Anda di halaman 1dari 12

INFEKSI CACING PITA

Pendahuluan
Penyakit akibat cacing merupakan salah satu masalah kesehatan di beberapa
negara termasuk Indonesia. Kasus infeksi akibat cacing terjadi di negara-negara
berkembang yang menurut WHO prevalensinya terus meningkat di berbagai
negara. Pada umumnya, cacing jarang menimbulkan penyakit yang parah, tetapi
dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis yang merupakan suatu faktor
ekonomis yang penting. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, penyakit
cacing adalah penyakit rakyat umum yang sama pentingnya dengan misalnya
malaria dan TBC. Infeksinya dapat terjadi secara simultan oleh beberapa jenis
cacing. Diperkirakan bahwa lebih dari 60% anak-anak di Indonesia menderita
suatu infeksi cacing (Marianto, 2011).
Cacing pita (Taenia sp.) merupakan salah satu jenis cacing yang dapat
menyebabkan infeksi. Banyak spesies dari Taenia sp., namun yang dapat
ditemukan di Indonesia hanya Taenia solium, Taenia saginata, dan Taenia
asiatica (Ito et al., 2003). Taenia solium dan Taenia saginata merupakan 2 jenis
cacing pita yang dapat menginfeksi manusia dan dapat menyebabkan penyakit
yang disebut taeniasis. Taenia solium diperantarai oleh babi, sedangkan Taenia
saginata diperantarai oleh sapi. Sedangkan sistiserkosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh larva Taenia solium. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan
infeksi cacing yang umum dan dapat ditemukan diseluruh bagian dunia (CFSPH,
2005).

Epidemiologi
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang
masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada
statistika yaitu daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Beberapa negara
maju seperti Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat terinfeksi Taenia sp.
akibat perjalanan yang dilakukan di daerah endemis. Taenia solium merupakan
infeksi yang endemik pada Amerika Tengah dan Selatan serta beberapa negara di
Asia Tenggara seperti Korea, Thailand, India, Filipina, Indonesia, Afrika, Eropa
Timur, Nepal, Bhutan, dan China (WHO, 2009). Prevalensi tertinggi ditemukan
pada Amerika Latin dan Afrika. Bahkan, prevalensi beberapa daerah di Mexico
dapat mencapai 3,6% dari populasi umum. Bolivia merupakan salah satu negara
dengan prevalensi tertinggi selain Brazil, Ekuador, Mexico, dan Peru di America
Latin (sesuai dengan kriteria Pan American Health Organization, negara-negara
dengan tingkat lebih dari 1% dianggap memiliki tingkat prevalensi tinggi) (Ito et
al., 2003).
Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di
tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara (Hamid et al.,
2005). Prevalensi taeniasis/sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada
pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua
yaitu 42,7% (Purba et al., 2003). Pada tahun 2003, sekitar 3,4% masyarakat
Sumatera Utara menderita taeniasis dan pada tahun 2005 angka taeniasis di
Sumatera Utara adalah 2,2% (Wandra et al., 2007).

Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia pada usus halus. Cacing dewasa
melepaskan segmen gravid paling ujung yang akan pecah di dalam usus sehingga
telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing yang matang
mengkontaminasi tanaman seperti rumput dan termakan oleh ternak seperti babi, telur
akan pecah di dalam usus hospes perantara dan mengakibatkan lepasnya onkosfer.
Dengan bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah,
lalu menyebar ke organ-organ tubuh babi, terutama otot lidah, leher, otot jantung, dan
otot gerak. Dalam waktu 60-70 hari pasca infeksi, onkosfer berubah menjadi larva
sistiserkus yang infeksius (Hamid et al., 2005).
Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang masak,
yang mengandung larva sistiserkus. Di dalam usus manusia, skoleks akan
mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding usus,
lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila. Dalam waktu
5-12 minggu atau 3 bulan, cacing Taenia solium menjadi dewasa dan mampu
memproduksi telur. Seekor cacing Taenia solium dapat memproduksi 50.000 sampai
60.000 telur setiap hari (Garcia et al., 2003).
Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari hospes
definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan terinfeksi jika pada
makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang berembrio atau proglotid gravid
(Wandra et al., 2007).
Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium
(sistiserkorsis). Hal ini dapat terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing
tersebut dari hasil ekskresi manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi. Namun,
teori ini belum dibuktikan. Jika terdapat cacing pita dewasa pada usus, peristaltik
yang berlawanan pada gravid proglotid akan menyebabkan proglotid bergerak
secara retrograd dari usus ke lambung. Telur hanya dapat menetas apabila terpapar
dengan sekresi gaster diikuti dengan sekresi usus sehingga setelah terjadi
peristaltik yang bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding
usus, mengikuti aliran kelenjar getah bening atau aliran darah. Larva selanjutnya
akan bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat
dan membentuk sistiserkus. Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan
gejala yang timbul tergantung dari lokasi sistiserkus. Proglotid dari Taenia solium
kurang aktif dibandingkan dengan Taenia saginata sehingga kemungkinan untuk
ditemukan pada lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang (CFSPH, 2005).
Gambar 1. Siklus hidup Taenia sp. (Garcia et al.,2003)

Morfologi dan Manifestasi Klinis


Larva sistiserkus, yang semi transparan, berwarna keputih-putihan
berbentuk gelembung, lonjong, dengan diameter 0,6 sampai dengan 1,8 cm, berisi
cairan dan satu skoleks. Dalam potongan lintang terlihat skoleks yang masuk ke
dalam (invaginated) dengan 4 batil dan dilengkapi barisan kait-kait. Manusia
berperan sebagai hospes definitif yaitu mengandung cacing dewasa dan sekaligus
sebagai hospes perantara yaitu tempat hidupnya larvae T. solium. Seorang akan
menderita sistiserkosis bila telur yang mencemari makanan tertelan. Di dalam
lambung telur akan dicerna, dinding telur hancur, embrio heksakan/onkosfer
keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke dalam saluran getah bening
serta peredaran darah. Embrio heksakan kemudian tersangkut antara lain di
jaringan subkutan, otot, otak, mata dan berbagai organ lain. Larva yang
menginfeksi sistim saraf pusat menyebabkan neurosistiserkosis, sedangkan bila
ditemukan di jaringan atau organ lain penyakit secara umum disebut disini
