Anda di halaman 1dari 41

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ayam kampung merupakan turunan panjang dari proses

sejarahperkembangan genetik perunggasan di tanah air. Ayam kampung

diindikasikandari hasil domestikasi ayam hutan merah ataured jungle fowls

(Gallus gallus)danayam hutan hijau ataugreen jungle fowls(Gallus varius).

Awalnya, ayam tersebuthidup di hutan, kemudian didomestikasi serta

dikembangkan oleh masyarakatpedesaan (Yaman, 2010). Bagi masyarakat

Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung"

semula adalah kebalikan dari istilah "ayam ras", dan sebutan ini mengacu pada

ayam yang ditemukan berkeliaran bebas di sekitar perkampungan. Namun

demikian, semenjak dilakukan program pemurnian, pemuliaan, dan pembentukan

beberapa ayam lokal, saat ini dikenal beberapa strain ayam kampung unggul atau

dikenal dengan istilah ayam lokal unggul(Wibowo dan Amanu, 2010).

Peternak ayam kampung mempunyai peranan yang cukup besar dalam

mendukung ekonomi masyarakat pedesaan karena memiliki daya adaptasi yang

tinggi terhadap lingkungan dan pemeliharaannya relatif lebih mudah (Sarwono,

1999).Menurut Zulfikar (2013), penyakit yang terjadi pada ternak ayam,

umumnya timbul bila keadaan pemeliharaan kurang baik, kondisi kandang yang

tidak memenuhi syarat kesehatan (sinar matahari yang kurang atau tidak masuk

sama sekali) dan disertai pemberian ransum yang kurang sempurna. Penyakit

bakteri yang sering menyerang pada ayam petelur diantaranya Pullorum (berak

putih), Fowl typhoid, Paratyphoid, Kolera unggas dan Coryza (pilek ayam).

1
Terjadinya Salmonellosis pada ternak tergantung beberapa faktor yaitu

antara lain jenis serotipe Salmonella, umur unggas, dosis infeksi, rute infeksi,

jenis unggas, dan menajemen pengelolaan. Salmonella pullorum seperti

Salmonella sp . yang lain cenderung lebih sering menginfeksi unggas muda

dibawah umur satu bulan dibandingkan unggas tua dan menyebabkan bakteriamia

. Salmonella pullorum mempunyai struktur antigen yang sama dengan Salmonella

gallinarum yang hanya dapat dibedakan dengan uji biokimianya yaitu dulcitol dan

ornithin dicarboxyease (Shivaprasad, 1997).

Penyakit pullorum adalah penyakit unggas yang ditularkan melalui telur,

terutama pada ayam dan kalkun yang ditandai dengan berak putih dan kematian

tinggi pada unggas muda. Unggas dewasa bertindak sebagai karier. Penyakit

pullorum terutama menyerang ayam dsn kalkun umur dibawah satu bulan serta

unggas lain . Penyakit pullorum tersebar dimana-mana di dunia (Charltonet al.,

2000).

1.2 Tujuan Pemeriksaan

Tujuan dari koasistensi diagnosa laboratorik adalah untuk menganalisis

penyebab penyakit pada ayam dengan melakukan pemeriksaan di laboratorium.

1.3 Manfaat Pemeriksaan

Hasil dari pemeriksaan ini diharapkan dapat meneguhkan diagnosa dan

memberikan informasi pada peternak atau pemilik ayam kampung dan segala

pihak yang terlibat mengenai penyakit pada ayam kampung yang dibudidayakan,

sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan, penanganan dan pengobatan

secara maksimal.

2
1.4 Riwayat Kasus

Pada hari senin tanggal 15 Juli 2019 telah dilakukan euthanasia dan

nekropsi seekor ayam milik Bapak Sudarto yang beralamat diWiyung, Surabaya.

Dari anamnesa diketahui ayam berjenis kelamin jantan, umur 4 bulan, berat badan

550 gr, populasi 9 ekor, sakit 3 ekor, pernah ada yang mati 1 ekor, tempat pakan

jadi satu semua, pemberian pakan dua kali sehari (pagi dan sore), pakan nasi putih

dicampur dedak dan pur dan air minum yang berasal dari PDAM, dengan luas

kandang 1 x 2 x 1 m, kandang terbuat dari bambu, belum pernah diobati dan

vaksinasi. Gejala klinis keluar leleran dari hidung, kesulitan bernafas, kadang

batuk dan bersuara pada saat bernafas, lesu, nafsu makan menurun, diare, dan

bulu kusam. Dengan demikian untuk mengetahui adanya agen penyebab penyakit,

maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjut secara laboratorik.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Kampung

Ayam kampung merupakan salah satu anggota dari ayam buras yang

sangat pontensial di Indonesia. Ayam ini memiliki potensi yang sudah terbukti,

mampu memberikan kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan keluarga, setidaknya

sebagai penghasil daging dan telur. Kebanyakan ayam kampung bersifat dua

fungsi, yaitu sebagai penghasil daging dan penghasil telur, dan biasanya

tergantung bagaimana tujuan peternak memelihara ayam kampung (Yaman,

2010).

Ayam kampung dikatakan sebagai ayam asli Indonesia yang sudah

dipelihara sejak jaman dahulu. Ayam kampung disebarluaskan diseluruh provinsi

indonesia. Ayam kampung termasuk dalam filum chordata dengan subfilum

vertebrata, kelas aves, ordo galliformes dan famili dari phasianidae. Genus

dariayam kampung adalah Gallus dengan nama spesies Gallus gallus domesticus

(Mulyono, 1999).

