Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prevalensi Toxoplasma gondii pada ayam kampung merupakan indikator yang baik
adanya oosistaT.gondii di lingkungan dan daging ayam merupakan salah satu sumber
penularan pada manusia.Infeksi Toxoplasma gondii diketahui penyebarannya di seluruh
dunia pada manusia dan hewan (Dubey dan Beattie, 1988). Manusia terinfeksi secara
postnatal apabila menelan sista parasit yang terkandung pada daging mentah atau kurang
dimasak dengan sempurna, di samping itu dapat juga terinfeksi melalui makanan atau air
yang tercemar oleh oosita T. gondii, atau dari lingkungan yang tercemar oleh oosita parasit
tersebut. Bangsa kucing merupakan induk semang terpenting dari T. gondii karena hewan
tersebut akan menyebarkan atauyang mencemari lingkungan dengan oosita. Kucing terinfeksi
akibat makan daging inang antara yang mengandung sista T. gondii. Diketahui burung serta
rodensia seperti tikus merupakan sumber penularan penting toksoplasmosis terhadap kucing.
Hasil-hasil penelitian terhadap seroprevalensi toksoplasmosis pada manusia di
berbagai daerah di Indonesia telah dilaporkan, yaitu berkisar antara 3,1%-64,0% (Chomel et
al., 1993; Uga et al., 1996). Hasil penelitian beberapa peneliti menampilkan bahwa kebiasaan
makan sangat menentukan terjadinya infeksi parasit tersebut. Kebiasaan makan sate yang
belum masak dengan sempurna (Gandahusada, 1980), kebiasaan makan lawar di Bali
(Chomel et al., 1993) dan kebiasaan makan daging organ visceral ayam yang dimasak
setengah matang (Asgari et al. 2006), mendorong terjadinya infeksi.
Toksoplasmosis dilaporkan menyerang hampir semua ternak termasuk unggas. Isolasi
dan karakterisasi toksoplasma pada mamalia telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian
mengarah terhadap toksoplasmosis pada ayam kampung (Dubey et al.,2005a; Dubey et al.,
2005b ) dan di Iran (Asgari et al., 2006) melaporkan seroprevalensi sebesar 36,1%.Mereka
tertarik melakukan penelitian karena ayam kampung tersebut mempunyai kebiasaanmencari
makan di tanah sangat cocok dipakai sebagai indikator kontaminasi toksoplasmosis pada
lingkungan atau tanah. Belakangan ini telah diisolasi T. gondii pada unggas, antara laindi
Mesir telah diisolasi T.gondii pada ayam dan itik (Dubey et al., 2003a), di Brasil pada ayam
(Dubey et al., 2003b) serta di India pada ayam (Sreekumar et al., 2003). Di Indonesia sangat
sedikit laporan penelitian tentang T. gondii, bahkan pada unggas belum banyak dilaporkan.
Penelitian ini merupakan pendekatan penelaahan agen penyakit T. gondii pada ayam
kampung sebagai salah satu inang antara. Sampai saat ini belum pernah diisolasi T. gondii
pada unggas di Indonesia. Pemahaman keragaman T. gondii pada induk semangantara (ayam
kampung) akan memperluas cakrawala pengendalian penyakit tersebut secara terpadu.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah penelitian ini sebagai
berikut :
1. Bagaimana seroprevalensi T. gondii pada ayam kampung di Bali ?
2. Bagaimana patogenitas isolat parasit tersebut pada mencit ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui seroprevalensi T. gondii pada ayam kampung di Bali.
2. Untuk mengetahui patogenitas isolat parasit tersebut pada mencit.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pembaca
tentangseroprevalensi T. gondii pada ayam kampung di Bali dan mengetahui patogenitas
isolat parasit tersebut pada mencit. Selain itu juga diharapkan penelitian ini dapat menjadi
referensi untuk penelitian selanjutnya.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam kampung

Ayam kampung diindikasikan dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red
jungle fowls (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau atau green jungle fowls (Gallus varius).
Awalnya, ayam tersebut hidup di hutan, kemudian didomestikasi serta dikembangkan oleh
masyarakat pedesaan (Yaman, 2010). Ayam kampung merupakan ayam asli yang sudah
beradaptasi dengan lingkungan tropis Indonesia. Masyarakat pedesan memeliharanya sebagai
sumber pangan keluarga akan telur dan dagingnya (Iskandar, 2010). Ayam-ayam tersebut
mengalami seleksi alam dan menyebar atau bermigrasi bersama manusia kemudian
dibudidayakan secara turun temurun sampai sekarang (Suharyanto, 2007).