sistiserkosis. Larva T. solium yang terdapat di dalam jaringan subkutan dan otot di
bawahnya membentuk suatu benjolan yang disebut benjolan di bawah kulit atau
subcutaneous nodule. Setelah beberapa tahun terjadi kalsifikasi (pengapuran)
pada sistiserkus. Cysticercus cellulosae di dalam sistim saraf pusat seperti otak
atau medulla spinalis jarang mengalami kalsifikasi. Larva di dalam sistim saraf
pusat dapat menyebabkan serangan kejang seperti ayan (epilepsi), meningo-
ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti
nyeri kepala dan kadang-kadang ada gejala kelainan jiwa.
Gejala klinis oleh kista tergantung dari letak, jumlah, umur dan lokasi dari
kista, namun kadang-kadang tidak menyebabkan gejala meskipun terdapat
sejumlah besar kista pada organ tubuh penderita. Bila kista ditemukan pada
jaringan subkutan nodul-nodul kista akan teraba pada palpasi. Tidak selalu mudah
menemukan benjolan kista di dalam jaringan subkutan. Kista teraba sebagai
jaringan lunak yang menonjol dengan batas-batas tidak tegas, karena letaknya
agak dalam di dalam jaringan subkutan. Dapat pula kista ditemukan pada jaringan
mata dan menyebabkan ocular cysticercosis. Kista yang tetap hidup dan
umumnya ditemukan pada cairan vitreus menyebabkan uveitis, palpebral
conjunctivitis dan gangguan visus. Kista di dalam jaringan otak menyebabkan
brain cysticercosis (neurocysticercosis) yang kadang-kadang menimbulkan kejang
epilepsi yang di Papua disebut mati-mati ayam dengan keluhan sakit kepala dan
muntah. Munculnya epilepsi berlangsung secara mendadak baik siang maupun
malam hari, kemudian hilang dengan sendirinya (Purba et al., 2003).
Kasus
Kasus 1
Seorang wanita Bali berusia 50 tahun dirawat di Rumah Sakit Sanglah Bali,
dengan keluhan sakit kepala. Pasien juga mempunyai riwayat epileptic seizures
selama 2 tahun, dan terdapat 2 benjolan subcutaneous pada tubuhnya. Benjolan
tersebut berpindah-pindah, tidak lunak, dan terletak pada lipatan lengan kiri dan
femoralis dextra, dengan ukuran diameter 1 dan 1,5 cm. Tidak ada abnormalitas
pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskular. Pada pengujian neurologi,
pasien tidak sadar, dengan nilai GCS, E2V1M5; pupil anisokor (5mm / 3mm).
Reflek Babinski bilateral positif, dari funduscopy terlihat bilateral papiledema.
Dengan electroencephalography terlihat gelombang rendah bifrontal. Tes
laboratorium, termasuk tes darah rutin, eosinofil dan uji fekal menunjukkan hasil
normal. Dari pemeriksaan histopatologi, terlihat struktur karakteristik dari taeniid
metacestode. Hasil CT scan menunjukkan lesi aktif yang dikelilingi edema, dari
frontoparietal dextra et sinistra. Hasil ELISA menggunakan antigen native untuk
screening dan antigen chimeric recombinant untuk mengkonfirmasi sistiserkosis,
100% spesifik untuk sistiserkosis, adalah positif. Pasien diberi 10 mg diazepam,
300 mg phenythoin (intravena), 50 mg dexamethasone (intravena) dan 800 mg
albendazole setiap hari selama 1 bulan. Pada hari ke 16, pasien dalam kondisi
stabil, tanpa defisit neurologikal, dan bebas dari seizure. Delapan bulan kemudian,
pasien mengalami focal seizure. Dari pernyataan keluarga, pasien tersebut telah
berhenti mengkonsumsi phenythoin selama 4 bulan terakhir. Setelah mendapatkan
phenythoin lagi, pasien bebas seizure. Hasil CT scan 3 bulan kemudian
menunjukkan lesi pengapuran pada bagian frontoparietal dextra et sinistra. Hasil
serologi negatif. Imunoblot juga menunjukkan hasil negatif.
Sumber : Wandra T, et al. (2011). Taeniasis/Cysticercocis In Bali, Indonesia. Southeast Asian Journal of

