PENDAHULUAN
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya
merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang
termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies
yang penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang
tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan
Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000). Selain melalui tanah, penularannya juga dapat
melalui makanan yakni daging sapi atau babi yang terinfeksi sistiserkosis yakni yang
disebabkan oleh cacing pita Taenia Saginata & Taenia Solium.
Taeniasis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pita dari genus
Taenia dan infeksi oleh larvanya disebut sistiserkosis. Taeniasis dan sistiserkosis
merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti
yang dikonfirmasi pada statistika yaitu daerah dengan standar kehidupan yang rendah.
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat ditemukan
pada seluruh bagian dunia. Sekitar 50 juta orang di seluruh dunia terinfeksi oleh Taenia
sp.
Ascariasis merupakan Infeksi Kecacingan yang disebabkan oleh Ascaris
lumbricoides atau cacing gelang panjangnya kira-kira 10-15 cm dan biasanya bermukim
dalam usus halus. Kira-kira 25% dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini,
terutama di negara tropis (70-90%). Cacing betina mengeluarkan telur yang sangat
banyak, sehingga 200.000 telur sehari melalui tinja. Penularan terjadi melalui makanan
yang terinfeksi oleh telur dan larvanya (panjangnya kira-kira 0.25 mm) yang berkembang
di dalam usus halus.
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
a. Infeksi Kecacingan.
b. Penyakit Taeniasis.
c. Penyakit Ascariasis.
d. Faktor Determinan dari Infeksi Kecacingan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
karena makan daging sapi atau daging babi yang tidak di masak sempurna atau
masih mentah. Taenia saginata tersebar luas di seluruh dunia, dengan daerah
endemis tinggi di Afrika Tengah, Afrika Timur, Rusia, Asia Tenggara, Eropa,
dan Amerika Selatan.
Penyebaran Taenia dan kasus infeksi akibat Taenia lebih banyak
terjadi di daerah tropis karena daerah tropis memiliki curah hujan yang tinggi
dan iklim ( parasit taeniasis mati pada suhu -10 derajat celcius dan suhu 57
derajat celcius) sehingga iklim Negara tropis yang sesuai untuk perkembangan
parasit ini.
4
Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur
mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid
paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat
ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid uterus berbentuk
batang memanjang di pertengahan segmen, mempunyai 15-30 cabang
di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan
tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen gravid
Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan
segmen gravid cacing pita babi.
Telur Taenia saginata memiliki morfologi yang tidak dapat
dibedakan dengan telur Taenia. Telur Taenia sp. berbentuk bulat
dengan diameter antara 31-43 mikron.Telur ini memilki embriopor
yang bergaris radier, dengan ukuran 30-40 x 20-30 m, mengelilingi
embrio heksasan.
2. Taenia solium
Taksonomi dari Taenia solium adalah:
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoidea
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Taenia
Spesies : solium
5
Cacing dewasa dari Taenia solium berukuran panjang antara 2-
4 meter, dan dapat hidup sampai 25 tahun lamanya. Bentuk dari cacing
dewasa seperti pipa, pipih dorsoventral, dan tubuhnya terdiri atas
skoleks (kepala), leher, dan strobila yang terdiri dari segmen proglotid.
Setiap cacing Taenia solium mempunyai segmen yang berjumlah
kurang dari 1000 buah.
Adapun perbedaan antara spesies cacing pita Taenia dapat dilihat pada
Tabel 1 di bawah ini.
6
2 Inang antara Babi dan manusia Sapi
7
kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan,
cacing Taenia solium menjadi dewasa dan mampu memproduksi telur.
Seekor cacing Taenia solium dapat memproduksi 50.000 sampai 60.000
telur setiap hari.
Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari
hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan
terinfeksi jika pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang
berembrio atau proglotid gravid.
Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium
(sistiserkorsis). Hal ini dapat terjadi apabila manusia termakan telur dari
cacing tersebut dari hasil ekskresi manusia. Teori lainnya adalah
autoinfeksi. Namun, teori ini belum dibuktikan. Jika terdapat cacing pita
dewasa pada usus, peristaltik yang berlawanan pada gravid proglotid
akan menyebabkan proglotid bergerak secara retrograd dari usus ke
lambung. Telur hanya dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi
gaster diikuti dengan sekresi usus sehingga setelah terjadi peristaltik
yang bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding
usus, mengikuti aliran kelenjar getah bening atau aliran darah. Larva
selanjutnya akan bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral,
dan sistem saraf pusat dan membentuk sistiserkus. Sistiserkosis dapat
terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung dari lokasi
sistiserkus. Proglotid dari Taenia solium kurang aktif dibandingkan
dengan Taenia saginatasehingga kemungkinan untuk ditemukan pada
lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang.
8
2) Taenia saginata
Siklus hidup cacing ini hampir sama seperti cacing pita babi. Dalam hal
ini yang berlaku sebagai hospes perantara adalah sapi. Sapi dapat tertular
melalui rumput yang tercemar oleh feses manusia yang terinfeksi cacing
tersebut. Pada pencernaan sapi, cairan lambung serta cairan usus atau
enzim membuat telur menetas dalam 10-40 menit dan melepaskan zigot
dalam bentuk heksakan embrio yang kemudian menembus lapisan
mukosa saluran pencernaan untuk memasuki sirkulasi darah (kapiler
darah atau saluran limpha). Dari pembuluh darah, zigot akan menetap di
otot dalam waktu 12-15 minggu dan kemudian tumbuh larva yang
membentuk kista. Onchospore yang tertelan sapi akan dilepas pada
lumen usus melalui proses enzimatik. Onchospore lalu akan menembus
dinding usus, kemudian melalui sirkulasi akan mencapai predileksinya,
yakni otot jantung, rahang lidah dan diafragma. Kista tersebut disebut
Cysticercus bovis terdapat pada otot masseter, paha belakang, kelosa
serta otot lainnya.
Bila daging sapi berisi kista tersebut dimakan manusia dalam keadaaan
mentah atau setengah matang, Cysticercus bovisakan mengadakan
evaginasi (penonjolan keluar). Protoskoleks akan melekat pada mukosa
usus, untuk menjadi dewasa (masa inkubasi) membutuhkan 8-10
minggu.Enzim-enzim pencernaan akan memecah kista dan melepaskan
larva cacing. Selanjutnya, larva cacing yang menempel di usus kecil
akan berkembang hingga mencapai 5 meter dalam waktu tiga bulan.
Cacing Taenia saginata yang menempel tersebut yang menyebabkan
seseorang mengalami Taeniasis (infeksi cacing pita). Pada cacing jenis
ini (beef tapeworm) manusia merupakan inang (hospes) definitif. Cacing
dewasa Taenia saginata menimbulkan infeksi pada usus manusia.
Cacing dewasa hidup di bagian atas jejunum. Cacing ini dapat bertahan
hidup sampai 25 tahun.
9
Proglotid gravid terlepas dari strobila, keluar bersama tinja, à pecah
dan mengeluarkan telur. Telur dapat bertahan beberapa minggu di luar tubuh.
Jika termakan oleh sapi atau babi, akibat pengaruh asam lambung, getah
pankreas dan empedu, telur akan pecah dan mengeluarkan embryo hexacanth
yg mampu menembus dinding usus.
Melalui peredaran darah à jaringan otot dan subkutan.Dalam 12-15
minggu menjadi kista,
Larva cacing pita lebih bahaya dari dari telur dan cacing dewasa karena
larva cacing pita menyerang jaringan lunak sedangkan cacing dewasa
menyerang sistem pencernaan.
10
makanan. Pada anak-anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam,
kehilangan berat badan, dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah
dilaporkan adalah insomnia, malaise, dan kegugupan.
Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada
tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi
yang menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat.
Gejala Klinik Taeniasis saginata
Gambaran klinik dan diagnosa Taeniasis saginata pada usus hampir
serupa dengan infeksi Taeniasis solium. Pada taeniasis saginata terjadi
inflamasi sub-akut pada mukosa usus. Proglotid dari Taenia saginata dapat
bermigrasi ke berbagai organ seperti apendiks, uterus, duktus biliaris, dan
nasofaring sehingga menyebabkan appendisitis, kholangitis, kolesistitis dan
sindrom lainnya. Pada kasus yang langka, dapat ditemukan obstruksi usus
atau perforasi.
