Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya
merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang
termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies
yang penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang
tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan
Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000). Selain melalui tanah, penularannya juga dapat
melalui makanan yakni daging sapi atau babi yang terinfeksi sistiserkosis yakni yang
disebabkan oleh cacing pita Taenia Saginata & Taenia Solium.
Taeniasis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pita dari genus
Taenia dan infeksi oleh larvanya disebut sistiserkosis. Taeniasis dan sistiserkosis
merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti
yang dikonfirmasi pada statistika yaitu daerah dengan standar kehidupan yang rendah.
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat ditemukan
pada seluruh bagian dunia. Sekitar 50 juta orang di seluruh dunia terinfeksi oleh Taenia
sp.
Ascariasis merupakan Infeksi Kecacingan yang disebabkan oleh Ascaris
lumbricoides atau cacing gelang panjangnya kira-kira 10-15 cm dan biasanya bermukim
dalam usus halus. Kira-kira 25% dari seluruh penduduk dunia terinfeksi cacing ini,
terutama di negara tropis (70-90%). Cacing betina mengeluarkan telur yang sangat
banyak, sehingga 200.000 telur sehari melalui tinja. Penularan terjadi melalui makanan
yang terinfeksi oleh telur dan larvanya (panjangnya kira-kira 0.25 mm) yang berkembang
di dalam usus halus.

1
1.2 Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan Infeksi Kecacingan ?


b. Apa yang dimaksud dengan Penyakit Taeniasis ?
c. Apa yang dimaksud dengan Penyakit Ascariasis ?
d. Apa saja factor – factor determinan dari Infeksi Kecacingan ?

1.3 Tujuan

Memahami dan Mengetahui yang dimaksud dengan :

a. Infeksi Kecacingan.
b. Penyakit Taeniasis.
c. Penyakit Ascariasis.
d. Faktor Determinan dari Infeksi Kecacingan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Infeksi Kecacingan


Infeksi cacingan adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan, minuman
atau melalui kulit yang disebabkan oleh cacing pita (Taenia Saginata & Taenia
Solium), cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria),
dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) (Jawetz et
al,1996).
Infeksi cacingan banyak terdapat pada anak usia sekolah dasar, yang didalam
usus anak terdapat satu atau beberapa jenis cacing yang merugikan pertumbuhan dan
kecerdasan anak.
Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang dan pita yang berat
akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
anak-anak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan
morbiditas yang tinggi (Soedarto, 1999).
Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur
A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku
yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan (Mahfuddin, 1994).

2.2 Penyakit Taeniasis


2.2.1. Pengertian Taeniasis
Taeniasis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pita
dari genus Taenia. Taeniasis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat
dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu
daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Taeniasis merupakan infeksi
parasit yang umum dan dapat ditemukan pada seluruh bagian dunia. Sekitar 50
juta orang di seluruh dunia terinfeksi oleh Taenia sp.
Taeniasis dapat disebabkan oleh cacing Taenia saginata (cacing pita
sapi) dan Taenia solium (cacing pita babi). Penularan pada manusia terjadi

3
karena makan daging sapi atau daging babi yang tidak di masak sempurna atau
masih mentah. Taenia saginata tersebar luas di seluruh dunia, dengan daerah
endemis tinggi di Afrika Tengah, Afrika Timur, Rusia, Asia Tenggara, Eropa,
dan Amerika Selatan.
Penyebaran Taenia dan kasus infeksi akibat Taenia lebih banyak
terjadi di daerah tropis karena daerah tropis memiliki curah hujan yang tinggi
dan iklim ( parasit taeniasis mati pada suhu -10 derajat celcius dan suhu 57
derajat celcius) sehingga iklim Negara tropis yang sesuai untuk perkembangan
parasit ini.

2.2.2. Morfologi Taenia saginata dan Taenia solium


1. Taenia saginata
Taksonomi dari Taenia saginata adalah:
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoidea
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Taenia
Spesies : saginata
Taenia saginata disebut juga cestoda usus. Habitat cacing ini
dalam tubuh manusia terletak pada usus halus bagian atas. Cacing
dewasa dapat hidup di dalam usus manusia sampai 10 tahun lamanya.
Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan
panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5 meter
atau kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai dengan 20 tahun, bahkan
lebih.
Taenia saginata dewasa terdiri dari skoleks (kepala) berbentuk
segiempat yang berukuran 1-2 mm dan dilengkapi dengan empat buah
alat penghisap (sucker) menyerupai mangkuk, sebuah leher dan sebuah
strobila yang panjangnya berkisar dari 35 mm sampai 6 mm. Tidak ada
rostelum maupun kait pada skoleks. Leher Taenia saginata berbentuk
segi empat menunjang dengan lebar sekitar 0,5 milimeter. Ruas-ruas
tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur.

