Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN INDIVIDU SGD

SKENARIO 2
“BLOAT”

Disusun Oleh:
TIA INDAH PRATIWI
21/481020/KH/10979

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
I. Cacing Pada Saluran Pencernaan Ternak
Cacing nematoda gastrointestinal merupakan parasit yang sering menginfeksi
hewan ternak, khususnya pada ternak sapi. Nematoda adalah cacing yang berbentuk
bulat panjang (gilik) atau seperti benang. Nematoda merupakan hewan tripoplastik dan
pseudoselomata. Sebagai organisme poikilothermic, proses metabolisme dan fisiologi
nematoda sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Infeksi nematoda dapat terjadi
secara langsung dan tidak langsung. Proses tersebut berkaitan erat dengan sanitasi
lingkungan. Nematoda yang dapat menginfeksi saluran cerna sapi di antaranya adalah
Trichuris sp., Capillaria sp., Strongyloides papilosus, Toxocara vitulorum,
Nematodirus, Bonustomum, Trichostrongylus, Cooperia, Haemonchus contortus,
Oesophagustomum, Chabertia ovina dan Ostertagia. Penelitian oleh Muktar, et al.
(2015), melaporkan bahwa pada ternak sapi, jenis Strongyolides sp., Trichostrongylus
sp.,Trichuris sp., Cooperia sp., danHaemonchus sp.

a. Siklus hidup dan fase infektif Cacing Strongyle pada ternak

Gambar 1. Siklus hidup cacing nematoda pada ternak (Copani, 2016)

Siklus hidup cacing strongyl ini dimulai dari telur menetas di dalam usus dan
larva tahap pertama (L1) dilepaskan ke feses. Penetasan telur, perkembangan dan
kelangsungan hidup larva infektif sangat tergantung pada suhu dan kelembaban. Dalam
kasus cacing tambang Bunostomum sp. dan cacing usus Stronglyoides sp. infeksi
terjadi ketika larva infektif menembus kulit sapi. Hal ini terjadi pada bagian teracak
kaki ketika sapi berdiri di atas tanah, juga melalui faecal contaminated area atau daerah
terkOntaminasi feses yang akan tertempel di permukaan tubuh hewan ketika berbaring.
Larva dua (L2) terakhir cacing bergerak melalui darah menuju ke jantung dan paru-
paru, kemudian ke saluran usus di mana mereka menjadi cacing dewasa. Dalam kasus
ini, telur menetas dalam saluran pencernaan ternak dan larva tahap pertama akan
dilepaskan bersama feses. (Wiliams & Loyacano 2001).
Menurut Bowman (2009), sama seperti larva stadium pertama dan kedua, larva
infektif (larva stadium ketiga) juga bersifat free-living (hidup bebas di alam). Larva
stadium pertama dan kedua hidup pada feses dan memakan bakteri yang ada di
dalamnya, kemudian pada stadium ketiga larva mulai bermigrasi menuju ke lingkungan
sekitarnya, misalnya vegetasi yang berupa rumput. Infeksi dapat terjadi salah satunya
apabila rumput yang terkontaminasi oleh larva infektif dimakan oleh ternak. Larva
stadium ketiga (L3) disebut juga larva stadium infektif, bila termakan oleh hospes akan
menjadi cacing dewasa. Larva stadium satu (L1) dan dua (L2) walau termakan hospes
tidak akan menjadi cacing dewasa (Primawidyawan, 2006)
Perkembangan telur dan larva infektif nematoda dipengaruhi oleh suhu udara,
curah hujan, kelembapan dan keadaan tanah. Lingkungan dapat dinyatakan sebagai
faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan prevalensi dari infeksi nematoda (Moyo,
2006).

Gambar. 2 Larva Strongyloides pada feses sapi (Putra, 2017)


Menurut Levine (1994), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan dan ketahanan hidup larva di padang rumput diantaranya kondisi iklim,
tipe tanah, letak geografis, serta tipe dan jumlah tumbuh-tumbuhan.

b. Faktor Penyebab parasit pada ternak


Faktor yang dapat berpengaruh terhadap infeksi parasit adalah faktor
lingkungan dan genetik. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap adanya infeksi
parasit diantaranya seperti pakan, dan manajemen pemeliharaan yang terdiri dari
manajemen perkandangan, sistem pemeliharaan dan lokasi pemeliharaan, sedangkan
faktor genetik seperti sistem imun dari hewan tersebut. Ternak yang sehat memerlukan
jumlah pakan yang cukup dan berkualitas, baik dari kondisi pakan maupun
keseimbangan nutrisi yang dikandungnya. Keadaan nutrisi yang jelek merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya suatu penyakit, baik yang disebabkan oleh virus,
bakteri dan parasit seperti cacing (Amer et al., 2010).

c. Gejala klinis
Infeksi cacing nematoda sering tidak menunjukkan gejala klinis yang khas,
khususnya pada fase-fase awal infeksi. Gejala klinis biasanya akan muncul pada saat
infeksi telah kronis atau kuantitas parasit nematoda secara signifikan meningkat pada
daerah predileksi. Dampak infeksi berbagai parasit nematoda saluran pencernaan
(gastrointestinal) adalah terjadinya anemia, nafsu makan menurun, ternak akan
mengalami penurunan bobot badan secara drastis, rambut dan kulit ternak akan kusam,
dan rambut rontok (Vande, et al., 2018). Seluruh gejala ini akan menimbulkan kerugian
yang besar bagi peternak karena akan menurunkan harga jual ternak dan dapat
menimbulkan kematian pada beberapa kasus akibat anemia akut.

