Anda di halaman 1dari 14

PENYAKIT TAENIASIS ATAU SISTISERKOSIS

DI
S
U
S
U
N
OLEH :

SYAMSURYA JUNITA
70200121105

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas mengenai health
promotion Penyakit Teaniasis atau Sisterkosis ini tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan tugas ini adalah untuk memenuhi tugas kami pada bidang
studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Selain itu, tugas ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Healt Promotion bagi penulis.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak dosen, selaku dosen Ilmu Kesehatan
Masyarakat yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu saya menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki tugas ilmiah ini.

Samata, 14 November 2021

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………...2
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………………………………3
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………3
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………………………….4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Taeniasis atau Sisterkosis ………………………………………………..5
B. Epidemiologi dan Etiologi …………………………………………………………...5
C. Cara Penularan ……………………………………………………………………….6
D. Diagnosis ……………………………………………………………………………..8
E. Masa Inkubasi ………………………………………………………………………..8
F. Gejala Klinis …………………………………………………………………………9
G. Pencegahan …………………………………………………………………………10
H. Pengobatan …………………………………………………………………………10
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………………………12
B. Saran ………………………………………………………………………………..12
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..13

2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Taeniasis solium (taeniasis) dan sistiserkosis dikategorikan sebagai neglected tropical
diseases (NTDs) atau neglected zoonotic diseases (NZDs) yang disebabkan oleh cacing pita
Taenia solium (T. solium) dan masih menjadi masalah kesehatan di dunia khususnya di
negara berkembang. Tingginya mobilitas migrasi penduduk dari negara endemik ke negara
maju (negara industri) menyebabkan kompleksnya pola penyebaran taeniasis dan
sistiserkosis, sehingga menjadi permasalahan kesehatan di seluruh dunia. Manusia
mendapat infeksi taeniasis disebabkan karena memakan daging babi mentah atau tidak
matang yang mengandung sistiserkus hidup. Infeksi ini sering dijumpai di daerah yang
masyarakatnya mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi mentah/setengah matang
dan jarang ditemukan di negara Islam. Hospes defenitif Taenia solium adalah manusia
sedangkan hospes perantaranya adalah babi dan manusia. Taeniasis yang disebabkan oleh
infeksi T. solium dewasa dapat menimbulkan.
Gangguan pencernaan, diare, konstipasi, tetapi dapat juga asimptomatis (tanpa
gejala). Sistiserkosis pada manusia umumnya disebabkan infeksi oleh larva T. solium yang
dapat mengenai otot dan sistem saraf pusat (SSP) disebut dengan neurosistiserkosis yang
dapat menimbulkan kejang epilepsi, sakit kepala, gejala neurologik, sampai kematian.
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit endemik terutama terjadi di negara
berkembang seperti Afrika, Timur Tengah, Eropa Barat, Meksiko, Amerika Tengah,
Amerika Selatan, dan Asia diantarnya yaitu: Korea, Cina, Filipina termasuk Indonesia.
Daerah di Indonesia yang banyak ditemukan infeksi ini adalah di Bali, Papua, dan Pulau
Samosir Sumatera Utara. Laporan Simanjuntak et al dalam Sandy, menunjukkan bahwa
prevalensi taeniasis dan sistiserkosis di Indonesia berkisar 2-48 %, dengan daerah Papua
sebagai prevalensi tertinggi. Tulisan ini merupakan kajian dari beberapa studi kepustakaan
dan artikel jurnal yang terkait dengan penyakit taeniasis dan sistiserkosis di Indonesia dan
beberapa negara yang terjadi kasus tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud Taeniasis atau Sistiserkosis?
2. Bagaiaman penularan penyakit Taeniasis atau Sisterkosis?

