BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar
dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit –
penyakit cacing masih tetap merupakan suatu masalah karena kondisi sosial dan
ekonomi di beberapa bagian dunia. Pada umumnya, cacing jarang menimbulkan
penyakit serius tetapi dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis yang
berhubungn dengan faktor ekonomis (Pinardi Hadidjaja, 2011).
Dari uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk memeriksa adanya
infeksi cacing Nematoda usus pada anak – anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan
Jekan Raya Kota Palangka Raya.
B. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi dari penelitian ini adalah :
3
1. Infeksi Nematoda usus pada anak – anak sekolah pada tahun 2002 hingga 2006
memiliki angka prevalensi : 33,0%; 46,8%; 28,4%; dan 32,6%.
5. Kebiasaan anak – anak masih bermain di tanah dengan tidak menggunakan alas
kaki.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
3. Jenis cacing apa yang banyak menginvestasi pada anak – anak SD Negeri 14
Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya ?
D. Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah peneliti hanya meneliti sampel
feses anak – anak kelas 1 SD dan penelitian hanya menentukan persentase
ditemukan telur cacing Nematoda Usus (Ascaris lumbricoides, Enterobius
vermicularis, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, dan Necator
americanus) pada anak – anak kelas 1 SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan
Raya Kota Palangka Raya.
4
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui prevalensi infeksi kecacingan Nematoda usus pada anak – anak SD
Negeri 14 Palangka, Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya.
F. Manfaat Penelitian
a. Mahasiswa
Menambah pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai bahan untuk
penelitian yang lebih mendalam, terutama infeksi kecacingan pada anak – anak.
b. Masyarakat
Memberikan informasi khususnya orang tua yang memiliki anak tentang
tingkat kontaminasi telur cacing Nematoda usus agar lebih memperhatikan
kebersihan lingkungan dan kebersihan anak – anak serta membiasakan mencuci
tangan sebelum memakan makanan.
BAB II
5
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nematoda Usus
Nematoda merupakan jumlah spesies yang terbesar di antara cacing yang
hidup sebagai parasit pada manusia, cacing tersebut berbeda – beda dalam habitat,
daur hidup dan hubungan hospes – parasit (Host parasite relationship). Nematoda
usus adalah Nematoda yang berhabitat di saluran pencernaan manusia dan hewan.
Manusia merupakan hospes beberapa Nematoda usus. Sebagian besar dari
Nematoda ini adalah penyebab masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Besar dan panjang cacing Nematoda usus beragam, ada yang panjangnya
beberapa millimeter, ada pula yang panjangnya melebihi satu meter. Dinding badan
dibagi dalam lapisan kutikulum bagian luar, hipodermis dan sel otot somatic.
Hipodermis menonjol ke dalam badan dalam bentuk korda lateral, ventral dan
dorsal. Kutikulum mungkin mempunyai bermacam ciri dan tonjolan yang berguna
untuk identifikasi spesies. Saluran pencernaan merupakan suatu pipa yang terdiri
atas rongga mulut, usus tengah (midgut), dan usus belakang (hindgut) atau rectum
yang terbuka ke dalam anus yang subterminal esofagus berotot. Sistem ekskresi
terdiri atas dua pipa di dalam korda lateral. Pada ujung anterior pipa – pipa ini
berhubungan dan terbuka di bagian tengah ventral sebagai sinus ekskretorius.
Sistem saraf terdiri dari cincin saraf yang mengelilingi esofagus dan dari sini keluar
6
cabang – cabang ke anterior dan posterior. Alat kelamin jantan berbentuk pipa yang
dapat dibagi dalam duktus ejakulatorius kecil, vesica seminalis, vas deferens dan
testis. Duktus ejakulatorius, bersama dengan rectum, terbuka ke dalam kloaka. Alat
kelamin betina juga berbentuk pipa yang mungkin didelphic atau monodelphic tiap
pipa terdiri atas ovarium, oviduktus, reseptakulum seminalis, uterus, vagina dan
vulva (Chairil Anwar, 1997).
3. Morfologi
7
(a) (b)
(c)
Gambar 1. Telur cacing Ascaris lumbricoides. (a) Dibuahi (Decorticated) (b)
yang tidak dibuahi (Unfertilized). (c) yang berisi embrio
(Fertilized). (pembesaran 10 x 20).