Kelainan patologis yang tampak pada penderita umumnya tidak jelas.
Namun dapat timbul gejala seperti rasa tidak enak pada perut, mual,muntah,
dan diare. Gejala lainnya berupa ileus yang dapat ditimbulkan oleh adanya
obstruksi usus karena banyaknya jumlah cacing.
11
daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat
sanitasilingkungannya masih rendah, seperti di Asia Tenggara, India, Afrika
Selatan, dan Amerika Latin.
Sumber : WHO,2015
Negara
12
Taiwan,
1.661 orang penderita taeniasis.
Cina
Salah satu bukti lebih luasnya penyebaran Taenia di daerah tropis yaitu
ditemukannya spesies ketiga penyebab taeniasis pada manusia di beberapa
negara Asia yang dikenal dengan sebutan Taiwan Taenia atau Asian Taenia.
Asian Taenia dilaporkan telah ditemukan di negara-negara Asia yang
umumnya beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina,
Korea dan Cina. Kini Asian Taenia disebut Taenia asiatica. Kejadian T.
asiatica yang tinggi terutama ditemukan di Pulau Samosir, Indonesia.
Sistiserkosis merupakan infeksi yang sering ditemukan pada babi dan manusia
terutama di negara berkembang. Penularan sistiserkosis pada manusia
dipengaruhi antara lain oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak
adanya pemeriksaan kesehatandaging saat penyembelihan, dan
konsumsidagingmentah atau setengah matang. Penyebaran penyakit ini luas
karena Taenia dapat memproduksi puluhan bahkan ratusan ributelur setiap
hari yang dapat disebar oleh airhujan ke lingkungan bahkan pada lokasi yang
jauh dari tempat pelepasan telur (Anonimus,2010).
13
Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk
merupakan masyarakat beragama muslim dan tidak mengkonsumsi daging
babi. Namun, ada beberapa daerah, seperti Bali dan Papua, yang banyak
mengkonsumsi daging babi. Sampai saat ini, Papua masih menjadi daerah
endemik taeniasis dan sistiserkosis (Handojo dan Margono, 2008b).
Berdasarkan umur :
14
Menurut waktu :
Penyakit ini sampai sekarang terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali,
Sumatera Utara dan Papua. Prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua
pada tahun 1997 yaitu 42,7%
Di Sumatera Utara, prevalensi taeniasis dan sistiserkosis sejak tahun 1972-2000
dilaporkan berkisar antara 1,9% sampai 2,29% (Simanjuntak dan Widarso,
2004).
15
Penelitian mengenai sistiserkus Taenia solium di tahun 2002, didapatkan
prevalensi sistiserkosis pada babi di China, India, dan Nepal adalah 5,4, 9,3,
dan 32,5% (Rajshekhar et al., 2003).
Pada penelitian epidemiologi yang diadakan tahun 2003 sampai 2006 oleh
Wandra, dari 240 orang menunjukkan 2,5% positif terinfeksi Taeniasis. Pada
tahun 2003, dijumpai 2 orang positif dari 58 orang (3,4%), sedangkan pada
tahun 2005 ditemukan 4 dari 182 orang positif (2,2%) (Wandra et al., 2007).
Penelitian sistiserkosis pada babi yang dilakukan oleh Maitindom (2008) pada
Kabupaten Jayawijaya, Papua didapatkan angka prevalensi 77,1%.
Penelitian oleh Gweba et al. (2010) di Itali, memeriksa babi hidup dengan
palpasi lidah dan juga pemeriksaan inspeksi daging. Dari penelitian tersebut,
didapatkan angka temuan sistiserkus sebesar 5,85% dan 14,4% dari masing-
masing pemeriksaan.
