Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trichuris trichiura


T.trichiura pertama sekali ditemukan oleh Linnaeus (1771). Siklus hidup
T.trichiura pertama sekali dipelajari oleh Grassi (1887), selanjutnya oleh
Fulleleborn (1923) dan Hasegawa (1924) (dikutip dari Eisenberg, 1983).
T.trichiura berbentuk mirip cambuk, sehingga disebut sebagai cacing
cambuk (Behrman & Vaughan, 1995; Garcia & Bruckner, 1996; Maegraith &
Gilles, 1971). Bagian anteriornya yang merupakan 3/5 bagian tubuhnya, halus
mirip benang. Sedangkan 2/5 bagian tubuhnya merupakan bagian posterior yang
tampak lebih tebal. Bagian kaudal cacing jantan melengkung ke ventral 3600 dan
dilengkapi dengan spikulum. Bagian kaudal cacing betina membulat dan tumpul
mirip koma (Brown & Neva, 1983; Hunter et al., 1976). Panjang cacing betina 35-
50 mm dan panjang cacing jantan 30-45 mm (Gambar 2.1. a & b). Telur
berbentuk mirip buah lemon dan berukuran 50 m x 22 m, berkulit tebal dan
licin terdiri atas dua lapis dan berwarna trengguli-coklat. Pada masing-masing
kutubnya dilengkapi tutup (plug) transparan yang menonjol Telur berisi massa
granula yang seragam, berwarna kuning (Faust & Russel, 1965; Hunter et al.,
1976; Prasetyo, 2003; Schmidt et al., 2005; Soedarto, 2008) (Gambar 2.2). Di
tanah telur dapat berkembang setelah 10-14 hari menjadi telur berembrio (berisi
larva) yang bersifat infektif (Garcia & Bruckner, 1996; Hunter et al., 1966;
Warren & Mahmoud, 1984). Telur T.trichiura harus dibedakan dari telur
Capillaria hepatica yang berbentuk lonjong seperti telur T.trichiura. Telur
Capillaria hepatica berukuran 51-67 x 30-35 m dan kedua kutubnya terdapat
plug tetapi tidak menonjol dan kulit telur bergaris radier (Prasetyo, 2003).
Cacing dewasa jarang ditemukan di dalam tinja karena melekat pada
dinding usus besar (Garcia & Bruckner, 1996). Bagian kepala cacing ini terbenam
dalam mukosa dinding usus sedangkan ujung posteriornya lebih tebal dan terletak
bebas di lumen usus besar (Eisenberg, 1983; Faust & Russel, 1965; Garcia &
Bruckner, 1996; Hunter et al., 1976; Schmidt et al., 2005).

Universitas Sumatera Utara


a b

Gambar 2.1. a. T.trichiura betina. b. T.trichiura jantan.

Gambar 2.2 Telur T.trichiura

2.1.1 Siklus Hidup


Manusia mendapatkan infeksi T.trichiura karena tertelan telur cacing
infektif yang mengkontaminasi makanan. Telur-telur menetas di usus halus, larva
akan keluar, berkembang di mukosa usus kecil dan menjadi dewasa di sekum,
akhirnya melekat pada mukosa usus besar. Cacing betina menjadi dewasa dalam
tiga bulan dan akan mulai bertelur dalam 60-70 hari setelah menginfeksi manusia
dan dapat hidup selama 5 tahun lebih serta menghasilkan 10.000 telur setiap hari.
Telur dikeluarkan dalam stadium belum membelah dan membutuhkan 10-14 hari
untuk menjadi matang pada tanah yang lembab (Behrman & Vaughan, 1995;
Eisenberg, 1983; Faust & Russel, 1965; Garcia & Bruckner, 1996; Hunter et al.,
1966) ( Gambar 2.3)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3. Siklus hidup T.trichiura (dikutip dari WHO)

2.2 Trichuriasis
Trichuriasis disebabkan oleh infeksi cacing T.trichiuira yang melekat pada
mukosa usus manusia, terutama di daerah kolon (Eisenberg, 1983; Faust &
Russel, 1965; Garcia & Bruckner, 1996; Hunter et al., 1966; Prasetyo, 2003;
Schmidt et al., 2005).

