Anda di halaman 1dari 32

AB 1

PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Penyakit yang di sebabkan oleh cacing sering kali dianggap masalah
biasa, Sebenarnya hal ini sangat beralasan karena pada umumnya penyakit ini
bersifat kronis sehingga secara klinis tidak tampak begitu nyata. Karakteristik
fisik wilayah tropik seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan
hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan
masyarakatnya (Edmundson & Edmundson 1992).
Sedangkan infeksi oleh cacing pita kebanyakan disebabkan oleh
cacing pita babi dan cacing pita sapi yang terjadi pada daerah-daerah tertentu
dengan kekhasan tipe budaya masyarakatnya antara lain pulau Samosir, pulau
Bali serta daerah migrannya di Lampung, dan Papua (Irian Jaya). Dalam hal
ini tidak dapat dipungkiri bahwa keeratan hubungan antara manusia dan
ternak/hewan kesayangan baik dalam bentuk rantai makanan maupun
hubungan sosial dapat mempertahankan kejadian penyakit yang bersifat
zoonosis Margono, (1989).
Proses penularan penyakit parasit dari hewan ke manusia ataupun
sebaliknya, merupakan peristiwa yang lebih rumit dibandingkan dengan
proses penularan yang disebabkan mikroorganisme lainnya. Oleh karena itu,
dalam usaha pengendalian penyakit zoonosis parasit, pengetahuan mengenai
habitat untuk masing-masing fase infeksi dan perkembangannya perlu
diketahui dengan baik.

Selain itu, untuk mengoptimalkan pengendalian,

tentunya pengetahuan mengenai parasitnya sendiri harus dikuasai pula


(Yudhie, 2009). Taeniasis adalah infestasi cacing pita Taenia sp. berasal dari
sapi atau babi pada manusia. Manusia merupakan induk semang definitife
atau induk semang akhir (final host) cacing pita pada sapi. Sedangkan cacing

pita pada babi, manusia bertindak sebagai induk semang antara (intermediate
host) dan juga induk semang definitife Subahar,. dkk. 2005.
Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan
ke manusia atau sebaliknya. Taeniasis dan sistiserkosis adalah satu contoh
zoonosis berbahaya pada manusia yang disebabkan oleh infeksi cacing pita
dewasa maupun larvanya. Penyakit ini kurang dikenal oleh masyarakat luas
yang lebih mengenal anthrax atau Bovine Septicemia Epizootica (sapi gila).
Untuk kepentingan kesehatan masyarakat veteriner kiranya perlu memberikan
pengetahuan praktis kepada masyarakat tentang penyakit yang bersifat
zoonosis, yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kesehatan individu /
keluarga serta lingkungannya (Yudhie, 2009).
Sesuai dengan pernyataan Soejoedono (2004) bahwa peningkatan
konsumsi bahan pangan asal hewan perlu dibarengi dengan peningkatan
jaminan keamanan pangan asal hewan yang merupakan salah satu tugas dan
fungsi kesmavet. Kesmavet menurut Undang Undang no 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang
berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Tugas dan fungsi Kesmavet
secara garis besar adalah menjamin keamanan dan kualitas produk-produk
peternakan, serta mencegah terjadinya risiko bahaya akibat penyakit hewan /
zoonosis dalam rangka menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Ada beberapa kasus infeksi cacing pita Taenia di Indonesia
diantaranya yang tertinggi terjadi di Provinsi Papua Jayawijaya ditemukan
66,3% (106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium/
sistiserkosis selulosae dari babi sementara 28,3% orang adalah penderita
sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit.
Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya adalah penderita sistiserkosis
selulosae yang menunjukkan gejala epilepsi. Dari 257 pasien yang menderita
luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya

sistiserkosis pada otak, selanjutnya prevalensi sistiserkosis pada manusia


berdasarkan pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali yaitu 5,2% sampai
21%, sedangkan prevalensi taeniasis di provinsi yang sama berkisar antara
0,4%-23%. Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami
epilepsi di Bali didiagnosa menderita sistiserkosis di otak. Prevalensi taeniasis
T. asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%-20,7%. Kasus T. asiatica di
Provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan maupun
daging anjing yang dimasak setengah matang (A nonimus, 2010).
Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi
yang setengah matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus
berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia. Dalam hal ini juga
dapat terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh individu penderita melalui
pengeluaran dan penelanan kembali makanan.
Sesuai dengan pernyataan (Roday, 1999) bahwa penyakit hewan dapat
ditularkan melalui produk hewan ke manusia atau dikenal sebagai foodborne
zoonotic disease atau zoonosis. Foodborne zoonotic disease didefinisikan
sebagai infeksi pada manusia yang ditularkan melalui pangan yang sumbernya
dari hewan yang terinfeksi. Beberapa penyakit ini sudah dikenal lama seperti
antraks yang ditularkan melalui daging sapi, kambing, domba, kerbau;
sistiserkosis/ taeniasis yang ditularkan melalui daging babi.
Dengan

demikian

melalui

studi

literatur

ini

penulis

ingin

memperdalam pendidikan dibidang kesehatan masyarakat veteriner agar kelak


dapat bermanfaat bagi masyarakat.

2. Rumusan masalah

2.1.Apa itu etiologi teaniasis?