4. Siklus Hidup
8
5. Epidemiologi
9
6. Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan kosmopolit (di seluruh dunia), terutama di daerah
tropik dan erat hubungannya dengan hygiene dan sanitasi. Lebih sering
ditemukan pada anak – anak. Di Indonesia frekuensinya tinggi berkisar antara
60-90% (Rosdiana Safar, 2010)
a) Stadium larva, yaitu kerusakan pada paru – paru yang menimbulkan gejala
yang disebut Sindrom Loeffler yang terdiri dari batuk – batuk, eosinofil
dalam darah meningkat, dan dalam Rontgen foto thorax terlihat bayangan
putih halus yang merata di seluruh lapangan paru yang akan hilang dalam
waktu 2 minggu. Gejala dapat ringan dan dapat menjadi berat pada penderita
yang rentan atau infeksi berat.
b) Stadium dewasa, biasanya terjadi gejala usus ringan. Pada infeksi berat,
terutama pada anak – anak dapat terjadi malabsorbsi yang memperberat
malnutrisi karena perampasan makanan oleh cacing dewasa. Bila cacing
dewasa menumpuk dapat menimbulkan ileus obstruksi. Bila cacing nyasar
ke tempat lain dapat terjadi infeksi ektopik pada apendiks dan ductus
choledochus (Rosdiana Safar, 2010).
10
8. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja
penderita atau larva pada sputum, dan dapat juga dengan menemukan cacing
dewasa keluar bersama tinja atau melalui muntah pada infeksi berat (Akhsin
Zulkoni, 2010).
9. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secar missal atau perorangan. Untuk
perorangan dapat digunakan bermacm – macam obat misalnya piperasin,
pirantel pamoat 10 mg/kg berat badan, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau
albendazol 400 mg. oksantel – pirantel pamoat adalah obat yang dapat
digunakan untuk infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura (Akhsin
Zulkoni, 2010)
3. Morfologi
11
Cacing betina 3,5-5 cm dan jantan 3,0-4,5 cm. Tiga per lima, anterior
tubuh halus seperti benang, dua per lima bagian posterior tubuh lebih tebal,
berisi usus dan perangkat alat kelamin. Cacing jantan tubuhnya membengkok
ke depan hingga membentuk satu lingkaran penuh, satu spikula tunggal
menonjol keluar melalui selaput retraksi. Bagian posterior tubuh cacing betina
membulat tumpul dan vulva terletak pada ujung anterior bagian yang tebal dari
tubuhnya. Seekor cacing betina dalam satu hari dapat bertelur 3000-4000 butir.
Telur cacing ini berbentuk tempayan dengan semacam tutup yang jernih dan
menonjol pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning –
kuningan dan bagian dalamnya jernih, besarnya 50 mikron. Cacing dewasa
hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk
masuk ke dalam mukosa usus (Rosdiana Safar, 2010).
4. Siklus Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur
tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang
sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang
berisi larva dan merupakan bentuk infekif. Cara infeksi langsung bila secara
kebetulan hospes menelan telur matang, maka telur akan menetaskan larva yang
akan berpenetrasi pada mukosa usus halus selama 3-10 hari. Selanjutnya larva
akan bergerak turun dengan lambat untuk menjadi dewasa di sekum dan kolon
12
asendens. Siklus hidup dari telur sampai cacing dewasa memerlukan waktu
sekitar tiga bulan. Di dalam sekum, cacing bisa hidup sampai bertahun – tahun.
Cacing akan meletakkan telur pada sekum dan telur – telur ini keluar bersama
tinja (Widoyono, 2011).
5. Epidemiologi
Penyebaran penyakit ini adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimal 30°C. Pemakaian
tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia
tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar 3090%
(Rosdiana Safar, 2010).
6. Distribusi Geografis
Penyebaran secara kosmopolit, terutama di daerah panas dan lembab,
seperti di Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia, prevalensi masih tinggi
seperti yng dikemukan Departemen Kesehatan pada tahun 1990/1991 antara lain
53% pada masyarakat Bali, 36,2% di perkebunan di Sumatera Selatan, 51,6%
13
8. Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinja dengan
mikroskop, akan ditemukan telur parasit yang berbentuk tong (Akhsin Zulkoni,
2010).
