Anda di halaman 1dari 30

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Di Indonesia, infeksi cacingan merupakan masalah kesehatan yang sering
dijumpai. Angka kejadian infeksi cacingan yang tinggi tidak terlepas dari
keadaan Indonesia yang beriklim tropis dengan kelembapan udara yang tinggi
serta tanah yang subur yang merupakan lingkungan optimal bagi kehidupan
cacing. Hasil survey cacingan di sekolah dasar di beberapa propinsi pada
tahun 1987-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk
semua umur berkisar antara 40%-60%.1 Tentu saja, dengan persentase yang
tinggi ini, pemerintah berupaya mengadakan pemberatasan dan pencegahan
kecacingan di Indonesia secara nasional.
Pada tahun 2005 terjadi kecenderungan peningkatan prevalensi
kecacingan. Beberapa penelitian kecacingan yang dilakukan di Jakarta antara
lain oleh Djarismawati mendapatkan prevalensi askariasis sebesar 70%-80%
dan penderita trikuris 25,3% - 68,4%.1 Pada tanggal 5 November 2015
diadakan Pencanangan Gerakan Waspada Cacingan di Jakarta. Menurut
Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Kementrian
Kesehatan drg. Vensya sitohang, mengatakan bahwa angka prevalensi cacing
di Indonesia mencapai 28,12%. Beliau juga mengatakan bahwa tidak bisa
hanya mengandalkan minum obat cacing saja, harus ada peningkatan kondisi
lingkungan yang sehat dan mengubah perilaku orang berisiko terkena
cacingan.2
Infeksi cacing mempunyai faktor yang menyebakannya, faktor tersebut
terutama adalah faktor perilaku yang mencerminkan rendahnya sanitasi
pribadi seperti kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan setelah buang air
besar (BAB), kebersihan kuku, jajan ditempat yang kebersihannya tidak
terjaga, dimana hal ini menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh
tinja yang berisi telur cacing serta ketersediaan sumber air bersih.3 Infeksi
cacing yang sering terjadi akibat faktor kebersihan yang kurang adalah infeksi

Universitas Kristen Krida Wacana


2

yang disebabkan oleh Soil Transmitted Helminths (STH). Cacing Trichuris


trichiura merupakan salah satu infeksi STH. Infeksi oleh cacing ini dapat
mengganggu tumbuh kembang anak. Cacing ini dapat menyebabkan
timbulnya malnutrisi, anemia, gangguan proses belajar dan kehadiran di
sekolah, karena parasit ini hidup di saluran pencernaan dan dapat
mengakibatkan proses peradangan kronis yang dapat menganggu kesehatan
anak. Infeksi cacing dapat ditemukan pada berbagai golongan umur, namun
lebih sering ditemukan pada anak usia sekolah, terutama yang mempunyai
kebiasaan bermain di tanah dan makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.1
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan kota yang sangat padat.
Hal itu sebagai akibat tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, baik dari
kelahiran maupun urbanisasi, sehingga menimbulkan tekanan terhadap
lingkungan hdup juga meningkat. Alih fungsi lahan semakin sulit dihindari.
Pengaruh lingkungan yang padat membuat tingkat kebersihan menurun.4
Kawasan Jakarta barat, memiliki RW kumuh terbanyak dari 5 wilayah
kota di DKI Jakarta menurut Deupti Gubernur DKI Bidang Pengendalian
Kependudukan dan Pembina.5 Dalam penelitian oleh Djahrahmawati tahun
2008 menunjukkan prevalensi anak yang cacingan terbanyak pada daerah
Jakarta Selatan, dan terbanyak kedua pada daerah Jakarta Barat. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan pada infeksi oleh cacing Trichuris trichiura
berkisar 25% sampai dengan 68,5%% dan untuk di Jakarta Barat sendiri
infeksinya mencapai 25 % diantara 5 wilayah di DKI Jakarta.6 Dengan angka
persentase yang lumayan tinggi, pemerintah telah melaksanakan berbagai
program pemberantasan penyakit kecacingan, terutama pada anak usia sekolah
dasar. Kegiatan tersebut seperti penyuluhan kepada murid, guru, dan orang tua
murid mengenai penyakit cacingan yang ditularkan melalui tanah, termasuk
penyebab dan pencegahan dan cara penanggulangan serta pemberian obat.7,8
Oleh karena itu, selain peneliti ingin meneliti angka infeksi cacingan di
salah satu sekolah dasar di Jakarta Barat. Penelitian ini dalam rangka
meningkatkan upaya pencegahan kecacingan yang efektif dan derajat kualitas
hidup masyarakat.

Universitas Kristen Krida Wacana


3

1.1 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
Bagaimana gambaran infeksi cacing Trichuris trichiura di SDN 01 PG
Jakarta Barat?

1.2 Tujuan Penelitian


1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran infeksi cacing Trichuris trichiura pada
anak di SDN 01 PG Jakarta Barat.

1.2.2 Tujuan Khusus


 Mengetahui pengetahuan anak sekolah dasar tentang perilaku
kebersihan diri sendiri.
 Mengetahui hubungan antara perilaku kebersihan diri dengan
terinfeksi penyakit cacing.

1.3 Manfaat Penelitian


1.3.1 Manfaat Bagi Peneliti
 Sebagai salah satu syarat kelulusan mahasiswa kedokteran
semester VII tahun ajaran 2013.
 Memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan
penelitian.

1.3.2 Manfaat Bagi Instansi


Sebagai bahan referensi dalam ilmu pendidikan khususnya dalam
hal medis untuk peneliti berikutnya.

