Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PARASITOLOGI 4.

1
TAENIASIS

Nama : Angeline Chrystabel


NIM : 20.P1.0035

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
1.1 Epidemiologi
Taeniasis adalah infeksi usus yang disebabkan oleh 3 spesies cacing pita: Taenia
solium (cacing pita babi), Taenia saginata (cacing pita sapi) dan Taenia asiatica.
Manusia dapat tertular T. saginata atau T. asiatica jika masing-masing
mengkonsumsi daging sapi atau jaringan hati babi yang terinfeksi, yang belum
dimasak dengan baik, tetapi taeniasis akibat T. saginata atau T. asiatica tidak
berdampak besar bagi kesehatan manusia .1
Infeksi cacing pita T. solium terjadi ketika seseorang makan daging babi mentah
atau setengah matang yang terinfeksi. Infeksi cacing pita menyebabkan sedikit
gejala klinis. Telur cacing pita yang dikeluarkan melalui feses bersama
pembawa cacing pita menjadi infektif bagi babi. Telur T. solium juga dapat
menginfeksi manusia jika tertelan oleh seseorang (melalui jalur fekal-oral, atau
dengan menelan makanan atau air yang terkontaminasi), menyebabkan infeksi
parasit larva di jaringan (cystiserkosis manusia). 1
Pada tahun 2010, ditemukan sekitar 300.000 orang di seluruh dunia
terinfeksi Taenia solium.2 Infeksi Taenia solium lebih banyak ditemukan pada
negara-negara berkembang seperti negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika
latin. Sementara itu, infeksi Taenia saginata lebih sporadik dan dapat
ditemukan di negara-negara maju di Eropa, Selandia Baru, dan Australia.3
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2015,
Indonesia merupakan salah satu negara endemis Taenia solium. Daerah yang
paling banyak mengalami infeksi Taenia sp. adalah Papua, Bali, dan pulau
Samosir di Sumatra Utara. Daerah ini dinilai sering mengkonsumsi daging babi
dan daging sapi yang tidak matang.4,5
Papua adalah salah satu daerah di Indonesia yang banyak mengonsumsi daging
babi. Hasil laporan survei kesehatan daerah di Papua melaporkan bahwa
distribusi taeniasis di empat kabupaten di Papua (Kabupaten Jayawijaya,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Puncak
Jaya) berkisar antara 1,6-10,2%.6
Infeksi Taenia saginata lebih banyak ditemukan di provinsi Bali, terutama di
Kabupaten Gianyar. Selama tahun 2002-2009, ditemukan 80 kasus taeniasis
akibat Taenia saginata dan 84% kasus didapatkan di kabupaten Gianyar. 7

1.2 Etiologi
Etiologi taeniasis pada manusia adalah cacing pita Taenia sp. Spesies yang telah
teridentifikasi menyebabkan infeksi pada manusia adalah Taenia
saginata dan Taenia solium.

1.2.1 Taenia Saginata


Taenia saginata merupakan jenis cacing pita yang ditemukan pada daging sapi
yang mentah atau tidak matang. Panjang cacing ini dapat mencapai 8 meter
dengan jumlah proglotid mencapai 1-2.000 buah. Proglotid pada Taenia
saginata memiliki 15-30 cabang. Pada bagian skoleks terdapat empat buah
penghisap yang berfungsi untuk melekatkan cacing dengan jejunum. 8,9
Telur Taenia saginata memiliki ukuran antara 30-40 mcm. Telur ini
mengandung onkosfer dan dikelilingi oleh dinding tebal bergaris coklat. Telur
yang keluar bersama feses ini dapat hidup selama berbulan-bulan atau bertahun-
tahun di lingkungan. Telur yang termakan oleh sapi akan pecah dan menginvasi
dinding saluran intestinal dan masuk ke otot. Sampai di otot, telur akan berubah
menjadi larva sistiserkus yang dapat menginfeksi manusia. Antibodi anti
sistiserkus diperlukan untuk pemeriksaan serologis pada abses otak.8,9
Saat di tubuh manusia, larva membutuhkan waktu 2-3 bulan untuk menjadi
cacing dewasa dan menghasilkan telur.
1.2.2 Taenia Solium
Taenia solium merupakan jenis cacing pita yang terdapat pada daging babi.
Babi berperan sebagai pejamu perantara, sedangkan manusia dapat berperan
sebagai pejamu sementara atau pejamu definitif.
Cacing ini dapat menginfeksi manusia melalui dua cara. Jika seorang individu
menelan larva sistiserkus, maka individu tersebut akan mengalami taeniasis.
Namun, apabila seorang individu menelan telur Taenia solium, maka individu
tersebut akan mengalami sistiserkosis.8,10
Cacing Taenia solium memiliki mulut penghisap dan kait di bagian skoleksnya
sehingga proses perlekatan lebih kencang. Panjang cacing ini dapat mencapai 3
meter dengan jumlah proglotid mencapai 1.000 buah. Telur dan proglotid yang
mengandung telur akan keluar bersama dengan feses. Telur dapat bertahan
hingga beberapa bulan. Ketika telur tertelan oleh hewan, maka larva yang
berada di dalam telur akan keluar dan menembus dinding intestinal dan menetap
di berbagai jaringan, namun paling sering ditemukan di jaringan otot lurik yang
terdapat di leher dan batang tubuh. Larva ini akan mengalami enkistasi dalam
waktu 60–90 hari.8,10
Ketika larva tertelan oleh manusia yang mengonsumsi daging babi yang tidak
matang, larva akan tinggal di saluran intestinal sampai menjadi cacing dewasa.
1.3 Morfologi
1.3.1 Taenia Saginata
a.) Scolex

b.) Proglotid Matur

c.) Proglotid Gravid

Ciri-ciri cacing dewasa Taenia saginata :


