Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,


salah satu diantaranya adalah cacing perut yang ditularkan memalului tanah.
Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi,
kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak
menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan
protein serta kehilangan darah, sehingga menururnnya kualitas sumber daya
manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat
tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dan tingkat
pengetahuan yang rendah mempunyai resiko tinggi tejangkitnya penyakit ini. (
Surat Keputusan Mentri Kesehatan No: 424/MENKES/VI,2006:1).
Infeksi cacing tambang disebabkan oleh cacing gelang usus, baik
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Sekitar seperempat
penduduk dunia terinfeksi cacing tambang. Infeksi paling sering ditemukan di
daerah yang hangat dan lembab, dengan tingkat kebersihan yang buruk.
Ancylostoma duodenale ditemukan di daerah Mediteranian, India, Cina, dan
Jepang. Necator americanus ditemukan di daerah tropis Afrika, Asia, dan
Amerika. Gejala yang dapat ditemui berupa Ground itch, anemia, eosinofilia,
diare, malnutrisi. (Caumes, 2006).
Larva filariform yang menembus kulit, larva tertelan melalui mulut
merupakan cara penularannya. Cara terbaik untuk menghindari infeksi cacing
tambang adalah dengan tidak berjalan bertelanjang kaki di daerah di mana
cacing tambang umum ditemukan dan di tempat yang mungkin terdapat
kontaminasi tinja manusia di tanah. Selain itu, hindari kontak kulit lainnya
dengan tanah tersebut dan menghindari menelan tanah tersebut. Infeksi juga
dapat dicegah dengan tidak buang air besar di luar ruangan dan dengan sistem
pembuangan limbah yang efektif.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dari skenario ini ialah apakah ada
pengaruh antara gaya hidup warga Desa Rejoso dengan kejadian hookworm
desease pada anak SDN Rejoso ?

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum skenario ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh
gaya hidup warga desa rejoso dengan kejadian hookworm desease pada
anak-anak di SDN rejoso.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus skenario ini adalah untuk mengidentifikasi penyebab
terjadinya hookworm desease pada anak-anak di SDN desa rejoso.
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Skenario
Desa Rejoso adalah salah satu desa di Kecamatan Karang Kabupaten Damai. Di
desa tersebut terdapat Sekolah Dasar (SDN) dengan 173 siswa. Data tahun
kemarin menunjukkan bahwa kejadian infeksi cacing tambang pada siswa SDN
Rejoso 20,5%. Perilaku buang air besar di sekitar rumah 44,2%, perilaku anak –
anak yang biasa bermain dengan tanah sebesar 54,2%.
Kabupaten Damai khususnya Kecamatan Karang memiliki wilayah perkebunan
seluas 5.000 hektar, berupa tanah kering yang merupakan tanah yang sesuai
dengan perkembangan cacing tambang. Kepala keluarga (KK) umumnya (65%)
berpendidikan sekolah menengah pertama dan dasar, dengan pekerjaan umumnya
(67%) tani atau buruh tani. Penghasilan orang tua siswa sebagian besar (66%)
masih di bawah upah minimum kota (UMK), 83% rumah mereka memiliki lahan
pekarangan atau lahan pertanian. Dalam kegiatan pekerjaan mereka KK umumnya
(76%) tidak menggunakkan alas kaki.
Bagaimana cara penanggulangan penyakit yang terdapat di desa tersebut ?

Tujuan Pembelajaran :

1. Mahasiswa memahami identifikasi penyakit hookworm disease.


2. Mahasiswa memahami mata rantai penularan penyakit :
a. Penyebab (agent)
b. Reservoir/sumber infeksi (reservoir/source of infection);
c. Pintu keluar (place of exit);
d. Cara menular (mode of transmission);
e. Pintu masuk (port d’entry);
f. Kerentanan (susceptibillity).
3. Cara pengendalian :
a. Upaya preventif.
b. Pengendalian pasien, kontak dan lingkungan.
c. Upaya epidemiologis.

B. Analisis
Inventarisasi di Desa Rejoso Kecamatan Karang adalah sebagai berikut :
1. Tingginya prevalensi Hookworm Disease.
2. Keadaan tanah yang sesuai dengan perkembangan cacing.
3. Kebiasaan masyarakat buang air besar di lingkungan terbuka.
4. Kebiasaan anak – anak bermain di tanah tanpa alas kaki.
5. Tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah.
6. Gaji orang tua di bawah UMK.
7. Minimnya WC yang ada di rumah penduduk.

Dari hasil inventarisasi tersebut yang menjadi masalah kesehatan adalah


tingginya prevalensi Hookworm Disease, sedangkan masalah yang lainnya
menjadi pemicu atau faktor risiko. Hubungan antara faktor risiko dengan masalah
kesehatan ini dapat digambarkan dalam diagram fish bone sebagai berikut (Lihat
Diagram Fish Bone).

