a. Definisi Askariasis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau yang secara umum dikenal sebagai cacing gelang (Onggowaluyo, 2002). Ascaris lumbricoides adalah salah satu spesies cacing yang termasuk ke dalam Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Rhabditia, Famili Ascarididae dan Genus Ascaris. Cacing gelang ini tergolong Nematoda intestinal berukuran terbesar pada manusia. Distribusi penyebaran cacing ini paling luas dibanding infeksi cacing lain karena kemampuan cacing betina dewasa menghasilkan telur dalam jumlah banyak dan relatif tahan terhadap kekeringan atau temperatur yang panas (Ideham dan Pusarawati, 2007). b. Patofisiologi Tarigan (2011) menyebutkan bahwa gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut Sindroma Loeffler. Akumulasi sel darah putih dan epitel yang mati membuat sumbatan menyebabkan Ascaris pneumonitis. Menurut Tarigan (2011) gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (Malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive). c. Etiologi Ascariasis tidak menular langsung dari orang ke orang. Penularan terjadi ketika seseorang menelan telur Ascaris lumbricoides, dapat berasal dari makanan dan air yang sudah terkontaminasi kotoran manusia. Ada beberapa kondisi yang menambah kemungkinan seseorang untuk terkena askariasis, diantaranya: 1. Anak usia pra sekolah atau lebih muda (kelompok usia 3-8 tahun) - karena mereka sering meletakkan tangan ke mulut setelah bermain di tanah atau air yang terkontaminasi. 2. Hidup di negara beriklim tropis. 3. Makan-makanan kotor dan tidak sehat. 4. Minum air dari sumber yang tidak bersih. d. Gejala klinis Pada kebanyakan kasus tidak terdapat gejala. Namun, indikasi dari adanya Ascaris adalah gangguan nutrisi dan akan mengganggu pertumbuhan anak. Pada umumnya pasien akan mengalami demam, urticaria, malaise, kolik intestinal, mual, muntah, diare.Migrasi larva Ascaris melewati paru akan menyebabkan pneumonitis dan bronchospasm. Pada umumnya akan didapati eosinofilia. e. Periksa penunjang Cara menegakkan diagnosis Ascariasis biasanya melalui pemeriksaan laboratorium karena gejala klinis dari penyakit ini tidak spesifik. Secara garis besar Ascariasis dapat ditegakkan berdasarkan kriteria sebagai berikut: 1. Ditemukannya telur A. lumbricoides fertilized, unfertilized, maupun dekortikasi di dalam tinja seseorang. 2. Ditemukannya larva A. Lumbricoides di dalam sputum seseorang. 3. Ditemukannya cacing dewasa keluar melalui anus ataupun bersama dengan muntahan (Gillespie dkk, 2001; Rampengan, 2008). Jika terjadi Ascariasis oleh cacing jantan, di tinja tidak ditemukan telur sehingga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto thorak (Nata disastra, 2012).
2. Cacing Pita (Taeniasis)
a. Definisi Taeniasis merupakan penyakit akibat infeksi parasit (cacing) yang dapat ditemukan diseluruh dunia. Taeniasis adalah suatu penyakit zoonosis (menular dari hewan ke manusia) yang disebabkan oleh cacing Teania. Taeniasis umumnya ditemukan pada masyarakat dengan sanitasi yang tidak baik. Salah satu penyebab Taeniasis yang umum ditemukan adalah Taenia Solium. Taenia Solium merupakan cacing pita pada babi. Di Indonesia, kasus taeniasis banyak ditemukan di Provinsi Irian Jaya dimana konsumsi terhadap daging babi sangat tinggi. Kista Taenia Solium ini bersifat neurocysticercosis yang teridentifikasi sebagai penyebab 30-50% kasus epilepsi di negara berkembang (Alfonso et al 2011). b. Patofisiologi Babi merupakan inang antara dari Taenia solium dan manusia bertindak sebagai inang definitifnya. Namun, anjing dan manusia dapat menjadi inang antara dari cacing ini akibat autoinfeksi dan kontaminasi lingkungan . Siklus hidup Taenia solium berawal dari tertelannya telur infektif cacing ini oleh inang. Telur tersebut selanjutnya akan pecah di dalam lambung inang antaranya akibat bereaksi dengan asam lambung. Onkosfer yang telah menetas selanjutnya melakukan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan ikut mengalir bersama darah ke seluruh