Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taenia saginata dan Taenia solium ditemukan di seluruh dunia, khususnya di


negara-negara berkembang.Kedua jenis cacing pita ini hidup dalam rongga usus
halus.Hospes perantaranya adalah ternak dan babi.Gejala-gejala berat ditemukan
bilamana T. solium menginfeksi sistim saraf pusat.Kasus-kasus dengan kejang epilepsi
dan perilaku abnormal sering ditemukan di daerah endemis. Di Mexico diantara 68.754
sampel serum manusia 0,06-2,97% ditemukan positif untuk cysticercosis. Rupa-rupanya
ada hubungan antara angka sero-prevalensi yang tinggi dengan tingkat keadaan sosio-
ekonomi yang rendah. Di berbagai negara di Amerika Latin ditemukan prevalensi antara
0,1- 8,7%, sedangkan prevalensi berkisar antara 0,05-10,4% di Asia dan Afrika. Di
Indonesia taeniasis/sistiserkosis terutama ditemukan di tiga provinsi yaitu Sumatera
Utara, Bali dan Irian Jaya (Papua).Sejumlah kasus juga ditemukan di Lampung, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat. Di Indonesia
prevalensi taeniasis/sistiserkosis berkisar antara 1,0-42,7%. Prevalensi tertinggi
ditemukan di Irian Jaya.Tidak banyak laporan mengenai sistiserkosis pada ternak di
dunia, termasuk Indonesia.Pengumpulan data epidemiologi seperti tentang prevalensi dan
distribusi diperlukan supaya program penanggulangan berhasil.Disamping itu perlu
dilakukan penyuluhan kesehatan di masyarakat pada tiap program penaggulangan (HS.
Widarso: 2001)

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa pengertian taeniasis?

b. Bagaimana etiologi taeniasis?

c. Bagaimana patofisiologi taeniasis?

d. Bagaimana manifetasi klinis pada taeniasis?

e. Apa saja pemeriksaan penunjang pada taeniasis?

f. Bagaimana penatalaksanaan penyakit taeniasis?

g. Apa saja peran perawat?

h. Bagaimana komplikasi taeniasis?

i. Bagaimana pathway pada taeniasis?


1.3 Tujuan

a. Mengetahui definisi taeniasis.

b. Mengetahui etiologi taeniasis.

c. Mengetahui patofisiologi taeniasis.

d. Mengetahui manifestasi klinis pada taeniasis.

e. Mengetahui pemeriksaan penunjang penyakit taeniasis.

f. Mengetahui penatalaksanaan penyakittaeniasis.

g. Mengetahui peran perawat pada kasus taeniasis.

h. Mengetahui komplikasi penyakit taeniasis.

i. Mengetahui pathway penyakit taeniasis.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Taeniasis dan sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan cacing pita Taenia saginata
dan Taeniasolium. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia, khususnya di daerah yang sedang
berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan, termasuk Indonesia. Kini,
dengan adanya mobilitas pendudukdunia yang tinggi, penyakit tersebut juga ditemukan di daerah
yang keadaan ekonominya sudah baik. Kedua jenis cacing yang hidup di dalam usus halus
manusia, dapat mencemari lingkungan dengan telur maupun segmen (proglotid) cacing dewasa,
bilamana keadaan sanitasi tidak memadai. Pada T. solium telur dan proglotid akan menginfeksi
manusia maupun hewan, yaitu babi, sedangkan pada T. saginata telurakan menginfeksi hewan
yaitu sapi. Di beberapa daerah di Indonesia telah diketahui adanya “strain” Taeniasaginata
asiatica yang larvanya ditemukan di dalam hati babi, sehingga pada “strain” ini babi
merupakansumber infeksi bagi manusia. (HS.Widarto 2001)

2.2 Etiologi

Taenia solium merupakan cacing pita (cestoda) yang hidup dalam usus

manusia.Cacing ini dikenal dengan istilah “human pork tapeworm”. Menurut Soulsby

(1986), taksonomi dari cacing ini adalah:

Kelas : Eucestoda

Ordo : Cyclophyllidea

Famili : Taeniidae

Genus : Taenia

Spesies : Taenia solium, Taenia saginata

Taenia S. di dalam usus halus manusia dapat tumbuh hingga mencapai panjang

dua sampai delapan meter.Tubuh cacing ini terdiri atas tiga bagian yaitu skoleks, leher,
dan strobila.Skoleks merupakan organ tubuh cestoda yang berfungsi untuk melekat pada

dinding usus. Skoleks merupakan anggota tubuh yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi spesies dalam genus Taenia. Morfologi skoleks Taenia solium terdiri

atas sebuah rostelum dan empat buah batil hisap (sucker). Rostelum dan sucker tersebut

dikelilingi oleh sebaris kait panjang (180 µm) dan kait pendek (130 µm) di mana setiap

barisnya tersusun atas 22-32 kait.

