Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH FARMAKOLOGI

“ ANTELMINTIK DAN ANTIAMUBA”

Dosen Pengampu
Dita Meidinata, M.S.Farm., Apt

Di susun oleh :

Muhammad Nur Mutaqqin (18. 44238.1002)


Ismayanti (18. 44238.1003)
Ivony Laksmini Dewi (18. 44238. 1027)

AKADEMI FARMASI
YAYASAN PENDIDIKAN FARMASI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena dengan rahmat dan nikmat-Nya makalah
ini dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fitokimia. Di dalam
makalah ini berisi tentang “Antelmintika”. Penulis menyadari bahwa apa yang
tertuang di dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi
penulisan, segi redaksional maupun segi pengkajian dan pemilihan bahan literatur
sebagai landasan teori. Keadaan tersebut disebabkan adanya keterbatasan dalam
diri penulis sendiri.
Penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai
pihak. Penulis ucapkan terima kasih bagi mereka yang telah memberikan bantuan
dan pengarahan dalam penyelesaian makalah ini. Dan penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Tegur sapa serta kritik membangun penulis terima dengan senang hati demi
perbaikan di masa depan.

Bandung, Februari 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULAN

ANTELMINTIK

Cacingan masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di


Indonesia. Prevalensi penyakit cacingan berkisar 60% – 90% tergantung lokasi
higienis, sanitasi peribadi dan lingkungan penderita. Tingginya prevalensi ini
disebabkan oleh iklim tropis dan kelembaban udara yang tinggi di Indonesia.
Lokasi yang tidak higienis dan sanitasi yang rendah menjadi lingkungan yang baik
untuk perkembangan cacing. Beberapa daerah di Indonesia terutama di daerah
pedalaman belum semua mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, kasus
infeksi cacing yang kronik banyak ditemukan di daerah pedalaman yang secara latar
belakang pengetahuan kesehatan dan pendidikan rendah.

Infeksi cacing ini Apabila dicermati lebih lanjut pengaruhnya bisa sangat
mengganggu, terutama pada anak-anak yang dalam masa pertumbuhan, infeksi
ringannya, dapat mengakibatkan anemia dengan berbagai manifestasi kilinis, baik
yang terlihat secara nyata maupun yang tidak terlihat. Kasus infeksi yang sedang
sampai berat bisa mengakhibatkan adanya gangguan penyerapan pada usus dan
gangguan beberapa fungsi organ dalam. Gangguan yan ditimbulkan mulai dari yang
ringan tanpa gejala hingga sampai yang berat bahkan sampai mengancam jiwa.
Secara umum gangguan nutrisi atau anmeia dapat terjadi pada penderita. Hal ini
secara tidak langsung akan mengakibatkan gangguan kecerdasan pada anak.Karena
itu, cacingan masih menjadi masalah kesehatan mendasar di negeri ini.

Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan suatu upaya bersama dan juga
kesadaran dalam menanggulangi penyakit ini. Salah satunya dengan Penggunaan
antihelmintik atau obat anti cacing yang merupakan salah satu upaya
penanggulangan infeksi cacingan. Sebagian besar antihelmintik efektif terhadap
satu macam jenis cacing, sehingga diperlukan diagnosis yang tepat sebelum
menggunakan obat tertentu. pemberian antihelmintik haruslah mengikut indikasi-
indikasi tertentu. Untuk mengobati cacingan, banyak obat anti cacing diberikan
yang bertujuan untuk mengeluarkan cacing segera bersama tinja hanya dalam dosis
sekali minum. Obat anti-cacing yang dipilih harus diperhatikan benar karena tidak
semuanya cocok pada anak maupun orang dewasa. Pemberian obat anti cacing
tanpa dasar justru akan merugikan penderita yang mana akan memperberat kerja
hati. Diagnosis harus dilakukan dengan menemukan telur/larva dalam tinja, urin,
sputum dan darah atau keluarnya cacing dewasa melalui anus,mulut atau lainnya.
Maka dari itu penggunaan antihelmintik sangat diperlukan dalam memberantas dan
mengurangi cacing dalam organ atau jaringan tubuh.
ANTI AMOEBA
Amuba adalah parasit yang terdapat dalam makanan dan minuman yang
tercemar, kemudian tertelan oleh manusia, dan menetap di usus yang dapat menimbulkan
infeksi pada usus, penularan amuba ini sering terjadi karena seseorang yang tidak dapat
menjaga kebersihan pada dirinya dan lingkungannya. Maka dari itu, kami membuat
makalah ini agar para pembaca dapat lebih mengetahui bagaimana cara mencegah agar
parasit – parasit yang merugikan tidak masuk kedalam tubuh.
BAB II

ANTELMINTIKA

A. Pengertian

Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas
atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. Sebagian besar obat
cacing efektif terhadap satu macam kelompok cacing, sehingga diperlukan
diagnosis yang tepat sebelum menggunakan obat tertentu. Diagnosis dilakukan
dengan menemukan cacing, telur cacing dan larva dalam tinja, urin, sputum, darah
atau jaringan lain penderita. Sebagian besar obat cacing diberikan secara oral yaitu
pada saat makan atau sesudah makan dan beberapa obat cacing perlu diberikan
bersama pencahar. Penularan penyakit cacing umumnya terjadi melalui mulut,
meskipun ada juga yang melalui luka dikulit. Larva dan telur cacing ada di mana-
mana di atas tanah, terutama bila sistim pembuangan kotoran belum memenuhi
syarat-syarat hygiene. Gejala penyakit cacing sering kali tidak nyata. Umumnya
merupakan gangguan lambung usus seperti mulas, kejang-kejang kehilangan nafsu
makanan pucat (anemia) dan lain- lain. Pencegahannya sebenarnya mudah sekali
yaitu :

1. Menjaga kebersihan baik tubuh maupun makanan.


2. Mengkonsumsi makanan yang telah di masak dengan benar (daging,
ikan).
3. Mencuci tangan sebelum makan.

B. Penyakit Cacing

Di negara berkembang seperti indonesia, penyakit cacing merupakan penyakit


rakyat umum. Infeksinya pun dapat terjadi secara simultan oleh beberapa cacing
sekaligus. Infeksi cacing umumnya terjadi melalui mulut, kadang langsung melalui
luka di kulit (cacing tambang, dan benag) atau lewat telur (kista) atau larva cacing,
yang ada dimana-mana di atas tanah. Infeksi yang disebabkan oleh cacing kelas
nematode usus khususnya yang penularan mealalui tanah, diantaranya Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang)
dan Strongyloides stercorali.

C. Infeksi Parasit Cacing (Kecacingan)

a) Infeksi Parasit Cacing


Cacing parasit adalah cacing yang hidup sebagai parasti organisme lain,
baik hewan maupun manusia. Mereka adalah organisme yang hidup dan makan
pada tubuh yang ditumpangi serta menerima makanan dan perlindungan
sementara menyerap nutrisi tubuh yang ditumpangi. Penyerapan ini
menyebabkan kelemahan dan penyakit. Penyakit yang diakibatkan oleh cacing
parasit biasanya disebut secara umum sebagai cacingan. Caring parasit
umumnya merupakan anggota Castoda, Nematoda dan Trematoda.

b) Inang, Vektor Dan Parasit


Merupakan hal yang berkaitan dan saling berhubungan satu dengan yang
lainnya sehingga muncul aspek infeksi, dalam infeksi parasit cacing terdapat
tiga aspek yang saling terkait, diantaranya ;
a. Inang
Inang dalam biologi adalah organisme yang ditumpangi oleh parasit
yang disebut inang, atau organisme yang menampung virus, parasit,
patner mutualisme atau partner komensalisme, umunya dengan
menyediakan makanan dan tempat berlindung. Contohnya suatu sel dapat
menjadi inang bagi virus, gulma dapat menjadi inang bagi bakteri
pengikat nitrogen dan hewan dapat menjadi inang bagi cacing parasitik
seperti nematoda.
b. Vektor
Vektor adalah organisme yang tidak menyebabkan penyakit tapi
menyebarkan dengan membawa patogen dari satu inang ke yang lain.
berbagai jenis nyamuk, sebagai contoh berperan sebagai vektor penyakit
malaria yang mematikan. Pengertian tradisional dalam kedokteran ini
sering disebut vektor biologi dalam epidemiologi dan pembicaraan umum.
c. Parasit
Parasit adalah hewan renik yang dapat menurunkan produktivitas hewan
yang ditumpanginya. Parasit dapat menyerang manusia dan hewan, seperti
menyerang kulit manusia. Parasitoid adalah parasit yang mengggunakan
jaringan organisme lain untuk kebutuhan nutrisi mereka sampai orang
yang ditumpangi meninggal karena kehilangan jaringan atau nutrisi yang
dibutuhkan. Parasitoid juga diketahui sebagai necrotroph.
D. Epidemiologi Dari Infeksi Parasit Cacing (Kecacingan)

Cacingan, salah satu penyakit yang tergolong tinggi kejadiannya. Penyebab


hewan parasit berukuran mikro yang mengambil makanan dari usus yang berisi
banyak sari makanan. Cacing masuk ketubuh dalam fase larva merupakan
penyakit endemis dan kronis yang bisa meningkatkan tajam pada waktu musim
hujan dan banjir.
Larva cacing biasanya menyebar keberbagai tubuh melalui dua jalan yakni
mulut saat makan makanan yang tidak dicuci bersih dan dimasak setelah
terkontaminasi lalat yang membawa larva cacing, serta lewat pori – pori saat
anak tak memakai alas kaki ketika berjalan ditanah. Lewat cara ini larva masuk
kepembuluh darah dan sampai ditempat yang memungkinkan
perkembangannya seperti diusus, paru-paru hati dsb.
Perkembangannya membutuhkan waktu 1-3 minggu ditubuh manusia.
Tahapan selanjutnya penderita biasanya kondisi gizi menurun sehingga
kesehatan mereka terganggu. Bila dibiarkan terlihat kulit anak pucat, tubuh
makin kurus serta perut membuncit karena kekurangan protein. Pada kondisi
sangat berat, cacingan bisa menimbulkan peradangan pada pari – paru yang
ditandai dengan batuk dan sesak, sumbatan di usus, gangguan hati, kaki gajah,
dan perforasi usus. Pada keadaan ini obat cacing tidak lagi membantu secara
optimal. Cacingan banyak didapati pada daerah dimana kondisi kebersihannya
dibawah standar.
Cacing penyebab penyakit ini antara lain cacing gelang banyak ditemukan
di daerah tropis berkelembapan tinggi. Cacing ini hidup diusus halus dan hanya
hidup didalam tubuh manusia. Selain cacing gelang ada juga cacing cambuk
yang banyak di temukan didaerah tropis. Perbedaannya adalah tempat hidupnya
yang lebih sering di usus besar dan sering dikaitkan dengan penyakit usus buntu
pada anak. Jenis lainnya cacing tambang sebagai jenis terbanyak ditemukan
penyebarannya di seluruh duinia, biasannya masuk melalui pori – pori lewat
tanah dan dipinjak, kemudian cacing kremi sering menimbulkan gatal pada
daerah anus serta cacing pita yang siklus hidupnya sedikit berbeda karena hidup
ditubuh hewan seperti sapi, babi dan menyebar lewat konsumsi daging yang
tidak dimasak secara benar.