Istilah ayam kampung semula adalah kebalikan dari istilah ayam ras, dan sebutan ini
mengacu pada ayam yang ditemukan berkeliaran bebas di sekitar perumahan. Namun
demikian, semenjak dilakukan program pengembangan, pemurnian dan pemuliaan beberapa
ayam lokal unggul, saat ini dikenal pula beberapa ras unggul ayam kampung. Untuk
membedakannya kini dikenal istilah ayam buras (ayam bukan ras) bagi ayam kampung yang
telah diseleksi dan dipelihara dengan perbaikan teknik budidaya (tidak sekedar diumbar dan
dibiarkan mencari makan sendiri). Peternak ayam kampung mempunyai peranan yang cukup
besar dalam mendukung ekonomi masyarakat pedesaan karena memiliki daya adaptasi yang
tinggi terhadap lingkungan dan pemeliharaannya relatif lebih mudah (Sarwono, 1999).

Di Indonesia, terdapat berbagai jenis ayam kampung, sebagian sudah teridentifikasi


dan sebagian lagi belum. Pemahaman masyarakat tentang ayam kampung mungkin tiap
daerah berlainan. Namun, secara umum ayam kampung mempunyai warna bulu beragam
(hitam, putih, cokelat, kuning dan kombinasinya), kaki cenderung panjang dan berwarna
hitam, putih, atau kuning serta bentuk tubuh ramping. Ayam kampung asli Indonesia yang
sudah banyak dikenal misalnya ayam pelung, ayam kedu, ayam merawang, dan ayam sentul
(Suharyanto, 2007). Akibat proses budidaya dan perkawinan antar keturunan secara alam
atau liar, serta pengaruh lingkungan yang berbeda-beda maka terbentuklah berbagai macam
tipe ayam dengan beragam penampilan fisik dan varietas (Nuroso, 2010).

Ayam kampung atau dikenal juga sebagai ayam buras mempunyai banyak kegunaan
dan manfaat untuk menunjang kehidupan manusia antara lain pemeliharaannya sangat mudah
karena tahan pada kondisi lingkungan, pengelolaan yang buruk, tidak memerlukan lahan
yang luas, bisa dilahan sekitar rumah, harga jualnya stabil dan relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan ayam pedaging lain dan tidak mudah stress terhadap perlakuan yang
kasar dan daya tahan tubuhnya lebih kuat di bandingkan dengan ayam pedaging lainnya
(Nuroso, 2010). Selain kelebihan-kelebihan tersebut, ayam kampung juga memiliki beberapa
kelemahan, antara lain sulitnya memperoleh bibit yang baik dan produksi telurnya yang lebih
rendah dibandingkan ayam ras, pertumbuhannya relatif lambat sehingga waktu
pemeliharaannya lebih lama, keadaan ini terutama disebabkan oleh rendahnya potensi genetik
(Suharyanto, 2007).

2.2 Toxoplasma Gondii

Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga


bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi
sporozoit) (WHO, 79, Frenkel,1989, Sardjono dkk., 1989). Bentuk takizoit menyerupai bulan
sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron,
lebar 2-4 mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan
beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi (Levine, 1990). Tidak mempunyai
kinetoplas dan sentrosom serta tidak berpigmen. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes
perantara seperti burung dan mamalia termasuk manusia dan kucing sebagal hospes definitif.
Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh. Takizoit dapat
memasuki tiap sel yang berinti (gambar 1). Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit
yang membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran
kecil hanya berisi beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira
3000 bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak,
otot jantung, dan otot bergaris (Krahenbuhl dan Remington, 1982).

Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti
bentuk sel otot. Kista ini merupakan stadium istirahat dari T. gondii. Menurut Levine (1990),
pada infeksi kronis kista dapat ditemukan dalam jaringan organ tubuh dan terutama di otak.
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista mempunyai dinding,
berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya
ke dua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista
tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda residu (Frenkel,
1989 ; Levine, 1990). Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida,
karena berkembang biak secara seksual dan aseksual yang terjadi secara bergantian (Levine,
1990).

Klasifikasi T. gondii

Menurut Levine (1990) klasifikasi parasit sebagai berikut :


Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Protozoa
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Sub Kelas : Coccidiasina
Ordo : Eucoccidiorida
Sub ordo : Eimeriorina
Famili : Sarcocystidae
Genus : Toxoplasma
Spesies : Toxoplasma gondii
Siklus hidup T.gondii memiliki dua fase, yaitu seksual (gametogoni, sporogoni)
bagian dari siklus kehidupan yang berlangsung hanya dalam kucing yang menghasilkan
ookista yang dikeluarkan bersama tinja. Tahap kedua, aseksual (skizogoni) bagian dari siklus
kehidupan, dapat terjadi pada hewan berdarah panas lain, termasuk kucing (pada sel epitel
usus kecil), tikus, manusia, dan burung. Dimana reproduksi aseksual terjadi pada hospes
perantara (Reksodiputro et al., 2014). Daur aseksual ini diawali pada sporozoit yang berada
pada sel epitel usus kecil kucing yang tumbuh menjadi trofozoit. Inti trofozoit membelah
menjadi banyak sehingga tebentuklah skizon yang matang dan pecah sehingga menghasilkan
banyak merozoit (skizogoni). Selanjutnya siklus ini dilanjutkan dengan daur seksual, yaitu
merozoit masuk kedalam epitel dan membentuk makrogametosit dan mikrogametosit yang
menjadi makrogamet dan mikrogamet (gametogoni). Setelah pembuahan, terbentuklah
ookista yang akan dikeluarkan bersama tinja kucing. Ookista yang telah keluar dari tubuh
kucing akan membentuk dua sporokista yang masing-masing berisi empat sporozoit
(sporogoni). Manusia, mamalia, maupun unggas yang tertelan ookista, maka didalam tubuh
hospes perantara akan terjadi daur aseksual yang menghasilkan takizoit. Takizoit memiliki
kecepatan membelah yang cepat yang akan membentuk kista yang mengandung bradizoit.
Bradiozit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten), karena
memiliki kecepatan membelah yang lebih lambat.
Gambar 1. Siklus Hidup Toxoplasma gondii

Bila hospes perantara seperti daging tikus, ayam, dan kambing yang termakan dalam
kondisi terinfeksi oleh kucing sebagai hospes definitif, maka berbagai stadium seksual di
dalam sel epitel usus muda akan terbentuk lagi. Pada manusia yang mengkonsumsi makanan
yang tidak matang seperti, daging ayam, kambing, dan sapi yang belum matang dan
mengandung T.gondii juga dapat menimbulkan infeksi (Chahaya, 2003; Reksodiputro et al.,
2014; Tjahajati et al., 2014)
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Metode Penelitian

3.1.1 Pengambilan Sampel

Ayam yang di pakai sampel penelitian adalah ayam kampung yang berumur di
atas enam bulan yang di pelihara secara ekstensif.Sampel berasal dari delapan
kabupaten di Bali masing-masing: kabupaten Badung, Gianyar, Tabanan, Bangli,
Karangasem, Kelungkung, Negara, dan Buleleng. Dari masing-masing kabupaten di
ambil sekitar 10-20 ekor ayam yang berasal dari peternak yang berbeda. Jumlah
sampel keseluruhan adalah 125 ekor. Pengambilan sampel pada masing-masing
kabupaten di lakukan secara bertahap. Setiap kali pengambilan sampel hanya lima
ekor ayam yang di korbankan nyawanya. Terhadap sampel tersebut dilakukan
pengambilan darah, otak,dan jantung.

