Anda di halaman 1dari 41

TAENIASIS

A. DEFENISI

Taeniasis merupakan penyakit akibat infeksi parasit (cacing) yang


dapat ditemukan diseluruh dunia. Taeniasis adalah suatu penyakit zoonosis
(menular dari hewan ke manusia) yang disebabkan oleh cacing Teania.
Taeniasis umumnya ditemukan pada masyarakat dengan sanitasi yang
tidak baik. Salah satu penyebab Taeniasis yang umum ditemukan adalah
Taenia solium.
Taenia solium merupakan cacing pita pada babi. Di Indonesia,
kasus taeniasis banyak ditemukan di Provinsi Irian Jaya dimana konsumsi
terhadap daging babi sangat tinggi. Kista Taenia solium ini bersifat
neurocysticercosis yang teridentifikasi sebagai penyebab 30-50% kasus
epilepsi di negara berkembang (Alfonso et al 2011).
Manusia merupakan hospes definitive, sesangkan babi merupakan
hospes perantara. Menurut CFSPH 2005, konsumsi daging babi mentah
atau setengah matang merupakan faktor resiko terbesar penyebab
Taeniasis pada manusia.

B. SIKLUSHIDUP
Telur Taenia Solium masuk kedalam tubuh babi melalui pakan yang
tercemar oleh telur atau proglotid fravid Taenia Solium. Di dalam saluran
pencernaan babi, telur tersebut kemudian menetas menjadi oncosphere.
Oncosphere pecah yang kemudian menginvasi mukosa usus dan bermigrasi
ke otot menjadi sistiserkus. Sistiserkus tersebut dapat bertahan bertahun-
tahun di dalam otot. Manusia akan terinfeksi apabila :

Telur masuk kedalam tubuh babi/sapi melalui pakan yang tercemar


oleh telur atau proglotid gravid Taenia.
Dalam saluran pencernaan babi/sapi, telur menetas menjadi oncosphere
yang kemudian pecah. Oncosphere yang pecah kemudian menginvasi
mukosa usus dan bermigrasi ke otot menjadi sistiserkus. Sistiserkus dapat
bertahan hingga beberapa tahun. Manusia akan terinfeksi apabila
mengkonsumsi daging mentah atau tidak matang yang mengandung
sistiserkus

Di dalam saluran pencernaan manusia, selama ± 2 bulan sistiserkus


tersebut akan berubah menjadi cacing dewasa yang mampu bertahan
hingga beberapa tahun. Cacing dewasa akan melekat di mukosa usus
dengan scolex (pengait yang terdapat di bagian mulut).
Cacing dewasa akan menghasilkan proglotid yang akan berkembang
menjadi gravid/telur yang akan keluar melalui anus (bersama feses). Telur
tersebut akan bertahan di lingkungan selama beberapa minggu (CDC
2013).
C.CARAPENULARAN

Infeksi Taenia ke manusia dapat melalui makanan yaitu mengonsumsi


daging babi atau sapi yang terinfeksi Taenia yang tidak dimasak sempurna
atau mentah (CDC 2013). Infeksi sistiserkosis akan menyebabkan gejala
klinis pada saluran pencernaan, namun apabila mengkonsumsi sayuran
atau makanan yang tercemar telur Taenia maka cacing tersebut akan
tumbuh dan berkembang menjadi sistiserkosis yang terdapat di otot. (EC
2000).

Babi dapat terinfeksi akibat mengkonsumsi pakan yang tercemar telur


cacing atau memakan feses babi yang terinfeksi (OIE 2014).

D.GEJALAKLINIS
Gejala klinis pada babi yang terinfeksi umumnya tidak menunjukkan
gejala klinis sama sekali. Sistiserkus terdapat di otot, otak, hati dan jantung
(CFSPH2005)

Gejala klinis pada manusia umumnya bersifat asimptomatis, namun pada


sebagian kasus pasien akan mengalami rasa sakit pada perut, diare, pada
balita sebagian pasien mengalami muntah, diare, demam dan penurunan
berat badan (CFSPH 2005). Gejala klinis dipengaruhi oleh jumlah dan
lokasi larva.

E. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa Taeniasis pada manusia dapat berdasarkan gejala
klinis yang disertai dengan pemeriksaan telur, proglotid dan cacing dewasa
pada feses. Sedangkan pada babi dapat dilakukan pemeriksaan feses, dan
inspeksi daging atau nekropsi (OIE). Metacestoda dari Taenia Solium
dapat di palpasi pada lidah babi baik dalam keadaan hidup maupun post
mortem namun dengan tingkat infeksi cacing yang tinggi. Pada karkas
babi, sistiserkus umumnya ditemukan pada lidah dan otot (OIE). Selain
itu, diagnosa Taeniasis menggunakan ELISA juga dapat mendeteksi
cacing tersebut.

F. PENCEGAHAN
Pencegahan Taeniasis pada manusia dapat dilakukan dengan memasak
daging babi hingga matang, selain itu daging dapat dibekukan terlebih
dahulu untuk mengurangi resiko penularan (Estuningsih 2009). Pada
umumnya kejadian Taeniasis sering terjadi pada kondisi dengan sanitasi
yang tidak baik, sehinga untuk mencegah Taeniasis juga dapat dilakukan
dengan menjaga kebersihan.

G. PENGOBATAN

Pengobatan pada hewan dapat dilakukan dengan pemberian obat cacing


praziquantel, epsiprantel, mebendazole, febendazole. Apabila terdapat
sistiserkosis di dalam otot dalam dilakukan dengan teknik pembedahan.
Sedangkan pengobatan untuk manusia dapat dilakukan dengan pemberian
obat praziquantel, niclosamide, buclosamide, mebendazole. (Estuningsih
2009). Pada anak kecil yang terkena juga dapat diberikan obat cacing
tersebut.
REFERENSI:

1. Alfonso SMS, Vaz Y, Neves L, Pondja A, Dias G, Vilhena M, Duarte PC,


Jost CC, Noormahomed. 2011. Human and Porcine Taenia Solium
infections in mozambique: identifying research priorities. Animal health
research reviews 12 (1):123-129
2. [CDC] Center for Disease and Prevention. 2013. Taeniasis.
[www.cdc.gov/parasite/taeniasis] (1 Juni 2015)
3. [CFSPH] Center for food security and Public Health. 2005. Taenia
Infections. Iowa State University, College of Veterinary Medicine
4. European Commite. 2000. The control of taeniosis/cycticercosis in man
and animals. [www.ec.europa.eu]
5. Estuningsih SE. 2009. Taenisasi dan Sistiserkosis merupakan penyakit
zoonosis parasiter. Wartazoa 19 (2).
6. OIE (Organization ). 2014. Cysticercosis. OIE Terrestrial Manual Chapter
2.9.5
7. Sumber photo: Willingham AL. 2008. Combating Taenia solium
Cysticercosis in Southeast Asia: An Opportunity for Improving Human
Health and Livestock Production. Departement of Veterinary Pathology,
University of Copenhagen
PENYAKIT CACING TAMBANG

A. DEFENISI

Penyakit cacing tambang adalah penyakit infeksi yang disebabkan cacing


Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing ini banyak terdapat di
tanah di perkebunan kopi, teh dan karet. Disebut cacing tambang karena saat
ditemukan pertama kali oleh pekerja tambang yang menderita penyakit ini
sehingga disebut dengan cacing tambang.
Sekitar seperempat penduduk dunia terinfeksi oleh cacing tambang.
Infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan lembab, dengan tingkat
kebersihan yang buruk. Ancylostoma duodenale ditemukan di daerah
Mediteranian, India, Cina dan Jepang. Necator americanus ditemukan di daerah
tropis Afrika, Asia dan Amerika.