3
3. Apa yang akan dilakukan ketika terkena penyakit Taeniasis atau Sisterkosis?
4. Apa yang akan dilakukan agar tidak terkena Taeniasis atau Sisterkosis?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui lebih dalam tentang apa itu Taeniasis atau Sisterkosis, dan agar
kita mengetahui apa yang akan kita lakukan ketika terkena penyakit Taeniasis atau
Sisterkosis dan bertujuan agar kita dapat menegetahui cara agar terhindar dari Taeniasis
atau Sisterkosis.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Teaniasis atau Sisterkosis
Taeniasis dan cysticercosis dikategorikan oleh World Health Organization (WHO)
sebagai Neglected Tropical Deseases (NTDs) atau Neglected Zoonotic Deseases (NZDs).
Zoonosis adalah penyakit-penyakit dan infeksi yang secara alami dapat ditularkan dari
hewan-hewan vertebrata ke manusia dan atau sebaliknya. Pengertian tersebut juga
mencakup keadaan dimana suatu organisme dapat hidup baik di dalam tubuh manusia
maupun tubuh hewan, meskipun organisme tersebut tidak secara umum ditularkan dari
yang satu terhadap lainnya. Zoonosis juga berlaku bagi suatu organisme penyebab penyakit
yang hidup pada suatu lingkungan misalnya tanah, dan baik manusia maupun hewan
mengalami infeksi akibat kontak dengan tanah yang menjadi sumber infeksi tersebut
(Wijayanti, 2010).
Penyakit menular disebabkan oleh mikroba patogen (virus, bakteri) atau oleh parasit
(cacing, protozoa). Mikroba atau parasit menginfeksi hewan atau manusia dan
menyebabkan penyakit. Mikroba dan parasit dapat ditemukan di tempat yang berbeda
dalam tubuh, tergantung pada penyakit. Beberapa hidup di usus dan lainlain di organ.
Mikroba dan parasit juga dapat hadir dalam urin, darah, kotoran dan air liur. Hewan dapat
menjadi pembawa mikroba atau parasit tertentu. Ini berarti membawa mikroba atau parasit
tetapi tidak sakit (Wijayanti, 2010).
B. Epidemiologi dan Morfologi
Taeniasis adalah infeksi pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh cacing pita
(cestoda) dari genus Taenia sp seperti Taenia solium sedangkan sistiserkosis merupakan
penyakit yang disebabkan oleh infeksi larva dari Taenia sp biasanya disebabkan oleh larva
Taenia solium. Taenia solium adalah parasit dalam usus halus manusia yang dapat
mencemari lingkungan dengan telur atau proglotidnya apabila sanitasi tidak memadai.
Taenia solium berbentuk panjang bersegmen, dan terdiri dari kepala yang disebut skoleks,
leher, dan strobila yang merupakan rangkaian ruas-ruas proglotid dan ada yang dapat
hidup sampai 25 tahun.3 Taenia solium dewasa memiliki panjang 2-8 m dan memiliki alat
penghisap dengan kait pada skoleksnya yang berbentuk bulat berukuran kira-kira 1

5
milimeter dan mempunyai 4 buah batil isap. mempunyai rostellum dan hocklets (kait-
kait), panjangnya 2-4 m, terdiri dari 1000 proglottid.
1. Proglottid Gravid
a. Ukuran panjang lebih besar daripada lebarnya, 1,5 kali
b. Cabang – cabang uterus berjumlah 7-12 pasang dan berisi telur-telur.
2. Cysticercus cellulose
a. Pada potongan melintang tampak potongan kepala, sucker dan kait-kait
b. Besarnya 1,5-2 cm, bahan berasal dari otot babi
c. Bila sudah tua dapat mengalami pengapuran (Ideham, 2014).
Taeniasis adalah penyakit yang diakibatkan oleh adanya infeksi cacing pita Taenia
solium atau Taenia saginata. Penyakit ini tidak hanya berdampak terhadap kesehatan
manusia tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang tinggi.
C. Cara Penularan
Infeksi cacing pita pada manusia telah diketahui sejak dahulu, manusia merupakan
inang sejati (definitive host), sedangkan babi sebagai inang antara (intermediate host)
Taenia solium dan sapi sebagai inang antara (intermediate host) Taenia saginata. Larva
Taenia solium menyebabkan kejadian cysticercosis yaitu ditemukannya Cysticercus
selulosa pada otot babi, sementara cacing dewasanya ditemukan pada intestine manusia
yang menyebabkan kejadian taeniasis (Willingham, et al, 2010).
Cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu untuk hidup dan
berkembang biak. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Kebiasaan masyarakat dalam mengonsumsi sayuran mentah, daging atau ikan
yang dimasak setengah matang merupakan salah satu cara penularan secara langsung. Bila
dalam bahan makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacing
dapat menjadi lengkap, dan terjadilah infeksi dalam tubuh manusia. Berbeda dengan
infeksi bakteri, virus dan mikroorganisme lainnya, cacing dewasa tidak bertambah banyak
di dalam tubuh manusia. Penyebaran penyakit ini pun dapat terjadi melalui perantaraan
serangga seperti nyamuk dan lalat pengisap darah yang dapat menyebarkan telur cacing
dari feses penderita cacingan. Selain itu, kebiasaan penggunaan feses manusia sebagai
pupuk tanaman dapat meningkatkan penyebaran telur cacing, karena dapat

