Anda di halaman 1dari 15

1.

1 Latar Belakang

Kesehatan adalah faktor penting didalam kehidupan manusia, karena kondisi


ini akan menunjang segala aktivitas yang akan dilakukan oleh manusia bisa berjalan
lancar. Namun kondisi ini terkadang mengalami suatu hambatan yang disebut
penyakit / sakit. Sakit adalah gangguan dalam fungsi normal individu sebagai totalitas
termasuk keadaan organisme sebagai sistem biologis dan penyesuaian sosialnya.
Permasalahan kesehatan yang sering terjadi di mkat seringkali disebabkan oleh
hewan-hewan yang ada di sekitar manusia. Salah satu hewan yang dapat membawa
dan menyebabkan penyakit kepada manusia adalah sekelompok hewan yang termasuk
dalam kategori serangga, dalam hal ini khususnyaadalah kelas antrophoda.
Sejatinya tidak semua hewan yang termasuk kategori serangga dapat
membawa penyakit dan menyebabkan penyakit pada manusia. Hal tersebut
dikarenakan serangga-serangga tersebut mempunyai racun (toksik) yang dapat
menimbulkan penyakit dan kesakitan pada manusia. Salah satu contoh antrophoda
yang dapat menyebakan penyakit Taeniasis yang disebabkan oleh cacing Taenia sp.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai penyakit
Taeniasis yang disebabkan oleh cacing Taenia sp. Selanjutnya makalah ini juga akan
berisi mengenai epidemologi, siklus hidup gejala klinis pengobatan dan
pencegahannya

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud Taeniasis ?
2. Bagaimana etiologi Taeniasis ?
3. Bagaimana patofisiologi Taeniasis ?
4. Bagaimana pemeriksaan penunjang Taeniasis ?
5. Bagaimana manifestasi klinis Taeniasis ?
6. Bagaimana penatalaksaan Taeniasis ?
7. Bagaimana peran perawat secara umum mengenai.Taeniasis ?
1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Taeniasis
- Untuk mengetahui penyebab Taeniasis
- Untuk mengetahui patofisiologi Taeniasis
- Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Taeniasis
- Untuk mengetahui gejala seseorang bila terjangkit Taeniasis
- Untuk mengetahui penatalaksanaan Taeniasis
- Untuk mengetahui peran perawat secara umum mengenai.Taeniasis

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi pembaca
Manfaat penyusunan karya tulis ilmiah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui
segala sesuatu tentang Taeniasis, bagaimana mekanisme penularan Taeniasis,
bagaimana gejala bila tertular, dan apa penyebab Taeniasis. Dengan demikian,
diharapkan masyarakat ikut memberantas penyakit ini secara aktif sehingga tidak
menjadi endemi di masyarakat.
1.4.2 Bagi penulis
Penulis dapat mengetahui tentang Taeniasis secara lebih mendalam.
Penulis dapat mengungkapkan pemikirannya dalam bentuk ilmiah.
Penulis dapat menghargai karya orang lain (dalam bentuk kutipan dan daftar
pustaka).
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Taeniasis
Taeniasis atau penyakit cacing pita adalah infeksi oleh cacing pita dewasa
yang tergolong dalam genus Taenia. Pada manusia dikenal 2 jenis infeksi cacing pita
yaitu Taeniasis Taenia Solium (penyakit cacing pita babi) oleh Tenia solium dan
Taeniasis Taenia saginata (penyakit cacing pita sapi) oleh Taenia saginata. Bentuk
larva (cysticercus) Taenia solium dapat menimbulkan infeksi yang dikenal sebagai
sistiserkosis (cysticercosis). Taeniasis dan sistiserkosis dapat terjadi akibat
pemeliharaan ternak yang tidak dikandangkan, pengolahan makanan yang kurang
matang, sanitasi lingkungan yang kurang baik, defekasi yang tidak dilakukan pada
tempatnya, dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan lingkungan.
Taeniasis tersebar di seluruh dunia dan sering dijumpai pada orang-orang yang selalu
mengonsumsi daging sapi atau daging babi mentah atau yang dimasak kurang
sempurna.

