Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MATA KULIAH PENYAKIT PARASITIK

TAENIASIS DAN CYSTICERCOSIS PADA BABI

OLEH :

MELLA ANDRIANI
1902101010192

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2021
TAENIASIS

1. PENDAHULUAN

Taenia merupakan salah satu cacing pita yang termasuk dalam Kingdom
Animalia, Filum Plathyhelmintes, Class Cestoda, Ordo Cyclophyllidae, Famili
Taeniidae, dan Genus Taenia. Tubuh cacing ini terdiri atas tiga bagian yaitu skoleks,
leher, dan strobila. Skoleks merupakan bagian tubuh cacing yang dapat digunakan
untuk identifikasi spesies dalam genus Taenia. Taenia merupakan salah satu cacing
pita yang termasuk dalam Kingdom Animalia, Filum Plathyhelmintes, Class Cestoda,
Ordo Cyclophyllidae, Famili Taeniidae, dan Genus Taenia. Tubuh cacing ini terdiri
atas tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan strobila. Skoleks merupakan bagian tubuh
cacing yang dapat digunakan untuk identifikasi spesies dalam genus Taenia.  
Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit vertebrata penting yang
menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau (S, Kusumamihardja, 1992). Terdapat
tiga spesies penting cacing pita Taenia, yaitu Taenia solium, Taenia saginata, dan
Taenia asiatica. Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting karena dapat
menyebabkan penyakitpada manusia yang dikenal dengan istilah taeniasis dan
sistiserkosis.

2. NOMENKLATUR

kingdom  : Animalia
phylum : Platyhelminthes
class   : Cestoda
subclass   : Eucestoda
order : Cyclophyllidea
family   : Taeniidae
subfamily : Taeniinae 
genus  : Taenia
species   : Taenia multiceps

3. MORFOLOGI

Tubuh cacing ini terdiri atas tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan strobila.
Skoleks merupakan bagian tubuh cacing yang dapat digunakan untuk identifikasi
spesies dalam genus Taenia. Morfologi skoleks T.solium terdiri atas sebuah rostellum
dan empat buah batil isap (succer). Rostellum dan succer tersebut dikelilingi oleh
sebaris kait panjang (180 μm) dan kait pendek (130 μm) yang tersusun dari 22 sampai
dengan 32 kait. Strobila merupakan bagian tubuh cacing berupa serangkaian
proglotida yang berada di belakang leher. Strobila T.solium tersusun dari 800 sampai
dengan 1000 segmen (proglotida) yang dalam perkembangan organ reproduksinya
terbagi menjadi tiga bagian yaitu proglotida immature, mature, dan gravid. Proglotida
immature terletak setelah leher, selanjutnya diikuti oleh proglotida mature , dan
proglotida gravid berada di bagian belakang.
Setiap proglotid merupakan unut reproduksi lengkap, maka cacing pita adalah
hermafrodit. Ini melengkapi siklus hidupnya pada manusia sebagai inang utama dan
babi sebagai inang perantara. Hal ini ditularkan ke babi melalui feses manusia atau
pakan ternak yang terkontaminasi, dan untuk manusia memalui daging mentah atau
setengah matang. Babi menelan telur berembrio, morula yang berkembang menjadi
larva yang oncospheres dan akhirnya menjadi larva infektif, sistiserkus. Sebuah
sistiserkus tumbuh menjadi cacing dewasa di usus kecil manusia.

4. SIKLUS HIDUP

Taenia solium yang berparasit di bagian proximal jejunum dapat bertahan


hidup selama 25 sampai dengan 30 tahun dalam usus halus manusia. Cacing dewasa
melepaskan proglotida gravid paling ujung yang akan pecah didalam usus, sehingga
telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita taeniasis. Inang definitif dari Taenia
spp. hanya manusia, kecuali untuk T. solium dan T. asiatica, manusia juga berperan
sebagai inang antara. Dalam daur hidupnya, ketiga jenis cacing pita ini berturut-turut
melibatkan sapi sebagai inang antara T.saginata dan babi sebagai inang antara
T.solium dan T.asiatica. Penyakit yang disebabkan oleh stadium larva T. solium
(cacing pita babi) disebut cysticercosis, sedangkan penyakit yang disebabkan oleh
cacing pita dewasa yang hidup pada usus halus manusia disebut taeniasis.
Cacing pita Taenia solium dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan
induk semang definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan mengadung
telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif bersama-sama feses
manusia. Bila inang definitif manusia (manusia) maupun inang antara yaitu babi
menelan telur maka telur yang menetas akan mengeluarkan embrio atau onchosphere
yang kemudian menembus dinding usus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi
darah limfe berangsur-angsur berkembang menjadi sistiserkosis yang infekstif di
dalam otot tertentu (Sutrija, F 2005). Otot yang paling sering terserang sistiserkus
yaitu jantung, difragma, lidah, otot pengunyah, daerah esophagus, leher dan otot anar
tulang rusuk.

