Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SEDIAAN INFUS
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Formulasi dan Teknologi Sediaan Steril
Dosen Pengampu: Rusnaeni.,S.Farm.,M.Si

Disusun Oleh:
Kelompok 5 (Kelas B)
 Kurnia G. Karmomjanan (2019052064012)
 Jenny E. Lempoy (2019052064032)
 Anita Y. Membilong (2019052064034)
 Amelia Edowai (2019052064036)
 Dina Nur A. M. Ibrahim (2019051064078)
 Siti Maryati (2019051064080)
 Junelvy I. Nestin

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JAYAPURA
PAPUA
2022
ii

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................2
1.3 Tujuan...........................................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................3
2.1 Sediaan Infus................................................................................................................3
2.2 Pemakaian dan Penggunaan Infus................................................................................6
2.3 Prosedur Pembuatan Infus............................................................................................8
BAB 3 KESIMPULAN.............................................................................................................13
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................14

i
iii

i
1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas dari
mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan yang unik diantara bentuk
obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa
kebagian dalam tubuh. Karena sediaan mengelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh
yang paling efisien, yakni membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari
kontaminasi mikroba dan dari komponen toksik dan harus mempunyai tingkat kemurniaan
tinggi dan luar biasa. Semua komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk ini
harus dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi secara fisik, kimia
atau mikrobiologi.
Formulasi sediaan steril merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang banyak
dipakai, terutama saat pasien dirawat di rumah sakit. Sediaan steril sangat membantu pada
saat pasien dioperasi, diinfus, disuntik, mempunyai luka terbuka yang harus diobati, dan
sebagainya. Semuanya sangat membutuhkan kondisi steril karena pengobatan yang langsung
bersentuhan dengan sel tubuh, lapisan mukosa organ tubuh, dan dimasukkan langsung ke
dalam cairan atau rongga tubuh sangat memungkinkan terjadinya infeksi bila obatnya tidak
steril. Produk steril termasuk sediaan parentral, mata dan irigasi. Preparat parental bisa
diberikan dengan berbagai rute. Lima yang paling umum adalah intravena, intramuskular,
subkutan, intrakutan dan intraspinal. Pada umumnya pemberian secara parenteral dilakukan
bila diinginkan kerja obat yang lebih cepat, seperti pada keadaan gawat, bila penderita tidak
dapat diajak bekerjasama dengan baik, tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima
pengobatan secara oral atau bila obat tersebut tidak efektif dengan cara pemberian yang lain.
Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara memasukkan cairan,
elektrolit, obat intravena dan nutrisi parenteral ke dalam tubuh melalui intravena. Tindakan ini
sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi
dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang aman
diperlukan pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa.
Tindakan ini merupakan metode efektif dan efisien dalam memberikan suplai cairan ke dalam
kompartemen intravaskuler.
Terapi intravena dilakukan berdasarkan order dokter dan perawat bertanggung jawab
dalam pemeliharaan terapi yang dilakukan. Pemilihan pemasangan terapi intravena didasarkan
pada beberapa faktor, yaitu tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien, usia, riwayat
kesehatan dan kondisi vena pasien. Apabila pemberian terapi intravena dibutuhkan dan
diprogramkan oleh dokter, maka perawat harus mengidentifikasi larutan yang benar, peralatan
dan prosedur yang dibutuhkan serta mengatur dan mempertahankan sistem.
Salah satu sediaan steril adalah infus. Infus adalah terapi dengan cara memasukkan cairan
ke dalam tubuh. Infus adalah tindakan memasukkan cairan melalui intravena yang dilakukan
pada pasien untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit serta sebagai tindakan
pengobatan dan pemberian makanan.
2