1.3.3 Manfaat Bagi Masyarakat


Dengan mengetahui gambaran infeksi cacing pada anak usia
sekolah dasar, masyarakat juga akan mendapat pengetahuan tentang
infeksi cacing Trichuris trichiura Selain itu, bisa ditingkatkan lagi upaya

Universitas Kristen Krida Wacana


4

kebersihan baik di lingkungan maupun kebersihan diri sendiri, hal ini akan
meningkatkan derajat kualitas hidup seseorang.

Universitas Kristen Krida Wacana


5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nematoda Usus

Nematoda mempunyai jumlah spesies terbanyak di antara cacing-cacing


yang hidup sebagai parasit. Cacing tersebut berbeda-beda dalam habitat, daur
hidup dan hubungan hospes-parasit. Manusia merupakan hospes beberapa
nematoda usus. Di antara nematode usus terdapat sejumlah spesies yang
ditularkan melalui Soil Transmitted Helminthes (STH). Cacing yang
terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus,
Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, dan
beberapa spesies Trichosstongylus. Nematoda usus lainnya yang penting bagi
manusia adalah Oxyuris vermicularis dan Trichinella spiralis.9

2.2 Cacing Trichuris trichiura


2.2.1 Morfologi dan Daur Hidup
Trichuris trichiura atau Trichocephalis dispar atau cacing cambuk
merupakan penyebab penyakit trikuriasis. Manusia merupakan hospes
cacing ini. Cacing ini bersifat kosmpolot, terutama ditemukan di daerah
panas dan lembab, seperti di Indonesia. Panjang cacing betina kira-kira 5
cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Pada bagian anterior langsing
seperti cambuk dan bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing
betina bentuknya membulat tumpul. Pada cacing jantan melingkar dan
terdapat 1 spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon ascendens dan sekum
dengan bagian anterior seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus.

Universitas Kristen Krida Wacana


6

Gambar 2.1 Cacing Betina (Kiri) dan Cacing Jantan (Kanan) 10

Telur Trichuris trichiura berukuran lebih kurang 50 kali 22 mikron,


bentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua
kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kungingan dan bagian
dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja.
Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam
lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan teduh. Telur
matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.10

Gambar 2.2 Telur Cacing Trichuris trichiura11


Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur
matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus.
Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke

Universitas Kristen Krida Wacana


7

daerah kolon, terutama sekum. Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru.
Masa pertumbuhannya mulai dari telur tertelan sampai cacing dewasa betina
bertelur kurang lebih 30 – 90 hari.

Gambar 2.3 Daur Hidup Cacing Trichuris trichiura10

2.2.2 Epidemiologi
Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang penting dalam proses
transmisi, iklim tropis Indonesia sangat menguntungkan terhadap
perkembangan Trichuris trichiura. Indonesia mempunyai empat area
ekologi utama terhadap transmisi Trichuris trichiura yaitu dataran tinggi,
dataran rendah, kering, dan hujan. Data dari berbagai survei di berbagai
tempat di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi Trichuris trichiura
merupakan masalah di semua daerah di Indonesia dengan prevalensi 35%

Universitas Kristen Krida Wacana


8

sampai 75%. Infeksi Trichuris trichiura didasari dengan sanitasi yang


inadekuat dan populasi yang padat, umumnya ini dijumpai di daerah kumuh
dengan tingkat sosioekonomi yang rendah. 12
Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap infeksi
Trichuris trichiura. Berdasarkan data epidemiologi, anak dengan tempat
tinggal dan sanitasi yang buruk dan higienitas yang rendah mempunyai
risiko terinfeksi yang lebih tinggi. Pendidikan higienitas yang rendah juga
mendukung tingginya infeksi tersebut. Tumpukan sampah dan penyediaan
makanan jajanan di lingkungan sekolah juga menjelaskan tingginya
prevalensi. Faktor terpenting dalam penyebaran trikuriasi adalah
kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur. Telur berkembang
baik pada tanah liat, lembab dan teduh.13

2.2.3 Patologi dan Gejala Klinis


Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum,
akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat,
terutama pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rectum.
Biasanya pada infeksi berat dengan penderita terutama anak-anak akan
menunjukkan gejala diare yang sering diselingi sindrom disentri, anemia,
berat badan menurun dan kadang-kadang disertai prolapses rectum (akibat
mengejannya penderita saat defekasi). Pada infeksi ini biasa menimbulkan
anemia karena, saat cacing memasukkan kepalanya ke dinding usus
menyebabkan terjadi iritasi dan peradangan pada mukosa usus. Pada bagian
tersebut cacing akan melekat dan menyebabkan terjadinya perdarahan.
Adanya darah yang keluar ini akan dihisap oleh cacing, dapat diperkirakan
cacing Trichuris trichiura ini menghisap darah hospes sekitar 0,005 ml
darah/hari.14
Infeksi cacing Trichuris trichiura juga menyebabkan penurunan
Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1). IGF-1 merupakan suatu hormone
pertumbuhan bersifat anabolik yang berfungsi pada skeletal dan
hemotopoesis. Plasma IGF-1 meningkat pada anak dan mencapai puncak
saat pubertas. Hormon ini adalah marker biokimia yan baik untuk menilai

Universitas Kristen Krida Wacana


9

gangguan pertunbuhan dan menilai gangguan nutrisi pada anak. Oleh sebab
itu infeksi cacing ini akan menyebabkan gangguan pertumbuhan anak. Hal
ini akan menurunkan derajat kualitas hidup manusia.11