6
mengkontaminasi tanah, air rumah tangga dan tanaman pangan tertentu (Estuningsih,
2009).
Cacing yang bersifat parasit pada manusia terbagi atas dua golongan besar yaitu
cacing bulat (nemathelminthes) dan cacing pipih (platyhelminthes). Golongan
Nemathelminthes terbagi lagi menjadi kelas nematoda, sedangkan golongan
platyhelminthes terbagi menjadi kelas trematoda dan cestoda, dua contoh parasit yang
paling banyak menginfeksi manusia yaitu Taenia saginata dan Taenia solium (Estuningsih,
2009).
Telur Taenia saginata dan Taenia solium kedua jenis cacing yang hidup di dalam
usus halus manusia, dapat mencemari lingkungan dengan telur maupun segmen (proglottid)
cacing dewasa, bilamana keadaan sanitasi tidak memadai. Pada Taenia solium telur dan
proglotid akan menginfeksi manusia maupun hewan, yaitu babi, sedangkan pada Taenia
saginata telur akan menginfeksi hewan yaitu sapi. Di beberapa daerah di Indonesia telah
diketahui adanya “strain” Taenia saginata, Taenia asiatica yang larvanya ditemukan di
dalam hati babi, sehingga pada “strain” ini babi merupakan sumber infeksi bagi manusia
(Sandy, 2019)
Penelitian yang dilakukan oleh Carrique dkk (2001) menyebutkan bahwa faktor
risiko penyebaran taeniasis dan sistiserkosis adalah umur, sanitasi yang buruk, tingkat
pendidikan yang rendah dan tidak mampu mengenal daging babi yang terinfeksi larva
Taenia solium. Kebiasaan mengonsumsi makanan tertentu juga merupakan faktor risiko
terjadinya penyakit taeniasis. Penelitian yang dilakukan oleh Purba menyebutkan beberapa
faktor yang mempengaruhi terjadinya cysticercosis yaitu: jenis kelamin, kebiasaan mencuci
tangan, kebiasaan mandi, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, penyajian daging babi,
kebiasaan buang air besar, dan sumber air minum.
Cacing Taenia dapat menginfeksi manusia disebabkan ketika sapi mengkonsumsi
rumput yang telah terkontaminasi larva, kemudian larva (oncosfer) menetas didalam usus
dan menembus dinding usus, kemudian masuk dalam pembuluh darah. Oncosfer yang
terbawa aliran darah masuk dalam otot kemudian oncosfer tumbuh menjadi Cysticercus
dalam jaringan intramuskuler. Cysticercus dalam daging yang tidak dimasak dengan baik
dan termakan selanjutnya scolex melekat pada mukosa usus halus dan tumbuh menjadi

