Anda di halaman 1dari 58

CESTODA

Niken, S.Pd, M.Pd


Cestoda

Cestoda adalah cacing yang berbentuk pipih


seperti pita yang merupakan endoparasit dan
dikenal sebagai cacing pita. Cacing cestoda
disebut sebagai cacing pita, karena bentuk
tubuh cacing tersebut yang panjang dan
pipih menyerupai pita.
Ciri Umum Cestoda
Semua anggota cestoda memiliki struktur yang pipih dan
tertutup oleh kutikula.
Cestoda juga disebut sebagai cacing pita karena bentuknya
pipih panjang seperti pita.
Tubuh cacing pita panjangnya antara 2m - 3m dan terdiri dari :
 Kepala (skoleks), dilengkapi dengan lebih dari dua alat
pengisap dan merupakan alat untuk melekat.
 Leher, tidak bersegmen, setelah skoleks kemudian lanjut ke
leher sebagai tempat pertumbuhan badan.
 Tubuh (strobila), terdiri dari segmen-segmen (proglotid)
dan setiap segmen yang menyusun strobila mengandung alat
perkembangbiakan. Makin ke posterior segmen makin
melebar dan setiap segmen (proglotid) merupakan satu
individu dan bersifat hermafrodit.
Cacing pita biasanya hidup sebagai parasit dalam usus
vertebrata dan tanpa alat pencernaan.
Cestoda bersifat parasit karena menyerap sari makanan
melalui permukaan tubuhnya secara osmosis.
Penyerapan sari makanan terjadi dari usus halus inangnya
melalui seluruh permukaan proglotid. Sari makanan
diserap langsung oleh seluruh permukaan tubuhnya, hal
ini karena cacing pita tidak memiliki mulut dan sistem
pencernaan, skoleks hanya untuk menempelkan dirinya
ke usus.
Sistem eksresi cacing pita terdiri dari saluran pengeluaran
yang berakhir dengan sel api.
Sistem saraf pada cacing pita sama seperti Planaria dan
cacing hati, tetapi kurang berkembang.
Morfologi Cestoda (cacing pita)
Taenia saginata
(Cacing Pita Sapi)
Hospes dan nama Penyakit
Hospes : Hospes defenitif cacing T.saginata
ini adalah manusia, sedangkan
hewan yang memamahbiak (ruminansia)
dari keluarga bovidae seperti sapi, kerbau
dan lainnya adalah hospes perantara.
Nama penyakit : Teniasis saginata
Distribusi geografik : Penyebaran cacing ini kosmopolit,
daerah Eropa, Timur tengah, Afrika,
Asia, Amerika Utara, Amerika Latin,
Rusia dan juga Indonesia yaitu
Bali, Jakarta dan lain-lain.
Morfologi Taenia saginata
 Cacing pita ini adalah cacing pita
yang paling sering ditemukan
pada manusia dan ditemukan di
semua negara yang orangnya
mengkonsumsi daging sapi.
 Cacing ini  panjangnya sekitar 3-
10 m.
 Scolexnya mempunyai 4 batil
isap yang dapat menghisap
sangat kuat dan memiliki scoleks
dengan diameter 1 –2mm.
 Memiliki 1000 –2000 Proglotid.
 Mempunyai 4 penghisap tanpa
hook.
Siklus hidup T. Saginata
1. Telur atau proglotid yang matang terbawa oleh kotoran
manusia ke lingkungan luar.
2. Inang perantara, yaitu sapi memakan rumput yang
terkontaminasi telur atau proglotid Taenia saginata.
3. Dalam tubuh sapi, telur menetas menjadi onkosfer lalu
menjadi heksakant, lalu di otot membentuk sistiserkus.
4. Sistiserkus pada daging sapi yang tidak dimasak dengan
benar dimakan oleh manusia.
5. Dalam usus, Taenia saginata muda berkembang
menjadi dewasa dan menempel menggunakan skoleks.
6. Setelah reproduksi, proglotid matang yang berisi telur
mulai “gugur” dan terbawa kotoran.
Patologi dan Gejala klinis
Cacing T. saginata ini umunya menyebabkan gejala
klinis yang ringan, seperti sakit ulu hati, perut
merasa tidak enak, muntah, diare, pusing.
Gejala tersebut disertai ditemukannya proglotid
cacing yang bergerak-gerak lewat dubur bersama
tinja.
Gejala yang lebih berat dapat terjadi, yaitu apabila
proglotit masuk apendiks, terjadi ileus yang
disebabkan obstruksi usus oleh strobila cacing.
Berat badan tidak jelas menurun. Eosinofilia dapat
ditemukan di darah tepi.
Diagnosis
 Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya proglotid yang aktif
bergerak dalam tinja, atau ditemukan secara spontan dalam tinja.
 Proglotid kemudian diidentifikasi dengan merendamnya dalam cairan
laktofenol sampai jernih.
 Setelah uterus dengan cabang-cabangnya terlihat jelas, jumlah cabang-
cabangnya dapat dihitung.
 Proglotid terciri dengan adanya cabang lateral disetiap masing-masing
sisi yang mempunyai cabang sekitar 15-20. Tetapi cabang tersebut
biasanya sulit terlihat pada proglotid yang lama, sehingga diagnosis
lebih akurat bila ditemukan proglotid yang masih baru.