Parasit Cacing Pada Manusia


Cacing yang merupakan parasit manusia dibagi dalam 2 kelompok, yakni ;
a. Nematoda.
Ciri – cirinya bertubuh bulat, tidak bersegmen memiliki rongga tubuh
dengan saluran cerna dan kelamin terpisah. Infeksi cacing ini disebut
ancylostomiasis (cacing tambang), trongyloidiasis, oxyuriasis ( cacing
kremi ), ascariasis (cacing gelang), dan trichuriasis (cacing cambuk).
b. Platyhelmintes.
Ciri – cirinya bentuk pipih, tidak memiliki rongga tubuh dan berkelamin
ganda. Cacing yang termasuk golongan ini adalah cacing pita (cestoda) dan
cacing pipih (trematoda).

E. Jenis-Jenis Parasit Cacing pada Manusia


a. Nematoda
Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris,
mempunyai saluran cerna yang berfungsi penuh, biasanya berbentuk silindris
serta panjangnya bervariasi dari beberapa milimeter hingga lebih dari satu
meter. Nematoda usus biasanya matang dalam usus halus, dimana sebagian
besar cacing dewasa melekat dengan kait oral atau lempeng pemotong.
Cacing ini menyebabkan penyakit karena dapat menyebabkan kehilangan
darah, iritasi dan alergi.
Soil Transmitted Helminths (STHs) adalah kelompok parasit golongan
nematoda usus yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui
kontak dengan telur cacing atau larva yang berkembang di dalam tanah
dengan kondisi yang hangat dan lembab dan umumnya terjadi pada negara-
negara dengan iklim tropis dan subtropis. STHs merupakan cacing yang
perkembangannya berada di luar tubuh manusia atau berada di tanah dan
dominan terjadi di daerah-daerah terpencil dengan kebersihan dan sanitasi
yang kurang memadai di negara-negara berkembang. STHs merupakan
kelompok cacing nematoda yang membutuhkan tanah untuk pematangan
telur atau larva yang tidak infektif menjadi telur atau larva yang infektif.

- Cacing gelang (Ascaris lumbricoides)


Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides dan tidak
ada hospes perantara. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis. Parasit
ini ditemukan kosmopolit terutama di daerah tropis. Cacing ini merupakan
cacing terbesar di antara golongan nematoda lainnya, berbentuk silindris
dengan ujung anterior lancip dimana anteriornya memiliki tiga bibir, badan
cacing berwarna kuning kecoklatan yang diselubungi lapisan kutikula bergaris
halus (Palgunadi, 2010). Cacing betina panjangnya 20-35 cm, ujung posterior
membulat dan lurus, 1/3 anterior dari tubuh ada cincin kopulasi. Cacing jantan
panjangnya 15-31 cm, ujung posterior lancip melengkung ke ventral, dilengkapi
papil kecil dan 2 spekulum. Telur memiliki 4 bentuk yaitu telur yang dibuahi,
tidak dibuahi, matang dan dekortikasi.
Di tanah dalam kondisi yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi
bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila
tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus halus yang akan
menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa kemudian
dialirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru. Setelah itu
melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui
bronchiolus dan broncus. Dari trachea, larva menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam oesofagus
menuju usus halus untuk tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut
memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing
dewasa. Prevalensi askariasis di Indonesia cukup tinggi, terutama pada anak-
anak. Frekuensinya antara 60-90%. Kebiasaan memakai feses sebagai pupuk
dapat mendukung proses penularan askariasis. Telur cacing ini banyak
ditemukan pada tanah liat dengan suhu yang berkisar antara 25°-30°C. Telur
matang (bentuk infektif) dapat bertahan lama di tanah dan media tanah
merupakan cara penularan yang paling efektif.

Gejala klinis askariasis diklasifikasikan menjadi gejala akut yang


berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut
dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh
cacing dewasa. Gejala klinis oleh larva Ascaris lumbricoides biasanya terjadi
pada saat di paru (Magdalena & Hadidjaja, 2005). Gejala klinis oleh cacing
dewasa tergantung pada jumlah cacing dan keadaan gizi penderita. Umumnya
hanya infeksi dengan intensitas yang sedang dan berat pada saluran pencernaan
yang dapat menimbulkan gejala klinis. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides
yang terdapat dalam jumlah banyak pada usus halus dapat menyebabkan
distensi abdomen dan nyeri abdomen.

Telur dan Cacing Ascaris lumbricoides

- Cacing cambuk (Trichuris trichiura)


Manusia merupakan hospes dari cacing ini. Penyakit yang disebabkannya
disebut trikuriasis. Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan di
daerah panas dan lembab seperti Indonesia. Trichuris trichiura betina memiliki
panjang sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens
dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Telur cacing
berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan
semacam tonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar
berwarna kekuning - kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi
dikeluarkan dari hospes bersama feses, kemudian menjadi matang dalam waktu
3–6 minggu di dalam tanah yang lembab. Telur matang ialah telur yang berisi
larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur
yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari
dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Setelah dewasa, cacing turun ke
usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan
mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa dan siap bertelur sekitar 30-90
hari. Prevalensi trikuriasis di beberapa daerah pedesaan di Indonesia berkisar
antara 30-90%.
Banyak penderita trikuriasis tidak memiliki gejala dan hanya didapati
keadaan eosinofilia pada pemeriksaan darah tepi. Pada trikuriasis, inflamasi
pada tempat perlekatan cacing dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan
kolitis. Kolitis akibat trikuriasis kronis dapat menyebabkan nyeri abdomen
kronis, diare, anemia defisiensi besi.

Telur dan Cacing Trichuris trichiura

- Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator Americanus)


Hospes parasit ini adalah manusia dan menyebabkan penyakit nekatoriasis
dan ankilostomiasis. Penyebaran cacing ini terjadi pada tempat dengan keadaan
yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan. Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang.
Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina mempunyai panjang sekitar
1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S
atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Dalam daur hidupnya, telur
cacing akan keluar bersama feses. Setelah 1-1,5 hari di dalam tanah, telur
tersebut menetas menjadi larva rabditiform.
Kemudian setelah 3 hari, larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat
menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing
tambang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai
dinding tipis. Larva rabditiform memiliki panjang ±250 mikron, sedangkan
larva filariform panjangnya ±600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut
aliran darah ke jantung terus ke paru-paru, kemudian menembus pembuluh
darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut
tertelan dan masuk ke dalam usus halus menjadi cacing dewasa.
Insiden tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah
pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan
yang langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%.
Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah dengan memakai alas kaki berupa
sandal atau sepatu.
Ankilostomiasis dan nekatoriasis dapat menimbulkan gejala akut yang
berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut
dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh
cacing dewasa. Larva filariform (larva stadium tiga) yang menembus kulit
dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sindrom kutaneus berupa
ground itch, yaitu eritema dan papul lokal yang diikuti dengan pruritus pada
tempat larva melakukan penetrasi. Setelah melakukan invasi pada kulit, larva
tersebut bermigrasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonitis. Manusia
yang belum pernah terpapar dapat mengalami nyeri epigastrik, diare, anoreksia
dan eosinofilia selama 30-45 hari setelah penetrasi larva yang mulai melekat
pada mukosa usus halus.
Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa disebabkan
karena kehilangan darah sebagai akibat dari invasi dan perlekatan cacing
tambang dewasa pada mukosa dan sub-mukosa usus halus. Gejala tergantung
pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fe dan protein).
Pada kasus dengan infeksi berat, anemia yang disebabkan oleh cacing tambang
dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.