7
cacing dewasa, kemudian cacing dewasa berada didalam usus halus manusia sehingga
menyebabkan manusia terinfeksi Taeniasis. (Suriawanto, dkk 2014)
Beberapa orang lebih berisiko terinfeksi zoonosis, dapat dibagi menjadi tiga
kelompok utama sebagai berikut:
1. Kontak profesional: petani, tukang jagal, dokter hewan atau orang lain yang
melakukan kontak intensif dengan hewan atau produk hewan.
2. Anak-anak, lansia, dan orang yang terinfeksi HIV, lebih rentan karena sistem
kekebalan tubuh yang kurang efektif
3. Wanita hamil (Wijayanti, 2010).
D. Diagnosis
Diagnosis taeniasis dapat ditegakkan dengan cara anamnesis, untuk menanyakan
riwayat pernah mengeluarkan proglotid cacing pita, dan ditemukannya telur atau proglotid
dalam tinja. Telur cacing pita dapat ditemukan di sekitar anus. Telur Taenia sp tidak dapat
dibedakan. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISAs) dan Polymerase Chain
Reaction (PCR) dapat digunakan untuk membedakan jenis telur Taenia sp dan dapat
digunakan untuk membedakan proglotid Taenia sp. Tinja yang diperiksa adalah tinja
sewaktu berasal dari defekasi spontan. Sebaiknya diperiksa dalam keadaan segar, bila tidak
memungkinkan tinja tersebut diberi formalin 5-10% sebagai pengawet. Diagnosis
sistiserkosis dapat dilakukan dengan cara ekstirpasi benjolan, radiologis (CT scan atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI), deteksiantibodi seperti teknik ELISA, Western Blot
(EIBT), uji hemaglutinasi, deteksi coproantigen pada tinja, dan deteksi DNA dengan teknik
PCR. Pemeriksaan serologi terhadap sistiserkosis perlu didukung dengan pemeriksaan tinja
dengan metode mikroskopis maupun deteksi coproantigen untuk mengetahui apakah
penderita sistiserkosis juga menderita taeniasis sehingga dapat menjadi sumber penularan
bagi dirinya sendiri maupun orang lain disekitarnya (worm carriers).
E. Masa Inkubasi
Masa inkubasi gejala cystecercosis muncul dalam waktu beberapa hari sampai lebih
dari 10 tahun. Telur cacing tampak pada tinja 8-12 hari pasca infeksi untuk Taenia solium
dan 10-14 hari pasca infeksi untuk Taenia saginata. Telur Taenia saginata hanya infektif
bagi sapi, sedangkan telur Taenia solium infektif bagi babi dan manusia. Telur kedua
spesies cacing pita ini tersebar di dalam lingkungan selama di dalam usus masih terdapat

8
cacing yang kadang-kadang bisa hidup sampai 30 tahun lamanya. Telur cacing tersebut
dapat bertahan hidup di lingkungan selama berbulan bulan.
F. Gejala Klinis
Gejala yang dapat muncul pada infeksi cacing pita di usus yakni, mual, nafsu makan
menurun, diare, sakit perut, ingin mengonsumsi makanan yang asin, penurunan berat badan
akibat gangguan dalam penyerapan makanan, dan pusing (Willy, 2018).
Beberapa penderita taeniasis juga dapat mengalami iritasi di area sekitar anus atau
tempat keluarnya telur dewasa. Kasus taeniasis pada manusia bisa tanpa gejala
(asimptomatis) ataupun hanya sedikit menimbulkan gejala. Gejala klinis dapat timbul
sebagai akibat iritasi mukosa usus atau toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut
antara lain rasa tidak enak pada lambung, mual, badan lemah, berat badan menurun, diare,
sakit kepala, konstipasi (sukar buang air besar) dan nafsu makan menurun. Gejala tersebut
dapat disertai dengan ditemukannya proglotid cacing yang bergerak-gerak lewat dubur
bersama atau tanpa tinja sehingga secara psikologis penderita dapat merasa cemas dan
gelisah. Gejala berat dapat terjadi apabila proglotid berpindah ke organ lain seperti
apendiks, uterus, saluran empedu, dan nasofaringeal, dan dapat menyebabkan apendisitis,
kolangitis, atau sindrom lain.
Gejala sistiserkosis bervariasi tergantung dari lokasi, jumlah larva, dan respon
pejamu. Kebanyakan gejala sistiserkosis yang timbul merupakan hasil dari inflamasi
degenerasi larva atau efek dari massa parasit. Sistiserkosis dapat tanpa gejalaapabila hanya
terdapat sedikit lesi dan terletak di lokasi yang tidak strategis misalnya di otot, atau
beberapa daerah di otak, tetapi tetap bisa didiagnosa dengan sistiserkosis. Larva di otak
atau mata dapat menimbulkan gejala berat, bersifat Elva Susanty, Taeniasis Solium dan
Sistiserkosis pada Manusia neurotropik, sehingga ditemukan di jaringan saraf atau
neurosistiserkosis yang merupakan sistiserkosis berat. Pada beberapa kasus, gejala dapat
menimbulkan bahaya. Apabila terjadi tiba-tiba, hal ini disebabkan oleh karena adanya blok
cerebrospinal fluid (CSF) akibat sistiserkus. Kejang merupakan manifestasi utama
neurosistiserkosis (70,90%) selain sakit kepala kronik.
Penelitian yang dilakukan oleh Urthy et al dalam Rajhsekar, menunjukkan bahwa dari
2.531 pasien yang menderita epilepsi terdapat 10,4% menderita sistiserkosis, sedangkan
penelitian Sawhney et al menunjukkan bahwa 31% penderita neurosistiserkosis

9
menimbulkan kejang. Gejala lain adalah peningkatan tekanan intrakranial (mual dan
muntah), gangguan status mental termasuk psikosis vertigo, ataksia, demensia, dan gejala
fokal neurologisbahkan kematian. Pasien yang menderita sistiserkosis dapat juga
memperlihatkan tanda-tanda seperti benjolan di bawah kulit, dan penderita sistiserkosis
otak seringkali mengalami luka bakar. Penelitian Simanjuntak di Papua dalam Swacita,
menunjukkan bahwa dari 160 orang yang diperiksa 66,3% positif menderita taeniasis/
sistiserkosis; 28,1% penderita sistiserkosis menunjukkan gejala klinis adanya benjolan di
bawah kulit yang bisa dilihat dan disentuh, dan 18,8% dari mereka adalah pasien yang
menunjukkan gejala epilepsi.
G. Pencegahan
Walaupun upaya pengendalian dan pemberantasannya tergolong mudah, di Indonesia
penyakit ini masih terabaikan. Mengingat bahwa manusia terinfeksi karena mengonsumsi
daging mentah atau setengah matang, dan babi terinfeksi karena menelan telur cacing
bersama feses manusia yang terinfeksi, maka pencegahannya dapat dilakukan dengan cara
memperbaiki sanitasi, higiene lingkungan dan pangan, melakukan pemeriksaan daging
secara ketat, memberikan penyuluhan tentang pendidikan kesehatan pada masyarakat, dan
disamping itu juga perlu dilakukan pengobatan masal terhadap manusia yang terinfeksi di
daerah endemik. Faktor penting dalam pencegahan penyakit pada manusia adalah
memperbaiki kualitas lingkungan dan tingkat higiene perseorangan pada penduduk yang
tinggal di pedesaan. Selain itu, penting melakukan pemeliharaan babi terkonsentrasi di
lokasi yang terpisah dengan pemukiman. Sebagian besar penderita taeniasis tidak
menunjukkan tanda atau gejala. Kondisi ini baru dapat diketahui saat melihat keberadaan
cacing pada tinja. Cacing pita sering terlihat dalam bentuk yang datar dan persegi panjang,
berwana kuning pucat atau putih, dengan ukuran seperti sebutir beras. Terkadang cacing
juga dapat menyatu bersama dan membentuk rantai yang panjang. Keberadaan cacing
tersebut dapat berpindah-pindah.
H. Pengobatan
Pengobatan penderita taeniasis dapat diberikan obat niklosamid atau prazikuantel per
oral. Praziquantel dapat membunuh dan menghancurkan cacing pita dewasa di saluran
pencernaan usus atau sistiserkus pada jaringan parental. Dosis praziquantel 50 mg/kg BB
dosis tunggal atau dosis terbagi tiga selama 15 hari efektif untuk sistiserkosis. Obat pilihan