Larva dari cacing Taenia disebut metasestoda, menyebabkan penyakit sistiserkosis

pada hewan dan manusia. Sedangkan, cacing dewasa yang hidup di dalam usus halus

induk semang definitif (carnivora) seperti manusia, anjing dan sejenisnya, penyakitnya

disebut Taeniasis.

2.3 Patofisiologi

Untuk kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp.memerlukan 2 induk semang


yaitu induk semang definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapiuntuk T.
saginata dan babi untuk T. solium). T. saginatatidak secara langsung ditularkan dari
manusiake manusia, akan tetapi untuk T. solium dimungkinkan bias ditularkan secara
langsung antar manusia yaitu melalui telur dalam tinja manusia yang terinfeksi langsung
ke mulut penderita sendiri atau orang lain. Di dalam usus manusia yang menderita
Taeniasis (T. saginata) terdapat proglotid yang sudah masak (mengandung embrio).
Apabila telur tersebut keluar bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus
sapi akan tumbuh dan berkembang menjadi onkoster (telur yang mengandung larva).
Larva onkoster menembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh
limpa, kemudian sampai ke otot/daging dan membentuk kista yang disebut C. bovis
(larva cacing T. saginata). Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang
disebut sistiserkus. Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah
atau setengah matang. Dinding sistiserkus akan dicerna di lambung sedangkan larva
dengan skoleks menempel pada usus manusia.
Kemudian larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa yang tubuhnya bersegmen
disebut proglotid yang dapat menghasilkan telur. Bila proglotid masak akan keluar
bersama feses, kemudian termakan oleh sapi. Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi
dalam usus sapi akan menetas menjadi larva onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh dan
berkembang mengikuti siklus hidup seperti di atas. Siklus hidup T. solium pada dasarnya
sama dengan siklus hidup T. saginata, akan tetapi induk semang perantaranya adalah babi
dan manusia akan terinfeksi apabila memakan daging babi yang mengandung kista dan
kurang matang/tidak sempurna memasaknya atau tertelan telur cacing. T. saginata
menjadi dewasa dalam waktu10 – 12 minggu dan T. solium dewasa dalam waktu 5 – 12
minggu (OIE, 2005).
Telur T. solium dapat bertahan hidup di lingkungan (tidak tergantung suhu dan
kelembaban) sampai beberapa minggu bahkan bisa bertahan sampai beberapa bulan.
Proglotid T. saginata biasanya lebih aktif (motile) daripada T. solium, dan bisa bergerak
keluar dari feses menuju ke rumput. Telur T. saginata dapat bertahan hidup dalam air dan
atau pada rumput selama beberapa minggu/bulan. Pada hewan, Taeniasis disebabkan oleh
T. ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni.Ini terjadi
karena hewan memakan daging dari induk semang perantara termasuk ruminansia,
kelinci dan tikus.

Pada sapi (C. bovis) mulai mati dalam waktu beberapa minggu, dan setelah 9
bulan akan mengalami kalsifikasi. Sedangkan, sistiserkus dari spesies lain bias bertahan
hidup sampai beberapa tahun. T. solium pada babi, sistiserkus bisa ditemukan pada
jaringan/otot jantung, hati dan otak. Pada babi, sistiserkus juga bias ditemukan pada
daging bagian leher, bahu, lidah, jantung dan otak. Pada manusia, sistiserkus ini sering
ditemukan di jaringan bawah kulit, otot skeletal, mata dan otak. Pada kasus yang serius
disebabkan oleh adanya sistiserkus pada jaringan otak bisa menyebabkan
neurocysticercosis dan bisa menyebabkan kejang-kejang pada manusia. Sistiserkus T.
saginata pada sapi dan sistiserkus T. ovispada kambing ditemukan pada jaringan otot
(muscles). Sistiserkus T. asiatica dan sistiserkus T. taeniaeformis biasanya ditemukan
pada hati, sedangkan sistiserkus T.hydatigena ditemukan dalam peritoneum.
2.4 Pencegahan
Berikut adalah beberapa pencegahan agar terhindar taeniasis:

1. Menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati sumber penderita


2. Pemakaian jamban keluarga, sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh sapi dan
tidak mencemari tanah atau rumput
3. Pemeliharaan sapi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan
sehingga tidak dapat berkeliaran
4. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan atau mantra hewan di RPH (Rumah
Pemotongan Hewan), sehingga yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi
masyarakat (kerjasama lintas sector dengan dinas peternakan) Daging yang
mengandung kista tidak boleh dimakan.
5. Memasak daging sampai matang (di atas 570 Cdalam waktu cukup lama) atau
membekukan dibawah 100 selama 5 hari.