Tropical Medicine and Public Health; Jul 2011; 42-44.

Kasus 2
Seorang laki-laki Bali berusia 31 tahun, dirawat di Rumah Sakit Sanglah Bali
dengan keluhan sakit kepala dan mempunyai riwayat epileptic seizures selama 10
tahun dengan paresthesias. Pasien mengalami 3 kali generalized tonic seizures, 3
jam sebelum dirawat. Pada saat pemeriksaan, pasien sadar dan mengalami
parasthesias pada tubuh bagian kiri. Tidak ada abnormalitas dari sistem
pernafasan dan sistem kardiovaskular. Dari hasil funduscopy terlihat bilateral
papiledema. Data laboratorium, termasuk tes darah rutin untuk eosinofil dan uji
fekal normal. Hasil CT scan otak menunjukkan lesi multple cystic dengan skolex
dan lesi multiple calcified. Hasil ELISA menggunakan antigen native dan
recombinant, adalah positif. Pasien diberi 10 mg diazepam, 300 mg phenythoin
(intravena), 40 mg dexamethasone (intravena) dan 800 mg albendazole setiap hari
selama 1 bulan. Pasien bebas seizures selama rawat inap. Hasil CT scan otak 3
bulan kemudian menunjukkan lesi cystic telah hilang dan lesi multiple calcified
masih ada.
Sumber : Wandra T, et al. (2011). Taeniasis/Cysticercocis In Bali, Indonesia. Southeast Asian Journal of
Tropical Medicine and Public Health; Jul 2011; 42-44
Respon Imun
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat mekanisme respon imun
tubuh terhadap T. solium penyebab sistiserkosis. Sistiserki (kista) hidup dapat
menyebabkan infeksi asimtomatik karena dapat menghindari sistem imun.
Penelitian histologis menunjukkan bahwa baik pada manusia dan babi, sistiserki
yang bertahan menunjukkan sedikit atau tidak ada inflamasi disekitarnya.
Sistiserki dapat bertahan dalam host manusia untuk waktu yang lama, dalam
banyak kasus selama bertahun-tahun, tanpa memunculkan reaksi inflamasi
sekitarnya. Sebaliknya, inflamasi yang terjadi terhadap kista yang telah
mengalami degenerasi dapat memicu gejala penyakit.
Respon imun host untuk sistiserki dapat dibagi menjadi komponen humoral
dan seluler. Respon imun humoral terhadap antigen sistiserki T. solium ini terbukti
dari jumlah tes immunodiagnostik yang telah dikembangkan dengan berbagai
jenis antigen. Beberapa kelas imunoglobulin diproduksi spesifik terhadap parasit.
IgG dapat dideteksi dalam serum, cairan cerebrospinal (CSF), dan air liur, yang
menunjukkan bahwa infeksi telah berlangsung selama beberapa waktu.
Respon imun seluler terhadap sistiserki T. solium dilakukan baik oleh
komponen Th1 dan Th2, meskipun mekanisme yang mendasari belum
diklarifikasi. Parasit ini mungkin dibunuh oleh eosinofil yang diinduksi oleh sel
limfoid. Respon spesifik ini diasumsikan dimediasi oleh sitokin Th2. Reaksi
inflamasi yang mengarah ke penghancuran parasit dan resolusi dengan fibrosis
tampaknya dimediasi oleh sitokin Th1. Beberapa penelitian juga telah membahas
komponen molekul dalam CSF, serum, dan granuloma itu sendiri. Konsentrasi
tinggi interleukin-1 dan 6 telah dilaporkan dalam CSF pasien dengan
neurocysticercosis.
Cacing adalah patogen eukariotik kompleks dengan beberapa tahapan hidup
yang dapat mempengaruhi jaringan yang berbeda dalam inangnya. Antigen cacing
yang masuk dapat langsung ke organ limfoid sekunder atau berinteraksi dengan
sel-sel pada tempat infeksi, termasuk sel dendrit (DC) (1) atau sel epitel (2).
Banyak antigen cacing menghambat produksi sitokin proinflamasi oleh sel dendrit
(3), dan memicu produksi sitokin seperti TSLP dari sel epitel, yang menghambat
pembentukan IL-12 oleh sel dendrit. Ikatan antigen-sel dendrit mengaktifkan sel
Th naif (4), yang berkembang biak dan berdiferensiasi menjadi sel-sel prekursor
Th2 (5). Sel-sel prekursor Th2 kemudian dapat menjadi sel Th2 (6) atau sel TFH
(7). Sel Th2 melepaskan berbagai sitokin, termasuk IL-5, yang mendorong
eosinofilia (8), dan IL-4/-13 , yang merangsang makrofag alternatif yang
diaktifkan (AAMs) (9). AAMs pada gilirannya menghasilkan molekul seperti
arginase - 1 dan YM - 1, yang meredam respon Th2. TFH menghasilkan IL-4 dan
memberikan bantuan kepada sel B untuk memproduksi IgG1 dan IgE (10).
Selama respon awal terhadap infeksi cacing, MHC kelas II mengekspresikan
basofil MHC class II–expressing basophils (11) yang masuk ke organ limfoid
sekunder reaktif dan dapat membantu polarisasi respon Th2. IgE kemudian dapat
mengaktifkan basofil (12), yang pada gilirannya menghasilkan sitokin yang
mengaktifkan makrofag alternatif. Infeksi cacing juga dapat mempromosikan
pengembangan respon sel T reg (13) (Maizels et al., 2009).
Gambar 2. Interaksi seluler dalam sistem imun terhadap cacing (Maizels et al.,
2009)