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja jenis infus?
2. Bagaimana cara pemakaian dan penggunaan infus?
3. Bagaimana prosedur pembuatan infus?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui jenis sediaan infus
2. Agar dapat mengetahui cara pemakaian dan penggunaan infus dengan baik dan benar
3. Agar dapat mengetahui cara prosedur pembuatan infus yang baik dan benar
3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Sediaan Infus
Infus adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat mungkin
dibuat isotonis terhadap darah, disuntikan langsung ke dalam vena dalam volume relative
banyak. Emulsi dibuat dengan air sebagai fase luar. Diameter fase dalam tidak lebih dari 5 cm.
Kecuali dinyatakan lain, infus intravena tidak diperbolehkan mengandung bakteriosida dan zat
dapar. Larutan untuk infus intravena harus jernih dan praktis bebas partikel. Emulsi untuk
infus intravena, setelah dikocok, harus homogen dan tidak menunjukan pemisahan fase
(Depkes RI, 1979).
A. Jenis Cairan dan Indikasinya
Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan
koloid.
1. Cairan Kristaloid
Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida). Kristaloid
tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam ruang
intravascular dengan waktu paruh kristaloid di intravascular adalah 20-30 menit.
Beberapa peneliti merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter
kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi
imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi
intravena prehospital. Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi elektrolit
yang dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3
jenis tonisitas kritaloid, diantaranya (Butterworth, Mackey, & Wasnick, 2013):
- Isotonis.
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia memiliki
konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik,
konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi perpindahan
yang signifikan antara cairan di dalam intravascular dan sel. Dengan demikian,
hampir tidak ada atau minimal osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah
murah, mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera
dipakai untuk mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan viskositas darah,
dan dapat digunakan sebagai fluid challenge test. Efek samping yang perlu
diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada jumlah
pemberian yang besarContoh larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat, Normal
Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% in ¼ NS (Stoelting, Rathmell, Flood, &
Shafer, 2015) (Butterworth, Mackey, & Wasnick, 2013).
- Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih terkonsentrasi
dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik, konsentrasi). Administrasi
dari kristaloid hipertonik menyebabkan cairan tersebut akan menarik cairan dari
sel ke ruang intravascular. Efek larutan garam hipertonik lain adalah
4

meningkatkan curah jantung bukan hanya karena perbaikan preload, tetapi


peningkatan curah jantung tersebut mungkin sekunder karena efek inotropik
positif pada miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi
kapiler viseral. Kedua keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-
organ vital. Efek samping dari pemberian larutan garam hipertonik adalah
hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid hipertonis: Dextrose
5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%,
Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam RL (Hahn, 2012) (Butterworth, Mackey, &
Wasnick, 2013) (Stoelting, Rathmell, Flood, & Shafer, 2015).
- Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan kurang
terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik, konsentrasi).
Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari
intravascular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam air,
½ Normal Saline (Stoelting, Rathmell, Flood, & Shafer, 2015).
2. Cairan Koloid
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien
dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum
diberikan transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan
kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid
merupakan turunan dari plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki
sifat yaitu plasma expander yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang
digunakan untuk menggantikan plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka
baker, operasi. Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan
gangguan pada cross match.

Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi empat


kelompok, yaitu:
1. Cairan Pemeliharaan
Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan IV
cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka
dengan rute enteral, namun sebaliknya baik dalam hal keseimbangan cairan dan
elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang pada dasarnya euvolemik tanpa
signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal yang sedang berlangsung atau
masalah redistribusi internal yang kompleks). Tujuan saat memberikan cairan
perawatan rutin adalah untuk menyediakan cukup cairan dan elektrolit untuk
memenuhi insensible losses (500-1000 ml), mempertahankan status normal tubuh
kompartemen cairan dan memungkinkan ekskresi ginjal dari produk-produk
limbah (500-1500 ml.). Jenis cairan rumatan yang dapat digunakan adalah : NaCl
5