Gambar 1. Ayam kampung

Sumber: Dokumentasi pribadi

4
2.2 Salmonella pullorum

2.2.1 Etiologi

Salmonella pullorum adalah spesies dari filum Proteobacteria,

kelas Gamma proteobacteria, ordo Enterobacteriales, family Enterobacteriaceae,

dan genus Salmonella yang menghuni saluran usus bagian bawah (Saif et al.,

2008).Salmonella pullorum adalah bakteri berbentuk batang Gram negatif,

bersifat anaerob fakultatif tidak berbentuk spora. Uji fisiologis Salmonella

pullorum, menunjukkan H2S, merah metal, reduksi nitrat, sitrat, dulcitol, lisin

dekarboksilasi, dan ornitin dekarboksilasi bersifat positif. Reaksi biokimia lain

seperti oksidasi, indol, urease, glukonat, laktosa, dan fenilanin deaminasi bersifat

negatif (Holt et al., 2000).

Gambar 2. Bakteri Salmonella pullorum dengan perbesaran 100x

Sumber: Dokumentasi pribadi

2.2.2 Gejala klinis

Beberapa tanda klinis dari unggas yang terserang penyakit Pullorum

adalah depresi, somnolence, anoreksia, tampak sering berkumpul bersama,

5
sayapnya jatuh, dehidrasi, sulit bernapas, diare, bulu terbalik, lemah dan feses

banyak yang melekat disekitar anus. Dalam beberapa kondisi tanda klinis penyakit

ini tidak terlihat pada umur 5 – 10 hari setelah menetas. Mortalias tertinggi

biasanya terjadi pada umur 2 – 3 minggu. Daya tahan tubuhnya akan semakin

berkurang dan mengurangi bobot badan serta bulu nampak tumbuh dengan jarang.

Disamping itu unggas akan tidak siap dewasa untuk berproduksi. Tanda lainnya

seperti kebutaan, pembengkakan tibiotarsal joint, humerus, arkuliasi radial dan

arikulsi ulna (Sari, 2004).

Pada ayam dewasa dan ayam yang sedang dalam pertumbuhan, tanda

klinis mungkin tidak nampak sama. Tanda klinis yang nonspesifik seperti

berkurangnya konsumsi, jengger menyusut, menurunnya produksi telur, fertilitas

dan daya tetas. Kematian dapat terjadi dalam 4 hari tapi biasanya terjadi setelah 5

– 10 hari. Peningkatan suhu tubuh , serta tanda klinis lainnya yang menonjol yaitu

anoreksia, diare, depresi, dehidrasi dan hilangnya bobot badan (Sari, 2004).

2.2.3 Diagnosis dan isolasi

Diagnosa dapat dilakukan dengan melihat gejala-gejala klinis pada hewan

yang terinfeksi. Untuk mendukung diagnosis dilakukan isolasi dan identifikasi

bakteri penyebab penyakit. Isolasi bakteri penyebab dilakukan dengan

pengambilan spesimen berupa feses (pada gejala gastroentritis), darah, dan

eksudat purulen dari lesi yang bersifat terbatas (Subronto, 2003). Dapat dilakukan

juga swab dari peritoneum, cairan synovial, dan bagian mata (Saif et al, 2008).

6
Tabel 2. Reaksi biokimia dalam membedakan S. gallinarum dan S. pullorum

Sumber: (Gast, 1997)

7
2.2.4 Perubahan Patologi

2.2.4.1 Perubahan makroskopik

Salah satu penyakit infeksi yang sering menyerang unggas adalah

Salmonella pullorum. Infeksi terjadi melalui saluran pencernaan. Salmonella

pullorum menyebabkan berak kapur atau penyakit pullorum (Tabbu, 2000).

2.2.4.2 Perubahan mikroskopik

Pada organ yang terkena lesi patologis akan mengalami peradangan,

infiltrasi heterofil, necrosis hepatocytes dan adanya akumulasi fibrin di hepar (Saif

et al., 2008).

2.3 Menopon Gallinae

2.3.1 Etiologi

Kutu Menopon gallinae diklasifikasikan ke dalam kelas insekta, ordo

phthiraptera, subordo mallophaga, kelompok amblycera, dan famili menoponidae.

Kelompok amblycera merupakan kelompok kutu penggigit dengan ciri khas

kepala lebar dan mempunyai palpus maksila. Menopon gallinae merupakan

spesies kutu yang biasa ditemukan pada ayam (Khan et al., 2003).

Kaki yang kokoh dengan kuku besar dan tonjolan tibia pada ujung tarsus

berguna untuk merayap serta memegangi bulu atau rambut inangnya. Tiap ruas

abdomen terdapat seta (rambut keras) untuk melindungi tubuh dari cekaman

mekanik seperti gesekan pada kandang dan patukan ayam. Abdomen Menophon

gallinae beruas delapan sampai sepuluh dan memanjang melebihi panjang

toraksnya. Spirakel berjumlah enam pasang terdapat pada tepi ruas-ruas abdomen

(Ihsani, 2018).Menopon gallinae sering dikenal sebagai kutu batang bulu ayam

8
(shaft louse) dan berwarna kuning pucat. Kutu betina memiliki preferensi

oviposisi pada bagian dasar bulu inangnya. Kutu ini dianggap berbahaya bagi

unggas muda karena infestasi kutu pada unggas muda yang masih memiliki

imunitas rendah menyebabkan stres sehingga rentan terhadap infeksi penyakit

serta menyebabkan kematian (Kettle, 1984).

2.3.2 Siklus hidup

Betina dewasa bertelur dalam kelompok didasar bulu, kemudian telur

menetas menjadi nimfa. Nimfa melewati tiga tahap sebelum menjadi dewasa

secara seksual. Kutu dewasa bergerak berpindah – pindah dengan sangat cepat.

(Wall and Shearer, 2001)

2.3.3 Pengendalian

Pengendalian kutu membutuhkan pemberian insektisida yang aman untuk

ayam. Pengobatan biasanya dilakukan dengan interval 7-10 hari dan biasanya obat

yang diberikan hanya efektif untuk kutu dewasa dan muda. Sanitasi yang ketat

pada kandang ayam perlu dilakukan secara periodik untuk mencegah agar infeksi

kutu tidak meluas pada seluruh ayam dalam kandang. Pengobatan dengan

insektisida akan lebih efektif jika infestasi kutu masih ringan dan hanya

menyerang sejumlah kecil ayam dalam suatu populasi tertentu (Tabbu, 2002).