2.2.1 Epidemiologi
Infeksi T.trichiura tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih sering terjadi di
daerah beriklim tropis berhawa panas, lembab dan sering terlihat bersama-sama
dengan infeksi ascariasis (Behrman & Vaughan 1995; Faust & Russel, 1965;
Garcia & Bruckner, 1996; Soedarto, 2007). Jumlah cacing dapat bervariasi,
apabila jumlahnya sedikit, biasanya tanpa gejala (Behrman, 1995; Eisenberg,
1983; Hunter, 1976). Infeksi T.trichiura hanya ditularkan dari manusia ke
manusia, sehingga cacing ini bukan parasit zoonotik (Soedarto, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang penting dalam proses
transmisi, sanitasi yang buruk, higienitas yang jelek, populasi yang padat,
umumnya dijumpai pada tempat yang kumuh dan tingkat sosioekonomi yang
rendah sangat menguntungkan perkembangan cacing T.trichiura. Indonesia
mempunyai empat area ekologi utama terhadap transmisi T.trichiura yaitu dataran
tinggi, dataran rendah, kering dan hujan (Keisser & Utzinger, 2008; Schmidt et al.,
2005).
Angka prevalensi tertinggi terjadi pada anak umur 5-15 tahun, yang
terinfeksi karena terlelan telur yang infeksius dari tanah yang terkontaminasi
(Montresor, 1998; Pasaribu & Lubis, 2008; Rudolph & Hoffman, 1987). Telur
T.trichiura tidak dapat bertahan dalam suasana yang kering (37oC) atau yang
dingin sekali (Garcia & Bruckner, 1996; Hunter et al., 1976). Temperatur lethal
untuk T.trichiura +52oC dan -9oC. Oleh karena itu, trichuriasis lebih sering terjadi
di daerah yang hangat dan lembab. Telur dengan lingkungan yang optimal dapat
bertahan 6 tahun (Warren & Mahmoud, 1984).
Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap infeksi
cacing STH, terutama anak kecil yang bermain di tanah. Anak yang bertempat
tinggal di lingkungan sanitasi buruk dan hiegenitas yang rendah mempunyai risiko
terinfeksi yang lebih tinggi (Brown & Neva, 1983; Maegraith & Gilles, 1971;
Hunter et al., 1976). Sekolah di pedesaan biasanya suplai air ataupun fasilitas
jamban kurang memadai, pendidikan higienie yang rendah dan tumpukan sampah
di lingkungan sekolah juga mendukung tingginya prevalensi (Brooker et al., 2006;
WHO, 2003).

2.2.2 Gejala Klinis


Gejala klinis yang timbul berhubungan dengan jumlah cacing. Jumlah
cacing yang besar dapat menimbulkan anemia berat, disentri, nyeri perut, mual-
muntah, berat badan menurun dan prolapsus ani (Behrman & Vaughan, 1995;
Eisenberg, 1983; Garcia & Bruckner, 1996; Maegraith & Gilles, 1971).
T.trichiura mengisap darah dari host diperkirakan 0,005 ml darah/hari/ekor
cacing, sehingga menyebabkan anemia, perdarahan dapat terjadi pada
perlekatannya dan mudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri/parasit usus lain.

Universitas Sumatera Utara


(Behrman, 1995; Brown & Neva, 1983; Faust & Russel, 1965; Hunter et al.,
1966; Schmidt et al., 2005).

2.2.3 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan identifikasi dan ditemukan telur cacing T.trichiura
dalam tinja (Behrman & Vaughan, 1995; Brown & Neva, 1983; Soedarto, 2007).
Pemeriksaan yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel tinja dengan
tehnik hapusan tebal cara Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur intensitas
infeksi secara tidak langsung dengan menunjukkan jumlah telur per gram tinja
(Epg) (Brooker et al., 2006; Prasetyo, 2003).
Dengan metode Kato-Katz, penghitungan egg per gram (Epg) didapat
dengan mengalikan jumlah telur yang dihitung dengan faktor multiplikasi. Faktor
ini bervariasi bergantung dari berat tinja yang digunakan. WHO
merekomendasikan hapusan yang menampung 41,7 mg tinja , di mana dengan
faktor multiplikasinya 24 (Prasetyo, 2003).
WHO menetapkan derajat intensitas infeksi sebagai berikut (Katzung, 2004) :
a. Derajat ringan : 1 999 Epg
b. Derajat sedang : 1.000 9.999 Epg
c. Derajat berat : > 10.000 Epg

2.3 Albendazole
WHO memberikan empat daftar anthelmintik esesial yang aman dalam
penanganan dan kontrol STH, yaitu albendazole, mebendazole, levamisole dan
pirantel pamoat. Jika diberikan secara regular pada komunitas yang terinfeksi,
obat-obat ini efektif dalam mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan
infeksi cacing yang endemis (Keisser & Utzinger, 2008).
Albendazole merupakan anthelmintik golongan benzidazole dengan nama
kimia methyl [5-(propylthio)-1 H-benzimidazol-2-yl] carbamate. Albendazole
termasuk anthelmintik dengan spektrum luas, yang efektif terhadap berbagai
cacing intestinal dan infeksi cacing jaringan. Albendazole mempunyai
mekanisme kerja mengganggu biokimia dari nematoda yang rentan. Efek
metabolit albendazole sulfoxide diperkirakan menghambat sintesis mikrotubulus