1. Keadaan tanah yang sesuai dengan perkembangan cacing


Ancylostomiasis, Necatoriasis dan Uncinariasis merupakan infeksi cacing
tambang yang paling sering disebabkan oleh spesies cacing Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus. Cacing dewasa tinggal diusus halus
bagian atas, sedangkan telurnya akan dikeluarkan bersama dengan kotoran
manusia. Telur akan menetas menjadi larva di luar tubuh manusia, yang
kemudian masuk kembali ke tubuh korban menembus kulit telapak kaki yang
berjalan tanpa alas kaki.
Terdapat lima spesies cacing tambang yang ditemukan tetapi hanya dua
diantaranya yang ditemukan menginfeksi manusia. Menurut taksonomi cacing
tambang diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Strongylida
Famili : Ancylostomatidae
Genus : Necator / Ancylostoma
Spesies :
Ancylostoma duodenale
Necator americanus
Ancylostoma brazilliense
Ancylostoma ceylanicum
Ancylostoma caninum
Berikut adalah perbedaan dari Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus. Ancylostoma duodenale ukurannya lebih besar daripada Necator
americanus yaitu dengan panjang badan ± 0,8-1,1 cm, menyerupai huruf C.
dibagian mulutnya terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa
kopulatriks pada bagian ekornya. Sedangkan cacing betina ekornya runcing.
Sedangkan Necator americanus Memiliki panjang badan ± 0,7-0,9 cm,
menyerupai huruf S. bagian mulutnya mempunyai benda kitin. Cacing jantan
mempunyai bursa kopulaptriks pada bagian ekornya.
Gambar 1 :Perbedaan mulut Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale

Sumber : http://slideplayer.com/slide/7476968/

Telur cacing ini untuk pertumbuhannya memerlukan temperatur terendah


sekitar 18°C dan tanah yang lembab. Dengan demikian suatu kenyataan
bahwa daerah - daerah panas merupakan tempat penyebarannya.
Penyebaran disebabkan oleh factor-faktor berikut :
a. Tanah atau pasir tempat pembuangan kotoran yang merupakan medium
baik bagi larva.
b. Suhu panas dan lembab.
c. Pembuangan kotoran orang-orang yang terinfeksi di tempat - tempat yang
dilewati orang lain.
d. Populasi yang miskin dengan orang-orang tanpa sepatu.

Di Cina perpindahan terjadi karena pemakaian pupuk dari kotoran


manusia. Di Indonesia ankilostomasis banyak terjangkit oleh karyawan
perkebunan karet. Orang negro lebih resisten dari orang kulit putih terhadap
Necator americanus.
2. Kebiasaan masyarakat buang air besar di lingkungan terbuka
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Edy Harianto tahun 2007
penduduk yang tidak memanfaatkan jamban berisiko terinfeksi cacing
tambang tiga setengah kali lebih besar daripada yang memanfaatkan jamban.
Hasil ini sesuai dengan penelitiannya yang menemukan bahwa pemanfaatan
jamban yang tidak baik berisiko terinfeksi cacing tambang 6,66 kali lebih
besar daripada yang memanfaatkan jamban dengan baik (Hariyanto, 2007).
Dari siklus hidup Ancylostoma duodenale maupun Necator americanus
telur cacing yang terbawa oleh darah ke jaringan usus dan dikeluarkan
bersama dengan tinja. Sehingga bila penduduk buang air besar tidak pada
tempatnya kemungkinan terjadi kontaminasi air dan terjadi peningkatan serta
penularan ancylostomiasis.

Gambar 2 :Siklus hidup cacing tambang

Sumber : https://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.html
Telur yang keluar bersama feses manusia merupakan telur yang non-
infektif (biasanya berisi blastomere), butuh proses perkembangan terlebih
dahulu sampai telur tersebut bisa menjadi larva yang mampu menembus kulit
manusia (larva filariform). Untuk menjadi larva filarifrom, telur hookworm
harus berada di tanah dengan kondisi yang gembur, lembab, berpasir, teduh,
dan hangat.

Ketika telur sudah menemukan lokasi tanah yang sesuai, maka dia akan
menetas dan menjadi larva stadium awal (rhabditiform), larva ini ukurannya
sangat kecil (0,25-0,30 mm) dan buccal cavitynya terbuka, buccal cavity yang
terbuka menjadi pertanda stadium larva rhabditiform karena dalam stadium
awal ini larva sangat aktif memakan (stadium feeding)bakteri dan bahan-
bahan organik dilingkungan sekitarnya.