TAXONOMI

Phylum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Sub kelas : Secernantea

Ordo : Strongylida

Super family : Ancylostomatoidea

Famili : Ancylostomatidae

Genus : Ancylostoma dan Necator

Spesies : Ancylostoma duodenale (Dubini, 1843)

Necator americanus (Shiles, 1902)

(Jeffry HC dan Leach RM, 1983)


B. HOSPES DAN NAMA PENYAKIT YANG DISEBABKAN

Hospes dari N.americanus dan A.duodenale adalah manusia yang berhabitat di


usus halus manusia. Penyakit yang disebabkan oleh N.americanus adalah
Necatoriasis, dan A.duodenale menyebabkan Ankilostomiasis.

C.MORFOLOGI
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus manusia, dengan mulut yang melekat
pada mukosa dinding usus. Ancylostoma duodenale ukurannya ebih besar dari
Necator americanus. Yang betina ukurannya 10-13 mm x 0,6 mm, yang jantan 8-
11 x 0,5 mm, bentuknya menyerupai huruf C, Necator americanus berbentuk
huruf S, yang betina 9 – 11 x 0,4 mm dan yang jantan 7 – 9 x 0,3 mm. Rongga
mulut A.duodenale mempunyai dua pasang gigi, N.americanus mempunyai
sepasang benda kitin. Alat kelamin jantan adalah tunggal yang disebut bursa
copalatrix. A.duodenale betina dalam satu hari dapat bertelur 10.000 butir, sedang
N.americanus 9.000 butir. Telur dari kedua spesies ini tidak dapat dibedakan,
ukurannya 40 – 60 mikron, bentuk lonjong dengan dinding tipis dan jernih. Ovum
dari telur yang baru dikeluarkan tidak bersegmen. Di tanah dengan suhu
optimum23oC - 33oC, ovum akan berkembang menjadi 2, 4, dan 8
lobus.(parasitologi kedokteran, 2010).

D.DAUR HIDUP

Telur-larva rabditiform-larva filariform-menembus kulit-kapiler darah-jantung


kanan-paru-bronkus-trakea-laring-usus halus

Telur keluar bersama tinja, dalam waktu 1 – 2 hari telur akan berubah menjadi
larva rabditiform (menetas ditanah yang basah dengan temperatur yang optimal
untuk tumbuhnya telur adalah 23 – 300 C). Larva rabditiform makan zat
organisme dalam tanah dalam waktu 5 – 8 hari membesar sampai dua kali lipat
menjadi larva filariform, dapat tahan diluar sampai dua minggu, bila dalam waktu
tersebut tidak segera menemukan host, maka larva akan mati. larva filariform
masuk kedalam tubuh host melalui pembuluh darah balik atau pembuluh darah
limfa, maka larva akan sampai ke jantung kanan. Dari jantung kanan menuju ke
paru – paru, kemudian alveoli ke broncus, ke trakea dan apabila manusia tersedak
maka larva akan masuk ke oesophagus lalu ke usus halus (siklus ini berlangsung
kurang lebih dalam waktu dua minggu).

E.PATOLOGI DAN GEJALA KLINIK

Gejala necatoriasis dan ankislotomiasis

1. Stadium larva

Bila banyak filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit
yang disebut ground itch, dan kelainan pada paru biasanya ringan.

2. Stadium dewasa

Gejala tergantung pada:

a. Spesies dan jumlah cacing

b. Keadaan gizi penderita


Gejala klinik yang timbul bervariasi bergantung pada beratnya infeksi, gejala
yang sering muncul adalah lemah, lesu, pucat, sesak bila bekerja berat, tidak enak
perut, perut buncit, anemia, dan malnutrisi.

Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 –


0,1 cc sehari, sedangkan A. duodenale 0,08 – 0,34 cc. biasanya terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia.

Anemia karena Ancylostoma duodenale dan Necator americanus biasanya berat.


Hemoglobin biasanya dibawah 10 (sepuluh) gram per 100 (seratus) cc darah
jumlah erythrocyte dibawah 1.000.000 (satu juta)/mm3. Jenis anemianya adalah
anemia hypochromic microcyic.

Bukti adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun.

Menurut Noerhajati, sejumlah penderita penyakit cacing tambang yang dirawat di


Yogyakarta mempunyai kadar hemoglobin yang semakin rendah bilamana
penyakit semakin berat. Golongan ringan, sedang, berat dan sangat berat
mempunyai kadar Hb rata-rata berturut-turut 11,3 g%, 8,8 g%, 4,8% g% dan 2,6
g%.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja segar manusia dan
larva pada tinja yang sudah lama. Telur kedua spesies ini tidak dapat dibedakan,
untuk membedakan spesies, telur dibiakkan menjadi larva dengan salah satu cara,
yaitu Harada Mori.

G. PENGOBATAN

1. Prioritas utama adalah memperbaiki anemia dengan cara memberikan tambahan


zat besi per-oral atau suntikan zat besi.
2. Pada kasus yang berat mungkin perlu dilakukan transfusi darah.

3. Jika kondisi penderita stabil, diberikan obat pirantel pamoat atau mebendazol
selama 1-3 hari berturut-turut untuk membunuh cacing tambang. Obat ini tidak
boleh diberikan kepada wanita hamil karena bisa membahayakan janin yang
dikandungnya.

H. PENCEGAHAN

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara Sanitasi lingkungan, diantaranya:

1. Hindari berjalan keluar rumah tanpa memakai alas kaki

Kebiasaan tidak memakai alas kaki merupakan factor resiko yang kuat untuk
terjadinya infeksi cacing tambang.

2. Cuci tangan sebelum makan

cuci tangan, pekerjaan ini adalah Awal yang terpokok jika anda ingin tetap sehat.
Dimanapun dan kapanpun selalau ada bakteri atau mikroorganisme yang siap
masuk melawan tubuh kita 70 % perantara yang tepat adalah dari tangan, untuk
itu cuci tangan adalah salah satu tindakan preventif yang sangat tepat.

3. Hindari pemakaian feces manusia sebagai pupuk pada sayuran

Jika sayuran yang dimakan tidak bersih maka larva cacing akan ikut termakan
karena sayuran dipupuk menggunakan feces manusia yang telah terinfeksi.

4. Jika anda Ibu, awasi dan jaga anak anda main di Tanah

Dari sifat hidupnya, cacing tambang hidup pada tanah, sangat cepat menular
melalui kulit, melewati epidermis kulit teratas hingga terakhir, anak – anak
tentulah sangat mudah untuk dijadikan media untuk hidup si cacing tambang.
Untuk itu perlu awasi anak anda saat bermain di tanah atau di halaman rumah
yang memungkinkan adanya cacing tambang. Jika terlanjur memanjakan anak
anda, lakukan kegiatan prefentif yaitu bersihkan seluruh badan anak dari tanah
sehabis main.
5. Bersih Pakaian dan tempat

Mikroba penyebab infeksi ada dimana – mana, bahkan tempat maupun pakaian
kita yang terlihat bersihpun bisa saja terdapat kuman – kuman yang
membahayakan kesehatan. Dengan demikian Kebersihan atau sanitasi dan
higienis tempat anda sangat diperlukan untuk mempertahankan kesehatan anda
dan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

1. Safar, Rosdiana. 2010. Parasitologi Kedokteran. Yrama Widya. Bandung

2. Staf Pengajar Departemen Parasitologi, FKUI. 1998. Parasitologi Kedokteran,


edisi keempat. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
STRONGILOIDIASIS

A.DEFENISI

Strongyloidiasis adalah penyakit parasit manusia yang disebabkan oleh nematoda


( cacing gelang ) Strongyloides. Strongyloides infeksi harus ditangani bahkan
tanpa adanya gejala sebagai sindrom hyperinfection membawa tingkat kematian
tinggi. strongyloidiasis yang menyebar memerlukan pengobatan selama minimal 7
hari atau sampai parasit tidak bisa lagi diidentifikasi dalam spesimen klinis (
Carpenter A E R,2008 ).

B. SIKLUS HIDUP

Strongyloides siklus hidup ini lebih kompleks dibandingkan dengan nematoda


yang lainnya dan potensinya untuk autoinfection dan perkalian di dalam host.
Cacing ini mempunyai dua siklus hidup antara lain :
Larva rabditiform berlalu dalam tinja bisa meranggas dua kali dan
menjadi larva infektif filariform ( pengembangan langsung ) atau meranggas
empat kali dan menjadi dewasa jantan yang hidup bebas dan perempuan yang
kawin dan menghasilkan telur yang menetas larva dari rabditiform. Yang terakhir
pada gilirannya bisa berkembang menjadi generasi baru dewasa hidup bebas, atau
menjadi larva infektif filariform. Larva filariform menembus inang manusia kulit
untuk memulai siklus parasit ( Norman D.Levine,1994 ).

· Parasit siklus:

Larva filariform dalam terkontaminasi tanah menembus kulit manusia,


dan diangkut ke paru-paru di mana mereka menembus alveolar ruang, mereka
dibawa melalui bronkial pohon ke faring, ditelan dan kemudian mencapai usus
kecil. Dalam usus kecil mereka meranggas dua kali dan menjadi wanita dewasa
cacing. Perempuan yang tinggal ulir di epitel dari usus kecil dan dengan
partenogenesis menghasilkan telur, yang menghasilkan larva rabditiform.

Larva rabditiform bisa dilalui dalam tinja (lihat "siklus Free-hidup"


di atas), atau dapat menyebabkan autoinfection. Dalam autoinfection, larva
rabditiform menjadi larva infektif filariform, yang dapat menembus baik mukosa
usus (autoinfection internal) atau kulit daerah perianal (autoinfection eksternal),
dalam hal baik, larva filariform dapat mengikuti rute yang telah diuraikan
sebelumnya, sedang dilakukan berturut-turut ke paru-paru, pohon bronkial, tekak,
dan usus kecil di mana mereka tumbuh menjadi dewasa, atau mereka mungkin
menyebarkan secara luas di tubuh. Sampai saat ini, terjadinya autoinfection pada
manusia dengan infeksi kecacingan diakui hanya dalam stercoralis Strongyloides
dan philippinensis Capillaria infeksi. Dalam kasus Strongyloides, autoinfection
dapat menjelaskan kemungkinan infeksi terus-menerus selama bertahun-tahun
pada orang yang belum di daerah endemik dan hyperinfections pada individu
penurunan kekebalan tubuh.
C. ETIOLOGI

Strongyloides papillosus terdapat di seluruh dunia pada mukosa usus halus


domba, kambing, sapi, berbagai ruminansia lain, dan berbagai hewan lain. Cacing
ini lebih banyak terdapat pada hewan muda daripada dewasa. Cacing betina
parthenogenetik parasitic panjangnya 3,5 – 6,0 mm dan berdiameter 50 – 65
mikron dan menghasilkan telur berbentuk elips, berdinding tipis dan berembrio
berukuran 40-64 X 20-42 mikron. Cacing jantan hidup bebas panjangnya 700-825
mikron, dengan spikulum yang kuat, melengkung dengan panjang sekitar 33
mikron dan gubernaculum yang panjangnya 20 mikron dan lebar 2,5 mikron.
Cacing betina hidup bebas panjangnya 640-1200 mikron, dengan telur berkulit
tipis, telah berembrio, 42-48 x 23-30 mikron. Masa prepatan 7-9 hari.

Strongyloides ransomi terdapat di seluruh dunia pada mukosa usus halus


babi, cacing betina partenogenetik parasitic panjangnya 3,3-4,5 mikron dan
berdiameter 54-62 mikron, dan menghasilkan telur telah berembrio berbentuk
elips,berkulit tipis, berukuran 45-55 x 26-35 mikron. Cacing jantan hidup bebas
mempunyai panjang 868-899 mikron dengan spikulum melengkung yang
panjangnya 26-29 mikron dan gubernakulum dengan panjang 18-19 mikron.
Cacing betina hidup bebas panjangnya 1,0 – 1,1 mm. masa prepaten adalah 3-7
hari.

Strongyloides westeri terdapat di seluruh dunia pada mukosa usus halus


kuda, keledai, dan zebra. Cacing ini biasanya tidak banyak terdapat. Cacing betina
parasitic panjangnya 8-9 mm dan berdiameter 80-95 mikron ,mereka
menghasilkan telur berembrio berbentuk elips, berkulit tipis, berukuran 40-52 x
32-40 mikron. Masa prepaten sekitar 2 minggu.

Strongyloides stercoralis sangat umum terdapat di seluruh dunia pada


mukosa usus halus anjing ,kucing, manusia dan berbagai mamalia lain. Cacing
betina parasitic panjangnya 1,7-2,7 mm dan berdiameter 30-40 mikron. Mereka
menghasilkan telur berembrio 55-60 x 40-50 mikron yang cepat sekali menetas
sehingga larva stadium pertama terdapat pada tinja. Cacing jantan hidup bebas
panjangnya 650-1000 mikron dan berdimeter 40-50 mikron dan sebuah
gubernakulum. Cacing betina hidup bebas mempunyai panjang 0,9-1,7 mm dan
berdiameter 51-84 mikron dan menghasilkan telur berembrio berkulit tipis,
berukuran 58-60 x 40-42 mikron masa prepaten 8-17 hari atau lebih.

Strongyloides avium terdapat di Amerika Utara dan india pada sekum dan
usus halus ayam atau burung lain. Cacing ini jarang terdapat di daerah dingin.
Cacing betina parasitic panjangnya 2,2 mm dan berdiameter 40-45 mikron dan
menghasilkan telur yang berukuran 52-56 x 36-40 mikron. Cacing jantan hidup
bebas sekitar 780 mikron dan mempunyai spikulum dengan panjang sekitar 30
mikron. Cacing betina hidup bebas sekitar 860 mikron dan menghasilkan telur 48
x 22 mikron ( Norman D.Levine,1994 ).

D. EPIDEMIOLOGI

Strongyloidiasis ini endemik di daerah tropis dan subtropis dan terjadi


secara sporadis di daerah beriklim sedang. Di daerah tropis dan subtropis
prevalensi daerah secara keseluruhan dapat melebihi 25 persen. Tingkat infeksi
tertinggi di Amerika Serikat adalah di antara penduduk dari negara-negara
tenggara dan di antara individu -individu yang telah di daerah endemik ( termasuk
imigran, pengungsi, wisatawan dan personil militer) ( Posey dkk,2007 ).

Sebuah penelitian di Kanada, pengungsi Asia Tenggara diidentifikasi


seroprevalensi strongyloidiasis antara Kampucheans, Laos, dan Vietnam (
76,56,dan 12%, masing-masing ) ( Gyorkos,1990 ). Dalam studi lain, lebih dari 40
persen imigran Kamboja ke Australia telah atau samar-samar strongyloides
serologi positif mungkin mengindikasikan infeksi (Caruana dkk,2006).
E. PENULARAN

Cara-cara Penularan Larva infektif ( filaform ) yang berkembang dalam tinja atau
tanah lembab yang terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam
darah vena di bawah paruparu. Di paru-paru larva menembus dinding kapiler
masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trachea kemudian mencapai
epiglottis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam saluran pencernaan mencapai
bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi dewasa.

Cacing dewasa yaitu cacing betina yang berkembang biak dengan cara
partogenesis hidup menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama
pada duodenum, di tempat ini cacing dewasa meletakkan telornya. Telor
kemudian menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform. Larva
rhabditiform ini bergerak masuk kedalam lumen usus, keluar dari hospes melalui
tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat menginfeksi
hospes yang sama atau orang lain. Atau larva rhabditiform ini dapat berkembang
menjadi cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah.

Cacing dewasa betina bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur
yang segera mentas dan melepaskan larva non infektif rhabditiform yang
kemudian dalam 24-36 jam berubah menjadi larva infektif filariform. Kadangkala
pada orang-orang tertentu, larva rhabditiform dapat langsung berubah menjadi
larva filariform sebelum meninggalkan tubuh orang itu dan menembus dinding
usus atau menembus kulit di daerah perianal yang menyebabkan auotinfeksi dan
dapat berlangsung bertahun-tahun.

G.PATOGENESIS

Transimisi dengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari


tanah yang terkontaminasi, atau per-oral. Transmisi juga mungkin dapat terjadi
transplancental (dari ibu janin yang di kandungnya) dan transmammary ( dari ibu
ke bayinya melalui air susu ). Penetrasi larva filariform infektif menembus kulit
menimbulkan cutaneus larva migrans dan visceral larva migrans. Larva ini
kemudian menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke jantung
kanan dan kapiler pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler terbawa pulmonal dan
penetrasi kedalam aveoli paru-paru. Di duga saat keluar dari kapiler pulmonal
parasit menyebabkan perdarahan dan menimbulkan inflantrasi selular pada paru-
paru. Kadang dapat terlihat gambaran bercak infiltrate yang menyebar pada
gambaran radiologis paru (loeffer’s pneumonia). Kumpulan gejala klinis yang di
timbulkan oleh parasit muda ini saat sedang berada di paru dan saluran pernafasan
disebut dengan sindroma loeffler.Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran nafas
atas, sampai ke esophagus dan tertelan masuk ke lambung dan usus. Disana
parasit ini dengan cepat berkmbang menjadi dewasa. Betina lalu berkambang biak
secara parthenogenesis. Hewan betina juga berkembang biak melaui kopulasi
yang terjadi di duodenum atau jejunum.
Hiperinfeksi stongyloides stercoralis merupakan sindrom autoinfeksi yang
meningkatkan migrasi larva dan gejala gejala yang disebabkan oleh peningkatan
migrasi larva strongyloides stercoralis. Hiperinfeksi dapat berakibat fatal. Sebagai
penanda hiperinfekai adalah peningkatan deteksi jumlah larva dalam feses.
Strongyloides stercoralis hidup pada daerah beriklim tropis dan subtropis. Hanya
cacing betina dari jenis cacing ini yang hidup sebagai parasit di usus manusia,
terutama di duodenum dan jejunum. Telurnya menetas di kelenjar usus, kemudian
keluar bersama feces dalam bentuk larva rhabditiform. Larva ini akan berubah
menjadi larva filariform apabila sudah berada di tanah. Namun demikian, larva
filariform bisa juga terbentuk di dalam usus sehingga terjadi infeksi yang disebut
autoinfeksi interna.

Ada tiga tipe strongyloidiasis (nama penyakit yang disebabkan


Strongyloides stercoralis,-red) yaitu tipe ringan, tipe sedang, dan tipe berat. Tipe
ringan tidak memberikan gejala apa-apa. Pada tipe sedang, dapat menyebabkan
gangguan pada saluran pencernaan, umumnya gejala di usus. Jika sudah pada tipe
atau infeksi berat, penderita mengalami gangguan hampir di seluruh sistem tubuh
sehingga dapat menyebabkan kematian.

H.GEJALA / TANDA KLINIS

Gejala klinis umum yang sering terlihat hanya pada hewan sangat muda adalah
diare, anorexia, kusam, penurunan berat badan (Urquhart et.all. 1996).Pada waktu
cacing menetap di intestinum, akan terjadi penebalan yang luas dari dinding usus.
Pada serangan paru dapat terjadi pneumonitis dan eosinophilia.

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit timbul kelainan
kulit yang disebut creeping eruption yang disertai dengan rasa gatal yang hebat.
Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan
dengan strongiloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena
tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti
tertusuk-tusuk didaerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada
muntah, diare saling bergantian. Pada strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi
autoinfeksi atau hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai
parasit dapat ditemukan diseluruh traktus digestivus dan larvanya dapat
ditemukan diberbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Pada
pemerikasaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia
meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal.

I.DIAGNOSA

Berdasarkan literature yang ada, cara mendiagnosis penyakit


strongyloidiasis dapat dilakukan beberapa cara, yaitu :

a. Pendekatan Diagnostik

§ Sejarah dan pemeriksaan fisik

· Memperhatikan faktor risiko, eksposur khususnya steroid, perjalanan ke atau


tinggal di daerah endemik

· Kulit, GI, dan / atau paru-paru tanda / gejala

§ Laboratorium Evaluasi

· Serum eosinofilia (sering absen dalam infeksi berat)

· Serial analisis tinja larva rhabditiform

o Pemeriksaan contoh tunggal mendeteksi hanya ~ 30% infeksi tanpa komplikasi.

· Jika analisis tinja negatif, Strongyloides bisa diuji oleh sampling dari isi
duodenojejunalis oleh aspirasi atau biopsi.

· Uji Serologi

· Pada infeksi disebarluaskan, larva filariform harus dicari dari situs tinja dan
lain migrasi larva potensial.

o Dahak / cairan lavage (BAL) bronchoalveolar


o Cairan pleura / peritoneum

o Bedah drainase cairan

b. Laboratorium Pengujian

v Pemeriksaan untuk parasit

§ Deteksi larva dalam tinja.

o Larva Rhabditiform adalah 200-250 pM panjang, dengan rongga bukal pendek


yang membedakan mereka dari rhabditiform larva cacing tambang.

§ Serial pemeriksaan dan penggunaan metode deteksi plate agar meningkatkan


sensitivitas diagnosis tinja pada infeksi rumit.

§ Pemeriksaan Single-bangku mendeteksi hanya sekitar sepertiga dari infeksi ini.

§ Pemeriksaan feses mungkin berulang kali negatif.

§ Filariform larva (550 pM panjang) harus dicari pada infeksi disebarluaskan.

§ Sebuah contoh dari isi duodenojejunalis untuk pengujian dapat diperoleh dengan
aspirasi atau biopsi.

§ Pada infeksi disebarluaskan, sampel dari situs migrasi larva potensial harus
dianalisis untuk larva filariform.

o Dahak

o Cairan pleura / peritoneum

o Bedah drainase cairan

c. Imaging

Penelitian berikut harus dipertimbangkan dalam terang presentasi klinis dan


keparahan gejala:

· X-ray dada
o Dapat menunjukkan infiltrat alveolar atau interstisial

· Abdominal x-ray

· Barium menelan

· Barium Enema

J.TINDAKAN

Untuk mengurangi jumlah penyakit cacing strongyloidosis, dapat


dilakukan beberapa cara yang dapat membantu mengurangi penyakit tersebut,
yaitu :

a. Pencegahan

o Peningkatan tinja sanitasi di daerah endemik

o Menghindari kontak dengan kulit berpotensi terkontaminasi tanah

o Lakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat untuk benar-benar


memperhatikan kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan.

o Periksa semua najing, kucing, kera yang kontak dekat dengan manusia, obati
binatang yang terinfeksi cacing ini.

b. Pengobatan

- Ivermectin

v Dosis: 200 mg / kg sehari

v Jangka waktu

· Infeksi tanpa komplikasi: 1 atau 2 hari

· Infeksi yang menyebar

o Perluas pengobatan setidaknya 5-7 hari atau sampai parasit dimusnahkan


· Lebih efektif daripada Albendazole

· Lebih baik ditoleransi dibandingkan thiabendazole

- Albendazole

v Dosis: 400 mg PO tawaran selama 3 hari untuk infeksi tanpa komplikasi dan 7-10
hari untuk hyperinfection

- Thiabendazole

v Dosis: 25 mg / kg tawaran selama 2 hari (maksimal, 3 g / d)

· efek samping

o Mual

o Muntah

o Diare

o Pusing

o Neuropsikiatri gangguan
DAFTAR PUSTAKA:

1.Faust EC, Russel PF. Clinical Parasitology. 7th ed. Philadelphia. Lea &

Febriger. 1964 : 355- 65.

2.Manson – Bahr PH. Manson’s Tropical Diseases. 16th ed. London. ELBS &

BT and C. 1968 : 955 – 9.

3.Hunter GW, Frye WW, Swartzwelder JC. A Manual of Tropical Medicine.

3rd ed. London. WB Saunders Company. 1963 : 428 – 31.

4.Severe Malabsorption and Arthritis in an Immune Competent Host.


Availabl;http://www.ispub.com/ostia/index.php?xmlFilePath=journals/ijrh/vol2n2
/strongyloides.xml.

5.Strongyloidiasis.Availableathttp://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Strongyloidiasis
.htm

6.Gani EH. Helmintologi Kedokteran. Bagian Parasitologi Fakultas

Kedokteran USU Medan. Edisi 2002 : 26 – 9.

7.Hargreaves WH, Morrison RJG. The Practice of Tropical Medicine.

London. Staples Press. 1965 : 233 – 4.

8.Brown HW, Neva FA. Basic Clinical parasitology. United States of

America. Appleton Century Crofts. 1983 : 115 -9.

10.Miyazaki, Ichiro. An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses. Tokyo.

Shukosha Printing. 1991 : 355 – 61.


ASKARIASIS

A. DEFENISI

Askariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui.


Diperikan prevalensinya di dunia sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.
Biasanya bersifat asimtomatis. Prevalensi paling besar pada daerah tropis dan di
negara berkembang di mana sering terjadi kontaminasi tanah oleh tinja sebagai
pupuk. Gejala penyakitnya sering berupa pertumbuhan yang terhanbat,
pneumonitis, obstruksi intestinal atau hepatobiliar dan pancreatic injury.(soegeng
soegijanto,2005)

B. ETIOLOGI

Askariasis disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides. Cacing Ascariasis


lumbricoides dewasa tinggal di dalam lumen usus kecil dan memiliki umur 10-2
bulan. Cacing betina dapat menghasilkan 200.000 telur setiap hari. Telur fertil
berbentuk oval dengan panjang 45-70 µm. Setelah keluar bersama tinja, embrio
dalam telur akan berkembang menjadi infektif dalam 5-10 hari pada kondisi
lingkungan yang mendukung.
C. EPIDEMOLOGI

Askariasis merupakan infeksi cacing pada manusia yang angka kejadian


sakitnya tinggi terutama di daerah tropis dimana tanahnya memiliki kondisi yang
sesuai untuk kematangan telur di dalam tanah. Diperkirakan hampir 1 miliar
penduduk yang terinfeksi dengan 4 juta kasus di Amerika Serikat. Prevalensi pada
komunitas-komunitas tertentu lebih besar dari 80%. Prevalensi dilapokan terjadi
di lembah sungai Yangtze di Cina. Masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi
yang rendah memiliki prevalensi infeksi yang tinggi, demikian juga pada
masyarakat yang menggunakan tinja sebagai pupuk dan dengan kondisi geografis
yang mendukung. Walaupun infeksi dapat menyerang semua usia, infeksi
tertinggi terjadi pada anak-anak pada usia sebelum sekolah dan usia sekolah.
Penyebarannya terutama melalui tangan ke mulut (hand to mouth) dapat juga
melalui sayuran atau buah yang terkontaminasi. Telur askaris dapat bertahan
selama 2 tahun pada suhu 5-10 ºC. Empat dari 10 orang di Afrika, Asia, dan
Amerika Serikat terinfeksi oleh cacing ini.

Prevalensi dan intensitas gejala simtomatis yang paling tinggi terjadi pada
anak-anak. Pada anak-anak obstruksi intestinal merupakan manifestasi penyakit
yang paling sering ditemui. Diantara anak-anak usia 1-12 tahun yang berada di
rumah sakit Cape Town dengan keluhan abdominal antara 1958-1962, 12.8 % dari
infeksinya disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides. Anak-anak dengan askariasis
kronis dapat menyebabkan pertumbuhan lambat berkaitan dengan penurunan
jumlah makanan yang dimakan.

Menurut World Health Organization (WHO), intestinal obstruction pada


anak-anak menyebabkan komplikasi fatal, menyebabkan 8000 sampai 100,000
kematian per tahun.
D. PATOFISIOLOGI

Ascariasis lumbricoides adalah nematoda terbesar yang umumnya


menginfeksi manusia. Cacing dewasa berwarna putih atau kuning sepanjang 15-
35 cm dan hidup selama 10-24 bulan di jejunum dan bagian tengah ileum.

1. Cacing betina menghasilkan 240.000 telur setiap hari yang akan terbawa
bersama tinja.
2. Telur fertil jika jatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10
hari telur tersebut dapat menginfeksi manusia.
3. Telur dapat bertahan hidup di dalam tanah selama 17 bulan. Infeksi
umumnya terjadi melalui kontaminasi tanah pada tangan atau makanan.
4. Kemudian masuk pada usus dan akan menetas pada usus kecil
(deudenum).
5. Pada tahap kedua larva akan melewati dinding usus dan akan berpindah
melalui sistem portal menuju hepar (4d) dan kemudian paru.
6. Infeksi yang berat dapat di ikuti pneumonia dan eosinifilia. Larva
kemudian dibatukkan dan tertelan kembali menuju jejunum.
7. Diperlukan waktu 65 hari untuk menjadi cacing dewasa
E. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis tergantung pada intensitas infeksi dan organ


yang terlibat. Pada sebagian besar penderita dengan infeksi rendah sampai
sedang gejalanya asimtomatis atau simtomatis. Gejala klinis paling sering
ditemui berkaitan dengan penyakit paru atau sumbatan pada usus atau
saluran empedu. Gejala klinis yang nyata biasanya berupa nyeri perut,
berupa kolik di daerah pusat atau epigastrum, perut buncit (pot belly), rasa
mual dan kadang-kadang muntah, cengeng, anoreksia, susah tidur dan
diare.