Universitas Sumatera Utara


dalam nematoda secara selektif dan irreversible dalam menurunkan atau
menghambat pengambilan glikogen nematoda, nematoda usus akan dilumpuhkan
secara pelahan-lahan, sehingga mengganggu berbagai stadium pada
perkembangan parasit tersebut. Akibatnya cadangan glikogen menjadi habis,
sehingga terjadi penurunan atau gangguan dalam produksi adenosine triphosphate
(ATP) dan mencapai tahap dimana kadar energi inadekuat, menyebabkan parasit
tidak dapat hidup (Katzung, 2004).
Albendazole memiliki efek larvasidal (pembunuh larva) dan efek ovisidal
(pembunuh telur). Albendazole tersedia dalam bentuk tablet dan cairan, sediaan
200 mg dan 400 mg (Bennett & Brown 2008; Brenner & Steven, 2010; Katzung,
2004).
Albendazole tersedia dalam berbagai bentuk dan dagang seperti :
a. Helben ( PT. MECOSIN INDONESIA ) kaplet 400 mg dan suspensi 200
mg / 5 ml.
b. Albendazole (PT.INDOFARMA) kaplet 400 mg.
c. Albendazole (GlaxoSmithKline WHO OMS) 400 mg.
Albendazole diindikasikan untuk mengobati infeksi cacing usus baik infeksi
tunggal maupun infeksi campuran (Bennett & Brown, 2008) :
a. Ascaris lumbicoides
b. Trichuris trichiura
c. Necator americanus
d. Ancylostoma duodenale
e. Enterobius vermicularis
f. Strongyloides stercolaris
g. Taenia Spp

2.3.1 Dosis Albendazole (Katzung, 2004; Tan & Rahardja, 2008) :


a. Untuk dewasa dan anak-anak > 2 tahun diberikan 1 kaplet 400 mg atau 10
ml suspensi yang mengandung 400 mg sebagai dosis tunggal.
b. Pada kasus Strongyloidiasis dan Taeniasis diberikan dosis tunggal
albendazole 400 mg atau dosis tunggal 10 ml suspensi yang mengandung
400 mg selama 3 hari berturut turut.

Universitas Sumatera Utara


c. Pengobatan tidak memerlukan puasa atau pemakaian obat pencahar.

2.3.2 Farmakokinetika Albendazole

Albendazole merupakan suatu benzimidazole carbamate. Setelah


pemberian per oral, albendazole diserap secara tidak teratur dan dengan cepat
mengalami metabolisme lintas pertama dalam hati menjadi albendazole sulfoxide
dan metabolit-metabolit lain (dalam jumlah yang lebih kecil). Sekitar 3 jam
setelah pemberian dosis oral 400 mg, sulfoxide tersebut mencapai konsentrasi
plasma maksimum 113-367 ng/ml ; waktu paruh plasmanya 8-12 jam. Kadar
plasma menurun seiring dengan kesinambungan pengobatan. Sebagian besar
sulfoxide tersebut mengikatkan diri pada protein dan didistribusikan ke dalam
jaringan-jaringan, termasuk ke dalam cairan empedu dan cairan serebrospinal
(perbandingan serum terhadap cairan serebrospinal adalah 2:1) ( Katzung, 2004).
Ekskresi sulfoxide diduga melalui saluran empedu, karena kurang dari 1%
dari zat yang bersangkutan didapati dalam urine. Penyerapan albendazole
meningkat hingga lima kali lipat saat dikonsumsi dengan makanan berlemak, dan
hingga empat kali lipat saat dikonsumsi dengan praziquantel (Chaudhry et al.,
2004; Warren & Mahmoud, 1984).

2.3.3 Penggunaan Klinis Albendazole


Albendazole sebaiknya diberikan pada saat perut kosong untuk penanganan
parasit-parasit intestinal. Pada trichuriasis, pengobatan untuk orang dewasa dan
anak-anak di atas usia dua tahun adalah dosis tunggal 400 mg/hari secara oral
( Katzung, 2004).

2.3.4 Efek samping Albendazole


Efek samping yang mungkin muncul pada pemberian albendazole adalah nyeri
abdomen, diare, mual, muntah, pusing, gatal-gatal dan / ruam kulit bisa dijumpai.
Efek samping yang jarang dijumpai adalah nyeri tulang, proteinuria dan
penurunan eritrosit (Katzung, 2004).

Universitas Sumatera Utara


2.3.5 Kontraindikasi albendazole
Kontraindikasi albendazole adalah wanita hamil dan wanita yang sedang
menyusui. Hati-hati bila diberikan kepada penderita dengan gangguan fungsi hati
dan gangguan fungsi ginjal (Katzung, 2004; Schaefer et al., 2007).