10
lain adalah albendazole 15 mg/kg BB/hari dalam dosis tunggal atau terbagi tiga selama 7
hari; Mebendazole 2 x 200 mg/hari selama 4 hari. Pengobatan biasanya sangat efektif,
tetapi apabila proglotid mulai tampak lagi dalam tinja atau bergerak dari anus, maka
diperlukan pengobatan ulangan. Tinja diperiksa kembali setelah 3 dan 6 bulan untuk
memastikan bahwa infeksi telah terobati. Pengobatan sistiserkosis selain pemberian oral
juga dapat dilakukan pembedahan untuk sistiserkus pada lokasi seperti mata, otak, dan
tulang belakang. Pengobatan neurosistiserkosis aktif memerlukan berbagai pengobatan
tambahan untuk mengatasi kista hidup, gejala, dan reaksi akibat pengobatannya sendiri.
Obat yang digunakan adalah praziquantel (50100 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) selama 14
hari, albendazol (15 mg/kg bb dalam 2-3 dosis terbagi) selama 8 hari, kortikosteroid (10-30
mg dexametason perhari, atau 60 mg prednison dilanjutkan dengan tappering off, dan obat
antikonvulsan seperti fenitoin atau fenobarbital.

11
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Taeniasis solium disebabkan oleh infeksi cacing pita dewasa Taenia solium,
sedangkan sistiserkosis disebabkan oleh larva Taenia solium. Taeniasis/ sistiserkosis timbul
karena memakan daging babi mentah atau setengah matang dan buruknya sanitasi atau
higiene. Sistiserkosis dapat menyebabkan neurosistiserkosis yang dapat menimbulkan
gejala berat seperti kejang, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan status mental
sampai kematian. Pencegahan penyakit taeniasis/sistiserkosis dapat dilakukan dengan
menghindari makan daging babi mentah atau kurang matang, dan menjaga kebersihan diri
dan lingkungan. Gejala yang dapat muncul pada infeksi cacing pita di usus yakni, mual,
nafsu makan menurun, diare, sakit perut, ingin mengonsumsi makanan yang asin,
penurunan berat badan akibat gangguan dalam penyerapan makanan, dan pusing.
B. Saran
1. Melakukan penyuluhan tentang pentingnya menjaga keberssiha
2. Kehidupan penduduk yang dipengaruhi oleh tradisi kebudayaan dan agama sangat
penting. Cara terbaik untuk mengendalikan cacing pita ini adalah dengan makan
daging babi yang dimasak sepenuhnya.
3. Kebersihan pribadi dan pencegahan terhadap kontaminasi tinja dengan makan daging
babi juga memainkan peranan besar dalam pencegahan mendapatkan parasite.

12
DAFTAR PUSTAKA
WHO. The control of neglected zoonotic diseases–community-basedinterventions for prevention
and control; 2011[diakses 14 November 2021]. Available
from:http://apps.who.int/iris/bitsream/ handle/10665/44746/
9789241502528_eng.pdf?sequence=1&isAllowed=y.
WHO. Taenia solium taeniasis/cysticercosis diagnostic tools. Report of a stakeholder meeting,
Geneva; 2016 [diakses 14 November 2021]. Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/ 10665/206543/
9789241510516_eng.pdf?sequence=1.
The Center for Food Security& Public Health. Taenia infection:taeniasis, cysticercosis,
neurocysticercosis, coenurosis, neurocoenurosis. 2005 [diakses 1 Juni 2018].
Available from:www.cfsph.iastate.edu/IICAB.
. Hadidjaja P. Cestoda. Dalam: Sutanto I, Ismid IS, Sjarifudin PK. Eds. Parasitologi Kedokteran.
Ed: 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2016:7390.
Yanagida, T, Sako Y, Nakao, M, Nakaya, K, Ito, A. Taeniasis and cysticercosis due to Taenia
solium in Japan. Parasites & Vectors. 2012:5:18.
Suriawanto N, Guli MM, Miswan. Deteksi cacing pita (Taenia soliumL)melalui uji feses pada
masyarakat desa Purwosari Kecamatan Torue Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi
Tengah. Biocelebes. 2014;8(1):17-28.
[CFSPH] Center for food security and Public Health. 2005. Taenia Infections. Iowa State
University, College of Veterinary Medicine
European Commite. 2000. The control of taeniosis/cycticercosis in man and animals.
[www.ec.europa.eu]
Estuningsih SE. 2009. Taenisasi dan Sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis parasiter.
Wartazoa 19 (2).

13

Anda mungkin juga menyukai