9. Pengobatan
14
3. Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. pada ujung anterior ada
pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae . Bulbus esofagusnya jelas,
ekor runcing dan panjang, badan kaku, uterus gravid penuh berisi telur. Cacing
jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar,
spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di
rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga
sekum. Makananya adalah isi usus. Cacing betina dalam satu hari dapat bertelur
10.000-11.000 butir, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara
kontraksi uterus dan vaginanya. Telur berbentuk lonjong asimetris. Dinding
15
telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. Telur
menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap
desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai
13 hari. Kopulasi cacing jantan dan cacing betina mungkin terjadi di sekum.
Cacing jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur
(Gandahusada, 1998).
4. Siklus Hidup
Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang. Bila telur
matang yang tertelan, telur akan menetas di usus halus selanjutnya larva kan
bermigrasi ke daerah sekitar anus (sekum, caecum). Disini larva akan tinggal
sampai menjadi dewasa, kemudian cacing dewasa betina akan bermigrasi pada
malam hari ke daerah sekitar anus untuk bertelur, telur akan terdeposit di sekitar
area ini. Hal ini akan menyebabkan rasa gatal di sekitar anus (pruritus ani
nocturnal). Apabila digaruk maka penularan dapat terjadi dari kuku jari tangan
ke mulut (self – infection, infeksi oleh diri sendiri). Infeksi dapat juga terjadi
karena menghisap debu yang mengandung telur dan retrofeksi dari anus. Bila
sifat infeksinya adalah retroinfeksi dari anus, maka telur akan menetas di sekitar
16
5. Epidemiologi
Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan
dapat terjadi pada keluarga atau kelompok yang hidup dalam satu lingkungan
yang sama. Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau
kafetaria sekolah dan menjadi sumber infeksi bagi anak – anak sekolah. Di
berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung
cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet,
tempat tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian dan
tilam (Gandahusada, 1998).
6. Distribusi Geografis
Parasit ini kosmopolit, di Indonesia frekuensinya tinggi, terutama pada
anak – anak. Parasit ini banyak ditemukan di daerah dingin daripada di daerah
panas. Hal ini mungkin disebabkan pada umumnya orang di daerah dingin
jarang mandi dan mengganti baju dalam. Penyebaran cacing ini juga ditunjang
17
oleh eratnya hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya serta
lingkungan yang sesuai (Rosdiana Safar, 2010).
8. Diagnosis
Infeksi cacing dapat diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di
sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnose dibuat dengan menemukan telur
dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal
swab yang ditempelkan disekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang
air besar dan mencuci pantat (cebok). (Inge Susanto, dkk 2011).
Anal swab adalah suatu alat dan batang gelas atau spatel lidah yang
pada ujungnya diletakkan scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ditempelkan
di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian
adhesive tape diratakan pada kaca dan di bubuhi sedikit toluol untuk
pemeriksaan mikroskopis. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga hari berturu –
turut (Inge Susanto, dkk 2011).
9. Pengobatan
Mebendazol, albendazol, dan pyranthel palmoate tidak mematikan
telurnya, sehingga setelah dua miinggu cacing yang menetas harus diobati. Obat
pilihan kedua yaitu piperazin. Seluruh anggota keluarga dalam satu rumah harus
meminum obat tersebut karena infeksi ulang bisa menyebar dari satu orang
kepada yang lainnya. Untuk mengurangi rasa gatal, bisa dioleskan krim atau
salep anti gatal ke daerah sekitar anus sebanyak 2-3 kali/hari. Meskipun telah
diobati, sering terjadi infeksi ulang karena telur yang masih hidup di dalam tinja
selama seminggu setelah pengobatan. Pakaian, seprei dan mainan anak
sebaiknya sering dicuci untuk memusnahkan telur cacing yang tersisa (Akhsin
Zulkoni, 2010).