• Cacing dewasa mempunyai panjang 5 – 10 meter
• Cacing ini terdiri dari scolex, leher, dan strobila
• Scolex berbentuk piriform berukuran 1 – 2 mm dilengkapi
dengan 4 batil isap yang menonjol
• Strobila terdiri dari 1000 – 2000 proglotid atau segmen dimana
makin ke distal proglotid semakin matang
• Proglotid gravid berukuran 16 – 20 x 5 – 7 mm dengan cabang
uterus berjumlah 15 – 20 buah tiap sisi dimana uterus gravid ini
mengandung 80.000 – 100.000 telur
• Lubang kelamin atau porus genitalis terletak di sebelah lateral
dan letaknya berselang-seling di kanan dan kiri tidak teratur8

1.3.2 Taenia Solium


a.) Scolex

b.) Proglotid Gravid

c.) Proglotid Immatur

d.) Proglotid Matur


Ciri-ciri cacing dewasa Taenia solium :
• Cacing dewasa mempunyai panjang 3 – 5 meter, kadang sampai
8m
• Cacing ini terdiri dari scolex, leher, dan strobila
• Scolex dilengkapi dengan 2 baris kait yang terdiri atas kait
panjang dan pendek, jumlahnya mencapai 23 – 30 buah
(ROSTELLUM)
• Diameter scolex ± 1 mm terdapat 4 buah batil isap yang
berbentuk mangkok Mempunyai 800 – 1000 segmen dengan
lubang kelamin pada sisi lateral kanan ata kiri tidak beraturan
• Uterus gravid mempunyai cabang lateral mengandung 30 – 50
butir telur
• Ovarium terdiri atas 2 lobus lateral dan satu lobus kecil 8
1.3.3 Telur Taenia sp.

Ciri-ciri telur cacing Taenia sp.


• Ukuran : panjang 30 – 40 μm & lebar 20 – 30 μm
• Berwarna coklat tengguli
• Lapisan embriofore bergaris-garis radier
• Di dalamnya terdapat hexacanth embrio8