0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, ringer laktat/asetat, NaCl 0,9% hanya untuk
rumatan yang tinggi kandungan NaCl dari saluran cerna ataupun ginjal, glukosa 5%
atau glukosa salin.
2. Cairan Pengganti
Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan spesifik
untuk menutupi penggantian dari deficit cairan atau kehilangan cairan atau
elektrolit serta permasalahan redistribusi cairan internal yang sedang berlangsung,
sehingga harus dihitung untuk pemilihan cairan intravena yang optimal. Cairan dan
elektrolit intravena pengganti dibutuhkan untuk mengangani deficit yang ada atau
kehilangan yang tidak normal yang sedang berlangsung, biasanya dari saluran
pencernaan (contoh: ileostomy, fistula, drainase nasogastrium, dan drainase bedah)
atau saluran kencing (contoh: saat pemulihan dari gagal ginjal akut). Secara umum,
terapi cairan intravena untuk penggantian harus bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan ekstra dari cairan dan elektrolit seperti kebutuhan pemeliharaan,
sehingga homeostasis dapat kembali dan terjaga
3. Cairan untuk Tujuan Khusus
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya natrium
bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus terhadap gangguan
keseimbangan elektrolit.
4. Cairan Nutrisi
Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak
mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral. Jenis cairan nutrisi
parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk parenteral
parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu. Adapun syarat pemberian
nutrisi parenteral yaitu berupa: Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula
enterokunateus, atresia intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus. Kondisi
dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat, status preoperatif
dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis arteri mesenterika, diare
berulang. Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-
obstruksi dan skleroderma. Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti
pada gangguan makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemesis
gravidarum.
B. Keuntungan dan Kerugian Sediaan Infus Menurut (Potter & Perry, 2005)
1. Keuntungan terapi intravena antara lain
- Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target
berlangsung cepat.
- Absorbsitotal memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat
diandalkan.
- Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat
dipertahankan maupun dimodifikasi
- Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau
subkutan dapat dihindari, sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan
6

rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus
gastrointestinalis.
2. Kerugian terapi intravena
- Tidak bisa dilakukan “drug recall” dan mengubah aksi obat tersebut sehingga
resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi
- Kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “speed shock”
- Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu: kontaminasi mikroba melalui titik
akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vascular, misalnya flebitis kimia,
dan inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.
C. Karakteristik sediaan infus
 Steril
 Bebas partikel
 Bebas pirogen
 Stabilitas
 Tonisitas
 Kejernihan
 Mempunyai PH yg sesuai
D. Syarat-syarat infus:
- Aman, tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan dan efek toksis.
- Jernih, berarti tidak ada partikel padat.
- Tidak berwarna, kecuali obatnya memang berwarna.
- Sedapat mungkin isohidris, pH larutan sama dengan darah dan cairan tubuh lain
yakni 7,4.
- Sedapat mungkin isotonis, artinya mempunyai tekanan osmosis yang sama dengan
darah atau cairan tubuh yang lain tekanan osmosis cairan tubuh seperti darah, air
mata, cairan lumbai dengan tekanan osmosis larutan NaCl 0,9 %.
- Infus tidak boleh mengandung zat bakteriostatik
- Dikemas dalam wadah besar dosis tunggal
- Dapat juga ditambahkan antibiotik atau obat lainnya ke dalam infus.
(IDSAI, 2010)
2.2 Pemakaian dan Penggunaan Infus
Memasang infus adalah tindakan medis yang penting dan tidak boleh salah karena
berpengaruh besar terhadap proses kesembuhan pasien. Setiap Rumah Sakit dan Puskesmas
memiliki SOP yang sama secara garis besar. Berikut ini adalah pemasangan infus sesuai SOP:
 Alat
Pemasangan infus sesuai SOP yang pertama adalah alat yang tepat. Berikut ini alat
untuk pemasangan infus sesuai SOP:
- Set infus yang steril
- Cairan infus sesuai kebutuhan
- IV Catheter / Wings Needle/ Abocath sesuai yang dibutuhkan
- Perlak
7

- Pleseter
- Tourniquet
- Gunting
- Sarung tangan steril
- Kassa steril
- Kapas alkohol / alkohol swab
- Betadine