2.5. Manifestasi Klinis

Diagnosis Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi proglotid


atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing Taenia berbentuk
spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di
feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid Taenia dapat
dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya. Cacing
Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya. Untuk diagnosis
sistiserkosis sangat sulit dilakukan pada hewan hidup. Pada hewan kecil, diagnosis
dilakukan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat adanya kista yang
sudah mengalami kalsifikasi, sedangkan, pada hewan besar biasanya dilakukan secara
post mortem dengan melakukan pemeriksaan daging. Sistiserkus kadangkadang dapat
dideteksi pada lidah babi atau sapi dengan melakukan palpasi akan teraba benjolan/nodul
di bawah jaringan kulit atau intramuskular. Palpasi adalah merupakan satu-satunya cara
deteksi ante mortem pada hewan yang diduga terinfeksi sistiserkosis di daerah endemis
pada negara yang berkembang. Meskipun diagnosisyang dinyatakan negatif dengan
pemeriksaan palpasilidah, tetapi dengan uji ELISA (Enzyme-linkedImmunoabsorbent
Assay) dinyatakan seropositif.Dalamhal ini uji serologi lebih dapat dipercaya untuk
deteksiinfeksi T. solium daripada pemeriksaan palpasi lidah. Pada manusia, diagnosis
Taeniasis dilakukan selain dengan menemukan telur cacing atau proglotid dalam feses,
juga bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan serologi yaitu dengan ELISA,
Enzymelinked Immunoelectro Transfer Blot (EITB), Complement fixation dan
haemagglutination dan PCR (Polymerase Chain Reaction) (OIE, 2005). Sedangkan,
diagnosis sistiserkosis dilakukan dengan pemeriksaan Computed Tomography (CT) Scan
dan MRI untuk mengidentifikasi adanya sistiserkus dalam otak. Kista yang sudah mati
atau mengalami kalsifikasi dalam daging/jaringan bisa terdeteksi dengan pemeriksaan X-
Ray. Biopsi juga bisa dilakukan untuk memeriksa adanya benjolan/kista di bawah
jaringan kulit. Diagnosis secara serologi digunakan juga untuk mendeteksi sistiserkosis
pada ternak dan ELISA merupakan uji yang paling banyak digunakan (CHO etal., 1992;
YONG et al., 1993). DHARMAWAN (1995)

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi


proglotid atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing Taenia
berbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio.Telur cacing ini bisa
ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid
Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya.
Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya. Untuk
diagnosis sistiserkosis sangat sulit dilakukan pada hewan hidup. Pada hewan kecil,
diagnosis dilakukan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat adanya
kista yang sudah mengalami kalsifikasi, sedangkan, pada hewan besar biasanya dilakukan
secara post mortem dengan melakukan pemeriksaan daging. Sistiserkus kadang-kadang
dapat dideteksi pada lidah babi atau sapi dengan melakukan palpasi akan teraba
benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau intramuskular.
Palpasi adalah merupakan satu-satunya cara deteksi antemortem pada hewan yang
diduga terinfeksi sistiserkosis di daerah endemis pada negara yang berkembang
(GONZALEZ et al., 2001). Meskipun diagnosis sistiserkosis bisa dilakukan dengan cara
palpasi pada lidah hewan dan telah dilaporkan sangat spesifik, tetapi sensitivitasnya
sedang, terutama pada hewan yang infeksinya ringan (GONZALEZ et al., 1990).
Berdasarkan hasil penelitian SATO et al. (2003), 34% (17/50) babiyang dinyatakan
negatif dengan pemeriksaan palpasilidah, tetapi dengan uji ELISA (Enzyme-linked
Immunoabsorbent Assay) dinyatakan seropositif. Dalamhal ini uji serologi lebih dapat
dipercaya untuk deteksi infeksi T. solium daripada pemeriksaan palpasi lidah.
Pada manusia, diagnosis Taeniasis dilakukan selain dengan menemukan telur
cacing atau proglotid dalam feses, juga bisa dilakukan dengan carapemeriksaan serologi
yaitu dengan ELISA, Enzymelinked Immunoelectro Transfer Blot (EITB), Complement
fixation dan haemagglutination dan PCR (Polymerase Chain Reaction) (OIE, 2005).
Sedangkan, diagnosis sistiserkosis dilakukan dengan pemeriksaan Computed
Tomography (CT) Scandan MRI untuk mengidentifikasi adanya sistiserkus dalam
otak.Kista yang sudah mati atau mengalami kalsifikasi dalam daging/jaringan bisa
terdeteksi dengan pemeriksaan X-Ray. Biopsi juga bisa dilakukan untuk memeriksa
adanya benjolan/kista di bawah jaringan kulit.Diagnosis secara serologi digunakan juga
untuk mendeteksi sistiserkosis pada ternak dan ELISA merupakan uji yang paling banyak
digunakan (CHO etal., 1992; YONG et al., 1993). DHARMAWAN (1995) melaporkan
bahwa dari 420 sampel serum babi yangdiperiksa dengan ELISA, 47 ekor babi (11,2%)
menunjukkan seropositif terhadap sistiserkosis dan dari 210 sampel serum sapi, 11 ekor
sapi (5,23%) menunjukkan seropositif terhadap sistiserkosis. Uji ELISA sangat spesifik
untuk mendeteksi antibody sistiserkosis pada manusia dan babi (ITO et al., 1999).
Selanjutnya, dilaporkan bahwa sistiserkosis pada anjing dapat juga terdeteksi secara
serologi, tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya masih perlu dievaluasi.Sedangkan, kista
yang ditemukan di anjing tersebut berdasarkan pemeriksaan morfologinya adalah T.
solium.