19
3. Morfologi
Ancylostoma duodenale ukurannya lebih besar dari Necator
americanus. Yang betina ukurannya 10-13 mm x 0,6 mm, yang jantan 8-11 x
0,5 mm, bentuknya menyerupai huruf C, Necator americanus berbentuk huruf
S, ukuran yang betina 9-11 x 0,4 mm dan yang jantan 7-9 x 0,3 mm. rongga
mulut Ancylostoma duodenale mempunyai dua pasang gigi, Necator
americanus mempunyai sepasang benda kitin. Alat kelamin pada yang jantan
20
4. Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup dan bertelur di dalam ⅓ atas usus halus
kemudian telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 11,5
hari telur akan berkembang menjadi larva di tanah yang sesuai suhu dan
kelembabannya, keluarlah larva bentuk pertama disebut rhabditiform. Dalam
waktu ± 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform. Kemudian
21
larva filariform akan memasuki tubuh manusia melalui kulit (telapak kaki,
terutama untuk N.americanus) untuk masuk ke peredaran darah selanjutnya
larva akan ke paru – paru naik ke trakea, berlanjut ke faring, kemudian larva
tertelan ke saluran pencernaan usus halus. Larva bisa hidup dalam usus sampai
delapan tahun dengan menghisap darah (1 cacing = 0,2 mL/hari). Cara infeksi
kedua yang bukan melalui kulit adalah tertelannya larva (terutama A.duodenale)
dari makanan atau minuman yang tercemar (Widoyono, 2011).
5. Epidemiologi
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di
daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang
langsung berhubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%.
Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaina tinja sebagai pupuk kebun penting
dalam penyebara infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah
gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk N. americanus 2832°C,
sedangkan untuk A. duodenale lebih rendah (23-25°C). Pada umumnya A.
22
duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antar alain dengan memakai
sandal atau sepatu (Inge Susanto, dkk 2011).
6. Distribusi Geografis
Cacing ini terdapat hamper di seluruh daerah khatulistiwa, terutama di
daerah pertambangan. Frekuensi cacing ini di Indonesia masih tinggi kira – kira
60-70%, terutama di daerah pertanian dan pinggir pantai (Rosdiana safar 2010).
b) Stadium dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, keadaan gizi
penderita (Fe dan protein) tiap cacing N. americanus menyebabkan
kehilangan darah 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan A. duodenale 0,08-0,34 cc.
Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer.
Disamping itu juga dapat eosinofialia. Cacing tambang biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja
menurun sehingga dapat berakibat Decompensatio Cordis (Inge Susanto, dkk
2011).
8. Diagnosis
Jika timbul gejala, maka pada pemeriksaan tinja penderita akan
ditemukan telur cacing tambang. Jika dalam beberapa jam tinja dibiarkan maka
telur akan mengeram dan menetaskan larva yang dapat diamati dibawah
23
mikroskop. Telur kedua spesies ini tidak bisa dibedakan, untuk membedakan
spesies telur dibiakan menjadi larva dengan salah satu cara, yaitu Harada Mori
(Akhsin Zulkoni, 2010).
9. Pengobatan
Pengobatan diarahkan pada dua tujuan, yakni memperbaiki kondisi
darah (makanan yang bergizi dan senyawa besi) dan memberantas cacing.
Mebendazol dan Pyrantel merupakan obat cacing pilihan pertama yang
sekaligus membasmi cacing gelang jika terjadi infeksi campuran. Obat ini tidak
boleh diberikan kepada ibu hamil karena bias membahayakan janin yang
dikandungnya. Untuk memperbaiki anemia dapat dilakukan dengan cara
memberikan tambahan zat besi per-oral atau suntikan zat besi. Pada kasus yang
berat mungkin perlu dilakukan transfusi darah (Akhsin Zulkoni, 2010).