 Pemasangan infus
Berikut ini adalah cara pemasangan infus sesuai SOP:
- Sebelum menyentuh tubuh pasien, perawat atau dokter mencuci tangan terlebih
dahulu agar steril dari kuman dan bakteri.
- Pasien mendapatkan penjelasan tentang kandungan infus yang akan diberikan
serta efek samping dan sensasi yang akan dirasakan.
- Pemasangan infus sesuai SOP adalah pasien dalam keadaan berbaring.
- Menyambungkan botol cairan infus dengan selang kemudian digantungkan pada
standar infus.
- Menentukan area vena yang akan ditusuk kemudian memasang alas dibawahnya
- Area vena yang akan ditusuk dipasangkan tourniquet kurang lebih 15 cm diatas
area.
- Memakai sarung tangan.
- Area yang akan ditusuk dibersihkan dengan kapas alkohol atau alcohol swab.
- Tusukan jarum ke dalam vena menghadap ke jantung.
- Pastikan jarum IV masuk ke vena kemudian dan lepaskan tourniquet.
- Sambungkan jarum dengan selang infus.
- Tutup area yang ditusuk dengan kassa dan berikan plester untuk mempertahankan
letak jarum.
- Aturan kecepatan tetesan infus sesuai kebutuhan.
- Memasang label tindakan yang berisi nama, tanggal serta jam pelaksanaan.
- Bereskan alat dan memberitahukan kepada pasien bahwa prosedur sudah selesai.
- Cuci tangan serta terus melakukan observasi dan evaluasi akan respon pasien.

 Metode pemberian infus:


1. Injeksi IV Langsung
Volume kecil (1-50 ml) dan obat disuntikkan ke dalam vena dalam waktu yang
singkat (1-5 ml). Suntikan juga dapat diberikan melalui tempat injeksi karet yang
siap tergantung. Metode ini sesuai untuk sejumlah obat yang terbatas tetapi terlalu
berbahaya untuk kebanyakan obat.
2. Metode Pengontrolan Volume
8

Alat kontrol volume ditujukan untuk infus berselang larutan obat dengan jumlah
tepat pada pengontrolan laju aliran. Alat atau metode ini meliputi alat kalibrasi,
plastik tempat penampungan cairan langsung di bawah wadah IV yang
sebelumnya dipasang atau lebih sering dilekatkan pada penampungan cairan. Pada
kasus yang lain obat yang diberikan pertama disusun kembali bila obat merupakan
padatan steril dan disuntikkan ke dalam tempat suntikan karet dari unit pengontrol
volume kemudian dilarutkan dalam 50-150 ml dengan cairan pertama atau cairan
yang terpisah. Pemberian seluruh larutan yang mengandung obat 30-60 menit dan
menghasilkan konsentrasi puncak pada darah diikuti oleh penurunan dosis.
Prosedur untuk pemberian infus intravena berselang dengan suatu alat pengontrol
volume sebagai berikut:
• Menggunakan teknik aseptik, alat penusuk volume kontrol dimasukkan ke
dalam cairan IV pada wadah cairan yang terpisah.
• Udara dihilangkan dari pipa alat pengontrol volume dengan membuka klem
sampai cairan mengalir.
• Klem dibuka di atas tempat kalibrasi dan chamber kalibrasi diisi dengan 25-
50 ml cairan dari wadah utama cairan yang terpisah.
• Klem di atas chamber ditutup.
• Klem di atas chamber dibuka untuk mencukupkan larutan hingga volume
yang diinginkan (50-150 ml) lalu ditutup.
• Aliran dimulai jika klem bawah pada unit volume kontrol dibuka.
3. Metode Piggyback
Metode piggyback menunjukkan tetesan berselang IV (intravena) dari larutan
kedua, campuran obat ini melalui tempat penusukan vena dan sistem IV yang
telah dibuat sebelumnya. Dengan cara ini obat akan masuk pada vena mulai dari
bagian atas cairan IV yang pertama. Teknik piggyback tidak hanya mengurangi
keperluan untuk penusukan vena yang lain, tetapi juga menghasilkan pengenceran
obat dan konsentrasi puncak dari darah dalam waktu yang relatif singkat biasanya
30-60 menit. Pengenceran obat membantu mengurangi iritasi dan konsentrasi
serum yang tinggi sebelumnya merupakan pertimbangan penting dalam infeksi
serius yang memerlukan terapi obat yang tepat. Keuntungan ini lebih
mempopulerkan metode piggyback dari terapi IV, terutama untuk penggunaan
antibiotik berselang. Dalam penggunaan teknik piggyback unit kedua yaitu
menghilangkan udara dan jarum disuntikkan masuk ke dalam tempat suntik dari
obat primer atau ke dalam tempat suntikan pada akhir dari aliran primer. Infus
piggyback lalu dijalankan. Jika telah lengkap, cairan infus pertama dapat
dijalankan (Robert, 2017)
9