2.4 Kerangka Teori

Membunuh cacing
dewasa
Pemberian dosis tunggal
albendazole 400 mg Membunuh telur Telur tidak
selama 2 & 3 hari terhadap yang ada di tubuh akan menjadi
trichuriasis. cacing betina infeksius

Membunuh larva
yang baru menetas
di usus halus
Gambar 2.4 Kerangka Teori

Gambar 2.4 menjelaskan pemberian dosis tunggal albendazole 400 mg selama 2


& 3 hari terhadap trichuriasis akan membunuh cacing dewasa, membunuh telur
yang ada di tubuh cacing betina (sehingga telur tidak akan menjadi infeksius) dan
membunuh larva yang baru menetas di usus halus.

2.5 Gambaran Umum Keadaan Desa Bagan Kuala, Tanjung Beringin,


Kabupaten Serdang Bedagai

Desa Bagan Kuala merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Tanjung
Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara. Desa Bagan
Kuala memilki luas wilayah 1.500 Ha dan berada pada ketinggian 1,5 m diatas
permukaan laut (saat surut) dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
1) Sebelah Utara : Laut Selat Malaka.
2) Sebelah Timur : Desa Gelam Sei Rampah Kec. Bandar Khalifah
3) Sebelah Selatan : Desa Tebing Tinggi Kec. Tanjung Beringin
4) Sebelah Barat : Desa Pematang Kuala Kec. Teluk Mengkudu

Desa Bagan Kuala, Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai letaknya 15


km dari ibukota Kabupaten Serdang Bedagai atau 7 km dari Kecamatan
Tanjung Beringin. Kabupaten Serdang Bedagai 60 km dari kota Medan. Desa

Universitas Sumatera Utara


Bagan Kuala pada peta Kabupaten Serdang Bedagai masih merupakan Hutan
Bakau karena sepanjang jalan menuju desa Bagan Kuala dikelilingi oleh
tumbuhan bakau, akses jalan yang rusak parah dan medan yang berat. Sebagian
kecil lahan yang berada di desa Bagan Kuala diperuntukan sebagai tempat tinggal
(pemukiman) dan sebagian besar lahan gambut/lumpur dimanfaatkan oleh
penduduk untuk tambak dan perkebunan.
Jumlah Penduduk Desa Bagan Kuala 2013 sebanyak 377 Kepala Keluarga
atau 1.432 jiwa. Pada umumnya tingkat pendidikan mayoritas penduduk adalah
SD, SLTP dan SLTA. Sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai nelayan
(502 orang) dan sebagian kecil lagi bekerja sebagai petani (21 orang), buruh
bangunan (10 orang), pedagang (46 orang), lain-lain/merantau bekerja sebagai
tenaga kerja di malaysia (580 orang) dan pegawai negeri (1 orang).

Tabel 2.1. Kejadian yang sering muncul pada waktu tertentu di desa Bagan Kuala
2012
Pancaroba Kemarau Musim Hujan
Masalah
Mrt Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb

Kurang Pangan - - - - - - - * ** *** * -


Banyak Penyakit * * * * * ** ** * * ** ** -
Banjir - * * * - - - - ** *** * -

Keterangan :
Tanda * (Bintang) menunjukkan tingkat kejadian, semakin sering sesuatu itu
terjadi maka tanda bintang akan semakin banyak.

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa penyakit banyak terjangkit di sepanjang tahun.


Sedangkan banjir sering terjadi November dan Desember.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2 Data Kesehatan Lingkungan desa Bagan Kuala 2013
Dusun Jlh Jamban MKC Fasilitas Sarana Air Bersih
KK keluarga keluarg Umum
PAM Sumur Sungai Sumur bor
a
175 - - - -
I 9 13 13

109 1 MCK dengan 4 - - -


II 5 17 11
kamar mandi

93 Air bersih - -
III - 3 40 3
Mandi+cuci

Tabel 2.2 menunjukkan dusun I (lokasi penelitian) dengan jumlah 175 KK hanya
memiliki 9 jamban keluarga, 13 sarana Mandi Cuci Kakus (MKC) keluarga dan
13 sumur bor (sarana air bersih). Dusun II dengan jumlah 109 KK hanya memiliki
5 jamban keluarga, 17 MCK keluarga, 1 MCK umum dengan 4 kamar mandi dan
11 sumur bor (sarana air bersih). Dusun III dengan jumlah 93 KK hanya memliki
3 MCK keluarga, 1 fasilitas umum berupa air bersih untuk mandi dan cuci, 40
sumur dan 13 sumur bor (sarana air bersih).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai