Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar
dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit –
penyakit cacing masih tetap merupakan suatu masalah karena kondisi sosial dan
ekonomi di beberapa bagian dunia. Pada umumnya, cacing jarang menimbulkan
penyakit serius tetapi dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis yang
berhubungn dengan faktor ekonomis (Pinardi Hadidjaja, 2011).

Di Indonesia, penyakit cacing adalah penyakit rakyat umum, infeksinya


pun dapat terjadi secara simultan oleh beberapa jenis cacing sekaligus. Pada anak
– anak, cacingan akan berdampak pada gangguan kemampuan untuk belajar, dan
pada orang dewasa akan menurunkan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang,
hal ini akan berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia. Penyebab
penyakit cacingan termasuk golongan cacing yang ditularkan melalui tanah atau
disebut juga Soil Transmitted Helminths. Cara infeksi pada manusia adalah dengan
bentuk infektif yang ditemukan dan berkembang di tanah (Akhsin Zulkoni. 2010).

Soil Transmitted Helminths yang penting dan menghinggapi manusia


adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale,
Trichuris trichiura, Strongyloides stecoralis, dan beberapa
spesies Trichostrongylus. Nematoda usus lainnya yang penting bagi manusia
adalah Oxyuris vermicularis dan Trichinella spiralis (Rosdiana Safar, 2010).

Di Indonesia Sejak tahun 2002 hingga 2006 prevalensi penyakit kecacingan


secara berurutan adalah sebagai berikut : 33,0%; 46,8%; 28,4%; dan 32,6%
(Depkes RI, 2006).
Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing
dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur
2

cacing, lalu ke mulut bersama makanan. Tinggi rendahnya frekuensi tingkat


kecacingan berhubungan dengan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang
menjadi sumber infeksi. Nematoda usus merupakan kelompok yang sangat penting
bagi masyarakat Indonesia Karena masih banyak yang mengidap cacing ini
sehubungan banyaknya faktor yang menunjang untuk hidup suburnya cacing
parasiter ini. Faktor penunjang ini antara lain keadaan alam serta iklim, sosial
ekonomi, pendidikan, kepadatan penduduk serta masih berkembangnya kebiasaan
yang kurang baik (Akhsin Zulkoni, 2010).

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di Sekolah Dasar (SD) Negeri


14 Palangka merupakan sekolah dasar yang berada di jalan Mendawai Kecamatan
Jekan Raya Kota Palangka Raya, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan
penelitian mengenai angka kecacingan pada siswa SDN 14 Palangka. Selain itu,
masih ditemukan anak – anak yang tidak memperhatikan kebersihan perorangan
seperti bermain di tanah, sebagian siswa tidak menggunakan alas kaki serta kuku –
kuku yang tidak di potong dan kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan dan
sesudah bermain di tanah. Sehingga dengan kondisi tersebut dapat menjadi faktor
penyebab resiko terjadinya kecacingan pada anak dimungkinkan dapat terjadi.

Dari uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk memeriksa adanya
infeksi cacing Nematoda usus pada anak – anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan
Jekan Raya Kota Palangka Raya.

B. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi dari penelitian ini adalah :
3

1. Infeksi Nematoda usus pada anak – anak sekolah pada tahun 2002 hingga 2006
memiliki angka prevalensi : 33,0%; 46,8%; 28,4%; dan 32,6%.

2. Infeksi Nematoda usus terutama ditularkan melalui tanah.


3. Cara infeksi Nematoda usus berhubungan dengan kondisi sanitasi lingkungan
dan pribadi yang kurang.

4. Lingkungan di SDN 14 Palangka memiliki kondisi sanitasi yang kurang baik.

5. Kebiasaan anak – anak masih bermain di tanah dengan tidak menggunakan alas
kaki.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :

1. Apakah anak - anak SD Negeri 14 Palangka terinfeksi cacing Nematoda usus?

2. Berapa persentase ditemukannya telur cacing Nematoda Usus pada anak –


anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya ?

3. Jenis cacing apa yang banyak menginvestasi pada anak – anak SD Negeri 14
Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya ?

D. Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah peneliti hanya meneliti sampel
feses anak – anak kelas 1 SD dan penelitian hanya menentukan persentase
ditemukan telur cacing Nematoda Usus (Ascaris lumbricoides, Enterobius
vermicularis, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, dan Necator
americanus) pada anak – anak kelas 1 SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan
Raya Kota Palangka Raya.
4

E. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui prevalensi infeksi kecacingan Nematoda usus pada anak – anak SD
Negeri 14 Palangka, Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya.

2. Mengetahui jenis – jenis Nematoda usus yang menginfeksi siswa SD Negeri 14


Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya.

F. Manfaat Penelitian
a. Mahasiswa
Menambah pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai bahan untuk
penelitian yang lebih mendalam, terutama infeksi kecacingan pada anak – anak.

b. Masyarakat
Memberikan informasi khususnya orang tua yang memiliki anak tentang
tingkat kontaminasi telur cacing Nematoda usus agar lebih memperhatikan
kebersihan lingkungan dan kebersihan anak – anak serta membiasakan mencuci
tangan sebelum memakan makanan.

BAB II
5

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nematoda Usus
Nematoda merupakan jumlah spesies yang terbesar di antara cacing yang
hidup sebagai parasit pada manusia, cacing tersebut berbeda – beda dalam habitat,
daur hidup dan hubungan hospes – parasit (Host parasite relationship). Nematoda
usus adalah Nematoda yang berhabitat di saluran pencernaan manusia dan hewan.
Manusia merupakan hospes beberapa Nematoda usus. Sebagian besar dari
Nematoda ini adalah penyebab masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Di antara Nematoda usus ini terdapat beberapa spesies yang tergolong


“Soil Transmitted Helminths”, yaitu Nematoda yang dalam siklus hidupnya untuk
mencapai stadium infektif, memerlukan tanah dengan kondisi tertentu. Nematoda
golongan Soil Transmitted Helminths yang penting dan menghinggapi manusia
adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale,
Trichuris trichiura, Strongyloides stecoralis, dan beberapa spesies
Trichostrongylus. Nematoda usus lainnya yang penting bagi manusia adalah
Oxyuris vermicularis dan Trichinella spiralis (Rosdiana Safar, 2010).