2.3 Prosedur Pembuatan Infus

a. Preform Room
Preform merupakan proses awal pembuatan plastic bottle. Perform dan hanger terbuat
dari bahan dasar Polypropylene (PP). Bahan dasar PP dimasukkan ke dalam mesin
hopper, lalu dipanaskan pada barel sampai PP meleleh dengan gerakan maju dan berputar.
Setelah itu PP yang telah meleleh dicetak di molding sehingga menjadi preform dan
hanger. Selama proses berlangsung, dilakukan pengujian IPC (In Process
Control) terhadap preform dan hanger meliputi:
• Spesifikasi berat preform dan hanger
• Tidak terdapat bekas titik hitam sisa proses sebelumnya
• Bentuk preform sesuai dengan cetakan (molding)
• Tidak terdapat partikel yang melekat pada preform, dan
• Tidak terdapat gelembung pada preform.
• Langkah selanjutnya preform disimpan di storage minimal 8 jam CPP (Critical
Parameter Process) pada proses pembuatan perform sebagai berikut: Suhu cetakan
(molding) dan barel, dan Tekanan compressor

Plastik Infus (BPOM, 2018)


10

b. Blowing Room
Blowing merupakan proses pembentukan dari preform menjadi botol infus yang
dilakukan di ruang kebersihan kelas C. Preform dan hanger dipanaskan dengan heater
dan diberi tekanan dengan dialiri cooling water dengan suhu 30°C.  Selanjutnya
dilakukan pencetakan pada molding dengan suhu 8-10°C dan ditiupkan udara bersih
dengan kisaran 1,8-2,2 mPa dari high compressor sehingga membentuk botol infuse.
Selama proses tersebut berlangsung terdapat pressure waterchiller dengan tekanan 2-4
bar. Botol infus yang keluar dari cetakan selanjutnya dilakukan visual inspect oleh
operator dan dilakukan reject pada botol-botol yang tidak sesuai dengan spesifikasi
seperti ketebalan, goresan, dan penyok. In Process Control (IPC) pada proses blowing
yaitu ketebalan botol infus. Setelah proses produksi 1 batch berakhir dilakukan
pembersihan minor dengan menggunakan alkohol 70% dan vakum terutama dibagian
gripper mesin, untuk batch selanjutnya dilakukan jeda 15 menit (line clearance). CPP
(Critical Parameter Process) pada proses blowing terdiri dari:
 Suhu heater blowing
 Kecepatan mesin
 Tekanan pada high compressor (aliran udara bersih)
 Suhu molding 8-10°C dan tekanan 2-4 bar (BPOM, 2018)
c. Mixing Room
Mixing adalah proses pembuatan formula dengan mencampur raw material dan Water for
Injection dalam mixing tank. Proses mixing dilakukan pada ruang kebersihan kelas
C dengan kondisi ruangan RH 75%, suhu 25°C, dan tekanan 20 bar. Pertama-tama
dilakukan penimbangan bahan pada weighing room sesuai dengan bill of material yang
terlampir pada catatan pengolahan batch yang akan diproduksi. Lalu bahan yang sudah
ditimbang dimasukkan ke dalam storage room. Pencampuran dilakukan dengan
memasukkan WFI, bahan baku/dumpling, dan ditambahkan lagi WFI dalam mixing tank
dengan kapasitas tanki mencapai beberapa ton. Setelah itu dilakukan pengecekan
ketinggian tanki dengan menggunakan deep stick dan dilakukan pencampuran sampai
homogen dengan menggunakan agitator. Proses pengadukan dilakukan secara terus
menerus untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Proses transfer cairan dengan suhu 20-
30°C ke filling room dengan motor dan tekanan disertai dengan pendinginan (chiller)
pada tube heat exchanger (THE) melewati penyaringan dengan pre-filter 0,45 cm yang
bertujuan untuk menyaring partikel-partikel kasar dan final filter 0,22 cm yang
mempunyai kemampuan untuk memfilter mikroba. Untuk mengetahui kebocoran
membran filter dilakukan integritas filter antara lain uji bubble point test, diffusive flow,
dan pressure hold. Metode yang digunakan adalah metode diffusive flow dimana cara
kerjanya dengan pembasahan dinamis. In Process Control (IPC) pada proses mixing yaitu
kontrol kadar. Spesifikasi kadar produk infus berbeda-beda, antara lain:
 Ringer Lactat dengan kadar 90-110% (sirkulasi 6 ton selama 30 menit)
 Normal saline & Dextrose 5%; 10% dengan kadar 95-105% (sirkulasi 6 ton selama 15
menit).
d. Filing Room
11

