Anda di halaman 1dari 9

TATA LAKSANA BEDAH KOSMETIK DAN INTEGUMEN

ABSES

ILMU BEDAH KHUSUS

KELOMPOK 4

PRAISELIA D. A. TAFUI 1609010007

MARIA M. KEWA 1609010017

KEFIN E. TAHUN 1609010027

DIANA R. N. A. AWA 1609010037

AGATHA SADA UA 1609010043

JUAN B. A. ALLE 1609010047

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sistem integumen/sistem penutup tubuh (covering) adalah suatu sistem penyusun


tubuh suatu makhluk hidup yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar. Sistem
integumen adalah sistem organ yang membedakan, memisahkan, melindungi, dan
menginformasikan hewan terhadap lingkungan sekitarnya. Sistem ini seringkali merupakan
bagian sistem organ terbesar yang mencakup kulit, rambut, bulu, sisik, kuku, kelenjar
keringat dan produknya (keringat atau lendir). Kata ini berasal dari bahasa Latin
"integumentum", yang berarti "penutup".

Secara ilmiah kulit adalah lapisan terluar yang terdapat di luar jaringan yang terdapat
pada bagian luar yang menutupi dan melindungi permukaan tubuh, kulit merupakan organ
yang paling luas permukaan yang membungkus seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit
sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan kimia. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui
salah satu gangguan yang dapat terjadi pada kulit, seperti abses dan bagaimana cara
penanganannya.

1.2 TUJUAN

 Untuk mengetahui penyebab abses


 Untuk mengetahui predisposisi abses
 Untuk mengetahui indikasi abses
 Untuk mengetahui tujuan operasi abses
 Untuk mengetahui pendekatan anatomi abses
 Untuk mengetahui teknik operasi abses
 Untuk mengetahui resiko operasi abses
 Untuk mengetahui perawatan post operasi abses
BAB II

ISI

2.1 Penyebab Abses

Abses merupakan pus yang terlokalisir akibat adanya infeksi dan supurasi jaringan.
Abses bisa terjadi pada semua jaringan atau struktur anatomi pertulangan. Abses pada kuku
anjing merupakan abses yang paling sering terjadi. Abses pada kuku anjing ini dapat timbul
karena adanya infeksi dari berbagai bakteri, yaitu : Staphylococcus pyogenes, Streptococcus
pyogenes, Corynebacterium pyogenes, Pseudomonas aeruginosa, Actinomyces bovis, dan E.
coli.

Abses terbentuk karena terjadinya migrasi leukosit dengan inti polymap dari kapiler
menuju daerah yang bebas kuman, kemudian adanya membrane yang lisis dari elemen –
elemen jaringan akan menghasilkan ruangan (Sudisma et al., 2006). Sel darah putih yang
merupakan pertahanan tubuh dalam melawan ifeksi bakteri bergerak ke dalam rongga
tersebut, setelah memakan bakteri sel arah putih akan mengalami kematian. Sel darah putih
yang telah mati ini yang kemudian disebut dengan abses yang mengisi rongga tersebut
(Green, 2014). Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan disekitarnya terdorong. Jaringan
yang pada akhirnya tumbuh di sekitar tempat terjadinya abses ini disebut dengan dinding
abses, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut.
Karena abses jarang dapat sembuh dengan sendirinya sehingga diperlukan tindakan medis
secepatnya, dan agar abses tidak menyebar ke bagian tubuh lain diperlukan tindakan
penyembuhan dengan cara operasi untuk penanganan dalam penyakit abses ini (Jaeger et al.,
2008).

2.2 Predisposisi Abses

Penyakit abses ini umumnya dapat terjadi pada anjing lokal maupun anjing ras.
Adapun anjing ras yang berisiko terkena penyakit abses ini yaitu : German Shepherd, giant,
standard and miniature Schnauzer, Rottweiler, Greyhound, Bearded Collie and Norwegian
Gordon and English Setter (Rosychuk, 2015). Abses yang terjadi pada anjing dalam kasus ini
diperkirakan terjadi karena adanya infeksi dari luka terbuka maupun tertutup yang
menyebabkan terjadinya penimbunan cairan dalam jaringan yang kemudian membentuk
rongga yang secara anatomis sebelumnya tidak ada dengan jaringan fibrotik di sekitarnya
sebagai respons tubuh terhadap adanya infeksi bakteri (PetMD, 1999).
Infeksi bakteri ini sendiri dapat menyebar dengan sangat cepat baik secara lokal
maupun sistemik dalam aliran darah sehingga dapat menimbulkan sepsis (Anonymous,
2005). Adapun akibat yang ditimbulkan dari infeksi bakteri ini adalah sebagai berikut :
radang diikuti dengan warna kemerahan di sekitar lokasi abses, bengkak dan terasa panas
pada saat di palpasi, timbul rasa nyeri dan terdapat gangguan fungsi terhadap lokasi
timbulnya abses. Fase akhir dari penyakit abses ini adalah terbentuknya dinding abses, atau
terbentuk kapsul oleh sel – sel sehat yang berada di sekeliling abses sebagai upaya
pencegahan pus menginfeksi struktur lain yang ada di sekitar tempat terjadinya abses tersebut
(Anonymous, 2005).

2.3 Indikasi Abses

Penyebab terjadinya abses adalah antara lain :

 Adanya benda asing misalnya potongan kuku, jarum, duri, potongan tulang, dan
ranting kering masuk ke dalam kulit.
 Luka operasi yang tidak steril karena terkontaminasi.
 Benang jahit nonabsorbable yang terlalu lama tertahan di dalam kulit.
 Salah suntik, letak suntikan maupun obat suntiknya, jarum suntik yang terlalu besar
dan kurang steril.
 Bekas perkelahian memperebutkan betina maupun wilayah.
 Pemasangan eartag yang tidak benar atau tidak steril (Thayer, 2009).

Abses yang sudah matang dapat ditandai dengan adanya tonjolan pada kulit,
berdinding tipis, lunak, elastis, biasana berwarna orange kemerahan mengkilat, terdapat
elevasi kulit, terkadang terjadi kerontokan rambut di sekitar terjadinya abses. Menurut
Sudisma et al., (2006), abses dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :

 Abses Dangkal (Superfisial)


Abses yang pada fase pertumbuhannya menuju permukaan tubuh dengan
cara menyatakan diri dengan jaringan diatasnya.
 Abses Dingin (Cold Abses)
Abses dengan ciri-ciri mengandung kuman namun tidak disertai dengan
rasa sakit dan tanda radang yang berat.
2.4 Tujuan Operasi Abses

Tujuan Penanganan adalah agar abses tidak menyebar ke bagian tubuh lain sehingga
diperlukan tindakan penyembuhan dengan cara operasi untuk penanganan dalam penyakit
abses ini (Jaeger et al., 2008).

2.5 Pendekatan Anatomi Abses

Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis merupakan
jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa jaringan ikat agak padat
yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat selapis jaringan ikat longgar yaitu
hipodermis, yang pada beberapa tempat terutama terdiri dari jaringan lemak (Kalangi,2013).

Gambar 1. Struktur Kulit dan lapisannya

(Sumber: Mescher AL, 2010)

a. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis
gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak
mempunyai pembuluh darah; oleh karena itu semua nutrien dan oksigen
diperoleh dari kapiler pada lapisan dermis. Epitel berlapis gepeng pada epidermis
ini tersusun oleh banyak lapis sel yang disebut keratinosit. Sel-sel ini secara tetap
diperbarui melalui mitosis sel-sel dalam lapis basal yang secara berangsur
digeser ke permukaan epitel. Selama perjalanannya, sel-sel ini berdiferensiasi,
membesar, dan mengumpulkan filamen keratin dalam sitoplasmanya. Mendekati
permukaan, sel - sel ini mati dan secara tetap dilepaskan (terkelupas). Epidermis
terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum basal, stratum spinosum,
stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum (Kalangi, 2013).
b. Dermis
Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara kedua
lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin. Jumlah sel dalam dermis
relatif sedikit. Sel-sel dermis merupakan sel-sel jaringan ikat seperti fibroblas, sel
lemak, sedikit makrofag dan sel mast (Kalangi, 2013).
c. Hipodermis
Sebuah lapisan subkutan di bawah retikularis dermis disebut hipodermis. Ia
berupa jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus terorientasi terutama
sejajar terhadap permukaan kulit, dengan beberapa di antaranya menyatu dengan
yang dari dermis. Pada daerah tertentu, seperti punggung tangan, lapis ini
meungkinkan gerakan kulit di atas struktur di bawahnya. Di daerah lain, serat-
serat yang masuk ke dermis lebih banyak dan kulit relatif sukar digerakkan. Sel-
sel lemak lebih banyak daripada dalam dermis. Jumlahnya tergantung jenis
kelamin dan keadaan gizinya. Lemak subkutan cenderung mengumpul di daerah
tertentu. Tidak ada atau sedikit lemak ditemukan dalam jaringan subkutan kelopak
mata atau penis, namun di abdomen, paha, dan bokong, dapat mencapai ketebalan
3 cm atau lebih. Lapisan lemak ini disebut pannikulus adipose (Kalangi, 2013).

2.6 Teknik Operasi Abses

Penanganan abses sangat tergantung dari tingkat keparahannya. Abses yang


berukuran kecil dapat dilakukan penanganan dengan memberi kompresan air dingin. Namun
abses yang berukuran besar / abses yang sering terjadi berulang di tempat yang sama dapat
dilakukan tindakan operasi untuk menghilangkannya. Tindakan operasi dilakukan dengan
melakukan incisi pada daerah abses, kemudian dilakukan pembersihan abses beserta jaringan
– jaringan yang mati menggunakan NaCl dan lalu ditutup dengan jahitan (Gunawan, 2016).

Operasi abses dilakukan bila absesnya sudah matang. Abses yang sudah matang
ditandai dengan adanya tonjolan pada kulit, berdinding tipis, lunak, elastis, mengkilat,
terdapat elevasi kulit, kadang-kadang bulunya rontok (pada abses), dan proses peradangan
sudah berhenti. Bila dilakukan operasi pada abses yang sudah matang, proses
kesembuhannya akan lebih cepat.

Daerah sekitar abses dilapisi dengan kain drape dan dicukur, dibersihkan dan
didisinfeksi. Dilakukan anastesi local maupun anestesi umum. Insisi dilakukan pada bagian
ventral abses, nanah dikeluarkan. Dilakukan “curettage” agar jaringan yang nekrosis dan
sebagian jaringan yang sehat terambil agar terjadi luka-luka baru sehingga kesembuhan cepat
terjadi. Lakukan debridement jaringan nekrotik dengan kuret atau kasa. Irigasi dengan rivanol
dan bilas dengan H2O2. Cuci dengan antiseptik povidon iodine (betadin), chlorhexidin
(savlon) maupun cairan antiseptik lainnya. Jika kemungkinan eksudat masih ada atau
diperkirakan masih produktif sebaiknya dipasang drain (dengan penroos drain atau potongan
karet hand scoon steril). Tetesi antibiotik dan dilanjutkan dengan kulit dijahit dengan benang
non-absorable (Efrat, 2007).

2.7 Resiko Operasi Abses

Operasi penanganan abses berpotensi menimbulkan stress, rasa sakit atau infeksi
setelah prosedur dilakukan dan/atau selama penyembuhan, serta dapat menyebabkan
ketidaknyamanan hewan (Gunawan ,et all 2016).

2.8 Perawatan Post Operasi Abses

Luka insisi dibalut dengan perban dengan sebelumnya diberikan iodine.


jahitan umumnya dibuka sekitar 1-2 minggu tergantung dari besarnya luka
insisi. Bekas jahitan kering dan kembali normal sekitar 10-14 hari dan pada saat
tersebut abses biasanya sembuh. Dilakukan pemberian antibiotika, antiradang
dan vitamin A. digunakan antibiotic spectrum luas agar bakteri yang bersifat
aerob dan nonaerob dapat dibunuh, contohnya amoxicillin, clindamimycin,
trimetropim, untuk kucing menggunakan doxycyclin, anti radang digunakan anti
radang nonsteroid seperti aspirin dan vitamin A untuk proses epitelisasi dan
mempercepat kesembuhan atau perbaikan kulit.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Abses merupakan pus yang terlokalisir akibat adanya infeksi dan supurasi jaringan.
Abses bisa terjadi pada semua jaringan atau struktur anatomi pertulangan. Abses pada kuku
anjing merupakan abses yang paling sering terjadi. Abses pada kuku anjing ini dapat timbul
karena adanya infeksi dari berbagai bakteri, yaitu : Staphylococcus pyogenes, Streptococcus
pyogenes, Corynebacterium pyogenes, Pseudomonas aeruginosa, Actinomyces bovis, dan E.
coli.
DAFTAR PUSTAKA

Barakat, A.A., E. Afifi, M.O. Rokaia, A. Ghaffar dan S.M. Nashid. 1982. Juvenile
Subcutaneous Abscessation Of Sheep Caused By Streptococcus Faecium. Rev. Sci.
Tech. Off. Int. Epiz., 1982, 1 (4), 1169-1176.
Bojrab, M. Joseph; dkk. 2014. Current Techniques In Small Animal Surgery 5th Edition.
Diplomate, American College of Veterinary Surgeons Private Consulting Practitioner
Las Vegas, Nevada; Chief Veterinary Medical Officer Western Veterinary Conference
Las Vegas, Nevada; Department of Veterinary Clinical Sciences Iowa State University
College of Veterinary Medicine Ames, Iowa. Web site at: www.tetonnewmedia.com.

De Martino, Luisa, Sandra Nizza, Claudio de Martinis, Valentina Foglia Manzillo, Valentina
Iovane, Orlando Paciello1 dan Ugo Pagnini. 2012. Streptococcus constellatus-Associated
Pyoderma In A Dog. Journal of Medical Microbiology (2012), 61, 438–442.

Gunawan, I Wayan Nico Fajar. 2016. Laporan Kasus Penanganan Abses Pada Digiti I
Dengan Metode Onychectomy. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana :
Denpasar.

Jaeger, G.H., S.O. Chanapp. 2008. Carpal ad Tarsal Injuries. Veterinary Orthopedics Sports
Medicine Group. Elicott City.

Kalangi, S. 2013. HISTOFISIOLOGI KULIT. Universitas Sam Ratulangi. Manado.Volume


5, Nomor 3, hlm. S12-20.

Kelmer, Efrat, Gal Kelmer, dan Marie E. Kerl. 2007. Diagnosis and Successful Treatment of
a Caudal Lingual Abscess In A Geriatric Dog. Can Vet J 2007;48:852–854.

Santoro, D., Spaterna A., Mechelli L., dan Ciaramella P.. 2008. Cutaneous Sterile
Pyogranuloma/Granuloma Syndrome In A Dog. Can Vet J . 49:1204–1207
Schwartz, S. H. 2011. Onychectomy and Tendonectomy. NAVC Clinician’s Brief. Ohio.

Sudisma, I.G.N., G.A.G. Pemayun., A.A.G.J. Wardhita., I.W. Gorda. 2006. Ilmu Bedah
Veteriner dan Teknik Operasi. Fakultas Kedokteran Hewan. Denpasar

Swaim, S. F., J. A. Welch., R. L. Gillette. 2015. Management of Small Animal Distal Limb
Injuries. Swiss.

Anda mungkin juga menyukai