4
Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur
mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid
paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat
ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid uterus berbentuk
batang memanjang di pertengahan segmen, mempunyai 15-30 cabang
di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan
tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen gravid
Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan
segmen gravid cacing pita babi.
Telur Taenia saginata memiliki morfologi yang tidak dapat
dibedakan dengan telur Taenia. Telur Taenia sp. berbentuk bulat
dengan diameter antara 31-43 mikron.Telur ini memilki embriopor
yang bergaris radier, dengan ukuran 30-40 x 20-30 m, mengelilingi
embrio heksasan.
2. Taenia solium
Taksonomi dari Taenia solium adalah:

Kingdom : Animalia

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Cestoidea

Ordo : Cyclophyllidea

Famili : Taeniidae

Genus : Taenia

Spesies : solium

Taenia solium (cacing pita babi) merupakan infeksi cacing


yang distribusinya kosmopolit. Cacing ini menginfeksi baik manusia
dan babi. Manusia biasanya sebagai hospes definitif atau hospes
perantara, sedangkan babi sebagai hospes perantara. Habitat cacing
yang telah dewasa di dalam usus halus (jejunum bagian atas) manusia,
sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan organ tubuh babi.

5
Cacing dewasa dari Taenia solium berukuran panjang antara 2-
4 meter, dan dapat hidup sampai 25 tahun lamanya. Bentuk dari cacing
dewasa seperti pipa, pipih dorsoventral, dan tubuhnya terdiri atas
skoleks (kepala), leher, dan strobila yang terdiri dari segmen proglotid.
Setiap cacing Taenia solium mempunyai segmen yang berjumlah
kurang dari 1000 buah.

Skoleks Taenia solium berbentuk bulat, dengan garis tengah 1


mm, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum yang dilengkapi
dengan 2 deret kait yang melingkar dan berdiameter 5 mm, masing-
masing sebanyak 25-30 buah.

Leher cacing Taenia solium pendek, berukuran panjang antara


5-10 milimeter. Strobila terdiri dari proglotid yang imatur, matur, dan
gravid. Proglotid imatur ukurannya lebih lebar daripada panjangnya,
sedangkan proglotid matang berbentuk hampir persegi empat dan
berukuran 12 mm x 6 mm.

Dalam proglotid yang matang terdapat testis berupa folikel


yang tersebar di seluruh dorsal tubuh dan jumlahnya mencapai 150-
200. Proglotid matang juga mempunyai lubang genital yang terletak di
dekat pertengahan segmen. Ovarium terletak di bagian posterior,
berbentuk 2 lobus yang simetris dan uterus terletak di tengah seperti
gada.

Pada proglotid gravid, terdapat 5-10 cabang lateral dari uterus


di tiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan dalam bentuk rantai
yang terdiri atas 5-6 segmen setiap kali dilepaskan.

Adapun perbedaan antara spesies cacing pita Taenia dapat dilihat pada
Tabel 1 di bawah ini.

Tabel. Perbedaan antara Taenia solium, dan Taenia saginata

No. Keterangan Taenia solium Taenia saginata

1 Inang definitif Usus halusmanusia Usus halus manusia


dan habitat

6
2 Inang antara Babi dan manusia Sapi

3 Nama tahap Cysticercus cellulosae Cysticercus bovis


larva

4 Ukuran panjang (3-8)x 0,01 meter (4-15) x 0,01 meter


x lebar

5 Jumlah segmen 700-1000 1000-2000

6 Jumlah telur 30.000-50.000 di setiap lebih dari 100.000


segmen di setiap segmen

7 Skoleks Bagian skoleksnya terdapat Bagian sklolek


kait pada alat penghisapnya tidak terdapat kait
pada alat
penghisapnya

2.2.3. Siklus Hidup Taenia saginata dan Taenia solium


1) Taenia solium
Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia pada usus halus. Cacing
dewasa melepaskan segmen gravid paling ujung yang akan pecah di
dalam usus sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita.
Apabila telur cacing yang matur mengkontaminasi tanaman rumput atau
pun peternakan dan termakan oleh ternak seperti babi, telur akan pecah
di dalam usus hospes perantara dan mengakibatkan lepasnya onkosfer.
Dengan bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus, masuk ke dalam
aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh babi, terutama otot
lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak. Dalam waktu 60-70 hari pasca
infeksi, onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksius.
Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang
masak, yang mengandung larva sistiserkus. Di dalam usus manusia,
skoleks akan mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat
isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan

7
kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan,
cacing Taenia solium menjadi dewasa dan mampu memproduksi telur.
Seekor cacing Taenia solium dapat memproduksi 50.000 sampai 60.000
telur setiap hari.
Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari
hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan
terinfeksi jika pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang
berembrio atau proglotid gravid.
Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium
(sistiserkorsis). Hal ini dapat terjadi apabila manusia termakan telur dari
cacing tersebut dari hasil ekskresi manusia. Teori lainnya adalah
autoinfeksi. Namun, teori ini belum dibuktikan. Jika terdapat cacing pita
dewasa pada usus, peristaltik yang berlawanan pada gravid proglotid
akan menyebabkan proglotid bergerak secara retrograd dari usus ke
lambung. Telur hanya dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi
gaster diikuti dengan sekresi usus sehingga setelah terjadi peristaltik
yang bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding
usus, mengikuti aliran kelenjar getah bening atau aliran darah. Larva
selanjutnya akan bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral,
dan sistem saraf pusat dan membentuk sistiserkus. Sistiserkosis dapat
terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung dari lokasi
sistiserkus. Proglotid dari Taenia solium kurang aktif dibandingkan
dengan Taenia saginatasehingga kemungkinan untuk ditemukan pada
lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang.

8
2) Taenia saginata
Siklus hidup cacing ini hampir sama seperti cacing pita babi. Dalam hal
ini yang berlaku sebagai hospes perantara adalah sapi. Sapi dapat tertular
melalui rumput yang tercemar oleh feses manusia yang terinfeksi cacing
tersebut. Pada pencernaan sapi, cairan lambung serta cairan usus atau
enzim membuat telur menetas dalam 10-40 menit dan melepaskan zigot
dalam bentuk heksakan embrio yang kemudian menembus lapisan
mukosa saluran pencernaan untuk memasuki sirkulasi darah (kapiler
darah atau saluran limpha). Dari pembuluh darah, zigot akan menetap di
otot dalam waktu 12-15 minggu dan kemudian tumbuh larva yang
membentuk kista. Onchospore yang tertelan sapi akan dilepas pada
lumen usus melalui proses enzimatik. Onchospore lalu akan menembus
dinding usus, kemudian melalui sirkulasi akan mencapai predileksinya,
yakni otot jantung, rahang lidah dan diafragma. Kista tersebut disebut
Cysticercus bovis terdapat pada otot masseter, paha belakang, kelosa
serta otot lainnya.
Bila daging sapi berisi kista tersebut dimakan manusia dalam keadaaan
mentah atau setengah matang, Cysticercus bovisakan mengadakan
evaginasi (penonjolan keluar). Protoskoleks akan melekat pada mukosa
usus, untuk menjadi dewasa (masa inkubasi) membutuhkan 8-10
minggu.Enzim-enzim pencernaan akan memecah kista dan melepaskan
larva cacing. Selanjutnya, larva cacing yang menempel di usus kecil
akan berkembang hingga mencapai 5 meter dalam waktu tiga bulan.
Cacing Taenia saginata yang menempel tersebut yang menyebabkan
seseorang mengalami Taeniasis (infeksi cacing pita). Pada cacing jenis
ini (beef tapeworm) manusia merupakan inang (hospes) definitif. Cacing
dewasa Taenia saginata menimbulkan infeksi pada usus manusia.
Cacing dewasa hidup di bagian atas jejunum. Cacing ini dapat bertahan
hidup sampai 25 tahun.

2.2.4. Patogenesis Taeniasis


Hospes definit Taenia hanya manusia. Sedangkan hospes (binatang)
perantara alami ialah babi untuk Taenia sollium dan sapi untuk Taenia
saginata.Cacing dewasa hidup pada bagian proksimal jejunum.

9
Proglotid gravid terlepas dari strobila, keluar bersama tinja, à pecah
dan mengeluarkan telur. Telur dapat bertahan beberapa minggu di luar tubuh.
Jika termakan oleh sapi atau babi, akibat pengaruh asam lambung, getah
pankreas dan empedu, telur akan pecah dan mengeluarkan embryo hexacanth
yg mampu menembus dinding usus.
Melalui peredaran darah à jaringan otot dan subkutan.Dalam 12-15
minggu menjadi kista,

– Pada sapi àcysticercus bovis

– Pada babi àcysticercus cellulosae

Jika daging yg mengandung sistiserkus termakan oleh manusia , larva


kan keluar dari kista dan tumbuh menjadi cacing dewasa dlm jejunum 5 – 12
minggu. Cacing pita dewasa dapat tahan hidup sampai 20 tahun dalam usus.

