Anda di halaman 1dari 10

TUGAS REMEDIAL ESSAY LITERATURE REVIEW

BLOK TROPICAL MEDICINE

Nama : M. Rafiq Kurniawan

NPM : 1908260080

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

2023
TAENIASIS DAN SISTISERKOSIS

A. Pendahuluan
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit pada manusia yang
disebabkan oleh infeksi parasit dengan genus Taenia sp. Penyakit ini disebabkan
karena konsumsi daging yang tidak matang dari hewan yang terinfeksi, seperti
sapi, babi, ataupun domba.(1) Berdasarkan spesies dari Taenia sp. penyakit
Taeniasis dan Sistiserkosis paling sering disebabkan oleh dua jenis cacing pita
yaitu Taenia saginata dan Taenia solium. Infeksi cacing pita pada manusia telah
diketahui sejak dahulu, dimana manusia merupakan inang sejati (definitive host),
sedangkan hewan yang terinfeksi sebagai inang perantara (intermediate host).
Cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu untuk dapat hidup dan
berkembang biak. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara langsung maupun
tidak langsung. Bila dalam bahan makanan tersebut terdapat kista atau larva
cacing, maka siklus hidup cacing dapat menjadi lengkap, dan terjadilah infeksi
dalam tubuh manusia.(2)
Penting untuk diketahui bahwa Taeniasis dan Sistiserkosis adalah masalah
kesehatan global yang cukup sering terjadi di seluruh dunia, terutama di negara-
negara berkembang. Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 20 juta
orang terinfeksi taeniasis setiap tahunnya dan sekitar 2 juta orang mengalami
komplikasi dari infeksi ini. Di Indonesia sendiri Taeniasis juga dapat ditemukan
khususnya di Provinsi Bali, Sumatera Utara, dan Papua dengan kisaran prevalensi
2 – 48%.(1)(3)
Jadi, dalam kesempatan ini saya tertarik untuk membahas mengenai penyakit
Taeniasis dan Sistiserkosis, yang dimana berdasarkan perjalanan penyakit dan
bentuk infektif parasitnya, dua penyakit ini sangat berhubungan. Akan tetapi,
gejala – gejala serta komplikasi yang ditimbulkan cukup berbeda.
B. Isi
Taenia saginata adalah parasit yang masuk ke dalam kelas cestoda yang hidup
dalam usus manusia dan dapat menyebabkan penyakit Taeniasis saginata.
Cacing ini disebut juga dengan Taeniarhynchus saginata atau cacing pita sapi.
Hospes definitif dari parasit ini yaitu manusia dan hospes intermedietnya ialah
sapi. Secara morfologi, tubuh daripada cacing Taenia saginata dewasa memiliki
panjang 5 – 10 meter yang terdiri atas skoleks, leher, dan strobila. Skoleks
berbentuk piriform dengan ukuran 1 – 2 mm dilengkapi dengan  4 batil isap yang
menonjol. Strobila terdiri dari 1000 – 2000 proglotid atau segmen dimana makin
ke arah distal, proglotid semakin matang. Proglotid gravid berukuran 16 – 20 x 5
– 7 mm dengan cabang uterus berjumlah 15 – 20 buah tiap sisi dimana uterus
gravid ini mengandung 80.000 – 100.000 telur. Dan juga untuk lubang kelamin
atau porus genitalis pada cacing Taenia saginata terletak di sebelah lateral dan
letaknya berselang - seling di kanan dan kiri secara tidak teratur.(4)