Telur cacing askariasis akan menetas didalam usus. Larva


kemudian menembus dinding usus dan bermigrasi ke paru melalui
sirkulasi dalam vena. Parasit dapat menyebabkan Pulmonari ascariasis
ketika memasuki alveoli dan bermigrasi melalui bronki dan trakea.
Manifestasi infeksi pada paru mirip dengan sindrom Loffler dengan gejala
seperti batuk, sesak, adanya infiltrat pada paru dan eosinofilia. Cacing
dewasa akan memakan sari makanan hasil pencernaan host. Anak-anak
yang terinfeksi dan memiliki pola makanan yang tidak baik dapat
mengalami kekurangan protein, kalori, atau vitamin A, yang akhirnya
dapat mengalami pertumbuhan terlambat. Obstruksi usus, saluran empedu
dan pankreas dapat terjadi akibat sumbatan oleh cacing yang besar. Cacing
ini tidak berkembang biak pada host. Infeksi dapat bertahan selama umur
cacing maksimal (2 tahun), serta mudah terjadi infeksi berulang.

F. KOMPLIKASI

1. Spoilative action. Anak yang menderita askariasis umumnya dalam


keadaan distrofi. Pada penyelidikan ternyata askariasis hanya mengambil
sedikit karbohidrat ”hospes”, sedangkan protein dan lemak tidak
diambilnya. Juga askariasis tidak mengambil darah hospes. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa distrofi pada penderita askariasis disebabkan oleh diare
dan anoreksia.
2. Toksin. Chimura dan Fuji berhasil menbuat ekstrak askaris yang disebut
askaron yang kemudian ketika disuntikkan pada binatang percobaan
(kuda) menyebabkan renjatan dan kematian, tetapi kemudian pada
penyelidikan berikutnya tidak ditemukan toksin yang spesifik dari askaris.
Mungkin renjatan yang terjadi tersebut disebabkan oleh protein asing.
3. Alergi. Terutama disebabkan larva yang dalam siklusnya masuk kedalam
darah, sehingga sesudah siklus pertama timbul alergi terhadap protein
askaris. Karenanya pada siklus berikut dapat timbul manifestasi alergi
berupa asma bronkiale, ultikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loffler.
Simdrom Loffler merupakan kelainan dimana terdapat infiltrat (eosinofil)
dalam paru yang menyerupai bronkopneumonia atipik. Infiltrat cepat
menghilang sendiri dan cepat timbul lagi dibagian paru lain. Gambaran
radiologisnya menyerupai tuberkulosis miliaris.Disamping itu terdapat
hiperesinofilia (40-70%). Sindrom ini diduga disebabkan oleh larva yang
masuk ke dalam lumen alveolus, diikuti oleh sel eosinofil. Tetapi masih
diragukan, karena misalnya di indonesia dengan infeksi askaris yang
sangat banyak, sindrom ini sangat jarang terdapat, sedangkan di daerah
denagn jumlah penderita askariasis yang rendah, kadang-kadang juga
ditemukan sindrom ini.
4. Traumatik action. Askaris dapat menyebabkan abses di dinding usus,
perforasi dan kemudian peritonitis. Yang lebih sering terjadi cacing-cacing
askaris ini berkumpul dalam usus, menyebabkan obstuksi usus dengan
segala akibatnya. Anak dengan gejala demikian segera dikirim ke bagian
radiologi untuk dilakukan pemeriksaan dengan barium enema guna
mengetahui letak obstruksi. Biasanya dengan tindakan ini cacing-cacing
juga dapat terlepas dari gumpalannya sehingga obstruksi dapat
dihilangkan. Jika cara ini tidak menolong, maka dilakukan tindakan
operatif. Pada foto rontgen akan tampak gambaran garis-garis panjang dan
gelap (filling defect).
5. Errantic action. Askaris dapat berada dalam lambung sehingga
menimbulkan gejala mual, muntah, nyeri perut terutama di daerah
epigastrium, kolik. Gejala hilang bila cacing dapat keluar bersama muntah.
Dari nasofaring cacing dapat ke tuba Eustachii sehingga dapat timbul otitis
media akut (OMA) kemudian bila terjadi perforasi, cacing akan keluar.
Selain melalui jalan tersebut cacing dari nasofaring dapat menuju laring,
kemudian trakea dan bronkus sehingga terjadi afiksia. Askaris dapat
menetap di dalam duktus koledopus dan bila menyumbat saluran tersebut,
dapat terjadi ikterus obstruktif. Cacing dapat juga menyebabkan iritasi dan
infeksi sekunder hati jika terdapat dalam jumlah banyak dalam kolon maka
dapat merangsang dan menyebabkan diare yang berat sehingga dapat
timbul apendisitis akut.
6. Irritative Action. Terutama terjadi jika terdapat banyak cacing dalam usus
halus maupun kolon. Akibat hal ini dapat terjadi diare dan muntah
sehingga dapat terjadi dehidrasi dan asidosis dan bila berlangsung
menahun dapat terjadi malnutrisi.
7. Komplikasi lain. Dalam siklusnya larva dapat masuk ke otak sehingga
timbul abses-abses kecil; ke ginjal menyebabkan nefritis; ke hati
menyebabkan abses-abses kecil dan hepatitis. Di indonesia komplikasi ini
jarang terjadi tetapi di srilangka dan Filipina banyak menyebabkan
kematian.

G. DIAGNOSIS

1) Ditegakkan dengan :

i. Menemukan telur Ascaris lumbricoides dalam tinja.

ii. Cacing ascaris keluar bersama muntah atau tinja penderita

2) Pemeriksaan Laboratorium

i. Pada pemeriksaan darah detemukan periferal eosinofilia.


ii. Detemukan larva pada lambung atau saluran pernafasan pada
tenyakit paru.

iii. Pemeriksaan mikroskopik pada hapusan tinja dapat


digunakan untuk memeriksa sejumlah besar telur yang di ekskresikan melalui
anus.

3) Pemeriksaan Foto

i. Foto thoraks menunjukkan gambaran otak pada lapang


pandang paru seperti pada sindrom Loeffler

ii. Penyakit pada saluran empedu

a) Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) memiliki


sensitivitas 90% dalam membantu mendiagnosis biliary ascariasis.

b) Ultrasonography memiliki sensitivitas 50% untuk membantu membuat


diagnosis biliary ascariasis.
H. PENGOBATAN

1. Obat pilihan: piperazin sitrat (antepar) 150 mg/kg BB/hari, dosis tunggal
dengan dosis maksimum 3 g/hari

2. Heksil resorsinol dengan dosis100 mg/tahun (umur)

3. Oleum kenopodii dengan dosis 1 tetes/tahun (umur)

4. Santonin : tidak membinasakan askaris tetapi hanya melemahkan. Biasanya


dicampur dengan kalomel (HgCl= laksans ringan) dalam jumlah yang sama
diberikan selama 3 hari berturut-turut.

Dosis : 0-1tahun = 3 x 5 mg

1-3 tahun = 3 x 10 mg

3-5 tahun = 3 x 15 mg

Lebih dari 5 tahun =3 x 20 mg

Dewasa = 3 x 25 mg

5. Pirantel pamoat (combantrin) dengan dosis 10 mg/ kg BB/hari dosis tunggal.

6. Papain yaitu fermen dari batang pepaya yang kerjanya menghancurkan


cacing. Preparatnya : Fellardon.