Larva cacing pita lebih bahaya dari dari telur dan cacing dewasa karena
larva cacing pita menyerang jaringan lunak sedangkan cacing dewasa
menyerang sistem pencernaan.

2.2.5. Gejala Klinis Taeniasis


 Gejala Klinik Taeniasis solium
Penderita taeniasis umumnya asimptomatik atau mempunyai keluhan
yang umumnya ringan, berupa rasa tidak enak di perut,gangguan
pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala, anemia, nyeri abdomen,
kehilangan berat badan, malaise, anoreksia, rasa lapar yang terus-menerus
,rasa sakit ketika lapar (hungerpain), indigestikronik, dan hiperestesia.
Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait yang menembus
dinding usus. Sering dijumpai klasifikasi pada sistiserkus namun tidak
menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat
pseudohipertrofiotot, disertaigejalamiositis,demam tinggi,daneosinofilia.
Gejala klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada
anak - anak dan umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit

10
makanan. Pada anak-anak, juga dapat terjadi muntah, diare, demam,
kehilangan berat badan, dan mudah marah. Gejala lainnya yang pernah
dilaporkan adalah insomnia, malaise, dan kegugupan.
Adapun gejala yang muncul disebabkan oleh karena adanya iritasi pada
tempat perlekatan skoleks serta sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi
yang menyebabkan gejala sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat.
 Gejala Klinik Taeniasis saginata
Gambaran klinik dan diagnosa Taeniasis saginata pada usus hampir
serupa dengan infeksi Taeniasis solium. Pada taeniasis saginata terjadi
inflamasi sub-akut pada mukosa usus. Proglotid dari Taenia saginata dapat
bermigrasi ke berbagai organ seperti apendiks, uterus, duktus biliaris, dan
nasofaring sehingga menyebabkan appendisitis, kholangitis, kolesistitis dan
sindrom lainnya. Pada kasus yang langka, dapat ditemukan obstruksi usus
atau perforasi.
Kelainan patologis yang tampak pada penderita umumnya tidak jelas.
Namun dapat timbul gejala seperti rasa tidak enak pada perut, mual,muntah,
dan diare. Gejala lainnya berupa ileus yang dapat ditimbulkan oleh adanya
obstruksi usus karena banyaknya jumlah cacing.

2.2.6. Epidemiologi Taeniasis


Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang
masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada
statistika yaitu daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Beberapa
negara maju seperti Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat terinfeksi
Taenia sp. akibat perjalanan yang dilakukan di daerah endemis. Menurut
Tolan (2011), semua usia rentan terhadap infeksi taeniasis. Usia di mana
konsumsi daging mentah dimulai adalah faktor yang menentukan usia infeksi.
Penyakit Taenia, sp. tersebar secara luas di seluruh dunia. Penyebaran
Taenia,sp. dan kasus infeksi akibat Taenia tersebut lebih banyak terjadi di
daerah tropis hal ini karena daerah tropis memiliki curah hujan yang tinggi dan
iklim yang sesuai untuk perkembangan parasit ini. Taeniasis dan sistiserkosis
akibat infeksi cacing pita babi Taenia solium merupakan salah satu zoonosis di

11
daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat
sanitasilingkungannya masih rendah, seperti di Asia Tenggara, India, Afrika
Selatan, dan Amerika Latin.

Epidemiologi Menurut Tempat

Sumber : WHO,2015

Negara

12
Taiwan,
1.661 orang penderita taeniasis.
Cina

Brazil 0,1-0,9 % kejadian sistiserkosis pada manusia.

Thailand 5,9% dari 1450 orang positif taeniasis.

Taeniasis/sistiserkosis terutama ditemukan di Papua, Bali dan


Indonesia Sumatera Utara. Selain itu ditemukan di NTT, Lampung, Sulawesi
Utara, Kalimantan Barat dan Jawa Timur.

Laos Kejadian taeniasis mencapai 14%

Negara-negara di benua Asia, Bhutan, India, Nepal, Thailand, dan


beberapa bagian di Indonesia merupakan daerah endemis sistiserkosis (WHO,
2009). Daerah Korea dan Myanmar diduga juga merupakan daerah endemik,
namun tidak ada data yang mendukung (WHO, 2009). Prevalensi sistiserkosis
pada Papua, di daerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3-66,7%
(Subahar et al., 2005)