Dalam waktu 6-8 hari, larva akan berganti kulit (moulting) sebanyak dua
kali dan menjadi larva filariform, pada stadium ini (stadium non
feeding) mulut larva sudah menutup, tubuhnya juga ditutupi oleh
semacam sheath atau selaput dari ujung anterior sampai posterior sebagai
perlindungan diri. Larva filariform ini merupakan bentuk yang infektif,
mereka mampu menembus kulit manusia.

Larva rhabditiform antara N.americanus dan A.duodenale tidak dapat


dibedakan, namun ketika sudah menjadi larva filariform akan tampak
perbedaan dimana pada sheath N.americanus tampak garis atau striae
transversal, sedangkan sheath pada A.duodenale tidak.

Jika kulit manusia kontak dengan larva filariform (biasanya kulit


interdigiti melalui follicle rambut atau epidermis yang mengelupas), kemudian
larva akan bermigrasi mengikuti peredaran darah sampai ke jantung,
kemudian melakukan lung migration, setelah itu larva akan menelusuri
saluran pernafasan atas sampai ke pharynx dan masuk oesophagus.

Ketika sampai di usus, larva akan melakukan moulting untuk ketiga


kalinya, kemudian larva akan melekatkan diri pada mucosa usus, tumbuh
menjadi cacing dewasa dan mengadakan diferensiasi seksual kemudian akan
terbentuk mulut yang sempurna.

Selain infeksi yang terjadi akibat inokulasi dan penetrasi larva filariform
melalui kulit, infeksi juga dapat terjadi peroral, dimana larva langsung masuk
melalui mulut dan langsung mencapai usus halus tanpa harus melakukan lung
migration.

