Anda di halaman 1dari 6

Soil Transmitted Helminth

Oleh : Dymarda Indra S. M


NIM. 20171880009
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Soil Transmitted Helminth (STH) merupakan masalah kesehatan di masyarakat,
khususnya di daerah yang memiliki tingkatan ekonemi menengah kebawah, juga
merupakan masalah pada beberapa negara khususnya negara yang berkembang yang
dilewati garis katulistiwa (Hardianti, 2018). Menurut WHO (World Health Organization)
pada tahun 2018 lebih dari 20% anak-anak di 30 negara yang berada di wilayah tersebut
rentan mengalami penyakit yang berkaitan dengan STH. WHO memperkirakan ada sekitar
1 miliyar anak di dunia memerlukan kemoterapi prefetif untuk cacing STH ini (Suriani,
2019). Indonesia memiliki hasil bumi yang melimpah dan diakui oleh seluruh dunia, salah
satunya adalah pertambangan batu bara di Kalimantan (Putri, 2020). Golongan cacing STH
di Indonesia yang sering ditemukan antara lain cacing gelang (Ascaris lumbricoides) yang
menyebabkan Acsariasis, cacing cambuk (Trichuris triciura) yang menyebabkan
Trichuriasis, serta cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang
menyebabkan Ankilostomiasis dan Nekatoriasis (Nurhalina, 2018). Indonesia memiliki
prevalensi 50% - 80% dimana anak-anak merupakan golongan penyumbang angka tertinggi
dalam kasus ini (Nurhalina, 2018). Hal ini yang mneyebabkan penurunan gizi, penurunan
fungsi kognitif, gangguan pertumbuhan, anemia, dan diare berkepanjangan (Nurhalina,
2018). Kurangnya pengetahuan tentang kebersihan, kurangnya budaya bersih dan sehat di
kalangan masyarakat, serta banyaknya penambang yang tidak kurang mengetahui
pentingnya K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) merupakan salah satu fakor pencetus
timbulnya penyakit ini (Tuuk, 2020). Oleh karena masalah tersebut kami menulis paper ini
yang bertujuan untuk memberi informasi tentang cacing golongan STH khususnya cacing
tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Dengan harapan dapat
memberi informasi dan penjelasan secara singkat dan jelas.
Tujuan
1. Memberi informasi mengenai morfologi dan siklus hidup cacing tambang
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
2. Memberi informasi mengenai manifestasi klinis cacing tambang (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus)
3. Memberi informasi mengenai terapi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus)
Pembahasan
Morfologi dan siklus hidup cacing tambang atau Hookworm (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus). Ciri-ciri telur cacing tambang yaitu memiliki bentuk
oval. Berukuran panjang berkisar 60 μm dan lebar berkisar 40 μm. Serta memiliki dinding
1 lapis tipis dan transparan. Telur cacing tambang (Hookworm) memiliki isi antara lain:
Tipe A → berisikan pembelahan sel (1 – 4 sel)
Tipe B → berisikan pembelahan sel (> 4 sel)
Tipe C → berisikan larva (Atmojo,2019).

Gambar telur cacing tambang (www.cdc.gov)


Ciri-ciri larva  rhabditiform memiliki ukuran panjang sekitar 250 μm dan
lebar sekitar 17 μm. Terdapat cavum bucalis panjang dan terbuka. Panjang esophagus 1/3
dari panjang tubuhnya. Mempunyai 2 bulbus esophagus, pada bagian pangkal posterior
runcing. Ciri-ciri larva filariform memiliki ukuran panjang sekitar 500 μm. Terdapat cavum
bucalis tertutup. Panjang esophagus 1/4 dari panjang tubuhnya, tidak mempunyai bulbus
esophagus. Pada bagian pangkal posterior berbentuk lancip (Atmojo,2019).

Gambar larva rhabditiform dan larva filariform (web.stanford.edu).