Salah satu bukti lebih luasnya penyebaran Taenia di daerah tropis yaitu
ditemukannya spesies ketiga penyebab taeniasis pada manusia di beberapa
negara Asia yang dikenal dengan sebutan Taiwan Taenia atau Asian Taenia.
Asian Taenia dilaporkan telah ditemukan di negara-negara Asia yang
umumnya beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina,
Korea dan Cina. Kini Asian Taenia disebut Taenia asiatica. Kejadian T.
asiatica yang tinggi terutama ditemukan di Pulau Samosir, Indonesia.
Sistiserkosis merupakan infeksi yang sering ditemukan pada babi dan manusia
terutama di negara berkembang. Penularan sistiserkosis pada manusia
dipengaruhi antara lain oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak
adanya pemeriksaan kesehatandaging saat penyembelihan, dan
konsumsidagingmentah atau setengah matang. Penyebaran penyakit ini luas
karena Taenia dapat memproduksi puluhan bahkan ratusan ributelur setiap
hari yang dapat disebar oleh airhujan ke lingkungan bahkan pada lokasi yang
jauh dari tempat pelepasan telur (Anonimus,2010).

13
Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk
merupakan masyarakat beragama muslim dan tidak mengkonsumsi daging
babi. Namun, ada beberapa daerah, seperti Bali dan Papua, yang banyak
mengkonsumsi daging babi. Sampai saat ini, Papua masih menjadi daerah
endemik taeniasis dan sistiserkosis (Handojo dan Margono, 2008b).

Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya, memiliki


prevalensi taeniasis solium sebesar 15% (Subahar et al., 2005). Sedangkan di
Bali, dahulu merupakan daerah endemis bagi taeniasis dan sistiserkosis, telah
dilakukan penghentian transmisi dari sistiserkosis (WHO, 2009).

Berdasarkan Jurnal “Kajuan Aspek Epidemiologi Taeniasis dan


Sistiserkosis di Papua” menjelaskan bahwa faktor penyebab penyebaran
taeniasis dan sistiserkosis adalah :

1. Cara memilihara hewan ternak yang masih tradisional atau tidak di


kandangkan sehingga penyakit ini masih terus dapat bertahan di daerah
tersebut.
2. Mobilitas penduduk dari daerah endemik ke daerah non-endemik
3. Masyarakat yang masih memiliki kebiasaan bab di sembarang tempat,
sehingga jika hewan ternak babi yang tidak dikandangkan dapat
memakan kotoran manusia yang terinfeksi taeniasis sehingga siklus
hidup Taenia solium tetap bertahan lama.

Epidemiologi menurut Orang

Berdasarkan umur :

14
Menurut waktu :

 Penyakit ini sampai sekarang terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali,
Sumatera Utara dan Papua. Prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua
pada tahun 1997 yaitu 42,7%
 Di Sumatera Utara, prevalensi taeniasis dan sistiserkosis sejak tahun 1972-2000
dilaporkan berkisar antara 1,9% sampai 2,29% (Simanjuntak dan Widarso,
2004).

15
 Penelitian mengenai sistiserkus Taenia solium di tahun 2002, didapatkan
prevalensi sistiserkosis pada babi di China, India, dan Nepal adalah 5,4, 9,3,
dan 32,5% (Rajshekhar et al., 2003).
 Pada penelitian epidemiologi yang diadakan tahun 2003 sampai 2006 oleh
Wandra, dari 240 orang menunjukkan 2,5% positif terinfeksi Taeniasis. Pada
tahun 2003, dijumpai 2 orang positif dari 58 orang (3,4%), sedangkan pada
tahun 2005 ditemukan 4 dari 182 orang positif (2,2%) (Wandra et al., 2007).
 Penelitian sistiserkosis pada babi yang dilakukan oleh Maitindom (2008) pada
Kabupaten Jayawijaya, Papua didapatkan angka prevalensi 77,1%.
 Penelitian oleh Gweba et al. (2010) di Itali, memeriksa babi hidup dengan
palpasi lidah dan juga pemeriksaan inspeksi daging. Dari penelitian tersebut,
didapatkan angka temuan sistiserkus sebesar 5,85% dan 14,4% dari masing-
masing pemeriksaan.

2.2.7. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan tindakan- tindakan
sebagai berikut (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005) :
a. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan
mencegah terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing (Soedarto,
2008).
b. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas
larva cacing (sistiserkus). Pengawasan yang dilakukan pada negara
endemis biasanya adalah inspeksi yang dilakukan di rumah
potong. Namun, inspeksi yang dilakukan tidak dapat menyaring
semua kasus yang sangat ringan.
o
c. Memasak daging sampai diatas 50 C selama 30 menit, untuk
membunuh kista cacing, membekukan daging (Soedarto, 2008).
d. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja
manusia sebagai makanan babi, tidak membuang tinja di
sembarang tempat (Ideham dan Pusarawati,2007; WHO, 2009).
e. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur
yang tidak dimasak yang tidak dapat dikupas (Soedarto, 2008).