7. Pengobatan gastrointestinal ascariasis menggunakan albendazole (400 mg


P.O. sekali untuk semua usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3 hari atau 500
mg P.O. sekali untuk segala usia) atau yrantel pamoate (11 mg/kg P.O. sakali,
dosis maksimum 1 g). Piperazinum citrate (pertama : 150 mg/kg P.O. diikuti 6
kali dosis 6 mg/kg pada interval 12 hari)
Prognosis : baik, terutama jika tidak terdapat komplikasi dan cepat diberikan
pengobatan.

I. PENCEGAHAN

Program pemberian antihilmitik yang dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Memberikan pengobatan pada semua individu pada daerah endemis

2. Memberikan pengobatan pada kelompok tertentu dengan frekuensi infeksi


tinggi seperti anak-anak sekolah dasar.

3. Memberikan pengobatan pada individu berdasarkan intensitas penyakit atau


infeksi yang telah lalu.

4. Peningkatan kondisi sanitasi

5. Menghentikan penggunaan tinja sebagai pupuk.

6. Memberikan pendidikan tentang cara-cara pencegahan ascariasis.


DAFTAR PUSTAKA

1.Soegijanto, Soegeng.2005.Kumpulan Makalah Penyakit Tropis Dan Infeksi Di


Indonesia Jilid 4. Surabaya: Airlangga University Press

2.Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia.2002. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2.Jakarta :Percetakan Info
Medika Jakarta
SCHISTOSOMIASIS

A. DEFENISI

Schistosomiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh sejenis cacing


trematoda baik oleh cacing jantan maupun cacing betina yang hidup dalam
pembuluh darah vena mesenterica atau pembuluh darah vena kandung kemih dari
inang selama siklus hidup bertahun-tahun. Telur membentuk granulomata dan
jaringan parut pada organ dimana telur diletakkan.
Di dunia terdapat empat spesies Schistosoma yang merupakan penyakit
parasitik pada manusia, yaitu : Schistosoma haematobium, S. mansoni, S.
japonicum dan S. mekongi.
Infeksi didapat melalui air yang mengandung bentuk larva yang berenang
bebas (serkaria) yang sebelumnya berkembang di tubuh keong. Telur S.
haematobium dikeluarkan dari tubuh mamalia, umumnya melalui urin, sedangkan
spesies lain melalui feces. Telur menetas di air dan melepaskan larva (mirasidium)
memasuki tubuh keong air tawar yang cocok sebagai inang. Setelah beberapa
minggu, serkaria muncul dari keong dan menembus kulit manusia, biasanya
ketika orang sedang bekerja,berenang atau melintasi air, serkaria kemudian
memasuki aliran darah, dibawa ke pembuluh darah paru berpindah ke hati,
berkembang menjadi matang dan migrasi ke pembuluh darah vena di rongga
perut.
Bentuk dewasa cacing S. mansoni, S. japonicum, S. mekongi, S. mattheei
dan S. intercalatum biasanya tinggal di vena mesenterika; S. haematobium
biasanya berpindah melalui anastomosis dari vena dan sampai pada plexus dari
kandung kemih. Telur cacing diletakkan pada venulae dan kemudian lepas masuk
ke rongga usus besar, kandung kemih atau organ lain termasuk hati dan paru-paru.
(Sudomo M. 2008)
B. MORFOLOGI SISTOSOMA
Morfologi Schistosoma berbeda denga Termatoda yang khas, karena
bentuknya yang kecil memanjang dan jenis kelamin yang terpisah. Cacing jantan
yang lebih besar dan berwarna kelabu mempunyai ujung anterior yang silindris
dan badannya yang lebih kuat terlipat membentuk canalis gynaecophoris ventral
panjang dan didalamnya terdapat cacing betina yang berwarna lebih tua yang
langsing yang dipeluk selama kopulasi. Integymen adalah halus atau mempunyai
tonjolan, tergantung daripada spesies. Usus bercabang menjadi dua coecum, yang
menggabungkan diri dibagian posterior badan yang menjadi saluran tunggal yang
buntu. Jumlah testis pada cacing jantan dan panjangnya uterus dan jumlah telur
adalah tertentu untu masing-masing spesies. Sistem ekskresi terdiri atas sel api,
saluran pengumpul, dan dua saluran panjang yang masuk menuju kandung
kencing kecil dengan satu porus ekskresi di ujung. (Brown. 1979) Ukuran tubuh
cacing Schistosoma jantan lebih besar tetapi lebih pendek dari pada cacing betina.
Cacing jantan berukuran 9,5 – 19,5 mm x 0,9 mm (tergantung dari spesiesnya)
dan cacing betina 16,0 – 26,0 mm x0,3 mm (tergantung dari spesiesnya) (Sudomo
M. 2008)

C. SIKLUS HIDUP
Cacing dewasa yang halus, besarnya 0,6 – 2,5 cm, hidup berpasangan
yang betina di dalam canalis gynaecophorus cacing jantan. Tergantung daripada
spesies cacing, antara 300 (S. mansoni) sampai 3500 (S.Japonicum) telur ehari
dikeluarkan ke dalam vena. Bentuk larva yaitu miracidium terbentuk di dalam
telur, enzim litik dan kontraksi vena menyebabkan pecahnya dinding vena dan
telur di lepaskan ke dalam jaringan perivaskular usus atau kandung kencing. Telur
dapat keluar ke dalam lumen alat-alat ini dikeluarkan ke dalam tinja atau urine.
Bilamana tersentuh air dingin miracidium menetas keluar dari telur dan berenang
bebas menemukan keong yang sesuai, yang kemudian di tembusnya. Sesudah
melelui dua tingkat perkembangan sporokista dan bertambah banyak di dalam
keong, cercaria dengan ekor bercabang keluar. Sewaktu mandi, berenang, bekerja
atau mencuci pakaian, kulit manusia berkontak dengan cercaria yang berenang
bebas, melekatkan diri dan masuk ke dalam sampai jaringan kapiler perifer setelah
airmenguap pada permukaan kulit. Bilamana tertelan dengan air cercaria
menembus selaput lendir mulut dan leher. Cercaria terbawa oleh darah aferen ke
jantung sebelah kanan dan paru-paru. Mereka menerobos kapiler paru-paru,
terbawa ke dalam sirkulasi sistemik dan melewati sluran portal. Di dalam system
vena porta bagian hepar Trematoda ini mengambil makanan dan tumbuh dengan
cepat. Kira-kira 3 minggu sesudah infeksi kedalam kulit, cacing dewasa mudah
berpindah berlawanan dengan darah portal masuk ke dalam vena mesenterium,
kandung kencing dan panggul. Periode prepaten untuk S. mansoni adalah 7-8
minggu, S.haematobium 10-12 minggu dan S.japonicum 5-6 minggu. Cacing
dewasa dapat hidup selama 30 tahun pada manusia. (Brown. 1979)

D. GAMBARAN PENYAKIT
Manifestasi klinis Schistosomiasis secara umum mempunyai gejala klinis
awal yang sama, misalnya gatal-gatal pada saat serkaria telah masuk ke dalam
kulit, kalau serkaria yang masuk ke dalam kulit cukup banyak akan terjadi
dermatitis. Kemudian pada saat larva cacing melewati paru akan terjadi batuk
berdahak dan demam. Padastadium berikutnya akan terjadi gejala disentri atau
urtikaria (pada infeksi S. haematobium). Schistosomiasis mansoni, japonikum dan
mekongi dapat menyebabkan hepatomegali (pembengkakan hati) dan
splenomegali (pembengkakan limpa). Pada penderita schistosomiasis japonikum
dan mekongi yang sudah parah akan menderita asites yang diikuti dengan
kematian. (Sudomo M. 2008)