3. Kebiasaan anak – anak bermain tanpa alas kaki


Tanah merupakan media yang mutlak diperlukan oleh cacing tambang
untuk melangsungkan proses perkembangannya. Telur cacing tambang yang
keluar bersama feses pejamu (host) mengalami pematangan di tanah. Setelah
24 jam telur akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1) yang
selanjutnya berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2) atau larva
rhabditiform dan akhirnya menjadi larva tingkat ketiga (L3) yang bersifat
infeksius. Larva tingkat ketiga disebut sebagai larva filariform. Larva
filariform dalam tanah selanjutnya akan menembus kulit terutama kulit tangan
dan kaki, meskipun dikatakan dapat juga menembus kulit perioral dan
transmamaria. Adanya kontak pejamu dengan larva filariform yang infektif
menyebabkan terjadinya penularan. Anak usia sekolah merupakan kelompok
rentan terinfeksi cacing tambang karena pola bermain anak pada umumnya
tidak dapat dilepaskan dari tanah sementara itu pada saat anak bermain
seringkali lupa menggunakan alas kaki.
Maryanti (2006), yang melakukan studi di di Desa Tegal Badeng Timur,
Bali menemukan bahwa penggunaan alas kaki berhubungan dengan kejadian
infeksi cacing tambang (p = 0,000 OR = 8,785).33) Tanah halaman yang ada
di sekeliling rumah merupakan tempat bermain paling disukai bagi anak.
Manakala pada tanah halaman tersebut mengandung larva infektif cacing
tambang, peluang anak untuk terinfeksi cacing tambang akan semakin besar.
Ginting Limin (2005), mengatakan bahwa salah satu faktor resiko infeksi
kecacingan pada anak adalah perilaku anak itu sendiri dalam bermain
4. Faktor pengetahuan masyarakat yang rendah
Faktor sosio-ekonomi yaitu seperti latar belakang pendidikan,
lingkungan (persediaan air bersih, sanitasi kamar mandi) dan faktor kultur
yang berkaitan dengan cara mempersiapkan makanan, jenis makanan dan cara
memakan. Kebiasaan itu seperti cara makan, defekasi, personal hygiene,
pengetahuan akan kebersihan yang berkaitan dengan rendahnya tingkat
pendidikan, kepedulian akan kesehatan dan kurangnya kebutuhan yang
berkaitan dengan kebersihan (Al-Mekhlafi et al., 2008). Sri Alemina Ginting
(2003), menemukan bahwa kejadian kecacingan tertinggi pada anak sekolah
di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo adalah pada anak
sekolah yang orang tuanya berpendidikan SD. Kejadian infeksi yang lebih
kecil ditemukan pada anak sekolah yang orang tuanya memiliki tingkat
pendidikan yang lebih baik.
Anak-anak merupakan kelompok umur yang terbanyak menderita
infeksi STH. Hal ini disebabkan karena keterlibatan mereka secara langsung
dengan lingkungan tempat bermain sangat tinggi. Sementara itu anak- anak
merupakan kelompok rawan infeksi mengingat sulitnya menjaga kebersihan
perorangan mereka. Status higienis seorang anak sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sekitar termasuk orang tua dan lingkungan keluarga yang
mengasuhnya.
Pentingnya pola asuh orang tua dalam meningkatkan kesehatan anak
merupakan suatu upaya yang sangat mendasar melalui pembinaan lingkungan,
kebersihan perorangan, dan pendidikan kesehatan sejak dini. Kebiasaan
menjaga kebersihan pribadi sangat tepat ditanamkan sedini mungkin karena
kebiasaan-kebiasaan tersebut akan terbawa sampai dewasa. Tingkat
pengetahuan orang tua berperan dalam penyerapan tentang pengetahuan
bagaimana menjaga kesehatan dan kebersihan keluarga, selain itu juga
mempengaruhi prevalensi infeksi STH (Sandy & Irmanto, 2014).
Perilaku terdiri dari 3 domain, yakni : pengetahuan, sikap dan praktik.
(Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau
hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya.
Pengetahuan akan menentukan respon seseorang terhadap suatu subjek/objek.
Pengetahuan dipengaruhi oleh intensitas dan persepsi terhadap objek, dalam
hal ini pengetahuan ibu tentang kecacingan mempengaruhi kejadian dari
infestasi STH. Pengetahuan kecacingan yang cukup bagi seseorang ibu akan
membantu mengurangi angka kejadian infestasi STH. Penurunan kejadian
STH dapat dilakukan dengan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) serta pengetahuan akan gejala, pemeriksaan dan pengobatan
kecacingan. Pengetahuan mempengaruhi terhadap penyakit kecacingan dan
sangat berperan penting untuk mencegah terjadinya penyakit kecacingan
sehingga kecenderungan pengetahuan rendah akan semakin meningkatkan
resiko infeksi pada kecacingan. Kecacingan identik dengan faktor kebersihan
lingkungan dan pribadi seseorang, sehingga salah satu pengetahuan yang
harus dimiliki adalah pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat
serta pengetahuan akan kecacingan. Data dari beberapa penelitian,
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna pada tingkat
pengetahuan dengan kejadian infestasi STH. Berdasarkan hasil penelitian
Amry Jusuf, Ruslan dan Makmur pada tahun 2013, dapat disimpulkan bahwa
ada kecenderungan semakin rendah pengetahuan, sikap yang negatif dan
tindakan yang kurang baik terhadap pencegahan infeksi cacing maka semakin
banyak jumlah jumlah telur yang ditemukan (Jusuf, Ruslan, & Selono, 2013).
Pada penelitian Mahar memiliki hasil yaitu terdapat hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dengan infeksi STH pada pekerja genteng di desa
Kedawung, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah (Taufiq Mahar, 2008)
5. Gaji di bawah UMK
Gaji merupakan sejumlah pembayaran kepada pegawai yang diberi
tugas administratif dan manajemen yang biasanya ditetapkan secara bulanan.
Sedangkan upah merupakan imbalan yang diberikan kepada buruh yang
melakukan pekerjaan kasar dan lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik,
jumlah pembayaran upah biasanya ditetapkan secara harian atau berdasarkan
unit pekerjaan yang diselesaikan (Permata, dkk 2017).
Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum, upah minimum adalah upah
bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang
ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman. Upah Minumum Kota
(UMK) adalah Upah Minimum yang berlaku di wilayah kabupaten/kota.
Penghasilan dibawah UMK tentu dapat berdampak pada kesejahteraan
anggota keluarga.
6. Minimnya WC di rumah penduduk
Pengertian jamban adalah fasilitas penanganan tinja yang efektif
memutuskan rantai penularan penyakit. Pembuatan jamban merupakan usaha
manusia untuk memelihara kesehatan. Sehingga jika minimnya jamban di
suatu daerah maka dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat. Menurut
Depkes RI (2009) manfaat jamban adalah :
- Peningkatan martabat dan privasi
- Kotoran tidak berserakan di sembarang tempat sehingga tidak
akan mengotori sumber air
- Lingkungan kita menjadi bersih, sehat, dan bebas dari bau
- Sanitasi dan kesehatan meningkat
- Menghemat waktu, uang dan menghasilkan kompos untuk kebun
sayur atau sawah
- Memutuskan siklus penyebaran penyakit yang terkait dengan
sanitasi
- Mudah dan aman digunakan setiap saat

Gambar 3 :Fishbone diagram

PROSEMANAJEMEN
INPUT
Tingkat pengetahuan yg
rendah
Gaji di bawah UMK
O.D
Anak bermain di tanah
tanpa alas kaki Tidak adanya WC di
rumah penduduk

Hookworm
Disease

Suhu udara hangat


Daerah berupa perkebunan
dan lembab
dgn tanah yang luas

LINGKUNGAN

Diagram Fish Bone Faktor-faktor Risiko Prevalensi Ancylostomiasis di Desa Rejoso,