Gambar 1. Skoleks Taenia Saginata


Gambar 2. Proglotid gravid Taenia saginata

Sedangkan, Taenia solium adalah parasit yang termasuk dalam kelas cestoda
yang hidup dalam usus manusia dan dapat menyebabkan penyakit Taeniasis solium
dan larvanya menyebabkan penyakit cysticercosis cellulosae. Taenia solium disebut
juga dengan the pork tapeworm atau cacing pita babi. Hospes definitifnya adalah
manusia dan hospes intermedietnya adalah babi. Secara morfologi, tubuh cacing
Taenia solium dewasa memiliki panjang sampai 2 – 4 meter, bahkan terkadang bisa
sampai 8 m yang terdiri dari skoleks, leher, dan strobili sama seperti struktur cacing
Taenia saginata dewasa. Skoleks dilengkapi dengan 2 baris kait yang terdiri atas kait
panjang dan pendek, jumlahnya mencapai 25 – 30 buah. Diameter scolex ± 1 mm
terdapat 4 buah batil isap yang berbentuk mangkok. Selain itu, cacing Taenia solium
memiliki 800 – 1000 segmen dengan lubang kelamin pada sisi lateral kanan dan kiri
tidak beraturan, uterus gravid mempunyai cabang lateral mengandung 30 – 50 butir
telur, dan ovarium terdiri atas 2 lobus lateral dan satu lobus kecil.(4)
Gambar 3. Skoleks Taenia solium

Gambar 4. Proglotid gravid Taenia solium

Baik Taenia saginata maupun Taenia solium memiliki morfologi telur yang
sama. Telur Taenia sp. memiliki panjang 30 – 40 μm dan lebar 20 – 30 μm, berwarna
coklat tengguli, terdapat lapisan embriofore bergaris – garis radier, dan di dalamnya
terdapat hexacanth embrio.(4)
Gambar 5. Telur Taenia saginata