Tabel 2.1 Tipe Infeksi pada Trichuris trichiura15

Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya


sedikit tetapi dengan masuknya bagian kepala cacing dewasa ke mukosa
usus dan menghisap darah, terjadi iritasi dan peradangan mukosa usus,
sehingga dapat menimbulkan anemia, dan mudah terinfeksi bakteri atau
parasite lain. Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas
humoral yang ditunjukkan dengan adanya reaksi anafilaksis lokal, akan
tetapi peran imunitas seluler tidak terlihat. Gejala ringan dan sedang adalah
anak menjadi gugup, susah tidur, nafsu makan menurun, pada infeksi berat
bisa dijumpai nyeri perut, disentri sampai prolapses rekti.11

2.2.4 Diagnosis
Diagnosis trikuriasis ditegakkan dengan menemukan telur pada
sediaan basah tinja langsung atau menemukan cacing dewasa pada

Universitas Kristen Krida Wacana


10

pemeriksaan kolonoskopi. Telur Trichuris trichiura memiliki karakteristik


seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih di kedua kutub
sehingga mudah untuk diidentifikasi. Penghitungan telur per gram tinja
dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan berat
ringannya infeksi. 16

2.2.5 Pengobatan Infeksi Cacing Trichuris trichiura


Untuk mengatasi cacing ini, WHO memberikan empat daftar anti
helmintic yang esensial dan aman dalam penanganan dan control STH, yaitu
albendazole, mebendazole, levamisole, dan pyrantel pamoate. Jika diberikan
secara regular pada komunitas yang terinfeksi, obat-obat ini efektif dalam
mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan infeksi cacing yang
endemik. Berdasarkan meta-analisis dari Sembilan uji placebo-kontrol,
pemberian albendazole dalam penangan infeksi Trichuris trichiura didapati
angka penuruan telur sebesar 0% sampai 89,7%.12
Pada uji eksperimental telah menunjukkan bahwa golongan
benzimidazole tidak saja membunuh stadium dewasa dari nematode tetapi
juga membunuh atau mensterilkan telur dan larva. Albendazole tersedia
dalam bentuk tablet kunyah dan cairan. Albendazole tersedia dalam sediaan
200 mg dan 400 mg. Absorbsi obat ini di saluran cerna tidak baik sehingga
obat ini bekerja langsung terhadap cacing.12 Albendazole merupakan obat
yang aman, dan jarang ditemukan efek samping berupa mulut kering,
perasan tak enak di epigastrium, mulai lemah dan diare. Obat ini selain
bekerja terhadap cacing dewasa, tetapi juga telah terbukti mempunyai
aktivitas larvasidal dan ovisidal. 8
Obat ini secara selektif bekerja menghambat pengambilan glukosa
oleh usus cacing dan jaringan dimana larva bertempat tinggal. Akibatnya
terjadi pengosongan cadangan glikogen dalam tubuh parasit yang mana
akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan adenosine tri phospat
(ATP). ATP ini penting untuk reproduksi dan mempertahankan hidupnya,
dan kemudian parasit akan mati. Pemberian obat ini akan memberikan hasil

Universitas Kristen Krida Wacana


11

yang efektif bila diberikan selama 3 hari pada penderita yang terinfeksi
cacing Trichuris trichiura.8
Anak-anak sering terinfeksi cacing terutama cacing STH salah
satunya Trichuris trichiura. Hal ini karena perilaku kebersihan anak-anak
tersebut. Pada anak-anak cenderung sering memasukkan jari-jari tangannya
ke dalam mulut selesai bermain atau saat bermain. Anak-anak juga
cenderung untuk tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.
Perilaku-perilaku kebersihan ini perlu diterapkan oleh orang tua pada anak-
anak. Sejak kecil anak-anak harus dibiasakan untuk selalu menjaga
kebersihan dirinya. Misalnya seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah
makan, tidak memasukkan jari yang kotor kedalam mulut, mandi dua kali
sehari, dan lain-lain. Hal-hal yang sederhana ini perlu diajarkan pada anak
sejak dini, agar anak-anak bisa dicegah dari terinfeksi cacing. Faktor
perilaku kebersihan diri sangat penting dan berpengaruh dalam terinfeksi
penyakit cacing, mengingat cacing Trichuris trichiura penularannya lewat
tanah.17

2.3 Kerangka Teori

Nematoda Usus

Morfologi dan
Daur Hidup
Pengobatan Trichuris
Cacing TT trichiura
Epidemiologi

Gejala
Diagnosis
Klinis

Albendanzole

Pemeriksaan Feses
Perilaku
Kebersihan Diri

Universitas Kristen Krida Wacana


12

2.4 Kerangka Konsep

Gambaran
Infeksi Perilaku
Trichuris Cacing
trichiura Kebersihan Diri
Trichuris
trichiura

Pemeriksaan • Kebiasaan Mencuci


Feses Tangan
• Kebiasaan Bermain
di Tanah
• Kebiasaan Makan
menggunakan
sendok dan garou
• Kebiasaan Mengigit
kuku
• Kebiasaan
Menggunting Kuku
• Kebiasaan Jajan di
Sekolah

Universitas Kristen Krida Wacana


13

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Pada penelitian ini, desain yang digunakan adalah studi deskriptif dengan
pendekatan cross sectional study.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Pengambilan sampel dilakukan di SDN 01 PG Jakarta Barat dan
pemeriksaan sampel akan dilakukan di Laboratorium Parasitologi FK
UKRIDA. Penelitian ini dilakukan mulai dari September - Novrember 2016.