2.2.Bagaimana Pemeriksaan laboratoriumnya?
2.3.Bagaimana Epidemiologinya?
2.4.Bagaimana cara Pencegahannya?
2.5. Bagaiman Cara Pengendalian Taenia, sp.?
2.6. Bagaiman cara Pengobatannya?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui etiologi teaniasis
2. untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium
3. untuk mengetahui epidemiologinya
4. untuk mengetahui cara pencegahannya
5. untuk mengetahui cara pengendaliannya
6. untuk mengetahui cara pengobatannya

BAB 11

TINJAUAN PUSTAKA
1. Etiologi
Taeniasis adalah infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus
Taeniasis dan cysticercosis adalah satu penyakit zoonosis berbahaya pada
manusia yang disebabkan oleh infeksi cacing pita dewasa maupun larvanya.
Sistiserkosis yang disebabkan oleh larva atau metasestoda T. solium
merupakan salah satu zoonosis yang dapat memberikan gejala-gejala berat
khususnya bila larva terdapat pada otak atau mata Craig et al. 1996; Raether
& Hanel (2003).
Jenis cacing pita yang umum menginfeksi manusia di dunia adalah
Taenia, Echinococcus, Diphyllobothrium, Hymenolepis, dan Dipylidium
(Craig et al. 1996; Raether & Hanel 2003). Namun yang bersifat obligatorycyclozoonoses adalah Taenia saginata, T. solium, dan T. saginata taiwanensis,
karena hanya manusia sebagai inang definitif yang dapat terinfeksi cacing
dewasa. Sedangkan cacing yang lain inang definitif utamanya adalah
karnivora. Tentu saja yang bertindak sebagai inang antara (infeksi larva)
adalah hewan ternak, kesayangan, bahkan hewan liar yang erat berhubungan
dengan kehidupan manusia baik dalam rantai makanan maupun kontak
dengan lingkungan mereka.
Taenia saginata (cacing pita daging sapi) : Cacing dewasa dapat
ditemukan dalam usus manusia penderita taeniasis, berbentuk pipih
panjang seperti pita dan tubuhnya beruas-ruas (segmen). Panjangnya ratarata 5m bahkan bisa mencapai 25m yang terdiri atas lebih dari 1000
segmen (Pawlowski & Schultz 1972; Soulsby 1982; Smyth 2004). Cacing
ini memiliki kepala yang disebut scolex, berdiameter 2mm menempel
pada permukaan selaput lendir usus manusia. Ketika mencapai stadium

dewasa, lebih dari separuh segmennya telah mengandung telur, namun


hanya beberapa puluh segmen yang mengandung telur matang disebut
segmen gravid. Segmen gravid kurang lebih mengandung 800.000 telur
pada setiap segmen (Soulsby, 1982). Berbeda dengan T. solium, segmen
gravid T. saginata spontan keluar dari anus penderita secara aktif, kadangkadang keluar bersama tinja ketika defekasi. Apabila telur yang bebas dari
segmen gravid tersebut mencemari lingkungan pakan ternak sapi/kerbau,
telur yang tertelan ternak menetas dalam ususnya. Embrio (oncosphere)
cacing menembus dinding usus kemudian bermigrasi ke seluruh bagian
tubuh melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Selama migrasi
oncosphere mengalami perkembangan sampai tiba pada habitat yang
cocok tumbuh menjadi larva setelah 2-3 bulan. Larva ini juga disebut
metacestoda atau lebih dikenal sebagai cacing gelembung yang berukuran
(4-5)mm x (7.5-10)mm. Larva yang menyerupai balon kecil yang berisi
cairan ini disebut Cysticercus bovis dapat ditemukan dalam jaringan
otot/organ tubuh sapi/kerbau. Habitat utamanya adalah otot lidah, otot
pengunyah, diafragma, jantung (Urquhart et al. 1987), namun dengan
infeksi percobaan (T. saginata strain Bali) cysticercus tersebar ke seluruh
otot sapi coba (Dharmawan 1995). Di dalam tubuh sapi cysticercus dapat
bertahan hidup selama beberapa tahun. Manusia yang mengonsumsi
daging sapi yang mengandung cysticercus hidup selanjutnya berkembang
menjadi T. saginata dalam ususnya.
Taenia solium (cacing pita daging babi) : Cacing ini disebut juga cacing
pita daging babi karena hewan babi bertindak sebagai inang antaranya
yang mengandung larvanya. Ukuran cacing dewasa relatif lebih pendek
dibandingkan dengan T. saginata yaitu antara 2-8m (Noble & Noble 1982;
Soulsby 1982). Setiap individu cacing dewasa terdiri atas 800-900 segmen
(Cheng 1986) hingga 1000 segmen (Soulsby 1982; Noble & Noble 1982).
Berbeda dengan scolex T. saginata, selain diameternya lebih kecil yaitu

1mm dilengkapi dengan 2 baris kait di sekeliling rostellumnya. Mungkin


karena ukurannya lebih kecil, setiap segmen gravidnya mengandung 4000
telur. Segmen gravid T. solium dikeluarkan bersama-sama tinja penderita
taeniasis solium. Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang
sama dengan Taenia yang lain, yang membedakan adalah inang antaranya
yaitu babi. Namun menurut beberapa penulis pernah dilaporkan bahwa
mamalia piaraan lainnya dapat juga sebagai inang antaranya (Ito et al.
2002). Babi adalah hewan omnivora termasuk makan tinja manusia, oleh
karena itu sering ditemui beberapa ekor babi menderita cysticercosis berat,
sehingga sekali menyayat sepotong daging tampak ratusan Cysticercus
cellulosae (Noble & Noble 1982). Larva ini mudah ditemukan dalam
jaringan otot melintang tubuh babi. Celakanya telur T. solium juga
menetas dalam usus manusia sehingga manusia dapat bertindak sebagai
inang antara walaupun secara kebetulan (Townes 2004; Wandra et al.
2003). Pada tubuh manusia penderita cysticercosis, larva cacing
(Cysticercus cellulosae) dapat ditemukan dalam jaringan otak besar
maupun kecil, selaput otak, jantung, mata, dan di bawah kulit (Noble &
Noble 1982; Simanjuntak et al 1997; Wandra et al. 2003). Penularan dapat
terjadi secara langsung karena menelan telur cacing yang mengontaminasi
makanan atau minuman. Tetapi yang sering terjadi adalah autoinfeksi
melalui tangan yang kurang bersih/setelah menggaruk-garuk bagian. tubuh
yang terkontaminasi telur cacing atau secara internal yang diakibatkan
oleh refleks muntah pada penderita taeniasis.
Taenia saginata taiwannesis (cacing pita daging babi) : Secara morfologis
cacing ini sangat mirip dengan T. saginata, memiliki nama lain T. asiatica
( Eom & Rim 1993 Didalam : Dharmawan 1995 ). Keberadaan cacing ini
di Indonesia relatif baru dideskripsikan dari penderita di Sumatra Utara
( Fan et al. 1989; Dharmawan 1995 ). Pada prinsipnya siklus hidup Taenia
saginata taiwanensis tidak berbeda dengan siklius hidup taenia lain yang

menyerang manusia. Namun yang menjadi perhatian adalah sistiserkusnya


hanya ditemukan dalam organ hati babi sebagai inang antara walaupun
secara eksperimental juga berkembang dalam tubuh sapi ( Dharmawan,
1995 ).
Siklus Hidup

Gambar 2. Siklus hidup Cacing Pita

Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan
induk semang definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan
mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif
bersama-sama feses manusia. Bila inang definitif (manusia) maupun inang
antara (sapi dan babi) menelan telur maka telur yang menetas akan
mengeluarkan embrio (onchosphere) yang kemudian menembus dinding
usus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah limfe berangsurangsur berkembang menjadi sistiserkosis yang infektif di dalam otot
tertentu.

Otot yang paling sering terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma,


lidah, otot pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk
Anonimus, (2010).
Gejala klinis
1. Taeniasis
Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak patognomosnis
(khas). Sebagian kasus tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). gejala
klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi mukosa usus atau toksin yang

dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara lain rasa tidak enak pada
lambung , nausea (mual), badan lemah, berat badan menurun, nafsu
makan menurun, sakit kepala, konstipasi (sukar buang air besar), pusing,
diare, dan pruiritus ani (gatal pada lubang pelepasan). Pada pemeriksaan
darah tepi (hitung jenis) terjadi peningkatan eosinofil (eosinofilia) Gejala
klinis taeniasis solium hampir tidak dapat dibedakan dari gejala klinis
taeniasis saginata. Secara psikologis penderita dapat merasa cemas karena
adanya segmen/ proglotid pada tinja dan pada Taenia saginata segmen
dapat lepas dan bergerak menuju sphincter anal yang merupakan gerakan
spontan dari segmen. Segmen/Proglotid ini dikenal dengan istilah ampas
nangka (bali), banasan (toraja), dan manisan (Sumatera Utara).
2. Sisterkosis
Gejala klinis yang timbul tergantung dan letak jumlah, umur, dan
lokasi dari kista. Sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala atau
dapat ditemukan adanya nodul subkutan. Sistiserkosis serebri sering
menimbulkan gejala epilepsi atau gejala tekanan intrakranial meninggi
dengan sakit kepala dan muntah yang menyerupai gejala tumor otak. Pada
kasus yang berlangsung lama dapat dijumpai bintik kallsifikasi dalam
otak.
Patogenesis
Cara infeksinya melalui oral karena memakan daging babi atau sapi
yang mentah atau setengah matang dan mengandung larva cysticercus. Di
dalam usus halus, larva itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala
gasterointestinal seperti rasa mual, nyeri di daerah epigastrium, napsu
makan menurun atau meningkat, diare atau kadang-kadang konstipasi.
Selain itu, gizi penderita bisa menjadi buruk se-hingga terjadi anemia,
malnutrisi. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi, yaitu apabila

proglotid menyasar masuk apendiks, atau terdapat ileus yang disebabkan


obstruksi usus oleh strobilla cacing. Berat badan tidak jelas menurun
(Anonimus, 2010).
Menurut Symons (1989) jumlah cacing pita dalam usus kurang
berpengaruh terhadap perubahan patologis dibandingkan dengan ukuran
tubuh cacing. Walaupun hanya terdapat 1-2 ekor dan ukurannya besar
dampak patologisnya lebih nyata. Penderita taeniasis jarang menunjukkan
gejala yang khas walaupun di dalam ususnya terdapat cacing taenia
selama bertahun-tahun, tetapi biasanya hanya terdapat satu ekor.
cysticercosis pada manusia sangat bergantung pada organ serta jumlah
cysticercus yang tinggal. Infeksi berat pada otot menyebabkan peradangan
(myocitis) yang bisanya menimbulkan demam. Jika menyerang organ mata
(Ocular- Cysticercosis) gejala yang paling berat adalah kebutaan (Smyth,
2004).
Gejala-gejala syaraf seperti kelumpuhan, kejang, hingga epilepsi,
dapat dipastikan bahwa larva tersebut menempati organ-organ yang sarat
dengan jaringan syaraf seperti otak/selaput otak atau sumsum tulang
belakang.
Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan ditemukannya cacing di
dalam feses. Sepotong selotip ditempelkan di sekeliling lubang dubur, lalu
dilepas dan ditempelkan pada sebuah kaca obyek dan diperiksa dibawah
mikroskop untuk melihat adanya telur parasit. Melalui mikroskop
memeriksa sampel feses apakah ada telur cacing parasit, ookista protozoa
dan takizoit Anonimus, (2010).
Diagnosa

dapat

ditegakkan

berdasarkan

atas

anamnesis

dan

pemeriksaan laboratorium. Anamnesis: penderita pernah mengeluarkan


benda pipih berwarna putih seperti ampas nangka bersama tinja atau

keluar sendiri dan bergerak-gerak. Benda itu tiada lain adalah potongan
cacing pita (proglotid). Cara keluarnya proglotid Taenia solium berbeda
dengan Taenia saginata. Proglotid Taenia solium biasanya keluar bersama
tinja dalam bentuk rangkaian 56 segmen. Sedangkan Taenia saginata,
proglotidnya keluar satu-satu bersama tinja dan bahkan dapat bergerak
sendiri secara aktif hingga keluar secara spontan Anonimus (2010).
3. Pemeriksaan laboratorium
Secara makroskopis (melihat tanpa menggunakan alat), yang
diperhatikan dalam hal ini adalah bentuk proglotidnya yang keluar bersama
tinja. Bentuknya cukup khas, yaitu segi empat panjang pipih dan berwarna
putih keabu-abuan.
Pemeriksaan secara mikroskopis untuk mendeteksi telurnya dapat
dikerjakan dengan preparat tinja langsung (directsmear) memakai larutan
eosin. Cara ini paling mudah dan murah, tetapi derajat positivitasnya rendah.
Untuk mendapatkan hasil positivitas yang lebih tinggi, pemeriksaan
dikerjakan dengan metoda konsentras (centrifugal flotation) atau dengan cara
perianal swab memakai cellophane tape (Anonimus, 2010).
Jika hanya menemukan telur dalam feses, tidak bisa dibedakan Taenia
solium dan Taenia saginata. Agar dapat membedakannya, perlu mengadakan
pemeriksaan scolex dan proglotid gravidnya. Scolex dan proglotid gravid
dibuat preparat permanen diwarnai dengan borax carmine atau trichrome,
kemudian dilihat di bawah mikroskop. Dengan memperhatikan adanya kaitkait (hooklet) pada scolex dan jumlah percabangan lateral uterusnya, maka
dapat dibedakan spesies Taenia solium dan Taenia saginata. Pada scolex
Taenia solium terdapat rostellum dan hooklet, sedangkan pada Taenia saginata
tidak terdapat. Percabangan lateral uterus Taenia solium jumlahnya 712 buah
pada satu sisi, dan Taenia saginata 15-30 buah. Ada cara yang lebih sederhana
untuk memeriksa proglotid gravid, yaitu dengan memasukkan proglotid itu ke

dalam larutan carbolxylol 75%. Dalam waktu satu jam, proglotid menjadi
jernih dan percabangan uterusnya tampak jelas. Cara lainnya yang paling
sederhana dan gampang dikerjakan ialah dengan menjepitkan proglotid yang
masih segar di antara dua objek gelas secara pelan dan hati-hati. Proglotid
akan tampak jernih dan percabangan uterusnya yang penuh berisi telur tampak
keruh. Pemeriksaan bisa gagal apabila percabangan uterusnya robek dan
semua telurnya keluar Anonimus, 2010.
4. Epidemiologi
Penyebaran di Dunia
Penyakit Taenia, sp. tersebar secara luas di seluruh dunia. Penyebaran
Taenia,sp. dan kasus infeksi akibat Taenia tersebut lebih banyak terjadi di
daerah tropis hal ini karena daerah tropis memiliki curah hujan yang tinggi
dan iklim yang sesuai untuk perkembangan parasit ini. Taeniasis dan
sistiserkosis akibat infeksi cacing pita babi Taenia solium merupakan salah
satu zoonosis di daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging
babi dan tingkat sanitasi lingkungannya masih rendah, seperti di Asia
Tenggara, India, Afrika Selatan, dan Amerika Latin. Adapun kasus infeksi
cacing pita Taenia di negara tropis dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kasus Infeksi Cacing Pita Taenia di Negara Tropis
Negara
Taiwan,
Cina
Brazil

Kasus
1.661 orang penderita taeniasis.
0,1-0,9 % kejadian sistiserkosis pada manusia.

Thailand 5,9% dari 1450 orang positif taeniasis.


Taeniasis/sistiserkosis terutama ditemukan di Papua, Bali dan
Indonesia Sumatera Utara. Selain itu ditemukan di NTT, Lampung,
Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Jawa Timur.

Laos

Kejadian taeniasis mencapai 14%


Salah satu bukti lebih luasnya penyebaran Taenia di daerah tropis yaitu

ditemukannya spesies ketiga penyebab taeniasis pada manusia di beberapa


negara Asia yang dikenal dengan sebutan Taiwan Taenia atau Asian Taenia.
Asian Taenia dilaporkan telah ditemukan di negara-negara Asia yang
umumnya beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina,
Korea dan Cina. Kini Asian Taenia disebut Taenia asiatica. Kejadian T.
asiatica yang tinggi terutama ditemukan di Pulau Samosir, Indonesia.
Sistiserkosis merupakan infeksi yang sering ditemukan pada babi dan manusia
terutama di negara berkembang. Penularan sistiserkosis pada manusia
dipengaruhi antara lain oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak
adanya pemeriksaan kesehatan daging saat penyembelihan, dan konsumsi
daging mentah atau setengah matang.
Penyebaran penyakit ini luas karena Taenia dapat memproduksi
puluhan bahkan ratusan ribu telur setiap hari yang dapat disebar oleh air hujan
ke lingkungan bahkan pada lokasi yang jauh dari tempat pelepasan telur
(Anonimus,2010).
Penyebaran di Indonesia
Infeksi cacing pita Taenia tertinggi di Indonesia terjadi di Provinsi
Papua. Di Kabupaten Jayawijaya Papua, Indonesia ditemukan 66,3% (106
orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium/ sistiserkosis
selulosae dari babi, sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang
dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit. Sebanyak 18,6% (30
orang)

di

antaranya

adalah

penderita

sistiserkosis

selulosae

yang

menunjukkan gejala epilepsi. Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di
Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada
otak (Anonimus, 2010).

Prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan pemeriksaan


serologis pada masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2% sampai 21%,
sedangkan prevalensi taeniasis di provinsi yang sama berkisar antara 0,4%23%. Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di
Bali didiagnosa menderita sistiserkosis di otak. Prevalensi Taeniasis,
T.asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%-20,7%. Kasus T. asiatica di
Provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan setengah
matang (Anonimus,2010)
Peta penyebaran teaniasis di indonesia antara lain yaitu :

Gambar: Cacing T.signata dan T.solium yang menginfeksi manusia:

Pada manusia

Pada manusia

5. Pencegahan
Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita
taenasis
Pemakaian jamban keluarga ,sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh

babi dan tidak mencemari tanah atau rumput.


Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi

dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran


Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di RPH, sehingga
daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat
(kerjasama lintas sektor dengan dinas Peternakan)
Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi
gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting
khususnya di daerah yang banyak memotong babi untuk upacara-upacara
adat seperti Sumatera Utara, Bali dan Irian jaya.
Menghilanglkan kebiasaan maka makanan yang mengandung daging
setengah matang atau mentah.
Memasak daging sampai matang ( diatas 57 C dalam waktu cukup
lama ) atau membekukan dibawah 10 selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang
dapat diterima ,tetapi dapat pula tidak berjalan , karena perubahan yang
bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk
itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi
daerah tersebut Anonimus, (2009).

6. Cara Pengendalian Taenia, sp.


Pengendalian cacing pita Taenia, sp. dapat dilakukan dengan
memutuskan siklus hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai
agen penyebab penyakit dapat dilakukan melalui pengobatan terhadap
penderita yang terinfeksi. Beberapa obat cacing yang dapat digunakan yaitu
Atabrin, Librax dan Niclosamide dan Praziquantel. Sedangkan untuk
mengobati sistiserkosis dapat digunakan Albendazole dan Dexamethasone.
Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia maupun
hewan diperlukan peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal ini dapat
dilakukan melalui vaksinasi pada ternak, terutama babi di daerah endemis
taeniasis/ sistiserkosis serta peningkatan kualitas dan kecukupan gizi pada
manusia (Anonimus, 2009).
Lingkungan yang bersih sangat diperlukan untuk memutuskan siklus
hidup Taenia karena lingkungan yang kotor menjadi sumber penyebaran
penyakit. Pelepasan telur Taenia dalam feses ke lingkungan menjadi sumber
penyebaran taeniasis/sistiserkosis. Faktor risiko utama transmisi telur Taenia
ke babi yaitu pemeliharaan babi secara ekstensif, defekasi manusia di dekat
pemeliharaan babi sehingga babi memakan feses manusia dan pemeliharaan
babi dekat dengan manusia. Hal yang sama juga berlaku pada transmisi telur
Taenia ke sapi. Telur cacing ini dapat terbawa oleh air ke tempat-tempat
lembab sehingga telur cacing lebih lama bertahan hidup dan penyebarannya
semakin luas Anonimus, (2009).
Kontrol penyakit akibat Taenia di lingkungan dapat dilakukan melalui
peningkatan

sarana

sanitasi,

pencegahan

konsumsi

daging

yang

terkontaminasi, pencegahan kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan


minuman. Pembangunan sarana sanitasi, misalnya kakus dan septic tank, serta
penyediaan sumber air bersih sangat diperlukan. Pencegahan konsumsi daging
yang terkontaminasi dapat dilakukan melalui pemusatan pemotongan ternak

di rumah potong hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter hewan Rotinsulu
DA.(2008).

7. Pengobatan
1. Pengobatan Taeniasis penderita Taeniasis diobati ( secara massal ) dengan
Praziquantel , Dosis 100 mg / kg , dosis tunggal. Cara pemberian praziquantel
adalah sebagai berikut:
Satu hari sebelum pemberian obat cacing, penderita dianjurkan untuk
makan
makanan yang lunak tanpa minyak dan serat.
Malam harinya setelah makan malam penderita menjalani puasa
Keesokan harinya dalam keadaan perut kosong penderita diberi obat
cacing. Dua sampai dua setengah jam kemudian diberikan garam Inggris
( MgS O4 ), 30 gram untuk dewasa dan 15 gram atau 7,5 gram untuk anak
anak, sesuai dengan umur, yang dilarutkan dalam sirop ( pemberian
sekaligus ).
Penderita tidak boleh makan sampai buang air besar yang pertama.
Setelah buang air besar , penderita diberi makan bubur, d) Sebagian kecil
tinja dari buang air besar pertama dikumpulkan dalam botol yang berisi
formalin 5-10 % untuk pemeriksaan telur Taenia sp. Tinja dari buang air
besar pertama dan berikutnya selama 24 jam ditampung dalam baskom
plastik dan disiram dengan air panas/ mendidih supaya cacingnya relaks.
Kemudian diayak dan disaring untuk mendapatkan proglotid dan skoleks
Taenia sp.
Proglotid dan skoleks dikumpulkan dan disimpan dalam botol yang berisi
alkohol 70 % untuk pemeriksaan morfologi yang sangat penting dalam
identifikasi spesies cacing pita tersebut. Pengobatan taeniasis dinyatakan

berhasil bila skoleks taenia sp dapat ditemukan utuh bersama proglotid


(Anonimus, 2009).
2. Pengobatan sistiserkosis
Praziquantel dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, dosis tunggal /dibagi 3 dosis

per oral selama 15 hari, atau


Albendazole 15 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dibagi 3 dosis per oral
selama 7 hari Untuk pengobatan dengan praziquantel maupun
albendazole,reaksi dari tubuh

dapat

dikurangidengan

memberikan

kortikosteroid (prednison 1mg/kg BB/hari dosis tunggal/dibagi 3 dosis


atau dexamethasone dengan dosis yang setara dengan prednison).
Pemberian praziquantel maupun albendasole harus dibawah pengawasan
petugas kesehatan atau dilakukan dirumah sakit.
Penderita /tersangka neurosistiserkosis dirujuk ke rumah sakit
pengobatan penderita neurosistiserkosis rumah sakit adalah sebagai
berikut :
Preziquantael dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dibagi 3
dosis, diberikan per oral selama 15 hari, atau
Albendazole 15 mg/kg BB/hari, dosis tunggal/dibagi 3 dosis, per oral
selama 30 hari.
Untuk mengurangi reaksi dari tubuh diberikan dexamethasone (atau
prednison dengan dosis yang setara dengan dexamethasone) selama 45 hari ,
diturunkan bertahap : 15 hari pertama diberikan 3x5 mg/hari, per 0ral, 15 hari
kedua diberikan 2x5 mg/hari, per 0ral dan 15 hari ketiga diberikan 1x5
mg/hari, per oral
Follow up penderita
1. Follow up penderita Taeniasis

Untuk mengetahui keberhasilan pengobatan pemeriksaan tinja


dilakukan pada bulan ke tiga dari bulan keenam ( hari ke 90 dan hari ke 180 )
pasca pengobatan , dengan tidak ditemukannya telur cacing taenia sp. dan
prologtidnya ( termasuk anamnesis ), pengobatan dinyatakan berhasil bila
ditemukan telur cacing taenia sp, dan atau prologtidnya (termasuk anamnesis)
pada hari ke 180 setelah pengobatan, berarti ada infeksi beru ( reinfeksi ) pada
penderita tersebut,
2. Follow up penderita / tersangka sistiserkosis Follow up dilakukan 3 bulan
kemudian terdapat kista dan sebagainya
3. Follow up penderita neurosistiserkosis
Kriteria keberhasilan neurosistiserkosis
Frekuensi serangan ( attak rate ) makin berkurang.
Selama 2 tahun berutut-turut tidak ada serangan epilepsi, pengobatan
untuk epilepsi diteruskan 6 bulan lagi yang diturunkan secara bertahap
untuk kemudian dihentikan sama sekali Anonimus (2009).
.

BAB 111
PEMBAHASAN
Taeniasis adalah infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus.
Ada tiga spesies penting cacing pita Taenia, yaitu Taenia solium, Taenia
saginata, dan Taenia asiatica. Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting
karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia (zoonosis), yang dikenal
dengan istilah taeniasis dan sistiserkosis. Adapun perbedaan antara spesies
cacing pita Taenia dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 2. Perbedaan antara Taenia solium, Taenia saginata dan Taenia
asiatica
No. Keterangan
1

Inang definitif Usus


dan habitat
Inang antara

Taenia

Taenia solium Taenia saginata

manusia
Babi
manusia

halus

asiatica

Usus halus manusia

dan Sapi
domba

(utama),

kambing,

Usus halus
manusia
Babi
(utama),
sapi

4
5

Nama

tahap Cysticercus

larva

cellulosae

Ukuran

(3-8)x

0,01

panjang x lebar meter


Jumlah segmen 700-1000
Jumlah telur

di

Cysticercus bovis

t.s.
taiwanensis

30.000-50.000
6

Cysticercus

setiap

(4-15) x 0,01 meter

4-8 meter

1000-2000

712

lebih dari 100.000 di setiap

segmen
segmen
Taeniasis adalah penyakit akibat parasit berupa cacing pita yang

tergolong dalam genus Taenia yang dapat menular dari hewan ke manusia,
maupun sebaliknya. Taeniasis pada manusia disebabkan oleh spesies Taenia
solium, Taenia asiatica atau dikenal dengan cacing pita babi dan Taenia
saginata yang dikenal juga sebagai cacing pita sapi. Anonimus, (2010).
Dari ketiga spesies cacing Taenia (Taenia solium, Taenia asiatica dan
Taenia saginata) memiliki habitat yang sama, yaitu berada pada usus halus
manusia dan manusia juga merupakan induk semang definitive, akan tetapi
induk semang antara dari Taenia solium adalah babi dan manusia, sedangkan
Taenia asiatica induk semang antaranya adalah babi (utama) dan sapi,
sedangkan Taenia saginata induk semang antaranya Sapi (utama), kambing,
domba., selain itu jika dilihat dari stuktur anatomi, jumlah telur dan segmen
Taenia solium dan Taenia asiatica lebih kecil daripada Taenia saginata begitu
juga jumlah segmen dan jumlah telur setiap segmen lebih banyak pada cacing
Taenia saginata. Menurut Diajengasnani, 2009.
Perbedaan Taenia solium hanya terletak pada alat pengisap dan inang
perantaranya. Taenia saginata pada skoleksnya terdapat alat pengisap tanpa
kait dan inang perantaranya adalah sapi, sedangkan Taenia solium memiliki
alat pengisap dengan kait pada skoleksnya dan inang perantaranya adalah
babi.

Kejadian dan penyakit pada hewan Babi cacing dewasa ada dibagian
proximal jejenum, sedangkan cysticercosis sellulosae bertempat di otot lidah,
M.Masseter mucosa, diafragma, jantung, hati, ginjal, pulmo, otak, mata. Sapi,
infestasi cacing Taenia bersifat sporadik. Cysticercosis bovis berada terutama
di m. Maseter (Yudhie, 2009). Menurut Admin, (2008).
Gejala klinis dari penyakit Taeniasis jika muncul sangat bervariasi
seperti, gangguan syaraf, insomnia, anorexia, berat badan yang menurun, sakit
perut dan atau gangguan pada pencernaan. Terkecuali merasa terganggu
dengan adanya segmen cacing yang muncul dari anus, kebanyakan penyakit
ini tidak menunjukkan gejala. Taenasis biasanya tidak fatal, akan tetapi pada
stadium larva cacing Taenia solium mungkin menyebabkan sistiserkosis yang
fatal.
Sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan oleh bentuk larva
Taenia (sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taenia solium (cacing pita
babi). Cacing pita babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, lain
halnya cacing pita sapi tidak dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia,
sedangkan Taenia asiatica dalam menyebabkan sistiserkosis belum diketahui
secara pasti. Akan tetapi ada dugaan bahwa Taenia asiatica merupakan
penyebab sistiserkosis di Asia Anonimus, (2010).
Menurut Admin, (2009).Manusia terkena taeniasis apabila memakan
daging sapi atau babi yang setengah matang yang mengandung sistiserkus
sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia.
Dalam hal ini juga dapat terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh individu
penderita melalui pengeluaran dan penelanan kembali makanan. Sesui dengan
pernyataan Roday, S. (1999) bahwa penyakit hewan dapat ditularkan melalui
produk hewan ke manusia atau dikenal sebagai foodborne zoonotic disease
atau foodborne zoonosis (jamak=zoonoses).
Foodborne zoonotic disease didefinisikan sebagai infeksi pada
manusia yang ditularkan melalui pangan yang sumbernya dari hewan yang

terinfeksi. Beberapa penyakit ini sudah dikenal lama seperti antraks yang
ditularkan

melalui

daging

sapi,

kambing,

domba,

kerbau;

sistiserkosis/taeniasis yang ditularkan melalui daging babi.


Bahan pangan sangat diperlukan oleh manusia untuk mempertahankan
kehidupannya, sehingga pengadaan pangan merupakan faktor yang penting
diperhatikan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sehat. Pengadaan
bahan pangan tidak saja harus mencukupi jumlahnya, tetapi juga harus
mempunyai nilai gizi yang tinggi, bersih serta bebas dari komponenkomponen atau mikroba yang dapat menyebabkan keracunan dan penyakit
(Srikandi, 1983). Menurut Roday, S. (1999) Pemasaran bahan pangan hasil
ternak harus lolos persyaratan dan pengujian dari lembaga yang berwenang,
memenuhi syarat-syarat higiene dan memberikan ketenangan bagi konsumen.
Sebagai contoh daging dari ternak yang terkena penyakit zoonosis yang
berbahaya seperti antrax, harus diafkir seluruhnya, sedangkan beberapa
penyakit zoonosis lainnya kemungkinan dapat diizinkan untuk dikonsumsi
setelah bagian yang terserang diafkir atau mendapat perlakuan khusus,
demikian pula untuk susu dari sapi yang terserang mastitis dan tuberkulosis,
dan daging dari unggas yang menderita penyakit salmonellosis dan avian
tuberculosis, sehingga bahan pangan hasil ternak sebenarnya aman dari
zoonosis
Mengingingat tingkat prevalensi Taeniasis/Sistiserkosis relatif tinggi
dengan tingkat patogenitas yang berbahaya dan bahkan dapat menyebabkan
kematian pada manusia maupun hewan, maka Kesmavet menurut Undang
Undang no 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah
segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Tugas
dan fungsi Kesmavet secara garis besar adalah menjamin keamanan dan
kualitas produk-produk peternakan, serta mencegah terjadinya risiko bahaya

akibat penyakit hewan/zoonosis dalam rangka menjamin kesehatan dan


kesejahteraan masyarakat (Soejoedono, 2004).

Pendapat serupa juga dipaparkan Roday, S. (1999) oleh pengendalian


zoonosis harus dimulai dari hulu yang meliputi
a. penyediaan bibit dan management pemeliharaan ( sanitasi kandang,
prkerja, pemberian pakan dan obatobatan),
b. proses pemotongan (sanitasi rumah potong,

pekerja,

cara

pemotongan, penggunaan peralatan, pemeriksaan antemortem dan


postmortem)
Sektor hilir yang meliputi :
a. Transportasi, penyimpanan dan cara penjajaan di pasar yang
b.

higiene,
pemasakkan yang dapat membunuh agen penyebab zoonosis.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 8 Juli 2002. Bali endemik infeksi cacing pita.


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0207/08/daerah/bali 19.htm
Anonim. 7 Agustus 2002. Cacing pita, ancaman bagi penggemar Lawar. dr Molin :
Otak

saya berisi kista.

http://www.denpasarpost.tv/2002/07/08/kesehatan.html
Anonimus, 2009 Petunjuk pemberantasan Taeniasis/sistiserkosis di Indonesia
http://www.pdfdownloadforfree.com/petunjuk-pemberantasan-taeniasis
/sistiserkosis-di-indonesia.html
Admin, 2008. Peternakan Taeniasis Pada Babi.
http://www.vet-klinik.com/Peternakan/Taeniasis-pada-babi.html
Anonimus, 2010. Manual Pemberantasan Penyakit Menular
http://penyakitdalam.wordpress.com/category/manual-pemberantasanpenyakit-menular/taeniasis/
Anonimus, 2010. cacing pita
http://id.wikipedia.org/wiki/Taenia_%28cacing_pita%29
Anonimus, 2010. taenia-saginata
http://totokanaliskesehatan.blogspot.com/2010/05/taenia-saginata.html
Craig, P.S., M.T.Rogan, J.C. Allan. 1996. Detection, screening and community
epidemologi of taeniid cestode zoonoses : Cystic echinococcosis, alveolar
echinococosis and

neurocysticercosis. Adv. Parasitology. (38) 11

Dharmawan NS. 1990. Tingkat kejadian sistiserkosis menurut metode pemeriksaan


kesehatan babi di

Rumah Potong Hewan Denpasar [tesis]. Bogor:

Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor.

Dharmawan, N.S. 1995. Pelacakan Terhadap Kehadiran Taenia saginata taiwanensis


di Bali Melalui Kajian Parasitologi dan Serologi (desertasi). Program
PascaSarjana, Institut Pertanian Bogor.
Dharmawan, N.S. 2003. Taeniasis/Sistiserkosis Di Indonesia
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/6/17/op2.htm
Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2005. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Deptan RI Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2007. Pegangan Pemeriksa
Daging Swasta. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Diajengasnani, 2009. Taenia solium taeniasis/cysticercosis
http://diajengasnani.blogspot.com/2009/03/platyhelmintes.html
Elok budi retnani, 2004. Taeniasis dan Cysticercosis : penyakit zoonosis yang kurang
dikenal oleh masyarakat di indonesia.
Elfriza Rizki Kartika, Fiqih Nurkholis, Hoirul Mustakim, Asrarahama A.P, 2008.
http://www.scribd.com/doc/25263857/Biji-Labu-Merah-Untuk-Mengobaticacing-Pita
Pawlowski, Z. & M.G. Schultz. 1972. Taeniasis and cysticercosis (Taeniasaginata).
Adv.

Parasitology 10:269-343.

Roday, S. 1999. Food Hygiene and Sanitation, Tata Mc. Graw-Hill Pub. Co. Lmtd.,
New Delhi
Rizal subahar, abdulbar hamid, wilfried purba, widarso, akira ito dan sri s margono,
2005. Taeniasis/Sistiserkosis di antara anggota keluarga di beberapa desa,
kabupaten jayawijaya, papua,
Rotinsulu DA. 2008. Strategi Global Kesehatan Masyarakat Veteriner dalam
Pengendalian Taeniasis/Sistiserkosis sebagai Re-emerging Foodborne

Zoonoses Daerah Tropis. Karya Tulis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.


Halaman 22
Smith, S. 2004. Taeniasis. Mailto : ssmith @ Stanford. edu ? Subjet : Taeniasis
webpage, 2004 enguiry http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Taeniasis,htm
Tugas

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR


PENYAKIT TEANIASIS

OLEH
SATNA
J1A114179
C (014)

JURUSAN KESHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI
2016

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penulis mampu
menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi
Penyakit Menular Teaniasi
Dalam penyusunan makalah ini tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penulisan dan penyusunan
makalah ini tidak lain berkat Allah SWT sehingga kendala-kendala yang penulis
hadapi dapat teratasi. Makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Epidemiologi Penyakit Menular makalah ini juga disusun untuk memperluas ilmu
tentangi epidemiologi penyakit menular teaniasis tersebut

dan Penanggulangan

Penyakit seperti yang telah tertera di atas. Makalah ini juga disusun berdasarkan apa
yang penulis dapatkan dari berbagai macam sumber informasi dan referensi terutama
dimedia sosial (internet).
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca dan penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu
kepada para pembaca penulis meminta masukannya demi perbaikan pembuatan
makalah kami dimasa yang akan datang.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Kendari,April 2016

Penyusun
DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar belakang
2. Rumusan masalah
3. Tujuan
BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Etiologi
2.2. Pemeriksaan laboratorium
2.3. Epidemiologi
2.4. Pencegahan
2.5 Cara Pengendalian Taenia, sp.
2.6 Pengobatan
BAB 111 PEMBAHASAN
BAB 1V PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 saran
DAFTAR PUSTAKAS

Anda mungkin juga menyukai