3.1.2 Pemeriksaan Serologi

Darah yang di peroleh dilakukan pemisahan serum yang kemudian dilakukan


pemeriksaan serologis untuk menentukan adanya antibody terhadap T. gondiii.
Pemeriksaan serologi menggunakan metoda Modified Aglutination Test
(MAT).Metode tersebut menggunakan 96 wellmicroplate dengan dasar cekung, serum
yang diperiksa diencerkan dengan 0,2 M 2-mercaptoe thanol dalam phosphat buffer
saline/PBS. Masing-masing well/ sumuran diisi dengan50 μl serum sampel yang
diencerkan mulai pengenceran 1:5, di samping itu dua baris sumuran diisi 50 μ l diisi
dengan serum control positif dan negative dengan pengenceran yang sama dengan
serum sampel. Setelah penambahan serum kemudian ditambahkan 50μ l suspensi
antigen pada masing-masing sumuran. Microplate kemudian digoyang pelan-pelan
supaya antara serum dan antigen tercampur dengan baik kemudian diinkubasi. Setelah
inkubasi dilakukan pembacaan hasil dengan serum control sebagai pembanding.

3.1.3 Isolasi T. gondii

Sebanyak 50 gram untuk masing-masing jaringan digerus dengan


kecepatan rendah, kemudian di tambah PBS dan di gerus lagi dengan kecepatan
tinggi. Hasil gerusan tersebut kemudian di tambahkan larutan pepsi HCL setelah di
inkubasi adasuhu kamar dan di putar dengan magnetic stirrer selama satu jam
homogenate di cuci tiga kali dengan PBS (mengandung 10 unit potassium-G
penisilindan 100 mg streptomisin dalam 100 ml). Untuk memisahkan pepsin-HCl
dilakukan pemusingan pada 2000 rpm selama 10 menit. Supernatan di buang dan
sedimen di tambahkan PBS sampai 100 ml. Suspensi tersebut kemudian di periksa di
bawah mikroskop untuk menentukan adanya bradisoit.

3.1.4 Bioassay pada Mencit

Suspensi dari hasil pemeriksaan metode digesti yang mengandung bradisoitT.


Gondii kemudian diinokulasikan pada mencit (enam mencit untuk tiap sampel
positif). Sebanyak 0,5 ml suspensi yang mengandung bradisoitT. Gondii
diinokulasikan pada mencit secara peritoneal. Mencit diamati sampai hari ke 30
setelah infeksi. Mencit yang mati selama pengamatan dilakukan pemeriksaan eksudat
dari peritoneum dan otak untuk menentukan adanya parasitT. gondii. Mencit yang
bertahan hidup sampai hari ke 30 di korbankan nyawanya dengan cara eutanasi
menggunakan eterun tukisolasiT. Gondii pada otak dan cairan peritoneum. Untuk
menentukan patogenitas dari isolat yang di dapat dilakukan dengan menghitung lethal
dose (LD) 50 dan infectious dose (ID) 50 berdasarkan metode Reed dan Muench.

3.2 Syarat Kandang Ayam untuk Penelitian

Bangunan untuk kandang harus di rencanakan dengan baik sehingga memberikan


kenyamanan hidup bagi hewan, hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