5. PATOGENESA

a. Hewan:
Cacing pita dewasa (T. solium dan T. saginata) merupakan parasit didalam
usus hewan sehingga telur yang mengandung proglotid keluar dari tubuh bersama
feses. Kemudian apabila telur cacing tersebut ikut tertelan oleh hewan yang serasi
didalam lambung akan menetas dan embrio menembus dinding dan mengikuti aliran
darah ke tempat-tempat predileksi. Oleh karena itu pembuangan feses yang tidak
memenuhi persyaratan higienis dapat mencemari lingkungan. (Pertiwi dkk., 2011)

b. Manusia
Infeksi cacing pita pada manusia terjadi ketika kista (sistiserkus) tertelan
akibat konsumsi daging babi yang tidak masak. Larva tersebut melekat pada usus
manusia dan berkembang menjadi cacing pita dewasa. Cacing pita dewasa akan
melepaskan proglotid (mengandung untaian telur) bersama feses yang selanjutnya
mengkontaminasi sumber-sumber pakan babi. Telur yang tertelan oleh babi kemudian
berkembang menjadi stadium larva, melintas pada dinding intestinal kemudian masuk
kedalam aliran darah, berlokasi pada beberapa jaringan dan berkembang menjadi
kista. Ketika manusia menelan telur-telur tanpa sengaja akibat kontaminasi fecal-oral
atau autoinfeksi, maka akan menjadi titik terakhir stadium larva dari parasit dan
berkembang menjadi sistiserkosis seperti halnya pada babi. Telur cacing masuk
kedalam tubuh per oral melalui tangan yang tercemar. Selain itu kontaminasi fecal-
oral biasanya terjadi melalui penanganan makanan yang tidak higenis atau melalui
buah dan sayuran yang terkontaminasi feses manusia. (Pertiwi dkk., 2011)
Autoinfeksi terjadi sebagai akibat gerakan rettrogesi proglotid dari intestinum
menuju perut sehingga telur cacing atau proglotida ikut masuk ke lambung dan usus,
dan didalam lambung mebrio akan keluar dari telur. Selanjutnya embriio akan
menuju ke tempat predileksi melalui lairan darah dan menjadi kista, kista ini sebagian
besar berada didalam jaringan subcutan, kemudian juga didalam kota. Daging babi
berkista yang tertelan oleh manusia tidak secara langsung menjadi carier-carier telur
T. Solim yang apabila tertelan oleh manusia lainnya maka akan menimbulkan gejala
sistiserkosis. (Pertiwi dkk., 2011)
6. GEJALA KLINIS

a. Hewan:
Hewan yang terinfeksi pada umumnya menunjukkan gejala yang nyata.
Apabila manifestasinya cukup berat dapat mengakibatkan gangguan terutama pada
organ yang ditempati parasit ini. Gejala lain yang pernah dilaporkan adalah adanya
hipersensitifitas dari moncong dan kelumpahan lidah atau kekejangan. (Pertiwi dkk.,
2011)

b. Manusia:
Gejala klinis pada manusia tergantung letak dan jumlah sistiserkus serta reaksi
dari induk semang. Gejala klinis yang utama adalah rasa nyeri pada otot yang
ditempati sistiserkus. Selain itu, nyeri otot gejala lainnya adalah seizure epilepsy (66-
90%), sakit kepala, gejala saraf, gangguan penglihatan, hydrocephalus, meningitis
kronis dan encephalitis serta nodul pada otot. (Pertiwi dkk., 2011)
Epilepsy akan muncul apabila sistiserkus terdapat dalam jumlah yang cukup
banyak dapat mencapai system saraf pusat dan setelah mengalami pengapuran,
sehingga kadang-kadang gejala baru muncul setelah 20 tahun setelah infeksi. Apabila
larva ini dijumpai diotak, larva akan menimbulkan gangguan fungsional yang hebat,
sedangkan miokardium akan menyebabkan kegagalan jantung miokardial. Dampak
pada masyarakat dari penyakit ini berupa kecacatan, inkapasitasi dan penurunan
produktivitas. (Pertiwi dkk., 2011).

7. DIAGNOSA

Untuk mendiagnosa sistiserkosis dilakukan pengujian terhadap adanya telur


dan cacing dewasa dalam feses penderita, akan tetapi sulit dideteksi. Diagnose yang
paling baik adalah menemukan parasitnya. Pemeriksaan secara rontgenologik dapat
dilakukan dengan penambahan bubur barium sulfat. Pengujian laboratorium yang
dapat digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis adalah menggunakan metode ELISA,
imunoelektroforesis, haemaglutinasi tidak langsung (indirect), dan complement
fixation test/CFT. Tes haemaglutinasi tidak langsung pernah dilakukan dan dievaluasi
untuk melihat titer antibody pada serum babi yang secara alami terinfeksi oleh
sistiserkus dari T. solium dengan sensitivitas 85,71 %. (Pertiwi dkk., 2011).
Diagnosa fisik yang paling sederhana terhadap babi dapat dilakukan dengan
palpasi lidah untuk mengetahui keberadaan sistiserkus. Peneguhan diagnose dapat
dilakukan dengan teknik Western Blot. (Pertiwi dkk., 2011). Beberapa teknik yang
telah dikembangkan tersebut terutama untuk deteksi sistiserkosis pada hewan ternyata
memberi kemudahan dalam penggunaan reagen dan prosedur pengerjaannya. Uji
serologi yang dilakukan pada kondisi ante mortum – sebelum hewan disembelih,
dapat memberi arti praktis dan spesifik. Beberapa metode serologi yang telah
dicobakan untuk mendeteksi adanya sistiserkus adalah: indirect haemaglutination test
(IHA) dan doble diffusion agar; immunoelectrophoresis (IEP); enzymelinked
immunosorbent assay (ELISA) dan radioimmunoassay (RIA). Diantara metode
tersebut, ELISA ternyata merupakan uji yang paling banyak digunakan . Teknik ini
umumnya memberi hasil yang baik. Bahkan dewasa ini, telah umum diketahui bahwa
laporan tentang epidemiologi kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya
diperoleh dari pemeriksaan serologis. Namun demikian, bukan berarti metode
serologi ini sudah sempurna. (Dharmawan, 2015).
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukan proglotid yang aktif bergerak dalam
tinja atau keluar secara spontan, juga dengan ditemukannya, juga dengan menemukan
telur ini di dalam tinja hanya dapat membuat diagnosis genus karena morfologi telur
Taenia saginatasama dengan telur Taenia solium. Sedangkan menemukan proglotid
hidup yang keluar dari anus secara aktif dapat di pakai untuk menegakkan diagnosis
setelah terlebih dahulu diidentifikasi di bawah mikroskop.

8. PROGNOSA

Ternak yang dilepas di padang rumput lebih mudah dihinggapi cacing


gelembung, dari pada ternak yang dipelihara dan dirawat dengan baik di kandang.
Pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan mendinginkan daging sampai -10’C,
iradiasi dan memasak daging sampai matang. (Luhullima dkk., 2017). Otopsi pada
babi dapat dilakukan dengan mudah dimana penghitungan kista yang ditemukan
dapat digunakan untuk memvalidasi tes immunodiagnostic. (Pertiwi dkk., 2011).
Dubius (ragu-ragu)

9. TERAPI
a. Obat Kimia

Mengobati penderita dengan praziquantel, mebendazole, albendazole,


niclosamide, dan atabrin, untuk menghilangkan sumber infeksi dan mencegah
terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing. Pengobatan per oral. Sebaiknya hanya
diberikan pada orang dewasa dengan cara pemberian sebagai berikut: 0.2 gram
antabrin diberikan setian 10 menit bersama sedikit air, sampai jumlah seluruhnya 1
gram. Bersama atabrin diberikan juga natrium bikarbonat dengan tekaran yang sama.
Dua jam kemudian dilakukan purgasi dengan larutan garam faali.
Transduodenal. Sesudah diberi penenang, pipa Ryle dimasukkan hingga
mencapai duodenum. Sebanyak 1 gram atabrin yang dilarutkan hingga 100 ml air,
dimasukkan kedalam pipa duodenum dengan bantuan alat suntik. purgasi dilakukan
30 menit sesudah pemberian obat.
b. Obat Herbal

Sejumlah obat-obatan serta bahan alami diketahui dapat membantu mengatasi


infeksi cacing pita pada usus. Dari sekian banyaknya, kunyit menjadi salah satu
bahan alami yang paling sering dipilih. Selain kunyit ada juga bahan lain yang dapat
digunakan seperti bawang putih, biji jambu ,wortel dan beberapa bahan lainnya.