3.3 Subjek Penelitian


Siswa yang dipilih adalah murid kelas 1 sampai dengan kelas 6. Tiap
kelas akan dipilih 25 anak secara random menurut absensi kelas. Siswa yang
terpilih ini yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Kriteria
inklusinya adalah siswa yang bersedia menjadi responden, tidak minum obat
cacing dalam 6 bulan terakhir, mau diwawancarai, bukan murid pindahan,
dan dalam kondisi sehat. Sedangkan kriteria ekslusinya adalah siswa pindah
sekolah atau tidak mau ikut serta dalam penelitian ini, minum obat cacing
dalam 6 bulan terakhir, tidak mau minum obat dan dalam kondisi tidak sehat.
Informed consent dilakukan setelah diinformasikan tujuan dari penelitian.

3.4 Besar Sampel


Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian tersebut termasuk ke dalam
penelitian deskriptif (prevalensi) dengan variabel keluaran berupa variabel
kategorik. Dengan demikian, rumus besar sampel yang digunakan adalah
rumus besar sampel untuk penelitian deskriptif kategorik.

Universitas Kristen Krida Wacana


14

Besar sampel : N= Zα2 x P x Q

d2

Keterangan:

N = Jumlah sampel minimum

Zα = Nilai Z pada tabel sesuai nilai α

d = Presisi (tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki)

P = Proporsi penyakit/masalah yang diteliti

Q=1–P

N= Zα2 x P x Q

d2

= (1,96)2 x 0,25 x 0,75

0,102

= 72,03(dibulatkan menjadi 72)

Jadi besar minimun sampel yang didapat adalah 72

3.5 Cara Kerja


Cara pengawetan specimen tinja: Setiap pot plastik yang sudah diberi label
akan diisi formalin 10% sampai pertengahan pot (menutupi feses). Dan setelah itu
ditutup rapat, kemudian pot tersebut selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan.
Cara pemeriksaan tinja dengan metode natif (langsung) : Tinja diaduk
supaya homogen menggunakan tusuk gigi, lalu ditestekan pada kaca objek yang
sudah ditetesi larutan lugol, kemudian diaduk lagi. Campuran tinja tersebut
ditutup dengan cover glass dan diperiksa di bawah mikroskop pada pembesaran
10x10 dan pembesaran 10 x 40. Adanya telur cacing dari Trichuris trichiura akan
dicatat.

Universitas Kristen Krida Wacana


15

3.6 Analisis Data


Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah análisis univariat.
Analisiss univariat merupakan análisis setiap variabel dinyatakan dengan sebaran
frekuensi, baik secara angka-angka mutlak maupun secara persentase, disertai
dengan penjelasan kualitatif. Pada penelitian ini análisis univariat yang dilakukan
antara lain distribusi frekuensi kejadian infeksi cacing Trichuris trichiura,
distribusi frekuensi perilaku kebersihan diri sendiri antara lain kebiasaan mencuci
tangan, bermain di tanah, makan menggunakan sendok dan garpu,

3.7 Definisi Operasional


 Infeksi cacing Trichuris trichiura : status infeksi cacing yang ditentukan
dengan ditemukan adanya telur cacing Trichuris trichiura pada sediaan
tinja yang diambil dan diperiksa secara makroskopis dan mikroskopis.
 Gambaran infeksi : seberapa sering suatu penyakit atau kondisi terjadi
pada sekelompok orang.
 Faktor yang mempengaruhi anak terinfeksi cacing : hal (keadaan,
peristiwa) yang ikut menyebabkan terjadinya infeksi cacing pada anak.

3.8 Masalah Etika


Pada penelitian ini akan dilakukan pengumpulan feses tiap anak yang
terpilih dengan metode yang sudah ditentukan. Tentunya, agar penelitian ini bisa
berjalan dengan lancar maka sebelumnya akan dilakukan penjelasan terlebih
dahulu mengenai tujuan dari penelitian ini terhadap pihak kepala sekolah dan
guru-guru di sekolah tersebut. Setelah mendapat persetujuan dari pihak sekolah,
maka akan dilakukan pengumpulan sampel pada anak-anak yang terpilih. Pada
tiap kelas akan diberikan penjelasan mengenai tujuan dari penelitian ini, dan juga
akan dilakukan informed consent pada tiap anak, dan anak yang bersedia akan
diberikan penjelasan cara pengambilan feses dengan benar serta akan diberikan
wadah untuk menampung feses tersebut. Informed consent ini berisi tentang
kesediaan diri secara suka rela untuk diambil fesesnya dan bersedia untuk
dilakukan wawancara. Tentunya, bila dalam pemeriksaan sampel terdapat anak

Universitas Kristen Krida Wacana


16

yang terbukti terinfeksi cacing, maka dijamin hal tersebut tidak akan
disebarluaskan dan dalam pemeriksaan, anak-anak yang sampelnya telah
diperiksa, akan diberitahukan hasilnya sendiri oleh peneliti. Saat penulisannya
tidak akan dicantumkan nama diperhatikan anak-anak ini harus didampingin oleh
pihak orang tua atau guru, bila dari pihak orang tua anak tersebut berhalangan
untuk hadir.
Proposal penelitian ini sudah mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (Lampiran 5)

Universitas Kristen Krida Wacana


17

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Sekolah Dasar 01 PG Jakarta Barat, merupakan salah satu Sekolah Dasar
di daerah Tanjung Duren, Jakarta Barat. Secara geografis terletak di lingkungan
tempat tinggal warga dan lingkungan sekitarnya terlihat bersih karena tidak ada
sampah yang berserakan. Oleh karena itu diharapkan pada penelitian ini tidak
ditemukan adanya infeksi cacing Trichuris trichiura pada anak.