a. Kandang harus cocok untuk masing-masing spesies hewan


b. Tidak mempunyai permukaan yang tajam dan kasar sehingga tidak melukai
hewan
c. Mudah di bersih kan
d. Mudah di perbaiki
e. Tidak mudah rusak oleh hewan yang di kandangkan atau hewan pemangsa dari
luar
f. Cukup luas agar hewan dapat bergera leluasa untuk mencarimakanan dan berbiak
g. Bangunan kandang harus cukup terang
h. Mendapat air bersih
i. Mudah di bersihkan
j. Kering
k. Dilengkapi dengan system pembuangan air limbah dan cukup ventilasi
l. Kayu yang tidak dicat serta bahan-bahan lain yang bersifat mengisap air tidak
boleh dipakai untuk bangunan kandang
m. Hewan dalam kandang akan merasan yaman bila kandang nya kering, bersih,
tidak rebut
n. Suhu antara 18 – 29 ºC (rata-rata 20 – 22 ºC)
o. Kelembaban relative antara 30 – 70%
p. Sinarantara 800 – 1300 lumaen/m2
q. Pertukaranudara minimum 10 kali/jam
r. Alas kandang harus diganti 1 – 3 kali dalam seminggu untuk menjamin kandang
selalu kering dan bebas dari gas amoniak yang merangsang selaput lender
sehingga hewan tidak mudah terserang penyakit salurang pernapasan
s. Peningkatan kadar amoniak dalam kandang dapat dicegah dengan ventilasi yang
baik, selalu bersih, dan menghindari penimbunan feses serta urin dalam kandang.
t. Hewan yang berbeda spesies ditempatkan dalam kandang yang berbeda.
u. Hewan yang sakit harus segera dipisahkan dalam kandang karantina untuk
mencegah penularan atau perluasan penyakit tersebut pada hewan yang sehat.

Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk memenuhi syarat kelayakan kandang
untuk ayam kampung agar tidak stress Diantaranya adalah ukuran kandang, letak dan
arah kandang, dan konstruksi kandang.

1. Ukuran Kandang
Biasanya ukuran kandang ditentukan luasnya lahan yang ada dan
jumala hayam yang akan dipelihara.
2. Letak dan Arah Kandang
Usahakan untuk meletakkan kandang sejauh 10 m dari perumahan
penduduk atau rumah kita sendiri. Hal ini bertujuan supaya ketika ayam
terjangkiti penyakit, maka tidak menyebar langsung kemanusia.
Selain itu, syara tarah kandang yang baik adalah mengarah kearah timur dan
barat. Atau setidak nya, terkena sinar matahari langsung. Ini supaya ternak
ayam kampong terjaga kesehatannya. Sinar matahari membantu metabolism
kalsium, sehingga kesehatan tulang ayama kan terjaga.
3. Konstruksi Kandang
Berbicara konstruksi kandang untuk budidaya ayam kampung,
peternak tidak perlu membeli semuanya baru. Sebisa mungkin menekan biaya
pembuatan kandang dengan memanfaatkan limbah bekas bangun rumah,
seperti triplek, papan kayu cor, bamboo dan sebagainya. Namun, sebaiknya
konstruksi kandang tetap harus dibangun sebaik mungkin. Tujuan nya tahan
lama.
a. Atap Kandang
Bahan yang di gunakan untuk atap kandang bis juga memakai terpal,
ijuk, seng, rumbai, danasbes. Untuk kebutuhan ini tak perlu bahan yang bagus.
Cukup pilih bahan yang bagus, tapi bias dari bahan bekas.

b. Dinding Kandang

Bahan yang d pakai untuk dinding kandang juga bias memakai bahan
bekas. Seperti anyaman bambu, bilah bambu, ram kawat, dantriplek.
c. Lantai Kandang
Sebaiknya lantai kandang memang dibuat dari semen untuk
memudahkan sanitasi. Kalau punter paksa tidak disemen, lantai kandang di
lapisi oleh campuran sekam, serbuk gergaji, dan kapur dengan ketinggian
hingga 5 cm. Tujuannya supaya lantai kandang bias menyerap air. Sehingga,
lantai kandang budi daya ayam tetap kering dan tidak becek.

3.3 Tehnik Pengambilan Darah pada Ayam


1. Siapkan ayam dalam posisi berbaring( ayam dalam keadaan di pegang ).
2. Praktikan menahan kepala ayam kesatu sisi dan membuka sayap.
3. Bersihkan bagian yang akan ditusuk dengan kapas yang telah di basahi alkohol.
4. Darah diambil dengan cara menusukkan jarum di vena pectoralis yang berada di
bawah sayap.
5. Sebaiknya pengambilan secara Intramuskular agar bila terjadi hematoma darah tidak
keluar.
6. Tampung darah menggunakan vacum tube atau spuit sesuai kebutuhan.
3.4 Cara Membunuh Hewan Coba
a. Euthanasia

Merupakan suatu tindakan dengan maksud : mengurangi penderitaan hewan,


membantu dalam mendiagnosa penyakit, dan mencegah meluasnya penyakit pada
hewan lain / pada manusia.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam eutanasia :

1. Hewan tidak boleh merasa sakit


2. Hindari terjadinya perdarahan dan pengeluaran kotoran.
3. Hindari terjadinya luka pada tubuhnya.
4. Hewan tidak boleh berteriak dan meronta-ronta.