10. PREVENTIF

Pengawasan terhadap penjualan dading babi agar tidak tercermar oleh larva
cacing (sistiserkus). Memasak daging babi diatas suhu 50ºC selama 30 menit untuk
mematikan larva sistiserkus atau menyimpan daging babi pada suhu 10ºC selama 15
hari. Menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak buang air besar di sembarang
tempat, contoh nya dengan menggunakan pemakaian jamban keluarga yang bersih
dan pembuangan sepiteng yang baik agar tidak mencemari tanah dan rumput.
Menjaga hygiene personal dengan rajin mandi, mencuci tangan sebelum makan atau
mengolah makanan dengan baik Memberikan vaksin padahewan ternak babi yaitu
dengan penggunaan crude antigen yang berasaladrionkosfer, sistisersi, atau cacing
dewasa Taenia solium. Memberikan cestosida yaitu praziquantel dan oxfendazole
pada hewan ternak babi.

11. KERUGIAN

Menurut beberapa peneliti, kerugian tidak langsung yang dikaitkan dengan


infeksi parasit meliputi terganggunya produksi ternak akibat penurunan tingkat
pertumbuhan, berat badan,  diarrhea, anorexia, dan kadang-kadang anemia(4-6).
Sementara itu, zoonosis parasit terus berkembang menjadi salah satu kajian penting
yang perlu mendapat perhatian. Sudah sejak lama Brotowidjoyo menyatakan bahwa
zoonosis parasit tidak hanya membahayakan jiwa manusia, melainkan juga
menggangu kesejahteraannya. Uraian berikut menjelaskan tentang pentingnya penang
gulang helminthiasis pada ternak di wilayah semi-ringkai kepulauan secara umum.

DAFTAR PUSTAKA

Afonso S, M. S, Samson M, Katarina H, Bettencourt P. S. C, Carles C, Margarita A,


dan Lu´ıs N. 2011. Prevalence and Morphological Characteristics of Taenia
multiceps Cysts (Coenurus Cerebralis) from Abattoir-Slaughtered and
Experimentally Infected Goats. Journal of Neuroparasitology. 2 (1).

Simatupang, C.V. 2019. Gambaran keadaan Taenia solium pada masyarakat


pardomuan nauli desa selayang kecamatan selesai kabupaten langkat. Laporan
Akir, 1 (2): 1-47

Wu X, Yan F, Deying Y, Runhui Z, Wanpeng Z, Huaming N, Yue X, Ning Y,


Guiying H, Xiaobin G, Shuxian W, Xuerong P, Guangyou Y. 2012. Detailed
Transcriptome Description of the Neglected Cestode Taenia multiceps. Jurnal
plos one. 7(9).

Zhang Y, Wei Z, Di Y, Yuan T, , Weizhe Z, and Aiqin L. 2018. Genetic


characterization of three mitochondrial gene sequences of goat/sheep-derived
coenurus cerebralis and cysticercus tenuicollis isolates in Inner Mongolia,
China. Parasite Journal. 25(1).
LAMPIRAN

a. Gambar Parasit

b. Gambar Organ Normal


c. Gambar Organ Terinfeksi
CYSTICERCOSIS

1. PENDAHULUAN
Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia Solium.yaitu
cacing pita pada babi.Nama lain dari larvanya adalah metacestoda, cacing
gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae. Larva terdapat dalam jaringan
berbentuk kista yang berisi cairan (metacestoda).Bentuk Cysticercus cellulosae yang
menyerang babi yaitu C. tenuicollis Sistiserkosis merupakan infeksi yang sering
terjadi pada babi dan manusia terutama dinegara berkembang. Penyebaran sistiserkus
pada manusia dipengaruhi oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak adanya
pemeriksaan kesehatan daging saat penyembelihan, dan konsumsi daging mentah
atau setengah matang.Penyebaran penyakit ini luas karena Taenia dapat memproduksi
puluhan bahran ratusan ribu telur tiap harinya yang dapat disebar oleh air hujan ke
lingkungan bahkan pada lokasi yang jauh dari tempat pelepasan telur. Cysticercosis
menjadi isu permasalahankesehatan diseluruh dunia karena menyebabkan masalah
kesehatan serta kerugian ekonomi yang besar pada negara berkembang yang memiliki
sistem sanitasi dan pemeliharaan yang buruk. Cysticercosis merupakan penyakit
zoonosis atau menular yang disebabkan oleh cacing pita golongan Taeniidae yaitu
Taenia solium dan Taenia saginata. Babi dan sapi bertindak sebagai inang perantara
yang menyebabkan cysticercosis babi (porcine) dan cysticercosis sapi (bovine).