Pengobatan
 Kuinakrin
 Amodiakuin
 Niklosamid
 prazikuantel
 Albendazol
 Niklosamide.
Pencegahan
Menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati
penderita
Mencegah kontaminasi tanah dan rumput dengan
tinja manusia.
Memeriksa daging sapi, ada tidaknya cysticercus.
Memasak daging sampai sempurna.
Mendinginkan sampai -10 0C sampai 5 hari
cycticercus dapat rusak.
Epidemiologi
 T. saginata sering ditemukan di negara yang penduduknya
banyak makan daging sapi/kerbau. Cara penduduk tersebut
memakannya yaitu matang (well done), setengah matang
(medium), atau mentah (rare).
 Ternak yang dilepas dirumput lebih mudah dihinggapi
cacing, dari pada ternak yang dirawat di kandang.
 Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur
atau proglotid.
 Hewan (terutama ) babi, sapi yang mengandung cysticercus.
 Makanan / minuman dan lingkungan yang tercemar oleh
telur-telur cacing pita.
Taenia solium
(Cacing Pita Babi)
Hospes dan nama Penyakit
Hospes : Hospes defenitif cacing T.solium ini adalah
manusia, sedangkan hospes perantaranya adalah babi.
Nama penyakit : Teniasis solium.
Distribusi geografik : Penyebaran cacing ini kosmopolit,
tetspi jarang ditemukan di negara islam. Cacing
tersebut banyak ditemukan di daerah yang banyak
beternak babi seperti negara Eropa, Amerika Latin,
Cina, India, Amerika Utara, dan juga ada di Indonesia
yaitu Bali, Papua, dan Sumatera Utara.
Morfologi Taenia solium
 Cacing pita babi paling berbahaya pada manusia karena
kemungkinan terjadinya infeksi sendiri oleh cysticercus dapat
terjadi.
 Cacing dewasa panjangnya 4-10 m.
 Memiliki 1000 –2000 proglotid.
 Memiliki scoleks dengan diameter 1 –2mm.
 Mempunyai 4 penghisap tanpa hook.
 Struktur tubuh cacing ini terdiri atas kepala (skoles) dan
rangkaian segmen yang masing-masing disebut proglotid.
 Pada bagian kepala terdapat 4 alat isap (Rostrum) dan alat kait
(Rostellum) yang dapat melukai dinding usus.
 Disebelah belakang skoleks terdapat leher/daerah perpanjangan
(strobilus).
Siklus hidup T. solium
1. Telur atau proglotid yang matang terbawa oleh kotoran manusia ke
lingkungan luar. Inang perantara, yaitu babi memakan makanan yang
terkontaminasi telur atau proglotid Taenia solium.
2. Dalam tubuh babi, telur menetas menjadi onkosfer lalu menjadi heksakant,
lalu di otot membentuk sistiserkus.Sistiserkus pada daging babi yang tidak
dimasak dengan benar dimakan oleh manusia.
3. Dalam usus, Taenia solium muda berkembang menjadi dewasa dan
menempel menggunakan skoleks.
4. Setelah reproduksi, proglotid matang yang berisi telur mulai “gugur” dan
terbawa kotoran.
5. Telur cacing pita babi termakan oleh manusia. Ini bisa terjadi karena
makanan yang terkontaminasi, atau autoinfeksi (infeksi sendiri) karena
tidak mencuci tangan dengan bersih setelah buang air.
6. Dalam tubuh manusia, telur menetas menjadi onkosfer lalu menjadi
heksakant.
7. Sistiserkus dapat berkembang di semua organ manusia, umumnya pada
jaringan di bawah kulit, juga mata dan otak.
Patologi dan Gejala Klinis
Cacing dewasa yang biasanya berjumlah seekor tidak
menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, dapat
berupa nyeri ulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit
kepala.
Gejala klinis yang lebih berarti dan serig di derita, disebabkan
oleh larva yang disebut sistiserkosis.
Infeksi ringan biasanya tidak menunjukkan gejala, kecuali
bila alat yang dihinggapi adalah alat tubuh yang penting.
Pada manusia, sistiserkus atau larva T. solium sering
menghinggapi jaringan subkutis, mata, jaringhan otak, otot
jantung, paru dan rongga perut.
Pada jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jarang
mengalami klasifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan
reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan epilepsi (ayan).
Gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang
tinggi seperti nyeri kepala dan kadang bisa menyebabkan
kelainan jiwa.
Hidrosepalus internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan
aliran cairan serebrospinal.
Sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam
ventrikel IV otak, dan dapat menyebabkan kematian.