Feses untuk pemeriksaan sebaiknya yang berasal dari defekasi spontan, jika
sangat diperlukan, boleh juga sampel tinja diambil dengan jari bersarung dari
rectum. Untuk pemeriksaan biasa dipakai feses sewaktu, jarang diperlukan feses
24 jam untuk pemeriksaan tertentu. Feses hendaknya diperiksa dalam keadaan
segar, kalau dibiarkan mungkin sekali unsur – unsur dalam tinja itu menjadi
rusak (Gandasoebrata, 2007).
b. Baunya
Bau normal tinja disebabkan oleh indol, skatol dan asam butirat. Bau itu
menjadi bau busuk jika dalam usus terjadi pembusukan isinya, yaitu protein
yang dicernakan dan dirombak oleh kuman – kuman
(Gandasoebrata, 2007).
c. Konsistensi
Tinja normal agak lunak dan mempunyai bentuk. Pada diare
konsistensi menjadi sangat lunak atau cair. Peragian karbohidrat dalam usus
menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas (CO2) (Gandasoebrata,
2007).
d. Lendir
Adanya lendir berarti rangsangan atau radang dinding usus. Kalau
lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin usus
besar, kalau bercampur – baur dengan tinja mungkin sekali usus kecil
(Gandasoebrata, 2007).
Pada infeksi parasit tertentu, dapat ditemukan darah dan lendir. Bila
tinjanya lunak atau encer, kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh infeksi
amebik, bagian darah yang berlendir harus diperiksa secara seksama untuk
mencari adanya amoeba bentuk trofozoit (Gracia, dkk 1996).
e. Darah
Perhatikan apa darah itu segar (merah muda), coklat atau hitam dan
apakah bercampur – baur atau hanya di bagian luar tinja (Gandasoebrata,
2007).
f. Parasit
Cacing Ascaris, Ancylostoma, dll. Mungkin terlihat (Gandasoebrata,
2007).
h. Jamur Candida sp. Dan jamur seperti ragi (Yeast like fungi) atau ragi.
i. Sel – sel tanaman, butiran tepung sari, atau spora jamur yang dapat
menyerupai beberapa telur cacing atau kista protozoa.
j. Serat – serat tanaman atau akar rambut atau rambut binatang yang dapat
menyerupai larva cacing (Gracia, dkk 1996).
leukosit, eritrosit, sel epitel, Kristal, makrofag dan sel ragi. Dari semua
pemeriksaan ini yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap protozoa dan
telur cacing (Budiman, 2012).
b. Metode Konsentrasi
Konsentrasi tinja merupakan bagian dari prosedur rutin pemeriksaan
parasit yang lengkap untuk mendeteksi sejumlah kecil parasit yang mungkin
tidak ditemukan pada pemeriksaan sediaan langsung. Terdapat dua jenis
prosedur konsentrasi yaitu flotasi dan sedimentasi. Metode ini dirancang
untuk memisahkan organisme protozoa dan telur cacing dari kotoran tinja
melalui perbedaan berat jenis.
d. Metode Kato
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
2. Sampel
Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
Accidental Sampling Karena pengambilan sampel berdasarkan kasus atau
responden yang kebetulan ada atau tersedia. Sampel dalam penelitian ini
adalah bagian dari populasi yang berjumlah 26 siswa. Bahan pemeriksaan
adalah feses anak – anak kelas 1 SD Negeri 14 Palangka kecamatan Jekan Raya
yang diambil pada pagi hari setelah bangun tidur, kemudian dilakukan
pemeriksaan dengan metode langsung untuk mengetahui ditemukannya telur
cacing Nematoda usus (Notoatmodjo. 2005).
D. Instrumen Penelitian
1. Peralatan Teknis
a. Penampung Feses
- Pot plastik yang bertutup ulir
b. Bahan pemeriksaan
- Feses
- Reagen eosin 2%
c. Pemeriksaan Mikroskopis
- Mikroskop
30
- Lidi
- Kaca objek
- Deck glass/cover slip
- Pipet tetes/pasteur
2. Peralatan Non Teknis
Dalam penelitian ini sebagai peralatan non teknis yaitu data – data
jumlah feses yang diambil dan lembaran hasil pemeriksaan.
1. Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini sampel diambil dengan cara pembagian pot
plastik/tempat spesimen feses yang sebelumnya telah diberi kode pada anak –
anak kelas 1 SD Negeri 14 Palangka, feses yang diambil berupa feses pagi hari
setelah bangun tidur.
31
2. Prosedur Analisa
a. Pemeriksaan Laboratorium Telur Cacing Nematoda Usus
1. Metode : Sediaan langsung dengan larutan eosin 2%
2. Dengan penambahan zat eosin maka mikroorganisme dan unsur – unsur
lain dalam feses akan tampak jelas.