Telur dan Larva Cacing Tambang

b. Platyhelmintes
Platyhelminthes berasal dari Bahasa Yunani, dari kata Platy = pipih dan
helminthes = cacing. Jadi berarti cacing bertubuh pipih. Filum
Platyhelminthes terdiri dari sekitar 13,000 species, terbagi menjadi tiga
kelas; dua yang bersifat parasit dan satu hidup bebas. Planaria dan kerabatnya
dikelompokkan sebagai kelas Turbellaria. Cacing hati adalah parasit
eksternal atau internal dari Kelas Trematoda. Cacing pita adalah parasit
internal dari kelas Cestoda. Umumnya, golongan cacing pipih hidup di
sungai, danau, laut, atau sebagai parasit di dalam tubuh organisme lain.
Platyhelminthes yang hidup bebas adalah di air tawar, laut, dan tempat-
tempat yang lembab, sedangkan Platyhelminthes yang parasit hidup di dalam
tubuh inangnya (endoparasit) pada siput air, sapi, babi, atau manusia.
Cacing golongan ini sangat sensitif terhadap cahaya. Beberapa contoh
Platyhelminthes adalah Planaria yang sering ditemukan di balik batuan
(panjang 2-3 cm), Bipalium yang hidup di balik lumut lembab (panjang
mencapai 60 cm), Clonorchis sinensis, cacing hati, dan cacing pita.
Struktur Tubuh
Platyhelminthes tidak memiliki rongga tubuh (selom) sehingga disebut
hewan aselomata.Tubuh pipih dorsoventral, tidak berbuku-buku, simetri
bilateral, serta dapat dibedakan antara ujung anterior dan posterior. Lapisan
tubuh tersusun dari 3 lapis (triploblastik aselomata) yaitu ektoderm yang akan
berkembang menjadi kulit, mesoderm yang akan berkembang menjadi otot –
otot dan beberapa organ tubuh dan endoderm yang akan berkembang menjadi
alat pencernaan makanan.
Sistem respirasi Platyhelminthes melalui permukaan tubuhnya. Sistem
pencernaan terdiri dari mulut, faring, dan usus (tanpa anus), usus bercabang-
cabang ke seluruh tubuhnya. Platyhelminthes tidak memiliki sistem peredaran
darah (sirkulasi) dan alat ekskresinya berupa sel-sel api. Kelompok
Platyhelminthes tertentu memiliki sistem saraf tangga tali. Sistem saraf tangga
tali terdiri dari sepasang simpul saraf (ganglia) dengan sepasang tali saraf yang
memanjang dan bercabang-cabang melintang seperti tangga. Organ reproduksi
jantan (testis) dan organ betina (Ovarium). Cacing pipih dapat bereproduksi
secara aseksual dengan membelah diri dan secara seksual dengan perkawinan
silang, platyhelminthes terdapat dalam satu individu sehingga disebut hewan
hermafrodit.

Klasifikasi
Filum Platyhelminthes terbagi menjadi tiga kelas, yaitu:
1) Turbellaria (berambut getar)
Contoh: Planaria sp
2) Trematoda (cacing hisap)
Contoh: Fasciola hepatica (cacing hati)
3) Cestoda (cacing pita)
Contoh: Taenia solium, Taenia saginata

1. Turbellaria (cacing berambut getar)


Keberadaan: 4000+ spesies di seluruh dunia; hidup di batu dan permukaan
sedimen di air, di tanah basah, dan di bawah batang kayu. Hampir semua
Turbellaria hidup bebas (bukan parasit) dan sebagian besar adalah hewan laut.
Kebanyakan turbellaria berwarna bening, hitam, atau abu-abu. Namun,
beberapa spesies laut, khususnya di turumbu karang, memiliki corak warna
lebih cerah. Panjang mulai kurang dari 1 mm hingga 50 cm. Spesies terbesar
bertubuh seperti kertas.

Planaria sp
Cacing ini dipakai sebagai contoh yang mewakili anggota kelas Turbellaria
pada umumnya. Anggota genus Dugesia, yang umumnya dikenal sebagai
Planaria, berlimpah dalam kolam dan aliran sungai yang tidak terpolusi.
Planaria mempunyai kebiasaan berlindung di tempat-tempat yang teduh,
misalnya di balik batu-batuan, di bawah daun yang jatuh ke dalam air. Bentuk
tubuh anggota ini adalah pipih dorsoventral, dengan bagian kepala yang
berbentuk seperti segitiga, sedangkan bagian ekornya berbentuk meruncing
yang panjang tubuh sekitar 5-25 mm.
Planaria memangsa hewan yang lebih kecil atau memakan hewan-hewan
yang sudah mati. Planaria dan cacing pipih lainnya tidak memiliki organ yang
khusus untuk pertukaran gas dan sirkulasi. Bentuk tubuhnya yang pipih itu
menempatkan semua sel-sel berdekatan dengan air sekitarnya, dan percabangan
halus rongga gastrovaskuler mengedarkan makanan ke seluruh hewan tersebut.
Sistem saluran pencernaan makanan terdiri dari mulut, faring, oesofagus,
dan usus. Mulut, terletak di bagian ventral dari tubuh, yaitu kira-kira dekat
dengan pertengahan agak ke arah ekor. Lubang mulut ini dilanjutkan oleh
kantung yang bentuknya silindris memanjang yang disebut rongga mulut
(Faring). Oesofagus merupakan persambungan daripada faring yang langsung
bermuara kedalam usus; ususnya bercabang tiga, yaitu menuju ke arah anterior,
sedang yang dua lagi sejajar menuju ke arah posterior.
Seperti halnya hewan tingkat rendah lainnya, Planaria juga belum
mempunyai alat pernafasan yang khusus. Pengambilan O2 maupun pengeluaran
CO2 secara osmosis langsung melalui seluruh permukaan tubuh.
Sistem ekskresi terdiri dari 2 tabung ekskresi longitudinal yang mulai dari
sel-sel nyala (flame cells) yang di bagian anteriornya berhubungan silang.
Seluruh sistem ini terbuka ke luar melalui porus ekskretorius. Flame cells atau
sel-sel api berfungsi sebagai alat ekskresi yang membuang zat-zat sampah yang
merupakan sisa-sisa metabolisme dan juga sebagai alat osmoregulasi dalam arti
ikut membantu mengeluarkan ekses-ekses penumpukan air di dalam tubuh,
sehingga nilai osmosis tubuh tetap dapat dipertahankan seperti ukuran normal.
Sistem saraf terdiri dari 2 batang saraf yang membujur memanjang, yang di
bagian anteriornya berhubungan silang, dan 2 ganglion anterior yang terletak
dekat di bawah mata. Ganglion berfungsi sebagai otak dalam arti bertindak
sebagai pusat susunan saraf serta mengkoordinir aktivitas-aktivitas anggota
tubuh. Seonggok ganglion tersebut letaknya di bagian kepala persis di bawah
lapisan epidermis agak di sebelah bintik mata. Ganglion ini karena terletak di
bagian kepala dan berfungsi sebagai otak maka biasa disebut ganglion kepala
atau ganglion cerebral. Dari ganglin cerebral ini keluarlah cabang-cabang urat
saraf secara radier menuju ke arah lateral, anterior, dan pasterior. Cabang
anterior menuju ke bagian bintik mata, cabang lateral menuju ke alat indera
cemoreseptor, sedangkan cabang posterior ada satu pasang kanan kiri yang
saling bersejajar yang membentang di bagian ventral tubuh yang disebut tali
saraf.
Planaria sudah mempunyai alat indera yang berupa bintik mata, dan indera
aurikel, yang kedua-duanya terletak di bagian kepala. Bintik mata merupakan
titik hitam yang terletak di bagian dorsal daripada bagian kepala. Masing-
masing bintik mata terdiri dari sel-sel pigmen yang tersusun dalam bentuk
mangkok yang dilengkapi dengan sel-sel saraf sensorik yang sangat sensitif
terhadap sinar. Bintik mata itu sekedar dapat membedakan gelap dan terang
saja. Planaria bersifat hermafrodit, terdapat alat kelamin jantan dan betina.
Alat kelamin jantan terdiri dari;
1. Testis, yang berjumlah ratusan, berbentuk bulat tersebar di sepanjang
sisi tubuh keduanya.
2. Vasa eferensia, yang merupakan pembuluh yang menghubungkan testis
dengan bagian pembuluh lainnya.
3. Vasa deferensia, merupakan pembuluh berjumlah dua buah yang
masing-masing membentang di setiap sisi tubuh yang kedua-duanya
saling bertemu dan bermuara ke dalam suatu kantung yang disebut
vesiculus seminalis.
4. Vesiculus seminalis, berfungsi untuk menampung sperma dan
menyalurkan sperma menuju ke penis.
5. Penis, yang merupakan alat pentransfer ke tubuh waktu mengadakan
kopulasi pada perkawinan silang.

Sistem alat kelamin betina terdiri dari atas bagian-bagian seperti berikut:
1. Ovari, berjumlah dua buah, berbentuk bulat terletak di bagian anterior
tubuh.
2. Oviduct, dari setiap ovarium akan membentang ke arah posterior sebuah
saluran yang disebut oviduct (saluran telur). Antara saluran telur kanan
dan kiri saling bersejajar yang masing-masing dilengkapi dengan
kelenjar yang menghasilkan kuning telur.
3. Kelenjar kuning telur, menghasilkan kuning telur yang akan disediakan
bagi sel telur bila telah diproduksi oleh ovarium.
4. Vagina, merupakan suatu aliran yang berfungsi untuk menerima transfer
spermatozoid dari cacing planaria lain.
5. Uterus, merupakan ruangan yang bentuknya menggelembung yang
berfungsi untuk menyimpan spermatozoid. Uterus juga biasa disebut
receptaculus seminalis.
6. Genital atrium (ruang genitalis) yaitu muara antara kedua buah saluran
telur.
7. Planaria berkembang biak dengan cara seksual maupun aseksual.
Planaria akan menghindarkan diri bila terkena sinar yang kuat, oleh
karena itu pada siang hari cacing itu melindungkan diri di bawah
naungan batu-batu atau daun atau di bawah objek yang lain. Pada waktu
istirahat biasanya Planaria melekatkanatau menempelkan diri pada
suatu objek dengan bantuan zat lendir yang dihasilkan oleh kelenjar-
kelenjar lendir. Planaria melakukan dua macam gerak, yaitu gerak
merayap dan meluncur.