Kecamatan Karang

C. Pembahasan
1. Penatalaksanaan
Cacing tambang (hookworm) adalah salah satu parasit yang banyak
menginfeksi manusia dan umumnya terdiagnosa melalui penemuan
karakteristik klinis seperti eosinofilia pada pemeriksaan darah dan telur dengan
bentuk yang spesifik pada pemeriksaan tinja secara mikroskopik. Necator
Americanus merupakan salah satu jenis cacing tambang yang menginfeksi
sekitar 576-740 juta. Hospes adalah manusia, tersebar di daerah tropis,
subtropik, terutama pada populasi miskin dan sanitasi buruk (Rahmawati,
2014).
Di Indonesia infeksi oleh Necator americanus lebih sering dijumpai
dibandingkan infeksi oleh Ancylostoma duodenale dan Uncinariasis.
Penegakan diagnosis merupakan bagian penting dalam menetapkan pengelolaan
yang tepat. Diagnosis pada umumnya ditegakkan berdasarkan adanya telur
cacing dalam tinja, tetapi bisa juga tidak terdiagnosis terutama pada kasus
infeksi yang ringan.
Terapi antihelminth yang digunakan adalah golongan Benzimidazoles
(BZAs), yaitu albendazole dan mebendazole. BZA membunuh cacing dewasa
melalui ikatan dengan beta-tubulin dan selanjutnya menghambat polimerisasi
mikrotubulus parasit. Pamoate levamisol dan pyrantel juga dapat digunakan.
Studi meta-analisis menyebutkan efikasi terapi dosis tunggal pada infeksi
cacing tambang adalah sebagai berikut: albendazole 72%; mebendazole 15%;
pyrantel pamoat 31% (Rahmawati, 2014).
2. Memberikan promosi kesehatan
Perlunya pemberian informasi mengenai cacing tambang kepada
masyarakat Desa Rejoso dan Kota Damai di Kabupaten Damai karena tingkat
pengetahuan masyarakat disini yang masih kurang mengenai cacing tambang.
Salah satu hal yang perlu diketahui masyarakat adalah bagaimana cara
penularan dari infeksi cacing tambang. Dikatakan bahwa penularan dapat
terjadi akibat sering buang air besar di sembarang tempat, tidak menggunakan
alas kaki sehingga menginjak kotoran yang mengandung larva cacing tambang.
Promosi kesehatan di lingkungan masyarakat masih perlu diberikan agar dapat
memahami penularan infeksi cacing tambang dan cara pencegahannya.
Di lingkungan Puskesmas pun juga dapat dilakukan promosi kesehatan,
baik berupa leaflet, baliho/billboard, poster – poster atau juga spanduk.
Di Lingkungan Puskesmas yang dapat dilakukan promosi kesehatan
antara lain :
a. Di tempat Parkir Puskesmas
b. Di halaman Puskesmas
c. Di dinding Puskesmas
d. Di pagar pembatas kawasan Puskesmas
e. Di kantin/kios di kawasan Puskesmas
Materi yang dapat diberikan berupa pengetahuan tentang gejala infeksi
cacing tambang. Gejala awal dapat berupa rasa gatal pada tempat masuknya
larva. Setelah 2 minggu dapat timbul gejala paru yaitu batuk kering, asma, dan
demam. Manifestasi klinis utama adalah nyeri abdomen (Setiati,dkk 2015).
Cara mendapatkan pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang
kecurigaan terkena infeksi cacing tambang dapat langsung berobat ke
Puskesmas. Dalam pengobatan, pendistribusian obat didampingi oleh petugas
puskesmas sebagai supervisor puskesmas, pemberian obat pada penduduk yang
tidak hadir (sweeping), monitoring reaksi obat, puskesmas sebagai pusat
pelayanan kesehatan siap 24 jam, rujukan efek samping ke RS, dan penguatan
sistim rujukan berjenjang.
3. Pencegahan Hookworm Disease
a. Perbaikan sanitasi lingkungan
Sanitasi rumah merupakan salah satu faktor resiko penyebab kejadian
infeksi cacing tambang, anak yang tinggal dalam rumah dengan sanitasi
yang buruk mempunyai resiko sebesar 3,5 kali lebih besar untuk terkena 39
infeksi cacing tambang dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam
rumah dengan sanitasi yang baik.
Untuk mencegah terjadinya infeksi atau pun penyebaran dari
hookworm disease harus dilakukan perbaikan sanitasi lingkungan. Salah
satunya yakni penyediaan air bersih. Penyediaan air bersih yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dapat juga sebagai media penularan melalui
mulut menyertai makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja
yang mengandung telur cacing. Salah satu cara untuk memutuskan rantai
daur hidup STH adalah dengan cara menjaga kebersihan dengan
menyediakan cukup air bersih di kakus, untuk mandi dan cuci tangan.
Menurut hasil penelitian yang di lakukan di Kecamatan Angkola Timur
Kabupaten Tapanuli Selatan thun 2012 ada hubungan yang signifikan
antara persediaan air bersih dengan infeksi kecacingan murid Sekolah
Dasar.
Penularan hookworm disease juga dapat terjadi melalui tanah yang
terkontaminasi dengan tinja. Sampai saat ini belum terdapat cara yang
praktis untuk membunuh telur cacing yang terdapat di tanah, terutama bila
telur-telur terdapat pada tanah liat dengan lingkungan yang sesuai (hangat
dan lembab). Kebiasaan seperti defekasi di sekitar rumah dapat
menyebabkan reinfeksi secara terus-menerus terutama pada anak balita.
Menurut studi pada anak sekolah di Desa Rejosari, Kecamatan
Karangawen Demak menunjukkan bahwa kebiasaan defekasi di kebunatau
tanah mempunyai faktor risiko sebesar 2,9 kali terhadap infeksi cacing
tambang daripada anak yang tidak defekasi di kebun atau tanah.
Perbaikan sanitasi lingkungan juga dapat dilakukan dengan pengadaan
jamban/WC. Ketersediaan WC sangat di perlukan sebagai sarana tempat
pembuangan tinja. Pembuangan tinja yang kurang memenuhi syarat
kesehatan, misalnya : tanah tergolong hospes perantara atau tuan rumah
sementara, tempat berkembangnya telur-telur atau larva cacing sebelum
dapat menular dari seseorang ke orang lain, yaitu larvanya yang ada di tinja
menembus kulit memasuki tubuh. Pembuangan tinja yang memenuhi
persyaratan akan mengurangi jumlah infeksi dan jumlah cacing. Hal ini
penting di perhatikan terutama bila berhubungan dengan anak-anak yang
melakukan defekasi di tanah. Ada hubungan signifikan antara ketersediaan
jamban SPAL dengan faktor risiko infeksi kecacingan pada murid Sekolah
Dasar di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun
2012.
b. Menggunakan alas kaki saat kontak dengan tanah
Kaki merupakan bagian dari tubuh kita pertama yang melakukan
kontak langsung dengan tanah. Maka untuk menghindari masuknya telur
atau larva cacing melalui perantaraan kulit kaki perlu di lakukan upaya
penggunaan alas kaki bagi para petani. Necator americanus yang Infeksi
cacing tambang terjadi di daerah lembab, khususnya di daerah pedesaan,
dimana sanitasi yang tidak memadai dan kurangnya alas kaki adalah lazim.
c. Personal hyegine
Menurut Hidayat (2008), perawatan diri atau kebersihan diri (personal
hygiene) merupakan perawatan diri sendiri yaang dilakukan untuk
mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis. Personal
hygiene berasal dari bahasa Yunani yang berarti Personal yang artinya
perorangan dan hygiene yang artinya sehat. Kebersihan perorangan adalah
suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan untuk
kesejahteraan fisik dan psikis (Wartonah, 2006).
Menurut Ananto (2006), memeilihara kebersihan dan kesehatan pribadi
adalah salah satu upaya pendidikan kesehatan yang diberikan kepada
peserta didik disekolah atau madrasah dan dirumah. Melalui peningkatan
kebersihan dan kesehatan pribadi, kesehatannya akan menjadi lebih baik.
Untuk mencegah penularan cacing tambang, jenis personal hygiene
yang harus dilakukan yaitu selalu mecuci tangan setelah kontak dengan
tanah. Selain itu juga mandi setelah bagian tubuh terpapar dengan tanah di
daerah dengan kejadian infeksi cacing tambang yang tinggi.
d. Kerjasama lintas sektoral
Masalah Ancylostomiasis cukup kompleks karena untuk melakukan
pemberantasan harus melibatkan banyak sektor. Dengan pengobatan massal
saja (sektor kesehatan) diantarany tanpa melibatkan sektor lain untuk
melakukan pebaikan perumahan, sektor pendidikan, sektor pekerjaan umum
maka tidak akan memecahkan masalah dengan tuntas.