4.2 Karakteristik Sampel


Telah dilakukan penelitian di SD 01 PG dengan sampel berjumlah 90,
yang terkumpul dari anak-anak yang terpilih. Sebelum pengumpulan sampel,
dilakukan penyuluhan terlebih dahulu. Pengumpulan sampel tinja minimal 1 kali
dalam kurun waktu tersebut dimulai pada bulan awal bulan September 2016
sampai akhir bulan November 2016. Jumlah sampel yang diambil adalah 90 anak
berasal dari kelas 2-5 dengan kelompok umur 7-12 tahun. Berikut adalah
karakteristik sampel berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Tabel 4.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur

Umur Frekuensi Persentase (%)


7-8 tahun 21 23,3 %
9-10 tahun 45 50 %
11-12 tahun 24 26,7 %
Total 90 100%

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa sampel terbanyak berdasarkan umur


berasal dari umur 9 – 10 tahun yaitu 50%.

Universitas Kristen Krida Wacana


18

Tabel 4.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)


Perempuan 53 58,9 %
Laki-Laki 37 41,1 %
Total 90 100%

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa sampel terbanyak berdasarkan


jenis kelamin berasal dari perempuan yaitu 58,9 %.

4.3 Gambaran Infeksi Cacing Trichuris trichiura pada Anak SDN 01 PG Jakarta
Barat
Hasil pemeriksaan feses anak untuk identifikasi cacing Trichuris trichiura
pada anak SDN 01 PG dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Infeksi Cacing Trichuris trichiura

Hasil Frekuensi Persentase

Positif 0 0%

Negatif 90 100%
Total 90 100%

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan gambaran infeksi cacing Trichuris


trichiura pada anak SDN 01 PG Jakarta Barat adalah 0%, dimana tidak ada
satupun anak yang mengalami infeksi cacing Trichuris trichiura. Hal itu
dibuktikan dengan tidak ditemukannnya telur Trichuris trichiura pada
pemeriksaan feses dengan lugol. Hasil ini tertentu sangat berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Djarismaawati, mengenai prevalensi infeksi cacing
STH di daerah Jakarta Barat didapatkan 25%. Perbedaan angka infeksi cacing ini
berhubungan dengan hygiene tiap anak.
Akan tetapi, walaupun tidak ditemukan adanya telur Trichuris trichiura
pada feses, pada pemeriksaan feses menemukan adanya telur Ascaris
lumbricoides, protozoa dan jamur.

Universitas Kristen Krida Wacana


19

Berdasarkan data (lampiran), didapatkan distribusi infeksi cacing Ascaris


lumbricoides,protozoa dan jamur.

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kejadian Infeksi Ascaris lumbricoides

Hasil Frekuensi Persentase

Postif 1 1,1%
Negatif 89 98,9%
Total 90 100%

Pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan di SDN 01


PG Jakarta Barat ditemukan infeksi cacing Ascaris lumbricoides hanya terdapat
pada satu orang anak (sampel nomor 18) dengan persentase 1,1% (tabel 5).

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Infeksi Protozoa

Hasil Frekuensi Persentase

Postif 4 4,4%

Negatif 86 95,6 %

Total 90 100%

Pada tabel 4.5 di dapatkan ada 4 orang anak (4,4%) yang positif infeksi
protozoa. Dimana terdapat 1 positif E.Coli (sampel no 18), 1 anak positif Giardia
lambia (sampel no 55), 1 anak dengan positif Blastocysis hominis (sampel nomor
60), dan 1 anak dengan positif campuran antara Giardia lamblia dan Blastocysis
hominis (sampel nomor 19). Penemuan protozoa ini juga disertai dengan
penemuan adanya jamur dalam bentuk blastospora yang dicurigai Candida.
Namun, penemuan jamur ini masih membutuhkan pemeriksaan lagi yang lebih
lanjut.

Universitas Kristen Krida Wacana


20

4.4 Distribusi Frekuensi Indikator Kebersihan Pribadi


4.4.1 Kebiasaan Mencuci Tangan
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Mencuci Tangan

Pertanyaan Jawaban Jumlah Siswa Persentase


(%)
Cuci Tangan Ya 84 93,3 %
Sebelum Tidak 6 6,7 %
Makan
Cuci Tangan Ya 88 97,8 %
Setelah BAB Tidak 2 2,2 %
Cuci Tangan Ya 74 82,2 %
Setelah Tidak 16 7,8 %
Bermain
Cuci Tangan Air + Sabun 39 80 %
dengan Air 14 20 %

Pada tabel 4.6 menunjukkan distribusi frekuensi kebiasaan mencuci


tangan yang didapatkan dari kuesioner yang dibagikan kepada setiap anak.
Di dapatkan 93,3% siswa menjawab ya dan 6,7% siswa menjawab tidak
untuk mencuci tangan sebelum makan. Di dapatkan 97,8% siswa
menjawab ya, sisanya 2,2% menjawab tidak untuk mencuci tangan setelah
BAB. Selanjutnya 82,2% menjawab ya dan 7,8% menjawab tidak untuk
mencuci setelah bermain. Didapatkan juga 80% menjawab ya untuk
mencuci tangan dengan air dan sabun , sisanya 20% hanya mencuci tangan
dengan air saja.

Universitas Kristen Krida Wacana


21

4.4.2 Kebiasaan Bermain di tanah


Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Bermain di Tanah

No Jawaban Jumlah Siswa Persentase (%)

1 Ya 28 31,1 %

2 Tidak 62 68,9 %

Total 90 100 %

Pada tabel 4.7 menunjukkan distribusi frekuensi kebiasaan bermain


di tanah berdasarkan jawaban dari tiap kuesioner yang dibagikan kepada
tiap anak. Didapatkan hasil yaitu sekitar 31,3% anak yang memiliki
kebiasaan bermain di tanah dan sisanya 68,9% anak tidak memiliki
kebiasaan bermain di tanah.