16
f. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang
disaring, atau air yang dididihkan selama 1 menit(Soedarto, 2008).
g. Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan
(Garciaetal.,2003).
h. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazoleoral
(30mg/kgBB).
i. Bila perlu, vaksinasi dengan TSOL 18, setelah dilakukan eliminasi
parasit dengan kemoterapi (WHO, 2009).
j. Meningkatkan pendidikan komunitas dalam kesehatan
(kebersihan, mempersiapkan makanan, dan sebagainya)(WHO,
2009).

2.3 Penyakit Ascariasis


2.3.1. Pendahuluan
Ascariasis merupakan Infeksi Kecacingan yang disebabkan oleh
Ascaris lumbricoides atau cacing gelang panjangnya kira-kira 10-15 cm dan
biasanya bermukim dalam usus halus. Kira-kira 25% dari seluruh penduduk
dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara tropis (70-90%). Cacing betina
mengeluarkan telur yang sangat banyak, sehingga 200.000 telur sehari melalui
tinja. Penularan terjadi melalui makanan yang terinfeksi oleh telur dan
larvanya (panjangnya kira-kira 0.25 mm) yang berkembang di dalam usus
halus. Larva ini menembus dinding usus, melalui hati untuk kemudian ke
paru-paru. Setelah mencapai tenggorokan, lalu larva ditelan untuk kemudian
berkembang biak menjadi cacing dewasa di usus halus. Jumlahnya dapat
menjadi sedemikian besa hingga dapat menimbulkan penyumbatan, juga
komplikasi seperti ileus, appendicitis, dan pancreatitis.

2.3.2. Morfologi Ascariasis Lumbricoides


Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat
(conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak
melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 20 - 35 cm dan memiliki lebar 3
– 8 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan
panjangnya 10 - 30 cm dan lebarnya 2 – 4 mm, juga mempunyai warna yang sama
dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral.

17
Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan
mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup
atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan

2.3.3. Patofisiologi Ascariasis Lumbricoides


Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat
berupa gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan
konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan
penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing
menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus
obstructive).
Selain itu menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri
Kesehatan (2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke
paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang
disebut Sindroma Loeffler.

2.3.4. Siklus Hidup dan Cara Penularan


Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika
tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan
menetas dan melepaskan larva infektif (larvarhabditiform) dan kemudian
menembus dinding usus masuk kedalam vena portae hati, mengikuti aliran
darah masuk kejantung kanan dan selanjutnya keparu-paru dengan masa
migrasi berlangsung selama 1 – 7 hari. Larva tumbuh didalam paru-paru dan
berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke
alveolus dan seterusnya larva masuk ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian
ke faring, berpindah ke oesopagus dan tertelan melalui saliva atau merayap
melalui epiglotis masuk kedalam traktus digestivus dan berakhir sampai
kedalam usus halus bagian atas, larvaberganti kulit lagi menjadi cacing
dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara
spontan bersama tinja.

18
Siklus hidup cacing ini mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan sejak
infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan
200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 –
4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian stadium
ini merupakan stadium larva, di mana telur tersebut keluar bersama tinja
manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I sampai
stadium III yang bersifat infektif Telur-telur ini tahan terhadap pengaruh cuaca
buruk, berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun di tempat
yang lembab. Didaerah hiperendemik,anak-anak terkena infeksi secara
terusmenerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi dewasa
dan menggantikannya. Apabila makanan atau minuman yang mengandung
telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan
berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris
hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun
melalui kontak langsung dengan kulit .
2.3.5. Aspek Klinik
Kelainan - kelainan yang terjadi pada tubuh penderita akibat pengaruh migrasi
larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang kena infeksi tidak
menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar

19
(hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi,
selain itu cacing sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan
reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai
dengan tanda alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi
pernapasan bagian atas. Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai
akibat mekanik seperti obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena
adanya migrasi cacing ke organorgan misalnya ke lambung, oesophagus,
mulut, hidung dan bronkus dapat menyumbat pernapasan penderita. Ada
kalanya askariasis menimbulkan manifestasi berat dan gawat dalam beberapa
keadaan sebagai berikut:
a. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang
menyumbat rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.
b. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam
usus buntu (apendiks), saluran empedu (duktus choledocus) dan saluran
pankreas (ductus pankreatikus).
c. Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat
disusul kolangitis supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi
karena desintegrasi cacing yang terjebak dan infeksi sekunder.
Desintegrasi betina menyebabkan dilepaskannya telur dalam jumlah
yang besar yang dapat dikenalidalam pemeriksaan histologi. Untuk
menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing dewasa dalam tinja
atau muntahan penderita dan telur cacing dengan bentuk yang khas dapat
dijumpaidalam tinja atau didalam cairan empedu penderita melalui
pemeriksaan mikroskopik.