9
10

III. MATERI DAN METODE

3.1 Materi

Sampel pada kasus ini digunakan seekor ayam jantan, umur 5 bulan, berat

badan 550 gr, dengan nomor protokol A-10. Bahan yang digunakan untuk

pemeriksaan parasitologi adalah minyak cengkeh, oil emersi, PBS dan larutan gula

jenuh, metanol, aquades, pewarna Giemsa. Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan

patologi klinik tabung EDTA, NaCl fisiologis, reagen turk, reagen hayem. Bahan

yang digunakan untuk pemeriksaan patologi anatomi adalah formalin 10% untuk

pengawet dalam pembuatan preparat histopatologis, oil emersi. Bahan yang

digunakan untuk pemeriksaan mikrobiologi adalah media SSA.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah nampan

plastik, tabung darah/eppendoof, seperangkat alat nekropsi, timbangan untuk

menimbang feses, gelas ukur, gelas beker, gelas obyek beserta cover glass-nya,

mikroskop, cawan petri, pipet, mortar dan stemper, pengaduk (stirrer), ose, alat hitung

(counter), spuit dengan jarumnya, lampu spiritus, pipet leukosit, pipet eritrosit,

waterbath, kamar hitung, mikrohematokrit, dan spektrofotometer.

3.2 Metode

3.2.1 Nekropsi dan Pengambilan Darah

Sebelum dilakukan eutanasia dan nekropsi dilakukan pemeriksaan fisik dan

pengambilan darah. Untuk pembuatan preparat apus digunakan darah segar yang
11

diambil dari vena brachialis dexter menggunakan spuit steril 3 ml. Setelah preparat

apus selesai dibuat dilakukan pengambilan sampel darah melalui vena brachialis

sinister yang nantinya dicampur dengan antikoagulan EDTA dan digunakan untuk

pemeriksaan darah lebih lanjut. Eutanasia pada ayam dilakukan dengan cara

melakukan pematahan poada leher. Nekropsi diawali dengan membasahi bangkai

dengan air agar bulunya tidak berterbangan (Ressang, 1984).

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan

incisi pada organ-organ yang dicurigai mengalami perubahan. Organ-organ

tersebut dipotong dan dimasukkan dalam kontainer plastik yang berisi formalin

10%, serta dilakukan pemeriksaan secara mikroskopik dengan membuat preparat

histopatologi dari organ-organ yang dicurigai mengalami perubahan.

3.2.2 Pemeriksaan Parasitologi

3.2.2.1 Pemeriksaan Feses

Pemeriksaan feses yang dilakukan meliputi pemeriksaan natif dan sentrifus.

Pemeriksaan natif dilakukan dengan mengambil sedikit sampel feses kemudian

diletakkan di atas gelas objek. Feses tersebut kemudian ditetesi dengan sedikit air dan

dicampur. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop (perbesaran 10 x 10) untuk

mencari adanya telur cacing atau ookista (Natadisastra, 2005).

Untuk pemeriksaan sentrifus sampel feses diambil sebanyak 2 gram dan

dimasukkan ke dalam cawan mortir. Feses ditambah dengan air secukupnya lalu

diaduk. Campuran kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifus sebanyak ¾

tabung dan disentrifuse selama 5 menit. Supernatan kemudian dibuang sampaisisa


12

endapan di dasar tabung. Larutan NaCl jenuh kemudian dimasukkan ke dalam tabung

yang ada endapannya sampai ¾ tabung lalu diaduk sampai rata dan disentrifuse

kembali selama 5 menit. Hasil sentrifuse tersebut kemudian ditambah dengan NaCL

jenuh kembali sampai permukaannya cembung dan ditunggu selama 3 menit. Gelas

objek kemudian ditempelkan pada permukaan cembung tersebut dan dibalik dengan

cepat kemudian ditutup dengan cover glass. Pengamatan dilakukan di bawah

mikroskop (perbesaran 10 x 10) untuk melihat adanya telur atau ookista (pemeriksaan

kualitatif). Pemeriksaan dengan metode ini menggunakan larutan NaCl jenuh atau

larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas berat jenis telur sehingga

telur akan mengapung dan mudah diamati (Tierney, 2002).

3.2.2.2 Pemeriksaan Apus Darah

Darah yang sudah diambil dimasukkan ke dalam tabung EDTA. Pemeriksaan

darah rutin dilakukan dengan mengambil sampel darah kemudian dimasukkan ke

tabung eppendorf. Sebagian darah yang ada diteteskan diatas obyek glass untuk

dibuat ulas darah. Ulas darah difiksasi dengan methanol dan dikeringkan, kemudian

dicat menggunakan pewarna Giemsa 10% selama 30 menit. Pemeriksaan selanjutnya

meliputi penghitungan total eritrosit, penghitungan total leukosit, kadar hemoglobin

(Hb), hematocrit atau packed cell volume (PCV), total protein plasma (TPP),

fibrinogen dan penghitungan diferensial leukosit. Penghitungan mean corpuscular

volume (MCV), mean corpuscular haemoglobin (MCH), dan mean corpuscular

haemogobin concentration (MCHC) dilakukan jika terjadi anemia untuk mengetahui

klasifikasi jenis anemia (Salasia dan Hariono, 2010).


13

3.2.3 Pemeriksaan Patologi Klinik

Darah yang sudah diambil dimasukkan ke dalam tabung EDTA. Pemeriksaan

darah rutin dilakukan dengan mengambil sampel darah kemudian dimasukkan ke

tabung eppendorf. Sebagian darah yang ada diteteskan diatas obyek glass untuk

dibuat ulas darah. Ulas darah difiksasi dengan methanol dan dikeringkan, kemudian

dicat menggunakan pewarna Giemsa 10% selama 30 menit. Pemeriksaan selanjutnya

meliputi penghitungan total eritrosit, penghitungan total leukosit, kadar hemoglobin

(Hb), hematocrit atau packed cell volume (PCV), total protein plasma (TPP),

fibrinogen dan penghitungan diferensial leukosit. Penghitungan mean corpuscular

volume (MCV), mean corpuscular haemoglobin (MCH), dan mean corpuscular

haemoglobin concentration (MCHC) dilakukan jika terjadi anemia untuk mengetahui

klasifikasi jenis anemia (Salasia dan Hariono, 2010).