1.4 Daur Hidup


Daur hidup Taenia sp.
1. Telur dapat bertahan selama berhari-hari hingga berbulan-bulan di
lingkungan. Ternak (T. saginata) dan babi (T. solium dan T. asiatica) terinfeksi
dengan menelan tumbuh-tumbuhan yang terkontaminasi telur atau proglotid
gravid
2. Di dalam usus hewan, onkosfer menetas.
3 Menginvasi dinding usus, dan bermigrasi ke otot lurik, di mana mereka
berkembang menjadi sistiserkus. Cysticercus dapat bertahan hidup selama
beberapa tahun pada hewan. Manusia terinfeksi dengan menelan daging yang
terinfeksi mentah atau kurang matang.
4. Di usus manusia, sistiserkus berkembang selama 2 bulan menjadi cacing pita
dewasa, yang dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun. Cacing pita dewasa
menempel pada usus kecil dengan scolex mereka.
5. dan tinggal di usus kecil
6. Panjang cacing dewasa biasanya 5 m atau kurang untuk T. saginata (namun
dapat mencapai hingga 25 m) dan 2 sampai 7 m untuk T. solium.
Cacing dewasa menghasilkan proglottid yang matang, menjadi gravid, terlepas
dari cacing pita, dan bermigrasi ke anus atau dikeluarkan melalui tinja (sekitar
6 per hari). T. saginata dewasa biasanya memiliki 1.000 hingga 2.000 proglotid,
sedangkan T. solium dewasa rata-rata memiliki 1.000 proglotid. Telur yang
terkandung dalam proglotid gravid dilepaskan setelah proglotid dikeluarkan
bersama feses. T. saginata dapat menghasilkan hingga 100.000 dan T. solium
masing-masing dapat menghasilkan 50.000 telur per proglotid. 8
1.5 Manifestasi Klinis
Kebanyakan orang dengan infeksi cacing pita tidak memiliki gejala atau gejala
ringan. Penderita taeniasis T. saginata sering mengalami gejala yang lebih
banyak dibandingkan penderita T. solium karena cacing pita T. saginata
berukuran lebih besar (hingga 10 meter (m)) daripada T. solium (biasanya 3 m).
Cacing pita dapat menyebabkan masalah pencernaan termasuk sakit perut,
kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, dan sakit perut. Gejala
taeniasis yang paling terlihat adalah lewatnya proglottid (segmen cacing pita)
secara aktif melalui anus dan feses. Dalam kasus yang jarang terjadi, segmen
cacing pita tersangkut di usus buntu, atau saluran empedu dan pankreas.
Infeksi cacing pita T. solium dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia,
yang dapat menjadi penyakit yang sangat serius yang dapat menyebabkan
kejang dan kerusakan otot atau mata.8
1.6 Pemeriksaan Laboratorium
1.6.1 Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses merupakan pemeriksaan utama yang dilakukan karena dapat
mengidentifikasi jenis parasit. Diagnosis taeniasis ditegakkan dengan
menemukan telur atau proglotid pada feses. Telur atau proglotid in dapat
ditemukan ketika cacing dewasa di dalam tubuh telah dapat menghasilkan telur,
yaitu sekitar 2–3 bulan pasca infeksi. Untuk meningkatkan kemungkinan
penemuan telur atau proglotid, sampel feses disarankan diambil tiga kali pada
hari yang berbeda-beda.11
Pada kasus infeksi Taenia saginata, pemeriksaan dengan pengambilan feses
langsung memiliki efikasi yang lebih rendah karena proglotid yang sudah siap
bertelur dapat keluar secara spontan melalui anus sehingga telur akan melekat
di daerah perianal dan perineal. Pada kondisi tersebut, pengambilan sampel
melalui swab anus lebih direkomendasikan.12
Pembersihan usus dengan glikol elektrolit-polietilen sebelum pemberian
antiparasit dinilai dapat meningkatkan kemungkinan keluarnya skoleks atau
proglotid. Selain itu, pemberian minyak kastor atau magnesium sulfat 2 jam
pasca diberikan antiparasit juga dapat membantu mengeluarkan cacing dewasa
dalam bentuk utuh atau fragmentasi dalam 6–12 jam.13
Pemeriksaan feses memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah
dibandingkan pemeriksaan biomolekular. Oleh karena itu, pasien dengan hasil
pemeriksaan feses yang negatif tidak dapat langsung dieksklusi. Pemeriksaan
dapat diulang atau pasien diberikan terapi empirik. 12
1.6.2 Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan untuk melihat adanya infeksi parasit,
walaupun tidak spesifik. Pada infeksi oleh parasit, dapat ditemukan adanya
peningkatan jumlah eosinofil sekitar 1–15%. Peningkatan kadar IgE juga dapat
ditemukan.12
1.7 Tatalaksana
Praziquantel 5-10 mg/kg PO single dose untuk orang dewasa.
Niclosamide 2 g PO single dose untuk dewasa
Niclosamide 50 mg/kg PO single dose untuk anak-anak.
Albendazole, diberikan sebagai 400mg PO single dose selama 3 hari.8
Daftar Isi
1. WHO. Taeniasis / cysticercosis Key facts. World Heal Organ fact sheet
[Internet]. 2022;(January). Available from: https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/taeniasis-cysticercosis
2. Torgerson PR, Devleesschauwer B, Praet N, Speybroeck N, Willingham AL,
Kasuga F, et al. World Health Organization Estimates of the Global and
Regional Disease Burden of 11 Foodborne Parasitic Diseases, 2010: A Data
Synthesis. PLoS Med. 2015;12:1–22
3. Okello AL, Thomas LF. Human taeniasis: current insights into prevention
and management strategies in endemic countries. Risk Manage Health
Policy. 2017;10:107–116
4. Wandra T, Ito A, Swastika K, Dharmawan NS, Sako Y, Okamoto M. Taeniases
and cysticercosis in Indonesia: past and present situations. Parasitology.
2013;140:1608–1616
5. World Health Organization. Endemicity of taenia solium, 2015. 2015.
Available from:
https://www.who.int/taeniasis/Endemicity_Taenia_Solium_2015.jpg
6. Sandy S. Kajian Aspek Epidemiologi Taeniasis dan Sistiserkosis di Papua.
Jurnal Penyakit Bersumber Binatang. 2014;2(1):1-14
7. Wandra T, Sudewi AAR, Swastika IK, Sutisna P, Dharmawan NS, Yulfi H, et
al. Taeniasis/cysticercosis in Bali, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med
Public Health. 2011;42(4):793-802
8. Centers for Disease Control and Prevention. Parasites – Taeniasis, Biology.
2013. Available from: https://www.cdc.gov/parasites/taeniasis/biology.html
9. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et
al. Harrison’s Infectious Disease. McGraw Hill. 2010
10. Zammarchi, L., Bonati, M., Strohmeyer, M. et al. (2017). Screening, diagnosis
and management of human cysticercosis and Taenia solium taeniasis:
technical recommendations by the COHEMI project study group. Tropical
Medicine & International Health, 22(7), 881–894. doi:10.1111/tmi.12887
11. Jong EC, Stevens DL. Netter’s Infectious Diseases. Elsevier. 2012
12. Lesh EJ, Brady MF. Tapeworm (Taenia Solium, Taenia Saginata,
Diphyllobothrium, Cysticercosis, Neurocysticercosis). In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537154/
13. Craig P,Ito A. Intestinal cestodes. Curr Opin Infect Dis. 2007;20(%):524-32

Anda mungkin juga menyukai