1) Kerjasama dengan sektor perumahan dan permukiman


Dalam penelitian yang dilakukan oleh Edy Harianto tahun 2007
penduduk yang tidak memanfaatkan jamban berisiko terinfeksi cacing
tambang tiga setengah kali lebih besar daripada yang memanfaatkan
jamban. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang menemukan bahwa
pemanfaatan jamban yang tidak baik berisiko terinfeksi cacing tambang
6,66 kali lebih besar daripada yang memanfaatkan jamban dengan baik.
Sehingga perlu dilakuan pembuatan jamban di tiap pemukiman warga
(Hariyanto, 2007)
2) Kerjasama dengan sektor pendidikan
Memasukkan mata pelajaran di sekolah-sekolah sebagai mata
pelajaran muatan lokal yang terfokus pada pengetahuan tentang gejala
penyakit, penyebab penyakit dan tempat penularan ancylostomiasis
(Hariyanto, 2007).
3) Kerjasama dengan sektor Pekerjaan Umum/Pengairan
Membangun WC dengan sanitasi yang baik di seluruh wilayah desa
dan permukiman penduduk sehingga tidak ada kesempatan untuk telur
cacing tambang berkembang menjadi infeksius (Hariyanto, 2007).
BAB III
RENCANA PROGRAM