3.2.4 Pengukuran Nilai Protein Plasma (TPP) dan Fibrinogen

Nilai TPP dihitung dengan memotong lapisan plasma pada mikrohematokrit

yang telah digunakan untuk penghitungan nilai PCV. Plasma tersebut kemudian

diteteskan pada TS-meter untuk dibaca hasilnya.

Pengukuran nilai fibrinogen dilakukan dengan memanaskan mikrohematokrit

yang sebelumnya digunakan untuk penghitungan nilai PCV. Mikrohematokrit

dipanaskan dalam waterbath bersuhu 56-58o selama 2 menit, kemudian disentrifus

lagi selama 5 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Mikrohematokrit dipatahkan dan

plasma diteteskan pada TS-meter untuk dihitung nilai TPP. Nilai fibrinogen
14

didapatkan dengan mencari selisih antara TPP awal (sebelum dipanaskan) dengan

TPP akhir (setelah dipanaskan) (Gandasoebrata, 2009).

3.2.5 Pengukuran Nilai Hemoglobin (Hb)

Pengukuran Hb dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer. Proses

dimulai dengan menyiapkan 2 tabung reaksi khusus. Tabung pertama diisi dengan

larutan drabkins sebanyak 5 ml dan digunakan sebagai blanko. Tabung kedua diisi

dengan 5 ml larutan drabkins dan ditambah dengan 0,02 ml darah, kemudian divortex

dan disentrifus. Pembacaan dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan

panjang gelombang 540 nm yang sebelumnya telahdikalibrasi denganmenggunakan

blanko. Tabung kedua dimasukkan setelah alat selesai dikalibrasi. Pembacaan

dilakukan dengan melihat jarum yang ada pada alat tersebut. Angka yang ditunjuk

jarum kemudian dikonversikan dengan menggunakan tabel yang sudah tersedia untuk

mengetahui nilai Hb (Gandasoebrata, 2009).

3.2.6 Penghitungan Total Eritrosit

Penghitungan total eritrosit dilakukan dengan menggunakan hemositometer.

Proses dimulai dengan mengambil sampel darah yang sudah dicampur EDTA dengan

pipet Thoma eritrosit sampai angka 0,5 kemudian dilanjutkan dengan menghisap

reagen NaCl fisiologis sampai angka “101” (pengenceran 200 kali). Pipet Thoma

kemudian digoyang-goyang minimal 20 kali hingga darah dengan reagen tercampur

sempurna. Setelah tercampur, 2-3 tetes pertama campuran dibuang, kemudian

diteteskan pada kamar hitung hemositometer yang sebelumnya telah ditutup dengan

deck glass, dan periksa dengan mikroskop. Daerah yang akan dihitung dicari dengan
15

melihat kamar hitung dengan menggunakan perbesaran lemah. Daerah penghitungan

eritrosit terletak dalam kotak besar di tengah yang didalamnya terdapat 25 kotak

kecil. Mikroskop kemudian dialihkan ke perbesaran kuat. Eritrosit dihitung pada 5

kotak (kiri atas, kanan atas, kiri bawah, kanan bawah, dan tengah) yang masing-

masing memiliki 16 kotak kecil. Jumlah eritrosit yang terhitung kemudian dikalikan

dengan 10000 (Gandasoebrata, 2009).

3.2.7 Penghitungan Total Leukosit

Penghitungan total leukosit dilakukan dengan menggunakan hemositometer.

Proses dimulai dengan mengambil sampel darah yang sudah dicampur EDTA dengan

pipet Thoma leukosit sampai angka 0,5 kemudian dilanjutkan dengan menghisap

reagen Raes-Ecker sampai angka “11” (pengenceran 20 kali). Pipet Thoma kemudian

digoyang-goyang kurang lebih 3 mneit hingga darah dengan reagen tercampur

sempurna. Setelah tercampur, 2-3 tetes pertama campuran tersebut dibuang. Sampel

tersebut kemudian diteteskan pada kamar hitung hemositometer yang sebelumnya

telah ditutup dengan deckglass. Hemositometer kemudian diletakkan di bawah

mikroskop. Daerah yangakan dihitung dicari dengan melihat kamar hitung dengan

menggunakan perbesaran lemah. Daerah penghitungan leukosit adalah 4 kotak besar

yang masing-masing di pojok kanan atas, kanan bawah, kiri atas, dan kiri bawah yang

masing-masing terdiri dari 16 kotak kecil. Mikroskop kemudian dialihkan ke

perbesaran kuat untuk memudahkan penghitungan leukosit. Jumlah leukosit yang

terhitung kemudian dikalikan dengan 50 (Gandasoebrata, 2009)


16

3.2.8 Pemeriksaan Mikrobiologi

Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan mikrobiologi adalah swab dari

organ intestine di tanam pada media Salmonella Shigella Agar (SSA) dan

diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Koloni yang terbentuk bulat berwana

transparan dengan adanya titik hitam ditengah diambil untuk dilakukan pewarnaan

Gram. Pewarnaan Gram dilakukan dengan cara pengulasan biakan bakteri dengan ose

pada obyek glass yang sudah ditetesi NaCL fisiologis. Kemudian difiksasi sampai

kering di atas api bunsen. Setelah itu, tetesi carbon gentian violet (initial strain)

diamkan selama 2 menit. Tetesi lugol (mordant) biarkan selama 1 menit. Tetesi

alkohol 95% (decolorizer) diamkan selama 1 menit. Cat dibuang dan cuci dengan air.

Tetesi air fushine (counter stain) biarkan selama 2 menit. Cuci dan keringkan, setelah

itu diamati dibawah mikroskop (Quinn et al, 1999).