2. NOMENKLATUR

kingdom  : Animalia
phylum : Platyhelminthes
class   : Cestoda
subclass   : Eucestoda
order : Cyclophyllidea
family   : Taeniidae
subfamily : Taeniinae 
genus  : Taenia
species   : Taenia multiceps
3. MORFOLOGI
Cyesticercus berbentuk seperti gelembung yang bulat dan ova dengan satu
kepala atau dinding yang menonjol kedalam gelembung. Dinding gelembung yang
masih muda sangattipis sedangkan dinding yang tua tebal hingga berbentuk kista.
Cysticercus cellulosae. Larva terdapat dalam jaringan berbentuk kista yang berisi
cairan (metacestoda).Bentuk Cysticercus cellulosae yang menyerang babi yaitu C.
tenuicollis

4. SIKLUS HIDUP

Taenia solium hidup di usus halus untuk mendapatkan kebutuhan nutrisi


hidupnya, bagian proglotidnya yang sudah matang mengandung sel telur yang telah
dibuahi (embrio) akan keluar bersama-sama feses manusia dan menjadi infektif.
Apabila telur T. solium termakan oleh babi, kemudian sampai pada usus maka
dindingnya dicerna, embrio heksakan (onkosfer) akan keluar dari telur menembus
dinding usus halus dan masuk ke saluran getah bening atau darah, kemudian akan
difiltrasi keluar otot lurik membentuk kista dan akan membesar membentuk
gelembung yang disebut sistiserkus selulosa. Sistiserkus biasanya ditemukan di otot
lidah, punggung, pundak babi, otot jantung, hati, dan otak3 serta dapat bertahan hidup
selama beberapa tahun pada hewan.

5. PATOGENESA

Ketika manusia menelan telur-telur tanpa sengaja akibat kontaminasi fecal-


oral atau autoinfeksi, maka akan menjadi titik terakhir stadium larva dari parasit dan
berkembang menjadi sistiserkosis seperti halnya pada babi. Telur cacing masuk
kedalam tubuh per oral melalui tangan yang tercemar. Selain itu kontaminasi fecal-
oral biasanya terjadi melalui penanganan makanan yang tidak higenis atau melalui
buah dan sayuran yang terkontaminasi feses manusia. Autoinfeksi terjadi sebagai
akibat gerakan rettrogesi proglotid dari intestinum menuju perut sehingga telur cacing
atau proglotida ikut masuk ke lambung dan usus, dan didalam lambung mebrio akan
keluar dari telur. Selanjutnya embriio akan menuju ke tempat predileksi melalui
lairan darah dan menjadi kista, kista ini sebagian besar berada didalam jaringan
subcutan, kemudian juga didalam kota. Daging babi berkista yang tertelan oleh
manusia tidak secara langsung menjadi carier-carier telur T. Solim yang apabila
tertelan oleh manusia lainnya maka akan menimbulkan gejala sistiserkosis.
6. GEJALA KLINIS
Gejala sistiserkosis bervariasi tergantung dari lokasi, jumlah larva, dan respon
pejamu. Kebanyakan gejala sistiserkosis yang timbul merupakan hasil dari inflamasi
degenerasi larva atau efek dari massa parasit. Sistiserkosis dapat tanpa gejala apabila
hanya terdapat sedikit lesi dan terletak di lokasi yang tidak strategis misalnya di otot,
atau beberapa daerah di otak, tetapi tetap bisa didiagnosa dengan sistiserkosis.Larva
di otak atau mata dapat menimbulkan gejala berat, bersifat neurotropik, sehingga
ditemukan di jaringan saraf atau neurosistiserkosis yang merupakan sistiserkosis
berat. Pada beberapa kasus, gejala dapat menimbulkan bahaya. Apabila terjadi tiba-
tiba, hal ini disebabkan oleh karena adanya blok cerebrospinal fluid (CSF) akibat
sistiserkus. Kejang merupakan manifestasi utama neurosistiserkosis (70- 90%) selain
sakit kepala kronik.