A. Rencana Penyelesaian Masalah


Untuk mempermudah penyelesaian masalah pada sekenario diatas dapat
menggunakan scoring system. Hal ini dilakukan untuk mengetahui urutan prioritas
dari skala yang tertinggi sampai terendah, sehingga mempermudah untuk
menentukan masalah mana yang akan diselesaikan lebih dulu.
Skoring untuk menentukan urutan prioritas penyelesaian masalah yang telah
dirumuskan dalam tujuan khusus.

Tabel III.1 Penentuan Prioritas dan Solusi Kebiasaan Open Defacation


M I V C 𝐌×𝐈×𝐕
No Kegiatan 𝐏=
𝐂
1 Penatalaksanaan (pengobatan) 4 3 3 4 9
2 Memberikan Promosi Kesehatan tentang
pembuatan dan penggunaan jamban
a. Pada Sekolah Dasar 4 3 3 2 18
b. Pada warga desa Rejoso 3 2 3 3 6
c. Pada pekerja perkebunan 3 3 2 2 13,5

3 Pencegahan Hookworm Disease 5 4 2 4 10

Keterangan :

P : Prioritas penyeselaian masalah


M : Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi ini
dilaksanakan (turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain)
I : Implementasi, kelanggengan selesai masalah
V : Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, Biaya yang diperlukan
Berdasarkan tabel prioritas masalah yang dilakukan dengan metode Non-
scorring (Delphi Technique), maka alternatif penyelesaian masalah yang kami
lakukan terlebih dahulu adalah mengadakan kegiatan promosi kesehatan tentang
pembuatan dan penggunaan jamban di Sekolah Dasar.

B. Rencana Program

Dari urutan pada skala prioritas diperoleh memberikan promosi kesehatan


tentang pembuatan dan penggunaan jamban pada Sekolah Dasar memperoleh
skor tertinggi, artinya kegiatan itu yang dipilih menjadi Rencana Program.
Promosi kesehatan Hookworm Disease dilakukan dengan rincian kegiatan
sebagai berikut:
1. Memperbaiki fasilitas dan sanitasi MCK yang ada di sekolah
2. Sosialisasi mengenai cara penularan hookworm disease (kebiasaan defekasi
sembarangan, anak sering bermain tanah) dan pencegahan hookworm disease
(pentingnya penggunaan alas kaki untuk kegiatan di luar rumah dan perilaku
hidup bersih dan sehat dengan cara mencuci tangan setiap sebelum maupun
sesudah melakukan kegiatan)
3. Mengadakan program menabung di sekolah untuk pembelian alas kaki
Tabel Rincian Kegiatan

Volume Lokasi Tenaga Kebutuhan


No Kegiatan Sasaran Target Rincian kegiatan Jadwal
kegiatan pelaksana pelaksana pelaksanaan
1. Pendataan MCK/ Sekolah dasar 100 % Sekolah 1 tim yang Mendata sekolah dasar Sekolah Dasar Tenaga Minggu I ATK
Jamban Rejoso Dasar Rejoso telah rejoso dengan sanitasi yang Desa Rejoso Puskesmas Transportasi
ditunjuk kurang baik

2 Sosialisasi perbaikan Sekolah dasar 100 % Sekolah 1 tim Memberikan sosialisasi Aula Sekolah Tenaga Minggu I Ruang
dan pembangunan Rejoso Dasar Rejoso sosialisasi tentang rencana perbaikan Dasar puskesmas dan pertemuan
fasilitas MCK/ yang telah dan pembangunan fasilitas tenaga lengkap
Jamban ditunjuk dengan audio
mck di Sekolah Dasar pembangunan
visual dan
desa snack

3 Menyiapkan Petugas 100% tenaga 1 tim yang 1. Memilih tenaga yang siap Sekolah Dasar Petugas Minggu II dan Bahan
tenaga Menyiapkan kesehatan dan alat siap telah melaksanakan tugas Desa Rejoso kesehatan Minggu III material
alat dan bahan puskesmas dan ditunjuk 2.Inventarisasi kebutuhan puskesmas pembangunan
perbaikan dan pembangunan bahan dan alat sarana mck
pembuatan MCK/ desa 3.Check and recheck Petugas
Jamban pembangunan
Alat dan bahan desa
pembuatan mck