2.3.6. Epidemiologi Ascariasis


 Menurut Orang berdasarkan umur

20
Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ascariasis ini diderita oleh anak-
anak sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh
karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah
ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih
mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun
infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung
telur Ascaris lumbricoides. Faktor host merupakan salah satu hal yang penting
karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi
ataupun pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu manusia
justru akan menambah tercemarnya lingkungan sekitarnya.

 Menurut Tempat :
Ascariasis umumnya terjadi di wilayah di Afrika dan di Asia Tenggara .
pernah terjadi di Amerika Serikat di wilayah Gulf Coast . Diperkirakan
sekitar ,8-1,3 miliyar individu yang terinfeksi cacing usus ini , terutama di
Afrika dan Asia . Ssbuah studi menunjukkan bahwa prevalensi ascariasis di
Amerika Serikat sekitar 4 juta individu ( 2 % ) .

21
Sumber : Wikiwand

Menurut penelitian, Prevalensi Ascariasis di daerah pedesaan lebih tinggi, hal


ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak
adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing
mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki
tingkat sosial ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan buang air
besar (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan
telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi
reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik. Perkembangan telur dan
larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23oC
sampai 30oC. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk
perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing
yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan.

 Menurut Waktu
Pada tahun 2010 Ascariasis menyebabkan sekitar 2.700 kematian dimana
mengalami penurunan yakni dari jumlah 3.400 kematian pada tahun 1990.
Kematian tidak langsung disebabkan karena kondisi gizi buruk yang tinggi.

22
2.3.7. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Berdasarkan siklus hidup cacing dan sifat telur cacing ini, maka upaya
pencegahannya dapat dilakukan dengan penyuluhan kesehatan berupa:
 Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
 Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan serta
sesudah buang air besar, tangan dicuci terlebih dahulu dengan
menggunkan sabun.
 Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,
hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
 Sebaiknya makan makanan yang dimasak.
 Biasakan memakai jamban/WC.
 Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik
ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.

Pengobatan penderita penyakit ini dapat dilakukan dengan:

Bila mungkin, semua yang positif sebaiknya diobati, tanpa melihat beban
cacing karena jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan migrasi
ektopik dengan akibat yang membahayakan. Untuk pengobatan tentunya
semua obat dapat digunakan untuk mengobati Ascariasis, baik untuk
pengobatan perseorangan maupun pengobatan massal. Beberapa obat yang
sering dipakai seperti: piperazin, minyak chenopodium, hetrazan dan
tiabendazol. Dapat menimbulkan efek samping dan sulitnya pemberian obat
tersebut. Oleh karena adanya efek samping tersebut maka obat cacing yang
sekarang dipakai berspektrum luas, lebih aman dan memberikan efek samping
yang lebih kecil dan mudah pemakaiannya Adapun obat yang sekarang ini
dipakai dalam pengobatan adalah:

 Mebendazol
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes
yang baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga
hari, tanpa melihat umur, dengan menggunakan obat ini sudah
dilaporkan beberapa kasus terjadi migrasi ektopik.

23
 Pirantel Pamoat
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk
menyembuhkan kasus lebih dari 90%. Gejala sampingan, bila ada
adalah ringan dan obat ini biasanya dapat diterima (“well tolerated”).
Obat ini mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi
dan cacing tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah
endemik di mana infeksi multipel berbagai cacing Nematoda
merupakan hal yang biasa.
 Levamisol Hidroklorida.
Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang
menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan
dalam dosis tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg
untuk orang dengan berat badan < 10 kg. Efek sampingan lebih banyak
dari pada pirantel pamoat dan mebendazol.
 Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk
Enterobius vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang.
Piperazin sitrat diberikan dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml
adalah ekuivalen dengan 750 mg piperazin). Reaksi sampingan lebih
sering daripada pirantel pamoat dan mebendazol. Ada kalanya
dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti berjalan tidak tetap
(unsteadiness) dan vertigo.

2.4 Faktor – factor determinan Infeksi Kecacingan


Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab penyakit cacingan seperti :
 Tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi pola hidup yang dilakukan
masyarakat. Dengan pendidikan yang tinggi tentu saja masyarakat akan lebih
mampu menjalankan pola hidup bersih dan sehat, sehingga secara langsung dapat
mengurangi persebaran parasit cacing. Namun sebaliknya pada masyarakat
dengan tingkat pendidikan yang rendah.