E. DIAGNOSIS PENYAKIT
Diagnosis untuk penyakit Schistosomiasis adalah dengan cara
pemerikasaan tinja dan Pemeriksaan urine. Cara pemeriksaan tinja adalah Tinja
yang keluar seluruhnya harus dicampur baik-baik dengan 0,5% larutan glycerin
dalam air dan sesudah sedimentasi di dalam gelas runcing cairan yang terdapat di
atas harus dituang. Mencampur dan menuang harus dilakukan beberapa kali
sampai hanya tertinggal sisa sedikit yang diperiksa di bawah mikroskop. (Brown.
1979)
Dengan pemeriksaan urine. Urine yang dikeluarkan dalam sehari di
sedimentasi dalam gelas berbentuk kerucut. Kemudian ditambahkan air sebelum
dipanasi 600C untuk membunuh infusoria kedalam sediment, miracidium yang
bebas berenang yang baru menetas dapat dilihat dengan cahaya tidak langsung
dengan dasar hitam. Menetasnya miracidium merupakan indeks telur yang masih
hidup. (Brown. 1979)

F. TERAPI OBAT
Pengobatan schistosomiasis pada dasarnya adalah :mengurangi dan
mencegah kesakitan dan mengurangi sumber penular. Sebelum ditemukan obat
yang efektif,berbagai jenis obat telah dipakai untuk mengobati penderita
schistosomiasis, misalnya, hycanthone,niridazole, antimonials, amocanate dsb.
Obat-obat tersebut tidak efektif dan beberapa sangat toksik. Pada saat ini obat
yang dipakai adalah Praziquantel. (Sudomo M. 2008)
Praziquantel sangat efektif terhadap semua bentuk schistosomiasis, baik
dalam fase akut, kronik maupun yang sudah mengalami splenomegali atau bahkan
yang mengalami komplikasi lain. Obat tersebut sangat manjur, efek samping
ringan dan hanya diperlukan satu dosis yaitu 60 mg/kg BB yang dibagi dua dan
diminum dalam tenggang waktu 4-6 jam. (Tjay, Tan Hoan & Rahardja,
Kirana.2007)

Berikut profil obat Praziquantel:


· Praziquantel merupakn derivate pirazino-isokuinolin.
· Obat ini merupakan antelmintik berspektrum lebar,
· Efektif terhadap cestoda dan termatoda pada hewan dan manusia
· Praziquantel berbentuk Kristal tidak berwarna dan rasanya pahit
(Syarief et al. 1972)
Efek Anthelmintik
In vitro, Praziquantel diambil secara cepat dan reversible oleh cacing tapi
tidak di metabolisme. Kerjanya cepat melalui 2 cara.
1. Pada kadar efektif terendah menimbulkan peningkatan aktivitas otot cacing,
karena hilangnya Ca2+ intrasel sehingga tumbul kontraksi dan paralisis spastik
yang sifat reversible, yang mungkin mengakibatkan terlepasnya cacing dari
tempatnya yang normal dari hospes.
2. Pada dosis terapi yang lebih tinggi Praziquantel mengakibatkan vakuolisasi dan
vesikulasi tegument cacing sehingga isi cacing keluar, mekanisme pertahanan
hospes dipacu dan terjadi kehancuran cacing.
Praziquentel efektif terhadap cacing dewasa jantan dan betina, juga efektif
terhadap bentuk imatur. (Syarief et al. 1972)

Farmakokinetik
· Pada pemberian oral absorpsinya baik
· Kadar maksimal dalam darah tercapai dalam 1-3 jam
· Metabolisme obat berlangsung cepat di hati
· Waktu paro obat 0,8-1,5 jam
· Ekskresi sebagian besar melalui urin dan sisanya melalui empedu.
(Syarief et al. 1972)

G. KONSELING
Konseling yang harus di berikan kepada masyarakat luas untuk melakukan
pencegahan penyakit. Sedangkan, Konselng untuk orang yang sudah terinfeksi
Schistosomiasis adalah efek samping obat, kontraindikasi, cara penggunaan dan
dosis obat yang tepat.

H. PENCEGAHAN
· Memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang cara cara
penularan dan cara pemberantasan penyakit ini.
· Buang air besar dan buang air kecil dijamban yang saniter agar telur cacing
tidak mencapai badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai inang
antara. Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S. japonicum perlu dilakukan
tetapi biasanya tidak praktis.
· Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian; mengurangi habitat keong dengan
membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau dengan mengeringkan dan
mengalirkan air
· Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya yang
tersedia mungkin terbatas untuk penggunaan moluskisida ini)
· Untuk mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi (contoh : gunakan
sepatu bot karet). Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah terpajan dengan air
yang terkontaminsai dalam waktu singkat atau secara tidak sengaja yaitu kulit
yang basah dengan air yang diduga terinfeksi dikeringkan segera dengan handuk.
Bisa juga dengan mengoleskan alkohol 70% segera pada kulit untuk membunuh
serkaria.
· Persediaan air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian hendaknya
diambil dari sumber yang bebas serkaria atau air yang sudah diberi obat untuk
membunuh serkariannya. Cara yang efektif untuk membunuh serkaria yaitu air
diberi iodine atau chlorine atau dengan menggunakan kertas saring. Membiarkan
air selama 48 ?72 jam sebelum digunakan juga dianggap efektif.
· Obati penderita di daerah endemis dengan praziquantel untuk mencegah
penyakit berlanjut dan mengurangi penularan dengan mengurangi pelepasan telur
oleh cacing.
· Para wisatawan yang mengunjungi daerah endemis harus diberitahu akan risiko
penularan dan cara pencegahan.(Anonim.2009)

Efek Samping Obat


· Sakit kepala, Pusing
· Mengantuk, Lelah
· Mual, Muntah
· Demam
· Ocular cysticercosis
(Syarief et al. 1972)

Kontraindikasi
· Wanita hamil dan menyusui
· Orang yang membutuhkan koordinasi fisik
· Ocular cysticercosis
· Pasien dengan gangguan fungsi hati memerlukan penyesuaian dosis
(Syarief et al. 1972)

Posologi
· Untuk infeksi S. haematobium dan S mansoni diberikan dosis tunggal
40mg/kgBB atau dosis tunggal 20mg/kgBB tang di ulangi lagi sesudah 4-6jam
· Untuk infeksi S. japonicum diberikan dosis tunggal 3mg/kgBB yang diulangi lagi
sesudah 4-6 jam.
· Praziquantel harus diminum dengan air sesudah makan dan tidak boleh di kunyah
karena rasany pahit.
(Syarief et al. 1972)
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 2009. Schitosomiasis dan Anaplasmosis.


http://yudhiestar.blogspot.com/2009/10/schistosomiasis-dan-
anaplasmosis.html
2. Brown W, Harold. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta: PT.Gramedia
3. Sudomo M. 2008. Penyakit Parasitik Yang Kurang Diperhatikan di
Indonesia. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Repunlik Indonesia
4. Syarif, A. Estuningsih, A. dkk. 1972. Farmakologi dan Terapi. Jakarta :
Universitas Indonesia
5. Tjay, Tan Hoan & Rahardja, Kirana. Obat-obat penting: khasiat,
penggunaan dan efek-efek sampingnya. 2007. Elex Media Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai