PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Penyakit yang di sebabkan oleh cacing sering kali dianggap masalah
biasa, Sebenarnya hal ini sangat beralasan karena pada umumnya penyakit ini
bersifat kronis sehingga secara klinis tidak tampak begitu nyata. Karakteristik
fisik wilayah tropik seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan
hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan
masyarakatnya (Edmundson & Edmundson 1992).
Sedangkan infeksi oleh cacing pita kebanyakan disebabkan oleh
cacing pita babi dan cacing pita sapi yang terjadi pada daerah-daerah tertentu
dengan kekhasan tipe budaya masyarakatnya antara lain pulau Samosir, pulau
Bali serta daerah migrannya di Lampung, dan Papua (Irian Jaya). Dalam hal
ini tidak dapat dipungkiri bahwa keeratan hubungan antara manusia dan
ternak/hewan kesayangan baik dalam bentuk rantai makanan maupun
hubungan sosial dapat mempertahankan kejadian penyakit yang bersifat
zoonosis Margono, (1989).
Proses penularan penyakit parasit dari hewan ke manusia ataupun
sebaliknya, merupakan peristiwa yang lebih rumit dibandingkan dengan
proses penularan yang disebabkan mikroorganisme lainnya. Oleh karena itu,
dalam usaha pengendalian penyakit zoonosis parasit, pengetahuan mengenai
habitat untuk masing-masing fase infeksi dan perkembangannya perlu
diketahui dengan baik.
pita pada babi, manusia bertindak sebagai induk semang antara (intermediate
host) dan juga induk semang definitife Subahar,. dkk. 2005.
Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan
ke manusia atau sebaliknya. Taeniasis dan sistiserkosis adalah satu contoh
zoonosis berbahaya pada manusia yang disebabkan oleh infeksi cacing pita
dewasa maupun larvanya. Penyakit ini kurang dikenal oleh masyarakat luas
yang lebih mengenal anthrax atau Bovine Septicemia Epizootica (sapi gila).
Untuk kepentingan kesehatan masyarakat veteriner kiranya perlu memberikan
pengetahuan praktis kepada masyarakat tentang penyakit yang bersifat
zoonosis, yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kesehatan individu /
keluarga serta lingkungannya (Yudhie, 2009).
Sesuai dengan pernyataan Soejoedono (2004) bahwa peningkatan
konsumsi bahan pangan asal hewan perlu dibarengi dengan peningkatan
jaminan keamanan pangan asal hewan yang merupakan salah satu tugas dan
fungsi kesmavet. Kesmavet menurut Undang Undang no 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang
berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Tugas dan fungsi Kesmavet
secara garis besar adalah menjamin keamanan dan kualitas produk-produk
peternakan, serta mencegah terjadinya risiko bahaya akibat penyakit hewan /
zoonosis dalam rangka menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Ada beberapa kasus infeksi cacing pita Taenia di Indonesia
diantaranya yang tertinggi terjadi di Provinsi Papua Jayawijaya ditemukan
66,3% (106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium/
sistiserkosis selulosae dari babi sementara 28,3% orang adalah penderita
sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit.
Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya adalah penderita sistiserkosis
selulosae yang menunjukkan gejala epilepsi. Dari 257 pasien yang menderita
luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya
demikian
melalui
studi
literatur
ini
penulis
ingin
2. Rumusan masalah
BAB 11
TINJAUAN PUSTAKA
1. Etiologi
Taeniasis adalah infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus
Taeniasis dan cysticercosis adalah satu penyakit zoonosis berbahaya pada
manusia yang disebabkan oleh infeksi cacing pita dewasa maupun larvanya.
Sistiserkosis yang disebabkan oleh larva atau metasestoda T. solium
merupakan salah satu zoonosis yang dapat memberikan gejala-gejala berat
khususnya bila larva terdapat pada otak atau mata Craig et al. 1996; Raether
& Hanel (2003).
Jenis cacing pita yang umum menginfeksi manusia di dunia adalah
Taenia, Echinococcus, Diphyllobothrium, Hymenolepis, dan Dipylidium
(Craig et al. 1996; Raether & Hanel 2003). Namun yang bersifat obligatorycyclozoonoses adalah Taenia saginata, T. solium, dan T. saginata taiwanensis,
karena hanya manusia sebagai inang definitif yang dapat terinfeksi cacing
dewasa. Sedangkan cacing yang lain inang definitif utamanya adalah
karnivora. Tentu saja yang bertindak sebagai inang antara (infeksi larva)
adalah hewan ternak, kesayangan, bahkan hewan liar yang erat berhubungan
dengan kehidupan manusia baik dalam rantai makanan maupun kontak
dengan lingkungan mereka.
Taenia saginata (cacing pita daging sapi) : Cacing dewasa dapat
ditemukan dalam usus manusia penderita taeniasis, berbentuk pipih
panjang seperti pita dan tubuhnya beruas-ruas (segmen). Panjangnya ratarata 5m bahkan bisa mencapai 25m yang terdiri atas lebih dari 1000
segmen (Pawlowski & Schultz 1972; Soulsby 1982; Smyth 2004). Cacing
ini memiliki kepala yang disebut scolex, berdiameter 2mm menempel
pada permukaan selaput lendir usus manusia. Ketika mencapai stadium
Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan
induk semang definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan
mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif
bersama-sama feses manusia. Bila inang definitif (manusia) maupun inang
antara (sapi dan babi) menelan telur maka telur yang menetas akan
mengeluarkan embrio (onchosphere) yang kemudian menembus dinding
usus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah limfe berangsurangsur berkembang menjadi sistiserkosis yang infektif di dalam otot
tertentu.
dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara lain rasa tidak enak pada
lambung , nausea (mual), badan lemah, berat badan menurun, nafsu
makan menurun, sakit kepala, konstipasi (sukar buang air besar), pusing,
diare, dan pruiritus ani (gatal pada lubang pelepasan). Pada pemeriksaan
darah tepi (hitung jenis) terjadi peningkatan eosinofil (eosinofilia) Gejala
klinis taeniasis solium hampir tidak dapat dibedakan dari gejala klinis
taeniasis saginata. Secara psikologis penderita dapat merasa cemas karena
adanya segmen/ proglotid pada tinja dan pada Taenia saginata segmen
dapat lepas dan bergerak menuju sphincter anal yang merupakan gerakan
spontan dari segmen. Segmen/Proglotid ini dikenal dengan istilah ampas
nangka (bali), banasan (toraja), dan manisan (Sumatera Utara).
2. Sisterkosis
Gejala klinis yang timbul tergantung dan letak jumlah, umur, dan
lokasi dari kista. Sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala atau
dapat ditemukan adanya nodul subkutan. Sistiserkosis serebri sering
menimbulkan gejala epilepsi atau gejala tekanan intrakranial meninggi
dengan sakit kepala dan muntah yang menyerupai gejala tumor otak. Pada
kasus yang berlangsung lama dapat dijumpai bintik kallsifikasi dalam
otak.
Patogenesis
Cara infeksinya melalui oral karena memakan daging babi atau sapi
yang mentah atau setengah matang dan mengandung larva cysticercus. Di
dalam usus halus, larva itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala
gasterointestinal seperti rasa mual, nyeri di daerah epigastrium, napsu
makan menurun atau meningkat, diare atau kadang-kadang konstipasi.
Selain itu, gizi penderita bisa menjadi buruk se-hingga terjadi anemia,
malnutrisi. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi, yaitu apabila
dapat
ditegakkan
berdasarkan
atas
anamnesis
dan
keluar sendiri dan bergerak-gerak. Benda itu tiada lain adalah potongan
cacing pita (proglotid). Cara keluarnya proglotid Taenia solium berbeda
dengan Taenia saginata. Proglotid Taenia solium biasanya keluar bersama
tinja dalam bentuk rangkaian 56 segmen. Sedangkan Taenia saginata,
proglotidnya keluar satu-satu bersama tinja dan bahkan dapat bergerak
sendiri secara aktif hingga keluar secara spontan Anonimus (2010).
3. Pemeriksaan laboratorium
Secara makroskopis (melihat tanpa menggunakan alat), yang
diperhatikan dalam hal ini adalah bentuk proglotidnya yang keluar bersama
tinja. Bentuknya cukup khas, yaitu segi empat panjang pipih dan berwarna
putih keabu-abuan.
Pemeriksaan secara mikroskopis untuk mendeteksi telurnya dapat
dikerjakan dengan preparat tinja langsung (directsmear) memakai larutan
eosin. Cara ini paling mudah dan murah, tetapi derajat positivitasnya rendah.
Untuk mendapatkan hasil positivitas yang lebih tinggi, pemeriksaan
dikerjakan dengan metoda konsentras (centrifugal flotation) atau dengan cara
perianal swab memakai cellophane tape (Anonimus, 2010).
Jika hanya menemukan telur dalam feses, tidak bisa dibedakan Taenia
solium dan Taenia saginata. Agar dapat membedakannya, perlu mengadakan
pemeriksaan scolex dan proglotid gravidnya. Scolex dan proglotid gravid
dibuat preparat permanen diwarnai dengan borax carmine atau trichrome,
kemudian dilihat di bawah mikroskop. Dengan memperhatikan adanya kaitkait (hooklet) pada scolex dan jumlah percabangan lateral uterusnya, maka
dapat dibedakan spesies Taenia solium dan Taenia saginata. Pada scolex
Taenia solium terdapat rostellum dan hooklet, sedangkan pada Taenia saginata
tidak terdapat. Percabangan lateral uterus Taenia solium jumlahnya 712 buah
pada satu sisi, dan Taenia saginata 15-30 buah. Ada cara yang lebih sederhana
untuk memeriksa proglotid gravid, yaitu dengan memasukkan proglotid itu ke
dalam larutan carbolxylol 75%. Dalam waktu satu jam, proglotid menjadi
jernih dan percabangan uterusnya tampak jelas. Cara lainnya yang paling
sederhana dan gampang dikerjakan ialah dengan menjepitkan proglotid yang
masih segar di antara dua objek gelas secara pelan dan hati-hati. Proglotid
akan tampak jernih dan percabangan uterusnya yang penuh berisi telur tampak
keruh. Pemeriksaan bisa gagal apabila percabangan uterusnya robek dan
semua telurnya keluar Anonimus, 2010.
4. Epidemiologi
Penyebaran di Dunia
Penyakit Taenia, sp. tersebar secara luas di seluruh dunia. Penyebaran
Taenia,sp. dan kasus infeksi akibat Taenia tersebut lebih banyak terjadi di
daerah tropis hal ini karena daerah tropis memiliki curah hujan yang tinggi
dan iklim yang sesuai untuk perkembangan parasit ini. Taeniasis dan
sistiserkosis akibat infeksi cacing pita babi Taenia solium merupakan salah
satu zoonosis di daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging
babi dan tingkat sanitasi lingkungannya masih rendah, seperti di Asia
Tenggara, India, Afrika Selatan, dan Amerika Latin. Adapun kasus infeksi
cacing pita Taenia di negara tropis dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kasus Infeksi Cacing Pita Taenia di Negara Tropis
Negara
Taiwan,
Cina
Brazil
Kasus
1.661 orang penderita taeniasis.
0,1-0,9 % kejadian sistiserkosis pada manusia.
Laos
di
antaranya
adalah
penderita
sistiserkosis
selulosae
yang
menunjukkan gejala epilepsi. Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di
Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada
otak (Anonimus, 2010).
Pada manusia
Pada manusia
5. Pencegahan
Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita
taenasis
Pemakaian jamban keluarga ,sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh
sarana
sanitasi,
pencegahan
konsumsi
daging
yang
di rumah potong hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter hewan Rotinsulu
DA.(2008).
7. Pengobatan
1. Pengobatan Taeniasis penderita Taeniasis diobati ( secara massal ) dengan
Praziquantel , Dosis 100 mg / kg , dosis tunggal. Cara pemberian praziquantel
adalah sebagai berikut:
Satu hari sebelum pemberian obat cacing, penderita dianjurkan untuk
makan
makanan yang lunak tanpa minyak dan serat.
Malam harinya setelah makan malam penderita menjalani puasa
Keesokan harinya dalam keadaan perut kosong penderita diberi obat
cacing. Dua sampai dua setengah jam kemudian diberikan garam Inggris
( MgS O4 ), 30 gram untuk dewasa dan 15 gram atau 7,5 gram untuk anak
anak, sesuai dengan umur, yang dilarutkan dalam sirop ( pemberian
sekaligus ).
Penderita tidak boleh makan sampai buang air besar yang pertama.
Setelah buang air besar , penderita diberi makan bubur, d) Sebagian kecil
tinja dari buang air besar pertama dikumpulkan dalam botol yang berisi
formalin 5-10 % untuk pemeriksaan telur Taenia sp. Tinja dari buang air
besar pertama dan berikutnya selama 24 jam ditampung dalam baskom
plastik dan disiram dengan air panas/ mendidih supaya cacingnya relaks.
Kemudian diayak dan disaring untuk mendapatkan proglotid dan skoleks
Taenia sp.
Proglotid dan skoleks dikumpulkan dan disimpan dalam botol yang berisi
alkohol 70 % untuk pemeriksaan morfologi yang sangat penting dalam
identifikasi spesies cacing pita tersebut. Pengobatan taeniasis dinyatakan
dapat
dikurangidengan
memberikan
BAB 111
PEMBAHASAN
Taeniasis adalah infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus.
Ada tiga spesies penting cacing pita Taenia, yaitu Taenia solium, Taenia
saginata, dan Taenia asiatica. Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting
karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia (zoonosis), yang dikenal
dengan istilah taeniasis dan sistiserkosis. Adapun perbedaan antara spesies
cacing pita Taenia dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 2. Perbedaan antara Taenia solium, Taenia saginata dan Taenia
asiatica
No. Keterangan
1
Taenia
manusia
Babi
manusia
halus
asiatica
dan Sapi
domba
(utama),
kambing,
Usus halus
manusia
Babi
(utama),
sapi
4
5
Nama
tahap Cysticercus
larva
cellulosae
Ukuran
(3-8)x
0,01
di
Cysticercus bovis
t.s.
taiwanensis
30.000-50.000
6
Cysticercus
setiap
4-8 meter
1000-2000
712
segmen
segmen
Taeniasis adalah penyakit akibat parasit berupa cacing pita yang
tergolong dalam genus Taenia yang dapat menular dari hewan ke manusia,
maupun sebaliknya. Taeniasis pada manusia disebabkan oleh spesies Taenia
solium, Taenia asiatica atau dikenal dengan cacing pita babi dan Taenia
saginata yang dikenal juga sebagai cacing pita sapi. Anonimus, (2010).
Dari ketiga spesies cacing Taenia (Taenia solium, Taenia asiatica dan
Taenia saginata) memiliki habitat yang sama, yaitu berada pada usus halus
manusia dan manusia juga merupakan induk semang definitive, akan tetapi
induk semang antara dari Taenia solium adalah babi dan manusia, sedangkan
Taenia asiatica induk semang antaranya adalah babi (utama) dan sapi,
sedangkan Taenia saginata induk semang antaranya Sapi (utama), kambing,
domba., selain itu jika dilihat dari stuktur anatomi, jumlah telur dan segmen
Taenia solium dan Taenia asiatica lebih kecil daripada Taenia saginata begitu
juga jumlah segmen dan jumlah telur setiap segmen lebih banyak pada cacing
Taenia saginata. Menurut Diajengasnani, 2009.
Perbedaan Taenia solium hanya terletak pada alat pengisap dan inang
perantaranya. Taenia saginata pada skoleksnya terdapat alat pengisap tanpa
kait dan inang perantaranya adalah sapi, sedangkan Taenia solium memiliki
alat pengisap dengan kait pada skoleksnya dan inang perantaranya adalah
babi.
Kejadian dan penyakit pada hewan Babi cacing dewasa ada dibagian
proximal jejenum, sedangkan cysticercosis sellulosae bertempat di otot lidah,
M.Masseter mucosa, diafragma, jantung, hati, ginjal, pulmo, otak, mata. Sapi,
infestasi cacing Taenia bersifat sporadik. Cysticercosis bovis berada terutama
di m. Maseter (Yudhie, 2009). Menurut Admin, (2008).
Gejala klinis dari penyakit Taeniasis jika muncul sangat bervariasi
seperti, gangguan syaraf, insomnia, anorexia, berat badan yang menurun, sakit
perut dan atau gangguan pada pencernaan. Terkecuali merasa terganggu
dengan adanya segmen cacing yang muncul dari anus, kebanyakan penyakit
ini tidak menunjukkan gejala. Taenasis biasanya tidak fatal, akan tetapi pada
stadium larva cacing Taenia solium mungkin menyebabkan sistiserkosis yang
fatal.
Sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan oleh bentuk larva
Taenia (sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taenia solium (cacing pita
babi). Cacing pita babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, lain
halnya cacing pita sapi tidak dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia,
sedangkan Taenia asiatica dalam menyebabkan sistiserkosis belum diketahui
secara pasti. Akan tetapi ada dugaan bahwa Taenia asiatica merupakan
penyebab sistiserkosis di Asia Anonimus, (2010).
Menurut Admin, (2009).Manusia terkena taeniasis apabila memakan
daging sapi atau babi yang setengah matang yang mengandung sistiserkus
sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia.
Dalam hal ini juga dapat terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh individu
penderita melalui pengeluaran dan penelanan kembali makanan. Sesui dengan
pernyataan Roday, S. (1999) bahwa penyakit hewan dapat ditularkan melalui
produk hewan ke manusia atau dikenal sebagai foodborne zoonotic disease
atau foodborne zoonosis (jamak=zoonoses).
Foodborne zoonotic disease didefinisikan sebagai infeksi pada
manusia yang ditularkan melalui pangan yang sumbernya dari hewan yang
terinfeksi. Beberapa penyakit ini sudah dikenal lama seperti antraks yang
ditularkan
melalui
daging
sapi,
kambing,
domba,
kerbau;
pekerja,
cara
higiene,
pemasakkan yang dapat membunuh agen penyebab zoonosis.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.denpasarpost.tv/2002/07/08/kesehatan.html
Anonimus, 2009 Petunjuk pemberantasan Taeniasis/sistiserkosis di Indonesia
http://www.pdfdownloadforfree.com/petunjuk-pemberantasan-taeniasis
/sistiserkosis-di-indonesia.html
Admin, 2008. Peternakan Taeniasis Pada Babi.
http://www.vet-klinik.com/Peternakan/Taeniasis-pada-babi.html
Anonimus, 2010. Manual Pemberantasan Penyakit Menular
http://penyakitdalam.wordpress.com/category/manual-pemberantasanpenyakit-menular/taeniasis/
Anonimus, 2010. cacing pita
http://id.wikipedia.org/wiki/Taenia_%28cacing_pita%29
Anonimus, 2010. taenia-saginata
http://totokanaliskesehatan.blogspot.com/2010/05/taenia-saginata.html
Craig, P.S., M.T.Rogan, J.C. Allan. 1996. Detection, screening and community
epidemologi of taeniid cestode zoonoses : Cystic echinococcosis, alveolar
echinococosis and
Bogor.
Parasitology 10:269-343.
Roday, S. 1999. Food Hygiene and Sanitation, Tata Mc. Graw-Hill Pub. Co. Lmtd.,
New Delhi
Rizal subahar, abdulbar hamid, wilfried purba, widarso, akira ito dan sri s margono,
2005. Taeniasis/Sistiserkosis di antara anggota keluarga di beberapa desa,
kabupaten jayawijaya, papua,
Rotinsulu DA. 2008. Strategi Global Kesehatan Masyarakat Veteriner dalam
Pengendalian Taeniasis/Sistiserkosis sebagai Re-emerging Foodborne
OLEH
SATNA
J1A114179
C (014)
KENDARI
2016
KATA PENGANTAR
dan Penanggulangan
Penyakit seperti yang telah tertera di atas. Makalah ini juga disusun berdasarkan apa
yang penulis dapatkan dari berbagai macam sumber informasi dan referensi terutama
dimedia sosial (internet).
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca dan penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu
kepada para pembaca penulis meminta masukannya demi perbaikan pembuatan
makalah kami dimasa yang akan datang.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Kendari,April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar belakang
2. Rumusan masalah
3. Tujuan
BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Etiologi
2.2. Pemeriksaan laboratorium
2.3. Epidemiologi
2.4. Pencegahan
2.5 Cara Pengendalian Taenia, sp.
2.6 Pengobatan
BAB 111 PEMBAHASAN
BAB 1V PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 saran
DAFTAR PUSTAKAS