2.2 Manifestasi Klinis

2.2.1 Manifestasi klinis Taeniasis solium

Kait-kait pada skoleks tidak banyak menimbulkan gangguan pada dinding


usus tempatnya melekat. Keluhan penderita umumnya ringan, berupa rasa
tidak enak pada perut, gangguan pencernaan, konstipasi, sakit kepala dan
anemia. Sangat jarang terjadi adalah komplikasi peritonitis akibat kait yang
menembus dinding usus.
Diagnosis pasti taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa
(segmen atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau pada
pemeriksaan darah perianal. Telur cacing yang ditemukan tidak dapat
menentukan spesies cacing karena sama bentuknya dengan telur Taenia
Saginata.
2.2.2 Manifestasi klinis Taeniasis Saginata
Kelainan patologis tidak jelas, namun dapat timbul keluhan ringan berupa
rasa tidak enak perut, mual, muntah dan diare. Kadang-kadang terjadi
obstruksi usus oleh banyaknya cacing, sehingga timbul gejala ileus.
Pemeriksaan darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia ringan.
Diagnosis pasti taeniasis saginata ditetapkan jika ditemukan cacing dewasa,
segmen, skoleks, atau telur cacing di dalam tinja penderita. Bentuk skoleks
dan segmen yang khas menentukan diagnosis taeniasis saginata.
2.3 Patofisiologi Penyakit
Sistiserkus hidup hanya menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan
hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk melengkapi
siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot hospes selama berminggu-
minggu sampai bulanan. Oleh karena itu, kista akan mengembangkan mekanisme
untuk mengatasi respon imun penjamu. Pada hewan yang telah terinfeksi sebelumnya
dengan stadium kista kebal terhadap reinfeksi onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh
antibodi dan komplemen. Meskipun begitu dalam infeksi alami, respons antibodi
dibangun hanya setelah parasit berubah menjadi bentuk metacestoda yang lebih
resisten (Wiria, 2008).

Metacestoda dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk memproteksi diri