Diagnosis
Diagnosis Teniasis solium dilakukan dengan menemukan
telur dan proglotid.
Pencegahan
Pencegahan infeksi cacing ini lebih utama yaitu
mencegah kontaminasi air minum, makanan dari feses
yang tercemar. Sayuran yang biasanya dimakan mentah
harus dicuci bersih dan hindarkan terkontaminasi
terhadap telur cacing ini.

Pengobatan
Untuk pengobatan penyakit teniasis solium ini digunakan
prazikuantel. Untuk sistiserkosis digunakan prazikuantel,
albendazol atau dilakukan pembedahan.
Diphyllobotrium latum
(Cacing Pita Ikan)
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes :
H. definitif : Manusia
H. Reservoir : ikan, crustaceae
Penyakit : Difilobotriasis
Penyebaran Geografik : Amerika, Eropa,
dan Afrika (Madagaskar)
Morfologi Diphyllobotrium latum
Cacing dewasa:
Panjang sampai 10 meter, t.a. 3000-4000 proglotid.
Skolek : seperti sendok, mempunyai dua lekuk isap
Proglotid :
Lebar lebih panjang dari panjangnya
Lubang uterus di bagian tengah proglotid
Mempunyai lubang uterus
Uterus panjang berkelok-kelok membentuk roset.
Cacing Dewasa Diphyllobotrium latum
Skoleks Diphyllobothrium latum

Bentuk:
Seperti Sendok
Alat Isap :
Seperti Celah 2 Bh
Telur :
Mempunyai operkulum
Sel-sel telur
Menetas dalam air  korasidium
Memerlukan 2 hospes perantara
Hospes perantara I : Cyclops dan Diaptomus
Berisi larva PROCERCOID
Hospes Perantara II : ikan salem
Berisi larva PLEROCERCOID atau
SPARGANUM
Siklus hidup Diphyllobotrium latum
Siklus hidup D. latum
TELUR Diphyllobothrium latum

TELUR :
• 45-70
• PUNYA OPERKULUM
• TAK ADA HEK EMBRIO
Morfologi D. latum
Rekapitulasi dari morfologi D. latum
Cara infeksi :
Makan ikan mentah yang mengandung larva pleroserkoid

Patologi dan gejala klinis


Tidak menimbulkan gejala berat
Cacing di permukaan usus halus menimbulkan anemia
hiperkrom makrositer
Bila jumlah cacing besar  obstruksi usus
Diagnosis
Menemukan telur dalam tinja
Atau proglotid keluar bersama tinja

Pengobatan
 Atabrin dalam keadaan perut kosong disertai pemberian
Na-bikarbonas.

Epidemiologi
Masak ikan dengan sempurna.
Pencegahan
Memasak ikan air tawar sampai betul-betul matang
atau membekukannya sampai-10°C selama 24 jam.
Mengeringkan dan mengasinkan ikan secara baik.
Dilarang membuang tinja dikolam air tawar.
Memberikan penyuluhan pada masyarakat.
Hymenolepis nana
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes : Manusia dan tikus
Penyakit : Himenolepiasis
Penyebaran geografik : kosmopolit

Morfologi dan daur hidup


Merupakan cacing pita terkecil
Pjg 25 mm-40 mm dan lebar 1 mm
Ukuran strobila berbanding terbalik dgn jml cacing di
dlm hospes
Skolek bulat kecil, dgn 4 batil isap & rostellum
pendek & berkait-kait
Bgn leher pjg & halus
Strobila dimulai dgn proglotid immatur (sangt pendek
& sempit), lebih kedistal lebih lebar & luas.
Ujung distal strobila membulat
Telur keluar bersama proglotid yg hancur, berbentuk
lonjong (30-47 µ)
H. nana
Proglotid H. nana
Patologi dan Gejala Klinis
Cara infeksi :
Tertelan telur
Autoinfeksi interna
Umumnya tanpa gejala
Jumlah cacing yang besar  iritasi mukosa
Yang sering timbul  toksemia umum
Infeksi berat pada anak kecil  keluhan neurologi yang
gawat.
Diagnosis
Menemukan telur dalam tinja

Epidemiologi :
Sering pada anak-anak < 15 tahun
Kontaminasi dengan tinja tikus

Pengobatan : Atabrine, bitionol, prazikuantel dan niklosamid.

Pencegahan
Menjaga kebersihan perorangan terutama pada keluarga dan
di sekitar perumahan harus diutamakan.
Meningkatkan kebersihan anak-anak, sanitasi lingkungan
Menghindarkan makanan dari kontaminasi
Terima kasih…

Anda mungkin juga menyukai