2.7 Penatalaksanaan penyakit


pengobatan Taeniasis pada manusia, pemberian obat cacing praziquantel,
niclosamide, buclosamide atau mebendazole dapat membunuh cacing dewasa dalam
usus. Adapun sistiserkosis pada hewan bisa diobati dengan melakukan tindakan operasi
(bedah). Berdasarkan laporan dari OIE (2005), hanya sedikit sekali informasi tentang
penggunaan obat cacing terhadap penyakit sistiserkosis pada hewan. OIE (2008)
melaporkan bahwa pengiyobatan dengan albendazole dan oxfendazole pada sapi dan babi
yang terinfeksi T.saginata dan T. solium kistanya mengalami degenerasi.

2.8 komplikasi
Penderita taeniasis umumnya asimptomatik atau mempunyai keluhan yang
umumnya ringan, berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare,
konstipasi, sakit kepala, anemia, nyeri abdomen, kehilangan berat badan, malaise,
anoreksia, peningkatan nafsu makan, rasa sakit ketika lapar (hunger pain), indigesti
kronik, dan hiperestesia. Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait yang
menembus dinding usus. Sering dijumpai kalsifikasi pada sistiserkus namun tidak
menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi otot, disertai
gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia.

Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada anak-
anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit makanan. Pada anak-
anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan berat badan, dan mudah
marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah insomnia, malaise, dan
kegugupan.Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada
tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi yang
menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat.
2.9 Phatway

PATHWAY TAENIASIS

Telur cacing atau Gravid dalam feses di


lepaskan ke lingkungan

Telur cacing atau Gravid ber


SERKARIA (menempel pada
tumbuhan dan rumput air)

Ternak terinfeksi oleh telur cacing atau


Gravid yang menempel pada makanan

Manusia terinfeksi karena mengonsumsi


daging hewan ternak tsb

Telur cacing menyebar melalui


: Telur cacing menetas menjadi
HEKSAKAN (embrio cacing pita)
1. Mengonsumsi daging
yang tidak dimasak
Embrio cacing terlepas dari telur
hingga matang
berubaha menjadi SISTERKUS dan
seluruhnya
bisa menembus usus halus
2. Mengonsumsi air kotor
yang mengandung
Gravid, akibat
Dan cacing yang sudah menempel pada
terkontaminasi kotoran
usus manusia akan berubah menjadi
manusia atau hewan
cacing dewasa
yang terinfeksi

Dan menimbulkan masalah kesehatan :

1. Diare
2. Mual
3. Sakit perut
4. Nafsu makan menurun
Daftar Pustaka

Cisarua, Bogor. 7 – 8 Nopember 1995. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 945 – 950.

Dharmawan, N.S. 1996. Deteksi sistiserkosis Taeniasaginata pada babi dan sapi di Bali

dengan Elisa.Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.

Dharmawan, N.S., H.E. Simon dan S. Geerts. 1993.Kemungkinan kehadiran Sistiserkosis/cacing


Taeniasaginata taiwanensis di Bali. Hemerazoa 76(2): 1 – 9.
Dharmawan, N.S., S. HE, G. Ashadi, E.A. Siregar, D.T.H.
Estuningsih, sarwitri Endah.2009.Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis
parasite.Bogor.Diakses pada 30 maret pukul 18.00.
OIE. 2005. Taenia Infection. http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdf/taenia.pdf. (10
Maret 2009).
OIE. 2008. Cysticercosis.
http://www.oie.int/eng/normes/manual/2008/pdf/2.09.05_CYCTICERCOSIS.pdf. (10 Maret
2009).
Retnani, Elok budi.2004.Taeniasis dan cysticercosis: Penyakit zoonosis yang kurang
dikenal oleh masyarakat di Indonesia.Bogor.Makalah Pribadi Falsafah Sains IPB

Anda mungkin juga menyukai