d. Manajemen pencegahan dan Penanganan


1. pemberian anthelmintik secara berkala, Menurut mulyadi ( 2018) saran pemberian
obat untuk pencegahan adalah 3 bulan sekali, sedang untuk pengobatan dapat
diberikan 1 bulan sekali. pemberian anthelmintika sebaiknya dilakukan secara
berkala setiap 3-4 bulan sekali guna membasmi cacing secara tuntas dan memutus
siklus hidup parasit tersebut Pemberian anthelmintik juga dapat diberikan sejak sapi
masih pedet (usia ±7 hari) untuk menekan angka perkembangan populasi cacing
dan tindakan pencegahan. Untuk mengurangi perkembangan populasi cacing, perlu
dilakukan pemantauan rutin setiap 2 atau 3 bulan sekali mekemudiani pemeriksaan
feses.
2. Pencegahan paling utama adalah sanitasi kandang juga lingkungan, dengan
menjaga drainase kandang dan lingkungan agar tidak lembab dan berkubang
Menghindari tempat penggembalaan berkubang karena larva cacing trematoda
dominan pada daerah basah (berair). Tidak menggembalakan sapi di tempat sampah
(TPA), tetapi padang rumput yang selayaknya. Mulyadi (2018)
3. Pemeliharaan sapi dengan sistem simetri, Pada sapi yang dipelihara dengan bukan
sistem simantri dinilai kurang baik karena feses sapi berserakan di lantai kandang
dan hanya dibersihkan dengan menggunakan sekoptanpa diikuti penyiraman
menggunakan air dan tidak terdapat bak penampungan kotoran.Metode
pembersihan ini memungkinkan masih adanya feses sapi yang tertinggal, dan
berpotensi mengandung telur nematoda hingga berkembang menjadi larva infektif.
Sistem simantri menempatkan hewan ternak dipelihara dalam satu kandang koloni,
sehingga mempermudah pengawasan dan pemantauan kesehatan sapi. Sebaliknya,
sebagian besar ternak sapi pada sistem bukan simantri dipelihara secara intensif,
dan perlakuan pada masing-masing sapi berbeda-beda tergantung kebiasaan
peternak. Pemantauan kesehatan hewan ternak dilakukan secara individu,terlebih
dengan sistem pengolahan limbah yang belum memadai. Kondisi tersebut
menjadikan tingginya penularan infeksi nematoda gastrointestinal. Pada kondisi
kandang kotor (basah ataulembap), kemungkinan kontaminasi parasit pada pakan
cenderung tinggi.
II. Daftar Pustaka

Amer MM, Awaad MHH, Rabab M, Khateeb El, Nadia MTN, Elezz A, Sherein A,
Said, MM, Ghetas, Kutkat MA. 2010. Isolation and Identification of Eimeria
from Field Coccidiosis in Chickens. J Am Sci 10: 1107-1114.

Bowman, Dwight D, 2009, Georgi’s Parasitology for Veterinarians, 9th Edition,


Saunders Elsevier, Missour

Levine, N.D. 1994. Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh Ashadi G. Dari


Textbook of Veterinary Parasitology. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Hal 190-223

Madani, I., Apsari, I.A., Oka, I.B. 2021. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Strongyle
pada Sistem Pemeliharaan Sapi Bali Terintergrasi di Mengwi, Badung, Bali.
Indonesia Medicus Veterinus. 10(2): 223-232

Muktar Y, Belina D, Alemu M, Shiferaw S, Belay H. 2015. Prevalence of


Gastrointestinal Nematoda of Cattle in Selected Kebeles of Dire Dawa Districts
Eastern Ethiopia. Advances in Biological Research 9(6): 418- 423.

Mulyadi, T. 2021. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Pada Kambing Peranakan


Etawa (Pe) Di Kelompok Tani Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten
Pesawaran Lampung. Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan Vol 2 (2):21-26

Moyo DZ. 2006. An Abbatoir study of Prevalence and seasonal Fluctutions of


gastrointestinal nematodes of cattle in the Midlands Province, Zimbabwe. Res
J of Vet and Animal Sci,1(1): 37-40

Primawidyawan, 2006, Identifikasi Nematoda Saluran Pencernaan pada Tinja Badak


Jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon, Skripsi,
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Putra, K.Y., Apsari, I.A., Suwiti, N. 2017. Infeksi Coccidia dan Strongyloides pada
Sapi Bali Pasca Pemberian Mineral. Buletin Veteriner Udayana, 9(2): 117-124

Vande VF, Charlier J, Claerebout E. 2018. Farmer Behavior and Gastrointestinal


Nematoda in Ruminant Livestock-Uptake of Sustainable Control Approaches.
Front Vet Sci, 212(5): 15-23.

Wiliams JC & Loyacano AF. 2001. Internal Parasites of Cattle in Lousiana and others
Southern States. United States: LSU Agricultural Center Research Studies.

Anda mungkin juga menyukai