2.2.7. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan tindakan- tindakan
sebagai berikut (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005) :
a. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan
mencegah terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing (Soedarto,
2008).
b. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas
larva cacing (sistiserkus). Pengawasan yang dilakukan pada negara
endemis biasanya adalah inspeksi yang dilakukan di rumah
potong. Namun, inspeksi yang dilakukan tidak dapat menyaring
semua kasus yang sangat ringan.
o
c. Memasak daging sampai diatas 50 C selama 30 menit, untuk
membunuh kista cacing, membekukan daging (Soedarto, 2008).
d. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja
manusia sebagai makanan babi, tidak membuang tinja di
sembarang tempat (Ideham dan Pusarawati,2007; WHO, 2009).
e. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur
yang tidak dimasak yang tidak dapat dikupas (Soedarto, 2008).
16
f. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang
disaring, atau air yang dididihkan selama 1 menit(Soedarto, 2008).
g. Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan
(Garciaetal.,2003).
h. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazoleoral
(30mg/kgBB).
i. Bila perlu, vaksinasi dengan TSOL 18, setelah dilakukan eliminasi
parasit dengan kemoterapi (WHO, 2009).
j. Meningkatkan pendidikan komunitas dalam kesehatan
(kebersihan, mempersiapkan makanan, dan sebagainya)(WHO,
2009).
17
Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan
mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup
atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan
18
Siklus hidup cacing ini mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan sejak
infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan
200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 –
4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian stadium
ini merupakan stadium larva, di mana telur tersebut keluar bersama tinja
manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I sampai
stadium III yang bersifat infektif Telur-telur ini tahan terhadap pengaruh cuaca
buruk, berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun di tempat
yang lembab. Didaerah hiperendemik,anak-anak terkena infeksi secara
terusmenerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi dewasa
dan menggantikannya. Apabila makanan atau minuman yang mengandung
telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan
berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris
hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun
melalui kontak langsung dengan kulit .
2.3.5. Aspek Klinik
Kelainan - kelainan yang terjadi pada tubuh penderita akibat pengaruh migrasi
larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang kena infeksi tidak
menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar
19
(hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi,
selain itu cacing sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan
reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai
dengan tanda alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi
pernapasan bagian atas. Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai
akibat mekanik seperti obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena
adanya migrasi cacing ke organorgan misalnya ke lambung, oesophagus,
mulut, hidung dan bronkus dapat menyumbat pernapasan penderita. Ada
kalanya askariasis menimbulkan manifestasi berat dan gawat dalam beberapa
keadaan sebagai berikut:
a. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang
menyumbat rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.
b. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam
usus buntu (apendiks), saluran empedu (duktus choledocus) dan saluran
pankreas (ductus pankreatikus).
c. Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat
disusul kolangitis supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi
karena desintegrasi cacing yang terjebak dan infeksi sekunder.
Desintegrasi betina menyebabkan dilepaskannya telur dalam jumlah
yang besar yang dapat dikenalidalam pemeriksaan histologi. Untuk
menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing dewasa dalam tinja
atau muntahan penderita dan telur cacing dengan bentuk yang khas dapat
dijumpaidalam tinja atau didalam cairan empedu penderita melalui
pemeriksaan mikroskopik.
20
Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ascariasis ini diderita oleh anak-
anak sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh
karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah
ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih
mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun
infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung
telur Ascaris lumbricoides. Faktor host merupakan salah satu hal yang penting
karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi
ataupun pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu manusia
justru akan menambah tercemarnya lingkungan sekitarnya.
Menurut Tempat :
Ascariasis umumnya terjadi di wilayah di Afrika dan di Asia Tenggara .
pernah terjadi di Amerika Serikat di wilayah Gulf Coast . Diperkirakan
sekitar ,8-1,3 miliyar individu yang terinfeksi cacing usus ini , terutama di
Afrika dan Asia . Ssbuah studi menunjukkan bahwa prevalensi ascariasis di
Amerika Serikat sekitar 4 juta individu ( 2 % ) .
21
Sumber : Wikiwand
Menurut Waktu
Pada tahun 2010 Ascariasis menyebabkan sekitar 2.700 kematian dimana
mengalami penurunan yakni dari jumlah 3.400 kematian pada tahun 1990.
Kematian tidak langsung disebabkan karena kondisi gizi buruk yang tinggi.