Ciri-ciri hook worm dewasa berukuran panjang sekitar 1 cm. memiliki warna putih
kekuningan. Pada bagian pangkal posterior cacing betina berbentuk lurus dan meruncing,
pada bagian pangkal posterior cacing jantan berbentuk membesar ini disebabkan oleh bursa
kopulatoris yang terdiri dari : bursa rays / vili dorsal, spicula, dan gubernaculum.
Terdapat beberapa spesies cacing yang memiliki morfologi yang hampir sama, perbedaan
tiap spesies bisa dilihat dari susunan gigi / lempeng pemotong.
Ancylostoma duodenale → memiliki 2 pasang gigi runcing yang besar
Necator americanus → memiliki sepasang gigi berbentuk lempeng pemotong
(Atmojo,2019).

Gambar Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (web.stanford.edu)


Cacing dewasa hidup dalam organ intestinum tenue (usus halus). Cacing betina
dewasa yang telah mengalami reproduksi mengeluarkan telur dan telur akan keluar bersama
dengan tinja. Apabila kondisi tanah lembab, basah, kadar oksigen tinggi, dan suhu optimal
(26°C – 27°C) sehingga memungkinkan telur akan menetas. Dalam waktu 24 jam telur
yang menetas akan berubah menjadi larva rhabditiform. Setelah 5 – 8 hari larva
rhabditiform akan mengalami perubahan menjadi larva filariform. Larva filariform
merupakan stadium infektif dari cacing tambang. Jika menemui hospes (manusia) dan
terinjak larva filariform akan mempenetrasi bagian jaringan yang lunak, yang selanjutnya
akan masuk ke pembuluh darah dan ikut aliran darah ke jantung. Kemudian terjadi siklus
peredaran darah kecil menuju paru-paru. Kemudian larva filariform menembus alveolus
dan menuju ke bronkus, reflek tubuh akan mengeluarkan dalam bentuk sekeret. Akan
tetepai bila tertelan (bronchus → trachea → esopagus) akan menjadi dewasa di usus halus.
Seluruh siklus mulai dari penetrasi larva lariform ke dalam kulit sampai menjadi cacaing
tambang dewasa yang siap bertelur memakan waktu sekitar 5 – 6 minggu (CDC, 2013).
Gambar siklus hidup cacing tambang (CDC,2013).
Manifestasi klinis dari siklus hidup cacing tambang antara lain larva ground itch /
dew itch merupakan rasa gatal yang muncul ketika larva cacing tambang (filariform) masuk
menembus kulit, semakin banyak larva yang menembus kulit akan berdampak pada
semakin hebat rasa gatal yang timbul. Masuknya larva cacing tambang (filariform) yang
menembus kulit juga bisa menyebabkan dermatitis dengan eritema, edema, vesikel
(gelembung kecil), dan gatal. Infeksi pertama mengakibatkan gejala yang lebih berat
daripada infeksi selanjutnya. Larva dari cacing tambang hewan (Ancylostoma
brazilliense, Ancylostoma ceylanicum, dan  Ancylostoma caninum) juga dapat menginfeksi
manusia dan mampu mengakibatkan creeping eruption (cutaneus larva migrans). Dalam
jaringan kulit, larva dapat hidup beberapa hari hingga beberapa bulan. Larva ini berkelana
dalam kulit akan tetapi tidak pernah mencapai stadium dewasa (Atmojo,2019).
Cacing tambang dewasa menyebabkan tanda-tanda anemia, karena cacing dewasa
menghisap darah manusia, selain itu tempat perlekatan cacing dapat menyebabkan
perdarahan. Anemia yang terjadi akibat infeksi cacing tambang adalah anemia mikrositik
hipokromik (kekurangan zat besi dalam darah). Pada infeksi lanjut dapat menyebabkan
penurunan gizi, oleh karena anemia, gangguan absorbsi, gangguan pemecahan makanan
dikarenakan kerusakan vili usus akibat luka gigitan, dan diare akibat iritasi gigitan cacing.
Pada pemeriksaan darah biasanya terdapat eosinofilia yaitu meningkatnya jumlah sel
eosinophil. Peningkatan jumlah eosinophil ini bisa sampai 15% – 30%. Pemeriksaan darah
samar (occult) dalam tinja biasanya positif, bahkan terkadang terlihat darah yang dapat
dilihat dengan mata telanjang. Infeksi cacing ini dapat menimbulkan kekebalan. Jika tidak
ada desiensi gizi, infeksi ulangan akan memberikan kekebalan sehingga jumlah cacing
tambang akan berkurang sampai hilang dari intestinum / usus halus (Atmojo,2019).
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menggunakan alas kaki saat keluar rumah,
menggunakan safety shoes diarea pertambangan, menghindari kontak kaki secara langsung
dengan tanah, serta buang air besar dijamban (kakus). Manusia atau seseorang yang telah
terinfeksi cacing ini dapat sembuh dengan mengkonsumsi obat Antheminthik (obat yang
digunakan memusnahkan cacing perut), seperti obat golongan albendazole dan
mebendazole yang efektif dalam pengobatan infeksi cacing tambang. Obat ini biasanya
dikomsumsi selama 1-3 hari. Suplemen zat besi juga dibutuhkan mengingat pasien juga
mengalami anemia (CDC, 2013).
Dari penjelasan kami tersebut dapat kami simpulkan bahwa pentingnya menjaga
lingkungan dan membiasakan hidup bersih dan sehat, serta perlu memahami K3 (Kesehatan
dan Keselamatan Kerja) di daerah pertambangan atau pabrik tertentu. Dengan begitu kita
telah berusaha untuk mencegah penyakit STH yaitu cacing tambang. Bila seseorang telah
mengalami kecacingan segera konsumsi albendazole (400 mg/hari) atau mebendazole (100
mg 2x 1 hari selama 3 hari) dengan tambahan suplemen zat besi.