17

IV. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIK

A. Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi

Berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi diketahui bahwa ayam dengan

nomor protokol A-010 mengalami pneumonia hemoragika, hepatitis, dan enteritis

hemoragika.

B. Hasil Pemeriksaan Parasitologi

Berdasarkan pemeriksaan parasitologi diketahui bahwa ayam dengan nomor

protokol A-10 terinfeksi ektoparasit Menopone gallinae.

C. Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi

Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi diketahui bahwa ayam dengan nomor

protokol A-10 ditemukan bakteri Salmonella pullorum pada usus.

D. Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik

Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi klinik ayam kampung dengan nomor

protokol A-10 mengalami anemia makrositik hipokromik, anisositosis, leukositosis

dengan heterofilia, monositosis, dan eusinofilia.


18

V. PEMBAHASAN

5.1 Patologi Anatomi (Histopatologi)

Ayam dinekropsi dan dilakukan pemeriksaan secara laboratorik. Pada hasil

pemeriksaan patologi anatomi secara makroskopis organ setelah di nekropsi terlihat

adanya perubahan yaitu terdapat hemoragi di lobus dekster dan sinister, uji apung

mengapung. Hepar mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap dan terdapat

hemoragi. Jejunum mengalami hemoragi pada bagian mukosa.

Gambar. Makroskopis Pulmo adanya hemoragi pada lobus dexter dan sinister
19

Gambar. Makroskopis jejunum adanya hemoragi pada daerah mukosa


20

Gambar. Makroskopishepar adanya perubahan warna menjadi gelap dan hemoragi

ekimosis

Hati merupakan organ sekresi terbesar dan merupakan kelenjar pertahanan

yang terpenting dalam tubuh. Sel hati dapat rusak hingga lebih dari 80% tanpa

menyebabkan gejala yang berat dan dapat sembuh kembali secara sempurna (Nort

dan Bell 1990). Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu:

pemaparan yang terlalu lama atau terlalu singkat, durasi pemaparan, dosis dan host

yang rentan (Jubb, 1993). Pada hasil pemeriksaan histopatologi anatomi secara

mikroskopis, pada hepar terlihat kongesti pada bagian interlobularis, terlihat adanya

infiltrasi eritrosit pada jaringan atau organ yang menandakan bahwa hepar mengalami

hemoragi dan terlihat adanya infiltrasi sel radang. Infiltrasi sel radang terjadi sebagai

akibat adanya respon infeksi terhadap bakteri Salmonella pullorum. Pada ayam muda
21

yang mengalami pullorum akan menunjukkan peradangan dan pendarahan pada hati,

paru-paru dan ginjal (Shiravaprasad 1997). Kerusakan pada hati terjadi karena tidak

adanya zat aktif tambahan yang diberikan untuk menghambat adanya infeksi bakteri

Salmonella pullorum dalam tubuh ayam kampung. Sehingga penghambatan

pertumbuhan bakteri hanya dilakukan oleh respon imun dari tubuh ayam sendiri atau

hati sebagai organ pertahanan yang memiliki fungsi detoksifikasi. Pulmo mengalami

pneumonia hemoragika, adanya pola penyebaran berbercak perdarahan pada pulmo

dan sel radang limfosit disebabkan oleh adanya infeksi bakteri Salmonella pullorum

di dalam pulmo yang menyebabkan pneumonia hemoragika. Pada jejunum terjadi

hemoragi pada sub mukosa, dan terdapat hemoragi pada bagian muskularis

longitudialis. Perubahan yang terjadi pada kasus infeksi Salmonella adalah adanya

pendarahan dan ilfiltrasi sel radang pada berbagai jaringan seperti hati, limpa, ginjal,

usus, dan paru-paru (Tabbu, 2000).


22

Gambar: Hepar perbesaran 10x (HE). Terdapat kongesti pada bagian vena
interlobularis (A), Terdapat hemoragi (B)

Gambar:Hepar perbesaran 40x (HE).Infiltrasi sel radang (A), Terdapat hemoragi (B).
23

Gambar:Pulmo perbesaran 10x (HE). Terdapat hemoragi (A), Ruptur pada septa
alveoli (B)Infiltrasi sel radang (C)
24

Gambar:Pulmo perbesatran 40x (HE). Terdapat hemoragi pada septa (A), terdapat
ruptur septa alveoli (B), Terdapat hemoragi (C).

Gambar: Jejunum perbesaran 10x (HE). Terdapat Kongesti pada submukosa (A),
Terdapat hemoragi pada submukosa(B)
25

Gambar:Jejunum perbesaran 40x (HE). Terdapat hemoragi pada submukosa (A),


Terdapat hemoragi pada muskularis longitudinalis (B).

5.2 Pemeriksaan Parasitologi

Hasil pemeriksaan parasitologi ayam kampung dengan nomor protokol A-10

terinfeksi ektoparasit Menopon gallinae. Pada ayam kampung dengan nomor protokol

A-10 dilakukan pemeriksaan organ pada saat nekropsi dengan pemeriksaan pada

usus mulai dari duodenum hingga rektum namun tidak ditemukan adanya cacing.

Pemeriksaan juga dilakukan pada organ masif seperti heparnamun hasilnya juga

negatif. Pemeriksaan dilanjutkan pada pemeriksaan feses menggunakan metode natif

dan sentrifus namun tidak ditemukan adanya telur cacing maupun ookista.

Pemeriksaan bulu ayam kampung A-10 ditemukan ektoparasit Menopon

gallinae. KutuMenopon gallinae diklasifikasikan ke dalam kelas insekta, ordo

phthiraptera, subordo mallophaga, kelompok amblycera, dan famili menoponidae.