22
2.3.7. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Berdasarkan siklus hidup cacing dan sifat telur cacing ini, maka upaya
pencegahannya dapat dilakukan dengan penyuluhan kesehatan berupa:
Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan serta
sesudah buang air besar, tangan dicuci terlebih dahulu dengan
menggunkan sabun.
Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,
hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
Sebaiknya makan makanan yang dimasak.
Biasakan memakai jamban/WC.
Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik
ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
Bila mungkin, semua yang positif sebaiknya diobati, tanpa melihat beban
cacing karena jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan migrasi
ektopik dengan akibat yang membahayakan. Untuk pengobatan tentunya
semua obat dapat digunakan untuk mengobati Ascariasis, baik untuk
pengobatan perseorangan maupun pengobatan massal. Beberapa obat yang
sering dipakai seperti: piperazin, minyak chenopodium, hetrazan dan
tiabendazol. Dapat menimbulkan efek samping dan sulitnya pemberian obat
tersebut. Oleh karena adanya efek samping tersebut maka obat cacing yang
sekarang dipakai berspektrum luas, lebih aman dan memberikan efek samping
yang lebih kecil dan mudah pemakaiannya Adapun obat yang sekarang ini
dipakai dalam pengobatan adalah:
Mebendazol
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes
yang baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga
hari, tanpa melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah
dilaporkan beberapa kasus terjadi migrasi ektopik.
23
Pirantel Pamoat
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk
menyembuhkan kasus lebih dari 90%. Gejala sampingan, bila ada
adalah ringan dan obat ini biasanya dapat diterima (“well tolerated”).
Obat ini mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi
dan cacing tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah
endemik di mana infeksi multipel berbagai cacing Nematoda
merupakan hal yang biasa.
Levamisol Hidroklorida.
Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang
menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan
dalam dosis tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg
untuk orang dengan berat badan < 10 kg. Efek sampingan lebih banyak
dari pada pirantel pamoat dan mebendazol.
Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk
Enterobius vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang.
Piperazin sitrat diberikan dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml
adalah ekuivalen dengan 750 mg piperazin). Reaksi sampingan lebih
sering daripada pirantel pamoat dan mebendazol. Ada kalanya
dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti berjalan tidak tetap
(unsteadiness) dan vertigo.
24
Sanitasi lingkungan.
Sanitasi lingkungan yang tidak sehat akan mempengaruhi persebaran parasit
cacing. Seperti kita ketahui, telur cacing keluar dari perut manusia bersama feses.
Jika limbah manusia itu dialirkan ke sungai atau got, maka setiap tetes air akan
terkontaminasi telur cacing.
Sanitasi lingkungan yang kurang memadai adalah salah satu faktor terjadinya
infeksi cacingan, sanitasi lingkungan mempunyai peranan penting dalam
penularan infeksi cacingan, pada daerah yang kelembaban tinggi dan pada
kelompok sanitasi lingkungan yang kurang baik itu juga salah satu penyebab
infeksi cacingan, sanitasi makanan juga berpengaruh terjadinya infeksi cacingan
karena pola makanan biasanya sering mengonsumsi makanan mentah atau
makanan yang setengah matang seperti lalapan, ikan, daging itu mengakibatkan
banyak terkena infeksi cacingan.
Selain sanitasi makanan, sumber air merupakan faktor yang menyebabkan terkena
infeksi cacingan, dari penelitian sebagian masih menggunakan air sumur dalam
kehidupan sehari–hari mereka, dan sebagian masyarakat ada yang membuang
tinjanya di sembarang tempat itu dapat menyebabkan penularan infeksi cacing
melalui tanah.
25
Kebiasaan buruk penduduk.
Kebiasaan buruk masyarakat yang menjadi salah satu faktor penyebab
perkembangan cacing kremi ini misalnya:
₋ menyiram jalanan dengan air got
₋ jajan di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka.
₋ mencuci tangan hanya sesudah makan bukan sebelum makan
₋ memanjangkan kuku tanpa memperhatikan kebersihannya
₋ tidak membilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya
₋ beberapa detik ke dalam air mendidih sebelum dikonsumsi
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
27