Beberapa cara yang biasanya dilakukan dalam euthanasia :

1. tembakan pada kepala


2. dengan arus listrik
3. Emboli dengan : Mg SO4 jenuh , Pheno-barbital, Chloral hydrat, dengan cara
disuntikan IV.
4. Ditidurkan dengan Chloroform dengan cara perinhalasi dsb.
5. dengan alat burdizzo forcep
6. khusus untuk unggas bisa dengan emboli udara ke dalam jantung.

b. Penyembelihan

Pemeriksaan nekropsi dilakukan padaa yam yang diduga sakit, caranya dengan
menyembelih ayam terlebih dahulu kemudian mencabut bulu pada bagian perut dan
dada untuk mengamati permukaan kulit. Kemudian membedah ayam untuk
mengamati organ dalam, amati dengan baik lua rmaupun isi dari organ. Kemudian
melakukan melihat kondisi organ dengan melihat warna, ukuran, konsistensi dan uji
apung.
KESIMPULAN

Prevalensi Toxoplasma gondii pada ayam kampung merupakan indikator yang baik
adanya oosista. Bangsa kucing merupakan induk semang terpenting dari T. gondii karena
hewan tersebut akan menyebarkan atauyang mencemari lingkungan dengan oosita. Penelitian
ini merupakan pendekatan penelaahan agen penyakit T. gondii pada ayam kampung sebagai
salah satu inang antara. Sampai saat ini belum pernah diisolasi T. gondii pada unggas di
Indonesia.

Banyak hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan penelitian ini, usur-unsur
dari kesehatan hewan coba adalah factor utama, selain itu keakuratan dari pelaksanaan
metode penelitian yang digunakan sangat penting. Faktor dari kandang ayam yang sesuai
juga perlu diperhatikan. Teknik dari pengambilan darah dari ayam harus benar, dan cara
membunuh hewan coba hewan coba juga sangat berpengaruh terhadap kesuksessan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Dwinata I M, Ida B, & Nyoman A. 2012. Seroprevalensi dan Isolasi Toxoplasma gondii pada
Ayam Kampung di Bali. Bali: Balai Veteriner. Hlm. 340–344.

Ernawati. 2014. Toxoplasmosis , Terapi Dan Pencegahannya. Faculty of Medicine,


University of Wijaya Kusuma Surabaya.

Murtidjo BA. 1994. Mengelolah Ayam Buras.Halaman:15-16.Yogyakarta: Kanisius.

Novianti Sri, et Al. 2015. Peningkatan Produktifitas Ayam Kampung Melalui Pemmfaatan
Dedak Fermentasi Dengan Probio FM Didusun Air Sempit Desa Simpang Tiga
Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh. Fakultas Peternakan. Universitas
Jambi. Jambi
SEROPREVALENSI DAN ISOLASI TOXOPLASMA GONDII PADA AYAM
KAMPUNG DI BALI

Disusun oleh

Febrianti 1409005043
I Dewa Ketut Ari Saputra 1409005053
Gusti Ayu Putu Indira Pradnyani 1509005009
Luh Made Maha Cahyani 1509005010
Elis Mandari 1509005012
Dhea Septiany Peda Lalupada 1509005016
Ni Luh Putu Diah Septianingsih 1509005017
I Wayan Dika Wahyu Handrawan 1509005018
I Nyoman Fery Adnyana 1509005019
Christine Valeri Duwiri 1509005020

Fakultas Kedokteran Hewan


Universitas Udayana
Tahun 2018
LAMPIRAN JURNAL

Anda mungkin juga menyukai