26

Kelompok amblycera merupakan kelompok kutu penggigit dengan ciri khas kepala

lebar dan mempunyai palpus maksila. Menopon gallinae merupakan spesies kutu

yang biasa ditemukan pada ayam (Khan et al. 2003). Menopon gallinaemerupakan

salah satu contoh spesies yang dapat menghisap darah ayam dengan cara menusuk

tangkai bulu yang baru tumbuh atau melukai kulit yang mengalami iritasi (Tabbu,

2002). Menopon gallinae sering dikenal sebagai kutu batang bulu ayam (shaft louse)

dan berwarna kuning pucat. Kutu betina memiliki preferensi oviposisi pada bagian

dasar bulu inangnya. Kutu ini dianggap berbahaya bagi unggas muda karena infestasi

kutu pada unggas muda yang masih memiliki imunitas rendah menyebabkan stres

sehingga rentan terhadap infeksi penyakit serta menyebabkan kematian (Kettle,

1984).

Habitat kutu penggigit adalah permukaan kulit di antara bulu. Hal tersebut

sesuai dengan kebutuhan makanannya yang berupa kerak kulit dan eksudat kering.

Prevalensi kutu Mallophaga dipengaruhi oleh lingkungan. Intensitas infestasi kutu

pada ayam lebih tinggi pada musim panas atau kemarau (Saxena et al. 1995). Kutu

paling banyak ditemukan menginfestasi ayam di musim panas terutama pada bulan

Juni-Agustus, dan akan sangat jarang ditemukan pada bulan November-Februari (El-

Kifl et al. 1973).

Bentuk adaptasi morfologi kutu Menopon gallinae yaitu bentuk tubuh pipih

dorsoventral, tipe mulut penggigit, bentuk kepala lebar, tidak memiliki sayap, dan

tidak bermata. Kepala Menopon gallinae dilengkapi sepasang antena bertipe capitate

yang terlindungi dalam suatu celah. Menopon gallinae mempunyai toraks yang
27

terbagi atas protoraks, mesotoraks, dan metatoraks. Bagian protoraks biasanya

terpisah dari dua bagian lainnya yaitu bagian mesotoraks dan metatoraks yang

bergabung menjadi satu. Menopon gallinae memiliki tiga pasang kaki melekat pada

toraks dengan satu atau dua ruas pada tarsusnya (Soulsby 1982).

Gambar. Menopon gallinae A. Kepala, B. Thoraks, C. Abdomen,


D. Bulu atau seta, E. Abdomen posterior F. Kaki

5.3 Pemeriksaan Mikrobiologi

Pada pemeriksaan mikrobiologi ayam kampung dengan nomor protokol A-10

menggunakan sampel usus yang mengalami perubahan untuk mengisolasi Salmonella

pullorum. Isolasi dilakukan berdasarkan metode Carter, sampel ditanamkan dalam

media Selenite Cystine Broth(SCB) diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 24 jam.

Amati perubahan warnayang terjadi, apabila media SCB berwarna orange maka akan

di lanjut penanaman pada media SSA (Salmonella Shigella Agar) (Carter, 1987).
28

Gambar. Media Selenite Cystine Broth(SCB)

Hasil uji Salmonella Shigella Agar (SSA) yang memberikan hasil zona kuning

diantara koloni hitam pada medium. Pertumbuhan mikrobanya berwarna merah, atau

yang berwarna hitam, mikroba melakukan reduksi tiosulfat menjadi sulfat sehingga

terlihat sebagai koloni hitam (Zaraswati, 2006). Pada isolasi Salmonella Shigella

Agar tumbuh koloni bulat transparan ada titik kehitaman di tengah koloni. Tumbuh

koloni bulat berwarna jernih dengan titik hitam di tengah dugaan Salmonella sp.

(Fakhruzzahman, 2014)

Gambar. Koloni salmonella pullorum


29

Pewarnaan gram dilakukan dengan cara yaitu pengulasan biakan bakteri

dengan ose pada gelas obyek yang sebelumnya ditetesi Nacl fisiologis. Kemudian

fiksasi sampai kering diatas api bunsen dan dilakukan pewarnaan gram. Hasil

pemeriksaan mikroskopik pengecatan gram menunjukan bahwa bakteri yang tumbuh

merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang tercat merah. Sesuai dengan

pernyataan Pelezar dan Chan (2005), golongan bakteri Gram negatif mempunyai

lapisan peptidoglikan yang tipis, pori-pori dinding yang cukup besar, dan

permeabilitasnya yang tinggi sehingga memungkinkan terjadinya pelepasan zat warna

ungu kristal violet setelah dicuci dengan alkohol dan mengikat zat warna safranin.

Salmonella pullorum pada pewarnaan gram tampak morfologi bakteri berwarna

merah, berbentuk batang, dan gram negatif (Darmawati, 2017).

Gambar. Morfologi Salmonella sp. pada pewarnaan gram

Kemudian dilakukan uji biokimia, uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA)

ditujukan untuk membedakan jenis bakteri berdasarkan kemampuannya memecah

glukosa, laktosa, dan sukrosa menjadi sumber energi (Yusuf, 2009). Pada uji TSIA
30

bagian slant (miring) berubah menjadi merah karena bakteri bersifat basa, bagian butt

(tegak) terbentuknya gas H2S ditandai dengan endapan berwarna hitam. Menurut

Hadioetomoe (1985), endapan ini terbentuk karena bakteri mampu menghasilkan H2S

kemudian akan berikatan dengan Fe yang terdapat pada media biakan sehingga

menghasilkan endapan berwarna hitam.

Gambar. Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA)

Pada media Sulfide Indol Motility (SIM) terlihat tidak ada bentukan cincin

merah setelah ditetesi reagen kovac hal ini menunjukkan bakteri tidak

menghasilkan enzim trytophanase dan tidak ada bekas tusukkan yang menyebar

menandakan bakteri tidak motil. Salmonella pullorum adalah bakteri yang tidak

memproduksi indol karena tidak menghasilkan enzim trytophanase yang akan

memecah tryptophan menjadi indol dan bakteri yang tidak motil (Saif et al., 2008).
31

Gambar. Uji Sulfide Indol Motility (SIM)

Uji Cimon Citrat Agar (SCA) terlihat adanya perubahan warna media yang

semula hijau menjadi warna biru yang menunjukkan bakteri dalam menggunakan

sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon (Ulfa dkk., 2016). Salmonella pullorum

adalah bakteri yang menggunakan sitrat sebagai sumber karbon tunggal (Jay, 2000).