7. DIAGNOSA

Diagnosis sistiserkosis dapat dilakukan dengan cara ekstirpasi benjolan,


radiologis (CT scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI), deteksi antibodi
seperti teknik ELISA, Western Blot (EIBT), uji hemaglutinasi, deteksi coproantigen
pada tinja, dan deteksi DNA dengan teknik PCR. Pemeriksaan serologi terhadap
sistiserkosis perlu didukung dengan pemeriksaan tinja dengan metode mikroskopis
maupun deteksi coproantigen untuk mengetahui apakah penderita sistiserkosis juga
menderita taeniasis sehingga dapat menjadi sumber penularan bagi dirinya sendiri
maupun orang lain disekitarnya (worm carriers).

8. PROGNOSA

Dubius (ragu-ragu)

9. TERAPI

a. Obat Kimia
Pengobatan sistiserkosis selain pemberian oral juga dapat dilakukan
pembedahan untuk sistiserkus pada lokasi seperti mata, otak, dan tulang
belakang. Pengobatan neurosistiserkosis aktif memerlukan berbagai
pengobatan tambahan untuk mengatasi kista hidup, gejala, dan reaksi akibat
pengobatannya sendiri. Obat yang digunakan adalah praziquantel (50- 100
mg/kg dalam 3 dosis terbagi) selama 14 hari, albendazol (15 mg/kg bb dalam
2-3 dosis terbagi) selama 8 hari, kortikosteroid (10-30 mg dexametason
perhari, atau 60 mg prednison dilanjutkan dengan tappering off, dan obat
antikonvulsan seperti fenitoin atau fenobarbital.

b. Obat Herbal
Sejumlah obat-obatan serta bahan alami diketahui dapat membantu
mengatasi infeksi cacing pita pada usus. Dari sekian banyaknya, kunyit
menjadi salah satu bahan alami yang paling sering dipilih. Selain kunyit ada
juga bahan lain yang dapat digunakan seperti bawang putih, biji jambu ,wortel
dan beberapa bahan lainnya.

10. PREVENTIF

Memelihara kebersihan lingkungan dengan buang air besar tidak sembarangan


(menggunakan jamban keluarga) sehingga feses manusia tidak dimakan oleh
sapi/babi dan tidak mencemari tanah atau rumput. Pengaturan pemeliharaan sapi babi
seperti: memelihara sapi pada tempat yang tidak tercemar atau membuat kandang sapi
agar tidak dapat berkeliaran. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan di RPH (Rumah
Pemotongan Hewan), sehingga babi mengandung kista tidak sampai dikonsumsi
masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas peternakan). Daging yang
mengandung kista tidak boleh dimakan. Menghilangkan kebiasaan makan makanan
yang mengandung daging setengah matang atau mentah. Memasak daging babi di
atas suhu 50 C selama 30 menit untuk mematikan larva sistiserkus atau menyimpan
daging babi/sapi pada suhu 10 C selama 5 hari. Memberikan vaksin pada hewan
ternak babi (penggunaan crude antigen yang berasal dari onkosfer, sistisersi, atau
cacing dewasa Taenia solium).

11. KERUGIAN

kerugian tidak langsung yang dikaitkan dengan infeksi parasit meliputi


terganggunya produksi ternak akibat penurunan tingkat pertumbuhan, berat badan,
diarrhea, anorexia, dan kadang-kadang anemia(4-6 menimbulkan dampak terhadap
kesehatan masyarakat, pertanian dan perekonomian akan tetapi kurang mendapat
perhatian (neglected disease) di berbagai negara berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Simatupang, C.V. 2019. Gambaran keadaan Taenia solium pada masyarakat


pardomuan nauli desa selayang kecamatan selesai kabupaten langkat. Laporan
Akir, 1 (2): 1-47
Susanty,E. 2018. Taeniasis solium dan sistiserkosis pada manusia. JIK, 12 (1):1-6.
Yulianto, H., Satrija, F., Lukman, D.W. dan Sudarwanto, M. 2015. Seroprevalensi
Positif Sistiserkosis pada Babi Hutan di Kabupaten Way Kanan, Provinsi
Lampung. Jurnal Veteriner, 16 (2): 187-195.

LAMPIRAN

a. Gambar Parasit

b. Gambar Organ Normal

c. Gambar Organ Terinfeksi

Anda mungkin juga menyukai