Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

TEANIASIS

Dosen Pengampu :
Elly Rustanti, S. Si., M.Sc.

Disusun Oleh :

1. Gigih Arsyandi (2021030014)


2. Affan Riadi (2021030019)
3. Paskalia Trisanti (2021030044)
4. Shofiya Kusuma W (2021030051)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA JOMBANG

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya saya
dapat menyelesaikan penyusunan Makalah “Sistem Pelayanan Kesehatan Di Rumah
Sakit”.Dalam kesempatan ini saya menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan semua pihak
sehingga Makalah ini dapat terselesaikan karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dra. Hj. Soelijah Hadi, M.Kes, M.M., selaku Ketua STIKes Husada Jombang.
2. Ibu Sylvie Puspita,S.Kep.,Ns, selaku Kaprodi S1 Keperawatan.
3. Bapak Aditya Nuraminudin Aziz,s.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Dosen Wali Semester I S1
Keperawatan STIKes Husada Jombang.
4. Elly Rustanti, S. Si., M.Sc, selaku Pembimbing Akademik di STIKes Husada Jombang.
5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian dan penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhirnya semoga makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.

Jombang, 11 Mei 2022

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1


1.2 Rumus Masalah.............................................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................................1

BAB II PEMBAHSAN........................................................................................................2

2.1 Penyebab penyakit taeniasis..........................................................................................2

2.2 Epdemiologi, gejala klinis dan siklus hidup penyakit taeniasis...................................3

2.3 Pencegahan dan pengobatan penyakit taeniasis...........................................................5

BAB III PENUTUP.............................................................................................................7

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................7

3.2 Saran..............................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa kini, berbagai masalah kesahatan di masyarakat semakin kompleks dan


beragam. Permasalahan kesehatan yang sering terjadi di masyarakat tersebut, sering kali
disebabkan oleh hewan-hewan yang ada disekitar manusia. Salah satu hewan yang dapat
membawa dan menyebabkan penyakit kepada manusia ialah sekelompok hewan yang
termasuk dalam kategori serangga dalam hal ini khususnya adalah kelas antrophoda.

Sejatinya tidak semua hewan yang termasuk kategori serangga dapat membawa
penyakit dan memyebabkan penyakit pada manusia. Hal tersebut dikarenakan serangga-
serangga tersebut mempunyai racun (toksik) yang dapat menimbulkan penyakit dan kesakitan
pada manusia. Salah satu contoh antrophoda yang dapat menyebabkan penyakit taeniasis yang
disebabkan oleh cacing Taenia sp.

Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut megenai penyakit taeniasis
yang disebabkan oleh cacing Taenia sp. Selanjutnya makalah ini juga akan berisi mengenai
epidemiologi, siklus hidup, gejala klinis, pengobatan dan pencegahannya.

1.2 Rumus Masalah

1. Apa penyebab penyakit taeniasis?

2. Bagaimana epdemiologi, gejala klinis dan siklus hidup penyakit taeniasis?

3. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit taeniasis?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui penyebab penyakit taeniasis.

2. Untuk mengetahui epdemiologi, gejala klinis dan siklus hidup penyakit taeniasis.

3. Untuk mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit taeniasis.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penyebab Penyakit Taeniasis

Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taenia dewasa,
sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari
salah satu spesies cacing Taenia. Taeniasis dan sistiserkosis dapat terjadi akibat
pemeliharaan ternakyang tidak dikandangkan,pengolahan makanan yang kurang
matang,sanitasi lingkungan yang kurang baik, defekasi yang tidak dilakukan pada
tempatnya, dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan lingkungan. Taeniasis
tersebar di seluruh dunia dan sering dijumpai pada orang-orang yang selalu mengonsumsi
daging sapi atau daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna.

“Kondisi kebersihan lingkungan yang kurang baik akibat belum adanya kesadaran
masyarakat untuk melakukan defekasi pada tempatnya, dapat menyebabkan kontaminasi
pada makanan sapi dan babi, sehingga terjaditaeniasis dan sistiserkosis. Daerah yang
endemic untuk kedua penyakit ini adalah Sumatera Utara, Papua dan Bali”.( Margono etal.
2001).