dari destruksi yang dimediasi komplemen dengan menghasilkan paramiosin.
Paramiosin akan mengikat dan menghambat jalur klasik aktivasi komplemen. Parasit
juga akan mensekresikan inhibitor protease serin yang disebut taeniastatin.
Taeniastatin dapat menghambat jalur aktivasi klasik atau alternatif, berintegrasi
dengan kemotaksis leukosit, dan menghambat produksi sitokin. Sedangkan
polisakarida sulfa, yang melapisi dinding kista, mengaktivasi komplemen untuk
menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen, dan membatasi jumlah sel radang
yang menuju parasit. Antibodi saja tidak dapat membunuh metacestoda matang. Kista
yang hidup juga dapat menstimulasi produksi sitokin yang dibutuhkan untuk
menghasilkan imunoglobulin yang kemudian diambil oleh kista dan diperkirakan ini
merupakan sumber protein (CFSPH, 2005; White, 1997).
Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun seluler dengan
menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala akan muncul ketika
kista tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu (White, 1997).
2.4 Etiologi Penyakit
Penyakit Taeniasis disebabkan oleh cacing pita genus Taenia yang menginfeksi
manusia di dalam usus. Jenis cacing yang menginfeksinya bisa berupa cacing dewasa
maupun larvanya. Sistiserkosis yang disebabkan oleh larva atau metaestoda T.Solium
merupakan salah satu zoonis yang dapat memberikan gejala-gejala berat khususnya
bila larvva terdapat pada otak atau mata.
Jenis cacing pita yang bersifat obligatory-cyclozoonoses adalah Taenia Saginata,
dan T. Solium, karena hanya manusia sebagai inang definitif yang dapat terinfeksi
cacing dewasa. Sedangkan cacing yang lain inang definitif utamanya adalah
karnovora. Tentu saja yang bertindak sebagai inang antara (infeksi larva) adalah
hewan ternak, kesayangan, bahkan hewan liar yang erat hubungannya dengan
kehidupan manusia baik dalam rantai makanan maupun kontak dengan lingkungan
mereka.
2.4.1 Taenia Saginata
Cacing pita jenis Taenia Saginata terdapat pada daging sapi. Bila sudah
menginfeksi manusia, cacing dewasanya dapat ditemukan di dalam usus
manusia. Cacing Taenia Saginata berbentuk pipih panjang seperti pita dan
tubuhnya beruas-ruas (segmen). Panjangnya rata-rata 5m bahkan bisa
mencapai 25m yang terdiri atas lebih dari 1000 segmen (Pawlowski &
Schultz 1972; Soulsby 1982; Smyth 2004). Cacing ini memiliki kepala yang
disebut scolex, berdiameter 2mm menempel pada permukaan selaput lendir
usus manusia. Ketika mencapai stadium dewasa, lebih dari separuh
segmennya telah mengandung telur, namun hanya beberapa puluh segmen
yang mengandung telur matang disebut segmen gravid. Segmen gravid
kurang lebih mengandung 800.000 telur pada setiap segmen (Soulsby, 1982).
Berbeda dengan T. solium, segmen gravid T. saginata spontan keluar dari
anus penderita secara aktif, kadang-kadang keluar bersama tinja ketika
defekasi. Apabila telur yang bebas dari segmen gravid tersebut mencemari
lingkungan pakan ternak sapi/kerbau, telur yang tertelan ternak menetas
dalam ususnya. Embrio (oncosphere) cacing menembus dinding usus
kemudian bermigrasi ke seluruh bagian tubuh melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening. Selama migrasi oncosphere mengalami perkembangan
sampai tiba pada habitat yang cocok tumbuh menjadi larva setelah 2-3 bulan.
Larva ini juga disebut metacestoda atau lebih dikenal sebagai cacing
gelembung yang berukuran (4-5)mm x (7.5-10)mm. Larva yang menyerupai
balon kecil yang berisi cairan ini disebut Cysticercus bovis dapat ditemukan
dalam jaringan otot/organ tubuh sapi/kerbau. Habitat utamanya adalah otot
lidah, otot pengunyah, diafragma, jantung (Urquhart et al. 1987), namun
dengan infeksi percobaan (T. saginata strain Bali) cysticercus tersebar ke
seluruh otot sapi coba (Dharmawan 1995). Di dalam tubuh sapi cysticercus
dapat bertahan hidup selama beberapa tahun. Manusia yang mengonsumsi
daging sapi yang mengandung cysticercus hidup selanjutnya berkembang
menjadi T. saginata dalam ususnya.
2.4.2 Taenia Solium
Cacing ini disebut juga cacing pita daging babi karena hewan babi
bertindak sebagai inang antaranya yang mengandung larvanya. Ukuran cacing
dewasa relatif lebih pendek dibandingkan dengan T. saginata yaitu antara 2-8m
(Noble & Noble 1982; Soulsby 1982). Setiap individu cacing dewasa terdiri atas
800-900 segmen (Cheng 1986) hingga 1000 segmen (Soulsby 1982; Noble &
Noble 1982). Berbeda dengan scolex T. saginata, selain diameternya lebih kecil
yaitu 1mm dilengkapi dengan 2 baris kait di sekeliling rostellumnya. Mungkin
karena ukurannya lebih kecil, setiap segmen gravidnya mengandung 4000 telur.
Segmen gravid T. solium dikeluarkan bersama-sama tinja penderita taeniasis
solium. Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama dengan
Taenia yang lain, yang membedakan adalah inang antaranya yaitu babi. Namun
menurut beberapa penulis pernah dilaporkan bahwa mamalia piaraan lainnya
dapat juga sebagai inang antaranya (Ito et al. 2002). Babi adalah hewan
omnivora termasuk makan tinja manusia, oleh karena itu sering ditemui
beberapa ekor babi menderita cysticercosis berat, sehingga sekali menyayat
sepotong daging tampak ratusan Cysticercus cellulosae (Noble & Noble 1982).
Larva ini mudah ditemukan dalam jaringan otot melintang tubuh babi.
Celakanya telur T. solium juga menetas dalam usus manusia sehingga manusia
dapat bertindak sebagai inang antara walaupun secara kebetulan (Townes 2004;
Wandra et al. 2003). Pada tubuh manusia penderita cysticercosis, larva cacing
(Cysticercus cellulosae) dapat ditemukan dalam jaringan otak besar maupun
kecil, selaput otak, jantung, mata, dan di bawah kulit (Noble & Noble 1982;
Simanjuntak et al 1997; Wandra et al. 2003). Penularan dapat terjadi secara
langsung karena menelan telur cacing yang mengontaminasi makanan atau
minuman. Tetapi yang sering terjadi adalah autoinfeksi melalui tangan yang
kurang bersih/setelah menggaruk-garuk bagian. tubuh yang terkontaminasi telur
cacing atau secara internal yang diakibatkan oleh refleks muntah pada penderita
taeniasis.