organ. Onkosfer tersebut akan berkembang menjadi sistiserkus setelah mencapai otot, jaringan subkutan, otak, hati, jantung, dan mata. Siklus hidup Taenia solium akan berlanjut jika manusia sebagai inang definitifnya memakan daging babi yang mengandung sistiserkus tanpa proses pemasakan sempurna yaitu pemanasan lebih dari 60 °C. Sistiserkus selanjutnya mengadakan invaginasi pada dinding usus halus manusia dan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa ini mulai melepaskan proglotida gravidnya dua bulan setelah infeksi.. Telur infektif yang terkandung dalam penderita taeniasis inilah yang menjadi pencemar . Cacing pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam feses penderita taeniasis anatara 8-12minggu setelah orang tersebut terinfeksi. Sewaktu-waktu, proglotida gravid yang berisi telur akan dilepaskan dari ujung strobila cacing dewasa dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Proglotida tersebut akan keluar melalui feses penderita. Telur dapat pula keluar dari proglotida pada waktu berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh manusia, telur akan menyebar ke tanah di lingkungan sekitar dan telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan. c. Etiologi Penyebab penyakit Taeniasis adalah Taenia soliumyang biasanya terdapat pada daging babi, dimana cacing tersebut dapat menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan (oleh cacingdewasa), dan bentuk larvanya dapat menyebabkan infeksi somatik (sistisersi). Cacing Taeniasaginata, pada daging sapi hanya menyebabkan infeksi pada pencernaan manusia oleh cacingdewasa. d. Gejala Klinis Kait-kait pada skoleks Taenia solium umunya tidak banyak menimbulkan gangguan pada dinding usus tempatnya melekat (Handojo dan Margono, 2008b). Penderita taeniasis umumnya asimptomatik (Pearson, 2009a; Tolan, 2011; Handojo dan Margono, 2008b) atau mempunyai keluhan yang umumnya ringan, berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala, anemia (Soedarto, 2008), nyeri abdomen, kehilangan berat badan, malaise, anoreksia (Tolan, 2011), peningkatan nafsu makan (CFSPH, 2005), rasa sakit ketika lapar (hunger pain), indigesti kronik, dan hiperestesia (Ideham dan Pusarawati, 2007). Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait yang menembus dinding usus (Soedarto, 2008). Sering dijumpai kalsifikasi pada sistiserkus namun tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi, dan osinofilia (Handojo dan Margono, 2008b) . Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada anak-anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit makanan. Pada anak-anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan berat badan, dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah insomnia, malaise, dan kegugupan (CFSPH, 2005). Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi yang menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat (Ideham dan Pusarawati, 2007) e. Periksa Penunjang Diagnosis pasti Taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa (segmen atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau pada pemeriksaan daerah perianal. Namun, telur dan proglotid tidak akan ditemukan pada feses selama 2-3 bulan setelah cacing dewasa mencapai bagian atas jejunum. Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 3 sampel yang disarankan untuk dikumpulkan pada hari yang berbeda (CDC, 2010). Telur cacing yang ditemukan tidak dapat dibedakan dengan Echinococcus (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005), penentuan mungkin dapat dilakukan apabila ditemukan proglotid yang matang atau gravid dengan menghitung percabangan uterus (CDC,2010; Ideham dan Pusarawati, 2007). Cara lain untuk mendiagnosa taeniasis adalah dengan menemukan proglotid atau telur dalam feses. Telur juga dapat ditemukan dengan menggunakan pita adhesif yang ditempelkan pada daerah sekitar anus (CFSPH, 2005). 3. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) a. Definisi Infeksi cacing tambang adalah penyakit yang disebabkan cacing Ancylostoma duodenale dan / atau Necator americanus. Cacing tambang mengisap darah sehingga menimbulkan keluhan yang berhubungan dengan anemia, gangguan pertumbuhan terutama pada anak dan dapat menyebabkan retardasi mental. b. Patofisiologi Cacing tambang dapat berkembang secara optimal pada tanah berpasir yang hangat dan lembab, telur di tanah tumbuh dan berkembang menjadi embrio dalam 24- 48 jam pada suhu 23 sampai 30 °C dan menetas menjadi larva. Larva 10 filaform yang menembus kulit dapat menyebabkan ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan. Tiap cacing N.americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan A.duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan kognitif menurun. c. Etiologi Ancylostoma duodenale dan Necator americanus adalah cacing berbentuk bulat (roundworms) yang panjangnya berkisar antara 5-13 mm. Cacing betina berukuran lebih panjang dan lebih besar dari cacing jantan. Cacing jantan mempunyai alat perkembangbiakan yang menonjol di bagian belakang tubuhnya. Cacing dapat berwarna abu-abu keputihan atau merah muda dengan kepala agak menekuk ke arah tubuh. Lekukan inilah yang membentuk seperti kait (hook) maka cacing ini disebut hookworms. Necator americanus berukuran sedikit lebih kecil daripada Ancylostoma dan bentuk kait lebih jelas pada Necator americanus. Cacing betina yang menginfeksi usus mamalia mengeluarkan ribuan telur setiap harinya dan telur-telur tersebut dikeluarkan melalui tinja. Mamalia yang berperan sebagai inangnya adalah anjing, kucing, maupun manusia. Telur akan menetas 1-2 hari pada tanah berpasir lembab lalu menjadi larva (rhabditiform) yang berganti lapisan kulit dua kali (5-10 hari) sebelum berkembang menjadi larva stadium ketiga (filariform) yang dapat bertahan hidup di tanah selama 3-4 minggu. Larva stadium ketiga berukuran 500-700 milimeter dan mampu menembus kulit normal dengan cepat. Larva biasa menembus kulit telapak kaki ataupun kulit tangan yang kontak dengan tanah yang mengandung larva. Transmisi larva ke kulit terjadi pada kontak tanah yang mengandung larva hidup dengan kulit paling sedikit 5 menit. Penetrasi larva pada kulit menimbulkan rasa gatal. Larva menembus kulit dengan membuat lubang kecil dan menembus dinding pembuluh darah sehingga terbawa melalui peredaran darah ke jantung lalu ke paru- paru. Migrasi larva pada paru-paru lalu naik ke atas hingga pangkal tenggorokan dapat menyebabkan refleks batuk dan larva tertelan ke saluran cerna. Di saluran cerna larva tumbuh menjadi cacing dewasa di usus halus walaupun ada beberapa larva yang tetap dormant (tidak aktif) dan tidak tumbuh menjadi cacing dewasa. Di usus halus inilah mereka menempel pada selaput lendir usus dan makan dari pembuluh darah kecil yang terdapat pada selaput lendir usus. Hal ini menyebabkan anemia bila jumlah cacing banyak. Cacing betina dewasa menghasilkan telur dalam waktu kurang lebih 5 minggu setelah cacing menembus kulit. Kebanyakan cacing dewasa hidup 1-2 tahun tetapi ada juga yang dapat hidup beberapa tahun. Setiap cacing spesies Necator menghisap 0,03 ml darah per hari sementara Ancylostoma menghisap 0,2 ml darah per hari. Gejala anemia selain tergantung jumlah cacing juga dipengaruhi asupan zat besi. Pada orang yang kekurangan asupan zat besi jumlah cacing sebanyak 40 cacing saja dapat menimbulkan anemia. Infeksi cacing tambang terjadi pada manusia yang sering kontak dengan tanah di mana penggunaan pupuk kandang atau tinja manusia dibuang di tanah. d. Gejala Klinik Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun, dan anemia (anemia hipokrom micrositer). Di samping itu juga terdapat eosinophilia. e. Pemeriksaan Penunjang Cara menegakkan diagnosa penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja. Parasites Load cacing tambang untuk infeksi ringan adalah 1-1.999 EPG, untuk infeksi sedang adalah 2.000-3.999 EPG, dan untuk infeksi berat adalah ≥4.000 EPG. f. Cacing Kremi a. Definisi Cacing Kremi (Oksiuriasis, Enterobiasis) adalah suatu infeksi