24
 Sanitasi lingkungan.
Sanitasi lingkungan yang tidak sehat akan mempengaruhi persebaran parasit
cacing. Seperti kita ketahui, telur cacing keluar dari perut manusia bersama feses.
Jika limbah manusia itu dialirkan ke sungai atau got, maka setiap tetes air akan
terkontaminasi telur cacing.
Sanitasi lingkungan yang kurang memadai adalah salah satu faktor terjadinya
infeksi cacingan, sanitasi lingkungan mempunyai peranan penting dalam
penularan infeksi cacingan, pada daerah yang kelembaban tinggi dan pada
kelompok sanitasi lingkungan yang kurang baik itu juga salah satu penyebab
infeksi cacingan, sanitasi makanan juga berpengaruh terjadinya infeksi cacingan
karena pola makanan biasanya sering mengonsumsi makanan mentah atau
makanan yang setengah matang seperti lalapan, ikan, daging itu mengakibatkan
banyak terkena infeksi cacingan.
Selain sanitasi makanan, sumber air merupakan faktor yang menyebabkan terkena
infeksi cacingan, dari penelitian sebagian masih menggunakan air sumur dalam
kehidupan sehari–hari mereka, dan sebagian masyarakat ada yang membuang
tinjanya di sembarang tempat itu dapat menyebabkan penularan infeksi cacing
melalui tanah.

 Pengetahuan yang kurang.


Tingkat pengetahuan masyarakat sangat mempengaruhi pola hidup yang sehat.
Jika pengetahuan kurang, maka masyarakat kemungkinan tidak menyadari bahwa
pola hidup yang dilakukan tidak sesuai dengan pola hidup sehat. Akibatnya,
persebaran parasit cacing akan mudah.

 Kondisi sosial ekonomi.


Presentasi penderita penyakit cacingan lebih tinggi pada masyarakat ekonomi
lemah, terutama masyarakat miskin yang sehari-hari sulit mendapat makan, dan
kadang hanya dapat mengais sampah di jalan-jalan, menelan sisa makanan basi di
tengah kerumunan lalat.

25
 Kebiasaan buruk penduduk.
Kebiasaan buruk masyarakat yang menjadi salah satu faktor penyebab
perkembangan cacing kremi ini misalnya:
₋ menyiram jalanan dengan air got
₋ jajan di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka.
₋ mencuci tangan hanya sesudah makan bukan sebelum makan
₋ memanjangkan kuku tanpa memperhatikan kebersihannya
₋ tidak membilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya
₋ beberapa detik ke dalam air mendidih sebelum dikonsumsi

 Kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangbiakan cacingan.


Cacing kremi merupakan parasit yang bersifat kosmopolit, tetapi lebih banyak
ditemukan di daerah dingin daripada di daerah panas. Hal ini mungkin disebabkan
karena pada umumnya orang di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju
dalam, sehingga cocok untuk perkembangan cacing kremi.

26
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

 Infeksi cacingan adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan, minuman


atau melalui kulit yang disebabkan oleh cacing pita (Taenia Saginata & Taenia
Solium), cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris
trichuria), dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) (Jawetz et al,1996).
 Taeniasis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pita dari genus
Taenia. Taeniasis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan
tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu daerah
dengan standar kehidupan yang rendah. Taeniasis merupakan infeksi parasit
yang umum dan dapat ditemukan pada seluruh bagian dunia. Sekitar 50 juta
orang di seluruh dunia terinfeksi oleh Taenia sp.
 Ascariasis merupakan Infeksi Kecacingan yang disebabkan oleh Ascaris
lumbricoides atau cacing gelang panjangnya kira-kira 10-15 cm dan biasanya
bermukim dalam usus halus. Kira-kira 25% dari seluruh penduduk dunia
terinfeksi cacing ini, terutama di negara tropis (70-90%).
 Faktor – factor determinan infeksi penyakit cacingan antara lain ; Tingkat
pendidikan, sanitasi lingkungan, Pengetahuan yang kurang, Kondisi sosial
ekonomi, Kebiasaan buruk penduduk dan Kondisi geografis yang sesuai untuk
perkembangbiakan cacingan.

3.2 Saran

Setelah kita megetahui mengenai infeksi kecacingan diantaranya Taeniasis dan


Ascariasis, diharapkan kita dapat memberikan informasi yang tepat mengenai infeksi
kecacingan kepada masyarakat serta dapat menerapkan cara pencegahan yang sesuai
sehingga dapat meminimalisir kasus kecacingan yang terjadi.

27

Anda mungkin juga menyukai