Penularan sistiserkosis dapat melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh
telur cacing Taeniaspp. Penularan juga bisa terjadi secara autoinfeksi akibat kurangnya
kebersihan. Diagnosis taeniasis berdasarkan penemuan telur cacing atau proglotid dalam
feses manusia. Diagnosis pada hewan hidup dapat dilakukan dengan palpasi pada lidah
untuk menemukan adanya kista atau benjolan. Uji serologik bisa juga membantu dalam
mendiagnosis sistiserkosis pada manusia ataupun hewan. Cacing pita dewasa di dalam usus
dapat dibunuh dengan pemberian obat cacing dan pencegahannya dengan menghindari
daging mentah atau daging yang kurang matang, baik daging babi untuk T. solium dan T.
asiatica, dan daging sapi untuk T. saginata. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi
Taenia solium, T. saginata atau T. asiatica, ternak babi ataupun sapi dijauhkan dari tempat
pembuangan feses manusia.

2
2.2 Epidemiologi, Gejala Klinis dan Siklus Hidup Taeniasis

A. Epidemiologi Taeniasis

Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat


dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu daerah
dengan standar kehidupan yang rendah. Negara Indonesia merupakan negara dengan
mayoritas penduduk merupakan masyarakat beragama muslim dan tidak mengkonsumsi
daging babi. Namun, ada beberapa daerah, seperti Bali dan Papua, yang banyak
mengkonsumsi daging babi. Sampai saat ini, Papua masih menjadi daerah endemik
taeniasis dan sistiserkosis. (Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya, memiliki
prevalensi taeniasis solium sebesar 15% (Subahar et al., 2005). Sedangkan di Bali, dahulu
merupakan daerah endemis bagi taeniasis dan sistiserkosis, telah dilakukan penghentian
transmisi dari sistiserkosis (WHO, 2009).

B. Gejala Klinis

Gejala klinis pada babi yang terinfeksi umumnya tidak menunjukkan gejala klinis
sama sekali. Sistiserkus terdapat di otot, otak, hati dan jantung (CFSPH 2005). Gejala
klinis pada manusia umumnya bersifat asimptomatis, namun pada sebagian kasus pasien
akan mengalami rasa sakit pada perut, diare, pada balita sebagian pasien mengalami
muntah, diare, demam dan penurunan berat badan (CFSPH 2005). Gejala klinis
dipengaruhi oleh jumlah dan lokasi larva.

Infeksi Taenia ke manusia dapat melalui makanan yaitu mengonsumsi daging babi
atau sapi yang terinfeksi Taenia yang tidak dimasak sempurna atau mentah (CDC 2013).
Infeksi sistiserkosis akan menyebabkan gejala klinis pada saluran pencernaan, namun
apabila mengkonsumsi sayuran atau makanan yang tercemar telur Taenia maka cacing
tersebu akan tumbuh dan berkembang menjadi sistiserkosis yang terdapat di otot. (EC
2000). Babi dapat terinfeksi akibat mengkonsumsi pakan yang tercemar telur cacing atau
memakan feses babi yang terinfeksi (OIE 2014).

3
Taeniasis terjadi ketika telur atau larva cacing pita menginfeksi usus. Jenis cacing
pita yang dapat menyebabkan taeniasis antara lain:

1. Taenia saginata (saginata), yaitu cacing pita yang terdapat di daging sapi
2. Taenia solium (solium), yaitu cacing pita yang terdapat di daging babi

3. Taenia asiatica, yaitu cacing pita yang terdapat di daging sapi, tetapi hanya ada di Asia,
seperti Indonesia, Korea Selatan, India, atau Thailand

4. T. saginata dan T. asiatica lebih banyak ditemukan di daging sapi, tetapi juga dapat
ditemukan pada daging babi, terutama di bagian hati.

C. Siklus hidup

Untuk kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp. memerlukan 2 induk semang


yaitu induk semang definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapi untuk T.
saginatadan babi untuk T. solium). T.saginatatidak secara langsung ditularkan dari manusia
ke manusia, akan tetapi untuk T.soliumdimungkinkan bisa ditularkan secara langsung antar
manusia yaitu melalui telur dalam tinja manusia yang terinfeksi langsung ke mulut
penderita sendiri atau orang lain.

Di dalam usus manusia yang menderita Taeniasis (T. saginata) terdapat proglotid
yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila telur tersebut keluar bersama feses dan
termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan berkembang menjadi
onkoster(telur yang mengandung larva). Larva onkostermenembus usus dan masuk ke
dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke otot/daging dan
membentuk kista yang disebut C. bovis (larva cacing T. saginata). Kista akan membesar
dan membentuk gelembung yang disebut sistiserkus.

Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau
setengah matang. Dinding sistiserkus akan dicerna di lambung sedangkanlarva dengan
skoleks menempel pada usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh menjadi
cacingdewasayangtubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat menghasilkan telur.
Bila proglotid masak akan keluar bersama feses, kemudian termakan oleh sapi.
Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi dalam usus sapi akan menetas menjadi larva

4
onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup seperti di
atas. Siklus hidup T. soliumpada dasarnya sama dengan siklus hidup T. saginata, akan
tetapi induk semang perantaranya adalah babi dan manusia akan terinfeksi apabila
memakandaging babi yang mengandung kista dan kurang matang/tidak sempurna
memasaknyaatau tertelan telur cacing.T. saginatamenjadi dewasa dalam waktu10–12
minggudan T.solium dewasa dalam waktu 5–12 minggu (OIE,2005).Telur T. solium dapat
bertahan hidup di lingkungan (tidaktergantung suhu dan kelembaban) sampai beberapa
minggu bahkan bisa bertahan sampai beberapa bulan.

2.3 Pengobatan dan Pencegahan Taeniasis

A. Diagnosis Taeniasis

Diagnosis Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi


proglotid atau telur cacing dalam feses dibawah mikroskop. Telur cacing Taeniaberbentuk
spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di
feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid Taenia dapat
dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya. Cacing Taenia
juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya. Untuk diagnosis
sistiserkosissangat sulit dilakukan pada hewan hidup. Pada hewan kecil, diagnosis
dilakukan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat adanya kista yang
sudah mengalami kalsifikasi, sedangkan, pada hewan besar biasanya dilakukan secara post
mortemdengan melakukan pemeriksaan daging. Sistiserkus kadang-kadang dapat dideteksi
pada lidah babi atau sapi dengan melakukan palpasi akan teraba benjolan/nodul di bawah
jaringan kulit atau intramuskular. (GONZALEZ et al., 2001).

Pada manusia, diagnosis Taeniasis dilakukan selain dengan menemukan telur


cacing atau proglotid dalam feses, juga bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan serologi
yaitu dengan ELISA, Enzyme-linked Immunoelectro Transfer Blot (EITB), Complement
fixation dan haemagglutinationdan PCR (Polymerase Chain Reaction) (OIE,
2005).Sedangkan, diagnosis sistiserkosis dilakukan dengan pemeriksaan Computed
Tomography (CT) Scan dan MRI untuk mengidentifikasi adanya sistiserkus dalam otak.

5
Kistayang sudah mati atau mengalami kalsifikasi dalam daging/jaringan bisa terdeteksi
dengan pemeriksaan X-Ray. Biopsi juga bisadilakukan untuk memeriksa adanya
benjolan/kista di bawah jaringan kulit. Diagnosis secara serologi digunakan juga untuk
mendeteksi sistiserkosis pada ternak dan ELISA merupakan uji yang paling banyak
digunakan (CHO et al., 1992; YONG et al., 1993).

B. Upaya Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Taeniasis

Untuk mencegah Taeniasis pada manusia, dapat dilakukan dengan menghindari


memakan daging yang kurang matang, baik daging babi (untuk T. solium) maupun daging
sapi (untuk T. saginata). Daging yang terkontaminasi harus dimasak dahulu dengan suhu di
atas 56°C. Selain itu, dengan membekukan daging terlebih dahulu,dapatmengurangi risiko
penularan penyakit. Menurut FLISSERet al. (1986),daging yang direbus dan dibekukan
pada suhu -20°C dapat membunuh sistiserkus. Sistiserkus akanmati pada suhu -20°C,
tetapi pada suhu 0–20°C akan tetap hidup selama 2 bulan, dan pada suhu ruang akan tahan
selama 26 hari Pengobatan Taeniasis pada hewan bisa dilakukan dengan pemberian obat
cacing praziquantel, epsiprantel, mebendazole, febantel dan fenbendazole. Demikian juga
untuk pengobatan Taeniasis pada manusia, pemberian obat cacing praziquantel,
niclosamide, buclosamide atau mebendazole dapat membunuh cacing dewasa dalam usus.
Adapun sistiserkosis pada hewan bisa diobati dengan melakukan tindakan operasi (bedah).
Berdasarkan laporan dari OIE (2005), hanya sedikit sekali informasi tentang penggunaan
obat cacing terhadap penyakit sistiserkosis pada hewan. OIE (2008) melaporkan bahwa
pengobatan dengan albendazole dan oxfendazole pada sapi dan babi yang terinfeksi T.
saginata dan T. soliumkistanya mengalami degenerasi.

6
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taeniadewasa,
sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari
salah satu spesiescacing Taenia.Induk semang definitif dari T. saginata, T. solium danT.
asiaticahanya manusia, kecuali T.soliumdan T. asiaticamanusia juga berperan sebagai induk
semang perantara. Sedangkan, babi adalah induk semangperantara untuk T. soliumdan sapi
adalah induk semang perantara untuk T. saginata. Adapun induk semang definitif dari cacing
Taenia selain ketiga spesies tersebut adalah hewan carnivora(anjing/kucing).

Penularan Taeniasis melalui makanan yaitu memakan daging yang mengandung


larva, baik yang terdapat pada daging sapi (C. bovis) ataupun daging babi (C. celluloseatau
C. vicerotropika). Pemeriksaan feses dilakukan untuk menemukan adanya telur cacing atau
proglotidpada penderita Taeniasis terutama pada manusia. Pencegahan penyakit dapat
dilakukan dengan menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita Taeniasis dan
menghilangkan kebiasaan memakan daging setengah matang atau mentah.

Pemeriksaan daging oleh dokter hewan atau mantri hewandiRumah Potong Hewan
(RPH)perlu dilakukan, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi
masyarakat. Selain itu, ternak sapi atau babi dipelihara pada tempat yang tidak tercemar atau
dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran

3.2 Saran

1. Masyarakat hendaknya lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi daging terutama daging


sapi dan babi.

7
2. Pemeritah hendaknya terus mengawasi peredaran daging sapid an melakukan beberapa
upaya seperti infeksi mendadak untuk memeriksa apakah pada daging sapi di pasaran
mengandung cacing hati yang membahayakan kesehatan manusia.

8
DAFTAR PUSTAKA

Zulkoni, Akhsin. 2011. Parasitologi untuk Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan.


Yogyakrta: NuhaMedika.

Saridewi, Rismayani, Dr.drh. 2014. Emerging Parasit pada Daging. Bogor: Balai Pengujian
Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan.

Estuningsih, Endah Sawitri. 2009. Taeniasis dan Sistiserkosis merupakan Penyakit Zoonosis
Parasiter. Makalah tidak diterbitkan. Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.

MARGONO,S.S.,A.ITO,M.O.SATO,M.OKAMOTO,R.SUBAHAR,H.YAMASAKI,A.HAM
ID,T.WANDRA,W.H.PURBA,K.KANAYA,M.ITO,P.S.CRAIGand T.SUROSO. 2003.
Taenia soliumtaeniasis/cysticercosis in Papua, Indonesia in 2001:Detection of human
worm carriers. J. Helminthol. 77:39–42.

SUBAHAR, R., A. HAMID and W. PURBA. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya
(West Papua), Indonesia: A pilot serological survey of human and porcine cysticercosis
in Jayawijaya District. Trans. of the Royal Society of Trop. Med. and Hygiene 95: 388 –
390.

YONG, T.S., I.S. YEO, J.H. SEO, J.K. CHANG, J.S. LEE, T.S. KIM and G.H. JEONG.
1993. Serodiagnosis of cysticercosis by ELISA- inhibition test using monoclonal
antibodies. Korean J. Parasitol. 31(2): 149 – 156..

GONZALEZ, A.E., C. GAVIDIA, N. FALCON, T. BERNAL, M. VERASTEQUI, H.H.


GARCIA, R.H. GILMAN and V.C.W. TSANG. 2001. Protection of pigs with
cysticercosis from further infections after treatment with oxfendazole. Am. J. Trop.
Med. Hygiene 65: 15 – 18.

Rachim, Mutia. 2015. Taeniasis. http://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/32-taeniasis.html.

Anda mungkin juga menyukai