Daftar Pustaka
Atmojo, Andi Tri. 2019. Cacing Tambang (Hook Worm). https://medlab.id/cacing-
tambang-hook-worm/ diakses 25 Juli pukul 21:30 WIB
CDC. 2013. Parasites - Hookworm. http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/ diakses
25 Juli 2020 pukul 20:08 WIB
Global Health Observatory (GHO). 2020. Soil-transmitted helminthiases.
https://www.who.int/gho/neglected_diseases/soil_transmitted_helminthiases/en/ diakses 25
Juli pukul 20:08 WIB
Hardianti, Uci, Urip, Yunan Jiwintarum. 2018. Prevalensi Kecacingan Golongan Sth
(Soil Transmitted Helminth) Pada Anak Usia 3-6 Tahun Pasca Gempa Bumi Di Desa
Sembalun Kabupaten Lombok Timur. Jurnal Analis Medika Bio Sains Vol. 1, No.1, Juni
2019, pp. 1~41
Nurhalina, Desyana. 2018. Gambaran Infeksi Kecacingan Pada Siswa SDN 1-4 Desa
Muara Laung Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2017. Jurnal
Surya Medika Volume 3 No. 2 [2018]
Pineda, Noelle and Elizabeth Yang. Hookworm: Ancylostoma duodenale and Necator
americanus.http://web.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2009/PinedaANDYang_Hook
worm/PinedaANDYang_Hookworm.htm diakses 25 juli 2020 pukul 20:08 WIB
Putri, Arum Sutrisni. 2020. Potensi Sumber Daya Alam Indonesia.
https://www.kompas.com/skola/read/2020/05/28/110000269/potensi-sumber-daya-alam-
indonesia?page=all diakses 25 Juli 2020 pukul 20:08 WIB
Suriani, Endang, Nuzulia Irawati, Yuniar Lestari. 2019. Analisis Faktor Penyebab
Kejadian Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya
Padang Tahun 2017.Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 8(4)
Tuuk, Herlisa A. V., Victor D. Pijoh,Janno B. B. Bernadus. 2020. Survei Penyakit
Kecacingan Pada Pekerja Tambang Tradisional di Desa Soyoan Kecamatan Ratatotok
Kabupaten Minahasa Tenggara. eBiomedik. 2020;8(1):81-89

Anda mungkin juga menyukai