4.4.3 Kebiasaan Makan Menggunakan Sendok dan Garpu


Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Makan Menggunakan Sendok dan
Garpu

No Jawaban Jumlah Siswa Persentase (%)

1 Ya 84 93,3 %

2 Tidak 6 6,7 %

Total 90 100 %

Pada tabel 4.8 menunjukkan distribusi frekuensi kebiasaan anak


makan menggunakan sendok dan garpu berdasarkan jawaban dari tiap
kuesioner yang dibagikan kepada tiap anak. Di dapatkan hasil yaitu sekitar
93,3% anak makan menggunakan sendok dan garpu dan sisanya hanya
sekitar 6,7 % anak yang makan tidak menggunakan sendok dan garpu
melainkan menggunakan tangan

Universitas Kristen Krida Wacana


22

4.4.4 Kebiasaan Mengigit Kuku


Tabel 4.9 Distribusi Kebiasaan Mengigit Kuku

No Jawaban Jumlah Siswa Persentase (%)

1 Ya 18 20 %

2 Tidak 72 80 %

Total 90 100 %

Pada tabel 4.9 menunjukkan distribusi frekuensi kebiasaan mengigit kuku


berdasarkan jawaban dari tiap kuesioner yang dibagikan kepada setiap anak.
Didapatkan hasil yaitu 20% anak memiliki kebiasaan mengigit kuku dan 80%
anak tidak memiliki kebiasaan mengigit kuku.

4.4.5 Kebiasaan Menggunting Kuku


Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Menggunting Kuku

No Jawaban Jumlah Siswa Persentase (%)

1 1 x dalam 1 81 90 %
minggu

2 1 x dalam 2 9 10 %
minggu

Total 90 100 %

Pada tabel 4.10 menunjukkan distribusi frekuensi kebiasaan menggunting


kuku berdasarkan jawaban dari tiap kuesioner yang dibagikan kepada setiap
anak. Didapatkan hasil 90 % anak menggunting kukunya 1 x dalam 1 minggu
dan sisanya 10 % anak menggunting kuku 1x dalam 2 minggu.

Universitas Kristen Krida Wacana


23

4.4.6 Kebiasaan Jajan di Sekolah


Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Jajan di Sekolah

No Jawaban Jumlah Siswa Persentase (%)

1 Ya 71 78,9 %

2 Tidak 19 21,1 %

Total 90 100 %

Pada tabel 4.11 menunjukkan distribusi frekuensi kebiasaan jajan di


sekolah berdasarkan jawaban dari kuesioner yang dibagikan kepada setiap
anak. Didapatkan hasil yaitu 78,9% anak memiliki kebiasaan jajan di sekolah
dan sianya 21,1% anak tidak memiliki kebiasaan jajan di sekolah melainkan
membawa makan sendiri dari rumah.

4.5 Pembahasan
Gambaran infeksi Trichuris trichiura pada anak SD 01 Jakbar adalah
0%. Hasil ini tentu sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Djarismawati pada tahun 2008. Oleh Djarismawati prevalensi anak di daerah
Jakarta Barat yang terinfeksi oleh cacing Trichuris trichiura adalah 25%. Pada
anak SD 01 Jakarta Barat tidak ditemukan adanya infeksi cacing Trichuris
trichiura, namun ditemukannya telur cacing Ascaris lumbricoides, protozoa dan
jamur.
Cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura termasuk dalam
kelas yang sama yaitu nematoda. Cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura merupakan Soil Transmitted Helminthes (STH) dimana membutuhkan
media tanah sebagai habitat dan siklus hidupnya.10 Oleh karena itu, pada
penelitian ini ditemukan adanya telur Ascaris lumbricoides (Tabel 4.4). Selain
itu pada sampel anak yang ditemukan telur Ascaris lumbricoides dari hasil
kuesioner menunjukkan bahwa anak tersebut tidak memiliki kebiasaan bermain
tanah dan memiliki perilaku kebersihan diri yang baik. Hal ini sangat berbeda
dengan teori mengenai penularan cacing Ascaris lumbricoides,dimana penularan
cacing tersebut lewat tanah. Akan tetapi pada hasil kuesioner menunjukkan anak

Universitas Kristen Krida Wacana


24

tersebut memiliki kebiasaan jajan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh


Tamirat Tefera, menunjukkan penularan cacing STH bisa melalui makanan
terutama sayuran yang dalam pengolahan dan pencucian tidak baik. Oleh karena
itu anak tersebut mengalami infeksi cacing Ascaris lumbricoides mungkin
disebabkan oleh makanan yang dalam pengolahannya tidak baik.18
Selain itu cacing Ascaris lumbricoides ditemukan juga protozoa. Infeksi
protozoa usus adalah salah satu bentuk infeksi parasit usus yang disebabkan oleh
protozoa, seperti Entamoeba coli, Giardia lambia, dan Blastocyis.hominis
Infeksi protozoa usus dapat terjadi karena tertelannya makanan atau minuman
yang terkontaminasi protozoa usus. Faktor makanan juga mempengaruhi
ditemukannya protozoa,didapatkan sekitar 78,9% anak memiliki kebiasaan jajan
di sekolah dan sisanya 21,1% membawa makanannya sendiri dari rumah (Tabel
4.11).19
Dari hasil penelitian (Tabel 4.5), terdapat 4 anak yang positif protozoa.
yaitu terdiri dari 1 anak dengan protozoa Entamoeba coli, 1 anak dengan
Giardia lamblia ,1 anak dengan B.hominis dan 1 anak dengan infeksi campuran
antara protozoa Giardia lambia dan B.hominis. Hasil penelitian ini menunjukkan
gambaran infeksi protozoa usus lebih banyak dibandingkan dengan infeksi
cacing usus. Dari golongan protozoa, gambaran infeksi campuran antara
Blastocyis hominis dan Giardia lamblia yang terbanyak. Blastocyis hominis
merupakan parasit opurtunis yang baru menimbulkan manifestasi klinis jika
keadaan memungkinkan yaitu pada saat sistem imun menurun. Pada anak kurang
gizi dan infeksi cacing, imunitas menurun sehingga memudahkan terjadinya
infeksi atau timbulnya gejala.19
Giardia lamblia merupakan parasit yang banyak menginfeksi anak-anak.
Penularan giardiasis terjadi melalui kista di sumber air atau makanan tercemar.
Saat berenang, transmisi melalui air yang tercemar dapat juga terjadi. Reaksi
radang timbul saat parasite melekat di usus, akibatnya terjadi gangguan
penyerapan lemak dan vitamin A.20 Pada penelitian ini, anak yang terinfeksi
Giardia lamblia semuanya mengandung stadium kista, tidak satupun anak
ditemukan mengandung stadium trofozoit, ini berarti bahwa semua anak sedang
berada dalam status carrier. Meski tidak memperlihatkan gejala, dengan

Universitas Kristen Krida Wacana


25

ditemukannya protozoa stadium kista, mereka telah memegang peranan penting


sebagai sumber penularan penyakit protozoa. Karena kista merupakan bentuk
infektif dari protozoa.21
Selain itu, pada pemeriksaan feses ditemukannya juga adanya jamur
yaitu blastospora yang dicurigai merupakan candida. Namun pada penelitian ini
tidak dilakukan pemeriksaan lagi yang lebih lanjut karena tidak merupakan
tujuan dari penelitian ini. Jamur berproliferai di dalam saluran cerna dapat
berlangsung cepat pada anak dengan imunitas rendah dan menimbulkan
penyakit. Meskipun demikian, proliferasi jamur dapat pula terjadi pada anak
dengan imunitas normal.22
Tidak ditemukan adanya telur cacing Trichuris trichiura pada anak di
SDN 01 PG Jakarta Barat dipengaruhi oleh higienis perorangan. Menurut
departemen kesehatan RI, usaha pencegahan penyakit cacingan antara lain
dengan menjaga makanan dan minuman yang baik dan bersih, menjaga
kebersihan kuku, serta kebiasaan mencuci tangan. Penularan cacing Trichuris
trichiura itu sendiri melalui tanah, dimana pada hasil penelitian ditemukan
sekitar 31,1% (Tabel 4.7) anak yang memiliki kebiasaan bermain tanah.
Persentase ini sedikit dibandingan dengan anak yang tidak memiliki kebiasan
bermain tanah yaitu 68,9%. Persentase ini membuktikan sedikitnya jumlah anak
memiliki kebiasaan bermain tanah berpengaruh terhadap tidak ditemukannya
adanya infeksi cacing Trichuris trichiura.
Selain faktor kebiasaan bermain di tanah, hal yang mempengaruhi adalah
higienis perorangan yaitu kebiasaan mencuci tangan, memotong kuku, mengigit
kuku serta kebiasaan makan menggunakan sendok dan garpu. Hal ini perlu
diketahui, dikarenakan telur Trichuris trichiura bisa masuk ke dalam tubuh
seseorang melalui mulut. Dari hasil penelitian ditemukan sekitar 80% - 93,3%
(Tabel 4.6) anak sudah memiliki kebiasaan mencuci tangan yang baik. Dan 80%
(Tabel 4.9) anak tidak memiliki kebiasaan mengigit kuku. 90 % anak
mengunting kuku 1x dalam 1 minggu (Tabel 4.10), hal ini menunjukkan hampir
sebagian besar anak di SDN 01 PG memiliki kebersihan kuku yang baik.
Cacing Trichuris trichiura hanya bisa ditemukan pada lingkungan yang
sanitasinya buruk disertai perilaku mengenai kebersihan yang buruk juga. Pada

Universitas Kristen Krida Wacana


26

penelitian ini, ternyata pada sekolah tersebut memiliki lingkungan yang bersih
(Lampiran 4) serta perilaku yang baik, oleh karena itu gambaran infeksi cacing
Trichuris trichiura pada anak adalah 0%.

Universitas Kristen Krida Wacana


27

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa gambaran
infeksi cacing Trichuris trichiura pada anak SDN 01 PG Jakarta Barat
adalah 0 %. Akan tetapi ditemukan juga 1 anak yang positif (1,1 %)
infeksi cacing Ascaris lumbricoides dan 4 anak positif (4,4 %) ditemukann
adanya protozoa dan jamur. Tidak ditemukannya infeksi cacing Trichuris
trichiura dikarenakan lingkungan sekolah yang bersih dan anak-anak di
sekolah tersebut memiliki perilaku kebersihan diri sendiri yang baik.

5.2 Saran
Saran untuk penelitian ini :
a. Anak yang positif terinfeksi oleh cacing perlu diberikan pengobatan.
b. Walaupun anak yang positif ditemukan protozoa dan jamur tidak
menunjukkan gejala klinis, harus diberikan edukasi untuk
mengkonsumsi makanan dan minuman yang bersih. Dikarenakan bila
protozoa bertambah banyak atau imunitas anak menurun akan
menimbulkan gejala klinis pada anak tersebut misalnya diare.
c. Dikarenakan lingkungan yang bersih sehingga tidak ditemukannya
infeksi oleh cacing Trichuris trichiura, maka perlu penelitian yang
lebih lanjut pada tempat sekolah dengan lingkungan yang buruk di
daerah Jakarta Barat.