Proses ini berlangsung di ruang kebersihan kelas A background kelas C. Pada filling room
dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
• Washing, merupakan proses pembersihan botol dengan udara bersih dan setelah itu
udara bersih divakum. Seluruh proses washing dilakukan dengan kecepatan
mencapai 12 detik/botol, tekanan 6-8 bar dan terdapat membran filter 0,22
mikronmeter, total keseluruhan terdapat 48 botol nozle. CPP (Critical Parameter
Process) washing antara lain tekanan udara yang ditiupkan, durasi seluruh proses
washing (hembus-vakum).
• Filling, pada proses ini terdapat membran filter 0,22 mikronmeter untuk menyaring
kotoran. Pada proses filling dapat mencapai 40 botol nozle.  CPP (Critical Parameter
Process) filling yaitu nozzle opening time (satuan/detik).
• Sealing, pada proses sealing terdapat botol nozzle, oscilator, hopper, dan tempat cap.
CPP (Critical Parameter Process) sealing antara lain pelat heater (terdapat 3 pelat)
dan suhu (voltase). Capping, terdapat VD (Volume Displacement) yang merupakan
mesin penekan sebelum di capping serta bertujuan untuk mencegah gelembung saat
sterilisasi dan terdapat cooling water dengan tekanan 0,2-0,4 bar. In Process Control
(IPC) pada proses washing, filling, dan sealing yaitu pemerian, volume terpindahkan,
identifikasi, pH, bahan partikulat, logam berat (Pb), besi, dan kadar. Tahap terakhir
adalah sealing, merupakan proses melekatkan cap ke bibir botol kemasan primer.
Tahap-tahap proses produksi di filling room dilakukan di ruang kebersihan kelas A.
Setelah melalui proses produksi di ruang kebersihan kelas C, dilanjutkan ke proses
sterilisasi, inspeksi, dan pengemasan di ruang kebersihan kelas F.
e. Sterilization
Sterilisasi dilakukan dengan sistem Overkill. Pada metode ini dilakukan pemanasan
menggunakan sterilisasi panas basah dengan autoklaf pada suhu 121° C selama 15 menit
untuk produk non dekstrose seperti Sodium Chloride 0,9 % dan Ringer Lactate.
Sedangkan untuk produk Dextrose 5% dan Dextrose 10% proses sterilisasi dilakukan
pada suhu 115° C selama 30 menit. Proses sterilisasi terdiri dari beberapa tahap yaitu
heating, sterilisasi, dan cooling, adapun waktu yang dibutuhkan sebagai berikut:
 Heating time (Waktu pemanasan), adalah waktu yang dibutuhkan untuk memanaskan
seluruh muatan isi autoklaf sampai mencapai suhu sterilisasi.
 Sterilization time (Waktu sterilisasi), adalah waktu yang ditetapkan untuk mensterilkan
muatan/isi autoklaf dihitung mulai saat suhu sterilisasi tercapai. Terdapat
thermocouple yang ditempatkan di autoklaf untuk memonitor suhu di dalam autoklaf
selama proses sterilisasi.
 Cooling time (Waktu pendinginan), adalah waktu dibutuhkan untuk mendinginkan
seluruh muatan/isi autoklaf sampai suhu yang ditetapkan tercapai. Proses cooling
mulai dihitung saat berakhirnya waktu sterilisasi sekitar 30-45 menit dan 3 menit
untuk proses penghilangan air.