Dalam siklus hidupnya, proglotid yang matang (proglotid gravid) keluar bersama
tinja atau bergerak aktif menuju anus ke cabang – cababg uterus anterior pecah dan
telur keluar melalui pinggiran anterior. Jika telur termakan hospes intermediet (sapi
atau babi) di dalam usus embriofor akan terjadi desintegrasi oleh asam
lambung menuju hexacanth embrio meninggalkan kulit telur dan menembus dinding
usus bersama limfe/darah dibawa ke jaringan ikat dialam otot dan akan tumbuh
menjadi cysticercus bovis (cacing gelembung) dalam waktu 12 – 15 minggu.
Cysticercus bovis berupa gelembung dengan ukuran 7,5 – 10 mm x 4 – 6 mm, dimana
di dalamnya terdapat skoleks yang mengalami invaginasi. Apabila sistiserkus hidup
tertelan oleh manusia, maka di dalam usus skoleks mengalami evaginasi dan
melekatkan diri pada mukosa jejunum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam
waktu 8 – 10 minggu, cacing dapat hidup lebih dari 25 tahun. Pada cysticercus
cellulosa infeksi terjadi karena manusia memakan telur Taenia solium atau karena
proglotid masuk ke lambung baik karena regurgitasi (anti peristaltik) maupun ikut
bersama makanan. Di dalam usus hexacanth embrio dibebaskan dan bersama aliran
darah atau aliran limfe ke organ-organ dan membentuk cysticercus cellulosae.(4)
Faktor risiko penyebaran sistiserkosis ataupun taeniasis antara lain kondisi sosial
budaya, umur dan jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat kemiskinan yang tinggi,
rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya pengetahuan tentang penularan
penyakit, sanitasi lingkungan yang buruk, kontak rumah tangga (terinfeksi melalui
langsung/tidak langsung dengan feses penderita/carrier), kurangnya praktik
pemeriksaan daging di Rumah Pemotongan Hewan (RPH), dan kebiasaan
mengonsumsi daging atau usus hewan mentah atau setengah matang. Selain itu,
faktor risiko lain adalah kebiasaan mandi dan mencuci tangan yang salah, tempat
buang air besar, dan ketersediaan air bersih untuk minum.(5)
Infeksi cacing Taenia sp. berupa penyakit Taeniasis dapat menimbulkan
beberapa gejala – gejala umum yang bersifat simptomatik seperti mual, muntah, diare
dan konstipasi secara bergantian, nyeri pada sub-regio epigastrium, rasa gatal pada
area anus, merasa lapar secara terus – menerus, myalgia, serta rasa tidak nyaman di
perut (abdominal discomfort). Namun, pada beberapa kasus yang dijumpai tidak
sampai menimbulkan gejala apapun (asimptomatik). Akan tetapi, dari hasil anamnesis
yang dilakukan pasien bisa saja mengeluhkan adanya potongan daging yang
sebenarnya itu merupakan proglotid dari cacing Taenia saginata pada celana dalam
maupun tempat tidur pasien. Pada pasien yang terdiagnosis Sistiserkosis, terdapat
beberapa gejala tambahan yaitu terdapat nodul sub-kutan pada salah satu atau lebih
bagian tubuh. Bahkan, apabila sampai berkomplikasi menjadi sisterkosis serebri atau
neurosistiserkosis dapat dijumpai kejang/epilepsi dan peningkatan tekanan
intrakranial.(4)(6)
Diagnosis Taeniasis dapat ditegakkan dari pemeriksaan kultur atau swab
tinja/feses penderita dengan metode konsentrasi formol-eter. Feses yang diperiksa
berasal dari defekasi spontan dan sebaiknya dalam keadaan segar, jika tidak mungkin
dapat diawetkan dengan formalin 5-10%. Hasilnya akan tampak dijumpai adanya
proglotid gravid ataupun telur Taenia saginata. Selain itu, dapat juga dilakukan
pemeriksaan lain darah lengkap, Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISAs),
polymerase chain reaction (PCR), dan Coproantigen test. ELISA dan PCR dapat
digunakan untuk membedakan jenis telur dan proglotid cacing pita (Taenia sp.) yang
tidak dapat dibedakan secara langsung. Terkhusus infeksi Taenia solium, pada
pemeriksaan darah lengkap dapat dijumpai peningkatan eosinofil hingga
28%.Diagnosa Sistiserkosis dibutuhkan beberapa pemeriksaan tambahan seperti
pemeriksaan radiologis dengan menggunakan computed tomography scan (CT scan),
magnetic resonance imaging (MRI), atau X-ray. Pemeriksaan tersebut untuk melihat
apakah kista sudah sampai ke daerah otak yang dapat menyebabkan
neurosistiserkosis. (4)(5)(7)
Pengobatan Taeniasis dan Sistiserkosis dapat dengan diberikannya obat
antihelmintik seperti Niclosamide, Albendazole, Nitazoxanide, dan Praziquantel.
Praziquantel dosis 50 mg/kgBB sebagai dosis tunggal atau dibagi tiga selama 15 hari
efektif untuk sistiserkus. Praziquantel dapat membunuh dan menghancurkan cacing
pita dewasa yang ada di saluran pencernaan (usus), serta membunuh sistiserkus yang
ada di jaringan otot hospes (babi). Albendazole dosis 15 mg/kgBB/hari sebagai dosis
tunggal atau dibagi tiga selama 7 hari, sedangkan Mebendazole dosis 2x200 mg/hari
selama 4 hari. Pengobatan umumnya efektif, perlu diulang jika ditemui lagi proglotid
dalam feses atau bergerak dari anus. Pemeriksaan feses diulang setelah 3 dan 6 bulan
untuk memastikan infeksi telah terobati. Terapi Pembedahan dapat dijadikan pilihan
jika dijumpai sistiserkus di mata, otak, atau tulang belakang. Neurosistiserkosis aktif
memerlukan berbagai pengobatan tambahan untuk mengatasi kista hidup, gejala, dan
reaksi akibat pengobatan. Pengobatan umumnya menggunakan Praziquantel (50-100
mg/kgBB terbagi 3 dosis) selama 14 hari, Albendazole (15 mg/kgBB terbagi 2-3
dosis) selama 8 hari, Kortikosteroid (10-30 mg Dexamethasone per hari atau 60 mg
Prednisone), dilanjutkan dengan tapering off, dan obat antikonvulsan seperti
Phenitoin dan Phenobarbital untuk terapi kejang.(5)(7)
Umumnya prognosis Taeniasis dan Sistiserkosis baik , karena hanya muncul
gejala – gejala ringan dan bahkan tidak jarang pasien tanpa gejala. Akan tetapi, jika
Sistiserkosis berkomplikasi menjadi neurosistiserkosis dan sudah berlangsung dalam
waktu yang lama, prognosis dapat menjadi buruk karena hal tersebut dapat
menyebabkan kematian.(4)
Pencegahan Taeniasis dan Sistiserkosis dapat dilakukan dengan memastikan
bahwa daging yang dikonsumsi benar-benar matang dan diproses dengan baik. Hal
ini bertujuan untuk membunuh parasit dan mencegah infeksi. Beberapa tindakan
pencegahan lain meliputi peningkatan edukasi tentang cara mengolah dan memasak
daging dengan benar, pemantauan dan pengendalian hewan terinfeksi, serta
penyediaan air bersih dan sanitasi yang baik. Masyarakat juga diharapkan dapat
menerapkan perilaku personal hygiene seperti mencuci buah – buahan dan sayuran
sebelum dikonsumsi, mencuci tangan dengan sabun setelah BAB dan sebelum
makan, serta tidak buang air besar sembarangan. Dalam hal ini kerja sama antar
pemerintah, organisasi kesehatan, dan masyarakat sangat penting. Perlunya adanya
kerjasama yang erat dan sinergis antar pihak untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu
meminimalisir jumlah kasus Taeniasis dan Sistiserkosis, serta mencegah terjadinya
komplikasi. (5)(8)(9)(10)