2. Trematoda (cacing hisap)


Keberadaan: 12000 spesies di seluruh dunia; hidup di dalam atau pada tubuh
hewan lain. Semua cacing hisap adalah parasit, berbentuk silinder atau seperti
daun. Panjang berkisar 1 cm hingga 6 cm. Cacing ini memiliki penghisap untuk
menempelkan diri ke organ internal atau permukaan luar inangnya, dan
semacam kulit keras yang membantu melindungi parasit itu. Organ
reproduksinya mengisi hampir keseluruhan bagian interior cacing hisap.
Sebagai suatu kelompok, cacing trematoda memparasiti banyak sekali jenis
inang, dan sebagian besar spesies memiliki siklus hidup yang kompleks dengan
adanya pergiliran tahap seksual dan aseksual. Banyak trematoda memerlukan
suatu inang perantara atau intermediet tempat larva akan berkembang sebelum
menginfeksi inang terakhirnya (umumnya vertebrata), tempat cacing dewasa
hidup. Sebagai contoh, trematoda yang memparasati manusia menghabiskan
sebagian dari sejarah hidupnya di dalam bekicot.
Trematoda dewasa pada umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru,
ginjal, dan pembuluh darah vertebrata. Trematoda berlindung di dalam tubuh
inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya dengan kutikula dan
permukaan tubuhnya tidak memiliki silia.
Trematoda tidak mempunyai rongga badan dan semua organ berada di
dalam jaringan parenkim. Tubuh biasanya pipih dorsoventral, dan biasanya
tidak bersegmen dan seperti daun. Mereka mempunyai dua alat penghisap, satu
mengelilingi mulut dan yang lain berada di dekat pertengahan tubuh atau pada
ujung posterior. Alat penghisap yang kedua disebut asetabulum karena
bentuknya mirip dengan mangkuk cuka.
Dinding luar atau tegumen trematoda adalah kutikula yang kadang2
mengandung duri atau sisik. Sistem pencernaan makanan sangat sederhana.
Terdapat mulut pada ujung anterior, yang dikelilingi oleh sebuah alat
penghisap. Makanan dari mulut melalui farings yang berotot ke esofagus dan
kemudian ke usus, yang terbagi menjadi dua sekum yang buntu. Sekum ini
kadang2 bercabang, dan percabangan ini kadang-kadang sedikit rumit.
Kebanyakan trematoda tidak mempunyai anus, dengan demikian sisa bahan
makanan harus diregurgitasikan.
Sistem saraf adalah sederhana. Cincin dari serabut saraf dan ganglia
mengelilingi esofagus, dan dari sini saraf berjalan ke depan dan belakang.
Biasanya, sebatang saraf berjalan kebelakang pada setiap sisi, dan saraf-saraf
bertolak dari sini menuju ke berbagai organ.
Trematoda tidak mempunyai sistem peredaran darah. Sistem ekskresi
tersusun dari sebuah kandung kemih posterior. Sebuah sistem percabangan dari
tabung pengumpul yang masuk ke dalam kandung kemih, dan sebuah sistem
sel-sel ekskresi yang terbuka ke dalam saluran pengumpul tersebut. Tidak
terdapat organ ekskresi yang terlepas, sel-sel ekskresi ditempatkan secara
strategis di seluruh tubuh. Sel ekskresi terdiri dari sebuah sitoplasma basal yang
berisi inti dan sebuah vakuola berisi seberkas silia ynag terbuka secara tetap ke
dalam saluran pengumpul.
Sistem reproduksinya kompleks. Sebagian besar dari trematoda adalah
hermafrodit, mempunyai organ jantan dan betina. Tetapi pembuahan silang
merupakan hal yang biasa, dan pembuahan sendiri tidak umum. Pembuahan
biasanya uterus, sperma melewati sirus dari satu cacing ke uterus cacing lain.

Siklus Hidup Trematoda


a. Clonorchis sp (cacing hati pada manusia)

Zygot Larva Myrasidium Sporosit Redia Sercaria Metacercaria Cacing


dewasa.
Keterangan:
1. Telur dilepaskan bersamaan dengan kotoran dari penderita
2. Telur akan berkembang menjadi larva mirasidium dan masuk ke inang
perantara 1, biasanya adalah siput
3. Di tubuh siput, larva myrasidium akan bermetamorfosis menjadi
sporosit
4. Sporosit ini mengandung banyak kantung embrio, yang akan tumbuh
menjadi Redia
5. Redia akan tumbuh dan mengandung embrio yang akan berkembang
menjadi Sercaria
6. Sercaria yang dihasilkan akan berpindah menempel pada tumbuhan
air membentuk kista metasercaria
7. Tumbuhan yang mengandung kista di makan oleh domba, maka
kista akan berkembang menjadi cacing hati dewasa.

b. Fasciola hepatica (cacing hati pada domba)

Zygot Larva Myrasidium Sporosit Redia Sercaria Metacercaria Cacing


dewasa. Keterangan:
1. Telur dilepaskan bersamaan dengan kotoran dari penderita
2. Telur akan berkembang menjadi larva mirasidium dan masuk ke
inang perantara 1, biasanya adalah siput
3. Di tubuh siput, larva myrasidium akan bermetamorfosis menjadi
sporosit
4. Sporosit ini mengandung banyak kantung embrio, yang akan
tumbuh menjadi Redia
5. Redia akan tumbuh dan mengandung embrio yang akan berkembang
menjadi Sercaria
6. Sercaria yang dihasilkan akan berpindah menempel pada tumbuhan
air membentuk kista metasercaria.
7. Tumbuhan yang mengandung kista di makan oleh domba, maka
kista akan berkembang menjadi cacing hati dewasa

3. Cestoda (cacing pita)


Keberadaannya: 3500 spesies di seluruh dunia; hidup sebagai parasit dalam
tubuh hewan. Contoh cacing pita adalah Taenia solium dan Taenia saginata
yang parasit pada orang. Taenia terdiri dari sebuah kepala bulat yang disebut
scolex, sejumlah ruas, yang sama disebut disebut proglotid. Pada kepala
terdapat alat hisap dan jenis Taenia solium mempunyai kait (rostellum) yang
sangat tajam yang mengunci cacing itu ke lapisan intestinal inang. Di belakang
scolex terdapat leher kecil yang selalu tumbuh yang akan menghasilkan
proglotid baru yang mula-mula kecil tumbuh menjadi besar. Panjang tubuh
cacing pita mencapai 2 m. Setiap proglotid mengandung organ kelamin jantan
(testis) dan organ kelamin betina (ovarium).Tiap proglotid dapat terjadi
fertilisasi sendiri. Proglotid yang dibuahi terdapat di bagian posterior tubuh
cacing. Proglotid dapat melepaskan diri (strobilasi) dan keluar dari tubuh inang
utama bersama dengan tinja dengan membawa ribuan telur. Jika termakan
hewan lain, telur akan berkembang dan memulai siklus hidup barunya. Cacing
pita tidak memiliki saluran pencernaan. Cacing pita menyerap makanan yang
telah dicerna terlebih dahulu oleh inang.
Cestoda bersifat parasit karena menyerap sari makan dari usus halus
inangnya. Sari makanan diserap langsung oleh seluruh permukaan tubuhnya
karena cacing ini tidak memiliki mulut dan pencernaan (usus). Manusia dapat
terinfeksi Cestoda saat memakan daging hewan yang dimasak tidak sempurna.
Inang perantara Cestoda adalah sapi pada Taenia saginata dan babi pada taenia
solium. Cacing pita tidak mempunyai saluran pencernaan dan sitem peredaran
darah. Makanan langsung melalui dinding tubuh. Sistem ekskresi yaitu berupa
sel api.
Sistem saraf tersusun dari beberapa ganglion pada skoleks, dengan
komisura melintang diantaranya. Dan tiga batang saraf longitudinal setiap sisil
tubuh (sebuah batang besar disebelah lateral dan yang kecil disebelah ventral),
satu ganglion kecil disetiap segmen pada masing-masing dari enam batang
tersebut, dan komisura pada setiap segmen menghubungkan ganglion-ganglion
ini.
Cestoda adalah hermafrodit, yang mempunyai organ jantan dan betina.
Organ jantan terdiri dari testis (menghasilkan spermatozoa), vas deferen,
seminal vesicle, penis, dan lubang kelamin. Sedangkan organ bertina terdiri dari
ovarium, oviduk, seminal uterus, vagina, dan lubang kelamin.
Siklus Hidup Taenia sp

Larva, yang dilengkapi dengan scolex akan berkembang menjadi kista pada
jaringan tubuh inang, misal pada otot. Manusia yang memakan daging yang
terinfeksi, akan menyebabkan kista berkembang menjadi cacing pita dewasa
Cacing pita dewasa terdiri dari scolex dan proglotid.Proglotid pada bagian
ujung mengandung telur yang telah dibuahi yang siap dikeluarkan bersama
feses untuk menginfeksi kembali Di dalam telur yang telah dibuahi, embrio
berkembang menjadi larva. Sapi mungkin akan memakan telur bersama rumput
dan akan menjadi inang sementara bagi cacing pita.

Peranan Platyhelminthes Dalam Kehidupan


Adapun peranan Platyhelminthes dalam kehidupan adalah sebagai berikut:
1. Planaria menjadi salah satu makanan bagi organisme lain.
2. Cacing hati maupun cacing pita merupakan parasit pada manusia
a. Schistosoma sp, dapat menyebabkan skistosomiasis, penyakit parasit
yang ditularkan melalui siput air tawar pada manusia. Apabila cacing
tersebut berkembang di tubuh manusia, dapat terjadi kerusakan
jaringan dan organ seperti kandung kemih, ureter, hati, limpa, dan
ginjal manusia.Kerusakan tersebut disebabkan perkembangbiakan
cacing Schistosoma di dalam tubuh.
b. Clonorchis sinensis yang menyebabkan infeksi cacing hati pada
manusia dan hewan mamalia lainnya, spesies ini dapat menghisap
darah manusia.
c. Paragonimus sp, parasit pada paru-paru manusia. dapat menyebabkan
gejala gangguan pernafasan yaitu sesak bila bernafas, batuk kronis,
dahak/sputum becampur darah yang berwarna coklat (ada telur cacing).
d. Fasciolisis sp, parasit di dalam saluran pencernaan. Terjadinya radang
di daerah gigitan, menyebabkan hipersekresi dari lapisan mukosa usus
sehingga menyebabkan hambatan makanan yang lewat. Sebagai
akibatnya adalah ulserasi, haemoragik dan absces pada dinding usus.
Terjadi gejala diaree kronis.
e. Taeniasis, penyakit yang disebabkan oleh Taenia sp. Cacing ini
menghisap sari-sari makanan di usus manusia.
f. Fascioliasis, disebabkan oleh Fasciola hepatica. Merupakan penyakit
parasit yang menyerang semua jenis ternak. Hewan terserang ditandai
dengan nafsu makan turun, kurus, selaput lendir mata pucat dan diare.