Suatu produk akhir dikatakan sudah steril apabila terjadi perubahan warna hitam pada
garis strip steril yang ditempel pada pelat kereta. Strip steril memiliki kandungan
Bacillus subtilis >106/strip untuk suhu 115°C selama 30 menit dan kandungan bacillus
stearothermophilus >106/strip untuk suhu 121°C selama 15 menit. Proses pembersihan
autoklaf dilakukan setiap 3 kali proses sterilisasi untuk 1 jenis produk. Tiap rak
12

terdapat penandaan dan sekat antar ruang sebelum dan sesudah sterilisasi untuk
menghindari mixed-up. CPP dalam proses sterilisasi antara lain suhu dan strip steril.
(FDA, 2016)
f. Visual Inspection
Visual Inspection merupakan proses pengamatan sediaan infuse yang telah disterilisasi
oleh personil secara visual. Pengamatan uji partikel dilakukan dibawah pencahayaan 600
Lux dengan latar belakang hitam dan putih selama masing-masing 5 detik. Selain itu
dilakukan pengamatan uji kemiringan, uji penyok, dan mata ikan pada botol. CPP
(Critical Parameter Process) Visual Inspection yaitu  kecepatan botol (conveyer), lama
pengamatan untuk masing-masing background, pencahayaan untuk pengamatan. (BPOM,
2018)
g. Pengemasan
Pengemasan merupakan proses labelling kemasan primer dan kemasan sekunder dimana
terdapat 3 kontainer dengan warna pelabelan yang berbeda-beda antara lain: Setelah
proses labeling kemudian memasukkan sediaan kedalam kemasan sekunder. Setiap satu
kemasan sekunder diberi brosur. Selain itu, pada kemasan sekunder diberi informasi
mengenai nomor karton, nomor bets dan tanggal pembuatan serta tanggal kedaluwarsa
produk. Setelah semua proses tersebut selesai, kemudian produk tersebut dikirimkan ke
gudang penyimpanan. Produk disimpan masih dalam status karantina sampai dengan
produk tersebut selesai di uji oleh QC dan diubah statusnya menjadi “release” oleh QA.
CPP (Critical Parameter Process) labelling dan packaging yaitu kecepatan conveyer,
tinta printer (untuk menghindari pemalsuan produk/orisinalitas), lead time label ke satu
ke label berikutnya agar posisi selalu konsisten, kecepatan mesin (case packer) untuk
memasukkan botol ke dalam kardus, dan kebenaran etiket (penandaan). (BPOM, 2018)
13

BAB 3 KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
14

DAFTAR PUSTAKA
BPOM. (2018). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Jakarta:
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Butterworth, J., Mackey, D., & Wasnick, J. (2013). Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. New York: Mc-Graw Hill.
Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Hahn, R. (2012). Clinical Fluid Therapy in the Perioperative Setting. Cambridge:
Cambridge University Press.
IDSAI. (2010). Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Jakarta: Komisi
P2KB PP IDSAI.
Potter, P., & Perry, A. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 2. Alih Bahasa : Renata Komalasari.
Jakarta: EGC.
Robert, T. (2017). Teknologi Sediaan Steril Edisi Pertama. Jakarta: CV Sagung
Seto.
Stoelting, R., Rathmell, J., Flood, P., & Shafer, S. (2015). Handbook of
Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice 3rd ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer Health.

Anda mungkin juga menyukai