4 Gotong-royong Sekolah Dasar 100 % Sekolah 1 tim yang 1. Membangun saluran air Sekolah Dasar Tenaga Minggu IV 1. Dana
perbaikan MCK/ Rejoso Dasar Rejoso telah bersih Rejoso pembangunan, 2. Sarana
Jamban sekolah ditunjuk 2. Membangun toilet staff Sekolah bangunan
3. Membangun sarana Dasar dan 3. Sarana
kebersihan lainnya yang Petugas kebersihan
layak digunakan Pembangunan
Desa
5. Sosialisasi/ Siswa dan 100% siswa 4 x setahun 1. Menyiapkan materi Aula sekolah Petugas sanitasi 1. Minggu III Fasilitas
pendidikan kesehatan pengajar Sekolah Dasar penyuluhan mengenai: dasar Rejoso dan staff persiapan pertemuan
tentang cara sekolah dasar  Penularan: open puskesmas materi
penularan dan defecation, bermain 2. Minggu IV Sound system
pencegahan tanah pelaksanaan

21
Hookworm Disease  Pencegahan: penyuluhan/ LCD
 Penggunaan alas pendidikan
kaki kesehatan Alat peraga
 Mencuci tangan
sebelum dan
setelah
melakukan
kegiatan
 Pentingnya MCK
yang sehat dan
teratur
 Perilaku hidup
sehat dengan
olahraga teratur
dan makan
makanan bergizi
2. Mengumpulkan siswa
dan pengajar
3. Pelaksanaan sosialisasi
 Penyuluhan
 Mengajarkan kepada
siswa tentang
pemakaian dan
perawatan jamban
bersama
 Mengajak siswa
sebagai role model
untuk BAB di
jamban kepada
keluarga maupun
orang sekitar
 Permainan mengenai
cacing tambang
 Memulai gerakan
menabung

22
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Cacing tambang (hookworm) adalah salah satu parasit yang banyak


menginfeksi manusia. Ancylostomiasis, Necatoriasis dan Uncinariasis
merupakan infeksi cacing tambang yang paling sering disebabkan oleh
spesies cacing Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.
2. Penyebaran disebabkan oleh beberapa faktor seperti tanah atau pasir tempat
pembuangan kotoran yang merupakan medium baik bagi larva, suhu panas
dan lembab, pembuangan kotoran orang-orang yang terinfeksi di tempat -
tempat yang dilewati orang lain, dan populasi yang miskin dengan orang-
orang tanpa sepatu.
3. Diagnosis pada umumnya ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang berupa kultur feses dan ditemukan adanya telur
cacing dalam tinja.
4. Terapi antihelminth yang digunakan adalah golongan Benzimidazoles (BZAs),
yaitu albendazole dan mebendazole. Pamoate levamisol dan pyrantel juga
dapat digunakan.
5. Peran promosi kesehatan terhadap siswa dan petani sangat penting dalam
mencegah penularan cacing tambang. Perlu diadakannya perbaikan MCK di
desa tersebut agar mempengaruhi terhadap prevalensi infeksi cacing tambang.

B. Saran
1. Perlu adanya perilaku tanggap dari masyarakat Desa Rejoso Kecamatan
Karang Kabupaten Damai untuk memperhatikan sanitasi MCK yang baik dan
memadai dan menggunakannya. Jika sudah ada perlu adanya peningkatan
sanitasi MCK.
2. Dalam hal penyuluhan terhadap pencegahan infeksi cacing tambang perlu
adanya anjuran pengobatan 6 bulan sekali untuk mengonsumsi obat cacing
(anthelmintic).

23
3. Disamping pengobatan dengan anthelmintic dan tablet besi, perlu adanya diit
tinggi protein.

24
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mekhlafi, M. H., Surin, J., Atiya, A. S., Ariffin, W. A., Mohammed Mahdy, A.
K., & Che Abdullah, H. (2008). Pattern and predictors of soil-transmitted
helminth reinfection among aboriginal school children in rural Peninsular
Malaysia. Acta Tropica, (107), 200–204.
Caumes E. It’s time to distinguish the sign “creping eruption” from the syndrome
“cutaneus larva migrans”. Dermatologi 2006; 213:179-81
Ginting, S. R. I. A. (2003). Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Dengan
Kejadian Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Desa Suka Kecamatan
Tiga Panah, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Usu Digital Library,
1–19.
Loukas A, Prociv P, Immune responses in hookworm infection. Clin Microbiol Rev ,
2001 : p.689-703
Surat Keputusan Mentri Kesehatan No: 424/MENKES/VI,2006

25

Anda mungkin juga menyukai