F. Gejala Penyakit Cacingan

1) Gejala Umum
Perut buncit, badan kurus, rambut seperti rambut jagung, lemas dan cepat lelah,
muka pucat, serta mata belekan. sakit perut, diare berulang dan kembung, kolik
yang tidak jelas dan berulang.

2) Gejala Khusus
1. Cacing Gelang (Ascarislum bricoides)
Sering kembung, mual, dan muntah-muntah. Kehilangan nafsu makan
dibarengi diare, akibat ketidakberesan di saluran pencernaan. Pada kasus yang
berat, penderita mengalami kekurangan gizi. Cacing gelang yang jumlahnya
banyak, akan menggumpal dan berbentuk seperti bola, sehingga menyebabkan
terjadinya sumbatan di saluran pencernaan.

2. Cacing Cambuk (Tricuris trichiura)


Dapat menimbulkan peradangan di sekitar tempat hidup si cacing, misalnya di
membrane usus besar. Pada kondisi ringan, gejala tidak terlalu tampak. Tapi bila
sudah parah dapat mengakibatkan diare berkepanjangan. Jika dibiarkan akan
mengakibatkan pendarahan usus dan anemia. Peradangan bisa menimbulkan
gangguan perut yang hebat, yang menyebabkan mual, muntah, dan perut kembung.

3. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

Cacing tambang menetas di luar tubuh manusia, larvanya masuk kedalam tubuh
melalui kulit. Cacing tambang yang hidup menempel di usus halus menghisap darah
si penderita. Gejala yang biasa muncul adalah lesu, pucat, dan anemia berat.
4. Cacing Kremi (Enterobius Vermicularis)
Telur cacing ini masuk ke dalam tubuh melalui mulut, lalu bersarang di usus
besar. Setelah dewasa, cacing berpindah ke anus. Dalam jumlah banyak, cacing ini
bisa menimbulkan gatal-gatal di malam hari. Tidak heran bila si kecil nampak rewel
akibat gatal-gatal yang tidak dapat ditahan. Olesi daerah anusnya dengan baby oil
dan pisahkan semua peralatan yang bisa menjadi media penyebar, seperti handuk,
celana, pakaian.

G. Obat Antelmintik yang Lazim Digunakan

a). Obat-Obat Untuk Pengobatan Nematoda


Nematoda adalah Cacing ini berukuran kecil (mm) sampai satu meter atau
lebih, telur mikroskopis. Contoh anggota nematoda yang parasit pada manusia
yakni cacing kremi, cacing pita dan cacing gelang.

1. Piperazin

Piperazin pertama kali digunakan sebagai antelmintik oleh Fayard (1949).


Pengalaman klinik menunjukkan bahwa piperazin efektif sekali terhadap A.
lumbricoides dan E. Vermicularis. Piperazin juga terdapat sebagai heksahidrat yang
mengandung 44% basa. Piperazin dalam bentuk garam sebagai garam sitrat,
kalsium edetat dan tartrat. Garam-garam ini bersifat stabil non higroskopis,
pemeriannya berupa kristal putih yang sangat larut dalam air, larutannnya bersifat
sedikit asam. Piperazin diabsorpsi melalui saluran cerna, dan diekskresi melalui
urine.

a. Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis

Piperazin menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap asetilkolin


sehinggga terjadi paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus.
Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah pengobatan dan tidak diperlukan pencahar
untuk mengeluarkan cacing itu. Cacing yang telah terkena obat dapat menjadi
normal kembali bila ditaruh dalam larutan garam faal pada suhu 37°C. Diduga cara
kerja piperazin pada otot cacing dengan mengganggu permeabilitas membran sel
terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat,
sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai
paralisis. Pada suatu studi yang dilakukan terhadap sukarelawan yang diberi
piperazin ternyata dalam urin dan lambungnya ditemukan suatu derivat nitrosamine
yakni N-monistrosopiperazine dan arti klinis dari penemuan ini belum diketahui.

b. Farmakokinetik

Penyerapan piperazin melalui saluran cerna, sangat baik. Sebagian obat yang
diserap mengalami metabolisme, sisanya diekskresi melalui urin. Menurut Rogers
(1958), tidak ada perbedaan yang berarti antara garam sitrat, fosfat dan adipat dalam
kecepatan ekskresinya melalui urin. Tetapi ditemukan variasi yang besar pada
kecepatan ekskresi antar individu. Yang diekskresi lewat urin sebanyak 20% dan
dalam bentuk utuh. Obat yang diekskresi lewat urin ini berlangsung selama 24 jam.

c. Efek nonterapi dan kontraindikasi

Piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Pada dosis terapi umumnya
tidak menyebabkan efek samping, kecuali terkadang nausea, vomitus, diare, dan
alergi. Pemberian secara intravena menyebabkan penurunan tekanan darah selintas.
Dosis letal menyebabkan konvulsi dan depresi pernapasan. Pada takar lajak atau
pada akumulasi obat karena gangguan faal ginjal dapat terjadi inkoordinasi otot,
atau kelemahan otot, vertigo, kesulitan bicara, bingung yang akan hilang setelah
pengobatan dihentikan. Piperazin dapat memperkuat efek kejang pada penderita
epilepsi. Karena itu piperazin tidak boleh diberikan pada penderita epilepsi dan
gangguan hati dan ginjal. Pemberian obat ini pada penderita malnutrisi dan anemia
berat, perlu mendapatkan pengawasan ekstra. Karena piperazin menghasilkan
nitrosamin, penggunaannya untuk wanita hamil hanya kalau benar-benar perlu atau
kalau tak tersedia obat alternatif. Piperazin bersifat teratogenic.

d. Sediaan dan posologi

Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan sirop 500 mg/ml,
sedangkan piperazin tartrat dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis dewasa pada
askariasis adalah 3,5 g sekali sehari. Dosis pada anak 75 mg/kgBB (maksimum 3,5
g) sekali sehari. Obat diberikan 2 hari berturut-turut. Untuk cacing kremi
(enterobiasis) dosis dewasa dan anak adalah 65 mg/kgBB (maksimum 2,5 g) sekali
sehari selama 7 hari. Terapi hendaknya diulangi sesudah 1-2 minggu.

2. Pirantel Pamoat

Obat ini efektif untuk cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang.
Mekanisme kerjanya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan
frekuensi imfuls, menghambat enzim kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak
baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja, <15% lewat urine. Pirantel pamoat
sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris dan Cacing tambang, tetapi tidak efektif
terhadap trichiuris. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan penerusan impuls
neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari
tubuh oleh gerak peristaltik usus. Cacing yang lumpuh akan mudah terbawa keluar
bersama tinja. Setelah keluar dari tubuh, cacing akan segera mati Resorpsinya dari
usus ringan kira – kira 50% diekskresikan dalam keadaan utuh bersamaan dengan
tinja dan lebih kurang 7% dikeluarkan melalui urin. Efek sampingnya cukup ringan
yaitu berupa mual, muntah, gangguan saluran cerna dan kadang sakit kepala.

Pemakaiannya berupa dosis tunggal, yaitu hanya satu kali diminum. Dosis
biasanya dihitung per berat badan (BB), yaitu 10 mg / kgBB. Walaupun demikian,
dosis tidak boleh melebihi 1 gr. Sediaan biasanya berupa sirup (250 mg/ml) atau
tablet (125 mg /tablet). Bagi orang yang mempunyai berat badan 50 kg misalnya,
membutuhkan 500 mg pirantel. Jadi jangan heran jika orang tersebut diresepkan 4
tablet pirantel (125 mg) sekali minum.Nama dagang pirantel pamoat yang beredar
di Indonesia bermacam-macam, ada Combantrin, Pantrin, Omegpantrin, dan lain-
lain (MIMS,1998) . Untuk dosis terhadap cacing kremi dan cacing gelang sekaligus
2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak ½ 2 tablet sesuai usia (10mg/kg). Berikut sediaan
Pirantel Pamoat :

3. Mebendazol

Mebendazol merupakan obat cacing yang paling luas spektrumnya. Obat ini
tidak larut dalam air, tidak bersifat higroskopis sehingga stabil dalam keadaan
terbuka Mebendazol adalah obat cacing yang efektif terhadap cacing Toxocara
canis, Toxocara cati, Toxascaris leonina. Trichuris vulpis, Uncinaria
stenocephala, Ancylostoma caninum, Taenia pisiformis, Taenia hydatigena,
Echinococcus granulosus dan aeniaformis hydatigena. Senyawa ini merupakan
turunan benzimidazol, obat ini berefek pada hambatan pemasukan glukosa ke
dalam cacing secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen dalam
cacing. Mebendazol juga dapat menyebabkan kerusakan struktur subseluler dan
menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing.

1. Farmakokinetika

Mebendazol tidak larut dalam air dan rasanya enak. Pada pemberian oral
absorbsinya buruk. Obat ini memiliki bioavailabilitas sistemik yang rendah yang
disebabkan oleh absorbsinya yang rendah dan mengalami first pass hepatic
metabolisme yang cepat. Diekskresikan lewat urin hanya sekitar 2% dari dosis
dalam bentuk yang utuh dan metabolit sebagai hasil dekarboksilasi dalam waktu 48
jam. Absorbsi mebendazol akan lebih cepat jika diberikan bersama lemak.