Besar dan panjang cacing Nematoda usus beragam, ada yang panjangnya
beberapa millimeter, ada pula yang panjangnya melebihi satu meter. Dinding badan
dibagi dalam lapisan kutikulum bagian luar, hipodermis dan sel otot somatic.
Hipodermis menonjol ke dalam badan dalam bentuk korda lateral, ventral dan
dorsal. Kutikulum mungkin mempunyai bermacam ciri dan tonjolan yang berguna
untuk identifikasi spesies. Saluran pencernaan merupakan suatu pipa yang terdiri
atas rongga mulut, usus tengah (midgut), dan usus belakang (hindgut) atau rectum
yang terbuka ke dalam anus yang subterminal esofagus berotot. Sistem ekskresi
terdiri atas dua pipa di dalam korda lateral. Pada ujung anterior pipa – pipa ini
berhubungan dan terbuka di bagian tengah ventral sebagai sinus ekskretorius.
Sistem saraf terdiri dari cincin saraf yang mengelilingi esofagus dan dari sini keluar
6

cabang – cabang ke anterior dan posterior. Alat kelamin jantan berbentuk pipa yang
dapat dibagi dalam duktus ejakulatorius kecil, vesica seminalis, vas deferens dan
testis. Duktus ejakulatorius, bersama dengan rectum, terbuka ke dalam kloaka. Alat
kelamin betina juga berbentuk pipa yang mungkin didelphic atau monodelphic tiap
pipa terdiri atas ovarium, oviduktus, reseptakulum seminalis, uterus, vagina dan
vulva (Chairil Anwar, 1997).

Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur atau larva sebanyak 20


sampai 200.000 butir sehari. Telur atau larva tersebut dikeluarkan dari badan
hospes dengan tinja. Larva biasanya mengalami pertumbuhan diikuti pergantian
kulit. Bentuk infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara. Ada
yang masuk secara aktif ada pula yang tertelan melalui telur (Rosdiana Safar,
2010).

B. Ascaris Lumbricoides (Cacing Gelang)


1. Klasifikasi Ascaris Lumbricoides
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Ascoridida
Sub famili : Ascoridciidae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris
Lumbricoides
2. Hospes dan nama penyakit
Hospes definitifnya hanya manusia, jadi manusia pada infeksi cacing ini
sebagai hospes obligat. Cacing dewasanya berhabitat di rongga usus halus,
penyakit yang disebabkannya disebut askariasis (Rosdiana Safar, 2010).

3. Morfologi
7

Cacing dewasa hidup di dalam rongga usus halus manusia. Panjang


cacing yang betina 20-40 cm dan cacing jantan 15-31 cm. Cacing betina dapat
bertelur sampai 200.000 butir sehari, yang dapat berlangsung selama masa
hidupnya yaitu kira – kira 1 tahun. Telur cacing ini ada yang dibuahi, disebut
Fertilized. Bentuk ini ada dua macam, yaitu yang mempunyai cortex, disebut

Fertilized-corticated dan yang lain tidak mempunyai cortex, disebut Fertilized-


decorticated. Ukuran telur ini 60×45 mikron. Telur yang tidak dibuahi disebut
Unfertilized, ukurannya lebih lonjong 90×40 mikron dan

tidak mengandung embrio di dalamnya (Rosdiana Safar, 2010).

(a) (b)

(c)
Gambar 1. Telur cacing Ascaris lumbricoides. (a) Dibuahi (Decorticated) (b)
yang tidak dibuahi (Unfertilized). (c) yang berisi embrio
(Fertilized). (pembesaran 10 x 20).

Sumber : Widoyono, 2011.

4. Siklus Hidup
8

Siklus hidupnya dimulai sejak dikeluarkannya telur oleh cacing betina di


usus halus dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Dalam lingkungan yang
sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu
kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas
di usus halus, maka didalam usus halus larva akan menetas, keluar menembus
dinding usus halus menuju pembuluh darah atau limfe, lalu dialirkan ke jantung,
kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik
ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring,
sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena
rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke
usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur
matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih
2-3 bulan. (Gandahusada, 1998).

Gambar 2. Siklus hidup Ascaris lumbricoides (cacing tambang).


Sumber : Widoyono, 2011.

5. Epidemiologi
9

Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak


frekuensinya 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan
pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di
tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Di Negara – negara tertentu
terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat, kelembaban tinggi
dan suhu 25°-30°C merupakan kondisi yang sangat baik untuk berkembangnya
telur A.lumbricoides menjadi bentuk infektif (Inge Susanto, dkk 2011).

6. Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan kosmopolit (di seluruh dunia), terutama di daerah
tropik dan erat hubungannya dengan hygiene dan sanitasi. Lebih sering
ditemukan pada anak – anak. Di Indonesia frekuensinya tinggi berkisar antara
60-90% (Rosdiana Safar, 2010)

7. Patologi dan Gejala Klinis


Infeksi A. lumbricoides akan menimbulkan penyakit Askariasis.
Penyakit ini menimbulkan gejala yang disebabkan oleh stadium larva dan
stadium dewasa.

a) Stadium larva, yaitu kerusakan pada paru – paru yang menimbulkan gejala
yang disebut Sindrom Loeffler yang terdiri dari batuk – batuk, eosinofil
dalam darah meningkat, dan dalam Rontgen foto thorax terlihat bayangan
putih halus yang merata di seluruh lapangan paru yang akan hilang dalam
waktu 2 minggu. Gejala dapat ringan dan dapat menjadi berat pada penderita
yang rentan atau infeksi berat.

b) Stadium dewasa, biasanya terjadi gejala usus ringan. Pada infeksi berat,
terutama pada anak – anak dapat terjadi malabsorbsi yang memperberat
malnutrisi karena perampasan makanan oleh cacing dewasa. Bila cacing
dewasa menumpuk dapat menimbulkan ileus obstruksi. Bila cacing nyasar
ke tempat lain dapat terjadi infeksi ektopik pada apendiks dan ductus
choledochus (Rosdiana Safar, 2010).
10

8. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja
penderita atau larva pada sputum, dan dapat juga dengan menemukan cacing
dewasa keluar bersama tinja atau melalui muntah pada infeksi berat (Akhsin
Zulkoni, 2010).

9. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secar missal atau perorangan. Untuk
perorangan dapat digunakan bermacm – macam obat misalnya piperasin,
pirantel pamoat 10 mg/kg berat badan, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau
albendazol 400 mg. oksantel – pirantel pamoat adalah obat yang dapat
digunakan untuk infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura (Akhsin
Zulkoni, 2010)

C. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)


1. Klasifikasi Ascaris Lumbricoides
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Sub famili : Trichinelloides
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura
2. Hospes dan Nama Penyakitnya
Hospes definitif manusia dan penyakit yang disebabkannya disebut
trikuriasis (Gandahusada, 1998).

3. Morfologi
11

Cacing betina 3,5-5 cm dan jantan 3,0-4,5 cm. Tiga per lima, anterior
tubuh halus seperti benang, dua per lima bagian posterior tubuh lebih tebal,
berisi usus dan perangkat alat kelamin. Cacing jantan tubuhnya membengkok
ke depan hingga membentuk satu lingkaran penuh, satu spikula tunggal
menonjol keluar melalui selaput retraksi. Bagian posterior tubuh cacing betina
membulat tumpul dan vulva terletak pada ujung anterior bagian yang tebal dari
tubuhnya. Seekor cacing betina dalam satu hari dapat bertelur 3000-4000 butir.
Telur cacing ini berbentuk tempayan dengan semacam tutup yang jernih dan
menonjol pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning –
kuningan dan bagian dalamnya jernih, besarnya 50 mikron. Cacing dewasa
hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk
masuk ke dalam mukosa usus (Rosdiana Safar, 2010).

Gambar 3. Telur cacing Trichuris trichiura yang berisi embrio (pembesaran 10


x 40).
Sumber : Prianto Juni, dkk. 2010.

4. Siklus Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur
tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang
sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang
berisi larva dan merupakan bentuk infekif. Cara infeksi langsung bila secara
kebetulan hospes menelan telur matang, maka telur akan menetaskan larva yang
akan berpenetrasi pada mukosa usus halus selama 3-10 hari. Selanjutnya larva
akan bergerak turun dengan lambat untuk menjadi dewasa di sekum dan kolon
12

asendens. Siklus hidup dari telur sampai cacing dewasa memerlukan waktu
sekitar tiga bulan. Di dalam sekum, cacing bisa hidup sampai bertahun – tahun.
Cacing akan meletakkan telur pada sekum dan telur – telur ini keluar bersama
tinja (Widoyono, 2011).

Gambar 4. Siklus hidup Trichuris trichiura (cacing cambuk).


Sumber : Widoyono, 2011.

5. Epidemiologi
Penyebaran penyakit ini adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimal 30°C. Pemakaian
tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia
tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar 3090%
(Rosdiana Safar, 2010).

6. Distribusi Geografis
Penyebaran secara kosmopolit, terutama di daerah panas dan lembab,
seperti di Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia, prevalensi masih tinggi
seperti yng dikemukan Departemen Kesehatan pada tahun 1990/1991 antara lain
53% pada masyarakat Bali, 36,2% di perkebunan di Sumatera Selatan, 51,6%
13

pada sejumlah sekolah di Jakarta. Prevalensi dibawah 10% ditemukan pada


pekerja pertambangan di Sumatera Barat (2,84%) adan di sekolah – sekolah di
Sulawesi Utara (7,42%). Pada tahun 1996 di Musi banyuasiin, Sumatera Selatan
infeksi Trichuris ditemukan sebanyak 60% diantara 365 anak sekolah dasar
(Gandahusada, 1998).

7. Patologi dan Gejala Klinis


Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi
dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak,
cacing tersebar di seluruh kolon dan rectum. Kadang – kadang terlihat di mokusa
rectum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu
defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya kedalam mukosa usus, hingga
terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di
tempat perletakkannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing ini juga
menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia (Inge
Susanto, dkk 2011).

Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan


menahun, menunjukkan gejala diare yang sering diselingi sindromdisentri,
anemia, berat badan turun dna kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi
berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau
protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau
sama sekali tanpa gejala (Inge Susanto, dkk 2011).

8. Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinja dengan
mikroskop, akan ditemukan telur parasit yang berbentuk tong (Akhsin Zulkoni,
2010).

9. Pengobatan
14

Pengobatan dapat dilakukan secara efektif dengan Mebendazol 100 mg


(dua kali sehari selama tiga hari berturut – turut), Pyrantel dan Albendazol 400
mg (dosis tunggal). Hati – hati dengan Mebendazol karena tidak boleh diberikan
kepada wanita hamilsebab bias membahayakan janin yang
dikandungnya.infeksi ringan tidak memerlukan pengobatan yang khusus
(Akhsin Zulkoni, 2010).

D. Enterobius vermicularis (Cacing Kremi)


1. Klasifikasi Enterobius vermicularis
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secememtea
Ordo : Oxyurida
Sub famili : Oxyuroidae
Genus : Enterobius
Spesies : Enterobius vermicularis
2. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitifnya adalah manusia dan dapat menimbulkan penyakit
Enterobiasis atau Oksiuriasis (Rosdiana Safar, 2010).

3. Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. pada ujung anterior ada
pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae . Bulbus esofagusnya jelas,
ekor runcing dan panjang, badan kaku, uterus gravid penuh berisi telur. Cacing
jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar,
spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di
rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga
sekum. Makananya adalah isi usus. Cacing betina dalam satu hari dapat bertelur
10.000-11.000 butir, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara
kontraksi uterus dan vaginanya. Telur berbentuk lonjong asimetris. Dinding
15

telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. Telur
menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap
desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai
13 hari. Kopulasi cacing jantan dan cacing betina mungkin terjadi di sekum.
Cacing jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur
(Gandahusada, 1998).

Gambar 5. Telur Enterobius vermicularis yang berisi embrio. (pembesaran


10 x 40)
Sumber : Prianto Juni, dkk. 2010.