C. Kesimpulan
Sistiserkosis dan Taenasis termasuk neglected zoonotic diseases (NZDs) dan
neglected tropical diseases (NTDs) menurut WHO. Sistiserkosis disebabkan infeksi
larva Taenia solium, sedangkan Taeniasis disebabkan paling sering oleh karena
infeksi cacing dewasa Taenia solium dan Taenia saginata. Sistiserkosis dan Taeniasis
dapat tidak bergejala (asimptomatik), tetapi Sistiserkosis dapat menyebabkan
neurosistiserkosis yang dapat menyebabkan kematian. Diagnosis dengan anamnesis,
pemeriksaan feses, dan diagnosis penunjang lainnya. Pengobatan dengan obat
antihelmintik, atau pembedahan untuk sistiserkosis. Pencegahan dengan
meningkatkan personal hygiene dan sanitasi lingkungan, pengawasan dan
pemeriksaan daging untuk memastikan bebas telur Taenia sp. serta tidak
mengonsumsi daging mentah atau setengah matang.
Daftar Pustaka

1. World Health Organization. (2021). Taeniasis. Diakses pada 6 Februari 2023


dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/taeniasis

2. Yasa NCFP. Taeniasis. Pap Knowl Towar a Media Hist Doc. 2020;8–23.

3. Sandi S. Kajian Aspek Epidemiologi Taeniasis dan Sistiserkosis di Papua. J


Penyakit Bersumber Binatang. 2015;1(2).

4. Indonesian Medical Parasitology, avaiable on:


https://medlab.id/category/teori/parasitologi

5. Ratna Sari IZ. Gambaran Sistiserkosis dan Taeniasis. Cermin Dunia Kedokt.
2022;49(3):134.

6. Sungkar,S (2011). Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit FK UI

7. Susanty E. Taeniasis solium dan sistiserkosis pada manusia. J Ilmu Kedokt.


2018;12(1):1-6.

8. European Centre for Disease Prevention and Control. (2021). Taeniasis.


Diakses pada 6 Februari 2023 dari https://www.ecdc.europa.eu/en/taeniasis

9. Ministry of Health, Republic of Indonesia. (2021). Taeniasis. Diakses pada 6


Februari 2023 dari
http://www.depkes.go.id/article/view/19050100003/taeniasis.html

10. World Organisation for Animal Health. (2021). Taeniasis. Diakses pada 6
Februari 2023 dari
https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/taeniasis/

Anda mungkin juga menyukai