1. Efek Nonterapi dan Kontraindikasi

Mebendazol tidak menyebabkan efek toksik sistemik mungkin karena


absorbsinya yang buruk sehingga aman diberikan pada penderita dengan anemia
maupun malnutrisi. Efek samping yang kadang-kadang timbul berupa diare, sakit
perut ringan yang bersifat sementara, sakit kepala, pusing, reaksi alergi, alopesia,
dan depresi sumsum tulang. Dari studi toksikologi obat ini memiliki batas
keamanan yang lebar. Tetapi pemberian dosis tunggal sebesar 10 mg/kg BB pada
tikus hamil memperlihatkan efek embriotoksik dan teratogenik . berikut sediaan
mebendazol :

1. Interaksi

 Antiepileptics
Fenitoin atau karbamazepin telah dilaporkan dapat menurunkan konsentrasi
plasma-mebendazol pada pasien yang menerima dosis tinggi untuk mengobati
echinococcosis, mungkin sebagai akibat dari induksi enzim.
 Histamin H2-antagonis
Konsentrasi plasma mebendazol dapat meningkat ketika diberikan bersama dengan
enzim inhibitor yaitu simetidin.

1. Penggunaan Klinis

Mebendazol dapat digunakan dalam mengobati :

 Capillariasis
Mebendazole dengan dosis 200 mg dikonsumsi dua kali sehari selama 20 hari dapat
digunakan untuk mengobati capillariasis.
 Echinococcosis
Mebendazole telah digunakan dalam pengobatan echinococcosis tetapi albendazole
lebih disukai. Biasaya dosis mebendazole untuk mengobati cystic echinococcosis
yaitu 40-50 mg/kg setiap hari selama least 3- 6 bulan. Mebendazole telah digunakan
dalam pengobatan toxocariasis dan efek samping yang ditimbulkan oleh
mebendazole memiliki kejadian yang lebih rendah dari tiabendazole dan dengan
dietilkarbamazin.
 Strongyloidiasis
Mebendazole telah digunakan untuk pengobatan dari strongyloidiasis tetapi perlu
diberikan untuk jangka waktu yang lebih lama dari albendazole untuk mengontrol
auto-infeksi, sehingga albendazole lebih disukai.
4. Tiabendazol

Tiabendazol adalah suatu benzimidazol sintetik yang berbeda, efektif terhadap


strongilodiasis yang disebabkan Strongyloides stercoralis (cacing benang), larva
migrans pada kulit (atau erupsi menjalar) dan tahap awal trikinosis (disebabkan
Trichinella spinalis). Obat ini menganggu agregasi mikrotubular. Meskipun hampir
tidak larut dalam air, obat ini mudah diabsorbsi pada pemberian per oral. Obat
dihidroksilasi dalam hati dan dikeluarkan dalam urine. Efek samping yang dijumpai
ialah pusing, tidak mau makan, mual dan muntah. Terrdapat beberapa laporan
tentang gejala SSP. kasus lain yang terjadi eritema multiforme dan sindrom Stevens
Johnson yang dilaporkan akibat tiabendazol, yang dapat menyebabkan kematian.
Berikut sediaan tiabendazol :

5. Invermektin

Invermektin adalah obat pilihan untuk pengobatan onkoserkiasis (buta sungai)


disebabkan Onchocerca volvulus dan terbukti pula efektif untuk scabies.

1. Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis

Ivermektin bekerja pada reseptor GABA (asam ɣ-amionobutirat) parasit. Aliran


klorida dipacu keluar dan terjadi hiperpolarisasi, menyebabkan paralisis cacing.
Obat diberikan oral. Tidak menembus sawar darah otak dan tidak memberikan efek
farmakologik. Namun, tidak boleh diberikan pada pasien meningitis karena sawar
tak darah lebih permiabel dan terjadi pengaruh SSP. Ivermektin juga tidak boleh
untuk orang hamil. Tidak boleh untuk pasien yang menggunakan benzodiasepin
atau barbiturate dan obat yang bekerja pada reseptor GABA. Pembunuhan
mikrofilia dapat menyebabkan reaksi seperti ’’Mozatti’’ (demam, sakit kepala,
pusing, somnolen, hipotensi dan sebagainya). Berikut sediaan Ivermektin

1. Farmakokinetik

Ivermektin diabsorpsi setelah dosis oral, dengan puncak konsentrasi plasma


yang diperoleh setelah sekitar 4 jam. Ivermektin terikat dengan protein plasma
sekitar 93% dan memiliki waktu paruh eliminasi sekitar 12 jam. Ivermektin
mengalami metabolisme dan diekskresikan sebagian besar sebagai metabolit
selama sekitar 2 minggu, terutama di feses, dengan kurang dari 1% diekskresikan
melalui urin dan kurang dari 2% melalui ASI.

1. Penggunaan Klinis

Ivermektin dapat digunakan dalam mengobati :

 Loiasis
Ada penelitian yang menyatakan bahwa terjadi penurunan microfilaraemia setelah
pengobatan ivermectin pada pasien dengan loiasis, tetapi ada kekhawatiran
berpotensi terjadi neurotoksisitas pada pasien.

 Cutaneous larva migrans.

Ivermektin menjadi efektif dalam pengobatan cutaneous larva migrans dengan


dosis oral 200 mikrogram / kg setiap hari selama 1 2 hari telah direkomendasikan.

Ivermektin mempunyai efek microfilaricidal terhadap Onchocerca volvulus dan


obat utama yang digunakan dalam mengendalikan onchocerciasis. Sebuah dosis
tunggal cepat menghilangkan mikrofilaria dari kulit, dengan efek maksimum
setelah 1 sampai 2 bulan, dan secara bertahap menghilangkan mereka dari kornea
dan ruang anterior mata. Ivermektin memiliki sedikit efek pada cacing dewasa
tetapi dapat menekan pelepasan mikrofilaria dari cacing dewasa. Dalam pengobatan
onchocerciasis, dosis oral tunggal Ivermektin3 sampai 12 mg, berdasarkan sekitar
dari 150 mikrogram / kg untuk pasien dengan berat lebih dari 15 kg dan lebih dari
5 tahun, diberikan setahun sekali atau setiap 6 bulan.

 Strongyloidiasis
Ivermektin 200 mikrogram / kg dengan dosis tunggal, atau harian pada dua hari
berturut-turut, digunakan untuk pengobatan dari strongyloidiasis.

6. Albendazole

Albendazole adalah antelmintik oral berspektrum luas, yang merupakan obat


pilihan dan telah diakui di Amerika Serikat untuk pengobatan penyakit hydatid dan
cysticercosis. Obat ini juga merupakan obat utama untuk pengobatan infeksi
Pinworm, Ascariasis, Trichuriasis, Strongyloidiasis, dan infeksi-infeksi yang
disebabkan oleh kedua spesies cacing tambang (hookworm).
1. Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis

Albendazole dan metabolitnya, Albendazole Sulfoxide, diperkirakan bekerja


dengan jalan menghambat sintesis mikrotubulus dalam nematoda, dan dengan
demikian mengurangi ambilan glukosa secara irreversibel. Akibatnya, parasit-
parasit usus dilumpuhkan atau mati perlahan-lahan. Pembersihan mereka dari
saluran cerna belum dapat menyeluruh hingga beberapa hari setelah pengobatan.
Obat ini juga memiliki efek larvicid (membunuh larva) pada penyakit hydatid,
cysticercosis, ascariasis, dan infeksi cacing tambang serta efek ovocid (membunuh
telur) pada ascariasis, ancylostomiasis, dan trichuriasis.

Albendazole tidak mempunyai efek farmakologis pada manusia. Obat ini (yang
bersifat teratogenik dan embriotoksik pada beberapa spesies hewan) tidak diketahui
tingkat keamanannya pada wanita hamil. Albendazol kontra indikasi terhadap ibu
hamil.

1. Farmakokinetik

Absorpsi albendazol kurang baik pada saluran pencernaan namun absorpsi dapat
meningkat dengan adanya makanan berlemak.Albendazol secara cepat mengalami
first-pass metabolism. Metabolit albendazol sulfoksida memiliki aktivitas
antelmintik dan waktu paruh sekitar 8,5 jam. Berikatan dengan protein plasma
sebesar 70%. Albendazol sulfoxid dieliminasikan di empedu dan hanya sedikit yang
dieksresikan melalui urin.

Interaksi

1. Albendazol – Anthelmintik
Konsentrasi plasma albendazol sulfoksida dapat meningkat apabila erinteraksi
dengan praziquantel.

2. Albendazol – Kortikosteroid
Konsentrasi plasma dari metabolit aktif albendazol yaitu albendazol sulfoksida
dapat meningkat sebanyak 50% apabila berinteraksi dengan dexamethasone.

3. Histamin H2-antagonis
Konsentrasi albendazol sulfoksida ditemukan meningkat di dalam empedu dan
cairan kista hydatid (pada penyakit hydatid) saat albendazole diberikan dengan
simetidin, yang dapat meningkatkan efektivitas dalam pengobatan echinococcosis.

1. Penggunaan Klinis

Albendazole diberikan pada saat perut kosong untuk penanganan parasit-parasit


intraluminal. Namun untuk penanganan terhadap parasit-parasit jaringan, obat ini
harus diberikan bersama dengan makanan berlemak. Digunakan Untuk infeksi-
infeksi pinworm, ancylostomiasis, dan ascariasis ringan, necatoriasis, atau
trichuriasis, pengobatan untuk orang dewasa dan anak-anak di atas usia 2 tahun
adalah dosis tunggal 400 mg secara oral. Untuk infeksi pinworm, dosis harus
diulang dalam dua minggu. Tindakan ini menghasilkan tercapainya angka
kesembuhan 100% dalam infeksi pinworm dan angka kesembuhan tinggi untuk
infeksi-infeksi lain, atau pengurangan besar terhadap jumlah telur bagi yang tidak
tersembuhkan. Untuk mencapai angka kesembuhan tinggi dalam ascariasis atau
untuk mengurangi jumlah cacing secara memuaskan untuk meringankan
necatoriasis atau trichuriasis berat, ulangi pemberian 400 mg/hari dalam 2-3 hari.
Beikut gambar albendazol :

Albendazol dapat digunakan dalam mengobati :

 Ascariasis

Albendazole digunakan sebagai alternatif untuk menggantikan mebendazol dalam


pengobatan ascariasis. Kedua obat tersebut sama-sama sangat efektif dengan
tingkat kesembuhan yang lebih besar dari 98% dilaporkan dalam satu stud
albendazol.
 Capillariasis

Albendazole dengan dosis 400 mg setiap hari selama 10 hari telah disarankan
sebagai alternatif menggantikan mebendazole untuk pengobatan capillariasis.

 Loiasis
Albendazole telah diteliti untuk mengurangi mikro filariasis pada pasien terinfeksi
Loa loa.
 Mikrosporidiosis
Albendazol telah dicoba dalam pengobatan dari infeksi protozoa mikrosporidiosis
pada pasien AIDS. Albendazol juga telah digunakan secara empiris dalam
pengobatan terkait infeksi dan komplikasi HIV.

 Echinococcosis

Dalam pengobatan echinococcosis, albendazole diberikan secara oral dengan


makanan dalam dosis 400 mg dua kali sehari selama 28 hari untuk pasien dengan
berat lebih dari 60 kg. Dosis 15 mg / kg sehari dalam dua dosis terbagi (untuk
maksimal total dosis harian 800 mg) digunakan untuk pasien dengan berat kurang
dari 60 kg.

7. Tribendimidine ( L-type Levamisole dan Pirantel)

Tribendimidine termasuk obat antelmintik baru yang dinamakan adalah L-type


(levamisole dan Pirantel) dimana bekerja pada reseptor agonis asetilkolin nikotinik.
Dalam penelitian dinyatakan bahwa tribendimidine aman dan memiliki aktivitas
klinik yang baik terhadap Ascaris dan hookworm. Tribendimidine tidak dapat
digunakan sebagai antelmintik dimana pasien telah resisten terhadap levamisol atau
pirantel dengan mekanisme aksi yang sama. Namun, pribendimidine dapat
produktif untuk digunakan dimana pasien resisten terhadap benzimidazole.
Tribendimidine dapat dikombinasi dengan antelmintik yang lain.
Obat Untuk Pengobatan Trematoda

Trematoda merupakan cacing pipih berdaun, digolongkan sesuai jaringan yang


diinfeksi. Misalnya sebagai cacing isap hati, paru, usus atau darah.

Prazikuantel

Infeksi trematoda umumnya diobati dengan prazikuantel. Obat ini merupakan


obat pilihan untuk pengobatan semua bentuk skistosomiasis dan infeksi cestoda
seperti sistisercosis. Permeabilitas membrane sel terhadap kalsium meningkat
menyebabkan parasite mengalami kontraktur dan paralisis. Prazikuantel mudah
diabsorbsi pada pemberian oral dan tersebar sampai ke cairan serebrospinal. Kadar
yang tinggi dapat dijumpai dalam empedu. Obat dimetabolisme secara oksidatif
dengan sempurna, meyebabkan waktu paruh menjadi pendek. Metabolit tidak aktif
dan dikeluarkan melalui urin dan empedu.
Efek samping yang biasa termasuk mengantuk, pusing, lesu, tidak mau makan dan
gangguan pencernaan. Obat ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil atau
menyusui. Interaksi obat yangterjadi akibat peningkatan metabolisme telah
dilaporkan jika diberikan bersamaan deksametason, fenitoin, dan karbamazepin,
simetidin yang dikenal menghambat isozim sitokrom P-450, menyebabkan
peningkatan kadar prazikuantel. Prazikuantel tidak boleh diberikan untuk
mengobati sistiserkosis mata karena penghancuran organisme dalam mata dapat
merusak mata.

Obat Untuk Pengobatan Cestoda

Cestoda atau cacing pita, bertubuh pipih, bersegmen dan melekat pada usus
pejamu. Sama dengan trematoda, cacing pita tidak mempunyai mulut dan usus
selama siklusnya.

Niklosamid

Niklosamid adalah obat pilihan untuk infeksi cestoda (cacing pita) pada umumnya.

Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis

Kerjanya menghambat fosforilasi anaerob mitokondria parasite terhadap ADP


yang menghasilkan energy untuk pembentukan ATP. Obat membunuh skoleks dan
segmen cestoda tetapi tidak telur-telurnya. Laksan diberikan sebelum pemberian
niklosamid oral. Ini berguna untuk membersihkan usus dari segmen-segmen cacing
yang mati agar tidak terjadi digesti dan pelepasan telur yang dapat menjadi
sistiserkosisi. Alcohol harus dilarang selama satu hari ketika niklosamid diberikan.

Farmakokinetik

Niklosamida tidak signifikan diabsorpsi pada saluran pencernaan.


Penggunaan Klinis

Niklosamida adalah obat cacing yang aktif terhadap kebanyakan cacing pita,
termasuk cacing pita daging sapi (Taenia saginata), cacing pita babi (T. solium),
cacing pita ikan (Diphyllobothrium latum) dan cacing pita anjing (Dipylidium
caninum). Niklosamid juga dapat diberikan untuk infeksi dengan cacing pita kerdil,
Hymenolepis nana.

Niklosamida diberikan dalam bentuk tablet, yang harus dikunyah secara


menyeluruh sebelum menelan dengan air. Untuk infeksi dengan cacing pita babi 2-
g dosis tunggal diberikan setelah sarapan ringan. Niklosamida tidak aktif terhadap
bentuk larva (cysticerci), pencahar diberikan sekitar 2 jam setelah dosis untuk
mengeluarkan cacing yang terbunuh dan meminimalkan kemungkinan migrasi telur
T. solium ke dalam perut. Antiemetik juga dapat diberikan sebelum pengobatan.
Untuk infeksi cacing pita daging sapi atau ikan dosis 2-g dari niklosamida dapat
dibagi, dengan 1 g diminum setelah sarapan dan 1 g satu jam kemudian.Pada infeksi
cacing pita kerdil dosis awal 2 g diberikan pada hari pertama diikuti oleh 1 g setiap
hari selama 6 hari. Anak-anak berusia 2 sampai 6 tahun diberikan setengah dosis di
atas dan yang di bawah usia 2 tahun diberikan seperempat dosis di atas.
BAB III

ANTIAMOEBA

A. Pengertian

Anti amuba adalah obat-obat yang digunakan untuk mengobati penyakit


yang disebabkan oleh mikro organisme bersel tunggal (protozoa) yaitu Entamoeba
histolytica yang dikenal dengan dysentri amuba.

Amuba adalah parasit yang terdapat dalam makanan dan minuman yang
tercemar, kemudian tertelan oleh manusia dan menetap di usus yang dapat
menimbulkan infeksi pada usus.

Amubiasis adalah penyebab yang umum dari diare akut maupun diare
kronik. Pengertian dari diare akut sendiri yaitu diare yang menetap lebih dari 3-5
hari yang disertai oleh nyeri perut, kram perut, demam tidak begitu tinggi, nyeri
pada buang air besar, dan faeces berupa darah disertai lendir. Sedangkan diare
kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 3 minggu, penanganan diarue
kronik bersifat lebih kompleks dan menyeluruh dibandingkan diare akut dan
mengharuskan rujukan kepada dokter ahli, penderita juga dapat mengalami
kesukaran buang air besar.

B. Bentuk Amuba dan Cara Penularannya

Penularan amubasis dapat melalui makanan yang tercemar Krista dewasa, tetapi
dapat juga terjadi melalui hubungan seks pada kaum homoseksual. Begitupula pada
keadaan hamil, malnutrisi dan penderita gangguan imunologi.

Bentuk pada amuba dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Bentuk kista

Bentuk kista merupakan bentuk yang tidak aktif dari amuba yang memiliki
membran pelindung yang ulet dan tahan getah lambung. Bentuk kista
dibentuk dirongga usus besar. Bentuk kista berukuran 10-20 mikron,
berbentuk bulat atau lonjong, mempunyai dinding kista dan ada inti
entamoeba. Bentuk kista ini tidak patogen, tetapi dapat merupakan bentuk
infektif.

b. Bentuk minuta

Bentuk minuta merupakan bentuk trofozoit. Bentuk minuta adalah bentuk


pokok. Tanpa bentuk minuta daur hidup tidak dapat berlangsung. Bentuk
minuta berukuran 10-20 micahkron. Bila makanan terinfeksi oleh kista
amuba masuk ke usus manusia, kista akan pecah dan berkembang menjadi
bentuk aktif yang disebut tropozoit, memperbanyak diri dengan pembelahan
dan hidup dari bakteri – bakteri kecil pada mukosa usus sehingga
menimbulkan kejang perut, diare berlendir dan darah.

c. Bentuk histolitika

Bentuk histolitika merupakan bentuk trofozoit. bentuk histolitikabersifat


patogen dan berukuran lebih besar dari minuta. Bentuk histolitika berukuran
20-40 mikron, mempunyai inti entamoeba yang terdapat didalam
endoplasma. Pergerakan bentuk histolitika dengan pseudopodium yang
dibentuk dari ektoplasma. Bentuk histolitika ini dapat hidup di jaringan usus
besar, hati, paru, otak, kulit, dan vagina. Pada kasus tertentu tropozoid
melewati dinding usus, berkembang menjadi 2 kali lebih besar, lalu
menerobos ke organ – organ lain (jantung, paru-paru, otak khususnya hati)
disini tropozoit hidup dari eritrosit dan sel-sel jaringan yang dilarutkan
olehnya dengan jalan fagositosis sehingga jaringan yang ditempatinya akan
mati (nekrosis).

C. Pencegahan Amubiasis

Pencegahan penyakit amubiasis terutama ditunjukan pada kebersihan


perorangan dan kebersihan lingkungan. Kebersihan perorangan antara lain adalah
mencuci tangan dengan bersih sebelum dan sesudah makan, menghindari berbagi
handuk atau kain wajah. Untuk kebersihan lingkungan antara lain mencuci sayuran
atau memasaknya sebelum dimakan, menutup dengan baik makanan yang
dihidangkan, membuang sampah pada tempat sampah yang ditutup untuk
menghindari lalat, diadakan pendidikan kesehatan dan perbaikan sanitasi
lingkungan, penyuluhan kesehatan dan gotong royong membersihkan lingkungan.

D. Siklus Hidup Entamoeba Histolitica

Kista matang dikeluarkan bersama tinja penderita (1). Infeksi Entamoeba


histolytica oleh kista matang berinti empat (2) tinja terkontaminasi pada makanan,
air, atau oleh tangan. Terjadi ekskistasi (3) terjadi dalam usus dan berbentuk
tropozoit (4) selanjutnya, bermigrasi ke usus besar. Tropozoit memperbanyak diri
dengan cara membelah diri (binary fission) dan menjadi kista (5), menumpang
dalam tinja (1). Karena untuk mempertahankan dirinya, kista akan dapat bertahan
beberapa hari sampai dengan berminggu-minggu pada keadaan luar dan penyebab
penularan. (bentuk tropozoit selalu ada pada tinja diare, namun dengan cepat dapat
dihancurkan oleh tubuh, dan jika tertelan bentuk ini tidak dapat bertahan saat
melewati lambung) dalam banyak kasus, tropozoit akan kembali berkembang
menuju lumen usus (A: noninvasive infection) pada carier yang asimtomatik, kista
ada dalam tinjanya. Pasien yang diinfeksi oleh tropozoit di dalam mukosa ususnya
(B: intestinal disease), atau, menuju aliran darah, secara ekstra intestinal menuju
hati, otak, dan paru (C: extraintestinal disease), dengan berbagai kelainan
patologik.

E. Penggolongan obat

Penggolongan obat amubiasid dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

a) Amubiasid kontak atau lumen yaitu obat yang bekerja di lumen usus atau
aktif terhadap amubiasis intestinal. Contoh: Dihidroemetin dan Emetin
b) Amubiasid jaringan atau histolitika yaitu obat yang bekerja pada jaringan
intestinum atau organ lainnya. Contoh: Diloksanidfurocid dan Antibiotika
c) Amubiasid kombinasi yaitu efektif terhadap amubiasid lumen maupun
jaringan. Contoh: Derivate nitroimidazol seperti metronidazole dan
nimorazole.

E. Obat – Obat Anti Amuba

Pengobatan penyakit amubiasis biasanya menggunakan antibiotic. Beberapa


obat amubiasis yang penting adalah :

a. Emetin Hidroklorida

Farmakokinetik :

Diserap baik dari tempat injeksi lalu dimetabolisme dan dieksresi secara
lambat, sehingga emetin sudah ditemukan diurin 20-40 menit setelah suntikan dan
masih ditemukan 40-60 hari setelah pengobatan dihentikan

Efek samping:

 Lokal: nyeri tempat suntikan, kekakuan, lemah otot tempat suntikan


 Sistemik: merupakan akumulasi dari obat
- Pada GIT: mual, muntah, diare
- Pada neuromuskuler: lemah, neyeri dan kaku otot rangka terutama
leher&anggota gerak
- Pada cardiovaskuler: hipotensi, nyeriprekordial, tachicardi
- Hati hati pada geriatri, lemah

Indikasi : untuk amubiasis jaringan


Kontra indikasi :

 Hamil
 Penyakit jantung
 Penyakit ginjal

Sediaan & Dosis :

 Tersedia dalam 20,30,&60 mg/ampul IM.


 Tidak boleh untuk IV.
 Pada anak 1mg/kgbb/hari selama 5 hari, terapi ulang baru boleh stelah 6-8
mg dari pemberian pertama. Dosis dewasa 1-1,5 mg/kgbb/hari dg dosis
maksimal 90 mg/hr dlm dosis terbagi 2x/hr. pemberian ulang setelah 2
minggu

b. Klorokuin

Obat ini merupakan amubisid jaringan, berkhasiat pada bentuk histolytica.

Mekanisme kerja :

Klorokuin digunakan sebagai antimalaria juga digunakan sebagai


antiamuba.Namun biasanya efektif untuk mengobati malaria infeksi P.Falciparum.
Klorokuin digunakan untuk amubiasis sistemik, terutama abseshati.
Efek samping dan efek toksisnya :

 Mual
 Diare
 Muntah
 Sakit kepala

Dosis :

Untuk orang dewasa adalah 1 gram sehari selama 2 hari, kemudian 500 mg sehari
selama 2 sampai 3 minggu dan efektif untuk amubiasis hati.

Interaksi obat : Fenilbutazon yang menyebabkan reaksi dermatitis

c. Metronidazol

Farmakokinetik :

Absorbsi peroral baik. 1 jam setelah 500 mg diberikan oral, kadar plasma
10ug/mL. untuk protozoa & bakteri sensitif hanya diperlukan kadar plasma 8
ug/mL, t1/2 8-10 jam. Diekresi lewat urin, air liur, ASI &cairan vagina &seminalis
dalam kadar rendah. Urin mungkin berwarna gelap karena mengandung pigmen yg
larut air

Efek samping :

Sakit kepala, mual, mulut kering, kecap logam, lidah berselaput, glositis,
stomatitis,vertigo, ataksia, parestesia, flushing, pruritus, disuria dll, kadang
dijumpai netropenia

Kontra indikasi : Hamil sebaiknya dihindarkan, walaupun belum ada bukti efek
teratogeniknya
Indikasi :

 Amubiasis
 Trikonomiasis & infeksi bakteri anaerob
 Giardiasis
 Profilakis bedah abdomen
 Kolitis pseudomembranosa oleh clostridium defficile

Sediaan & dosis :

Sediaan: tablet 250 mg& 500mg, tablet vagina 500mg

Dosis:

- Amubiasis 3x 750 mg/hr po. Pada anak 30-50 mg/kgbb/hari dalam


3 dosis
- Trikonomiasis vagina: 3 x 250 mg selama 7-10 hari, bisa diulang
setelah 4-6 minggu, dpt diberikan bersama tablet vagina 500 mg/x/hr

Dosis giardiasis : 3 x 250 mg selama 7 hari

 Tinidazol: tersedia 500mg tablet

- Giardiasis: 1,5 g dosis tunggal waktu makan


- Disentri amuba&abses hati: 2g/x/hari selama 3 hari, anak
60mg/kgbb/hr
- Trikonomiasis : 2g dosis tunggal
- Infeksi anaerob: peritonitis, abses abdomen,a bses otak 500mg/12
jam IV

Interaksi obat : Alkohol (menimbulkan reaksi seperti disulfiram), meningkatkan


efek antikoagulan dengan warfarin.
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Adapun simpulan dari makalah ini Antara lain :

1. Infeksi cacing atau biasa disebut dengan penyakit cacingan termasuk dalam
infeksi yang di sebabkan oleh parasit. Parasit adalah mahluk kecil yang
menyerang tubuh inangnya dengan cara menempelkan diri (baik di luar atau
di dalam tubuh) dan mengambil nutrisi daritubuh inangnya.
Jenis-jenis cacing yang dapat menginfeksi adalah :

 Cacing Gelang: (Ascaris lumbricoides)


 Cacing Cambuk: (Tricuris trichiura)
 Cacing Tambang: (Necator Americanus Dan Ancylostoma Duodenale)
 Cacing Kremi: (Enterobius vermicularis)

2. Gejala umum jika terinfeksi cacing adalah timbulnya rasa mual, lemas,
hilangnya nafsu makan, rasa sakit di bagian perut, diare, dan turunnya berat
badan karena penyerapan nutrisi yang tidak mencukupi dari makanan. Pada
infeksi yang lebih lanjut apabila cacing sudah berpindah tempat dari usus
ke organlain, sehingga menimbulkan kerusakan organ & jaringan, dapat
timbul gejala demam, adanya benjolan di organ/jaringan tersebut, dapat
timbul reaksi alergi terhadap larva cacing, infeksi bakteri, kejang atau gejala
gangguan syaraf apabila organ otak sudah terkena.
3. Mekanisme kerja obat cacing yaitu dengan menghambat proses penerusan
impuls neuromuskuler sehingga cacing dilumpuhkan. Mekanisme lainnya
dengan menghambat masuknya glukosa dan mempercepat penggunaan
(glikogen pada cacing)
4. Obat-obat penyakit cacing diantaranya : Mebendazol, Tiabendazol,
Albendazol, Piperazin, Dietilkarbamazin, Pirantel, Oksantel, Levamisol,
Praziquantel ,iklosamida, Ivermektin.
5. Anti amuba adalah obat-obat yang digunakan untuk mengobati penyakit
yang disebabkan oleh mikroorganisme ber sel tunggal (protozoa), yaitu
Entamoeba Histolitica yang dikenal dengan disentri amoeba. Amoeba
adalah parasit yang terdapat dalam makanan dan minuman yang tercemar,
kemudian tertelan manusia, dan menetap di usus yang dapat menimbulkan
infeksi pada usus, bila pengobatan tidak tepat dapat menjalar organ-organ
lain, misalnya jantung dan hati.
6. Obat anti amoeba antara lain : Metronidazole, Chloroquin, Emetin
Hidroklorida.
DAFTAR PUSTAKA

Desser SS . Dientamoeba Fragilis. London : School Of Hygiene and Tropical


Medicine ; 2007.

Kasim F, Yulia T, Kosasih. ISO Indonesia volume 44. Jakarta : Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia ; 2009.

Katzung BG. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3. Jakarta : EGC ;1989.

Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi VIII. Jakarta: Salemba Medika ;
2002.

Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta :
Widya Medika ; 2001.

Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Sagung Seto ; 2011.

Sweetman SC. Martindale : The Complete Drug Reference. Thirty Sixth Edition.
London : The Pharmaceutical Press ; 2009.

Tjay TH, Rahardja K. Obat – Obat Penting. Jakarta : Elex Media Komputindo ;
2002.

http://analisbanjarmasin.blogspot.com/2010/08/siklus-hidup-entamoeba-
histolitica.html (diakses tanggal 03 Februari 2020)

Anda mungkin juga menyukai