4. Siklus Hidup
Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang. Bila telur
matang yang tertelan, telur akan menetas di usus halus selanjutnya larva kan
bermigrasi ke daerah sekitar anus (sekum, caecum). Disini larva akan tinggal
sampai menjadi dewasa, kemudian cacing dewasa betina akan bermigrasi pada
malam hari ke daerah sekitar anus untuk bertelur, telur akan terdeposit di sekitar
area ini. Hal ini akan menyebabkan rasa gatal di sekitar anus (pruritus ani
nocturnal). Apabila digaruk maka penularan dapat terjadi dari kuku jari tangan
ke mulut (self – infection, infeksi oleh diri sendiri). Infeksi dapat juga terjadi
karena menghisap debu yang mengandung telur dan retrofeksi dari anus. Bila
sifat infeksinya adalah retroinfeksi dari anus, maka telur akan menetas di sekitar
16

anus, selanjutnya larva akan bermigrasi ke kolon asendens, sekum, atau


apendiks dan berkembang sampai dewasa (Widoyono, 2011).

Gamabar 6. Siklus hidup Enterobius vermicularis (cacing kremi). Sumber


: Widoyono, 2011.

5. Epidemiologi
Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan
dapat terjadi pada keluarga atau kelompok yang hidup dalam satu lingkungan
yang sama. Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau
kafetaria sekolah dan menjadi sumber infeksi bagi anak – anak sekolah. Di
berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung
cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet,
tempat tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian dan
tilam (Gandahusada, 1998).

6. Distribusi Geografis
Parasit ini kosmopolit, di Indonesia frekuensinya tinggi, terutama pada
anak – anak. Parasit ini banyak ditemukan di daerah dingin daripada di daerah
panas. Hal ini mungkin disebabkan pada umumnya orang di daerah dingin
jarang mandi dan mengganti baju dalam. Penyebaran cacing ini juga ditunjang
17

oleh eratnya hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya serta
lingkungan yang sesuai (Rosdiana Safar, 2010).

Hasil penelitian menunjukkan angka prevalensi pada berbagai


golongan manusia 3%-80%. Penelitian di daerah Jakarta Timur melaporkan
bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok
usia 5-9 tahun yaitu pada 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa (Rosdiana
Safar, 2010).

7. Patologi dan Gejala Klinis


Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang
berarti. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum
dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina
sehingga menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus
dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus
sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada
waktu malam hari hingga pemderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah.
Kadang – kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian
proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan
gangguan daerah tersebut.cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang
di vagina dan di tuba fallopi sehingga menyebabkan radang di saluran
telur.cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan apendisitis
(Inge Susanto, dkk. 2011)

Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu


makan, berat badan turun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi
menggeretak, insomnia dan masturbasi, tetapi kadang – kadang sukar untuk
membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi (Inge Susanto, dkk 2011).
18

8. Diagnosis
Infeksi cacing dapat diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di
sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnose dibuat dengan menemukan telur
dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal
swab yang ditempelkan disekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang
air besar dan mencuci pantat (cebok). (Inge Susanto, dkk 2011).

Anal swab adalah suatu alat dan batang gelas atau spatel lidah yang
pada ujungnya diletakkan scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ditempelkan
di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian
adhesive tape diratakan pada kaca dan di bubuhi sedikit toluol untuk
pemeriksaan mikroskopis. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga hari berturu –
turut (Inge Susanto, dkk 2011).

9. Pengobatan
Mebendazol, albendazol, dan pyranthel palmoate tidak mematikan
telurnya, sehingga setelah dua miinggu cacing yang menetas harus diobati. Obat
pilihan kedua yaitu piperazin. Seluruh anggota keluarga dalam satu rumah harus
meminum obat tersebut karena infeksi ulang bisa menyebar dari satu orang
kepada yang lainnya. Untuk mengurangi rasa gatal, bisa dioleskan krim atau
salep anti gatal ke daerah sekitar anus sebanyak 2-3 kali/hari. Meskipun telah
diobati, sering terjadi infeksi ulang karena telur yang masih hidup di dalam tinja
selama seminggu setelah pengobatan. Pakaian, seprei dan mainan anak
sebaiknya sering dicuci untuk memusnahkan telur cacing yang tersisa (Akhsin
Zulkoni, 2010).
19

E. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Cacing Tambang)


1. Klasifikasi
a) Necator americanus
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Ordo : Strongylida
Famili : Uncinariidae
Genus : Necator
Spesies : Necator americanus
b) Ancylostoma duodenale Kingdom
: Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Ordo : Strongylida
Famili : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Spesies : Ancylostoma duodenale
2. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes penyakit ini adalah manusia, cacing ini menyebabkan
nekatoriasis dan ankilostomiasis (Gandahusada, 1998).

3. Morfologi
Ancylostoma duodenale ukurannya lebih besar dari Necator
americanus. Yang betina ukurannya 10-13 mm x 0,6 mm, yang jantan 8-11 x
0,5 mm, bentuknya menyerupai huruf C, Necator americanus berbentuk huruf
S, ukuran yang betina 9-11 x 0,4 mm dan yang jantan 7-9 x 0,3 mm. rongga
mulut Ancylostoma duodenale mempunyai dua pasang gigi, Necator
americanus mempunyai sepasang benda kitin. Alat kelamin pada yang jantan
20

adalah tunggal yang disebut bursa copalatrix. Ancylostoma duodenale betina


dalam satu hari bertelur 10.000 butir, sedangkan Necator americanus 9.000
butir. telur dari kedua spesies ini tidak dapat dibedakan, ukurannya 40-60
mikron, bentuk lonjong dengan dinding tipis dan jernih. Ovum dari telur yang
baru dikeluarkan tidak bersegmen. Di tanah dengan suhu optimal 23-33°C,
ovum akan berkembang menjadi 2, 4 dan 8 lobus. Telur ini di tanah suhu 0°C,
dapat hidup dalam waktu 7 hari dan dapat hidup dalam beberapa hari pada suhu
45°C sedang pada suhu optimal 23-33°C dalam waktu 24-48 jam telur akan
menetas dan keluar larva rhabditiform yang panjangnya ± 250 mikron.dalam
waktu ± 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform yang
panjangnya ± 600 mikron. Cacing ini mempunyi mulut yang terbuka. Dalam
waktu 3-5 hari, larva menjadi lebih panjang dan kurus dengan mulut tertutup
dan runcing (Rosdiana Safar, 2010).

Gambar 7. Telur cacing tambang. (pembesaran 10 x 40) Sumber


: Prianto Juni, dkk. 2010.

4. Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup dan bertelur di dalam ⅓ atas usus halus
kemudian telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 11,5
hari telur akan berkembang menjadi larva di tanah yang sesuai suhu dan
kelembabannya, keluarlah larva bentuk pertama disebut rhabditiform. Dalam
waktu ± 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform. Kemudian
21

larva filariform akan memasuki tubuh manusia melalui kulit (telapak kaki,
terutama untuk N.americanus) untuk masuk ke peredaran darah selanjutnya
larva akan ke paru – paru naik ke trakea, berlanjut ke faring, kemudian larva
tertelan ke saluran pencernaan usus halus. Larva bisa hidup dalam usus sampai
delapan tahun dengan menghisap darah (1 cacing = 0,2 mL/hari). Cara infeksi
kedua yang bukan melalui kulit adalah tertelannya larva (terutama A.duodenale)
dari makanan atau minuman yang tercemar (Widoyono, 2011).

Gambar 8. Siklus hidup cacing tambang.


Sumber : Widoyono, 2011.

5. Epidemiologi
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di
daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang
langsung berhubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%.
Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaina tinja sebagai pupuk kebun penting
dalam penyebara infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah
gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk N. americanus 2832°C,
sedangkan untuk A. duodenale lebih rendah (23-25°C). Pada umumnya A.
22

duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antar alain dengan memakai
sandal atau sepatu (Inge Susanto, dkk 2011).

6. Distribusi Geografis
Cacing ini terdapat hamper di seluruh daerah khatulistiwa, terutama di
daerah pertambangan. Frekuensi cacing ini di Indonesia masih tinggi kira – kira
60-70%, terutama di daerah pertanian dan pinggir pantai (Rosdiana safar 2010).

7. Patologi dan Gejala Klinis


Gejala Nekatoriasis dan Ankilostomiasis :
a) Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi
perubahan kulit yang disebut Ground itch. Perubahan pada paru biasanya
ringan. Infeksi larva filariform A. duodenale secara oral menyebabkan
penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher
dan serak.

b) Stadium dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, keadaan gizi
penderita (Fe dan protein) tiap cacing N. americanus menyebabkan
kehilangan darah 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan A. duodenale 0,08-0,34 cc.
Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer.
Disamping itu juga dapat eosinofialia. Cacing tambang biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja
menurun sehingga dapat berakibat Decompensatio Cordis (Inge Susanto, dkk
2011).

8. Diagnosis
Jika timbul gejala, maka pada pemeriksaan tinja penderita akan
ditemukan telur cacing tambang. Jika dalam beberapa jam tinja dibiarkan maka
telur akan mengeram dan menetaskan larva yang dapat diamati dibawah
23

mikroskop. Telur kedua spesies ini tidak bisa dibedakan, untuk membedakan
spesies telur dibiakan menjadi larva dengan salah satu cara, yaitu Harada Mori
(Akhsin Zulkoni, 2010).
9. Pengobatan
Pengobatan diarahkan pada dua tujuan, yakni memperbaiki kondisi
darah (makanan yang bergizi dan senyawa besi) dan memberantas cacing.
Mebendazol dan Pyrantel merupakan obat cacing pilihan pertama yang
sekaligus membasmi cacing gelang jika terjadi infeksi campuran. Obat ini tidak
boleh diberikan kepada ibu hamil karena bias membahayakan janin yang
dikandungnya. Untuk memperbaiki anemia dapat dilakukan dengan cara
memberikan tambahan zat besi per-oral atau suntikan zat besi. Pada kasus yang
berat mungkin perlu dilakukan transfusi darah (Akhsin Zulkoni, 2010).

F. Pemeriksaan Nematoda Usus


1. Feses
Feses adalah adalah produk buangan saluran pencernaan yang dikeluarkan
melalui anus. Pada manusia, proses pembuangan kotoran dapat terjadi antara
sekali dua atau dua hari hingga beberapa kali dalam sehari. Dalam keadaan
normal dua pertiga feses terdiri dari air dan sisa makanan zat hasil sekresi saluran
pencernaan, epitel usus, bakteri apatogen, asam lemak, urobilin, debris, celulosa
gas indol, skatol, sterkobilinogen dan bahan patologis. Bau khas dari feses
disebabkan oleh aktivitas bakteri. Bakteri mengahasilkan senyawa seperti indole,
sketole, dan thiol (senyawa yang mengandung belerang), dan juga gas hidrogen
sulfida. Feses umumnya berwarna kuning di karenakan bilirubin (sel darah
merah yang mati, yang juga merupakan zat pemberi warna pada feses dan urin).
Pemeriksaan feses dilakukan untuk pemeriksaan penunjang diagnosis suatu
penyakit, karena feses mewakili bagaimana gambaran yang terjadi di dalam
tubuh contohnya infeksi parasit dan telur cacing (Budiman, 2012).
24

Feses untuk pemeriksaan sebaiknya yang berasal dari defekasi spontan, jika
sangat diperlukan, boleh juga sampel tinja diambil dengan jari bersarung dari
rectum. Untuk pemeriksaan biasa dipakai feses sewaktu, jarang diperlukan feses
24 jam untuk pemeriksaan tertentu. Feses hendaknya diperiksa dalam keadaan
segar, kalau dibiarkan mungkin sekali unsur – unsur dalam tinja itu menjadi
rusak (Gandasoebrata, 2007).

2. Pemeriksaan Makroskopis Feses


a. Warna
Warna tinja yang dibiarkan pada udara menjadi lebih tua karena
terbentunya lebih banyak urobilin dari urobilinogen yang dieksresikan lewat
usus. Urobilinogen tidak berwarna, sedangkan urobilin berwarna coklat tua.
Selain urobilin yang normal ada, warna tinja dipengaruhi oleh jenis makanan,
oleh kelainan dalam saluran pencernaan usus dan oleh obat – obatan
(Gandasoebrata, 2007).

b. Baunya
Bau normal tinja disebabkan oleh indol, skatol dan asam butirat. Bau itu
menjadi bau busuk jika dalam usus terjadi pembusukan isinya, yaitu protein
yang dicernakan dan dirombak oleh kuman – kuman

(Gandasoebrata, 2007).
c. Konsistensi
Tinja normal agak lunak dan mempunyai bentuk. Pada diare
konsistensi menjadi sangat lunak atau cair. Peragian karbohidrat dalam usus
menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas (CO2) (Gandasoebrata,
2007).

Apabila konsistensi tinja dapat ditemukan (padat, setengah padat,


lunak, atau cair), maka dapat diperkirakan jenis organisme yang ada.
25

Trofozoit (bentuk motil) dari protozoa usus biasanya ditemukan dalam


spesimen setengah padat atau padat (Gracia, dkk 1996).

d. Lendir
Adanya lendir berarti rangsangan atau radang dinding usus. Kalau
lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin usus
besar, kalau bercampur – baur dengan tinja mungkin sekali usus kecil
(Gandasoebrata, 2007).

Pada infeksi parasit tertentu, dapat ditemukan darah dan lendir. Bila
tinjanya lunak atau encer, kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh infeksi
amebik, bagian darah yang berlendir harus diperiksa secara seksama untuk
mencari adanya amoeba bentuk trofozoit (Gracia, dkk 1996).

e. Darah
Perhatikan apa darah itu segar (merah muda), coklat atau hitam dan
apakah bercampur – baur atau hanya di bagian luar tinja (Gandasoebrata,
2007).

Adanya darah samar dalam tinja mungkin berhubungan dengan infeksi


parasit atau mungkin juga tidak, dan dapat juga disebabkan oleh berbagai
sebab lainnya. Menelan berbagai bahan dapat menyebabkan warna tinja
yang bebeda – beda (Gracia, dkk 1996).

f. Parasit
Cacing Ascaris, Ancylostoma, dll. Mungkin terlihat (Gandasoebrata,
2007).

3. Pemeriksaan Miksroskopis Feses


Selain kotoran yang normal terdapat dalam tinja, pada pemeriksaan
mikroskopis dapat ditemukan :

a. Trofozoit dan kista protozoa usus.


26

b. Telur dan larva cacing.


c. Sel darah merah yang menunjukkan adanya ulserasi atau masalah perdarahan
lainnya.

d. Sel darah putih PMN (Polimorfonuklear Netrofil) yang menunjukkan adanya


peradangan.
e. Sel darah merah (eosinofil) yang biasanya menunjukkan adanya respons
imun (yang mungkin berhubungan dengan infeksi parasit).

f. Makrofag yang mungkin ada pada infeksi bakteri maupun parasit.


g. Kristal Charcot-Leyden yang dapat ditemukan bila terjadi disintegrasi
eosinofil (dapat/tidak berhubungan dengan infeksi parasit).

h. Jamur Candida sp. Dan jamur seperti ragi (Yeast like fungi) atau ragi.
i. Sel – sel tanaman, butiran tepung sari, atau spora jamur yang dapat
menyerupai beberapa telur cacing atau kista protozoa.

j. Serat – serat tanaman atau akar rambut atau rambut binatang yang dapat
menyerupai larva cacing (Gracia, dkk 1996).

4. Macam – macam metode pemeriksaan feses


a. Pemeriksaan Secara Langsung (Sediaan Basah)
Pemeriksaan secara langsung (Sediaan Basah) merupakan
pemeriksaan dengan metode natif. Metode ini dipergunakan untuk
pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi
yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini
menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaan
eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing
dengan kotoran disekitarnya. Pemeriksaan secara langsung feses
dimaksudkan untuk menemukan telur cacing parasit pada feses yang
diperiksa. Dalam pemeriksaan feses langsung dapat ditemukan telur cacing,
27

leukosit, eritrosit, sel epitel, Kristal, makrofag dan sel ragi. Dari semua
pemeriksaan ini yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap protozoa dan
telur cacing (Budiman, 2012).

b. Metode Konsentrasi
Konsentrasi tinja merupakan bagian dari prosedur rutin pemeriksaan
parasit yang lengkap untuk mendeteksi sejumlah kecil parasit yang mungkin
tidak ditemukan pada pemeriksaan sediaan langsung. Terdapat dua jenis
prosedur konsentrasi yaitu flotasi dan sedimentasi. Metode ini dirancang
untuk memisahkan organisme protozoa dan telur cacing dari kotoran tinja
melalui perbedaan berat jenis.

 Teknik flotasi memungkinkan terpisahnya kista protozoa, telur dan larva


cacing tertentu dengan menggunakan cairan berberat jenis tinggi. Elemen
– elemen parasit ditemukan di lapisan permukaan dan kotoran tetap di
dasar tabung.

 Teknik sedimentasi (dengan menggunakan sentrifus) dapat menemukan


semua protozoa, telur, dan larva yang ada, teknik ini dianjurkan untuk
mendeteksi infeksinya (Gracia, dkk. 1996).

c. Metode Harada Mori


Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva
cacing Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Strongyloides
Stercolaris dan Trichostrongilus yang didapat dari feses yang diperiksa.
Teknik ini hanya digunakan untuk cacing – cacing yang menetas di luar tubuh
hospes akan menetas 7 hari menjadi larva dengan kelembaban yang cukup

d. Metode Kato
28

Teknik ini digunakan untuk mengetahui adanya infeksi cacing parasit


dan untuk mengetahui berat ringannya infeksi cacing parasit usus.
Mengidentifikasi telur cacing dilakukan dengan menghitung telur cacing
untuk mengetahui intessitas infeksi cacing (Rawina Winata, 2012).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Dalam penulisan karya tulis ini menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu
metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa atau
kejadian yang berlangsung saat penelitian tanpa menghiraukan sebelum dan
sesudahnya. Data yang diperoleh kemudian diolah, ditafsirkan dan disimpulkan.
Dalam penelitian ini akan ditentukan angka kecacingan Nematoda usus pada anak
– anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya
(Notoatmodjo. 2005).

B. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Waktu : 18 – 20 Juni 2014
2. Tempat : Tempat penelitian dilakukan di SDN 14 Palangka Kecamatan
Jekan Raya Kota Palangka Raya dan untuk pemeriksaan
dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas
Muhammadiyah PalangkaRaya.
29

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Sebagai populasi penelitian ini adalah siswa kelas 1 SD Negeri 14
Palangka Kecamatan Jekan Raya tahun 2014 yang berjumlah 50 siswa. Karena
jumlah siswa yang terrbanyak hanya ada di kelas 1, dimana yang diketahui
siswa kelas 1 masih belum mengerti tentang menjaga kebersihan diri sendiri.

2. Sampel
Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
Accidental Sampling Karena pengambilan sampel berdasarkan kasus atau
responden yang kebetulan ada atau tersedia. Sampel dalam penelitian ini
adalah bagian dari populasi yang berjumlah 26 siswa. Bahan pemeriksaan
adalah feses anak – anak kelas 1 SD Negeri 14 Palangka kecamatan Jekan Raya
yang diambil pada pagi hari setelah bangun tidur, kemudian dilakukan
pemeriksaan dengan metode langsung untuk mengetahui ditemukannya telur
cacing Nematoda usus (Notoatmodjo. 2005).

D. Instrumen Penelitian
1. Peralatan Teknis
a. Penampung Feses
- Pot plastik yang bertutup ulir
b. Bahan pemeriksaan
- Feses
- Reagen eosin 2%
c. Pemeriksaan Mikroskopis
- Mikroskop
30

- Lidi
- Kaca objek
- Deck glass/cover slip
- Pipet tetes/pasteur
2. Peralatan Non Teknis
Dalam penelitian ini sebagai peralatan non teknis yaitu data – data
jumlah feses yang diambil dan lembaran hasil pemeriksaan.

E. Definisi Operasional Penelitian


a. Pemeriksaan telur cacing adalah pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui
adanya infeksi cacing parasit pada feses yang diperiksa (Budiman, 2012).

b. Nematoda Usus adalah Nematoda yang berhabitat di saluran pencernaan


manusia dan hewan yang mempunyai jumlah spesies terbanyak di antara cacing
– cacing yang hidup sebagai parasit. (Rosdiana Safar, 2010).

c. Feses adalah produk buangan saluran pencernaan yang dikeluarkan melalui


anus.

F. Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini data dikumpulkan dari hasil pemeriksaan telur cacing
Nematoda usus pada anak – anak kelas 1 SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan
raya Kota Palangka Raya.

1. Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini sampel diambil dengan cara pembagian pot
plastik/tempat spesimen feses yang sebelumnya telah diberi kode pada anak –
anak kelas 1 SD Negeri 14 Palangka, feses yang diambil berupa feses pagi hari
setelah bangun tidur.
31

2. Prosedur Analisa
a. Pemeriksaan Laboratorium Telur Cacing Nematoda Usus
1. Metode : Sediaan langsung dengan larutan eosin 2%
2. Dengan penambahan zat eosin maka mikroorganisme dan unsur – unsur
lain dalam feses akan tampak jelas.

3. Reagensia dan Bahan


• Feses
• Larutan eosin 2%

b. Cara pemeriksaan sampel


1. Meneteskan 1-2 tetes larutan eosin 2% pada kaca objek yang bersih.
2. Mengambil feses seujung lidi (± 2 mg) dengan lidi aduk sampai rata pada
larutan eosin 2%.

3. Menutup dengan kaca penutup.


4. Lihat di bawah mikroskop mula – mula pembesaran 10 X objektif dan
kemudian dilanjutkan dengan lensa objektif 40 X objektif (Gracia, dkk
1996).

G. Teknik Analisis
Pemeriksaan sampel feses dinyatakan positif apabila dalam pemeriksaan
mikroskopis ditemukan telur cacing Nematoda usus (Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Enterobius vermicularis, Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale). Pemeriksaan dinyatakan negatif apabila dalam
pemeriksaan mikroskopis tidak ditemukan telur cacing Nematoda usus.
32

H. Pengolahan dan Analisis Data


Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh data dari hasil penelitian
berdasarkan teknik pengumpulan data dan teknik analisis yang kemudian sampel
yang positif dianalisis dengan rumus perhitungan presentase sebagai berikut.

P = x 100 %

Keterangan :
P = Presentase angka kecacingan
F = Jumlah sampel positif kecacingan
N = Jumlah sampel yang diperiksa
100% = Pengali Tetap (Margono.
2003).
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Sampel feses didapat dari Siswa SD Negeri 14 Palangka yang berada dijalan
mendawai Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya. Pengambilan sampel
dilaksanakan pada tanggal 18 - 20 juni 2014 secara bertahap yaitu pada hari pertama
anak – anak dibagikan pot plastik yang bertutup ulir sebagai tempat sampel feses
yang sudah diberi label kemudian pada hari kedua pagi hari dilakukan
pengumpulan pot plastik yang berisi sampel feses, kemudian pada hari ketiga
dilakukan pengumpulan pot – pot sampel feses yang terakhir. Jumlah sampel yang
diambil sebanyak 26 sampel yang terdiri dari anak laki – laki (14 orang) dan anak
perempuan (12 orang).

Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis telur cacing Nematoda usus


33

(Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Ancylostoma


duodenale, dan Necator americanus) maka didapat hasil pemeriksaan 1 sampel
(3%) positif telur Trichuris trichiura, dan 25 sampel (97%) negatif.

Hasil dapat dilhat pada tabel berikut ini (tabel 1) :


Tabel 1. Hasil pemeriksaan telur cacing Nematoda usus

Jumlah Jenis Telur Cacing


Ascaris Trichuris Enterobius N.americanus
lumbricoides trichiura vermicularis dan

A.duodenale
Pos Neg Pos Neg Pos Neg Pos Neg
26 Anak 0 26 1 25 0 26 0 26
Anak Anak Anak Anak Anak

Sumber : Dari data hasil penelitian


B. Pembahasan
Berdasarkan dari hasil penelitian terhadap sampel feses pada Siswa SD
Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya sebanyak 26
sampel yang dilaksanakan pada tanggal 18 – 20 juni 2014. Kemudian pemeriksaan
dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Muhammadiyah
Palalangkraya menggunakan pemeriksaan dengan metode sediaan langsung
menggunakan reagen eosin 2% dengan penambahan zat warna eosin maka
mikroorganisme dan unsur – unsur lain dalam feses akan tampak jelas atau
terwarnai.

Hasil pemeriksaan diatas menunjukkan adanya infeksi cacing Trichuris


trichiura pada anak – anak SD Negeri 14 Palangka. Hal ini dikarenakan tempat
tinggal mereka berdekatan dengan pasar sehingga kurangnya sanitasi lingkungan
dan kebersihan perorangan dengan kuku – kuku mereka yang panjang, serta
kebiasaan bermain di tanah dan kebiasaan jajan disembarang tempat, yang mana
kebiasaan tersebut bisa menjadi sumber penularan kecacingan pada anak.
34

Pada siklus hidup Trichuris trichiura telur cacing dapat ditemukan pada
tanah dan menjadi sumber infeksi bagi manusia, Telur yang dibuahi dikeluarkan
dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu
dalam lingkungan yang sesuai. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes
menelan telur matang, maka telur akan menetaskan larva yang akan berpenetrasi
pada mukosa usus halus selama 3-10 hari. Selanjutnya larva akan bergerak turun
dengan lambat untuk menjadi dewasa di sekum dan kolon asendens. Siklus hidup
dari telur sampai cacing dewasa memerlukan waktu sekitar tiga bulan. Di dalam
sekum, cacing bisa hidup sampai bertahun – tahun. Cacing akan meletakkan telur
pada sekum dan telur – telur ini keluar bersama tinja (Widoyono, 2011).

Gangguan yang disebabkan infeksi Trichuris trichiura ini berhubungan


dengan respon imun tubuh hospesnya, cacing ini memasukan kepalanya ke dalam
mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan
mukosa usus. Pada penderita terutama anak – anak dengan infeksi yang berat dan
menahun, menunjukkan gejala – gejala nyata seperti diare yang sering diselingi
dengan sindrom disentri, anemia karena cacing ini menghisap darah hospesnya,
serta berat badan turun dan kadang – kadang disertai prolapsus rektum
(Gandahusada, 1998).

Penyakit kecacingan sangan erat kaiatannya dengan sanitasi lingkungan,


dan kebersihan perorangan. Dengan ditemukannya infeksi telur cacing pada anak
diharapkan masyarakat ataupun orang tua agar lebih memperhatikan kebersihan
lingkungan serta membiasakan pada anak – anak selalu mencuci tangan dengan
sabun sebelum makan agar memperkecil kemungkinan terjadinya infeksi cacing
pada anak.
35

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 26 sampel feses anak –
anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya, dapat
disimpulkan sebagai berikut :

1. Persentase ditemukannya telur cacing Nematoda Usus pada anak – anak SD


Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya adalah sebanyak
3%.

2. Jenis Nematoda usus yang menginfeksi siswa SD Negeri 14 Palangka Kecamatan


Jekan Raya Kota Palangka Raya adalah Trichuris trichiura (cacing cambuk).
36

B. Saran
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka penyusun memberikan saran
sebagai berikut :

1. Kepada Sekolah SDN 14 Palangka dapat memberikan arahan kepada siswanya


agar bisa menjaga kebersihan diri sendiri serta lingkungannya agar tidak ada lagi
yang namanya infeksi kecacingan terhadap anak – anak.

2. Kepada masyarakat khususnya orang tua agar dapat memperhatikan kebersihan


lingkungan disekitarnya, dan memperhatikan pola hidup anak – anak baik saat
bermain, membeli jajanan, serta selalu rutin memberikan obat cacing setiap 6
bulan sekali.

3. Untuk Klinisi agar dapat melanjutkan penelitian kembali mengenai infeksi cacing
di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya agar hasil penelitiannya nanti
dapat diinformasikan kepada dinas kesehatan bahwa masih ditemukan prevalensi
terjadinya infeksi kecacingan, agar dapat dilakukan penecegahan.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar Chairil, 1997. Atlas Parasitologi Kedokteran. Penerbit Hipokrates, Jakarta.


Budiarto Eko, 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Budiman, 2012. Kajian Epidemiologi Lingkungan Penyakit Kecacingan Pada
Kelompok Pemulung Di Tpk Sarimukti Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung
Barat. Diakses pada tanggal 03 Juli 2014. http://ejournal.karyailmiah.com.
Depkes. 2006. Pedoman Pengendalian Kecacingan. Diakses pada tanggal 26 Juni 2014.
http:www.depkes.go.com.
Entjang Indan. 2003. Mikrobiologi dan prasitologi Untuk Akademi Keperawatan dan
Sekolah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Gandasoebrata. 2007. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat, Jakarta.
Gandahusada, Srisas. 1998. Parasitologi Kedokteran, Edisi Ketiga. FKUI, Jakarta.
Garcia, dkk. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
H Akhsin Zulkoni. 2010. Parasitologi. Nuha Medika, Yogyakarta
Inge Susanti, dkk. 2011. Parasitologi Kedokteran, Edisi Keempat. Jakarta : Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta
Notoatmodjo Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta,
37

Jakarta.
Pinardi Hadidjaja, dkk. 2011. Dasar Parasitologi Klinik, Edisi Pertama. Jakarta :
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Prianto Juni, dkk. 2010. Atlas Parasitologi Kedokteran. PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Rawina Winata, 2012. Upaya Pemberantasan Kecacingan Di Sekolah Dasar.
Diakses pada tanggal 03 Juli 2014. http://journal.ui.ac.id.
Safar Rosdiana. 2010. Parasitologi Kedokteran, Edisi Khusus. CV.Yrama Widya,
Bandung.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, penularan, Pencegahan, &
Pemberantasannya. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Lampiran 1

Data Hasil Pemeriksaan Feses pada anak – anak SD Negeri 14 Palangka


Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya yaitu sebagai berikut :

Hasil Pemeriksaan Telur Cacing


N.americanus
Kode T.trichiura dan
A.lumbricoides E.vermicularis Makroskopis
No Sampel (cacing A.duodenale
(cacing gelang) (cacing kremi) (cacing
cambuk)
tambang)
Padat dan
1 01 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
coklat
Padat dan
2 02 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
3 03 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
4 04 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
5 05 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
38

Lembek dan
6 06 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
7 07 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif kuning
kecokelatan
Lembek dan
8 08 (-)/Negatif (+)/Positif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
9 09 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
10 10 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
11 11 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
12 12 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
13 13 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
14 14 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
15 15 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
hijau
kecoklatan
Lembek dan
16 16 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
17 17 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
18 18 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
19 19 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
20 20 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
21 21 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
22 22 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
39

Padat dan
23 23 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
24 24 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
25 25 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
coelat
Lembek dan
26 26 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat

Mengetahui,

( )

Anda mungkin juga menyukai