Gambar. Uji Simon Citrat Agar (SCA)

Uji Urease terlihat tidak ada perubahan warna pada media yang menunjukkan

tidak adanya proses urease. Pada uji urease perubahan warna dapat terjadi saat enzim

urease memutus ikatan karbon dan nitrogen untuk membentuk amoniak (Cappuccino
32

dan Sherman, 2005), namun Salmonella pullorummerupakan bakteri yang tidak dapat

menghidrolisis urea (Saif et al., 2008)

Gambar. Uji Urease

Uji katalase terlihat adanya gelembung setelah ditetesi reagen H2O2.

Salmonella pullorumbakteri yang memiliki kemampuam menghasilakn enzim

katralase yang mengubah H2O2 (hidrogen peroksida) menjadi H2O (air) dan O2

(oksigen) (Hadioetomo, 1993).

Gambar. Uji Katalase


33

Uji Methyl Red (MR) terlihat adanya perubahan warna media menjadi merah

setelah ditetesi reagen Methyl Red. Karena Methyl Red bertujuan mengetahui

kemampuan bakteri untuk mengoksidasi glukosa dengan memproduksi asam dengan

konsentrasi tinggi (Sudarsono, 2008). Salmonella pullorum merupakan bakteri yang

dapat memfermentasi asam campuran (asam laktak, asam asetat, dan asam formiat)

(Fakhruzzahman. M, 2014).

Gambar. Uji Methyl Red (MR)

Uji Voges Proskauer terlihat tidak terjadi perubahan warna menjadi merah

setelah ditetesi reagen KOH 10% dan alfa naphtol 1%. Salmonella pullorum bakteri

yang tidak memproduksi aseton dari degradasi glukosa (Leboffe dan Pierce, 2011).
34

Gambar. Uji Voges Proskauer (VP)

5.4 Pemeriksaan Patologi Klinik

Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi klinik ayam kampung dengan nomor

protokol A-10 mengalami anemia makrositik hipokromik, anisositosis, leukositosis

dengan heterofilia, monositosis, dan eusinofilia.

Anemia terjadiapabila jumlah eritosit yang fungsional dan atau jumlah

hemoglobin dibawahnormal. Anemia diindikasikan ketika jumlah eritrosit dan

hemoglobin menurun. Anemia juga dapat ditentukan menurut morfologinya

(makrositik, normositik, mikrositik) berdasarkan indeks eritrosit (MCV, MCH, dan

MCHC) (Dharmawan, 2002). Terjadinya penurunan jumlah eritrosit tidak selalu

disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Salasia dan Hariono, 2010).

Salah satu faktor penurunan Hb dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin dan mineral

sehingga menghambat pembentukan sel darah dan hemoglobin (Weiss dan Wardrop,

2010). Hemoglobin memberikan warna merah pada eritrosit dan merupakan

komponen pengikat oksigen yang berada pada eritrosit. Gejala klinis yang timbul
35

akibat penurunan oksigen dapat berupa pucatnya membran mukosa, kelemahan,

dypsnoe, anoreksia, dan demam (Thrall, 2004).

Berdasarkan nilai MCV dan MCHC maka jenis anemia ayam kampung A-10

adalah makrositik hipokromik. Hal ini didasari pada hasil pemeriksaan MCV yang

meningkat dan MCHC yang menurun. Anemia makrositik hipokromik merupakan

kondisi yang diakibatkan oleh perdarahan baik karena trauma ataupun defek-defek

koagulasi, defisiensi faktor haemopoetik (vitamin B12 dan Fe), infeksi hemoprotozoa

dan toksisitas obat (Mangkoewodjojo dkk, 2008). Nilai MCHC menunjukkan kadar

hemoglobin dalam darah. Hasil MCHC normal menunjukkan kadar hemoglobin

relatif normal (Weiss dan Wardrop, 2010). Anemia pada ayam dengan kode

protokol A.10 bersifat makrositik hipokromik karena MCV meningkat dan MCHC

menurun. Secara umum, anemia makrositik bersifat responding. Anemia makrositik

hipokromik dapat terjadi pada fase kesembuhan yang terjadi akibat perdarahan besar

atau dikarenakan adanya hemolitik anemia secara akut.

Anemia makrositik hipokromikpada ayam dengan nomer protokol A-10 ini

terjadi keradangan dan perdarahan akibat infeksi Salmonella pullorum. Salmonella

pullorum akan berkambang biak di dalam alat pencernaan penderita, sehingga terjadi

radang usus (enteritis)(Dharjono, 2001). Terjadinya pendarahan dan peradangan pada

usus menyebabkan defisiensi vitamin dan mineral sehingga menghambat

pembentukan sel darah dan hemoglobin (Weiss dan Wardrop, 2010). Infestasi kutu

Menopon gallinae pada ayam dengan nomor protokol A-10 adalah faktor pendukung

terjadinya anemia makrositik hipokromik karena kutu Menopon gallinaemerupakan


36

salah satu contoh spesies yang dapat menghisap darah ayam dengan cara menusuk

tangkai bulu yang baru tumbuh atau melukai kulit yang mengalami iritasi (Tabbu,

2002).

Leukositosis merupakan kondisi dimana jumlah leukosit meningkat dalam

darah. Leukosit adalah salah satu sel yang berperan dalam respon tubuh ketika ada

infeksi dari agen asing. Leukositosis terjadi karena adanya lesi atau peradangan yang

bersifat akut dan kronis, infeksi mikobakterial, infeksi virus dan nekrosis jaringan

yang bersifat masif. Pada unggas, respon leukositosis biasanya diikuti dengan

kejadian heterofilia dan monositosis (Coles, 1986). Gambaran leukositosis pada darah

merupakan reaksi terhadap adanya peradangan (Thrall, 2004).

Heterofilia pada gambaran darah merupakan indikasi kebutuhan jaringan

terhadap sel heterofil (Benjamin, 1978). Heterofilia merupakan peningkatan jumlah

heterofil dalam darah. Heterofilia pada kasus ini terjadi karena keradangan (Cowell,

2004). Peningkatan heterofil disebabkan karena adanya respon radang dan adanya

agen infeksius yang masuk kedalam tubuh. Heterofil berasal dari jaringan myeloid

dari bone marrow yang biasanya muncul pada awal keradangan dan merespon bakteri

pyogenik. Heterofil berfungsi sebagai fagositosis, digesti, menetralkan toksin, dan

sumber energi dari sel lain sedangkan limfosit tidak bekerja dalam proses fagositosis

melainkan berfungsi untuk memproduksi antibodi, merusak protein asing, produksi

lipase dan protease (Quinn et al., 2002).

Monosit memiliki peran penting dalam reaksi inflamasi dan mengandung

beberapa substansi biologi aktif seperti enzim proteolitik, interferon, interleukin,


37

komponen komplemen, prostaglandin dan protein carrier (Weiss dan Wardrop, 2010).

Monositosis merupakan indikasi bahwa penyakit sudah berjalan lama, karena monosit

berperan sebagai sistem pertahanan kedua terhadap infeksi. Monosit mampu

memfagositosis agen infeksi yang lebih patogen. Monosit membersihkan sisa-sisa

proses keradangan yang disebabkan oleh agen infeksi. Monosit dalam darah akan

berkembang menjadi makrofag pada area peradangan atau jaringan spesifik

(makrofag resident) (Feldman et al., (2000). Monositosis yang dialami oleh ayam

dengan nomor protokol A-10 ditafsirkan sebagai respon terhadap peningkatan

permintaan sel mononuklear dalam jaringan untuk menghadapi masuknya infeksi.

Sel eosinofil merupakan jenis sel lekosit yang terlibat dalam berbagai

patogenesis penyakit. Eosinofilia adalah tingginya rasio eosinofil di dalam plasma

darah. Eosinofilia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan respon

imunitas terhadap suatu penyakit. Peningkatan jumlah eosinofil dalam darah dipicu

sekresi interleukin-5 oleh sel T, mastosit dan makrofaga, biasanya menunjukkan

respon yang tepat terhadap sel-sel abnormal, parasit atau bahan-bahan penyebab

reaksi alergi (alergen). Setelah dibuat di dalam sumsum tulang, eosinofil akan

memasuki aliran darah dan tinggal dalam darah hanya beberapa jam, kemudian

masuk ke dalam jaringan di seluruh tubuh. Jika suatu bahan asing masuk ke dalam

tubuh, akan terdeteksi oleh limfosit dan neutrofil, yang akan melepaskan bahan untuk

menarik eosinofil ke daerah ini. Eosinofil kemudian melepaskan bahan racun yang

dapat membunuh parasit dan menghancurkan sel-sel yang abnormal (Hay and

Westwood, 2006).
38

Tabel. Hasil Pemeriksaan Hematologi

Standar
Pemeriksaan Unit Hasil Keterangan Interpretasi
Normal*
106/µL 2,0
Eritrosit 2,5 – 3,5 Turun Anemia
Hb g/dL 6 7 – 13 Turun
PCV % 32 22 – 35 Normal Normal
MCV Fl 160 100 – 140 Naik Makrositik
MCH pg 30 33 – 47 Normal
MCHC % 18,75 26 – 35 Turun Hipokromik
Awal 4,4 3–6 Normal
TPP g/dL
Akhir 4,1 3–6 Normal
Fibrinogen g/dL 0,3 0,1 – 0,4 Normal Normal
Leukosit 103/µL 40,8 12 – 30 Naik Leukositosis
R % 48 15 – 50
Heterofil Naik Heterofilia
A 103/µL 19,5 3–6
R % 34 29 – 84
Limfosit Normal Normal
A 103/µL 13,8 7 – 17,5
R % 14 0–7
Monosit Naik Monositosis
A 103/µL 5,7 1,5 – 2
R % 4 0 – 16
Eosinofil Naik Eosinofilia
A 103/µL 1,6 0–1
R % 0 0–8
Basofil Normal Normal
A 103/µL 0 Rare
39

Gambar. Ulas darah ayam nomor protokol A-10. Heterofil (A), Eosinofil (B).

Gambar. Ulas darah ayam nomor protokol A-10. Monosit (A), anisositosis (B),
eosinofil (C), limfosit (D).
40

VI. PATOGENESIS

Faktor Predisposisi :
Lingkungan pemeliharaaa dan manajemen
kandang yang kurang baik. Manajemen
pakan buruk (air minum berasal dari air
sumur), belum pernah diberi obat dan
belum pernah divaksin

Infestasi Infeksi
Menopon AYAM KAMPUNG (A-10) Salmonella
Gallinae pullorum

Pneumonia
Hepatitis Enteritis Hemoragi
hemoragi

Anemia makrositik hipokromik,


leukositosis, heterofilia, monositosis,
eusinofilia
41

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan patologi anatomi, mikrobiologi,

parasitologi danpatologi klinik ayam kampung dengan nomor protokol A-10

didiagnosa terinfeksi bakteri Salmonella pullorum dan terinfestasi kutu Menopon

gallinae

7.2 Saran

Perlu dilakukan perbaikan manajemen pemeliharaan meliputi perbaikan

manajemen kandang, sanitasi kandang, kebersihan alat, serta mengurangi faktor

penyebab stres pada ayam dan memperbaiki asupan nutrisi pada pakan ayam untuk

menjaga daya tahan tubuh ayam tetap baik. Kontrol manajemen sebaiknya

dilakukan secara berkala dan optimal untuk meminimalisir faktor penyebab

penyakit, dan melakukan program vaksinasi pada ayam serta memiliki tindakan

yang cepat dan tepat untuk mencegah penularan apabila terjadi sakit pada ayam.

Anda mungkin juga menyukai