G. Teknik Analisis
Pemeriksaan sampel feses dinyatakan positif apabila dalam pemeriksaan
mikroskopis ditemukan telur cacing Nematoda usus (Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Enterobius vermicularis, Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale). Pemeriksaan dinyatakan negatif apabila dalam
pemeriksaan mikroskopis tidak ditemukan telur cacing Nematoda usus.
32
P = x 100 %
Keterangan :
P = Presentase angka kecacingan
F = Jumlah sampel positif kecacingan
N = Jumlah sampel yang diperiksa
100% = Pengali Tetap (Margono.
2003).
BAB IV
A. Hasil Penelitian
Sampel feses didapat dari Siswa SD Negeri 14 Palangka yang berada dijalan
mendawai Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya. Pengambilan sampel
dilaksanakan pada tanggal 18 - 20 juni 2014 secara bertahap yaitu pada hari pertama
anak – anak dibagikan pot plastik yang bertutup ulir sebagai tempat sampel feses
yang sudah diberi label kemudian pada hari kedua pagi hari dilakukan
pengumpulan pot plastik yang berisi sampel feses, kemudian pada hari ketiga
dilakukan pengumpulan pot – pot sampel feses yang terakhir. Jumlah sampel yang
diambil sebanyak 26 sampel yang terdiri dari anak laki – laki (14 orang) dan anak
perempuan (12 orang).
A.duodenale
Pos Neg Pos Neg Pos Neg Pos Neg
26 Anak 0 26 1 25 0 26 0 26
Anak Anak Anak Anak Anak
Pada siklus hidup Trichuris trichiura telur cacing dapat ditemukan pada
tanah dan menjadi sumber infeksi bagi manusia, Telur yang dibuahi dikeluarkan
dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu
dalam lingkungan yang sesuai. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes
menelan telur matang, maka telur akan menetaskan larva yang akan berpenetrasi
pada mukosa usus halus selama 3-10 hari. Selanjutnya larva akan bergerak turun
dengan lambat untuk menjadi dewasa di sekum dan kolon asendens. Siklus hidup
dari telur sampai cacing dewasa memerlukan waktu sekitar tiga bulan. Di dalam
sekum, cacing bisa hidup sampai bertahun – tahun. Cacing akan meletakkan telur
pada sekum dan telur – telur ini keluar bersama tinja (Widoyono, 2011).
BAB V
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 26 sampel feses anak –
anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya, dapat
disimpulkan sebagai berikut :
B. Saran
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka penyusun memberikan saran
sebagai berikut :
3. Untuk Klinisi agar dapat melanjutkan penelitian kembali mengenai infeksi cacing
di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya agar hasil penelitiannya nanti
dapat diinformasikan kepada dinas kesehatan bahwa masih ditemukan prevalensi
terjadinya infeksi kecacingan, agar dapat dilakukan penecegahan.
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta.
Pinardi Hadidjaja, dkk. 2011. Dasar Parasitologi Klinik, Edisi Pertama. Jakarta :
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Prianto Juni, dkk. 2010. Atlas Parasitologi Kedokteran. PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Rawina Winata, 2012. Upaya Pemberantasan Kecacingan Di Sekolah Dasar.
Diakses pada tanggal 03 Juli 2014. http://journal.ui.ac.id.
Safar Rosdiana. 2010. Parasitologi Kedokteran, Edisi Khusus. CV.Yrama Widya,
Bandung.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, penularan, Pencegahan, &
Pemberantasannya. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Lampiran 1
Lembek dan
6 06 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
7 07 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif kuning
kecokelatan
Lembek dan
8 08 (-)/Negatif (+)/Positif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
9 09 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
10 10 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
11 11 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
12 12 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
13 13 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
14 14 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
15 15 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
hijau
kecoklatan
Lembek dan
16 16 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
17 17 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
18 18 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
19 19 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
20 20 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
21 21 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
22 22 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
39
Padat dan
23 23 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Padat dan
24 24 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Lembek dan
25 25 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
coelat
Lembek dan
26 26 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif
cokelat
Mengetahui,
( )