parasit yang terutama biasanya menyerang anak-anak, dimana cacing Enterobius vermicularis (cacing kremi) tumbuh dan berkembangbiak di dalam usus. Penyakit cacingan biasanya melanda orang-orang miskin yang sehari hari sulit mendapat makanan dan kadang hanya bisa mengais sampah di jalan-jalan dan menelan sisa makanan basi di tengah kerumunan lalat. Penyakit cacing yang disebabkan karena makanan yang tidak bersih inilah yang disebut penyakit cacing kremi. Cacing ini biasanya berkembang biak di perut dan terbuang bersama kotoran, jika bersarang di dubur akan menimbulkan lubang dubur terasa gatal karena biasanya cacing betina meninggalkan telurnya di lubang dubur tersebut. b. Patofisiologi Infeksi biasanya terjadi melalui 2 tahap. Pertama, telur cacing pindah dari daerah sekitar anus penderita ke pakaian, seprei atau mainan. Kemudian melalui jari- jari tangan, telur cacing pindah ke mulut anak yang lainnya dan akhirnya tertelan. Telur cacing juga dapat terhirup dari udara kemudian tertelan.Setelah telur cacing tertelan, lalu larvanya menetas di dalam usus kecil dan tumbuh menjadi cacing dewasa di dalam usus besar (proses pematangan ini memakan waktu 2-6 minggu). Cacing dewasa betina bergerak ke daerah di sekitar anus (biasanya pada malam hari) untuk menyimpan telurnya di dalam lipatan kulit anus penderita. Telur tersimpan dalam suatu bahan yang lengket. Bahan ini dan gerakan dari cacing betina inilah yang menyebabkan gatal-gatal. Telur dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia selama 3 minggu pada suhu ruangan yang normal. Tetapi telur bisa menetas lebih cepat dan cacing muda dapat masuk kembali ke dalam rektum dan usus bagian bawah. c. Etiologi Penyebab cacing kremi biasanya menjangkiti seseorang yang menelan telur cacing kremi dari tangan yang tidak bersih. Cacing betina meletakkan ribuan telur di sekitar anus. Lalu saat proses menaruh telur tersebut, cacing betina mengeluarkan lendir yang membuat penderita merasa gatal. Rasa gatal tersebut memancing penderita untuk mengelap atau menggaruk anus. Ketika itulah telur-telur cacing dapat menempel di ujung jari ataupun di bawah kuku penderita. Telur cacing kremi dapat bertahan hidup kurang lebih selama dua minggu. Telur-telur tersebut bisa berpindah pada benda apapun yang disentuhnya seperti handuk, sprei maupun sarung bantal, mainan anak, peralatan dapur, sikat gigi, perabotan rumah, permukaan kamar mandi, dan dimana saja. Cacing kremi biasanya diidap anak kecil karena mereka belum dapat menjaga kebersihan tangan dengan baik. Tidak hanya anak kecil, orang yang sering melakukan kontak dengan penderita cacing kremi secara langsung juga memiliki risiko tinggi untuk mengidap parasit cacing kremi. d. Gejala Klinis Gejala adanya infeksi serius karena enterobiasis ini tidak nampak atau asimptomatik. Gejala yang paling penting dan paling sering terjadi yaitu iritasi atau gatal-gatal di bagian perianal. Gatal-gatal ini biasanya terjadi pada malam hari saat gravid betina cacing menyimpan telurnya di dalam bagian perianal. Menggaruk pada bagian ini dapat menyebabkan munculnya infeksi bakteri. Gemetaran, konsentrasi berkurang, nafsu makan berkurang dan tampak ada lingkaran hitam yang tidak biasa pada mata merupakn gejala yang sering terjadi pada anak-anak yang terinfeksi cacing kremi. e. Pemeriksaan Penunjang Cacing kremi dapat dilihat dengan mata telanjang pada anus penderita, terutama dalam waktu 1-2 jam setelah anak tertidu pada malam hari. Cacing kremi berwarna putih dan setipis rambut, mereka aktif bergerak. Telur maupun cacingnya bisa didapat dengan cara menempelkan selotip di lipatan kulit di sekitar anus, pada pagi hari sebelum anak terbangun. Kemudian selotip tersebut ditempelkan pada kaca objek dan diperiksa dengan mikroskop. Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok). Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan Scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ini ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan 3 hari berturut-turut.