Larva cacing tahap tiga infektif (L3) yang tertelan oleh host, bergerak ke
duodenum, menyerang epitel, dan berada di submukosa selama 8 hari, setelah itu
larva tersebut kembali memasuki lumen duodenum sebagai cacing dewasa.
Infeksi primer terbentuk dan menjadi kronis, tetapi bisa dibersihkan dengan terapi
obat antihelminthic. Infeksi (sekunder) secara alami dibersihkan oleh host pada
hari ke-14 pasca infeksi, dan akan diingat oleh memori Th2. Antigen parasit
disajikan ke sel-sel CD4 + T pada kelenjar getah bening mesenterika dan jaringan
limfoid usus terkait lainnya, mendorong induksi sel efektor Th2. Sel-sel ini
mengerahkan fungsi efektor melalui produksi sejumlah sitokin, termasuk
interleukin-4 (IL-4), IL-13, IL-9 dan IL-5. Sel Th2 menginduksi imunoglobulin
sel B berubah menjadi IgE. Setelah aktivasi, sel-sel efektor Th2 bermigrasi ke
lokasi parasit di submukosa. Dalam beberapa hari, infiltrat - sel imun yang
berbeda muncul yang dapat merusak parasit larva setelah serangan kedua, bukan
serangan pertama setelah inokulasi. Sel-sel yang berperan pada serangan kedua
meliputi sel Th2, sel dendritik (DC), neutrofil dan AAMs. Sitokin Th2, IL-4 dan
IL-13 mungkin juga memfasilitasi pengusiran parasit dewasa dalam lumen dengan
menginduksi perubahan fisiologi usus (Anthony et al., 2007).
Gambar 3. Mekanisme sistem imun terhadap larva cacing (Anthony et al., 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Anthony, R. M., Rutitzky,L.I., Urban, Jr,J.F., Stadecker, M.J., Gause, W.C. 2007.
Protective immune mechanism in helminth infection. Nature Reviews
Immunology 7, 975-987
Center for Food Security and Public Health (CFSPH), 2005. Taenia Infections.
Available from:
http://www.ivis.org/advances/Disease_Factsheets/taenia.pdf. Akses 3 Nov
2013
García,H.H., Gonzalez,A.A., Evans,C.A.W., Gilman,R.H. 2003. Taenia solium
cysticercosis. The Lancet 362: 547–56
Hamid, A., Margono, S.S., Wandra, T. Ito,A. 2005. Treatment for taeniasis and
cysticercosis with praziquantel and albendazole. Medical Journal Indonesia
14 (4): 253-257
Ito, A., Nakao, M., and Wandra, T., 2003. Human Taeniasis and Cysticercosis in
Asia. Lancet 362: 1918
Maizels, R.M., Pearce. E.J., Artis, D., Yazdanbakhsh, M., Wynn, T.A. 2009.
Regulations of pathogenesis and immunity in helminth infections. Journal
of Experimental Medicine vol. 206 no.10 2059-2066.
Marianto, 2011. Kontaminasi Sistiserkus pada Daging dan Hati Sapi dan Babi
yang Dijual di Pasar Tradisional pada Kecamatan Medan Kota. FK
USU.Medan
Purba W.H., Miko, W.T.Y., Ito, A., Widarso, H.S., Hamid, A., Subahar, R. 2003.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sistiserkosis pada
Penduduk Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua
Tahun 2002. Makara Kesehatan 7 (2): 56-65.
Wandra T., Margono, S.S., Gafar, M.S., Saragih, J.M., Sutisna, P., Dharmawan,
N.S., et al., 2007. Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia 1996-2006.
Southeast Asian J Trop Med Public Health 38 (1): 140-143.

INFEKSI CACING PITA

Oleh:
Anggun Prasetianingtias
1220312025

Dosen:

Prof. Dr. Nuzulia Irawati, MS

PROGRAM PASCA SARJANA BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2014

Anda mungkin juga menyukai