikan (Diphyllobothrium latum) dan cacing pita anjing (Dipylidium
caninum). Niklosamid juga dapat diberikan untuk infeksi dengan cacing pita kerdil,
Hymenolepis nana.
ANTIAMOEBA
A. Pengertian
Amuba adalah parasit yang terdapat dalam makanan dan minuman yang
tercemar, kemudian tertelan oleh manusia dan menetap di usus yang dapat
menimbulkan infeksi pada usus.
Amubiasis adalah penyebab yang umum dari diare akut maupun diare
kronik. Pengertian dari diare akut sendiri yaitu diare yang menetap lebih dari 3-5
hari yang disertai oleh nyeri perut, kram perut, demam tidak begitu tinggi, nyeri
pada buang air besar, dan faeces berupa darah disertai lendir. Sedangkan diare
kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 3 minggu, penanganan diarue
kronik bersifat lebih kompleks dan menyeluruh dibandingkan diare akut dan
mengharuskan rujukan kepada dokter ahli, penderita juga dapat mengalami
kesukaran buang air besar.
Penularan amubasis dapat melalui makanan yang tercemar Krista dewasa, tetapi
dapat juga terjadi melalui hubungan seks pada kaum homoseksual. Begitupula pada
keadaan hamil, malnutrisi dan penderita gangguan imunologi.
a. Bentuk kista
Bentuk kista merupakan bentuk yang tidak aktif dari amuba yang memiliki
membran pelindung yang ulet dan tahan getah lambung. Bentuk kista
dibentuk dirongga usus besar. Bentuk kista berukuran 10-20 mikron,
berbentuk bulat atau lonjong, mempunyai dinding kista dan ada inti
entamoeba. Bentuk kista ini tidak patogen, tetapi dapat merupakan bentuk
infektif.
b. Bentuk minuta
c. Bentuk histolitika
C. Pencegahan Amubiasis
E. Penggolongan obat
a) Amubiasid kontak atau lumen yaitu obat yang bekerja di lumen usus atau
aktif terhadap amubiasis intestinal. Contoh: Dihidroemetin dan Emetin
b) Amubiasid jaringan atau histolitika yaitu obat yang bekerja pada jaringan
intestinum atau organ lainnya. Contoh: Diloksanidfurocid dan Antibiotika
c) Amubiasid kombinasi yaitu efektif terhadap amubiasid lumen maupun
jaringan. Contoh: Derivate nitroimidazol seperti metronidazole dan
nimorazole.
a. Emetin Hidroklorida
Farmakokinetik :
Diserap baik dari tempat injeksi lalu dimetabolisme dan dieksresi secara
lambat, sehingga emetin sudah ditemukan diurin 20-40 menit setelah suntikan dan
masih ditemukan 40-60 hari setelah pengobatan dihentikan
Efek samping:
Hamil
Penyakit jantung
Penyakit ginjal
b. Klorokuin
Mekanisme kerja :
Mual
Diare
Muntah
Sakit kepala
Dosis :
Untuk orang dewasa adalah 1 gram sehari selama 2 hari, kemudian 500 mg sehari
selama 2 sampai 3 minggu dan efektif untuk amubiasis hati.
c. Metronidazol
Farmakokinetik :
Absorbsi peroral baik. 1 jam setelah 500 mg diberikan oral, kadar plasma
10ug/mL. untuk protozoa & bakteri sensitif hanya diperlukan kadar plasma 8
ug/mL, t1/2 8-10 jam. Diekresi lewat urin, air liur, ASI &cairan vagina &seminalis
dalam kadar rendah. Urin mungkin berwarna gelap karena mengandung pigmen yg
larut air
Efek samping :
Sakit kepala, mual, mulut kering, kecap logam, lidah berselaput, glositis,
stomatitis,vertigo, ataksia, parestesia, flushing, pruritus, disuria dll, kadang
dijumpai netropenia
Kontra indikasi : Hamil sebaiknya dihindarkan, walaupun belum ada bukti efek
teratogeniknya
Indikasi :
Amubiasis
Trikonomiasis & infeksi bakteri anaerob
Giardiasis
Profilakis bedah abdomen
Kolitis pseudomembranosa oleh clostridium defficile
Dosis:
PENUTUP
Kesimpulan
1. Infeksi cacing atau biasa disebut dengan penyakit cacingan termasuk dalam
infeksi yang di sebabkan oleh parasit. Parasit adalah mahluk kecil yang
menyerang tubuh inangnya dengan cara menempelkan diri (baik di luar atau
di dalam tubuh) dan mengambil nutrisi daritubuh inangnya.
Jenis-jenis cacing yang dapat menginfeksi adalah :
2. Gejala umum jika terinfeksi cacing adalah timbulnya rasa mual, lemas,
hilangnya nafsu makan, rasa sakit di bagian perut, diare, dan turunnya berat
badan karena penyerapan nutrisi yang tidak mencukupi dari makanan. Pada
infeksi yang lebih lanjut apabila cacing sudah berpindah tempat dari usus
ke organlain, sehingga menimbulkan kerusakan organ & jaringan, dapat
timbul gejala demam, adanya benjolan di organ/jaringan tersebut, dapat
timbul reaksi alergi terhadap larva cacing, infeksi bakteri, kejang atau gejala
gangguan syaraf apabila organ otak sudah terkena.
3. Mekanisme kerja obat cacing yaitu dengan menghambat proses penerusan
impuls neuromuskuler sehingga cacing dilumpuhkan. Mekanisme lainnya
dengan menghambat masuknya glukosa dan mempercepat penggunaan
(glikogen pada cacing)
4. Obat-obat penyakit cacing diantaranya : Mebendazol, Tiabendazol,
Albendazol, Piperazin, Dietilkarbamazin, Pirantel, Oksantel, Levamisol,
Praziquantel ,iklosamida, Ivermektin.
5. Anti amuba adalah obat-obat yang digunakan untuk mengobati penyakit
yang disebabkan oleh mikroorganisme ber sel tunggal (protozoa), yaitu
Entamoeba Histolitica yang dikenal dengan disentri amoeba. Amoeba
adalah parasit yang terdapat dalam makanan dan minuman yang tercemar,
kemudian tertelan manusia, dan menetap di usus yang dapat menimbulkan
infeksi pada usus, bila pengobatan tidak tepat dapat menjalar organ-organ
lain, misalnya jantung dan hati.
6. Obat anti amoeba antara lain : Metronidazole, Chloroquin, Emetin
Hidroklorida.
DAFTAR PUSTAKA
Kasim F, Yulia T, Kosasih. ISO Indonesia volume 44. Jakarta : Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia ; 2009.
Katzung BG. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3. Jakarta : EGC ;1989.
Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi VIII. Jakarta: Salemba Medika ;
2002.
Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta :
Widya Medika ; 2001.
Sweetman SC. Martindale : The Complete Drug Reference. Thirty Sixth Edition.
London : The Pharmaceutical Press ; 2009.
Tjay TH, Rahardja K. Obat – Obat Penting. Jakarta : Elex Media Komputindo ;
2002.
http://analisbanjarmasin.blogspot.com/2010/08/siklus-hidup-entamoeba-
histolitica.html (diakses tanggal 03 Februari 2020)