2.5 Penatalaksanaan Taeniasis atau Sistiserkosis


Adapun pasien taeniasis dapat diobati dengan cara prazikuantel dengan diberikan
dosis sebanyak 510mg/kg BB dengan dosis tunggal. Adapun cara pemberian prazikuantel
yaitu sebagai berikut :

1. Sehari sebelum diberikan prazikuantel, penderita sebaiknya dianjurkan untuk


mengkonsumsi makanan yang lunak dan tidak mengandung minyak dan juga serat.
2. Pada malam harinya sesudah melakukan makan malam penderita diharuskan
menjalani puasa sampai besok.
3. Keesokan harinya di saat perut dalam keadaan kosong penderita diberikan
prazikuantel.
4. Setelah dua hingga dua setengah jam pasien diberikan garam Inggris atau MgSO4,
sebanyak 30 gram untuk penderita yang sudah dewasa dan sebanyak 5 gram sampai
7,5 gram diberikan untuk penderita yang masih anak-anak, disesuaikan dengan umur
dan dilarutkan ke dalam sirop (dengan pemberian sekaligus).
5. Kemudian penderita tidak boleh mengkonsumsi makanan hingga buang air besar
untuk yang pertama kali . Sesudah buang air besar maka penderita bisa diberi makan
bubur.
6. Adapun sebagian kecil tinja yang berasal dari kegiatan buang air besar yang pertama
dikumpulkan ke dalam botol yang diisi formalin 510% untuk memeriksa telur
Taenia sp. Lalu tinja buang air besar yang pertama dan berikutnya hingga 24 jam
ditampung ke dalam baskom kemudian disiram dengan air mendidih, lalu diayak
kemudian disaring untuk memperoleh proglotid sertaskoleks Taenia sp. Apabila
terdapat cacing dewasa, maka cacing menjadi relaks akibat pemberian air panas.
7. Skoleks dan Proglotid dikumpulkan lalu disimpan dalam botol berisi alkohol 70%
sebagai pemeriksaan morfologi yang penting untuk mengidentifikasi spesies dari
cacing pita tersebut.
Untuk penanganan selanjutnya pasien neurosistiserkosis sebaiknya dirujuk dengan
segera ke rumah sakit.

2.6 Pemeriksaan Penunjang Taeniasis sp


2.6.1 Pemeriksaan Penunjang Taeniasis solium
Diagnosis pasti Taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa
(segmen atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau pada
pemeriksaan daerah perianal. Namun, telur dan proglotid tidak akan ditemukan
pada feses selama 2-3 bulan setelah cacing dewasa mencapai bagian atas jejunum.
Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 3 sampel yang disarankan untuk
dikumpulkan pada hari yang berbeda (CDC, 2010). Telur cacing yang ditemukan
tidak dapat dibedakan dengan Echinococcus (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005),
penentuan mungkin dapat dilakukan apabila ditemukan proglotid yang matang
atau gravid dengan menghitung percabangan uterus (CDC, 2010; Ideham dan
Pusarawati, 2007).
Cara lain untuk mendiagnosa taeniasis adalah dengan menemukan proglotid
atau telur dalam feses. Telur juga dapat ditemukan dengan menggunakan pita
adhesif yang ditempelkan pada daerah sekitar anus (CFSPH, 2005).
Perbedaan Morfologi Taenia sp. :

Karakteristik Taenia solium Taenia saginata


Hospes perantara Babi, manusia, Hewan ternak,
anjing, babi hutan rusa.
Lokalisasi Otot, otak, kulit, Otot, organ
mata, lidah viseral, otak
Ukuran (mm) 5-8 x 3-6 7-10 x 4-6
Skoleks Rostelum dengan Tidak ada
kait rostelum dan kait
Skoleks Rostelum dengan Tanpa rostelum,
kait tanpa kait
Jumlah cabang 7-12 18-32
uterus pada
proglottid gravid
Ekspulsi dari Terutama dalam Hanya satu, aktif
manusia kelompok, secara
pasif

2.6.2 Pemeriksaan Penunjang Taeniasis saginata


Diagnosa Taenia saginata dapat menggunakan pita perekat (tes Graham).
Untuk Taenia saginata test ini sangat sensitif, namun tidak pada Taenia solium
(Garcia et al., 2003). Pemeriksaan diagnostik terbaik untuk taeniasis intestinal
adalah deteksi koproantigen ELISA yang dapat mendeteksi molekul spesifik
dari taenia pada sampel feses yang menunjukkan adanya infeksi cacing pita.
Sensitivitas dari ELISA sekitar 95% dan efektivitasnya sekitar 99% (Garcia et
al., 2003; WHO, 2009).

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang Sistiserkosis


Pencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis (Wiria, 2008).
Untuk mendiagnosa neurosistiserkosis dan mengevaluasi gejala neurologis
dapat dipakai CT scan dan MRI (CFSPH, 2005). CT scan adalah metode terbaik
untuk mendeteksi kalsifikasi yang merupakan infeksi inaktif. CT lebih unggul
daripada MRI, sebaliknya MRI lebih sensitif untuk menemukan kista di
parenkim dan ekstraparenkim otak, termasuk dalam mendeteksi reaksi
peradangan (Wiria, 2008). Pada hasil dari pemeriksaan CT scan atau MRI,
mungkin dijumpai nodul padat, kista, kista yang telah terkalsifikasi, lesi cincin,
atau hidrosefalus (Pearson, 2009a).
Pada pemeriksaan radiologis, apabila dijumpai kista yang hidup, dinding kista
tidak terlihat dan cairan sistiserkus memiliki kepadatan yang sama dengan
cairan serebrospinal. Ketika parasit mulai kehilangan kemampuan untuk
memodulasi respon imun, pada awalnya, akan terlihat peningkatan kontras
sekitar kista. Pada akhirnya, akan terlihat gambaran peningkatan kontras seperti
cincin atau nodul (Garcia et al., 2002).
Kista yang tidak aktif (terkalsifikasi) pada berbagai bagian tubuh, termasuk
otak dan otot, mungkin dapat terlihat pada foto X-ray. Biopsi dapat dilakukan
untuk nodul subkutan dan larva di mata dapat ditemukan pada pemeriksaan
mata. Spesies dari larva dapat diidentifikasi setelah operasi (CFSPH, 2005).
Tes serologi kebanyakan menggunakan antigen yang tidak terfraksi yang
menyebabkan positif dan negatif palsu. Hal ini diperkirakan karena aviditas kista
dengan immunoglobulin yang menyebabkan positif palsu (White, 1997). Pada
manusia ada beberapa jenis pemeriksaan serologis termasuk enzyme-linked
immunoelectrotransfer blot (EITB), ELISA, fiksasi komplemen, dan
hemaglutinasi (CFSPH, 2005). Antibodi mungkin ditemukan pada serum atau
cairan serebrospinal (CFSPH, 2005). Namun, immunoblot assay CDC, yang
menggunakan serum spesimen, sangat spesifik dan lebih sensitif dibandingkan
pemeriksaan enzim immunoassay lainnya (umumnya ketika terdapat lebih dari 2
lesi sistem saraf pusat, sensitivitas lebih rendah daripada hanya ada satu kista)
(Pearson, 2009a). Dekade terakhir pemeriksaan standar dengan metode serologis
untuk diagnosa sistiserkosis adalah immunoblot yang dibantu dengan
pemeriksaan spesifik ELISA (Garcia et al., 1999; Margono et al., 2003).
Pemeriksaan EITB telah terbukti spesifik untuk infeksi T.solium. EITB sensitif
pada kista parenkim aktif multipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim.
Meskipun demikian sensitivitasnya rendah pada pasien dengan kista parenkimal
atau kalsifikasi sehingga pada infeksi inaktif pemeriksaan serologi seringkali
negatif. Pemeriksaan serologi berperan penting di daerah yang belum memiliki
fasilitas CT dan MRI (White, 1997). Pemeriksaan EITB menunjukkan spesifisitas
dan sensitivitas yang masing-masing bernilai mendekati 100% dan 98% apabila
pemeriksaan dilakukan pada neurosistiserkosis dengan 2 kista atau lebih yang
masih hidup (WHO, 2009). Pemeriksaan ELISA dengan menggunakan antigen
rekombinan memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas 100%. Namun, kelemahan
ELISA adalah tidak dapat mendeteksi kista yang telah berdegenerasi (WHO,
2009).
2.6 Peran perawat profesional

1. Pemberi Asuhan Keperawatan

Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat membantu klien mendapatkan kembali


kesehatannya melalui proses penyembuhan. Perawat memfokuskan asuhan pada
kebutuhan kesehatan klien secara holistic, meliputi upaya untuk mengembalikan
kesehatan emosi, spiritual dan sosial. Pemberi asuhan memberikan bantuan kepada klien
dan keluarga klien dengan menggunakan energy dan waktu yang minimal. Selain itu,
dalam perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat memberikan perawatan
dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui
pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga
dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan
tindakan yang tepat dan sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat
dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatannya dilakukan dari
yang sederhana sampai yang kompleks.

2. Pembuat Keputusan Klinis

Membuat keputusan klinis adalah inti pada praktik keperawatan. Untuk memberikan
perawatan yang efektif, perawat menggunakan keahliannya berfikir kritis melalui proses
keperawatan. Sebelum mengambil tindakan keperawatan, baik dalam pengkajian kondisi
klien, pemberian perawatan, dan mengevaluasi hasil, perawat menyusun rencana tindakan
dengan menetapkan pendekatan terbaik bagi klien. Perawat membuat keputusan sendiri
atau berkolaborasi dengan klien dan keluarga. Dalam setiap situasi seperti ini, perawat
bekerja sama, dan berkonsultasi dengan pemberi perawatan kesehatan professional
lainnya

3. Pelindung dan Advokat Klien

Sebagai pelindung, perawat membantu mempertahankan lingkungan yang aman bagi


klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serta melindungi
klien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan diagnostic atau
pengobatan. Contoh dari peran perawat sebagai pelindung adalah memastikan bahwa
klien tidak memiliki alergi terhadap obat dan memberikan imunisasi melawat penyakit di
komunitas. Sedangkan peran perawat sebagai advokat, perawat melindungi hak klien
sebagai manusia dan secara hukum, serta membantu klien dalam menyatakan hak-haknya
bila dibutuhkan. Contohnya, perawat memberikan informasi tambahan bagi klien yang
sedang berusaha untuk memutuskan tindakan yang terbaik baginya. Selain itu, perawat
juga melindungi hak-hak klien melalui cara-cara yang umum dengan menolak aturan atau
tindakan yang mungkin membahayakan kesehatan klien atau menentang hak-hak klien.
Peran ini juga dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpetasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain
khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan
kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien
yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya,
hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti
rugi akibat kelalaian.

4. Manager Kasus

Dalam perannya sebagai manager kasus, perawat mengkoordinasi aktivitas anggota


tim kesehatan lainnya, misalnya ahli gizi dan ahli terapi fisik, ketika mengatur kelompok
yang memberikan perawatan pada klien. Berkembangnya model praktik memberikan
perawat kesempatan untuk membuat pilihan jalur karier yang ingin ditempuhnya.
Dengan berbagai tempat kerja, perawat dapat memilih antara peran sebagai manajer
asuhan keperawatan atau sebagai perawat asosiat yang melaksanakan keputusan manajer
(Manthey, 1990). Sebagai manajer, perawat mengkoordinasikan dan mendelegasikan
tanggung jawab asuhan dan mengawasi tenaga kesehatan lainnya.

5. Rehabilitator

Rehabilitasi adalah proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi maksimal setelah
sakit, kecelakaan, atau kejadian yang menimbulkan ketidakberdayaan lainnya. Seringkali
klien mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan mereka. Disini,
perawat berperan sebagai rehabilitator dengan membantu klien beradaptasi semaksimal
mungkin dengan keadaan tersebut.

6. Pemberi Kenyamanan

Perawat klien sebagai seorang manusia, karena asuhan keperawatan harus ditujukan
pada manusia secara utuh bukan sekedar fisiknya saja, maka memberikan kenyamanan
dan dukungan emosi seringkali memberikan kekuatan bagi klien sebagai individu yang
memiliki perasaan dan kebutuhan yang unik. Dalam memberi kenyamanan, sebaiknya
perawat membantu klien untuk mencapai tujuan yang terapeutik bukan memenuhi
ketergantungan emosi dan fisiknya.

7. Komunikator

Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien dan keluarga, antar sesama perawat
dan profesi kesehatan lainnya, sumber informasi dan komunitas. Dalam memberikan
perawatan yang efektif dan membuat keputusan dengan klien dan keluarga tidak mungkin
dilakukan tanpa komunikasi yang jelas. Kualitas komunikasi merupakan factor yang
menentukan dalam memenuhi kebutuhan individu, keluarga dan komunitas.

8. Penyuluh

Sebagai penyuluh, perawat menjelaskan kepada klien konsep dan data-data tentang
kesehatan, mendemonstrasikan prosedur seperti aktivitas perawatan diri, menilai apakah
klien memahami hal-hal yang dijelaskan dan mengevaluasi kemajuan dalam
pembelajaran. Perawat menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kemampuan
dan kebutuhan klien serta melibatkan sumber-sumber yang lain misalnya keluarga dalam
pengajaran yang direncanakannya.

9. Kolaborator

Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang
terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi
pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam
penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.

10. Edukator

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan
kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahab
perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.

11. Konsultan

Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien
tehadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

12. Pembaharu

Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan,


kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan.
BAB 3

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Taeniasis atau penyakit cacing pita adalah infeksi oleh cacing pita dewasa yang
tergolong dalam genus Taenia. Pada manusia dikenal 2 jenis infeksi cacing pita yaitu
Taeniasis Taenia Solium (penyakit cacing pita babi) oleh Tenia solium dan Taeniasis
Taenia saginata (penyakit cacing pita sapi) oleh Taenia saginata.

Penyakit Taeniasis disebabkan oleh cacing pita genus Taenia yang menginfeksi
manusia di dalam usus. Jenis cacing yang menginfeksinya bisa berupa cacing dewasa
maupun larvanya. Sistiserkosis yang disebabkan oleh larva atau metaestoda T.Solium
merupakan salah satu zoonis yang dapat memberikan gejala-gejala berat khususnya
bila larvva terdapat pada otak atau mata.
3.2 Saran

Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani kasus Taeniasis


karena penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami beberapa komplikasi
seperti penyakit hidatidosa, pencernaan tersumbat, gangguan sistem syaraf pusat dan
otak, serta terganggunya fungsi organ

Anda mungkin juga menyukai