Universitas Kristen Krida Wacana


28

DAFTAR PUSTAKA

1. Winita R, Mulyati, Hendri A. 2012. Upaya Pemberantasan Kecacingan Di


Sekolah Dasar. Makara, Kesehatan, vol. 16, no. 2, Desember 2012: 65-71.
Jakarta. Universitas Indonesia.
2. Octama CI.2015. ”Angka prevalensi cacingan di Indonesia mencapai 28,13
persen”. Berita Satu. 5 November 2015
3. Chadijah S, Frederika PH, Verdiana NN. Maret 2014. Hubungan
pengetahuan, perilaku, dan sanitasi lingkungan dengan angka kecacingan
pada anak sekolah dasar di kota Palu. Media Litbangkes, vol. 24 No.1.
Diunduh dari
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/3487, 19
Februari 2016
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pusat data dan informasi profil
kesehatan kesehatan Indonesia tahun 2011. Jakarta: Kementrian Kesehatan
RI.2012
5. Andry. 2015. ”RW kumuh terbanyak ada di Jakarta Barat”. Berita Jakarta. 15
Oktober 2015
6. Djarismawati, Mardiana. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar
wajib belajar pelayanan gerakan terpaddu pengentasi kemiskinan daerah
kumuh di wilayah DKI Jakarta. J Ekologi Kesehatan. 2008;7(2):769-74
7. Yunus R. Keefektifan albendazole pemberian sekali sehari selama 1,2 dan 3
hari dalam menanggulangi infeksi Trichuris trichiura pada anak sekolah
dasar di kecamatan medan tembung.2008. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6244/1/08E00085.pdf, 15
April 2016
8. Dewayani BS, Situmeang R, Sembring T, Hamid ED, Pasraribu S, Lubis CP.
Albendazole pada soil transmitted helminthiasis.2004. Diunduh
http://library.usu.ac.id/download/fk/anak-chairuddin12.pdf, 15 April 2016
9. Suriptiastuti. Juni 2006.Infeksi soil transmitted helminth. Universa
Medicina,vol. 25 No.1. Diunduh dari http://www.univmed.org/wp-
content/uploads/2012/04/Tutik.pdf, 15 April 2016

Universitas Kristen Krida Wacana


29

10. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi
kedokteran. Edisi ke-4.Jakarta:FK UI;2008.h.6,16-8
11. Prianto J, Darwanto. Atlas parasitologi kedokteran.Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum;2008.h.22-3
12. Siregar CD. Pengaruh infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah pada
pertumbuhan fisik anak usia sekolah dasar. Sari Pediatri.2006;6(2): 112-7
13. Puspita A. Prevalensi cacing Ascaris lumbricoides, cacing tambang, dan
Trichuris trichiura setelah lima tahun program eliminasi filariasis di desa
mainang, Alor, Nusa Tenggara Timur. Diunduh dari
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/123360-s09090fk-Prevalensi%20cacing-
literatur.pdf, 20 Oktober 2016
14. Yang HF, Wang CC, Hu CF, Hsieh CC, Lee HS, Chen SJ. Importance of
considering Trichuris trichiura infection in infant presenting with acute and
substantial bloody diarrhea: a case report and literature review. 2012.
Diunduh dari http://oldjms.ndmctsgh.edu.tw/db/File/3206309.pdf, 20 Oktober
2016
15. Palgunadi BU. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan yang
disebabkan oleh soil trasnmitted helminthes di Indonesia. Diunduh dari
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20D
esember%202010/FAKTOR%20YANG%20MEMPENGRUHI%20KEJADI
AN%20KECACINGAN.pdf, 20 Oktober 2016
16. Henderson R. Trichuriasis (whipworm). Diunduh dari
http://patient.info/doctor/trichuriasis-whipworm, 20 Oktober 2016
17. Hairani B, Waris L, Juhairiyah. Prevalensi soil transmitted helminth pada
anak sekolah dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabupaten Malinau Provinsi
Kalimantan Timur. Vol 5, No.1. Juni 2014.
18. Tefera T. Parasitic contamination of fruits and vegetables collected from
selected local markets of Jimma town, Southwes Ethiopia. Diunduh dari 6
Januari 2016
19. Nurhayati.2010. Gambaran infeksi protozoa intestional pada anak binaan
rumah singgah amanah kota Padang. Majalah Kedokteran Andalas. Vol
34:60-9

Universitas Kristen Krida Wacana


30

20. Anorital, Andayasari L. 2011. Kajian epidemiologi penyakit infeksi saluran


pencernaan yang disebabkan oleh amuba di Indonesia. Media Litbang
Kesehatan. Vol 21: 1-9
21. Ekuban SK. 2010. Significance of intestinal protozoan parasites as diarrhea-
causing infectious agents in children. Diunduh dari
http://ir.knust.edu.gh/bitstream/123456789/208/1/SIGNIFICANCE%20OF%
20INTESTINAL%20PROTOZOAN%20PARASITES%20AS%20DIARRH
OEA-
CAUSING%20INFECTIOUS%20AGENTS%20IN%20CHILDREN%20PR
ES~1.pdf, 11 Desember 2016
22. Hegar B. 2004. Kandidiasis saluran cerna pada anak.Dexa Media.Vol 17:164-
7

Universitas Kristen Krida Wacana

Anda mungkin juga menyukai